PENDAHULUAN
1
insiden kanker serviks masih tetap tinggi. Cakupan skrining di Indonesia sangat
rendah yaitu <5% (idealnya 80%).2
Hal terpenting menghadapi penderita kanker serviks adalah menegakkan
diagnosis sedini mungkin dan memberikan terapi yang efektif sekaligus prediksi
prognosisnya. Hingga saat ini pilihan terapi masih terbatas pada operasi, radiasi
dan kemoterapi, atau kombinasi dari beberapa terapi ini. Namun, tentu saja terapi
ini masih berupa “simptomatis” karena masih belum menyentuh dasar penyebab
kanker yaitu adanya perubahan perilaku sel. Terapi yang lebih mendasar atau
imunoterapi masih dalam tahap penelitian.4
2
BAB II
KANKER SERVIKS
2.1. DEFINISI
3
(epitel) tersebut mengalami penggandaan dan berubah sifat tidak seperti sel yang
normal. Kanker serviks berkembang secara bertahap, tetapi progresif. Proses
terjadinya kanker ini dimulai dengan sel yang mengalami mutasi lalu berkembang
menjadi sel displastik sehingga terjadi kelainan epitel yang disebut displasia.
Dimulai dari displasia ringan, displasia sedang, displasia berat, dan akhirnya
menjadi karsinoma in-situ (KIS), kemudian berkembang lagi menjadi karsinoma
invasif. Tingkat displasia dan KIS dikenal juga sebagai tingkat pra-kanker. Dari
displasia menjadi karsinoma in-situ diperlukan waktu 1-7 tahun, sedangkan
karsinoma in-situ menjadi karsinoma invasif berkisar 3-20 tahun. 4
2.2. EPIDEMIOLOGI
Berdasarkan distribusi umur, Dari laporan FIGO (Internasional Federation
Of Gynecology and Obstetrics) tahun 1988, kelompok umur 30-39 tahun dan
kelompok umur 60-69 tahun terlihat sama banyaknya. Secara umum, stadium IA
lebih sering ditemukan pada kelompok umur 30-39 tahun, sedangkan untuk
stadium IB dan II sering ditemukan pada kelompok umur 40-49 tahun, stadium III
dan IV sering ditemukan pada kelompok umur 60-69 tahun.5
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di RSCM Jakarta tahun 1997-1998
ditmukan bahwa stadium IB-IIB sering terdapat pada kelompok umur 35-44
tahun, sedangkan stadium IIIB sering didapatkan pada kelompok umur 45-54
tahun. Penelitian yang dilakukan oleh Litaay, dkk dibeberapa Rumah Sakit di
Ujung Pandang (1994-1999) ditemukan bahwa penderita kanker rahim yang
terbanyak berada pada kelompok umur 46-50 tahun yaitu 17,4%.3
Menurut distribusi tempat, Frekwensi kanker serviks terbanyak dijumpai
pada negara-negara berkembang seperti Indonesia, India, Bangladesh, Thailand,
Vietnam dan Filipina. Di Amerika Latin dan Afrika Selatan frekwensi kanker
rahim juga merupakan penyakit keganasan terbanyak dari semua penyakit
keganasan yang ada lainnya.4
4
2.3. KLASIFIKASI DAN STAGING
Klasifikasi kanker dapat dibagi menjadi tiga, yaitu (1) klasifikasi
berdasarkan histopatologi, (2) klasifikasi berdasarkan terminologi dari sitologi
serviks, dan (3) klasifikasi berdasarkan stadium stadium klinis menurut FIGO.6
2.3.1. Klasifikasi berdasarkan histopatologi
CIN 1 (Cervical Intraepithelial Neoplasia), perubahan sel-sel abnormal
lebih kurang setengahnya. berdasarkan pada kehadiran dari dysplasia
yang dibatasi pada dasar ketiga dari lapisan cervix, atau epithelium
(dahulu disebut dysplasia ringan). Ini dipertimbangkan sebagai low-
grade lesion (luka derajat rendah).6
CIN 2, perubahan sel-sel abnormal lebih kurang tiga perempatnya,
dipertimbangkan sebagai luka derajat tinggi (high-grade lesion). Ia
merujuk pada perubahan-perubahan sel dysplastic yang dibatasi pada
dasar duapertiga dari jaringan pelapis (dahulu disebut dysplasia sedang
atau moderat). 6
CIN 3, perubahan sel-sel abnormal hampir seluruh sel. adalah luka
derajat tinggi (high grade lesion). Ia merujuk pada perubahan-
perubahan prakanker pada sel-sel yang mencakup lebih besar dari
duapertiga dari ketebalan pelapis cervix, termasuk luka-luka ketebalan
penuh yang dahulunya dirujuk sebagai dysplasia dan carcinoma yang
parah ditempat asal.6
5
2.3.2. Klasifikasi berdasarkan terminologi dari sitologi serviks
ASCUS (Atypical Squamous Cell Changes of Undetermined
Significance) Kata "squamous" menggambarkan sel-sel yang tipis dan
rata yang terletak pada permukaan dari cervix. Satu dari dua pilihan-
pilihan ditambahkan pada akhir dari ASC: ASC-US, yang berarti
undetermined significance, atau ASC-H, yang berarti tidak dapat
meniadakan HSIL (lihat bawah). 6
LSIL (Low-grade Squamous Intraepithelial Lesion) berarti perubahan-
perubahan karakteristik dari dysplasia ringan diamati pada sel-sel
cervical. 6
HSIL (High Grade Squamous Intraepithelial Lesion) merujuk pada
fakta bahwa sel-sel dengan derajat yang parah dari dysplasia terlihat. 6
6
IA2 Pengukuran stroma invasi >3 mm dan
< 5mm, kedalaman ≤ 7 mm
7
IIA2 Lesi klinis >4.0 cm.
8
IVA Proses sudah keluar dari panggul
kecil, atau sudah menginfiltrasi
mukosa rektum dan atau kandung
kemih.
9
T4b Ca telah meluas sampai di luar panggul
Nx Bila memungkinkan untuk menilai kelenjar limfa regional. Tanda
-/+ ditambahkan untuk tambahan ada/tidaknya informasi
mengenai pemeriksaan histologik, jadi Nx+ / Nx-.
N0 Tidak ada deformitas kelenjar limfa pada limfografi
N1 Kelenjar limfa regional berubah bentuk (dari CT Scan panggul,
limfografi)
N2 Teraba massa yang padat dan melekat pada dinding panggul
dengan celah bebas infiltrat diantara massa ini dengan tumor
M0 Tidak ada metastasis berjarak jauh
M1 Terdapat metastasis jarak jauh, termasuk kele. Limfa di atas
bifurkasio arrteri iliaka komunis.
10
kapsid. Virus ini juga bersifat epiteliotropik yang dominan menginfeksi kulit dan
selaput lendir dengan karakteristik proliferasi epitel pada tempat infeksi. 7
Tabel 3. Peranan protein virus HPV
E Protein Perananya
E1 Mengontrol pembentukan DNA virus dan mempertahankan
efisomal
E2 E Mengontrol pembentukan / transkripsi / transformasi
E4 Mengikat sitokeratin
E5 Transformasi melalui reseptor permukaan (epidermal growt
factor, platelet derivat growth factor, p123)
E6 Immortalisasi / berikatan dengan p 53, trans activated / kontrol
transkripsi
E7 Immortalitas / berikatan dengan Rb1,p107,p130
L Protein Peranannya
L1 Protein sruktur / mayor Viral Coat Protein
L2 Protein sruktur / minor Viral Coat Protein
HPV dibagi menjadi 2 yaitu virus tipe low-risk (resiko rendah) dan high-
risk (resiko tinggi) yang dihubungkan dengan resiko keganasan. 7
1. HPV tipe low-risk (resiko rendah).
Tipe low-risk cendrung menyebabkan tumor jinak meskipun kadangkala
dapat menyebabkan kanker antara lain kanker anogenital yaitu tipe 6, 11,
42, 43, 44, 54, 61, 70, 72, dan 81. 7
2. HPV tipe high-risk (resiko tinggi)
Tipe high-risk (resiko tinggi) cenderung menyebabkan tumor ganas. Lebih
dari 30 tipe HPV yang diklasifikasikan onkogenik atau resiko tinggi (high-
risk) sebab hubungannya dengan kanker serviks yaitu tipe 16, 18, 31, 33,
34, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 66, 68 dan 82. HPV tipe 16 paling sering
dijumpai dan sekitar 50% kanker serviks invasif dijumpai HPV tipe 18, 45,
31, 33, 52 dan 58.6 Infeksi persisten HPV-16, HPV-18, HPV-31, HPV-45
sering menyebabkan kanker serviks. 7
11
Studi epidemiologi mengungkapkan bahwa resiko terjangkit kanker
serviks meningkat seiring meningkatnya jumlah pasangan. Aktifitas seksual yang
dimulai pada usia dini, yaitu kurang dari 20 tahun, juga dapat dijadikan sebagai
faktor resiko terjadinya kanker servks. Hal ini diuga ada hubungannya dengan
belum matangnya daerah transformas pada usia tesebut bila sering terekspos.
Frekuensi hubungnga seksual juga berpengaruh pada lebih tingginya resiko pada
usia tersebut, tetapi tidak pada kelompok usia lebih tua. 4,7
Paritas
Kanker serviks sering dijumpai pada wanita yang sering melahirkan.
Semakin sering melahirkan, maka semakin besar resiko terjangkit kanker serviks.
Pemelitian di Amerika Latin menunjukkan hubungan antara resiko dengan
multiparitas setelah dikontrol dengan infeksi HPV. 4,7
Merokok
Beberapa penelitian menemukan hubungan yang kuat antara merokok
dengan kanker serviks, bahkan setelah dikontrol dengan variabel konfounding
seperti pola hubungan seksual. Penemuan lain memperkuatkan temuan nikotin
pada cairan serviks wanita perokok bahkan ini bersifat sebagai kokarsinogen dan
bersama-sama dengan karsinogen yang telah ada selanjutnya mendorong
pertumbuhan ke arah kanker. 4,7
Kontrasepsi oral
Penelitian secara perspektif yang dilakukan oleh Vessey dkk tahun 1983
(Schiffman,1996) mendapatkan bahwa peningkatan insiden kanker serviks
dipengaruhi oleh lama pemakaian kontrasepsi oral. Penelitian tersebut juga
mendapatkan bahwa semua kejadian kanker serviks invasive terdapat pada
pengguna kontrasepsi oral. Penelitian lain mendapatkan bahwa insiden kanker
setelah 10 tahun pemakaian 4 kali lebih tinggi daripada bukan pengguna
kontrasepsi oral. Namun penelitian serupa yang dilakukan oleh peritz dkk
menyimpulkan bahwa aktifitas seksual merupakan confounding yang erat
kaitannya dengan hal tersebut. 4,7
WHO mereview berbagai peneltian yang menghubungkan penggunaan
kontrasepsi oral dengan risko terjadinya kanker serviks, menyimpulkan bahwa
12
sulit untuk menginterpretasikan hubungan tersebut mengingat bahwa lama
penggunaan kontrasepsi oral berinteraksi dengan faktor lain khususnya pola
kebiasaan seksual dalam mempengaruhi resiko kanker serviks. Selain itu, adanya
kemungkinan bahwa wanita yang menggunakan kontrasepsi oral lain lebih sering
melakukan pemeriksaan serviks,sehingga displasia dan karsinoma in situ nampak
lebih frekuen pada kelompok tersebut. Diperlukan kehati-hatian dalam
menginterpretasikan asosiasi antara lama penggunaan kontrasepsi oral dengan
resiko kanker serviks karena adanya bias dan faktor confounding. 4,7
Defisiensi gizi
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa defisiensi zat gizi tertentu seperti
betakaroten dan vitamin A serta asam folat, berhubungna dengan peningkatan
resiko terhadap displasia ringan dan sedang.. Namun sampai saat ini tdak ada
indikasi bahwa perbaikan defisensi gizi tersebut akan menurunkan resiko. 4,7
Sosial ekonomi
Studi secara deskrptif maupun analitik menunjukkan hubungan yang kuat
antara kejadian kanker serviks dengan tingkat social ekonomi yang rendah. Hal ini
juga diperkuat oleh penelitian yang menunjukkan bahwa infeksi HPV lebih
prevalen pada wanita dengan tingkat pendidkan dan pendapatan rendah. Faktor
defisiensi nutrisi, multilaritas dan kebersihan genitalia juga dduga berhubungan
dengan masalah tersebut. 4,7
Pasangan seksual
Peranan pasangan seksual dari penderita kanker serviks mulai menjadi
bahan yang menarik untuk diteliti. Penggunaan kondom yang frekuen ternyata
memberi resiko yang rendah terhadap terjadinya kanker serviks. Rendahnya
kebersihan genetalia yang dikaitkan dengan sirkumsisi juga menjadi pembahasan
panjang terhadap kejadian kanker serviks. Jumlah pasangan ganda selain istri juga
merupakan factor resiko yang lain. 4,7
2.5. PATOFISIOLOGI
Petanda tumor atau kanker adalah pembelahan sel yang tidak dapat
dikontrol sehingga membentuk jaringan tumor. Mekanisme pembelahan sel yang
terdiri dari 4 fase yaitu G1, S, G2 dan M harus dijaga dengan baik. Selama fase S,
13
terjadi replikasi DNA dan pada fase M terjadi pembelahan sel atau mitosis.
Sedangkan fase G (Gap) berada sebelum fase S (Sintesis) dan fase M (Mitosis).
Dalam siklus sel p53 dan pRb berperan penting, dimana p53 memiliki kemampuan
untuk mengadakan apoptosis dan pRb memiliki kontrol untuk proses proliferasi sel itu
sendiri. 7
Infeksi dimulai dari virus yang masuk kedalam sel melalui mikro abrasi
jaringan permukaan epitel, sehingga dimungkinkan virus masuk ke dalam sel
basal. Sel basal terutama sel stem terus membelah, bermigrasi mengisi sel bagian
atas, berdiferensiasi dan mensintesis keratin. Pada HPV yang menyebabkan
keganasan, protein yang berperan banyak adalah E6 dan E7. mekanisme utama protein E6
dan E7 dari HPV dalam proses perkembangan kanker serviks adalah melalui interaksi
dengan protein p53 dan retinoblastoma (Rb). Protein E6 mengikat p 53 yang merupakan
suatu gen supresor tumor sehingga sel kehilangan kemampuan untuk mengadakan
apoptosis. Sementara itu, E7 berikatan dengan Rb yang juga merupakan suatu gen
supresor tumor sehingga sel kehilangan sistem kontrol untuk proses proliferasi sel itu
sendiri. Protein E6 dan E7 pada HPV jenis yang resiko tinggi mempunyai daya ikat yang
lebih besar terhadap p53 dan protein Rb, jika dibandingkan dengan HPV yang tergolong
resiko rendah. Protein virus pada infeksi HPV mengambil alih perkembangan
siklus sel dan mengikuti deferensiasi sel. 7
Karsinoma serviks umumnya terbatas pada daerah panggul saja.
Tergantung dari kondisi immunologik tubuh penderita KIS akan berkembang
menjadi mikro invasif dengan menembus membrana basalis dengan kedalaman
invasi <1mm dan sel tumor masih belum terlihat dalam pembuluh limfa atau
darah. Jika sel tumor sudah terdapat >1mm dari membrana basalis, atau <1mm
tetapi sudah tampak dalam pembuluh limfa atau darah, maka prosesnya sudah
invasif. Tumor mungkin sudah menginfiltrasi stroma serviks, akan tetapi secara
klinis belum tampak sebagai karsinoma. Tumor yang demikian disebut sebagai
ganas praklinik (tingkat IB-occult). Sesudah tumor menjadi invasif, penyebaran
secara limfogen melalui kelenjar limfa regional dan secara perkontinuitatum
(menjalar) menuju fornices vagina, korpus uterus, rektum, dan kandung kemih,
yang pada tingkat akhir (terminal stage) dapat menimbulkan fistula rektum atau
kandung kemih. Penyebaran limfogen ke parametrium akan menuju kelenjar limfa
14
regional melalui ligamentum latum, kelenjar-kelenjar iliak, obturator,
hipogastrika, prasakral, praaorta, dan seterusnya secara teoritis dapat lanjut
melalui trunkus limfatikus di kanan dan vena subklavia di kiri mencapai paru-
paru, hati , ginjal, tulang dan otak. 7
15
Neoplasma ganas
(Ca Cervix)
pertumbuhan
infiltrasi sel infiltrasi sel kanker sel kanker tidak
kanker ke ke jaringan sekitar terkendali
ureter
Obstruksi Meneka Infeksi Sifat sel kanker
total n dan yang mudah
serabut nekros berdarah
Retrograd saraf is (eksofilik)
e jaringa coitu
n Perdarahan s
Nyeri
Hidronefro spontan Perdaraha
sis Keputih n kontak
an dan anemi
CR bau a
F Peningkat
khas an
kanker kebutuha
Penurunan CO n
Perubahan Perfusi jar.
terhadap pola metabolis
tdk adekuat me sel
seksual
Gangguan konsep kanker
Nutrisi <dari
diri kebutuhan
tubuh
Kurang
perawatan Kelemaha
diri n fisik
Intoleransi
aktivitas
16
Gambar 5. Perjalanan Penyakit Kanker Serviks7
2.6. DIAGNOSIS
2.6.1. Gejala dan Tanda
Gejala klinis dari kanker serviks sangat tidak khas pada stadium dini.
Biasanya sering ditandai sebagai fluor dengan sedikit darah, perdarahan post
koitus atau perdarahan pervaginam yang disangka sebagai perpanjangan waktu
haid. Pada stadium lanjut baru terlihat tanda-tanda yang lebih khas untuk kanker
serviks, baik berupa perdarahan yang hebat (terutama dalam bentuk eksofilik),
fluor albus yang berbau dan rasa sakit yang sangat hebat.8
Pada fase prakanker, sering tidak ditandai dengan gejala atau tanda-tanda
yang khas. Namun, kadang dapat ditemui gejala-gejala sebagai berikut:
a. Keputihan atau keluar cairan encer dari vagina. Getah yang keluar dari
vagina ini makin lama makin berbau busuk karena adanya infeksi dan
nekrosis jaringan.
b. Perdarahan setelah senggama ( post coital bleeding) yang kemudian
berlanjut ke perdarahan yang abnormal.
c. Timbulnya perdarah setelah masa menopause
d. Pada tahap invasif dapat muncul cairan berwarna kekuning-kuningan,
berbau dan dapat bercampur dengan darah
17
e. Timbul gejala-gejala anemia akibat dari perdarahan yang abnormal
f. Timbul nyeri pada daeah panggul (pelvic) atau pada daerah perut bagian
bawah bila terjadi peradangan pada panggul. Bila nyeri yang terjadi dari
daerah pinggang ke bawah, kemungkinan terjadi hidronefrosis. Selain itu
masih mungkin terjadi nyeri pada tempat-tempat lainnya.
g. Pada stadium kanker lanjut, badan menjadi kurus karena kekurangan gizi,
edema pada kaki, timbul iritasi pada kandung kemih dan poros usus besar
bagian bawah (rectum), terbentuknya viskelvaginal dan rektovaginal, atau
timbul gejala-gejala lain yang disebabkan oleh metastasis jauh dari kanker
serviks itu sendiri. 8
2.7. PENCEGAHAN
18
virus ketika masuk ke dalam tubuh, sebelum terjadi infeksi. Vaksin dibuat
dengan teknologi rekombinan, vaksin berisi VLP (virus like protein) yang
merupakan hasil cloning dari L1 (viral capsid gene) yang mempunyai sifat
imunogenik kuat. Dalam hal ini dikembangkan 2 jenis vaksin:
1. Vaksin pencegahan untuk memicu kekebalan tubuh humoral agar dapat
terlindung dari infeksi HPV.
2. Vaksin Pengobatan untuk menstimulasi kekebalan tubuh seluler agar sel
yang terinfeksi HPV dapat dimusnahkan. 9
Respon imun yang benar pada infeksi HPV memiliki karakteristik yang
kuat, bersifat lokal dan selalu dihubungkan dengan pengurangan lesi dan bersifat
melindungi terhadap infeksi HPV genotif yang sama . Dalam hal ini, antibodi
humoral sangat berperan besar dan antibodi ini adalah suatu virus neutralising
antibodi yang bisa mencegah infeksi HPV dalam percobaan invitro maupun
invivo. Kadar serum neutralising hanya setelah fase seroconversion dan
kemudian menurun. 9
Kadar yang rendah ini berhubungan dengan infeksi dari virus. HPV yang
bersifat intraepitelial dan tidak adanya fase keberadaan virus di darah pada
infeksi ini. Selanjutnya protein L1 diekspresikan selama infeksi produktif dari
virus HPV dan partikel virus tersebut akan terkumpul pada permukaan sel epitel
tanpa ada proses kerusakan sel dan proses radang dan tidak terdeteksi oleh
antigen presenting cell dan makropag. Oleh karena itu partikel virus dan
kapsidnya terdapat dalam kadar yang rendah pada kelenjar limfe dan limpa, di
mana kedua organ tersebut adalah organ yang sangat berperan dalam proses
kekebalan tubuh. Meskipun dalam kadar yang rendah, antibodi tersebut bersifat
protektif terhadap infeksi virus HPV. 9
Terdapat dua jenis vaksin HPV L1 VLP yang sudah dipasarkan melalui
uji klinis, yakni Cervarik dan Gardasil :
1. Cervarix
Adalah jenis vaksin bivalen HPV 16/18 L1 VLP vaksin yang
diproduksi oleh Glaxo Smith Kline Biological, Rixensart, Belgium. Pada
preparat ini, Protein L1 dari HPV diekspresikan oleh recombinant
baculovirus vector dan VLP dari kedua tipe ini diproduksi dan kemudian
dikombinasikan sehingga menghasilkan suatu vaksin yang sangat
19
merangsang sistem imun . Preparat ini diberikan secara intramuskuler dalam
tiga kali pemberian yaitu pada bulan ke 0, kemudian diteruskan bulan ke 1
dan ke 6 masing-masing 0,5 ml.
2. Gardasil
Adalah vaksin quadrivalent 40 μg protein HPV 11 L1 HPV
( GARDASIL yang diproduksi oleh Merck) Protein L1 dari VLP HPV tipe
6/11/16/18 diekspresikan lewat suatu rekombinant vektor Saccharomyces
cerevisiae (yeast). Tiap 0,5 cc mengandung 20μg protein HPV 6 L1, 40
μgprotein HPV 11 L1, 20 μg protein HPV18 L1. Tiap 0,5 ml mengandung
225 amorph aluminium hidroksiphosphatase sulfat. Formula tersebut juga
mengandung sodium borat. Vaksin ini tidak mengandung timerasol dan
antibiotika. Vaksin ini seharusnya disimpan pada suhu 20 – 80 C.
Yang sebaiknya dimiliki oleh vaksin HPV pencegah kanker serviks adalah
1. Memberikan perlindungan yang adekuat terhadap infeksi HPV
penyebab kanker serviks.
-
Melawan virus tersering dan agresif penyebab kanker
-
Memberikan perlindungan tambahan dari tipe virus HPVlain yang
juga menyebabkan kanker.
2. Respon imun tubuh yang baik akan menghasilkan neutralizing
antibodies yang tinggi.
3. Dapat memberikan perlindungan yang jangka panjang.
4. Memberikan perlindungan tinggi hingga ke lokasi infeksi (serviks).
5. Profil keamanan yang baik
6. Affordable (Terjangkau lebih banyak perempuan). 9
Rekomendasi pemberian vaksin
Vaksin profilaksis akan bekerja efisien bila vaksin tersebut diberikan sebelum
individu terpapar infeksi HPV. Vaksin mulai dapat diberikan pada wanita usia 10 tahun.
Berdasarkan pustaka vaksin dapt diberikan pada wanita usia 10-26 tahun (rekomendasi
FDA-US), penelitian memperlihatkan vaksin dapat diberikan sampai usia 55 tahun. 9
Dosis dan cara pemberian vaksin:
20
Vaksin ini diberikan intramuskuler 0,5 cc diulang tiga kali, produk Cervarix
diberikan bulan ke 0,1 dan 6 sedangkan Gardasil bulan ke 0, 2 dan 6 (Dianjurkan
pemberian tidak melebihi waktu 1 tahun). Pemberian booster (vaksin ulangan), respon
antibodi pada pemberian vaksin sampai 42 bulan, untuk menilai efektifitas vaksin
diperlukan deteksi respon antibodi. Bila respon antibodi rendah dan tidak mempunyai
efek penangkalan maka diperlukan pemberian Booster. Vaksin dikocok terlebih dahulu
sebelum dipakai dan diberikan secara muskuler sebanyak 0,5 dan sebaiknya disuntikkan
pada lengan (otot deltoid) . 9
Contoh :
1. Penyuntikan 1 : Januari
2. Penyuntikan 2 : Februari / Maret
3. Penyuntikan 3 : Juli
21
Tabel 4. Skrining Kanker Serviks9
22
Test Pap / Pap Smear
Metode tes Pap smear yang umum yaitu dokter menggunakan pengerik
atau sikat untuk mengambil sedikit sampel sel-sel serviks atau leher rahim.
Kemudian sel-sel tersebut akan dianalisa di laboratorium. Tes itu dapat
menyingkapkan apakah ada infeksi, radang, atau sel-sel abnormal. Menurut
laporan sedunia, dengan secara teratur melakukan tes Pap smear telah mengurangi
jumlah kematian akibat kanker serviks. Pap smear dapat digunakan sebagai
screening tools karena memiliki sensitivitas: sedang (51-88%) dan spesifisitas:
tinggi (95-98%).10
Rekomendasi skrining
23
Syarat:
-
Tidak menstruasi. Waktu terbaik adalah antara hari ke-10 sampai ke-20
setelah hari pertama menstruasi.
-
2 hari sebelum tes, hindari pembilasan vagina, penggunaan tampon,
spermisida foam, krim atau jelly atau obat-obatan pervagina
-
Tidak melakukan hubungan seksual paling sedikit 24 jam sebelum
dilakukan tes Pap smear10
Indikasi:
-
Dalam 3 tahun setelah berhubungan seksual pervagina, tidak melebihi
umur 21 tahun.
-
Setiap tahun dengan sitilogi konvensional atau setiap 2 tahun dengan
peralatan liquid-based.
-
Setiap 2-3 tahun pada wanita > 30 tahun jika 3 hasil tes berurutan normal.
-
Pada wanita dengan risiko tinggi seperti infeksi HPV, jumlah mitra seksual
yang banyak, suami atau mitra seksual yang berisiko tinggi, imunitas yang
terganggu seperti infeksi HIV, transplantasi organ, kemoterapi atau
pengobatan lama kortikosteroid dan riwayat terpapar Dietilbestrol in utero.
-
spatula ayre
-
cytobrush
-
kaca objek
-
alcohol 95% Gambar 7. Alat dan bahan pap smear10
Metode pengambilan Pap smear:
-
Beri label nama pada ujung kaca objek
-
Masukkan spekulum, dapat diberikan air atau salin jika perlu.
-
Lihat adanya abnormalitas serviks
-
Identifikasi zone transformasi
24
-
Pilih ujung spatula yang paling cocok dengan mulut serviks dan zona
transformasi.
-
Putar spatula 360º disekitar mulut serviks sambil mempertahankan kontak
dengan permukaan epithelial.
-
Dengan putaran searah jarum jam diawali dan diakhiri pada jam 9, hasil
yang terkumpul dipertahankan horizontal pada permukaan atasnya ketika
instrument dikeluarkan.
-
Jangan memulas sample pada saat ini jika belum akan fiksasi. Pegang
spatula antara jari dari tangan yang tidak mengambil sample, sementara
sample dari cytobrush dikumpulkan.
-
Cytobrush mempunyai bulu sikat sirkumferen yang dapat kontak dengan
seluruh permukaan mulut serviks ketika dimasukkan.
-
Cytobrush hanya perlu diputar ¼ putaran searah jarum jam.
-
Pulas sampel pada spatula pada kaca obyek dengan satu gerakan halus.
-
Kemudian pulas cytobrush tepat diatas sampel sebelumnya dengan
memutar gagangnya berlawanan dengan arah jarum jam.
-
Pulasan harus rata dan terdiri dari satu lapisan, hindari gumpalan besar
sebisanya tapi juga hindari manipulasi berlebihan yang dapat merusak sel,
pindahkan sampel dari kedua instrument ke kaca objek dalam beberapa
detik.
-
Fiksasi specimen secepatnya untuk menghindari artefak karena
pengeringan dengan merendam kaca objek dalam tempat tertutup yang
berisi larutan ethanol 95% selama 20 menit.
-
Keringkan dan kirimkan ke Bagian Sitologi Patologi Anatomi.
-
Hasil pemeriksaan dibaca dengan system Bethesda. 10
25
Gambar 7 . Pemeriksaan Pap Smear10
Evaluasi sitologi:
Klasifikasi Papanicolaou10
- Kelas I : sel-sel normal
- Kelas II : sel-sel menunjukkan kelainan ringan yang menunjukkan
kelainan ringan biasanya disebabkan oleh infeksi
- Kelas III : mencurigakan kearah keganasan
- Kelas IV : sangat mencurigakan adanya keganasan
- Kelas V : pasti ganas
Interpretasi Dan Tindak Lanjut Hasil Pemeriksaan Sitologi
-
Vaginitis atau servisitis yang aktif dapat mengganggu interpretasi sitologi.
Jika reaksi peradangan hebat, pasien harus diobati dulu. Setelah infeksi
diatasi dilakukan pemeriksaan Pap smear ulang 6 minggu kemudian
-
Jika hasil pemeriksaan sitologi tidak memuaskan atau tidak dapat
dievaluasi, harus dilakukan Pap smear ulang 6 minggu kemudian
-
Jika hasil pemeriksaan sitologi mencurigakan keganasan (kelas III-IV),
selanjutnya dilakukan kolposkopi dan biopsi untuk menegakkan diagnosis
definitif.
-
Pasien dengan hasil evaluasi sitologi negative dianjurkan untuk ulang
pemeriksaan Pap smear setahun sekali, sampai usia 40 tahun. Selanjutnya
2-3 tahun sekali sampai usia 65 tahun. 10
26
-
Kalau fasilitas memungkinkan lakukan tiap 10 tahun pada usia 35-55
tahun
-
Kalau fasilitas tersedia lebih lakukan tiap 5 tahun pada usia 35-55 tahun
-
Ideal dan optimal pemeriksaan dilakukan setiap 3 tahun pada wanita usia
25-60 tahun.
-
Skrining yang dilakukan sekali dalam 10 tahun atau sekali seumur hidup
memiliki dampak yang cukup signifikan.
-
Di Indonesia, anjuran untuk melakukan IVA bila : hasil positif (+) adalah 1
tahun dan, bila hasil negatif (-) adalah 5 tahun11
Syarat:
-
Sudah pernah melakukan hubungan seksual
-
Tidak sedang datang bulan/haid
-
Tidak sedang hamil
-
24 jam sebelumnya tidak melakukan hubungan seksual11
Klasifikasi IVA
Ada beberapa kategori yang dapat dipergunakan, salah satu kategori yang
dapat dipergunakan adalah:
-
IVA negatif = menunjukkan leher rahim normal.
-
IVA radang = Serviks dengan radang (servisitis), atau kelainan jinak
lainnya (polip serviks).
-
IVA positif = ditemukan bercak putih (aceto white epithelium). Kelompok
ini yang menjadi sasaran temuan skrining kanker serviks dengan metode
IVA karena temuan ini mengarah pada diagnosis Serviks-pra kanker
(dispalsia ringan-sedang-berat atau kanker serviks in situ).
-
IVA-Kanker serviks = Pada tahap ini pun, untuk upaya penurunan temuan
stadium kanker serviks, masih akan bermanfaat bagi penurunan kematian
akibat kanker serviks bila ditemukan masih pada stadium invasif dini
(stadium IB-IIA). 11
Pelaksanaan IVA
-
Pemeriksaan IVA dilakukan dengan spekulum melihat langsung leher
rahim yang telah dipulas dengan larutan asam asetat 3-5%, jika ada
27
perubahan warna atau tidak muncul plak putih, maka hasil pemeriksaan
dinyatakan negative. Sebaliknya jika leher rahim berubah warna menjadi
merah dan timbul plak putih, maka dinyatakan positif lesi atau kelainan
pra kanker. 11
-
Namun jika masih tahap lesi, pengobatan cukup mudah, bisa langsung
diobati dengan metode Krioterapi atau gas dingin yang menyemprotkan
gas CO2 atau N2 ke leher rahim. Sensivitasnya lebih dari 90% dan
spesifitasinya sekitar 40% dengan metode diagnosis yang hanya
membutuhkan waktu sekitar dua menit tersebut, lesi prakanker bisa
dideteksi sejak dini. Dengan demikian, bisa segera ditangani dan tidak
berkembang menjadi kanker stadium lanjut. 11
-
Kalau hasil dari test IVA dideteksi adanya lesi prakanker, yang terlihat
dari adanya perubahan dinding leher rahim dari merah muda menjadi
putih, artinya perubahan sel akibat infeksi tersebut baru terjadi di sekitar
epitel. Itu bisa dimatikan atau dihilangkan dengan dibakar atau
dibekukan. Dengan demikian, penyakit kanker yang disebabkan human
papillomavirus (HPV) itu tidak jadi berkembang dan merusak organ
tubuh yang lain. 11
HPV TES
Tes HPV juga berguna untuk menginterpretasikan hasil samar-samar dari
tes Papanicolaou. Jika perempuan memiliki tes Papanicolaou menunjukkan sel
skuamosa atipikal signifikansi ditentukan (ascus) dan tes HPV positif, maka
pemeriksaan tambahan dengan kolposkopi adalah merupakan indikasi. 11
Uji DNA HPV telah dipakai sebagai uji tambahan paling efektif cara
mendeteksi keberadaan HPV sedini mungkin. Uji DNA HPV dapat mengetahui
golongan hr-HPV atau Ir-HPV dengan menggunakan tekhnik HCII atau dengan
metode PCR, uji DNA HPV juga dapat melihat genotipe HPV dengan metode
DNA-HPV Micro Array System, Multiplex HPV Genotyping Kit, dan Linear Array
HPV Genotyping Test. 11
28
Meode PCR dan elektroforesis dapat mengetahui keberadaan HPV tanpa
mengetahui genotipe secara spesifik. 11
Metode Hybrid Capture II System digunakan untuk mengetahui
keberadaan HPV dengan memperkirakan kuantitas / jumlah virus tanpa
mengetahui genotipe HPV-nya. Metode Multiplex HPV Genotyping Kit
digunakan untuk mendeteksi 24 genotipe HPV . Metode DNA-HPV Micro Array
digunakan untuk mendeteksi 21 genotipe HPV. Metode Linear Array HPV
Genotyping Test digunakan untuk mendeteksi 37 genotipe HPV. 11
Dalam perkembangannya, banyak ahli dalam the American Cancer
Society, the American College of Obstetricians and Gynecologists, the American
Society for Colposcopy and Cervical Pathology, dan the US Preventive Services
Task Force menetapkan protokol skrining bersama-sama, sebagai berikut : 11
-
Skrining awal, Skrining dilakukan sejak seorang wanita telah melakukan
hubungan seksual (vaginal intercourse) selama kurang lebih tiga tahun
dan umurnya tidak kurang dari 21 tahun saat pemeriksaan. Hal ini
didasarkan pada karsinoma serviks berasal lebih banyak dari lesi
prekursornya yang berhubungan dengan infeksi HPV onkogenik dari
hubungan seksual yang akan berkembang lesinya setelah 3-5 tahun
setelah paparan pertama dan biasanya sangat jarang pada wanita di
bawah usia 19 tahun. 11
-
Pemeriksaan DNA HPV juga dimasukkan pada skrining bersama-sama
dengan Pap’s smear untuk wanita dengan usia di atas 30 tahun. Penelitian
dalam skala besar mendapatkan bahwa Pap’s smear negatif disertai DNA
HPV yang negatif mengindikasikan tidak akan ada CIN 3 sebanyak
hampir 100%. Kombinasi pemeriksaan ini dianjurkan untuk wanita
dengan umur diatas 30 tahun karena prevalensi infeksi HPV menurun
sejalan dengan waktu. Infeksi HPV pada usia 29 tahun atau lebih dengan
ASCUS hanya 31,2% sementara infeksi ini meningkat sampai 65% pada
usia 28 tahun atau lebih muda. Walaupun infeksi ini sangat sering pada
wanita muda yang aktif secara seksual tetapi nantinya akan mereda
seiring dengan waktu. Sehingga, deteksi DNA HPV yang positif yang
29
ditemukan kemudian lebih dianggap sebagai HPV yang persisten.
Apabila ini dialami pada wanita dengan usia yang lebih tua maka akan
terjadi peningkatan risiko kanker serviks. 11
-
Skrining untuk wanita di bawah 30 tahun berisiko dianjurkan
menggunakan Thinprep atau sitologi serviks dengan liquid-base method
setiap 1-3 tahun. 11
-
Skrining untuk wanita di atas 30 tahun menggunakan Pap’s smear dan
pemeriksaan DNA HPV. Bila keduanya negatif maka pemeriksaan
diulang 3 tahun kemudian. 11
-
Skrining dihentikan bila usia mencapai 70 tahun atau telah dilakukan 3
kali pemeriksaan berturut-turut dengan hasil negatif. 11
KOLPOSKOPI
Kolposkopi merupakan suatu prosedur pemeriksaan vagina dan serviks
dengan menggunakan instrumen kaca pembesar dengan pencahayaan. Pada
awalnya digunakan untuk mendeteksi kanker serviks invasif dini asimptomatik
tetapi sekarang digunakan untuk mendeteksi kelainan pre invasif dengan tujuan
mencegah perkembangan kanker serviks invasif.12
Prosedur
pemeriksaan ini sudah
ada sejak tahun 1920,
saat kolposkopi masih
kecil dan harganya
belum begitu mahal.
Pada tahun 1930,
Gambar 8. Pemeriksaan kolposkopi
kolposkopi telah
dipakai luas di Eropa. Setelah skrining sitologi serviks diperkenalkan,
pemeriksaan koloposkopi menjadi teknik verifikasi sekunder.
30
Kolposkopi sekarang diterima luas sebagai metode yang paling banyak
dipelajari untuk deteksi neoplasia serviks dan neoplasia intraepitel. 12
c) Kuret endoserviks
Kuret endoserviks berbentuk batang panjang tahan karat terdiri dari
tempat memegang atau ujung dengan sedikit lengkungan tajam.
d) Spekulum
e) Pengait serviks (tenakulum)
f) Spekulum endoserviks
Kadang-kadang perlu melihat kanalis endoservikalis karena lesinya
meluas sampai ke kanalis servikalis. Visualisasi adekuat dapat dicapai
dengan menggunakan spekulum endoserviks.
g) Retraktor dinding vagina
Dinding vagina dapat menghalangi visualisasi serviks selama
pemeriksaan kolposkopi. Retraktor ini diperlukan manakala dinding
vagina menghalangi.
2. Bahan12
a) Asam asetat terlarut atau cuka
Kolposkopi serviks dikerjakan setelah di oleskan asam asetat 3-
5 % atau vinegar. Hasil “acetowhiteness” dari epitel dapat menunjukkan
31
suatu proses jinak atau neoplastik. Larutan tersebut dipakai dengan
kasa, kapas lidi besar atau dengan botol semprot. Untuk mendapatkan
reaksi memutih pada epitel tidak bertanduk, asam asetat 3-5 % harus
dibiarkan berkontak dengan jaringan hingga reaksi maksimal timbul.
Selama pemeriksaan, pemakaian ulangan asam asetat diperlukan untuk
mempertahankan efek pemutihan. Dengan menghilangnya efek
pemutihan maka gambaran pembuluh darah akan lebih jelas. Larutan ini
bisa membuat tidak nyaman, terutama bila pasien menderita infeksi
vagina. Reaksi alergi jarang tapi iritasi bisa muncul12
b) Lugol
Larutan iodine dilarutkan dalam aqua seperempat atau setengah
untuk mendapatkan larutan lugol. Larutan ini tidak stabil dan harus
ditukar setiap 3-6 bulan. Meskipun larutan seperempat kurang iritatif
namun sebagian pasien tetap sensitif. Kadang sampai timbul alergi
berat. Makanya perlu ditanyakan riwayat alergi terhadap yodium.
Larutan ini membuat epitel squamous tidak bertanduk menjadi gelap
menunjukkan adanya glikogen didalam sel. Tidak adanya pewarnaan
tersebut menunjukkan keadaan tanpa glikogen atau permukaannya
bertanduk (tebal). Pada kondisi metaplasia pewarnaan yang timbul
bervariasi, sedangkan epitel kolumnar berwarna kuning mustard. 12
c) Larutan Monsel
Larutan monsel (ferric subsulfat) digunakan untuk mendapatkan
haemostasis setelah biopsi serviks. Hanya digunakan setelah sampel
diambil seluruhnya. Sebelum spekulum dikeluarkan sisanya sebaiknya
dibersihkan.12
d) Perak nitrat
Batang perak nitrat dapat digunakan untuk tujuan hemostasis.
Bahan ini berguna bila langsung diletakkan ditempat biopsi. Iritasi lebih
berat dibandingkan larutan monsel. Sama halnya dengan larutan monsel
perak nitrat akan mengganggu interpretasi biopsi sehingga hanya
digunakan setelah semua biopsi selesai. 12
32
B. Indikasi dan kontraindikasi
Ada beberapa kelainan vagina dan serviks yang dapat dinilai dalam
pemeriksaan kolposkopi (tabel 1). Kolposkopi merupakan pemeriksaan yang
aman dengan sejumlah risiko ringan, antara lain perdarahan berat, infeksi dan
nyeri pelvis. Kontrol hemostasis dan nyeri telah menjadi bahasan dalam
konteks pengobatan dysplasia. Pada penelitian terhadap 96 wanita
sehubungan dengan gejala yang timbul setelah biopsi serviks, 84 diantaranya
melaporkan pendarahan ringan dan 11 dengan perdarahan sedang. Perdarahan
ini berlangsung selama lebih dari 2 hari pada 66 perempuan. Pada penelitian
tersebut semua kolposkopis memakai larutan monsel setelah biopsi untuk
mengontrol perdarahan dan para penulis berteori bahwa ini mungkin
disebabkan larutan Monsel karena larutan tersebut bersifat iritan. 12
Teknik pemeriksaan
- Bahan dan alat diperiksa sebelum pemeriksaan dimulai
- Dokumentasi yang baik
- Pasien dalam posisi litotomi dan dipasang duk steril
- Ahli kolposkopi duduk pada alat kolposkopi, jarak binokular di atur dan
kolposkopi dinyalakan
- Tergantung pada indikasi kolposkopi, vulva dapat dilihat dengan
kolposkopi. Asam aseat 3-5 % dapat digunakan untuk mempermudah
melihat epitel. Bila terlihat daerah abnormal, maka segera dilakukan biopsi
vulva. Beberapa ahli kolposkopi menunda kolposkopi dan biopsi sampai
semua pemeriksaan selesai.
- Dimasukkan spekulum ukuran paling besar
33
- Servik harus dapat dilihat sempurna, kadang perlu dilakukan usapan
mukus yang menutupi serviks. Bila posisi serviks kurang pas maka dapat
diselipkan kasa basah di fornik dengan memakai forsep
- Diambil sampel untuk pemeriksaan sitologi, bila ada perdarahan cukup
ditekan biasanya akan berhenti
- Serviks disinari dengan cahaya putih dengan perbesaran 4-8 x. dicatat
temuan makroskopis
- Pola pembuluh darah dinilai dengan tabir/saringan berwarna hijau dengan
perbesaran rendah dan tinggi. Asam asetat sebaiknya baru digunakan
setelah pembuluh darah dilihat
- Kemudian digunakan asam asetat 3-5 % secara hati-hati sampai semua
bagian serviks basah, diikuti asam asetat terlarut untuk menjamin
terjadinya reaksi memutih karena asetat (acetowhite reaction)
- Epitel serviks dinilai dengan perbesaran rendah, sedang dan tinggi.
Acetowhite reaction pelan-pelan akan hilang tergantung pada parahnya
abnormalitas epitel. Dengan menghilangnya reaksi ini maka gambaran
mosaik pembuluh darah akan menjadi lebih jelas karena kontras dengan
jaringan sekitarnya. Bila terlihat pembuluh darah maka harus dilihat
dengan perbesaran tinggi
- Epitel normal dan abnormal serta pola pembuluh darah di ingat dengan
baik karena akan diperlukan saat mengisi data
- Bila memungkinkan di ambil sampel endoserviks dengan kuret
endoserviks atau dengan cytobrush. Kuret dipegang seperti memegang
pensil dan di masukkan kedalam os servikalis dan seluruh kanalis dikuret
dengan tarikan definitif. Sampel difiksasi dan ditempatkan dalam botol
sampel serta diberi label
- Dilakukan biopsi yang dipandu kolposkopi. Tempat biopsi dipilih dan
sampel di ambil dengan tang biopsi. Perdarahan dirawat
- Vagina dilihat kembali bersamaan dengan dikeluarkannya spekulum
- Bila diperlukan dapat dilanjutkan dengan biopsi vulva
- Pasien diberi tahu tentang kesan hasil pemeriksaan awal kolposkopi
- Spesimen diperiksa kelengkapannya, dilakukan dokumentasi serta
kolposkopi dibersihkan dan alat-alat yang digunakan disterilkan kembali.
Dokumentasi
34
Dokumentasi temuan kolposkopi merupakan bagian penting dari prosedur
kolposkopi sistematis. Dianjurkan catatan kolposkopi dibuat terpisah dari kartu
pasien dan mudah didapat kembali. Form catatan sudah dibuat sebelumnya
sehingga semua informasi yang diperlukan sudah tercatat lengkap dan sistematis
pada saat pemeriksaan. Informasi demografi, temuan klinis dan anjuran untuk
kunjungan berikutnya atau rujukan sebaiknya termasuk dalam catatan itu.
Kedalam informasi demografi termasuk nama, alamat, nomer telepon, HPHT,
riwayat menstruasi dan kontrasepsi. Klinikus harus mendapatkan keluhan terbaru,
termasuk riwayat tes pap smear sebelumnya, riwayat PMS diri dan pasangan.
Dalam catatan temuan klinis, lokasi squamokolumnar junction dan orifisium
eksternal sebaiknya tertulis pada diagram serviks. Kesan normal atau abnormal
dari serviks, vulva dan vagina harus dicantumkan. 12
35
kolposkopi harus di kerjakan oleh yang berpengalaman melakukan
kolposkopi pada wanita hamil. Skuamokolumnar junction mungkin sulit
diperlihatkan pada awal kehamilan, tapi akan menjadi jelas dengan
bertambahnya usia kehamilan. Karena itu bila hasilnya tidak memuaskan
sebaiknya diulang 6-12 minggu kemudian atau setelah 20 minggu. Karena
peningkatan vaskularisasi serviks pada kehamilan dan cenderung
berdarah banyak, biopsi umumnya dihindari kecuali ada kecurigaan klinis
displasia tingkat tinggi atau kanker. Namun biopsi dapat dikerjakan pada
semua trimester bila ada indikasi. Pengambilan sampel endoserviks tidak
dianjurkan karena dapat mencederai janin. 12
3) Kolposkopi pada wanita post menopause
Kolposkopi pada wanita post menopause dilakukan dengan cara
yang sama pada wanita tidak hamil. Pedoman terbaru mengizinkan tes
HPV atau sitologi ulangan pada wanita postmenopause dengan temuan
sitologi lesi skuamous intraepitel derajat rendah, menyadari risiko rendah
patologi serviks pada wanita usia lanjut dengan riwayat skrining negatif
kanker serviks. Pada wanita postmenopause, sambungan
skuamokolumnar umumnya terletak pada endoserviks, karena itu hasil
kolposkopi sering tidak memuaskan. 12
D. Gambaran kolposkopi
Gambaran kolposkopik dibentuk oleh susunan epitel dan stroma. Dalam
hal ini epitel bertindak sebagai filter dan stroma sebagai obyekyang berwarna
merah. Gambaran yang tampak pada kolposkopi tergantung pada tebalnya
epitel, densitas optik, struktur pembuluh darah stroma dan variasi patologi
servik. 12
1. Gambaran kolposkopi normal
Epitel skuamous berwarna merah muda sedangkan epitel kolumner
mempunyai permukaan irreguler dengan papil-papil stroma yang panjang
berwarna merah tua karena pembuluh darah stroma di bawahnya. Zona
transformasi ditentukan dengan adanya epitel skuamous dengan muara
kelenjar dan kista nabothi yang berada pada batas luar zona transformasi.
2. Gambaran kolposkopi abnormal
a. Epitel abnormal
b. Pembuluh darah abnormal12
36
Tabel 7. Gambaran kolposkopi abnormal12
Sebab Penampakan
Epitel Peningkatan densitas sel dan inti Epitel
abnormal acetowhite
37
Pasien sebaiknya diingatkan kemungkinan timbulnya perdarahan kira-
kira 2 hari bahkan lebih lama. Bila digunakan pasta Monsel, mungkin akan
keluar cairan coklat kehitaman selama beberapa hari. Koitus sebaiknya
dilarang untuk menghindari perdarahan dari tempat biopsi. Pasien boleh
kembali bekerja setelah tindakan. Analgesik NSAID dapat digunakan untuk
kontrol nyeri. Kesan awal kolposkopi perlu didiskusikan dengan pasien dan
bila sampel biopsi sudah didapat, diberikan petunjuk kepada pasien
bagaimana hasil akan disampaikan kepadanya untuk menjamin pasiennya
mengerti. 12
2.8. PENATALAKSANAAN
38
Tabel 8. Klasifikasi lesi prakanker serviks dan penanganannya
39
Terapi NIS dengan eksisi
Konisasi (cone biopsy) adalah pembuatan sayatan berbentuk kerucut pada
serviks dan kanal serviks untuk diteliti oleh ahli patologi. Digunakan untuk
diagnosa ataupun pengobatan pra-kanker serviks. 11
40
Gambar 12. Loop Electrosurgical Excision Precedure11
41
2. Radikal Histerektomi: pengangkatan seluruh rahim dan serviks, indung
telur, tuba falopi maupun kelenjar getah bening di dekatnya
42
a. Radiasi eksternal : sinar berasar dari sebuah mesin besar
Penderita tidak perlu dirawat di rumah sakit, penyinaran biasanya
dilakukan sebanyak 5 hari/minggu selama 5-6 minggu. 11
b. Radiasi internal : zat radioaktif terdapat di dalam sebuah kapsul
dimasukkan langsung ke dalam serviks. Kapsul ini dibiarkan
selama 1-3 hari dan selama itu penderita dirawat di rumah sakit.
Pengobatan ini bisa diulang beberapa kali selama 1-2 minggu. 11
Efek samping dari terapi penyinaran adalah :
a. Iritasi rektum dan vagina
b. Kerusakan kandung kemih dan rektum
c. Ovarium berhenti berfungsi. 11
3. Kemoterapi
Kemoterapi adalah penatalaksanaan kanker dengan pemberian obat
melalui infus, tablet, atau intramuskuler. Obat kemoterapi digunakan
utamanya untuk membunuh sel kanker dan menghambat
perkembangannya. Tujuan pengobatan kemoterapi tegantung pada jenis
kanker dan fasenya saat didiagnosis. Beberapa kanker mempunyai
penyembuhan yang dapat diperkirakan atau dapat sembuh dengan
pengobatan kemoterapi. Dalam hal lain, pengobatan mungkin hanya
diberikan untuk mencegah kanker yang kambuh, ini disebut pengobatan
adjuvant. 11
Dalam beberapa kasus, kemoterapi diberikan untuk mengontrol
penyakit dalam periode waktu yang lama walaupun tidak mungkin
43
sembuh. Jika kanker menyebar luas dan dalam fase akhir, kemoterapi
digunakan sebagai paliatif untuk memberikan kualitas hidup yang lebih
baik. Kemoterapi kombinasi telah digunakan untuk penyakit metastase
karena terapi dengan agen-agen dosis tunggal belum memberikan
keuntungan yang memuaskan. Contoh obat yang digunakan pada kasus
kanker serviks antara lain CAP (Cyclophopamide Adremycin Platamin),
PVB (Platamin Veble Bleomycin) dan lain – lain. Cara pemberian
kemoterapi dapat secara oral, disuntikkan dan diinfus. 11
Obat kemoterapi yang paling sering digunakan sebagai terapi
awal / bersama terapi radiasi pada stage IIA, IIB, IIIA, IIIB, and IVA
adalah cisplatin, flurouracil. Sedangkan Obat kemoterapi yang paling
sering digunakan untuk kanker serviks stage IVB / recurrent adalah :
mitomycin. pacitaxel, ifosamide, topotecan telah disetujui untuk digunakan
bersama dengan cisplastin untuk kanker serviks stage lanjut, dapat
digunakan ketika operasi / radiasi tidak dapat dilakukan atau tidak
menampakkan hasil; kanker serviks yang timbul kembali / menyebar ke
organ lain. 11
44
1. Lemas
Timbulnya mendadak atau perlahan dan tidak langsung menghilang
saat beristirahat, kadang berlangsung terus sampai akhir pengobatan.
2. Mual dan muntah
Mual dan muntah berlangsung singkat atau lama. Dapat diberikan
obat anti mual sebelum, selama, dan sesudah pengobatan.
3. Gangguan pencernaan
Beberapa obat kemoterapi dapat menyebabkan diare, bahkan ada
yang diare sampai dehidrasi berat dan harus dirawat. Kadang sampai
terjadi sembelit.
Bila terjadi diare : kurangi makan-makanan yang mengandung serat,
buah dan sayur. Harus minum air yang hilang untuk mengatasi
kehilangan cairan.
Bila susah BAB : makan-makanan yang berserat, dan jika
memungkinkan olahraga.
4. Sariawan
5. Rambut rontok
Kerontokan rambut bersifat sementara, biasanya terjadi dua atau tiga
minggu setelah kemoterapi dimulai. Dapat juga menyebabkan
rambut patah didekat kulit kepala. Dapat terjadi seminggu setelah
kemoterapi.
6. Otot dan saraf
Beberapa obat kemoterapi menyebabkan kesemutan dan mati rasa
pada jari tangan dan kaki. Serta kelemahan pada otot kaki.
7. Efek pada darah
Beberapa jenis obat kemoterapi ada yang berpengaruh pada kerja
sumsum tulang yang merupakan pabrik pembuat sel darah merah,
sehingga jumlah sel darah merah menurun. Yang paling sering
adalah penurunan sel darah putih (leukosit). Penurunan sel darah
terjadi setiap kemoterapi, dan test darah biasanya dilakukan sebelum
45
kemoterapi berikutnya untuk memastikan jumlah sel darah telah
kembali normal. Penurunan jumlah sel darah dapat menyebabkan: 11
b. Mudah terkena infeksi
Hal ini disebabkan oleh penurunan leukosit, karena leukosit
adalah sel darah yang memberikan perlindungan infeksi. Ada
juga beberapa obat kemoterapi yang menyebabkan peningkatkan
leukosit.
c. Perdarahan
Keping darah (trombosit) berperan pada proses pembekuan
darah, apabila jumlah trombosit rendah dapat menyebabkan
pendarahan, ruam, dan bercak merah pada kulit.
d. Anemia
Anemia adalah penurunan sel darah merah yang ditandai dengan
penurunan Hb (Hemoglobin). Karena Hb letaknya didalam sel
darah merah. Penurunan sel darah merah dapat menyebabkan
lemah, mudah lelah, tampak pucat.
1. Kulit menjadi kering dan berubah warna
2. Lebih sensitive terhadap sinar matahari.
3. Kuku tumbuh lebih lambat dan terdapat garis putih melintang
4. Terapi paliatif
Terapi paliatif (supportive care) yang lebih difokuskan pada
peningkatan kualitas hidup pasien. Contohnya: Makan makanan yang
mengandung nutrisi, pengontrol sakit (pain control). Manajemen Nyeri
Kanker Berdasarkan kekuatan obat anti nyeri kanker, dikenal 3 tingkatan
obat, yaitu :
a. Nyeri ringan (VAS 1-4) : obat yang dianjurkan antara lain
Asetaminofen, OAINS (Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid)
b. Nyeri sedang (VAS 5-6) : obat kelompok pertama ditambah
kelompok opioid ringan seperti kodein dan tramadol
c. Nyeri berat (VAS 7-10) : obat yang dianjurkan adalah kelompok
opioid kuat seperti morfin dan fentanil11
46
2.9. PROGNOSIS
Faktor-faktor yang menentukan prognosis adalah :
a. Umur penderita
b. Keadaan umum
c. Tingkat klinik keganasan
d. Sitopatologi sel tumor
e. Kemampuan ahli atau tim ahli yag menanganinya
f. Sarana pengobatan yang ada11
DAFTAR PUSTAKA
47
1. Ferlay J, Soerjomataram I, Ervik M, et al.: GLOBOCAN 2012, Cancer
Incidence and Mortality Worldwide: IARC CancerBase No. 11. Lyon, France:
International Agency for Research on Cancer, 2013. Available at :
http://globocan.iarc.fr/default.aspx accessed Mei 2nd 2014.
2. Dirjen Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. Badan Registrasi Kanker
IAPI, Yayasan kanker di Indonesia. 2012.
3. Mochtarom M. Data registrasi Kanker Ginekologik. Bagian Obstetri dan
Ginekologi. RSUPN/FKUI. Jakarta. IARC, Globocan 2012.
4. National Cancer Institute. General Information for Cervical Cancer. Available
at :
http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/cervical/HealthProfessiona
l/page1 last update : April 21, 2015. Last accessed Mei 3th 2015.
5. FIGO Committee on Gynecologic Oncology: FIGO staging for carcinoma of
the vulva, cervix, and corpus uteri. Int J Gynaecol Obstet 125 (2): 97-8,
2014. [PUBMED Abstract].
6. National Cancer Institute. Stage Information About Cervical Cancer.
Available at :
http://www.cancer.gov/cancertopics/pdq/treatment/cervical/HealthProfessiona
l/page3#figure_420_e last update : April 21, 2015. Last accessed Mei 3th
2015.
7. American Cancer Society. 2012. Cervical Cancer. Atlanta. American Cancer
Society.
8. Wikjosastro, H.,et all. (editor). Serviks Uterus. Ilmu Kandungan. Edisi Kedua.
Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono. 2009. p. 380-387.
9. Debbie Saslow, Carolyn D. Runowicz, Diane Solomon, et al. American
Cancer Society Guideline for the Early Detection of Cervical Neoplasia and
Cancer. CA Cancer J Clin. 2002;52;342-362.
10. Medline Plus. Pap Smear. Available at :
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003911.htm Accesed Mei
5th 2015.
11. American Cancer Society. New Screening Guidlines for Cervical Cancer.
2012. Available at : http://www.cancer.org/cancer/news/new-screening-
guidelines-for-cervical-cancer Accesed Mei 5th 2015.
48
12. Apgar S. Barbara, Brotzman L. Gregory, Spitzer Mark. Colposcopy: Principle
and practice: An integrated textbook and atlas. 2nd edition. 2008. P.34-
8.
49