Anda di halaman 1dari 58

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan dan
kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan yang optimal,
pada akhirnya meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Arah kebijakan pembangunan
bidang kesehatan adalah untuk mempertinggi derajat kesehatan, termasuk didalamnya
keadaan gizi masyarakat dalam rangka meningkatkan kualitas hidup serta kecerdasan dan
kesejahteraan pada umumnya (Depkes RI, 2003).
Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya manusia. Kekurangan gizi
akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan perkembangan kecerdasaan,
menurunkan produktifitas kerja serta menurunkan daya tahan tubuh yang berakibat
meningkatnya angka kesakitan dan kematian (Direktorat Gizi RI, 2004).
Masa balita merupakan periode penting dalam tumbuh kembang anak. Akan tetapi
pada masa ini anak balita merupakan kelompok yang rawan gizi. Hal tersebut disebabkan
pada masa ini anak cenderung susah untuk makan dan hanya suka pada jajanan yang
kandungan zat gizinya tidak baik. Masa balita sering dinyatakan sebagai masa kritis dalam
rangka mendapatkan sumber daya manusia yang berkualitas, terlebih pada periode dua
tahun pertama merupakan masa emas untuk pertumbuhan dan perkembangan otak yang
optimal. Gambaran keadaan gizi balita diawali dengan cukup banyaknya bayi dengan Berat
Badan Lahir Rendah (BBLR), dimana presentasi BBLR di Indonesia sebesar 10,2 %
(Riskesdas, 2013)
Menurut WHO (2016) penyebab utama kematian anak di bawah umur lima tahun
adalah penyakit diare, pneumoni dan TB paru pada anak. Selain itu, rendahnya pemberian
ASI eksklusif kepada balita di keluarga menjadi salah satu pemicu rendahnya status gizi
balita (Depkes, 2002).
Berdasarkan data WHO tahun 2017 Indonesia menduduki peringkat ke 3 tertinggi
penderita TB. Pada anak, TBC secara umum dikenal dengan istilah “flek paru-paru”.
Tuberkulosis pada anak juga mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan orang
dewasa, baik dalam aspek diagnosis, pengobatan, pencegahan, maupun TBC pada kasus

1
khusus, misalnya pada anak dengan infeksi HIV (Anonima, 2011). Selain itu, pemeriksaan
TBC yang memerlukan sampel dahak dari anak masih sulit diterapkan karena anak kecil
sulit mengeluarkan dahak. Akibatnya, kesulitan dan keraguan dalam diagnosis seringkali
menimbulkan terjadinya over diagnosis dan over treatment dalam penanganan TBC anak.
Usia anak merupakan usia yang sangat rawan terhadap penularan penyakit tuberkulosis.
Angka penularan dan bahaya penularan yang tinggi terdapat pada golongan umur 0-6 tahun
(Anonim, 2011).
World Health Organization (WHO) menjelaskan bahwa permasalahan gizi dapat
ditunjukkan dengan besarnya angka kejadian gizi buruk di negara tersebut. Sebanyak 3,8%
balita mempunyai status gizi buruk dan 14,0% balita mempunyai status gizi kurang.
Persentase underweight/berat badan kurang/gizi kurang (gizi buruk + gizi kurang) pada
kelompok balita (17,8%) lebih tinggi dibandingkan kelompok baduta (14,8%). Sebanyak
9,8% balita mempunyai status gizi sangat pendek dan 19,8% balita mempunyai status gizi
pendek. Persentase stunting/pendek (sangat pendek+pendek) pada kelompok balita (29,6%)
lebih tinggi dibandingkan kelompok baduta (20,1%). Sebanyak 2,8% balita mempunyai
status gizi sangat kurus dan 6,7% balita mempunyai status gizi kurus (Pemantauan Status
Gizi, 2017).

Persentase wasting/kurus (sangat kurus+kurus) pada kelompok balita

(9,5%) lebih rendah dibandingkan kelompok baduta (12,8%). Diantara 33

provinsi di Indonesia,18 provinsi memiliki prevalensi gizi buruk-kurang di atas

angka prevalensi nasional yaitu berkisar antara 21,2 persen sampai dengan 33,1

persen. Nusa Tenggara Barat berada pada posisi ke 9 dari 18 provinsi di

Indonesia. Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi pendek

sebesar 30 – 39 persen dan serius bila prevalensi pendek ≥40 persen (WHO

2010). Sebanyak 14 provinsi termasuk kategori berat, dan sebanyak 15 provinsi

termasuk kategori serius dan salaha satunya yaitu Provinsi Nusa Tenggara Barat.

(Riskesdas, 2013)

2
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian permasalahan di atas maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah “Bagaimana Gambaran Status Gizi dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Gizi
Anak Balita di Wilayah Kerja Posyandu desa Nijang kecamatan Unter Iwes?”

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui gambaran status gizi dan faktor-faktor yang mempengaruhi status
gizi anak usia 6 bulan – 5 tahun di Wilayah Kerja Posyandu desa Nijang kecamatan
Unter Iwes.
1.3.2. Tujuan Khusus
1.3.2.1. Mengetahui karakteristik anak berdasarkan umur di wilayah kerja
posyandu desa Nijang Kecamatan Unter Iwes.
1.3.2.2. Mengetahui karakteristik anak balita berdasarkan jenis kelamin di wilayah
kerja posyandu desa Nijang Kecamatan Unter Iwes.
1.3.2.3. Mengetahui karakteristik anak balita berdasarkan berat badan lahir di
wilayah kerja posyandu desa Nijang Kecamatan Unter Iwes.
1.3.2.4. Mengetahui karakteristik anak balita berdasarkan riwayat diare di wilayah
kerja posyandu desa Nijang Kecamatan Unter Iwes.
1.3.2.5. Mengetahui karakteristik anak balita berdasarkan riwayat pneumonia di
wilayah kerja posyandu desa Nijang Kecamatan Unter Iwes.
1.3.2.6. Mengetahui karakteristik anak balita berdasarkan riwayat TB di wilayah
kerja posyandu desa Nijang Kecamatan Unter Iwes.
1.3.2.7. Mengetahui karakteristik anak balita berdasarkan status pemberian Asi
Ekslusif di wilayah kerja posyandu desa Nijang Kecamatan Unter Iwes.
1.3.2.8. Mengetahui karakteristik anak balita berdasarkan umur pemberian MP-
ASI di wilayah kerja posyandu desa Nijang Kecamatan Unter Iwes.
1.3.2.9. Mengetahui karakteristik anak balita berdasarkan status pemberian
imunisasi di wilayah kerja posyandu desa Nijang Kecamatan Unter Iwes.

3
1.3.2.10. Mengetahui karakteristik ibu balita berdasarkan umur di wilayah kerja
posyandu desa Nijang Kecamatan Unter Iwes.
1.3.2.11. Mengetahui karakteristik ibu balita berdasarkan tingkat pendidikan di
wilayah kerja posyandu desa Nijang Kecamatan Unter Iwes.
1.3.2.12. Mengetahui karakteristik ibu balita berdasarkan tingkat pengetahuan
mengenai gizi di wilayah kerja posyandu desa Nijang Kecamatan Kerato.
1.3.2.13. Mengetahui karakteristik ibu balita berdasarkan status pekerjaan di
wilayah kerja posyandu desa Nijang Kecamatan Unter Iwes.
1.3.2.14. Mengetahui karakteristik berdasarkan jumlah anak dalam keluarga di
wilayah kerja posyandu desa Nijang Kecamatan Unter Iwes.

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1. Manfaat bagi peneliti
1.4.1.1.1. Menambah pengetahuan dan untuk mengetahui berbagai masalah
tentang gizi pada anak balita.
1.4.1.1.2. Meningkatkan wawasan penulis tentang faktor apa saja yang
berhubungan dengan status gizi pada anak balita dan mampu mengenali
permasalahan yang ada di masyarakat.
1.4.2. Manfaat bagi masyarakat (orang tua)
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi anak balita sehingga mampu
melakukan upaya agar terhindar dari malnutrisi.
1.4.3. Manfaat bagi puskesmas
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai salah satu
pertimbangan dalam pengambilan kebijakan dan memperoleh alternatif cara
intervensi yang terintegrasi di Puskesmas Unter Iwes.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Status Gizi


2.1.1. Definisi
Anak usia balita termasuk dalam kelompok rentan atau rawan gizi.
Menurut Sediaoetama (2000), kelompok rentan gizi adalah kelompok masyarakat
yang paling mudah menderita kelainan gizi, bila suatu masyarakat terkena
kekurangan penyediaan bahan makanan. Pertumbuhan dan perkembangan sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor internal maupun eksternal. Salah
satu faktor eksternal adalah nutrisi yang didapat oleh anak (Supartini, 2002).

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat-zat gizi (Almatsier, 2004). Status gizi ini menjadi penting karena
merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya kesakitan dan kematian.
Status gizi yang baik bagi seseorang akan berkontribusi terhadap kesehatannya
dan juga terhadap kemampuan dalam proses pemulihan. Status gizi masyarakat
dapat diketahui melalui penilaian konsumsi pangannya berdasarkan data
kuantitatif maupun kualitatif. (Achadi, 2007).

Status gizi balita menurut WHO adalah mencocokkan umur anak (dalam
bulan) dengan berat atau tinggi badan standar tabel WHO-NCHS (World Health
Organitation-National Center For Health Statistics). Jika hasil berat badan anak
setelah dicocokkan dengan tabel WHO-NCHS masih kurang maka status gizi
balita tersebut dinyatakan kurang. Begitu pula dengan tinggi badan, jika setelah
dicocokkan tinggi badan balita masih kurang, maka termasuk pendek (stunted).

Ketidakseimbangan (kelebihan atau kekurangan) antara zat gizi dengan


kebutuhan tubuh akan menyebabkan kelainan patologi bagi tubuh. Keadaan
demikian disebut malnutrition (gizi salah atau kelainan gizi). Secara umum,
bentuk kelainan gizi digolongkan menjadi 2 yaitu overnutrition (kelebihan gizi)
dan undernutrition (kekurangan gizi). Overnutrition adalah suatu keadaan tubuh
akibat mengkonsumsi zat-zat gizi tertentu melebihi kebutuhan tubuh dalam

5
waktu yang relatif lama. Undernutrition adalah keadaan tubuh yang disebabkan
oleh asupan zat gizi sehari-hari yang kurang sehingga tidak dapat memenuhi
kebutuhan tubuh (Gibson, 2005).

2.1.2. Klasifikasi Status Gizi


Klasifikasi status gizi sangat ditentukan oleh cut-off point (batas ambang).
Beberapa klasifikasi status gizi yang umum digunakan antara lain:

Tabel 2.1 Klasifikasi Status Gizi

Klasifikasi Status Indeks Yang Baku Acuan Klasifikasi

Gizi Digunakan Yang Digunakan

Gomez BB/U Harvard Persentil 50 Kategori Kep:

Normal, Ringan,

Sedang Dan

Berat.

Wellcome Trust BB/U Harvard Persentil 50 Kategori Kep: Gizi

(Kualitatif) Kurang,

Kwashiorkor,

Marasmus,

Marasmik-

Kwashiorkor.

Waterlow BB/TB dan - Kategori Kep: Akut

TB/U (Wasting) Dan Kronis

(Stunting).

Jellife BB/U Harvard Persentil 50 Kategori Kep: I, II,

III, IV.

Bengoa BB/U Harvard Persentil 50 Kategori Kep: I, II,

6
Dan III.

Direktorat Bina BB/TB, BB/U WHO-NCHS Gizi Lebih, Baik,

Gizi Masyarakat dan TB/U Sedang, Kurang Dan

Depkes Ri Buruk.

WHO BB/TB, BB/U WHO-NCHS Gizi Lebih, Baik,

dan TB/U Sedang, Kurang Dan

Buruk.

Sumber: (Susilowati, 2008)

Ada 2 jenis baku acuan yang dapat digunakan dalam klasifikasi status gizi
yaitu lokal dan internasional. Baku acuan internasional meliputi Harvard
(Boston), WHO-NCHS, Tanner Dan Kanada. Harvard dan WHO-NCHS adalah
baku acuan yang paling umum digunakan di seluruh negara.

Data baku acuan WHO-NCHS disajikan dalam 2 versi yaitu Persentil Dan
Z-Skor. Waterlow, dkk 1977 (dalam gizi indonesia vol xv no.2 1990), penentuan
status gizi anak yaitu:

1. Di negara yang populasinya relatif well nourished, distribusi TB/U dan


BB/TB sebaiknya digunakan persentil;
2. Di negara yang populasinya relatif undernourished, lebih baik digunakan
z-skor sebagai pengganti persen terhadap median baku acuan. Tidak
disarankan menggunakan indeks BB/U.
Berdasarkan baku harvard, status gizi dibagi menjadi 4, antara lain:

1. Gizi lebih untuk overweight, termasuk kegemukan dan obesitas


2. Gizi baik untuk well nourished;
3. Gizi kurang untuk under weight, mencakup mild dan moderate pcm
(protein calori malnutrition);
4. Gizi buruk untuk severe pcm, termasuk marasmus, marasmik-
kwashiorkor dan kwashiorkor.

Sejak dekade 80-an indonesia menggunakan 2 baku acuan internasional


yaitu Harvard Dan WHO-NCHS. Berdasarkan perkembangan iptek dan hasil

7
temu pakar gizi indonesia pada mei 2000 di semarang, standar baku antropometri
yang digunakan secara nasional disepakati menggunakan standar baku WHO-
NCHS 1983 (susilowati, 2008).

Klasifikasi status gizi anak balita berdasarkan Kepmenkes Nomor:


920/Menkes/Sk/Viii/2002 dapat di lihat pada tabel berikut:

Tabel 2.2 Klasifikasi Status Gizi Anak Balita Berdasarkan Kepmenkes


Nomor: 920/Menkes/Sk/Viii/2002
Indeks Status Gizi Ambang Batas/Sd *)
Berat Badan Menurut Gizi Lebih > + 2 SD
Umur (BB/U) Gizi Baik ≥ – 2 SD sampai + 2 SD
Gizi Kurang < – 2 SD sampai ≥ – 3 SD
Gizi Buruk < – 3 SD
Tinggi Badan Menurut Normal ≥ 2 SD
Umur (TB/U) Pendek (Stunted) < – 2 SD
Berat Badan Menurut Gemuk > + 2 SD
Tinggi Badan (BB/TB) Normal ≥ – 2 SD sampai + 2 SD
Kurus (Wasted) < – 2 SD sampai ≥ – 3 SD
Kurus Sekali < -3 SD

*) Sd = Standar Deviasi
Sumber: Measuring In Nutrition Status-WHO 1983

2.1.3. Penilaian Status Gizi Balita


Baku acuan WHO-NCHS adalah yang paling umum dipakai di indonesia
(Supariasa, 2002). Cara penilaian status gizi dengan baku rujukan WHO-NCHS,
yaitu:
1. Nilai indeks antropometri (BB/U, TB/U, BB/TB) dibandingkan dengan
nilai rujukan WHO-NCHS;

8
2. Dengan menggunakan batas ambang (cut-off point) untuk masing-masing
indeks, maka status gizi dapat ditentukan;
3. Istilah status gizi dibedakan untuk setiap indeks yang digunakan agar
tidak terjadi kerancuan dalam interpretasi.
Batas ambang dan istilah status gizi untuk indeks bb/u, tb/u dan bb/tb
berdasarkan hasil kesepakatan pakar gizi pada bulan Mei tahun 2000 di Semarang
mengenai standar baku nasional di indonesia, disepakati sebagai berikut:

Tabel 2. Penilaian Status Gizi Berdasarkan Indeks


BB/U,TB/U,BB/TB Standar Baku Antropometri WHO-NCHS

NO Indeks Yang Batas Pengelompokan Pengelompokan Status


Dipakai Gizi
1 BB/U < -3 SD Gizi Buruk

-3 SD S/d < -2 SD Gizi Kurang

- 2 SD s/d +2 SD Gizi Baik

> +2 SD Gizi Lebih

2 TB/U < -3 SD Sangat Pendek

-3 SD s/d < -2 SD Pendek

- 2 SD s/d +2 SD Normal

> +2 SD Tinggi

3 BB/TB < -3 SD Sangat Kurus

-3 SD s/d < -2 SD Kurus

- 2 SD s/d +2 SD Normal

> +2 SD Gemuk

Sumber: Kemenkes Ri (2011)

9
2.1.3.1. Antopometri
Ada beberapa cara mengukur status gizi anak, yaitu dengan
pengukuran antropometrik, klinik, laboratorik. Diantara ketiganya,
pengukuran antropometri adalah yang paling relatif sederhana dan
banyak dilakukan (Soekirman, 2000).

Kata antropometri berasal dari bahasa latin antropos dan metros.


Antropos artinya tubuh dan metros artinnya ukuran. Jadi antropometri
adalah ukuran dari tubuh. Pengertian dari sudut pandang gizi,
antropometri adalah berhubungan dengan berbagai macam pengukuran
dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan
tingkat gizi (Soekirman, 2000).

Menurut Supariasa (2002) untuk penilaian status gizi balita,


antropometri disajikan dalam bentuk indeks yang dikaitkan dengan
variabel lain. Variabel tersebut adalah sebagai berikut:

1. Umur
Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi.
Kesalahan dalam menentukan umur akan menyebabkan
interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil pengukuran tinggi
badan dan berat badan yang akurat, menjadi tidak berarti bila
tidak disertai dengan penentuan umur yang tidak tepat
(Supariasa, 2002).
Menurut puslitbang gizi Bogor (1980) yang dikutip oleh
supariasa (2002), batasan umur yang digunakan adalah tahun
umur penuh (completed year), contoh: 6 tahun 2 bulan, dihitung
6 tahun dan 5 tahun 11 bulan, dihitung 5 tahun, dan untuk anak
umur 0-2 tahun digunakan bulan usia penuh (completed month).
Sebagai contoh umur 4 bulan 5 hari dihitung 4 bulan dan umur 3
bulan 27 hari dihitung 3 bulan.

10
2. Berat Badan
Berat badan merupakan ukuran antropometri yang
terpenting, dipakai pada setiap kesempatan memeriksa kesehatan
anak pada setiap kelompok umur. Berat badan merupakan hasil
keseluruhan peningkatan jaringan-jaringan yang ada pada tubuh,
merupakan indikator tunggal yang terbaik pada saat ini untuk
keadaan gizi dan keadaan tumbuh kembang (Hariono, 2002).
Berat badan merupakan pilihan utama karena berbagai
pertimbangan, antara lain:
a) Parameter yang paling baik, mudah terlihat perubahan dalam
waktu singkat karena perubahan-perubahan konsumsi
makanan dan kesehatan;
b) Memberikan gambaran status gizi sekarang dan jika
dilakukan secara periodik memberikan gambaran yang baik
tentang pertumbuhan;
c) Merupakan ukuran antropometri yang telah dipakai secara
umum dan luas di indonesia sehingga bukan merupakan hal
baru yang memerlukan penjelasan secara meluas;
d) Ketelitian pengukuran tidak banyak dipengaruhi oleh
keterampilan pengukur;
e) KMS (kartu menuju sehat) digunakan sebagai alat untuk
memonitor kesehatan anak menggunakan berat badan sebagai
dasar pengisiannya;
f) Alat pengukur dapat diperoleh didaerah pedesaan dengan
ketelitian yang tinggi (Supariasa, 2002).

3. Tinggi Badan
Tinggi badan merupakan ukuran antropometri kedua yang
penting dengan keistimewaan adalah tinggi badan akan
meningkat terus menerus. Oleh karena itu nilai tinggi badan
dipakai untuk dasar perbandingan terhadap perubahan-perubahan

11
relatif seperti nilai berat dan lingkar lengan atas. Untuk anak
diatas 2 tahun dilakukan pengukuran dengan berdiri
menggunakan alat microtoise. Tujuan pengukuran adalah
mendapat catatan jarak tinggi dari permukaan puncak kepala
hingga telapak kaki (Hariono, 2002).

Indeks-indeks dalam antropometri bermanfaat untuk mengetahui


proporsi, dan lebih mudah membandingkan dengan populasi lainnya
(Etty, 2009). Status gizi yang akan diukur dengan rasio bb/u
mencerminkan status masa sekarang. Karena, berat badan
mencerminkan kondisi outcome tentang status gizi pada masa sekarang.
Rasio tb/u mencerminkan status masa lalu, karena tinggi badan
merupakan outcome kumulatif status gizi sejak dilahirkan hingga saat
sekarang. Berat badan memiliki hubungan yang linear dengan tinggi
badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah
dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks
BB/YB merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini
(sekarang). Indeks BB/TB adalah indeks yang independen terhadap
umur (Supariasa, 2002).

Penentuan status gizi dengan menggunakan metode antropometri


mempunyai beberapa kelebihan seperti yang dikutip oleh Hadju (1999),
Yaitu:

1. Prosedur pengukurannya sederhana, aman, tidak invasif sehingga


dapat dilakukan di lapangan dan cocok dengan jumlah sampel
yang besar;
2. Alat yang dibutuhkan tidak mahal, mudah di bawa, serta tahan
(durable) dan dapat dibuat atau dibeli di setiap wilayah
3. Tidak membutuhkan tenaga khusus dalam pelaksanaannya;
4. Metode yang digunakan tepat dan akurat, sehingga standarisasi
pengukuran terjamin;

12
5. Hasil yang diperoleh menggambarkan keadaan gizi dalam jangka
waktu yang lama dimana tidak dapat diperoleh dengan tingkat
kepercayaan yang sama dengan teknik lain;
6. Prosedur ini dapat membantu mengidentifikasi tingkat malnutrisi
(ringan sampai berat);
7. Metode ini dapat digunakan untuk mengevaluasi terjadinya
perubahan yang terjadi dari satu generasi ke generasi berikutnya,
suatu fenomena yang dikenal sebagai secular trend;
8. Dapat digunakan sebagai skrining tes untuk mengidentifikasi
individu yang mempunyai risiko tinggi terjadinya malnutrisi.

Metode antropometri juga memiliki kelemahan, antara lain:

1. Tidak sensitif, karena metode ini tidak dapat mendeteksi status


gizi dalam waktu singkat. Disamping itu tidak dapat
membedakan kekurangan zat gizi tertentu, misal Fe dan Zn;
2. Faktor diluar gizi (penyakit, genetik dan penurunan penggunaan
energi) dapat menurunkan spesifikasi dan sensitifitas pengukuran
antropometri;
3. Kesalahan yang terjadi saat pengukuran dapat mempengaruhi
presisi, akurasi dan validitas pengukuran antropometri gizi;
4. Kesalahan ini dapat terjadi karena: pengukuran, perubuhan hasil
pengukuran baik (fisik maupun komposisi jaringan), analisis dan
asumsi yang keliru;
5. Sumber kesalahan biasanya berhubungan dengan: latihan petugas
yang tidak cukup, kesalahan alat atau alat tidak ditera, serta
kesulitan pengukuran (Supariasa, 2002).

2.1.4. Faktor Yang Mempengaruhi Status Gizi Balita


Menurut unicef, faktor yang mempengaruhi status gizi digolongkan atas
penyebab langsung, penyebab tidak langsung, penyebab pokok dan akar masalah.
Penyebab langsung adalah asupan gizi dan penyakit infeksi. Timbulnya kurang

13
energi protein (KEP) tidak hanya karena makanan yang kurang tetapi juga karena
penyakit. Anak yang mendapat makanan yang cukup baik tetapi sering menderita
diare atau demam, akhirnya akan menderita kurang gizi. Demikian juga pada anak
yang makanannya tidak cukup (jumlah dan mutunya) maka daya tahan tubuhnya
dapat melemah. Dalam keadaan demikian akan mudah diserang infeksi yang dapat
mengurangi nafsu makan, dan akhirnya dapat menderita kurang gizi atau gizi buruk
(Thaha, 1999).
Banyak pendapat mengenai faktor determinan yang dapat menyebabkan
timbulnya masalah gizi pada balita di antaranya menurut Schroeder (2001),
menyatakan bahwa kekurangan gizi dipengaruhi oleh konsumsi makan-makanan
yang kurang dan adanya penyakit infeksi sedangkan penyebab mendasar adalah
makanan, perawatan (pola asuh) dan pelayanan kesehatan.
Proses riwayat terjadinya penyakit pada masalah gizi (gizi kurang) melalui
berbagai tahap yaitu diawali dengan terjadinya interaksi antara pejamu, sumber
penyakit dan lingkungan. Ketidakseimbangan antara ketiga faktor ini, misalnya
terjadi ketidakcukupan zat gizi dalam tubuh. Akibat kekurangan zat gizi, maka
simpanan zat gizi dalam tubuh dugunakan untuk memenuhi kebutuhan. Apabila
keadaan ini berlangsung lama, maka simpanan zat gizi akan habis dan akhirnya
terjadi kemerosotan jaringan. Proses ini berlanjut sehingga menyebabkan malnutrisi,
meskipun hanya ditandai dengan penurunan berat badan dan pertumbuhan terhambat
(Supariasa, 2002).

2.1.4.1. Agent
Penyebab langsung timbulnya kurang gizi pada anak balita
adalah makanan yang tidak seimbang dan penyakit infeksi yang
mungkin di derita balita. Kedua penyebab tersebut saling berpengaruh.
Dengan demikian timbulnya kurang gizi tidak hanya kurang makan
tetapi juga karena penyakit, terutama diare dan ispa. Anak yang
mendapat makanan cukup baik tetapi sering diserang diare atau demam,
akhirnya dapat menderita kurang gizi. Sebaliknya anak yang tidak
memperoleh makanan cukup dan seimbang, daya tahan tubuhnya

14
(immunitas) dapat melemah. Dalam keadaan demikian anak mudah
diserang infeksi dan kurang nafsu makan sehingga anak kekurangan
makan, akhirnya berat badan anak menurun. Dalam kenyataan keduanya
(makanan dan penyakit) secara bersama-sama merupakan penyebab
kurang gizi (Soekirman, 2000).

Infeksi mempunyai efek terhadap status gizi untuk semua umur,


tetapi lebih nyata pada kelompok anak-anak. Infeksi juga mempunyai
kontribusi terhadap defisiensi energi, protein, dan gizi lain karena
menurunnya nafsu makan sehingga asupan makanan berkurang.
Kebutuhan energi pada saat infeksi bisa mencapai dua kali kebutuhan
normal karena meningkatnya metabolisme basal. Hal ini menyebabkan
deplesi otot dan glikogen hati (Thaha, 1999).

Penyakit infeksi yang menyerang anak menyebabkan gizi anak


menjadi buruk. Memburuknya keadaan gizi anak akibat penyakit infeksi
dapat menyebabkan turunnya nafsu makan, sehingga masukan zat gizi
berkurang namun disisi lain anak justru memerlukan zat gizi yang lebih
banyak. Penyakit infeksi sering disertai oleh diare dan muntah yang
menyebabkan penderita kehilangan cairan dan sejumlah zat gizi seperti
mineral dan sebagainya (Moehji, 2003).

a) Diare

Diare merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak di negara
berkembang. Sekitar 80% kematian yang berhubungan dengan diare terjadi pada 2 tahun
pertama kehidupan. Penyebab utama kematian karena diare adalah dehidrasi sebagai
akibat kehilangan cairan dan elektrolit melalui tinjanya. Diare menjadi penyebab penting
bagi kekurangan gizi. Hal ini disebabkan oleh adanya anoreksia pada penderita diare,
sehingga anak makan lebih sedikit daripada biasanya dan kemampuan menyerap sari
makanan juga berkurang. Disisi lain kebutuhan tubuh akan makanan meningkat akibat dari
adanya infeksi. Setiap episode diare dapat menyebabkan kekurangan gizi, sehingga bila

15
episodenya berkepanjangan maka dampaknya terhadap pertumbuhan anak akan meningkat
(Depkes , 1999). Diare secara epidemiologik didefinisikan sebagai keluarnya tinja yang
lunak atau cair tiga kali atau lebih dalam satu hari. Secara klinik ada tiga macam sindroma
diare (Depkes Ri, 1999), yaitu:

a. Diare akut adalah pengeluaran tinja yang lunak atau cair yang sering dan tanpa darah,
biasanya berlangsung kurang dari 7 hari. Diare ini dapat menyebabkan dehidrasi dan
bila masukan makanan kurang akan mengakibatkan kurang gizi;
b. Disentri adalah diare yang disertai darah dalam tinja. Akibat penting disentri antara
lain anoreksia, penurunan berat badan dengan cepat dan kerusakan mukosa usus
karena bakteri invasif;
c. Diare persisten adalah diare yang mula-mula bersifat akut, namun berlangsung lebih
dari 14 hari. Episode ini dapat dimulai sebagai diare cair atau disentri. Kehilangan
berat badan yang nyata sering terjadi dan volume tinja dalam jumlah yang banyak
sehingga ada risiko mengalami dehidrasi. Diare persisten berbeda dengan diare kronik
yaitu diare intermiten (hilang-timbul), atau yang berlangsung lama dengan penyebab
non infeksi, seperti sensitif terhadap gluten.

b) Pneumonia

Pneumonia merupakan penyakit yang umum terjadi pada masyarakat, yang merupakan
salah satu penyakit penyebab kematian tertinggi pada anak-anak dan orang dewasa. Hal ini
diduga karena penyakit ini merupakan penyakit yang akut dan kualitas penatalaksanaannya
belum memadai (Nugroho et al., 2011).
Pneumonia paling banyak disebabkan oleh bakteri dan virus. Patogen yang paling umum
adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae tipe b (Hib), dan Respiratory
Syncytial Virus (RSV) (Tong, 2013). Pneumonia merupakan penyakit yang banyak terjadi di
seluruh penjuru dunia yang telah menginfeksi kira-kira 450 juta orang pertahun. Penyakit ini
menjadi penyebab utama jutaan kematian pada semua kelompok (7% dari kematian total
dunia) setiap tahun. Angka ini paling besar terjadi pada anak-anak yang berusia kurang dari 5
tahun dan dewasa yang berusia lebih dari 75 tahun (Langke, 2016). Angka period prevalence

16
pneumonia atau angka penderita pneumonia pada waktu tertentu di Indonesia cenderung
meningkat dari 2,1% pada tahun 2007 menjadi 2,7% pada tahun 2013 (Depkes, 2013).
Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak yang ditandai dengan
dinding dada bawah tertarik ke dalam atau nafas cepat (40 sampai 50 kali atau lebih tiap
menit).
Pneumonia merupakan infeksi akut di parenkima paru-paru dan sering mengganggu
pertukaran gas. Bronkopneumonia melibatkan jalan nafas distal dan alveoli; pneumonia
lobular melibatkan bagian dari lobus; dan pneumonia lobar melibatkan seluruh lobus.
Komplikasi meliputi hipoksemia, gagal respiratori, efusi pleural, empiema, akses paru-paru,
dan bakteremia, disertai penyebaran infeksi ke bagian tubuh lain yang menyebabkan
meningitis, endokarditis, dan perikarditis. Umumnya, prognosisnya baik bagi orang yang
memiliki paru-paru normal dan ketahanan tubuh yang cukup baik sebelum pneumonia
menyerang (Williams, 2008).
Penyebab pneumonia ini berbagai macam bisa disebabkan bakteri, virus, mikroplasma,
jamur, berbagai senyawa kimia, maupun partikel. Namun bakteri dianggap sebagai
penyebab utama, suatu bakteri streptococcus pneumonia dapat disebut sebagai infeksi akut
pada jaringan paru-paru. Dalam kondisi ini paru-paru yang terkena menyerap oksigen
mengalami peradangan dan berisi cairan. Proses ini biasanya bersamaan dengan infeksi akut
pada bronkhitis.
Penyakit pneumonia ini terjadi bila saluran udara pada paru-paru ikut terserang
infeksi. Infeksi ini banyak masalahnya, bisa saja muncul dengan masuknya kuman ke
tenggorokkan ke bagian atas, kemudian ia terus ke paru-paru. Meskipun kuman itu sampai
ke tenggorokan, mereka akan memasuki kantong-kantong udara. Cairan akan cepat
menumpuk disana, dan butir-butir udara lebih putih akan bercampur dengan cairan.
Pneumonia bisa pula terjadi disebabkan virus influenza.
Gejala pneumonia adalah demam yang tinggi, sesak nafas, nafas cepat dari biasa.
Sekitar 70% penderita akan merasakan berat, tarikan dinding dada dan terasa nyeri di dada,
serta hasil rontgen memperlihatkan tanda-tanda pada bagian paru. Kepadatan terjadi karena
paru dipenuhi sel radang dan cairan.

17
Menurut buku Pneumonia Community, pedoman diagnosis dan penatalaksanaan
di Indonesia yang dikeluarkan Perhimpunan dokter Paru Indonesia (PDPI) 2003,
menyebutkan tiga klasifikasi pneumonia.
1. Berdasarkan Klinis dan epidemiologis :
a. Pneumonia komunitas, meliputi infeksi saluran pernapasan bawah yang terjadi
dalam 48 jam setelah dirawat di rumah sakit pada pasien yang belum pernah
dirawat di rumah sakit selama >14 hari. Organisme yang paling sering
diidentifikasi adalah Streptococcus pneumoniae (20-75%), Mycoplasma
pneumoniae, Chlamydia pneumoniae, dan Legionella spp, patogen bakteri
“atipikal” (2-25%) dan infeksi virus (8-12%) adalah penyebab yang relatif sering.
b. Pneumonia nosokomial, setiap infeksi saluran pernapasan bawah yang berkembang
>2 hari setelah dirawat di rumah sakit.
c. Pneumonia aspirasi, infeksi oleh bakteri dan organisme anaerob lain setelah
aspirasi.

2. Berdasarkan bakteri penyebab


a. Pneumonia bakteri/tipikal
Pneumonia ini dapat menyerang semua usia dan dapat menyerang siapa
saja. Pada saat pertahanan tubuh menurun misalnya karena penyakit, usia lanjut,
malnutrisi, bakteri pneumonia dapat dengan cepat berkembang biak dan merusak
paru-paru. Jika terjadi infeksi, sebagian jaringan dari lobus paru-paru, ataupun
seluruh lobus, bahkan sebagian besar dari lima lobus paru-paru menjadi terisi
cairan. Dari jaringan paru-paru, infeksi dengan cepat menyebar ke seluruh tubuh
melalui peredaran darah. Bakteri Pneumococcus adalah kuman yang paling umum
sebagai penyebab pneumonia tersebut.
b. Pneumonia akibat virus
Penyebab utama pneumonia virus adalah virus influenza. Gejala awal
dari pneumonia virus sama seperti gejala influenza yaitu demam, batuk kering,
sakit kepala, nyeri otot, dan kelemahan. Dalam 12-36 jam penderita dapat menjadi
sesak, batuk lebih parah dan berlendir sedikit. Terdapat panas tinggi disertai
membirunya bibir.

18
c. Pneumonia jamur
Sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi terutama pada penderita
dengan daya tahan lemah. Gejala pneumonia jenis ini biasanya didahului dengan
infeksi saluran napas yang ringan satu minggu sebelumnya.

3. Berdasarkan Predileksi
a. Pneumonia Lobaris, pneumonia yang terjadi pada satu lobus (percabangan besar
dari pohon bronkus) baik kanan maupun kiri.
b. Pneumonia bronkopneumonia, pneumonia yang ditandai bercak-bercak infeksi pada
berbagai tempat di paru. Bisa kanan maupun kiri yang disebabkan virus atau bakteri
dan sering terjadi pada bayi maupun orangtua.

c) Tuberkulosis pada anak

Pada anak, TBC secara umum dikenal dengan istilah “flek paru-paru”. Tuberkulosis pada
anak juga mempunyai permasalahan khusus yang berbeda dengan orang dewasa, baik dalam
aspek diagnosis, pengobatan, pencegahan, maupun TBC pada kasus khusus, misalnya pada anak
dengan infeksi HIV (Anonima, 2011). Selain itu, pemeriksaan TBC yang memerlukan sampel
dahak dari anak masih sulit diterapkan karena anak kecil sulit mengeluarkan dahak. Akibatnya,
kesulitan dan keraguan dalam diagnosis seringkali menimbulkan terjadinya over diagnosis dan
over treatment dalam penanganan TBC anak. Usia anak merupakan usia yang sangat rawan
terhadap penularan penyakit tuberkulosis. Angka penularan dan bahaya penularan yang tinggi
terdapat pada golongan umur 0-6 tahun (Anonim, 2011).
Tuberkulosis paru pada anak adalah penyakit tuberkulosis paru yang terjadi pada anak usia 0-
14 tahun. TB anak biasanya muncul di lingkungan dimana TB menjadi penyakit yang biasa. TB
pada anak juga merupakan salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian pada anak di
negara endemik TB (WHO, 2014).
Pasien TB pada anak jarang menularkan bakteri Mycobacterium tuberculosis pada anak lain
atau orang dewasa di sekitarnya karena bakteri TB sangat jarang ditemukan di dalam sekret
endobronkial pasien anak. Beberapa hal yang dapat menjelaskan hal tersebut adalah pertama
karena jumlah bakteri pada anak umumnya sedikit (paucibacillary), tetapi karena imunitas anak
masih lemah, bakteri yang sedikit tersebut sudah dapat menyebabkan sakit. Kedua, lokasi infeksi

19
primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB primer biasanya terjadi di daerah parenkim
yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi produksi sputum. Ketiga, tidak ada atau sedikitnya
produksi sputum dan tidak terdapatnya reseptor batuk di daerah parenkim menyebabkan
jarangnya terdapat gejala batuk pada TB anak.
Lokasi TB pada anak terdapat pada setiap bagian paru, terjadi pembesaran kelenjar limfe
regional terjadi penyembuhan dengan perkapuran, dan lebih banyak terjadi penyebaran
hematogen.(Sunarjo, 2009)
Secara umum tantangan utama dalam program pengendalian TB anak adalah sulitnya
melakukan diagnosis karena gejala pada anak tidak khas sehingga sering terjadi kecenderungan
diagnosis yang berlebihan (overdiagnosis) yang diikuti dengan overtreatment. Selain itu,
penatalaksanaan kasus yang kurang tepat, pelacakan kasus yang belum secara rutin dilaksanakan,
kurangnya pelaporan pasien TB anak, serta peningkatan insidens infeksi HIV dan AIDS di
berbagai negara yang mengakibatkan meningkatnya interaksi antara TB pada infeksi HIV dan
AIDS pada anak turut menambah permasalahan TB pada anak (Depkes RI,2008).
Selain itu, karena tuberkulosis pada anak umumnya tidak menular sehingga tuberkulosis pada
anak kurang mendapat perhatian dari program pengendalian TB nasional yang lebih
memprioritaskan mencegah penularan TB dengan menemukan dan mengobati kasus dengan
BTA positif.
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, dam Mycobacterium bovis.
Bakteri ini berbentuk batang tipis, lurus atau agak bengkok, bergranular atau tidak mempunyai
selubung, tetapi mempunyai lapisan luar tebal yang terdiri dari lipoid (terutama asam mikolarit).
Bakteri ini mempunyai ukuran panjang 0,5-4 μm dan tebal 0,3-0,6 μm. Sebagian besar bakteri
terdiri atas asamlemak atau lipid, kemudian peptidoglikan dan arabinomanan. Lipid inilah yang
membuat bakteri lebih tahan terhadap asam (asam alkohol) sehingga disebut bakteri tahan asam
(BTA) dan juga tahan terhadap gangguan kimia dan fisis.
Mycobacterium tuberculosis dapat bertahan pada udara kering maupun dalam keadaaan
dingin. Hal ini terjadi karena bakteri berada dalam keadaan dormant. Dari sifat dormant ini
Mycobacterium tuberculosis dapat bangkit kembali dan menjadi tuberkulosis aktif lagi. Bakteri
TB mati pada pemanasan 100°C selama 5-10 menit atau pada pemanasan 60°C selama 30 menit,
dan dengan alkohol 70-95% selama 15-30 detik. Bakteri ini tahan selama 1-2 jam di udara bebas,

20
di tempat yang lembab dan gelap dapat bertahan berhari-hari bahkan bisa berbulan-bulan, namun
tidak tahan terhadap sinar matahari (Widoyono, 2005).
Di dalam jaringan Mycobacterium tuberculosis hidup sebagai parasit intraseluler yakni dalam
sitoplasma makrofag. Makrofag yang semula memfagositasi malah kemudian di senanginya
karena banyak mengandung lipid. Sifat lain Mycobacterium tuberculosis adalah aerob. Sifat ini
menunjukkan bahwa bakteri ini lebih menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya.
Dalam hal ini tekanan oksigen pada sebagian apikal paru-paru lebih tinggi dari daribagian lain,
sehingga bagian ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis (Bahar, 2013).
Gejala umum TB pada anak adalah sebagai berikut:
a. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan adekuat atau
tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi yang baik.
b. Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan demam tifoid,
infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas akut, malaria, dan lain-lain) dapat disertai
keringat malam. Demam umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan
gejala spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala sistemik/umum lain.
c. Pembesaran kelenjar limfe superfisial yang tidak sakit.
d. Gejala-gejala respiratorik seperti batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remittin (tidak
pernah reda atau intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat
disingkirkan. Gejala respiratorik yang lain adalah tanda cairan di dada, nyeri dada.
e. Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh (failure to
thrive).
f. Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
g. Gejala gastrointestinal seperti diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh
dengan pengobatan baku diare,benjolan/ massa di abdomen, tanda-tanda cairan di dalam
abdomen (Misnidiarly, 2006).
Determinan Tuberkulosis Paru
a. Umur
TB paru pada dasarnya dapat terjadi pada semua golongan umur. Anak dengan usia ≤5 tahun
mempunyai risiko lebih besar mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB dikarenakan
imunitas selulernya belum berkembang secara sempurna (imatur). Namun, risiko sakit TB ini
akan berkurang secara bertahap seiring pertambahan usia. Pada bayi usia <1 tahun yang

21
terinfeksi TB, 43% diantaranya akan menjadi sakit TB, sedangkan pada anak usia 1-5 tahun,
yang menjadi sakit TB jika terinfeksi TB 24%, usia remaja 15%, dan dewasa 5-10%. Anak
berusia <5 tahun lebih berisiko tinggi untuk menjadi sakit TB diseminata (TB milier dan
meningitis TB) (Kartasasmita, 2009).
b. Jenis Kelamin
Berdasarkan jenis kelamin, risiko anak yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB hampir
tidak ada perbedaan antara jenis kelamin laki-laki maupun perempuan sampai pada umur
pubertas. Pada dasarnya, anak terutama bayi dan balita memiliki daya tahan tubuh yang masih
lemah dimana imunitas selularnya belum terbentuk secara sempurna (Crofton, 1998).
c. Status Gizi
Tuberkulosis dan status gizi sangat erat kaitannya. Infeksi tuberculosis menyebabkan
kehilangan berta badan dan badan menjadi kurus. Status gizi yang rendah juga akan
meningkatkan resiko untuk sakit TB (Crofton,dkk).
Gizi merupakan salah satu variabel yang sangat berperan dalam timbulnya TB. Bakteri TB
adalah bakteri yang dapat tidur (dormant) selama bertahun tahun dan apabila bakteri tersebut
memiliki kesempatan aktif kembali, salah satu yang dapat mencegah agar seseorang tidak
menjadi sakit TB adalah status gizi yang baik, baik pada wanita, laki-laki, anak-anak maupun
dewasa. Penyakit TB dapat dengan mudah menyerang anak yang mempunyai status gizi kurang.
Saat ini di Indonesia terdapat 13% anak kekurangan gizi, 18% berat badan di bawah standar, dan
36% terhambat pertumbuhannya. Status gizi pada anak sangat penting, karena status gizi yang
baik akan meningkatkan daya tahan dan kekebalan tubuh anak, sehingga anak tidak mudah
menderita penyakit TB. Anak dengan status gizi yang baik apabila terinfeksi dengan bakteri TB
cenderung menderita TB ringan dibandingkan dengan yang mempunyai status gizi buruk.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Anasyia Nurwitasari tahun 2015 mengenai pengaruh
status gizi dan riwayat kontak terhadap kejadian tuberculosis di Kabupaten Jember, terdapat
hubungan antara status gizi anak dengan kejadian tuberkulosis, dengan nilai p-value sebesar
0,004 (<0,05), namun berdasarkan uji regresi status gizi bukan merupakan faktor yang
mempengaruhi kejadian tuberkulosis di Kabupaten Jember (Nurwitasari, 2015). Penelitian lain
yang dilakukan oleh Sari mengenai faktor risiko kejadian TB paru pada anak yang sudah
diimunisasi BCG , didapatkan hasil anak dengan status gizi kurang berisiko mengalami
tuberkulosis 8 kali di banding anak dengan status gizi baik (Sari, 2011).

22
d. Riwayat Kontak
Anak yang kontak erat dengan sumber kasus TB BTA+ sangat berisiko terinfeksi TB
dibanding dengan yang tidak kontak yaitu sebesar 24,4-69,2% (Kemenkes, 2013). Pada
umumnya, seorang anak menderita TB dikarenakan tertular dari orang dewasa di sekitarnya
dengan TB BTA positif. Penderita TB anak jarang menularkan TB kepada anak lainnya, hal ini
dikarenakan bakteri TB sangat jarang ditemukan pada sekret endobronkial pasien anak.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Anasyia Nurwitasari tahun 2015 mengenai pengaruh
status gizi dan riwayat kontak terhadap kejadian tuberkulosis di kabupaten Jember, anak dengan
riwayat kontak dengan penderita tuberkulosis sebelumnya berisiko 26,6 kali terjadi tuberkulosis
daripada anak yang tidak memiliki riwayat kontak. Anak dengan riwayat kontak lebih dari 6
bulan dengan pasien dewasa tuberkulosis sebelumnya berisiko 69 kali lebih terjadi tuberkulosis
daripada anak yang tidak memiliki riwayat kontak atau kontak kurang dari 6 bulan. Anak yang
memiliki kedekatan dengan pasien tuberkulosis dewasa sebelumnya berisiko 27,1 kali terjadi
tuberkulosis daripada anak yang tidak memiliki kedekatan dengan pasien tuberkulosis dewasa
(Nurwitasari, 2015).
e. Penyakit Lain
Pada anak, penyakit TB lebih mudah terjadi pada penyakit campak dan batuk rejan.
Apabila penyakit tersebut diderita oleh anak yang menderita infeksi primer TB, TB dapat meluas
hingga menjadi TB milier atau meningitis TB.
f. Kondisi Sosial Ekonomi
Kondisi sosial ekonomi mungkin tidak berhubungan secara langsung dengan kejadian
TB, namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti adanya kondisi gizi memburuk,
perumahan yang tidak sehat, dan akses terhadap pelayanan kesehatan juga menurun
kemampuannya. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Emita Ajis dengan menggunakan
desain penelitian case control di Kabupaten Kuantan Singingi Provinsi Riau, kondisi sosial
ekonomi merupakan salah satu faktor risiko yang berperan terhadap kejadian TB paru, balita
dengan status ekonomi keluarga rendah beresiko 2,458 kali lebih besar untuk menderita TB
dibandingkan dengan balita dengan status ekonomi keluarga tinggi (Ajis, dkk, 2009).
g. Tempat Tinggal
Kondisi kesehatan lingkungan rumah memiliki pengaruh secara tidak langsung terhadap
kejadian penyakit TB paru. Lingkungan dan rumah yang tidak sehat seperti pencahayaan rumah

23
yang kurang (terutama cahaya matahari), kurangnya ventilasi rumah, kondisi ruangan yang
lembab, sangat mendukung perkembangan Mycobacterium tuberculosis, selain itu hunian yang
terlalu padat dapat mempermudah penularan tuberkulosis. Berdasarkan penelitian yang
dilakukan oleh Erwin Fahreza, dkk dengan menggunakan desain penelitian case control di Balai
Kesehatan Paru Masyarakat Semarang, kualitas fisik rumah memiliki hubungan yang bermakna
dengan kejadian TB paru, kualitas fisik rumah yang tidak sehat memiliki risiko 45,50 kali lebih
besar untuk terjadinya TB paru dibandingkan dengan kualitas fisik rumah yang sehat (Fahreza,
2012).
Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit menular yang lain adalah dengan
menemukan bakteri penyebab TB yaitu Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan sputum,
bilas lambung, cairan serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan. Pada anak dengan
gejala TB, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologi. Pemeriksaan serologi yang
sering digunakan tidak direkomendasikan oleh WHO untuk digunakan sebagai sarana diagnostik
TB dan Direktur Jenderal BUK Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada bulan Februari
2013 tentang larangan penggunaan metode serologi untuk penegakan diagnosis TB.
Pemeriksaan mikrobiologik sulit dilakukan pada anak karena sulitnya pengambilan
spesimen. Spesimen dapat berupa sputum, induksi sputum atau pemeriksaan bilas lambung
selama 3 hari berturut-turut, apabila fasilitas tersedia.
Pada anak lebih dari 5 tahun dengan gejala TB paru, terutama bagi anak yang mampu
mengeluarkan dahak dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan dahak mikroskopis.
Kemungkinan mendapatkan hasil positif lebih tinggi pada anak >5 tahun. Bilas lambung dengan
NGT (Naso Gastric Tube) dapat dilakukan pada anak yang tidak dapat mengeluarkan dahak,
spesimen dianjurkan dikumpulkan selama 3 hari berturut-turut pada pagi hari. Induksi sputum
relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak semua umur, dengan hasil yang lebih baik
dari aspirasi lambung, terutama apabila menggunakan lebih dari 1 sampel. Metode ini bisa
dikerjakan secara rawat jalan, tetapi diperlukan pelatihan dan peralatan yang memadai untuk
melaksanakan metode ini. Kesulitan lainnya adalah sedikitnya jumlah kuman (paucibacillary).
Jumlah bakteri TB di sekret bronkus pasien TB anak lebih sedikit dari dewasa karena lokasi
kerusakan jaringan TB paru primer terletak di kelenjar limfe hilus dan parenkim paru bagian
perifer. Selain itu, tingkat kerusakan parenkim paru tidak seberat pada dewasa. BTA baru dapat
dilihat dengan mikroskop bila jumlahnya paling sedikit 5.000 bakteri dalam 1 ml dahak.

24
Untuk mengatasi kesulitan menemukan bakteri penyebab TB pada anak dapat dilakukan
penegakan diagnosis TB anak dengan memadukan gejala klinis dan pemeriksaan penunjang lain
yang sesuai. Adanya riwayat kontak erat dengan pasien TB menular merupakan salah satu
informasi penting untuk mengetahui adanya sumber penularan. Selanjutnya, perlu dibuktikan
apakah anak telah tertular bakteri penyebab TB dengan melakukan uji tuberkulin.
Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan diagnosis TB pada anak
adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan melakukan uji tuberkulin/mantoux test.
Tuberkulin yang tersedia di Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU dari Staten Serum
Institute Denmark produksi dari Biofarma, namun uji tuberkulin belum tersedia di semua
fasilitas pelayanan kesehatan.
Efektifitas dalam menemukan infeksi TB dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%.
Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TB aktif uji tuberkulin positif 100%,
umur 1-2 tahun 92%, 2-4 tahun 78%, 4-6 tahun 75%, dan umur 6-12 tahun 51%. Dari persentase
tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin kurang
spesifik.
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux lebih
sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah
kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin 48-72 jam
setelah penyuntikan dan diukur diameter pembengkakan (indurasi) yang terjadi apabila
pembengkakan (indurasi) 0-4 mm berarti uji mantoux negatif, tidak ada infeksi Mycobacterium
tuberculosis. Pembengkakan (indurasi) 5-9 mm berarti uji mantoux meragukan, hal ini bias
karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium atypikal atau pasca vaksinasi
BCG. Pembengkakan (indurasi) ≥10 mm artinya uji mantoux positif, hal ini berarti sedang atau
pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis. Uji tuberkulin yang positif menandakan adanya
reaksi hipersensitifitas terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal ini secara tidak
langsung menandakan bahwa pernah ada Mycobacterium tuberculosis yang masuk ke dalam
tubuh anak atau anak sudah tertular. Anak yang tertular (hasil uji tuberculin positif) belum tentu
menderita TB oleh karena tubuh pasien memiliki daya tahan tubuh atau imunitas yang cukup
untuk melawan kuman TB. Bila daya tahan tubuh anak cukup baik maka pasien tersebut secara
klinis akan tampak sehat dan keadaan ini yang disebut sebagai infeksi TB laten. Namun apabila

25
daya tahan tubuh anak lemah dan tidak mampu mengendalikan kuman, maka anak akan menjadi
menderita TB serta menunjukkan gejala klinis maupun radiologis.
Gejala klinis dan radiologis TB anak sangat tidak spesifik, karena gambarannya dapat
menyerupai gejala akibat penyakit lain. Oleh karena itulah diperlukan ketelitian dalam menilai
gejala klinis pada pasien maupun hasil foto toraks. Pemeriksaan penunjang lain yang cukup
penting adalah pemeriksaan foto toraks. Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena
juga dapat dijumpai pada penyakit lain. Dengan demikian pemeriksaan foto toraks saja tidak
dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali gambaran TB milier.
Secara umum, gambaran radiologis yang menunjang TB adalah adanya pembesaran
kelenjar hilus/paratrakeal dengan atau tanpa infiltrat , konsolidasi segmental/lobar, efusi pleura,
milier, atelektasis, kavitas, kalsifikasi dengan infiltrat, dan tuberkuloma.
Berdasarkan keterangan sebelumnya, mendiagnosis TB anak sulit dilakukan karena
gejalanya tidak khas, dibuatlah suatu kesepakatan penanggulangan TB anak oleh beberapa pakar.
Kesepakatan ini dibuat untuk memudahkan penanganan TB anak secara luas, terutama apabila
ditemui keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia, dapat menggunakan suatu pendekatan lain
yang dikenal sebagai sistem skoring. Sistem skoring ini dikembangkan dan diuji coba melaui tiga
tahap oleh para ahli IDAI, Kemenkes, dan didukung oleh WHO dan disepakati sebagai salah satu
cara untuk mempermudah penegakan diagnosis TB anak terutama di fasilitas pelayanan
kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam
mengumpulkan data klinis maupun pemeriksaan penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat
mengurangi terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan penilaian/pembobotan pada sistem
skoring adalah parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular mempunyai
nilai tertinggi yaitu 3, uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan
diagnosis TB pada anak dengan menggunakan sistem skoring, pasien dengan jumlah skor ≥6
harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan mendapat OAT.

26
Skroring TB untul mendiagnosis TBC pada anak

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penegakan diagnosis dengan sistem skoring
adalah diagnosis ditegakkan oleh dokter, namun apabila di fasilitas pelayanan kesehatan tersebut
tidak ada dokter wewenang terbatas diberikan kepada petugas kesehatan terlatih strategi DOTS
untuk menegakkan diagnosis dan tatalaksana TB anak mengacu pada pedoman nasional, anak
dididagnosis TB jika skor ≥6, dengan skor maksimal 13, anak dengan skor 6 yang diperoleh dari
kontak dengan pasien BTA positif dan hasil uji tuberkulin positif, tetapi tanpa gejala klinik,
maka dilakukan observasi atau diberi INH profilaksis tergantung dari umur anak, foto toraks
bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak, pasien usia balita yang mendapat skor 5,
dengan gejala klinis yang meragukan, maka pasien tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih
lanjut. Anak dengan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2 gejala klinis lain, pada

27
fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka dapat didiagnosis, diterapi dan dipantau
sebagai TB anak. Pemantauan dilakukan selama 2 bulan terapi awal, apabila terdapat perbaikan
klinis, maka terapi OAT dilanjutkan sampai selesai. Semua bayi dengan reaksi cepat (<2
minggu) saat imunisasi BCG dicurigai telah terinfeksi TB dan harus dievaluasi dengan sistem
skoring TB anak. Jika dijumpai skrofuloderma, anak langsung dapat didiagnosis TB.
Untuk daerah dengan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang terbatas (uji tuberkulin
dan atau foto toraks belum tersedia) maka evaluasi dengan sistem skoring tetap dilakukan, dan
dapat didiagnosis TB dengan syarat skor ≥ 6 dari total skor 13. Pada anak yang pada evaluasi
bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan klinis sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya
kemungkinan faktor penyebab lain misalnya kesalahan diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi
buruk, TB MDR maupun masalah dengan kepatuhan berobat dari pasien. Apabila fasilitas tidak
memungkinkan pasien dirujuk ke RS. Yang dimaksud dengan perbaikan klinis adalah perbaikan
gejala awal yang ditemukan pada anak tersebut pada saat diagnosis. (Kemenkes RI, 2013)
Tujuan pengobatan TB pada anak di antaranya adalah untuk menyembuhkan pasien TB,
mencegah kematian akibat TB atau efek jangka panjangnya, mencegah kekambuhan penyakit
TB, mencegah TB resisten obat, menurunkan penularan TB kepada orang lain. Penggunaan Obat
Anti TB yang dipakai dalam pengobatan TB adalah antibiotik dan anti infeksi sintetis untuk
membunuh bakteri Mycobacterium. Aktifitas obat TB didasarkan atas tiga mekanisme, yaitu
aktifitas membunuh bakteri, aktifitas sterilisasi, dan mencegah resistensi. Obat yang umum
dipakai adalah Isoniazid, Etambutol, Rifampisin, Pirazinamid, dan Streptomisin. Kelompok obat
ini disebut sebagai obat primer. Isoniazid adalah obat TB yang paling poten dalam hal
membunuh bakteri dibandingkan dengan rifampisin dan streptomisin. Rifampisin dan
pirazinamid paling poten dalam mekanisme sterilisasi (Depkes RI, 2005).
Pengobatan tuberkulosis pada anak dibagi dalam 2 tahap, yaitu tahap awal/intensif
selama 2 bulan pertama, dan tahap lanjutan selama 4 bulan, kecuali pada TB berat. OAT pada
anak diberikan setiap hari, baik pada tahap intensif maupun pada tahap lanjutan. Untuk
menjamin ketersediaan OAT untuk setiap pasien, OAT disediakan dalam bentuk paket. Satu
paket dibuat untuk satu pasien dalam satu masa pengobatan. Paket OAT anak berisi obat untuk
tahap intensif, yaitu Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z), sedangkan untuk tahap
lanjutan, yaitu Rifampisin (R) dan Isoniazid (H). Kombinasi 3 obat tersebut memiliki success
rate lebih dari 95%, dan efek samping obat kurang dari 2% (Kemenkes RI, 2013).

28
Panduan pengobatan TB pada anak

Keterangan :
2HRZ artinya Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z) diberikan setiap hari selama
2 bulan. 4HR adalah Isoniazid (H), Rifampisin (R) diberikan setiap hari selama 4 bulan. 2HRZ
tambah E dan atau S adalah Isoniazid (H), Rifampisin (R), Pirazinamid (Z), ditambah Etambutol
(E) atau Streptomisin (S) diberikan setiap hari selam 2 bulan. 10HR adalah Isoniazid (H),
Rifampisin (R) diberikan setiap hari selama 10 bulan.
Untuk meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif lama
dengan jumlah obat yang banyak, panduan OAT disediakan dalam bentuk Kombinasi Dosis
Tetap/KDT (Fixed Dose Combination/FDC). Jumlah tablet KDT yang diberikan harus
disesuaikan dengan berat badan anak dan komposisis dari tablet tersebut. Tablet KDT untuk anak
tersedia dalam 2 macam tablet yaitu tablet RHZ dan tablet RH. Tablet RHZ merupakan tablet
kombinasi dari Rifampisin (R) 75 mg, Isoniazid (H) 50 mg, dan Pirazinamid (Z) 150 mg yang
digunakan pada tahap intensif. Tablet RH merupakan tablet kombuinasi dari Rifampisin (R) 75
mg dan Isoniazid (H) 50 mg yang digunakan dalam tahap lanjutan.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah berat badan yang lebih dari 30 kg diberikan
6 tablet atau menggunakan KDT dewasa, bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah
tidak dalam bentuk kombinasi tetap dan sebaiknya di rujuk ke rumah sakit rujukan, apabila ada
kenaikan berat badan maka dosis atau jumlah tablet disesuaikan dengan berat badan, untuk anak

29
obesitas dosis KDT menggunakan berat badan ideal (sesuai umur), OAT KDT harus diberikan
secara utuh, tidak boleh dibelah dan digerus, obat dapat diberikan dengan cara ditelan,
dikunyah/dikulum, dimasukkan air dalam sendok, obat diberikan pada saat perut kosong atau
paling cepat 1 jam setelah makan, apabila OAT lepas dalam bentuk puyer maka semua obat tidak
boleh digerus bersama dan dicampur dalam 1 puyer.
Pada fase intensif pasien TB anak kontrol setiap minggu untuk melihat kepatuhan,
toleransi dan kemungkinan adanya efek samping obat. Pada fase lanjutan anak kontrol setiap
bulan. Setelah OAT diberi selama 2 bulan respon pengobatan pasien harus dievaluasi. Respon
pengobatan dikatakan baik apabila gejala klinis berkurang, nafsu makan meningkat, demam
menghilang, dan batuk berkurang. Apabila respon pengobatan baik, maka pemberian OAT
dilanjutkan sampai 6 bulan. Sedangkan bila respon pengobatan kurang atau tidak baik maka
pengobatan TB tetap dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke sarana yang lebih lengkap.
Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan dengan melakukan evaluasi baik
klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti foto toraks.
Pemeriksaan tuberkulin tidak dapat digunakan sebagai pemeriksaan untuk pemantauan
pengobatan, karena uji tuberkulin yang positif masih akan memberikan hasil yang positif.
Meskipun gambaran radiologis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila
dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan dan pasien dinyatakan
selesai. Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan dahaknya BTA
positif, pemantauan pengobatan dilakukan dengan melakukan pemeriksaan dahak ulang sesuai
dengan alur pemantauan pengobatan pasien TB BTA positif.

Penyebab langsung dapat timbul karena ketiga faktor penyebab tidak langsung, yaitu: (1)
tidak cukup tersedia pangan atau makanan di keluarga, (2) pola pengasuhan anak yang tidak
memadai, dan (3) keadaan sanitasi yang buruk dan tidak tersedia air bersih, serta pelayanan
kesehatan dasar yang tidak memadai. Ketiga faktor penyebab tidak langsung tersebut tidak
berdiri sendiri tetapi saling berkaitan (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 2006).

30
2.1.4.2. Host (Pejamu)
2.1.4.2.1. Jenis Kelamin Balita
Menurut Almatsier (2005), tingkat kebutuhan pada anak laki-
laki lebih banyak jika dibandingkan dengan perempuan. Begitu juga
dengan kebutuhan energi, sehingga laki-laki mempunyai peluang untuk
menderita kep ysng lebih tinggi daripada perempuan apabila kebutuhan
akan protein dan energinya tidak terpenuhi dengan baik. Kebutuhan
yang tinggi ini disebabkan aktivitas anak laki-laki lebih tinggi
dibandingkan dengan anak perempuan sehingga membutuhkan gizi
yang tinggi.
2.1.4.2.2. Berat Badan Lahir Anak Balita
Berat badan lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat
lahir kurang dari 2.500 gram yang ditimbang pada saat lahir sampai
dengan 24 jam pertama setelah lahir. Berat badan lahir rendah
merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap kematian
perinatal dan neonatal (Depkes Ri, 2002).
Anak saat lahir dengan berat badan lahir rendah (bblr),
pertumbuhan dan perkembangannya lebih lambat. Keadaan ini lebih
buruk lagi jika bayi BBLR kurang mendapat asupan energi dan zat gizi,
pola asuh yang kurang baik dan sering menderita penyakit infeksi. Pada
akhirnya bayi BBLR cenderung mempunyai status gizi kurang dan
buruk. Bayi dengan BBLR juga akan mengalami gangguan dan belum
sempurna pertumbuhan dan pematangan organ atau alat-alat tubuh,
akibatnya BBLR sering mengalami komplikasi yang berakhir dengan
kematian (Depkes RI, 2002). Status gizi ibu hamil sangat
mempengaruhi pertumbuhan janin dalam kandungan. Apabila status
gizi ibu buruk, baik sebelum kehamilan dan selama kehamilan akan
menyebabkan berat badan lahir rendah (Supariasa, 2002).

31
2.1.4.2.3. Status Pemberian Asi Eksklusif
Asi adalah suatu emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa
dan garam organik yang disekresi oleh kelenjar payudara ibu
(mammae), sebagai makanan utama bagi bayi. ASI (air susu ibu)
sebagai makanan yang alamiah juga merupakan makanan terbaik yang
dapat diberikan oleh seorang ibu kepada anak yang baru dilahirkannya
dan komposisinya yang sesuai untuk pertumbuhan bayi serta asi juga
mengandung zat pelindung yang dapat menghindari bayi dari berbagai
penyakit (Alkatiri, 1996).
Asi merupakan sumber nutrisi yang sangat penting bagi bayi
dan dalam jumlah yang cukup dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi
selama 6 bulan pertama. ASI mengandung semua zat gizi yang
diperlukan bayi, mengandung zat kekebalan terhadap penyakit, dan
tidak perlu dibeli, sekaligus merupakan ungkapan kasih sayang ibu
kepada bayi. Seiring dengan bertambahnya umur anak, kandungan zat
gizi ASI hanya dapat memenuhi kebutuhan anak sampai umur 6 bulan.
Artinya ASI sebagai makanan tunggal harus diberikan sampai umur 6
bulan. Pemberian asi tanpa pemberian makanan pendamping asi (MP-
ASI) disebut menyusui secara eksklusif (Suriadi, 2001)
ASI mengandung gizi yang cukup lengkap untuk kekebalan
tubuh bayi. Keunggulan lainnya, asi disesuaikan dengan sistem
pencernaan bayi sehingga zat gizi cepat terserap. Berbeda dengan susu
formula atau makanan tambahan yang diberikan secara dini kepada
bayi. Susu formula sangat susah diserap usus bayi sehingga dapat
menyebabkan susah buang air besar pada bayi. Proses pembuatan susu
formula yang tidak steril menyebabkan bayi rentan terkena diare. Hal
ini akan menjadi pemicu terjadinya kurang gizi pada anak (Soegeng &
Ann, 2004). Dalam penelitian Suryono dan Supardi (2004) disebutkan
bahwa jika tidak diberi ASI Eksklusif akan terjadi 2,86 kali
kemungkinan batita mengalami gizi buruk dan hal tersebut bermakna
secara statistik.

32
2.1.4.2.4. Status Pemberian Kolostrum
Kolostrum memiliki manfaat yang sangat berguna bagi bayi
antara lain, mengandung zat kekebalan terutama immunoglobulin a
(iga) untuk melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi seperti diare,
mengandung protein dan vitamin a yang tinggi, serta mengandung
karbohidrat dan lemak yang rendah sehingga sesuai dengan kebutuhan
gizi bayi pada hari-hari pertama kelahiran (Yuliarti, 2010).
2.1.4.3. Environment (Lingkungan)
2.1.4.3.1. Tingkat Pendidikan Ibu
Tingkat pendidikan dalam keluarga khususnya ibu dapat
menjadi faktor yang mempengaruhi status gizi anak dalam keluarga.
Semakin tinggi pendidikan orang tua maka pengetahuannya akan gizi
akan lebih baik dari yang berpendidikan rendah. Salah satu penyebab
gizi kurang pada anak adalah kurangnya perhatian orang tua akan gizi
anak. Hal ini disebabkan karena pendidikan dan pengetahuan gizi ibu
yang rendah. Pendidikan formal ibu akan mempengaruhi tingkat
pengetahuan gizi, semakin tinggi pendidikan ibu, maka semakin tinggi
kemampuan untuk menyerap pengetahuan praktis dan pendidikan
formal terutama melalui masa media. Hal serupa juga dikatakan oleh l.
Green, rooger yang menyatakan bahwa makin baik tingkat pendidikan
ibu, maka baik pula keadaan gizi anaknya (Berg, 1986).

2.1.4.3.2. Pengetahuan Ibu Tentang Gizi Balita


Pengetahuan adalah hasil tahu yang terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan
tentang gizi akan membantu dalam mencari alternatif pemecahan
masalah kondisi gizi keluarga (sediaoetama, 2000).Pengetahuan tentang
gizi sangat diperlukan agar dapat mengatasi masalah yang timbul akibat
konsumsi gizi. Wanita khususnya ibu sebagai orang yang bertanggung
jawab terhadap konsumsi makanan bagi keluarga, ibu harus memiliki

33
pengetahuan tentang gizi baik melalui pendidikan formal maupun
informal (Sediaoetama, 2000).
Pentingnya pengetahuan gizi terhadap konsumsi didasari atas
tiga kenyataan. Pertama, status gizi yang cukup adalah penting bagi
kesehatan dan kesejahteraan. Kedua, setiap orang hanya akan cukup
gizi yang diperlukan jika makanan yang dimakan mampu menyediakan
zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan tubuh yang optimal,
pemeliharan dan energi. Ketiga, ilmu gizi memberikan fakta yang perlu
sehingga penduduk dapat belajar menggunakan pangan yang baik bagi
perbaikan gizi (Suhardjo, 1992).

2.1.4.3.3. Status Pekerjaan Ibu


Para ibu yang bekerja dari pagi hingga sore tidak memiliki
waktu yang cukup bagi anak-anak dan keluarga (Berg, 1986). Dalam
hal ini ibu mempunyai peran ganda yaitu sebagai ibu rumah tangga dan
wanita pekerja. Walaupun demikian ibu dituntut tanggung jawabnya
kepada suami dan anak-anaknya, khususnya memelihara anak. Keadaan
yang demikian dapat mempengaruhi keadaan gizi keluarga khususnya
anak balita. Ibu-ibu yang bekerja tidak mempunyai cukup waktu untuk
memperhatikan makanan anak yang sesuai dengan kebutuhan dan
kecukupan serta kurang perhatian dan pengasuhan kepada anak (Berg,
1986).

2.1.4.3.4. Jumlah Anak Dalam Keluarga


Hubungan antara laju kelahiran yang tinggi dan kurang gizi,
sangat nyata pada masing-masing keluarga. Sumber pangan keluarga
terutama mereka yang sangat miskin, akan lebih mudah memenuhi
makanannya jika yang harus diberi makan jumlahnya sedikit. Anak-
anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin adalah paling rawan
terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga dan anak yang
paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan.

34
Sebagian memang demikian, sebab seandainya besar keluarga
bertambah, maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak
orang tua tidak menyadari bahwa anak-anak yang sangat muda
memerlukan pangan relatif lebih banyak dari pada anak-anak yang
lebih tua. Dengan demikian anak-anak yang muda mungkin tidak diberi
makan (Suhardjo, 1996).

2.1.4.3.5. Tingkat Pendapatan Keluarga


Pendapatan akan menentukan daya beli terhadap pangan dan
fasilitas lain (pendidikan, perumahan, kesehatan) yang dapat
mempengaruhi status gizi. Pendapatan keluarga mempengaruhi
ketahanan pangan keluarga. Ketahanan pangan yang tidak memadai
pada keluarga dapat mengakibatkan gizi kurang. Oleh karena itu, setiap
keluarga diharapkan mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan
seluruh anggota keluarganya (Santoso, 2005). Akan tetapi menurut
penelitian yang dilakukan oleh Masdiarti (2000) Di Kecamatan
Hamparan Perak, yang meneliti pola pengasuhan dan status gizi anak
balita ditinjau dari krakteristik pekerjaan ibu, memperlihatkan hasil
bahwa anak yang berstatus gizi baik banyak ditemukan pada ibu bukan
pekerja (43,24%) dibandingkan dengan kelompok ibu pekerja (40,54%)
dan ibu yang tidak bekerja mempunyai waktu yang lebih banyak dalam
mengasuh anaknya.

2.1.5. Dampak Kekurangan Gizi


Gejala klinis Balita KEP berat/Gizi buruk
Untuk KEP ringan dan sedang, gejala klinis yang ditemukan hanya anak tampak kurus.
Gejala klinis KEP berat/gizi buruk secara garis besar dapat dibedakan sebagai marasmus,
kwashiorkor atau marasmic-kwashiorkor. Tanpa mengukur/melihat BB bila disertai edema
yang bukan karena penyakit lain adalah KEP berat/Gizi buruk tipe kwasiorkor.
2.1.5.1. Kwashiorkor
 Edema, umumnya seluruh tubuh, terutama pada punggung kaki

35
 Wajah membulat dan sembab
 Pandangan mata sayu
 Rambut tipis, kemerahan seperti warna rambut jagung, mudah dicabut tanpa rasa
sakit, rontok
 Perubahan status mental, apatis, dan rewel
 Pembesaran hati
 Otot mengecil (hipotrofi), lebih nyata bila diperiksa pada posisi berdiri atau
duduk
 Kelainan kulit berupa bercak merah muda yang meluas dan berubah warna
menjadi coklat kehitaman dan terkelupas (crazy pavement dermatosis)
 Sering disertai :
a. penyakit infeksi, umumnya akut
b. anemia
c. diare.
2.1.5.2. Marasmus:
 Tampak sangat kurus, tinggal tulang terbungkus kulit
 Wajah seperti orang tua
 Cengeng, rewel
 Kulit keriput, jaringan lemak subkutis sangat sedikit sampai tidak ada (baggy pant/pakai
celana longgar)
 Perut cekung
 Iga gambang
 Sering disertai: penyakit infeksi (umumnya kronis berulang) diare kronik atau
konstipasi/susah buang air

2.1.5.3. Marasmik-Kwashiorkor:
 Gambaran klinik merupakan campuran dari beberapa gejala klinik Kwashiorkor
dan Marasmus, dengan BB/U <60% baku median WHO-NCHS disertai edema
yang tidak mencolok.

36
2.2. Kerangka Teori

37
Kerangka Konsep
3.
Karakteristik anak :
 Jenis Kelamin
 Berat Badan Lahir
 Status pemberian ASI
 Pemberian MP-ASI
 Status pemberian imunisasi

Penyakit Infeksi :
 Diare Status gizi
 Pneumonia
 TB Anak

Karakteristik Keluarga :
 Tingkat Pendidikan Ibu
 Pengetahuan ibu tentang gizi
balita
3.1. Hipotesis Penelitian
 Pekerjaan orang tua
 Jumlah anak dalam keluarga

38
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Metode Penelitian


Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan jenis
rancangan deskriptif.

3.2. Variabel Dan Definisi Operasional


3.2.1. Variabel Penelitian
3.2.1.1. Variabel Bebas (Indenpendent)
Variabel bebas dalam penelitian ini adalah umur anak, jenis kelamin, .
3.2.1.2. Variabel Terikat (Dependent)
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah status gizi balita.

3.2.2. Definisi Operasional


Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional
Jenis kelamin Perbedaan Wawancara Kuesioner 1. Laki-laki Nominal
Balita antara laki-laki 2. Perempuan
Dan
perempuan.
Berat badan Berat badan Wawancara Kuesioner 1. Rendah (< Ordinal
lahir anak Ditimbang 2.500 gr)
Balita dada saat lahir 2. Normal
sampai dengan (2.500-
24 jam 4.000 Gr)
Pertama 3. Lebih (>
setelah lahir. 4.000 Gr)
Penyakit Adanya Wawancara Kuesioner 1. Ya Ordinal
Infeksi Riwayat 2. Tidak

39
yang diderita Penyakit
Oleh kronis seperti
Balita diare kronis,
Pneumonia, TBC

Pemberian Asi tanpa susu Wawancara Kuesioner 1. Ya Ordinal


Asi Eksklusif atau makanan Dengan 2. Tidak
Tambahan Mengajukan
Diberikan 1
kepada anak pertanyaan.
sampai umur 6
bulan.
Tingkat Jenjang Wawancara Kuesioner 1. Rendah Ordinal
Pendidikan Pendidikan (hingga
Ibu formal yang tamat SMP)
Pernah 2. Tinggi
ditempuh atau (tamat
Dialami SMA
seorang ibu Hingga
dan berijazah. Tamat
Perguruan
Tinggi)
Status Kondisi Wawancara Kuesioner 1. Bekerja Ordinal
pekerjaan ibu dimana ibu 2. Tidak
Melakukan Bekerja
kegiatan/
bekerja untuk
Memenuhi
Kebutuhan

40
Hidup
keluarganya.
Pengetahuan Sesuatu yang Wawancara Kuesioner 1. Baik (76% Ordinal
ibu tentang diketahui ibu Dengan - 100%)
gizi balita Yang Mengajukan 2. Cukup
Berkenaan 15 (56% -
dengan gizi Pertanyaan 75%)
balita. 3. Kurang (≤
55%)
Jumlah anak Jumlah Wawancara Kuesioner 1. Sedikit (< Ordinal
Dalam Keseluruhan 4)
Keluarga orang atau 2. Banyak (≥
Keturunan 4)
dalam sebuah
keluarga.
Status gizi Keadaan gizi Menilai Baku acuan BB/TB: Ordinal
Balita Balita WHO (World 1. Gemuk
Berdasarkan Berdasarkan Health 2. Normal
Hasil Berat Badan Organization) 3. Kurus
Pengukuran Tinggi Badan 4. Kurus
Antropometri (BB/TB). Sekali

3.3. Populasi Dan Sampel Penelitian


3.3.1. Populasi Penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah semua anak balita yang datang ke
Posyandu Nijang tanggal 03,04 dan 06 Mei 2019 sebanyak 85 orang.

41
3.3.2. Sampel
3.3.2.1. Kriteria Sampel
I. Kriteria inklusi yaitu :
a) Ibu yang memiliki anak balita usia 6 – 59 bulan.
b) Ibu yang bersedia diteliti dan berdomisili di Wilayah Kerja
Posyandu Nijang;
II. Kriteria ekslusi yaitu:
Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah:
a) Ibu yang memiliki anak balita usia <6 bulan atau >59 bulan.
b) Ibu yang mempunyai balita yang tidak berada di tempat saat
diadakan penelitian;
c) Ibu yang tidak bersedia dilakukan wawancara.

3.3.2.2. Cara penentuan sampel dan besar sampel


Penentuan sampel kasus menggunakan metode purposive sampling
yaitu penentuan sampel dengan mengambil seluruh anggota populasi
sebagai responden atau sampel. Sehingga total sampel pada penelitian ini
sebanyak 30 sampel.

3.4. Pengumpulan Data Dan Instrumen Penelitian


3.4.1. Pengumpulan Data
3.4.1.1. Data primer
Data primer dikumpulkan dengan melakukan pengukuran,
wawancara, dan observasi secara langsung terhadap responden untuk
mengetahui gambaran status gizi dan faktor- faktor yang mempengaruhi
status gizi. Setelah data terkumpul dari hasil wawancara dan alat ukur
selanjutnya dilakukan pengolahan data.

3.4.2. Instrumen penelitian


Instrumen merupakan alat yang digunakan untuk pengumpulan data
(notoatmodjo, 2010). Instrument yang digunakan pada penelitian ini yaitu:

42
3.4.2.1. Kuesioner
Kuesioner berisi beberapa pertanyaan yang terstruktur untuk mengetahui
karakteristik responden dan faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi
balita
3.4.2.2. Lembar persetujuan repsonden
Sebagai tanda persetujuan untuk menjadi subjek penelitian.
3.4.2.3. Meteran
Digunakan untuk mengukur tinggi badan balita
3.4.2.4. Dacin
Digunakan untuk mengukur berat badan balita.
3.4.2.5. Kamera
Digunakan untuk mendokumentasikan kegiatan selama penelitian
berlangsung.

3.5. Alur Penelitian

Mengambil register

Populasi
Teknik sampling
(purposive
Sampel sampling)

Pengumpulan Data
(pengukuran dan
wawancara )

Analisis Data

43
3.6. Tempat Dan Waktu Penelitian
3.6.1. Tempat penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Posyandu Nijang Kecamatan Unter Iwes.
3.6.2. Waktu penelitian
Penelitian ini dilakukan pada tanggal 03, 04, dan 06 Meil 2019.

3.7. Pengolahan Dan Analisis Data


3.7.1. Pengolahan data
Setelah pengumpulan data, pengolahan data dilakukan dalam beberapa tahap yaitu:
a) Editing
Merupakan kegiatan untuk melakukan pengecekan isian formulir atau
kuesioner apakah jawaban yang ada pada kuesioner sudah jelas, lengkap,
relevan dan konsisten.
b) Coding
Melakukan pemberian kode-kode tertentu dengan tujuan mempersingkat dan
mempermudah pengolahan data.
c) Entry data
Data yang telah diedit dan diberi kode kemudian diproses ke dalam program
komputer.
d) Cleaning data
Melihat kembali data yang telah dimasukkan atau sudah dibersihkan dari
kesalahan, baik dalam pengkodean atau pada entry data.

3.8. Analisis Data


Analisis data dalam hal ini menggunakan teknik sebagai berikut:
3.8.1. Analisis univariat
Analisis ini digunakan untuk mendiskripsikan masing-masing variabel, baik
variabel bebas maupun variabel terikat.

44
3.9. Etika penelitian
Dalam melakukan penelitian, peneliti memperhatikan masalah etika penelitian yang
meliputi:
3.9.1. Informed consent
Sebelum melakukan penelitian calon responden diberi penjelasan tentang
tujuan dan manfaat penelitian. Apabila calon responden bersedia untuk diteliti maka
calon responden harus menandatangani lembar persetujuan tersebut dan jika
responden menolak untuk diteliti maka peneliti tidak boleh memaksa dan tetap
menghormatinya.
3.9.2. Anonymity
Untuk menjaga kerahasiaan responden dalam penelitian, maka peneliti tidak
mencantumkan subjek penelitian. Untuk memudahkan digunakan dalam mengenali
identitas, peneliti menggunakan nomor atau kode responden.
3.9.3. Confidientiality
Informasi yang diberikan oleh reposnden serta semua data yang terkumpul
dijamin kerahasiaanya oleh peneliti.

45
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN PENELITIAN

4.1. Hasil Penelitian


Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran status gizi pada balita yang telah
dilaksanakan pada Tanggal 03, 04 dan 06 Mei 2019 di Wilayah Kerja Posyandu Nijang
Kecamatan Unter Iwes. Jumlah keseluruhan sampel yang digunakan sebanyak 30 orang.
Pengukuran berat badan dan tinggi badan dilakukan dengan menggunakan alat ukur yaitu
meteran dan dacin. Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan di Wilayah Kerja Posyandu
Nijang Kecamatan Unter Iwes maka diperoleh hasil sebagai berikut :

Analisis Univariat

Analisis digunakan untuk mendiskripsikan masing-masing varibel, baik variabel bebas


maupun variabel terikat. Jumlah responden yang diteliti adalah 30 responden.

4.1.1. Karakteristik Anak Berdasarkan Umur di Wilayah Kerja Posyandu Nijang


Kecamatan Unter Iwes.
10

0
6-12 bulan 13-24 bulan 25-36 bulan 37-48 bulan 49-59 bulan

JUMLAH

Berdasarkan Grafik 4.1.1 di atas, diketahui bahwa proporsi anak balita yang menjadi
sampel pada penelitian ini lebih banyak yang berumur 6 – 12 bulan.

46
4.1.2. Karakteristik Anak Balita Berdasarkan Jenis Kelamin di Wilayah Kerja
Posyandu Nijang Kecamatan Unter Iwes.
16
14
12
10
8
6
4
2
0
perempuan laki-laki
JUMLAH

Berdasarkan Grafik 4.1.2 diatas dapat dilihat bahwa proporsi anak balita perempuan
sama dengan laki-laki yaitu 50 % (15 orang).

47
4.1.3. Karakteristik Anak Balita Berdasarkan Berat Badan Lahir di Wilayah Kerja
Posyandu Nijang Kecamatan Unter Iwes.
35
30
25
20
15
10
5
0
rendah normal lebih

JUMLAH

Berdasarkan grafik 4.1.3 di atas dapat dilihat bahwa semua anak balita mempunyai
berat badan lahir normal.

4.1.4. Karakteristik Anak Balita Berdasarkan Riwayat Diare di Wilayah Kerja


Posyandu Nijang Kecamatan Unter Iwes.
25

20

15

10

0
ya tidak
JUMLAH

Berdasarkan grafik 4.1.4 di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar anak balita tidak
mengalami diare dalam 2 minggu yaitu sebanyak 22 orang (73,3 %)

48
4.1.5. Karakteristik Anak Balita Berdasarkan Riwayat Pneumonia di Wilayah Kerja
Posyandu Nijang Kecamatan Unter Iwes.
35
30
25
20
15
10
5
0
ya tidak
JUMLAH

Berdasarkan grafik 4.1.5 di atas dapat dilihat bahwa tidak ada balita yang
mengalami pneumonia.

4.1.6. Karakteristik Anak Balita Berdasarkan Riwayat TBC Pemberian Kolostrum di


Wilayah Kerja Posyandu Nijang Kecamatan Unter Iwes.
35
30
25
20
15
10
5
0
YA TIDAK

JUMLAH

Berdasarkan Grafik 4.1.6 diatas, diketahui bahwa 1 orang anak balita yang memiliki
riwayat terinfeksi TB paru.

49
4.1.7. Karakteristik Anak Balita Berdasarkan Pemberian ASI Ekslusif di Wilayah
Kerja Posyandu Nijang Kecamatan Unter Iwes
30
25
20
15
10
5
0
YA TIDAK

JUMLAH

Berdasarkan Grafik 4.1.7 diatas, diketahui bahwa sebagian besar anak balita
mendapatkan ASI Ekslusif yaitu sebanyak 27 orang (90 %).

4.1.8. Karakteristik Anak Balita Berdasarkan Umur Pemberian MP-ASI di Wilayah


Kerja Posyandu Nijang Kecamatan Unter Iwes.
30
25
20
15
10
5
0
< 6 BULAN > 6 BULAN

JUMLAH

Berdasarkan Grafik 4.1.8 diatas, diketahui bahwa sebagian besar anak balita
diberikan MP-ASI setelah berumur 6 bulan yaitu sebanyak 27 orang (90 %).

50
4.1.9. Karakteristik Anak Balita Berdasarkan Imunisasi Lengkap Sesuai Usia Anak
di Wilayah Kerja Posyandu Nijang Kecamatan Unter Iwes.

35
30
25
20
15
10
5
0
lengkap tidak lengkap

JUMLAH

Berdasarkan Grafik 4.1.9 diatas, diketahui bahwa semua anak balita telah
mendapatkan imunisasi sesui dengan umurnya.

4.1.10. Karakteristik Ibu Balita Berdasarkan Umur di Wilayah Kerja Posyandu


Nijang Kecamatan Unter Iwes.
20

15

10

0
< 20 TAHUN 20-30 TAHUN > 30 TAHUN

JUMLAH

Berdasarkan Grafik 4.1.9 di atas, menunjukan bahwa ibu balita yang terlibat dalam
penelitian ini sebagian besar tergolong usia produktif (usia 20 – 30 tahun) yaitu
sebanyak 18 orang (60%).

51
4.1.11. Karakteristik Ibu Balita Berdasarkan Tingkat Pendidika di Wilayah Kerja
Posyandu Nijang Kecamatan Unter Iwes
16.5
16
15.5
15
14.5
14
13.5
13
RENDAH TINGGI

JUMLAH

Berdasarkan Grafik 4.1.11. di atas, menunjukan bahwa sebagian ibu balita yang
terlibat dalam penelitian ini memiliki pendidikan yang tinggi yaitu sebanyak 16
orang (53,3%).

52
4.1.12. Karakteristik Ibu Balita Berdasarkan Tingkat Pengetahuan Tentang Gizi di
Wilayah Kerja Posyandu Nijang Kecamatan Unter Iwes
25

20

15

10

0
BAIK CUKUP KURANG
JUMLAH

Berdasarkan Grafik 4.1.12 di atas, menunjukan bahwa sebagian ibu balita memiliki
pengetahuan yang kurang mengenai gizi balita yaitu sebanyak 20 orang (66,66%).

4.1.13. Karakteristik Berdasarkan Status Pekerjaan Ibu Balita di Wilayah Kerja


Posyandu Nijang Kecamatan Unter Iwes.
35
30
25
20
15
10
5
0
BEKERJA TIDAK BEKERJA

JUMLAH

Berdasarkan Grafik 4.1.13 di atas, menunjukan bahwa semua ibu balita tidak
bekerja.

53
4.1.14. Karakteristik Berdasarkan jumlah Anak dalam Keluarga di Wilayah Kerja
Posyandu Nijang Kecamatan Unter Iwes.
25

20

15

10

0
<2 >2

JUMLAH

Berdasarkan Grafik 4.1.14 di atas, menunjukan bahwa sebagian besar responden


memiliki jumlah anak kurang dari 2 anak.

4.2. Keterbatasan Penelitian


4.2.1. Pada saat wawancara terkadang dilakukan pada saat yang tidak tepat sehingga kurang
memberikan suasana yang kondusif bagi ibu balita untuk menjawab pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan sehingga maksud dan tujuan dari pertanyaan tidak terjawab
dengan pasti.
4.2.2. Pada saat mengukur berat badan maupun tinggi badan sebagian balita kurang kooperatif.
4.2.3. Sebagian besar ibu balita menolak untuk dilakukan wawancara.

54
BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan
5.1.1. Proporsi anak balita yang menjadi sampel pada penelitian ini lebih banyak yang berumur
6 – 12 bulan.
5.1.2. Proporsi anak balita perempuan dan laki-laki sama.
5.1.3. Semua anak balita mempunyai berat badan lahir normal.
5.1.4. Sebagian Besar anak balita tidak mengalami diare dalam 2 minggu yaitu sebanyak 22
orang (73,3 %).
5.1.5. Semua anak balita tidak mengalami Pneumonia dalam 2 minggu terakhir ini.
5.1.6. Satu anak balita mengalami riwayat TB Paru.
5.1.7. Sebagian besar anak balita tidak mendapatkan ASI Ekslusif yaitu sebanyak 27 orang
(90%).
5.1.8. Sebagian besar anak balita diberikan MP-ASI setelah berumur 6 bulan yaitu sebanyak
27 orang (90 %).
5.1.9. Semua anak balita telah mendapatkan imunisasi sesuai dengan umurnya.
5.1.10. Ibu balita yang terlibat dalam penelitian ini sebagian besar tergolong usia produktif (usia
20 – 30 tahun) yaitu sebanyak 18 orang (60%).
5.1.11. Sebagian ibu balita yang terlibat dalam penelitian ini memiliki pendidikan yang tinggi
yaitu sebanyak 16 orang (53,3%).
5.1.12. Sebagian ibu balita memiliki pengetahuan yang kurang mengenai gizi balita yaitu
sebanyak 20 orang (66,6%).
5.1.13. Semua ibu balita tidak bekerja.
5.1.14. Sebagian besar responden memiliki jumlah anak lebih dari 2 anak.

55
5.2. Saran

5.2.1 Disarankan kepada ibu untuk tetap memperhatikan asupan gizi anak, selain itu perlu
juga peningkatan kesadaran ibu melalui kegiatan penyuluhan oleh petugas kesehatan .
Dalam hal ini menyangkut tentang praktek pemberian makan dan praktek kesehatan.
5.2.2 Perlu dilakukannya upaya promotif dan preventif untuk mengurangi angka penyakit
infeksi, seperti penyuluhan tentang penyakit infeksi pada balita, terutama diare,
Pneumonia dan TBC misalnya melalui revitalisasi posyandu dengan cara meningkatkan
partisipasi masyarakat untuk menggunakan posyandu sebagai pusat kesehatan dan
sumber informasi di masyarakat
5.2.3 Untuk penelitian selanjutnya diharapkan dapat diteliti lebih lanjut tentang faktor-faktor
yang berpengaruh terhadap keadaan status gizi balita dengan meneliti faktor-faktor
lainnya selain yang ada di penelitian ini. Selain itu penelitian selanjutnya disarankan
agar menggunakan desain deskriptif korelatif sehingga dapat mengidentifikasi
determinan angka kejadian status gizi pada balita dari faktor-faktor yang
mempengaruhinya.

56
DAFTAR PUSTAKA

Achadi, E., et all. (2007). Gizi dan kesehatan masyarakat. Departemen Gizi Kesmas DKM-UI.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Adisasmito, W. (2007). Faktor Risiko Diare Pada Bayi Dan Balita di Indonesia: Systematic
Review Penelitian Akademik Bidang Kesehatan Masyarakat. Makara Kesehatan vol. 11, no.
1, juni: 1-10.

Adriani, Dkk. (2014). http:// www. Journal Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Pneumonia
Pada Balita. Di akses 18 Mei 2019.

BKKBN. (2008). Staus gizi balita di Kota Depok. Jakarta.

Desmawati. (2016). Http://www, Journal Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Pada Balita.
Di akses 18 Mei 2019.

Danusantoso H (2012a). Tuberkulosis paru. Dalam: Buku saku ilmu penykit paru Edisi 2.
Jakarta: EGC, p: 1.

Danusantoso H (2012b). Tuberkulosis paru. Dalam: Buku saku ilmu penykit paru Edisi 2.
Jakarta: EGC, p: 155.

Gusnilawati. Hubungan Usia Saat Imunisasi BCG dan Status Gizi Dengan Kejadian TB Paru
Pada Anak Usia < 5 Tahun di RSUD Dr.M. Yunus Bengkulu Tahun 2011-2012.[Tesis]
Jakarta. Universitas Indonesia; 2013.
Catanzano TM (2015). Primary Tuberculosis Imaging. www.emedicine.meds-
cape.com/article/358610-overview -Di akses 18 Mei 2019.

Hamisah, I. (2013). Hubungan Status Gizi dan prefalensi Diare Akut Pada Anak Usia di Bawah
5 Tahun di Kabupaten Klaten. Universitas Gadjah Mada.

Hermansyah, (2012). Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian kep anak umur 6-59 bulan
pada keluarga miskin di Kota Sawahlunto tahun 2012. Tesis Program Pasca Sarjana Magister
Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia.http://digilib.ui.ac.id/. Di akses 18 Mei 2019.

Kementerian Kesehatan RI. Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis Pada Anak. Jakarta; 2008.

57
Khomsa, A. (2011). “Status gizi balita menurut WHO”. Style Sheet:
http://www.anneahira.com/status-gizi-balita-menurut-who.htm. diakses pada tanggal 19 Mei
2019.

Lingga, N. K. (2010). Faktor yang berhubungan dengan status gizi anak balita di Desa Kolam
Kecamatan Percut Sei Tuan Kabupaten Deli Serdang Tahun 2010.

Maryunani. (2013). Http://www Jurnal Hubungan Status Gizi Dengan Kejadian Pneumonia
Pada Balita. diakses pada tanggal 19 Mei 2019.

Puspitasari RA, Saraswati LD, Hestiningsih R. Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Tuberkulosis pada Anak (Studi di Balai Kesehatan Paru Masyarakat Semarang). Jurnal
Kesehatan Masyarakat. 2015;3(1):191-197.

Subagyo & Santoso. (2010). Buku Ajar Gastroenterologi Hepatologi jilid 1. Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia.

Surdjo., & Kusnanto, C. M. (1992). Prinsip-prinsip dasar ilmu gizi. Yogyakarta: Kanisius. Skripsi
Program Sarjana Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
http://repository.usu.ac.id/. Di akses pada tanggal 19 Mei 2019.

58

Anda mungkin juga menyukai