Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

ABSES LEHER DALAM

Disusun Oleh:
Tiara Nadya Putrianda 1810211029

Pembimbing:
dr. Yulvina, Sp. THT-KL (K)

KEPANITERAAN KLINIK DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT PERSAHABATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UPN “VETERAN” JAKARTA
2019

1
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT

ABSES LEHER DALAM

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat


Mengikuti Kepaniteraan Klinik Bagian THT-KL
Di RSUP Persahabatan

Disusun Oleh:
Tiara Nadya Putrianda
1810221029

Mengetahui,

Pembimbing: dr. Yulvina, Sp. THT-KL


Tanggal : 8 Agustus 2019

2
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang
potensial diantara fasia leher dalam akibat penjalaran berbagai sumber infeksi,
seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher tergantung ruang
mana yang terlibat.Secara anatomi daerah potensial leher dalam merupakan
daerah yang sangat komplek. Pengetahuan anatomi fasia dan ruang-ruang
potensial leher secara baik, serta penyebab abses leher dalam secara mutlak
diperlukan untuk memperkirakan perjalanan penyebaran infeksi dan
penatalaksanaan yang ade kuat(Fachruddin D, 2007). Gejala dan tanda klinis
abses leher dalam tergantung ruang leher dalam yang terinfeksi dan secara umum
sama dengan gejala infeksi pada umumnya yaitu, demam, nyeri, pembengkakan,
dan gangguan fungsi. Nyeri tenggorokan dan demam yang disertai dengan
terbatasnya gerakan membuka mulut dan leher, harus dicurigai kemungkinan
disebabkan oleh abses leher dalam.
Abses leher dalam dapat menjadi suatu komplikasi yang serius yang
mengakibatkan obstruksi jalan napas,kelumpuhan saraf kranial, mediastinitis, dan
kompresi hingga ruptur arteri karotis interna yang berakhir pada kematian
(Fachruddin D, 2007). Gejala klinis dari abses leher dalam pada 147 kasus
didapatkan: bengkak pada leher 87%, trismus 53%, disfagia 45%, dan odinofagia
29,3%. Berdasarkan ruang yang dikenai akan menimbulkan gejala spesifik yang
sesuai dengan ruang potensial yang terlibat (Abshirini H et al.,2010).

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi
Abses leher dalam adalah terkumpulnya nanah (pus) di dalam ruang
potensial di antara fasia leher dalam sebagai akibat penjalaran dari berbagai
sumber infeksi, seperti gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga dan leher.
Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses
parafaring, abses submandibula dan angina Ludovici (Ludwig’s angina)(Soepardi,
Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012).

II.2 Epidemiologi
Di Bagian THT-KL Rumah Sakit dr. M. Djamil Padang selama 1
tahunterakhir (Oktober 2009 sampai September 2010) didapatkan abses leher
dalamsebanyak 33 orang, abses peritonsil 11 (32%) kasus, abses submandibula 9
(26%)kasus, abses parafaring 6 (18%) kasus, abses retrofaring 4 (12%) kasus,
absesmastikator 3(9%) kasus, abses pretrakeal 1 (3%) kasus.

II.3 Anatomi
Terkait kasus abses leher dalam, ada beberapa bagian anatomi leher yang
perlu diketahui. Anatomi leher melibatkan fascia leher dan spasium leher dalam
(Murray,2018).

II.3.1 Fascia Leher


Terdapat dua pembagian utama fascia leher yaitu fascia cervicalis superficialis
dan fascia cervicalis profunda.

II.3.1.1 Fascia Cervicalis Superficialis


Fascia cervicalis superficialis adalah fascia yang terletak di bawah dermis dan
dikelilingi oleh otot-otot yang berfungsi untuk membentuk ekspresi wajah. Fascia
ini meliputi sistem muskuloaponeurotik superficialis dan melbar ke epikranium
dari aksila dan dada. Ruang yang berada di dalam lapisan ini mengandung lemak,

4
serabut neurovaskular, dan vasa limfatika. Bagian ini tidak termasuk dalam
spasium leher dalam (Muray, 2018 & Hansen et al, 2011).

II.3.1.2 Fascia Cervicalis Profunda


Fascia cerficalis profunda meliputi spasium leher dalam dan selanjutnya
dibagi menjadi 3 lapisan yaitu fascia cervicalis profunda superficialis, media, dan
profunda.
Lapisan superficialis fascia cervicalis profunda meliputi musculus
sternocleidomastoideus, musculus trapezius, otot-otot mastikasi, glandula
submandibula, dan glandula parotis.
Lapisan media fascia cervicalis profunda memiliki dua pembagian yaitu
bagian muscular dan visceral. Pembagian muscular meliputi otot-otot
sternoyoideus, sternothyrodeus, thyrohyoideus, omohyoideus, dan tunica
adventitia vasa-vasa besarr. Pembagian dalam meliputi musculus constrictor
faring dan esofagus untuk membetnuk fascia buccofaringeal dan dinding anterior
spasium retrofaringeal. Baik bagian muscular maupun bagian visceral
berkontribusi dalam pembentukan carotid sheath.

Gambar 1. Potongan Horizontal Anatomi Leher Dalam

5
Lapisan profunda fascia cervicalis profunda dibagi menjadi 2 bagian yaitu
bagian prevertebra dan alar. Pada verterba menunjukkan bahwa lapisan ini
menempel pada bagian anterior corpus vertebra dan melebar ke lateral pada
processus transvesus os. Vertebrae. Pembagian alar menunjukkan batas posterior
spasium retrofaring.

II.3.2 Spasium Leher Dalam.


Spasium leher dalam terbagi atas 11 spasium yang dibentuk dari planum-
planum dengan resistensi tinggi dan rendah fascia leher. Spasium ini dapat berupa
spasium nyata atau spasium yang berpotensial membesar ketika ada proses
supurasi yang memisahkan lapisan-lapisan fascia. Spasium leher dalam saling
berhubungan satu dengan yang lain sehingga membentuk suatu jalur komunikasi
yang memungkinkan penyebaran infeksi dari satu spasium ke spasium lainnya.1,4
Spasium leher dalam meliputi spasium parafaring, spasium retrofaring,
spasium prevertebra, danger space, spasium mastikatorius, spasium
submandibula, spasium carotis, spasium pretrakea, spasium peritonsil, spasium
parotis, dam spasium temporal.

Gambar 2. Potongan Sagital Anatomi Leher Dalam

6
Ruang Faringeal
Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik
mempunyai arti penting, yaitu (Snell, 2006) :
1. Ruang retrofaring (retropharyngeal space)
Dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri
dari mukosa faring, fasia faringobasilaris, dan otot-otot faring. Ruang ini
berisi jaringan ikat jarang dan fasia prevertebralis. Serat-serat jaringan ikat di
garis tengah mengikatnya pada vertebra.
Ruang retrofaring terdapat pada bagian posterior dari faring, yang
dibatasi oleh :
 Anterior : fasia bukkofaringeal (divisi viscera lapisan media fasia
servikalis profunda) yang mengelilingi faring, trakea, esofagus dan
tiroid
 Posterior : divisi alar lapisan profunda fasia servikalis profunda
 Lateral : selubung karotis (carotid sheath) dan daerah parafaring (fosa
faringomaksila).
Daerah ini meluas mulai dari dasar tengkorak sampai ke mediastinum
setinggi bifurkasio trakea (vertebra torakal I atau II) dimana divisi viscera dan
alar bersatu. Abses retrofaring sering ditemukan pada bayi atau anak.
Kejadiannya ialah karena di ruang retrofaring terdapat kelenjar-kelenjar limfa.
Daerah retrofaring terbagi menjadi dua daerah yang terpisah di bagian lateral
oleh midline raphe. Tiap–tiap bagian mengandung 2–5 buah kelenjar limfe
retrofaring yang biasanya menghilang setelah berumur 4–5 tahun. Kelenjar ini
menampung aliran limfe dari rongga hidung, sinus paranasal, nasofaring,
faring, tuba Eustachius dan telinga tengah. Pada peradangan kelenjar limfa itu,
dapat terjadi supurasi, yang bilamana pecah, nanahnya akan tertumpah di
dalam ruang retrofaring. Daerah ini disebut juga dengan ruang retroviscera,
retroesofagus dan ruang viscera posterior.
2. Ruang parafaring (pharyngomaxillary fossa)
Ruang ini berbentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar
tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os hioid.
Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh m.konstriktor faring superior, batas

7
luarnya adalah ramus asendens mandibula yang melekat dengan
m.pterigoideus interna dan bagian posterior kelenjar parotis.
Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os
stiloid dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (prestiloid) adalah
bagian yang lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akibat
tonsil yang meradang, beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari
karies dentis.
Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi
a.carotis interna, v.jugularis interna, n.vagus, yang dibungkus dalam suatu
sarung yang disebut selubung karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan
dari ruang retrofaring oleh suatu lapisan fasia yang tipis.

Ruang submandibula
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual dan ruang submaksila.
Ruang sublingual dipisahkan dari ruang submaksila oleh otot milohioid. Ruang
submaksila selanjutnya dibagi lagi atas ruang submental dan ruang submaksila
(lateral) oleh otot digastrikus anterior. Ruang mandibular dibatasi pada bagian
lateral oleh garis inferior dari badan mandibula, medial oleh perut anterior
musculus digastricus, posterior oleh ligamen stylohyoid dan perut posterior dari
musculus digastricus, superior oleh m.mylohyoid dan hyoglossus, dan inferior
oleh lapisan superficial dari deep servikal fascia. Ruang ini mengandung glandula
saliva sub mandibular dan sub mandibular lymphanodes (Snell, 2006).
Namun ada pembagian lain yang tidak menyertakan ruang sublingual ke
dalam ruang submandibula, dan membagi ruang submandibula atas ruang
submental dan ruang submaksila saja (Snell, 2006).

II.4 Etiologi dan Patogenesis


Pembentukan abses merupakan hasil perkembangan dari flora normal dalam
tubuh. Flora normal dapat tumbuh dan mencapai daerah steril dari tumbuh baik
secara perluasan langsung maupun melalui laserasi atau perforasi. Berdasarkan
kekhasan flora normal yang ada di bagian tubuh tertentu, maka kuman dari abses
yang terbentuk dapat diprediksi berdasar lokasinya. Sebagian besar abses leher

8
dalam disebabkan oleh campuran berbagai kuman, baik kuman aerob, anaerob,
maupun fakultatif anaerob (Porter, 2005).
Pada kebanyakan membran mukosa, kuman anaerob lebih banyak
dibanding dengan kuman aerob dan fakultatif, dengan perbandingan mulai 10:1
sampai 10000:1. Bakteriologi dari daerah gigi, oro-fasial, dan abses leher, kuman
yang paling dominan adalah kuman anaerob, yaitu Prevotella, Porphyromonas,
Fusobacterium spp, dan Peptostreptococcus spp. Bakteri aerob dan fakultatif
adalah Streptococcus pyogenic dan Stapylococcus aureus (Yang, Lee, & Chen,
2008).
Sumber infeksi paling sering pada abses leher dalam berasal dari infeksi
tonsil dan gigi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran
infeksi dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Apek gigi
molar I yang berada di atas mylohyoid menyebabkan penjalaran infeksi
akanmasuk terlebih dahulu ke daerah sublingual, sedangkan molar II dan III
apeknya berada di bawah mylohyoid sehingga infeksi akan lebih cepat ke
daerah submaksila (Pulungan, 2011).
Pola kuman penyebab abses leher dalam berbeda sesuai dengan sumber
infeksinya. Infeksi yang berasal dari orofaring lebih banyak disebabkan flora
normal di saluran nafas atas seperti Streptococcus dan Stafilococcus. Infeksi yang
berasal dari gigi biasanya lebih dominan kuman anaerob seperti Prevotella,
Fusobacterium spp. (Pulungan, 2011).
Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan, yaitu
hematogen, limfogen, dan celah antar ruang leher dalam. Beratnya
infeksi tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh dan lokasi anatomi.
Infeksi dari submandibula dapat meluas ke ruang mastikor kemudian ke
parafaring. Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari ruang
submandibula. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya
(Pulungan, 2011).

II.5 Manifestasi klinis


Manifestasi klinis terkait kasus abses leher dalam bergantung pada jenis
abses leher dalam yang muncul. Secara umum manifestasi yang dapat muncul

9
antara lain adalah nyeri, kesulitan bernapas, disfagia, leher asimetri, terdapatnya
massa leher, pergeseran dinding faring lateral pada kasus keterlibatan spasium
parafaring, trismus, tortikolis, fluktuasi pada perabaan leher, defisit neurologis,
demam, dan takipnea (Murray,2018) .
Anamnesis pada kasus leher dalam dapat meliputi onset, nyeri, durasi,
riwayat operasi gigi, infeksi saluran napas atas, riwayat trauma leher atau cavitas
oral, kesulitan bernapas, disfagia, dan status imunosupresi dan imunokompromais
(Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012).
Pemeriksaan fisik yang dilakukan pada kasus abses leher dalam ditujukan
untuk mencari lokasi infeksi dan spasium leher dalam mana saja yang terlibat.
Oleh sebab itu pemeriksaan kepala dan leher yang komprehensif harus dilakukan.
Hasil pemeriksaan fisik yang akan ditemukan pada sebagian besar kasus adalah
demam, leukositosis, dan nyeri tekan. Beberapa hal lain yang dapat ditemukan
antara lain , leher asimetri, terdapatnya massa leher dengan pergeseran dinding
faring lateral pada kasus keterlibatan spasium parafaring, trismus, tortikolis,
fluktuasi pada perabaan leher, defisit neurologis, demam, dan takipnea
(Murray,2018).

II.6 Pemeriksaan Penunjang


1. Rontgen servikal lateral
Dapat memberikan gambaran adanya pembengkakan jaringan lunak pada
daerah prevertebra, adanya benda asing, gambaran udara di subkutan, air fluid
levels, erosi dari korpus vertebre. Penebalan jaringan lunak pada prevertebrae
setinggi servikal II (C2), lebih 7 mm, dan setinggi servikal VI yang lebih 14
mm pada anak, lebih 22mm pada dewasa dicurigai sebagai suatu abses
retrofaring (Murray & Marcincuk, 2009).
2. Rontgen Panoramiks
Dilakukan pada kasus abses leher dalam yang dicurigai berasal dari gigi
(Murray & Marcincuk, 2009).
3. Rontgen thoraks

10
Perlu dilakukan untuk evaluasi mediastinum, empisema subkutis,
pendorongan saluran nafas, pneumonia yang dicurigai akibat aspirasi dari
abses (Murray & Marcincuk, 2009).
4. CT Scan
CT Scan dengan kontras merupakan pemeriksaan baku emas pada abses leher
dalam. CT Scan memberikan gambaran abses berupa lesi dengan hipodens,
batas yang lebih jelas, kadang ada air fluid levels. Pemeriksaan CT Scan
thoraks diperlukan jika dicurigai adanya perluasan abses ke mediastinum
(Murray & Marcincuk, 2009).

Gambar 3. Pemindaian CT Menunjukkan Abses Peritonsilar Sinistra

11
Gambar 4. Pemindaian CT Menunjukkan Abses Parafaring

Gambar 5. Pemindaian CT Dengan Kontras Menunjukkan Abses Parafaring


Dengan Rim Enhancement dan Lokulasi Parsial

5. MRI
MRI dapat digunakan dan dapat memberikan gambaran yang baik
terhadap jaringan lunak sehingga dapat memberikan informasi yang baik
terkait regio abses leher dalam yang terlibat. Namun demikian, oleh karena
peningkatan waktu dan biaya, modalitas MRI tidak digunakan sebagai pilihan
pertama pencitraan untuk kasus abses leher dalam (Murray,2018).

12
6. Pemeriksaan ultrasonografi
Dapat digunakan untuk membantu membedakan flegmon dan abses,
memberikan informasi tentang kondisi pembuluh darah di sekitar abses, dan
sebagai pemandu untuk aspirasi jarum halus. Namun demikian, pemeriksaan
ultrasonografi tidak dapat memberikan detail anatomi terkait abses leher
dalam.
7. Pemeriksaan arteriografi dapat digunakan apabila terdapat keterlibatan
pembuluh darah carotis dan jugular.
8. Pemeriksaan bakteriologi pus dari lesi yang dalam. Setelah desinfeksi kulit,
pus dapat diambil dengan aspirasi memakai jarum aspirasi atau dilakukan
insisi. Pus yang diambil sebaiknya tidak terkontaminasi dengan flora normal
yang ada di daerah saluran nafas atas atau rongga mulut. Spesimen yang telah
diambil dimasukkan ke dalam media transportasi yang steril (Yang, 2008).
II.7 Tata Laksana
Prinsip utama adalah menjamin dan memelihara jalan nafas yang
memadai. Jika diperlukan jalan nafas buatan, intubasi endotrakea sulit dilakukan
karena abses merubah atau menyumbat jalan nafas atas. Jika intubasi tidak
mungkin dilakukan, maka dilakukan trakeostomi atau krikotirotomi. Terapi
selanjutnya dimaksudkan untuk mengatasi infeksi dan mencegah komplikasi
(Bailey, 2006).
Pemeriksaan kultur darah serta aspirasi abses dan pemberian antibiotik
serta drainase bedah, diperlukan pada penatalaksanaan infeksi ini. Resusitasi
cairan diperlukan karena hampir selalu terjadi dehidrasi oleh karena intake yang
tidak mencukupi karena seringnya terjadi trismus (Bailey, 2006).
Drainase bedah diindikasikan untuk penderita dengan abses atau ancaman
terjadinya komplikasi. Ruang primer yang terkena dan perluasan keruang lainnya
harus dibuka dan didrainase. Drainase dapat berupa aspirasi abses atau insisi dan
eksplorasi, tergantung pada luasnya abses dan komplikasi yang ditimbulkannya
(Surarso, 2011;Triana, 2011).
Berikut algoritma untuk menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan
infeksi/abses leher dalam (Bailey, 2006; Surarso, 2011).

13
II.8 Pembagian Abses Leher Dalam
Abses leher dalam dapat berupa abses peritonsil, abses retrofaring, abses
parafaring, dan abses submandibular, Angina Ludovici (Soepardi, Iskandar,
Bashiruddin, & Restuti, 2012).

II.8.1 Abses Peritonsil (Quinsy)


II.8.1.1 Definisi
Abses peritonsil merupakan terkumpulnya material purulen yang
terbentuk di luar kapsul tonsil dekat kutub atas tonsil (Porter, 2005).

II.8.1.2 Epidemiologi
Abses peritonsil dapat terjadi pada usia 10–60 tahun, namun paling sering
usia 20–40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka yang
immunocompromized. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama anatara laki-laki
dan perempuan (Porter, 2005).

14
II.8.1.3 Etiologi
Abses biasanya unilateral yang merupakan kumpulan pus antara kapsul
tonsil, otot konstriktor faring superior dan otot palatofaringeus. Abses ini diyakini
muncul akibat penyebaran infeksi dari tonsil atau dari kelenjar mukosa Weber,
yang terletak di bagian superior tonsil. Abses ini paling sering dimulai dari pole
atas tonsil, namun dapat juga menyebar dari pole tengah atau bawah (Soepardi,
Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012).
Patogen penyebab sama dengan patogen penyebab tonsilitis, terutama
Streptococcus, namun tidak jarang infeksi polimikroba dan melibatkan bakteri
anaerob (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012).

II.8.1.4 Patologi
Patofisiologi abses peritonsil belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori
yang paling banyak diterima adalah progresivitas episode tonsillitis eksudatif
pertama menjadi peritonsilitis dan kemudian menjadi pembentukan abses
sebenarnya (Snow & Philip, 2009).
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat longgar,
oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering
menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Walaupun
sangat jarang, abses peritonsil dapat terbentuk di bagian inferior (Soepardi,
Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012).
Pada stadium infiltrat, selain pembengkakan tampak permukaannya
hiperemis. Bila proses berlanjut, terjadi supurasi sehingga daerah tersebut lebih
lunak. Pembengkakan peritonsil akan mendorong tonsil dan uvula ke arah
kontralateral. (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012).
Bila proses berlangsung terus, peradangan jaringan di sekitarnya akan
menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses
dapat pecah spontan dan mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru (Soepardi,
Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012).

15
II.8.1.5 Gejala Klinis
Pasien dengan abses peritonsilar biasanya datang dengan nyeri tenggorok,
nyeri menelan (odinofagi) yang hebat, demam ringan dan dengan berbagai derajat
trismus. Trismus muncul sekunder akibat iritasi m.pterigoideus. Pasien mungkin
juga mengeluhkan nyeri telinga (otalgia) ipsilateral. Ketika abses meluas, pasien
mungkin mengalami disfagia bahkan kesulitan menelan air liur. Pasien sering
mengalami dehidrasi sekunder akibat asupan oral yang kurang. Perubahan suara
sering terjadi (hot potato voice) yang disebabkan oleh insufisiensi velopharyngeal
sementara dan resonansi mulut yang tertahan. Napas berbau juga sering terjadi.
Limfadenopati servikal anterior ipsilateral sering muncul. Apabila demam ≥39,4°
C harus dicurigai adanya perluasan ke parafaring dan sepsis (Soepardi, Iskandar,
Bashiruddin, & Restuti, 2012).

Gambar 6. Abses Peritonsil

II.8.1.6 Pemeriksaan
Kadang-kadang sukar memeriksa seluruh faring dikarenakan trismus.
Palatum mole tampak membengkak dan menonjol ke depan, dapat teraba
fluktuasi. Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Tonsil bengkak,
hiperemis, mungkin banyak detritus dan terdorong ke arah tengah, depan dan
bawah (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012).

16
II.8.1.7 Penatalaksanaan
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika golongan penisilin atau
klindamisin dan obat simtomatik. Juga perlu kumur dengan air hangat dan
kompres dingin pada leher. Bila telah terbentuk abses, memerlukan pembedahan
drainase, baik dengan teknik aspirasi jarum atau dengan teknik insisi dan drainase.
Tempat insisi ialah di daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada
pertengahan garis yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir
pada sisi yang sakit (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012).
Bila terdapat trismus, pembedahan drainase dilakukan setelah pemberian
cairan kokain 4% pada daerah insisi dan daerah ganglion sfenopalatina pada fosa
nasalis. Kemudian pasien dianjurkan untuk operasi tonsilektomi “a” chaud. Bila
tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah drainase abses disebut tonsilektomi “a”
tiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut
tonsilektomi “a” froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi
tenang, yaitu 2―3 minggu sesudah drainase abses (Soepardi, Iskandar,
Bashiruddin, & Restuti, 2012).
Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses
peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya.
Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini
belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil.
Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 6–8 minggu kemudian mengingat
kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan sebagian lagi
menganjurkan tonsilektomi segera.

II.8.1.8 Komplikasi
Abses pecah spontan dapat mengakibatkan perdarahan, aspirasi paru atau
piemia. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring sehingga terjadi abses
parafaring. Pada penjalaran selanjutnya, masuk ke mediastinum sehingga terjadi
mediastinitis. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakrnial, dapat mengakibatkan
trombus sinus kavernosus, meningitis dan abses otak (Soepardi, Iskandar,
Bashiruddin, & Restuti, 2012).

17
II.8.2 Abses Retrofaring
II.8.2.1 Definisi
Abses retrofaringeal adalah kumpulan nanah di ruang retrofaring. Hal ini
terjadi dalam dua bentuk yaitu abses retrofaring akut primer yang biasa terjadi
pada bayi dan anak (usia <5 tahun) dan abses retrofaring kronis yang umumnya
terjadi pada dewasa (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012).
Abses ini biasanya ditemukan pada anak yang berusia <5 tahun karena pada
usia tersebut, ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfa, masing-masing 2–5
buah pada sisi kanan dan kiri. Kelenjar ini menampung aliran limfa dari hidung,
sinus paranasal, nasofaring, faring, tuba Eustachius dan telinga tengah. Pada usia
>6 tahun, kelenjar limfa akan mengalami atrofi (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin,
& Restuti, 2012).

II.8.2.2 Etiologi
Bakteri penyebab abses retrofaring adalah aerob, anaerob maupun
campuran keduanya. Kuman aerob yang sering ditemukan adalah Streptococcus
pyogenes, Staphylococcus, Dipteroid, Klebsiela dan Haemophilus. Kuman
anaerob yang sering ditemukan adalah Bacteroides Sp dan Bacteroides
melaninogenicus. Kuman anaerob menyebarkan bau yang khas, tetapi jika tidak
timbul bau yang khas belum dapat disingkirkan bahwa penyebabnya bukan kuman
anaerob (Al-Sabah et al., 2004; Avecedo JL et al., 2009).
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring
adalah (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012) :
 Infeksi saluran napas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring
 Trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan atau
tindakan medis, seperti adenoidektomi, intubasi endotrakea dan endoskopi
 Tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas (abses dingin)

II.8.2.3 Gejala Klinis


Gejala utama berupa rasa nyeri (odinofagia) dan sukar menelan (disfagia) di
samping juga gejala-gejala lain berupa demam, pergerakan leher terbatas, dan
sesak napas. Sesak napas timbul jika abses sudah menimbulkan sumbatan jalan

18
nafas, terutama di hipofaring. Bila peradangan sudah sampai laring, dapat timbul
stridor. Sumbatan oleh abses juga dapat mengganggu resonansi suara sehingga
terjadi perubahan suara (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012).
Abses retrofaring sebaiknya dicurigai jika pada bayi atau anak kecil terdapat
demam yang tidak dapat dijelaskan setelah infeksi pernapasan bagian atas dan
terdapat gejala-gejala hilangnya nafsu makan, anak menangis terus, perubahan
dalam berbicara, dan kesulitan menelan (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, &
Restuti, 2012).

II.8.2.4 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis berupa adanya riwayat infeksi
saluran napas bagian atas dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan rontgen soft
tissue cervical lateral yang akan menampakkan adanya pelebaran ruang
retrofaring >7 mm pada anak dan dewasa serta pelebaran retrotrakeal >14 mm
pada anak dan >22 mm pada orang dewasa. Selain itu juga daapat dilihat
berkurangnya lordosis vertebrae servikal. Pada pemeriksaan fisik didapatkan
pembengkakan dinding posterior faring.

Gambar 7. Rontgen Soft Tissue Servikal Lateral Tampak Pelebaran Ruang


Retrofaring

II.8.2.5 Penatalaksanaan
Terapi dengan medikamentosa, yakni antibiotika dosis tinggi untuk kuman
aerob dan anaerob yang diberikan secara parenteral serta tindakan bedah. Pungsi
dan insisi abses dilakukan melalui laringoskop langsung dalam posisi pasien

19
Trendelenburg. Pus yang keluar segera diisap, agar tidak terjadi aspirasi.
Tindakan dapat dilakukan dalam analgesia lokal atau umum (Soepardi, Iskandar,
Bashiruddin, & Restuti, 2012).

II.8.2.6 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, &
Restuti, 2012) :
 Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring dan ruang vaskuler visera,
sehingga terjadi abses parafaring. Kemudian dapat terjadi penjalaran ke
mediastinum sehingga terjadi mediastinitis
 Obstruksi jalan napas sampai asfiksia
 Bila abses pecah spontan dapat mengakibatkan pneumonia aspirasi dan abses
paru

II.8.3 Abses Parafaring


II.8.3.1 Definisi
Abses parafaring yaitu peradangan yang disertai pembentukan pus pada
ruang parafaring. Ruang Parafaring berhubungan dengan setiap ruang leher dalam
lainnya dan juga berhubungan dengan ruang karotid. Akibatnya infeksi berasal
dari ruang mastikator, parotis, ruang submandibula, sublingual, ruang retrofaring
dan peritonsil semua dapat menyebar ke ruang ini (Soepardi, Iskandar,
Bashiruddin, & Restuti, 2012).

II.8.3.2 Etiologi
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara (Soepardi, Iskandar,
Bashiruddin, & Restuti, 2012) :
1) Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi
dengan analgesia. Peradangan terjadi karena jarum suntik yang telah
terkontaminasi kuman menembus lapisan otot tipis (m. konstriktor faring
superior) yang memisahkan ruang parafaring dari fosa tonsilaris.

20
2) Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung,
sinus paranasal, mastoid dan vertebra servikal dapat merupakan sumber
infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring.
3) Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula.

II.8.3.3 Gejala Klinis dan Tanda


Gejala utama abses parafaring berupa demam, trismus, indurasi atau
pembengkakan di sekitar angulus mandibula, nyeri tenggorok, odinofagi dan
disfagia (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012). Pada pemeriksaan
fisik didapatkan pembengkakan di daerah parafaring, pendorongan dinding lateral
faring ke medial, dan angulus mandibula tidak teraba. Pada abses parafaring yang
mengenai daerah prestiloid akan memberikan gejala trismus yang lebih jelas
(Porter, 2005).

Gambar 8. Abses Parafaring

II.8.3.4 Penatalaksanaan
Selain pemberian antibiotika dosis tinggi, evakuasi abses harus segera
dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan antibiotika dalam 24−48 jam dengan
cara eksplorasi dalam narkosis. Drainase sebaiknya dilakukan melalui insisi
servikal pada 2½ jari di bawah dan sejajar mandibula. Secara tumpul eksplorasi
dilanjutkan dari batas anterior M. Sternocleidomastoideus ke arah atas belakang
menyusuri bagian medial mandibula dan M. Pterigoideus interna mencapai
mencapai ruang parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat
di dalam selubung karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi

21
horizontal ke bawah di depan M. Sternocleidomastoideus (Soepardi, Iskandar,
Bashiruddin, & Restuti, 2012).

II.8.3.5 Komplikasi
Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen atau
perkontinuatum ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan
peradangan intrakranial, ke bawah menyusuri selubung karotis mencapai
mediastinum (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012).
Abses juga dapat menyebabkan kerusakan dinding pembuluh darah. Bila
pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi ruptur dan terjadi perdarahan
hebat. Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis dan
septikemia (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012).

2.8.4 Abses Submandibula


2.8.4.1 Definisi
Abses submandibula adalah terkumpulnya pus pada ruang submandibula.
Ruang submandibula terdiri dari ruang sublingual yang berada di atas otot
milohioid dan ruang submaksila (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti,
2012).

2.8.4.2 Etiologi
Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur atau
kelenjar limfe submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi infeksi
ruang leher dalam lain. Kuman penyebab biasanya campuran kuman aerob dan
anaerob (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012).

2.8.4.3 Patogenesis
Penyebab abses ini yang paling sering adalah infeksi gigi. Nekrosis pulpa
karena karies dalam yang tidak terawat dan periodontal pocket dalam merupakan
jalan bakteri untuk mencapai jaringan periapikal. Karena jumlah bakteri yang
banyak, maka infeksi yang terjadi akan menyebar ke tulang spongiosa sampai

22
tulang kortikal. Jika tulang ini tipis, maka infeksi akan menembus dan masuk ke
jaringan lunak. Penyebaran infeksi ini tergantung dari daya tahan jaringan tubuh
(Boies, 2012).
Odontogen dapat menyebar melalui jaringan ikat (perkontinuitatum),
pembuluh darah (hematogenous), dan pembuluh limfe (limfogenous). Yang paling
sering terjadi adalah penjalaran secara perkontinuitatum karena adanya
celah/ruang di antara jaringan yang berpotensi sebagai tempat berkumpulnya pus.
Penjalaran infeksi pada rahang atas dapat membentuk abses palatal, abses
submukosa, abses gingiva, cavernous sinus thrombosis, abses labial, dan abses
fasial. Penjalaran infeksi pada rahang bawah dapat membentuk abses subingual,
abses submental, abses submandibular, abses submaseter, dan angina Ludwig.
Ujung akar molar kedua dan ketiga terletak di belakang bawah linea mylohyoidea
(tempat melekatnya m. mylohyoideus) yang terletak di aspek dalam mandibula,
sehingga jika molar kedua dan ketiga terinfeksi dan membentuk abses, pusnya
dapat menyebar ke ruang submandibula dan dapat meluas ke ruang parafaringal
(Boies, 2012).
Selain infeksi gigi abses ini juga dapat disebabkan pericoronitis, yaitu suatu
infeksi gusi yang disebabkan erupsi molar ketiga yang tidak sempurna. Infeksi
pada ruang submental biasanya terbatas karena ada kesatuan yang keras dari fasia
servikal profunda dengan m.digastricus anterior dan tulang hyoid. Edema dagu
dapat terbentuk dengan jelas (Boies, 2012).
Infeksi pada ruang submaksilar biasanya terbatas di dalam ruang itu sendiri,
tetapi dapat pula menyusuri sepanjang duktus submaksilar Whartoni dan
mengikuti struktur kelenjar menuju ruang sublingual, atau dapat juga meluas ke
bawah sepanjang m. hyoglossus menuju ruang-ruang fasia leher (Boies, 2012).

23
Gambar 9. Penyebaran Pembengkakan Akibat Abses di Ruang Sublingual dan
Submandibular

2.8.4.4 Gejala Klinis


Pasien biasanya akan mengeluh nyeri di rongga mulut dan leher serta air liur
banyak. Pada pemeriksaan fisik didapatkan pembengkakan di daerah
submandibula, fluktuatif, lidah terangkat ke atas dan terdorong ke belakang,
angulus mandibula dapat diraba. Pada aspirasi didapatkan pus (Soepardi,
Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012).
Pada abses submandibula didapatkan pembengkakan di bawah dagu atau di
bawah lidah baik unilateral atau bilateral, disertai rasa demam, nyeri tenggorok
dan trismus. Mungkin didapatkan riwayat infeksi atau cabut gigi. Pembengkakan
dapat berfluktuasi atau tidak (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012).

Gambar 10. Abses Submandibula

2.8.4.5 Penatalaksanaan

24
Antibiotik dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus diberikan
secara parenteral. Hal yang paling penting adalah terjaganya saluran nafas yang
adekuat dan drainase abses yang baik. Seharusnya pemberian antibiotik
berdasarkan hasil biakan kuman dan tes kepekaan terhadap bakteri penyebab
infeksi, tetapi hasil biakan membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan
hasilnya, sedangkan pengobatan harus segera diberikan. Sebelum hasil
mikrobiologi ada, diberikan antibiotik kuman aerob dan anaerob (Soepardi,
Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012).
Evakuasi abses dapat dilakukan dalam anastesi lokal untuk abses yang
dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi dalam narkosis bila letak abses dalam
dan luas. Adanya trismus menyulitkan untuk masuknya pipa endotrakea peroral.
Pada kasus demikian diperlukan tindakan trakeostomi dalam anastesi lokal. Jika
terdapat fasilitas bronkoskopi fleksibel, intubasi pipa endotrakea dapat dilakukan
secara intranasal. Insisi abses submandibula untuk drainase dibuat pada tempat
yang paling berfluktuasi atau setinggi os hyoid, tergantung letak dan luas abses.
Eksplorasi dilakukan secara tumpul sampai mencapai ruang sublingual, kemudian
dipasang salir (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012).

2.8.5 Angina Ludovici


2.8.5.1 Definisi
Angina Ludovici ialah infeksi ruang submandibular berupa selulitis dengan
tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang submandibula, tidak membentuk
abses, sehingga keras pada perabaan submandibula (Soepardi, Iskandar,
Bashiruddin, & Restuti, 2012).

2.8.5.2 Epidemiologi
Sebagian besar kasus angina Ludwig terjadi pada orang sehat. Faktor
predisposisinya termasuk diabetes mellitus, neutropenia, alkoholisme, anemia
aplastik, glomerulonefritis, dermatomiositis, dan Sistemik Lupus Erythematosus.
Sebagian besar pasien yang terkena di antara usia 20 dan 60 tahun. Ditemukan
laki-laki mendominasi dalam terjadinya Angina Ludwig (Lenorick, 2012).

25
2.8.5.3 Etiologi
Angina Ludwig paling sering terjadi akibat infeksi yang berasal dari gigi
geligi (80%), tetapi dapat juga terjadi sebagai akibat proses supuratif nodi
limfasiti servikalis pada ruang submandibularis. Angina Ludwig yang disebabkan
oleh infeksi odontogenik berasal dari gigi molar kedua dan ketiga bawah, dimana
gigi ini memiliki akar yang berada di atas otot milohioid dan abses di lokasi ini
dapat menyebar ke ruang submandibular. Infeksi biasanya disebabkan oleh bakteri
Streptococcus, Stafilococcus, Bacteroides ( Balakrishnan, 2014).
Penyebab lain dari Angina Ludwig adalah sialadenitis, abses peritonsil,
fraktur terbuka mandibular, kista duktus tiroglosal yang terinfeksi, epiglotitis,
injeksi intravena di leher, bronkoskopi yang menyebabkan trauma, intubasi trakea
(Balakrishnan, 2014).

2.8.5.4 Gejala Klinis


Gejala klinis dari penyakit ini ditandai dengan adanya selulitis yang
meluas, sehingga menyebabkan pembengkakan pada dasar mulut, lidah dan
region submandibular sehingga dapat menyebabkan obstruksi jalan napas,
penyebaran infeksi ke jaringan leher yang lebih dalam ataupun menyebabkan
mediastenitis yang berpotensi fatal. Dari hasil pemeriksaan fisik, didapaztkan
lebih dari 95% pasien dengan pembengkakan submandibula bilateral dan
pembengkakan dasar mulut yang menyebabkan lidah terangkat (Soni et al., 2014).
Gejala lainnya adalah edem jaringan leher depan diatas tulang hyoid yang
memberikan gambaran “bulls neck”. Demam, takikardi, takipnea, dan dapat pula
disertai gangguan cemas dan agitasi. Bengkak dan nyeri pada dasar mulut dan
leher, sulit menelan, nyeri menelan, berliur, trismus, dan nyeri gigi. Hoarseness,
stridor, distress pernapasa, sianosis dan postur tubuh mengendur. Selain itu, gejala
disfonia juga dapat muncul akibat edema plika vokalis, tanda ini merupakan tanda
bahaya bagi klinisi oleh karena potensi sumbatan jalan napas (Soni et al., 2014).

2.8.5.5 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat sakit gigi, mengorek atau cabut
gigi, dengan gejala dan tanda klinik. Ada lima kriteria yang dikemukakan

26
Grodinsky untuk membedakan angina Ludwig dengan bentuk lain dari infeksi
leher dalam. Infeksi pada angina Ludwig harus memenuhi kriteria (Balakrishnan,
2014):
1. Proses selulitis dari ruang submandibula, bukan pembentukan abses
2. Melibatkan hanya ruang submandibula secara bilateral
3. Terdapat gangren serosanguis, infiltrasi pus sedikit/tidak ada
4. Melibatkan jaringan ikat, fascia, dan muskulus tetapi tidak melibatkan
glandula
5. Penyebaran secara langsung, bukan secara limfatik

2.8.5.6 Penatalaksanaan
Penatalaksaan angina Ludwig memerlukan tiga fokus utama, yaitu (Winter
S, 2003) :
1. Menjaga patensi jalan napas.
2. Terapi antibiotik secara progesif, dibutuhkan untuk mengobati dan membatasi
penyebaran infeksi.
3. Dekompresi ruang submandibular, sublingual, dan submental.
Trakeostomi awalnya dilakukan pada kebanyakan pasien, namun dengan
adanya teknik intubasi serta penempatan fiber-optic Endotracheal Tube yang
lebih baik, maka kebutuhan akan trakeostomi berkurang. Intubasi dilakukan
melalui hidung dengan menggunakan teleskop yang fleksibel saat pasien masih
sadar dan dalam posisi tegak. Jika tidak memungkinkan, dapat dilakukan
krikotiroidotomi atau trakheotomi dengan anestesi lokal (Winter S, 2003).
Pemberian dexamethasone IV selama 48 jam, disamping terapi antibiotik
dan operasi dekompresi, dilaporkan dapat membantu proses intubasi dalam
kondisi yang lebih terkontrol, menghindari kebutuhan akan
trakeostomi/krikotiroidotomi, serta mengurangi waktu pemulihan di rumah sakit.
Diawali dengan dosis 10 mg, lalu diikuti dengan pemberian dosis 4 mg tiap 6 jam
selama 48 jam (Winter S, 2003).
Setelah patensi jalan napas telah teratasi, maka antibiotik IV segera
diberikan. Awalnya pemberian Penicillin G dosis tinggi (2–4 juta unit IV terbagi
setiap 4 jam) merupakan lini pertama pengobatan angina Ludwig. Namun, dengan

27
meningkatnya prevalensi produksi beta-laktamase terutama pada Bacteroides sp,
penambahan metronidazole, clindamycin, cefoxitin, piperacilin-tazobactam,
amoxicillin-clavulanate harus dipertimbangkan. Kultur darah dapat membantu
mengoptimalkan regimen terapi (Winter S, 2003).
Selain itu, dilakukan pula eksplorasi dengan tujuan dekompresi (mengurangi
ketegangan) dan evaluasi pus, di mana pada umumnya angina Ludwig jarang
terdapat pus atau jaringan nekrosis. Eksplorasi lebih dalam dapat dilakukan
memakai cunam tumpul. Jika terbentuk nanah, dilakukan insisi dan drainase.
Insisi dilakukan di garis tengah secara horizontal setinggi os hyoid (3–4 jari di
bawah mandibula). Insisi dilakukan di bawah dan paralel dengan corpus
mandibula melalui fascia dalam sampai kedalaman kelenjar submaksila. Insisi
vertikal tambahan dapat dibuat di atas os hyoid sampai batas bawah dagu. Jika
gigi yang terinfeksi merupakan fokal infeksi dari penyakit ini, maka gigi tersebut
harus diekstraksi untuk mencegah kekambuhan. Pasien di rawat inap sampai
infeksi reda (Raharjo, 2010).

Gambar 11. Kondisi Pasien Post-Trakeostomi namun Masih Membutuhkan


Drainase Abses. Tampak depan dan samping menunjukkan pembengkakkan
submandibular dan sublingual.

28
Gambar 12. Kondisi Pasien 3 Hari Post-Operasi. Memperlihatkan drainase
submandibula bilateral dan occluded tracheostomy tube

2.8.5.7 Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi ialah (Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, &
Restuti, 2012) :
1. Sumbatan jalan napas
2. Penjalaran abses ke ruang leher dalam lain dan mediastinum
3. Sepsis

2.8.5.8 Prognosis
Prognosis angina Ludwig tergantung pada kecepatan proteksi jalan napas
untuk mencegah asfiksia, eradikasi infeksi dengan antibiotik, serta pengurangan
radang. Sekitar 45–65% penderita memerlukan insisi dan drainase pada area yang
terinfeksi, disertai dengan pemberian antibiotik untuk memperoleh hasil
pengobatan yang lengkap. Selain itu, 35% dari individu yang terinfeksi
memerlukan intubasi dan trakeostomi (Porter, 2005).
Angina Ludwig dapat berakibat fatal karena membahayakan jiwa. Kematian
pada era preantibiotik sekitar 50%. Namun dengan diagnosis dini, perlindungan
jalan nafas yang segera ditangani, pemberian antibiotik intravena yang adekuat
serta penanganan dalam ICU, penyakit ini dapat sembuh tanpa mengakibatkan
komplikasi. Begitu pula angka mortalitas dapat menurun hingga kurang dari 5%
(Porter, 2005).

29
2.9 Komplikasi
Secara umum, komplikasi yang dapat muncul adalah obstruksi jalan napas,
paresis mandibula, jaringan granulasi, perdarahan, dan kematian (Soepardi,
Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012).

Komplikasi yang dapat muncul dari kasus abses peritonsil adalah


pecahnya abses yang menyebabkan aspirasi paru dan perdarahan, penyebaran
infeksi dan abses ke daerah parafaring sehingga terjadi abses parafaring,
penjalaran ke mediastinum sehingga terjadi mediastinitis, penjalaran ke kranial
yang dapat mengakibatkan trombus sinus cavernosus, meningitis, dan abses otak.
Komplikasi yang dapat muncul dari abses retrofaring adalah penyebaran
infeksi ke ruang parafaring, ruang vaskuler viscera, mediastinitis, obstruksi jalan
napas, pneumonia aspirasi (bila terjadi pecah abses spontan), dan abses paru.
Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus angina Ludovici adalah sumbatan jalan
napas, penjalaran abses ke ruang leher dalam lain dan mediastinum, dan sepsis
(Soepardi, Iskandar, Bashiruddin, & Restuti, 2012).

2.10 Prognosis
Prognosis abses leher dalam baik bila didiagnosis secara dini dan ditangani
secara optimal (Motahari et al,2014).

30
BAB III
KESIMPULAN

Abses leher dalam adalah abses yang melibatkan regio leher dalam yang
terbentuk di dalam ruang potensial di antara fascia leher dalam sebagai akibat
penjalaran infeksi dari berbagai sumber seperti gigi, mulut, tenggorokan, sinus
paranasal, telinga tengah, dan leher.
Diagnosis dini dan tata laksana awal adalah kunci kesuksesan menangani
abses leher dalam. Diagnosis dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang tersebut meliputi pemeriksaan
darah dan pencitraan radiologis.
Tata laksana abses leher dalam meliputi tata laksana medikamentosa dan
tata laksnaa non-medikamentosa. Tata laksana medikamentosa paling utama
adalah pemberian antibiotik sistemik intravena yang sesuai dengan patogen
penyebab, sedangkan tata laksana non-medika mentosa utama adalah insisi
drainase. Apabila tidak ditangani dengan baik, maka dapat timbul komplikasi
abses leher dalam berupa penyebaran ke bagian dalam leher lainnya maupun
penyebaran hematogen sehingga terjadi septikemia yang dapat berujung pada
kematian.
Prognosis pasien dengan abses leher dalam akan baik apabila keadaan ini
diketahui sejak awal dan ditatalaksana sedini mungkin.

31
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Brito, T. P., Hazboun, I. M., Fernandes, F. L., Bento, L. R., Zappelini, C.


E., Chone, C. T., et al. (2017). Deep Neck Abscesses: Study of 101 Cases.
Braz J Otorhinolaryngology, 341-348.

2. Huang TT, Tseng FY, Yeh TH, Hsu CJ, Cen YS. Factors affecting the
bacteriology of deep neck infection: a retrospective study of 128
patients. Acta Otolaryngol. 2006;126(4):396–401. doi:
10.1080/00016480500395195.

3. Klug TE, Fischer AS, Antonsen C, Rusan M, Eskildsen H et al.


Parapharyngeal abscess is frequently associated with concomitant
peritonsillar abscess. Eur Arch Otorhinolaryngol. 2014; 271:1701–1707

4. Lenorick, D. M. (2012). Ludwig’s Angina: Diagnosis and Treatment.


Hospital Physician, 31-37.

5. Murray A.D. MD, Marcincuk M.C. MD. Deep neck infections. [update
July 2009; cited July 16th, 2018] Available from: http://www.eMedicine
Specialties//Otolaringology and facial plastic surgery.com

6. Snell, R. S. (2006). Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6.


Jakarta: EGC.

7. Snow, J. B., & Philip, A. (2009). Ballenger's Otorhinolaryngology: Head


and Neck Surgery. PMPH.

8. Soepardi, E. A., Iskandar, N., Bashiruddin, J., & Restuti, R. D. (2012).


Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher
Edisi Ketujuh. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

32

Anda mungkin juga menyukai