Anda di halaman 1dari 12

Mari belajar retorika bersama ka’iben

Objek studi retorika setua kehidupan manusia. Kefasihan bicara mungkin pertama kali
dipertunjukkan dalam upacara adat: kelahiran, kematian, lamaran, perkawinan, dan sebagainya. Pidato
disampaikan oleh orang yang mempunyai status tinggi. Dalam perkembangan peradaban pidato
melingkupi bidang yang lebih luas. "Sejarah manusia", kata Lewis Copeland dalam kata pengantar
bukunya tentang pidato tokoh-tokoh besar dalam sejarah, "terutama sekali adalah catatan peristiwa
penting yang dramatis, yang seringkali disebabkan oleh pidato-pidato besar. Sejak Yunani dan Roma
sampai zaman kita sekarang, kepandaian pidato dan kenegarawanan selalu berkaitan. Banyak jago
pedang juga terkenal dengan kefasihan bicaranya yang menawan". Uraian sistematis retorika yang
pertama diletakkan oleh orang Syracuse, sebuah koloni Yunani di Pulau Sicilia. Bertahun-tahun koloni
itu diperintah para tiran. Tiran, di mana pun dan pada zaman apa pun, senang menggusur tanah rakyat.
Kira-kira tahun 465 SM, rakyat melancarkan revolusi. Diktator ditumbangkan dan demokrasi
ditegakkan. Pemerintah mengembalikan lagi tanah rakyat kepada pemiliknya yang sah. Di sinilah
kemusykilan terjadi. Untuk mengambil haknya, pemilik tanah harus sanggup meyakinkan dewan juri di
pengadilan. Waktu itu, tidak ada pengacara dan tidak ada sertifikat tanah. Setiap orang harus
meyakinkan mahkamah dengan pembicaraan saja. Sering orang tidak berhasil memperoleh kembali
tanahnya, hanya karena ia tidak pandai bicara. Untuk membantu orang memenangkan haknya di
pengadilan, Corax menulis makalah retorika, yang diberi nama Techne Logon (Seni Kata-kata).
Walaupun makalah ini sudah tidak ada, dari para penulis sezaman, kita mengetahui bahwa dalam
makalah itu ia berbicara tentang "teknik kemungkinan". Bila kita tidak dapat memastikan sesuatu,
mulailah dari kemungkinan umum. Seorang kaya mencuri dan dituntut di pengadilan untuk pertama
kalinya. Dengan teknik kemungkinan, kita bertanya, "Mungkinkah seorang yang berkecukupan
mengorbankan kehormatannya dengan mencuri? Bukankah, sepanjang hidupnya, ia tidak pernah
diajukan ke pengadilan karena mencuri". Sekarang, seorang miskin mencuri dan diajukan ke
pengadilan untuk kedua kalinya. Kita bertanya, "la pernah mencuri dan pernah dihukum. Mana
mungkin ia berani melakukan lagi pekerjaan yang sama". Akhirnya, retorika memang mirip "ilmu silat
lidah". Di samping teknik kemungkinan, Corax meletakkan dasar-dasar organisasi pesan. Ia membagi
pidato pada lima bagian: pembukaan, uraian, argumen, penjelasan tambahan, dan kesimpulan. Dari
sini, para ahli retorika kelak mengembangkan organisasi pidato. Walaupun demokrasi gaya Syracuse
tidak bertahan lama, ajaran Corax tetap berpengaruh. Konon, Gelon, penguasa yang menggulingkan
demokrasi dan menegakkan kembali tirani, menderita halitosis (bau mulut). Karena ia tiran yang
kejam, tak seorang pun berani memberitahukan hal itu kepadanya. Sampai di negeri yang asing,
seorang perempuan asing berani menyebutkannya. Ia terkejut. Ia memarahi istrinya, yang bertahun-
tahun begitu dekat dengannya, tetapi tidak memberitahukannya. Istrinya menjawab bahwa karena ia
tidak pernah dekat dengan laki-laki lain, ia mengira semua laki-laki sama. Gelon tidak jadi menghukum
istrinya. Tampaknya, sang istri sudah belajar retorika dari Corax. Masih di Pulau Sicilia, tetapi di
Agrigenturn, hidup Empedocles (490-430 SM), filosof, mistikus, politisi, dan sekaligus orator. Ia
cerdas dan menguasai banyak pengetahuan. Sebagai filosof, ia pernah berguru kepada Pythagoras dan
menulis The Nature of Things. Sebagai mistikus, ia percaya bahwa setiap orang bisa bersatu dengan
Tuhan bila ia menjauhi perbuatan yang tercela. Sebagai politisi, ia memimpin pemberontakan untuk
menggulingkan aristokrasi dan kekuasaan diktator. Sebagai orator, menurut Aristoteles, "ia
mengajarkan prinsip-prinsip retorika, yang kelak dijual Gorgias kepada penduduk Athena". Tahun 427
SM Gorgias dikirim sebagai duta ke Athena. Negeri itu sedang tumbuh sebagai negara yang kaya.
Kelas pedagang kosmopolitan selain memiliki waktu luang lebih banyak, juga terbuka pada gagasan--
gagasan baru. Di Dewan Perwakilan Rakyat, di pengadilan, orang memerlukan kemampuan berpikir
yang jernih dan logis serta berbicara yang jelas dan persuasif. Gorgias memenuhi kebutuhan "pasar" ini
dengan mendirikan sekolah retorika. Gorgias menekankan dimensi bahasa yang puitis dan teknik
berbicara impromtu (kita bahas pada Bab II). Ia meminta bayaran yang mahal; sekitar sepuluh ribu
drachma ($ 10.000) untuk seorang murid saja. Bersama Protagoras dan kawan-kawan, Gorgias
berpindah dari satu kota ke kota yang lain. Mereka adalah "dosen-dosen terbang". Protagoras menyebut
kelompoknya sophistai, "guru kebijaksanaan" Sejarahwan menyebut mereka kelompok Sophis. Mereka
berjasa mengembangkan retorika dan mempopulerkannya. Retorika, bagi mereka bukan hanya ilmu
pidato, tetapi meliputi pengetahuan sastra, gramatika, dan logika. Mereka tahu bahwa rasio tidak cukup
untuk meyakinkan orang. Mereka mengajarkan teknik-teknik memanipulasi emosi dan menggunakan
prasangka untuk menyentuh hati pendengar. Berkat kaum Sophis, abad keempat sebelum Masehi
adalah abad retorika. Jago-jago pidato muncul di pesta Olimpiade, di gedung perwakilan dan
pengadilan. Bila mereka bertanding, orang-orang Athena berdatangan dari tempat-tempat jauh; dan
menikmati "adu pidato" seperti menikmati pertandingan tinju. Kita hanya akan menyebutkan dua tokoh
saja sebagai contoh: Demosthenes dan Isocrates. Berbeda dengan Gorgias, Demosthenes
mengembangkan gaya bicara yang tidak berbunga-bunga, tetapi jelas dan keras. Dengan cerdik, ia
menggabungkan narasi dan argumentasi. Ia juga amat memperhatikan cara penyampaian (delivery).
Menurut Will Durant, "ia meletakkan rahasia pidato pada akting (hypocrisis). Berdasarkan keyakinan
ini, ia berlatih pidato dengan sabar. Ia mengulang-ulangnya di depan cermin. Ia membuat gua, dan
berbulan-bulan tinggal di sana, berlatih dengan diam-diam. Pada masa-masa ini, ia mencukur
rambutnya sebelah, supaya ia tidak berani keluar dari persembunyiannya. Di mimbar, ia
melengkungkan tubuhnya, bergerak berputar, meletakkan tangan di atas dahinya seperti berpikir, dan
seringkali mengeraskan suaranya seperti menjerit. Demosthenes pernah diusulkan untuk diberi
mahkota atas jasa-jasanya kepada negara dan atas kenegarawanannya. Aeschines, orator lainnya,
menentang pemberian mahkota dan memandangnya tidak konstitusional. Di depan Mahkamah yang
terdiri dari ratusan anggota juri, ia melancarkan kecamannya kepada Demosthenes. Pada gilirannya,
Demosthenes menyerang Aeschines dalam pidatonya yang terkenal Perihal Mahkota. Dewan juri
memihak Demosthenes dan menuntut Aeschines untuk membayar denda. Aeschines lari ke Rhodes dan
hidup dari kursus retorika yang tidak begitu laku. Konon, Demosthenes mengirimkan uang kepadanya
untuk membebaskannya dari kemiskinan. Persaudaraan karena profesi! Duel antara dua orator itu telah
dikaji sepanjang sejarah. Inilah buah pendidikan yang dirintis oleh kaum Sophis. Tetapi ini juga yang
membentuk citra negatif tentang kaum Sophis. Seorang tokoh yang berusaha mengembangkan retorika
dengan menyingkirkan Sophisme negatif adalah Isocrates. Isocrates percaya bahwa retorika dapat
meningkatkan kualitas masyarakat; bahwa retorika tidak boleh dipisahkan dari politik dan sastra. Tetapi
ia menganggap tidak semua orang boleh diberi pelajaran ini. Retorika menjadi sebuah pelajaran elit,
hanya untuk mereka yang berbakat. Ia mendirikan sekolah retorika yang paling berhasil tahun 391 SM.
Ia mendidik muridnya menggunakan kata-kata dalam susunan yang jernih tetapi tidak berlebih-lebihan,
dalam rentetan anak kalimat yang seimbang dengan pergeseran suara dan gagasan yang lancar. Karena
ia tidak mempunyai suara yang baik dan keberanian untuk tampil, ia hanya menuliskan pidatonya. Ia
menulis risalah-risalah pendek dan menyebarkannya. Sampai sekarang risalah-risalah ini dianggap
warisan prosa Yunani yang menakjubkan. Gaya bahasa Isocrates telah mengilhami tokoh-tokoh retorika
sepanjang zaman: Cicero, Milton, Massillon, Jeremy Taylor, dan Edmund Burke. Salah satu risalah
yang ditulisnya mengkritik kaum Sophis. Risalah ini ikut membantu berkembangnya kebencian kepada
kaum Sophis. Di samping itu, kaum Sophis kebanyakan para pendatang asing di Athena. Orang selalu
mencurigai yang dibawa orang asing. Apalagi mereka mengaku mengajarkan kebijaksanaan dengan
menuntut bayaran. Yang tidak sanggup membayar tentu saja melepaskan kekecewaannya dengan
mengecam mereka. Socrates, misalnya, hanya sanggup membayar satu drachma untuk kursus yang
diberikan Prodicus. Karena itu, ia hanya memperoleh dasar-dasar bahasa yang sangat rendah saja.
Socrates mengkritik kaum Sophis sebagai para prostitut. Orang yang menjual kecantikan untuk
memperoleh uang, kata Socrates, adalah prostitut. Begitu juga, orang yang menjual kebijaksanaan.
Murid Socrates yang menerima pendapat gurunya tentang Sophisme adalah Plato. Plato menjadikan
Gorgias dan Socrates sebagai contoh retorika yang palsu dan retorika yang benar, atau retorika yang
berdasarkan pada Sophisme dan retorika yang berdasarkan pada filsafat. Sophisme mengajarkan
kebenaran yang relatif. Filsafat membawa orang kepada pengetahuan yang sejati. Ketika merumuskan
retorika yang benar - yang membawa orang kepada hakikat - Plato membahas organisasi, gaya, dan
penyampaian pesan. Dalam karyanya, Dialog, Plato menganjurkan para pembicara untuk mengenal
"jiwa" pendengarnya. Dengan demikian, Plato meletakkan dasar-dasar retorika ilmiah dan psikologi
khalayak. Ia telah mengubah retorika sebagai sekumpulan teknik (Sophisme) menjadi sebuah wacana
ilmiah.

Aristoteles, murid Plato yang paling cerdas melanjutkan kajian retorika ilmiah. Ia menulis tiga
jilid buku yang berjudul De Arte Rhetorica.

Dari Aristoteles dan ahli retorika klasik, kita memperoleh lima tahap penyusunan pidato: terkenal
sebagai Lima Hukum Retorika (The Five Canons of Rhetoric).

1. Inventio (penemuan) Pada tahap ini, pembicara menggali topik dan meneliti khalayak
untuk mengetahui metode persuasi yang paling tepat. Bagi Aristoteles, retorika tidak lain daripada
"kemampuan untuk menentukan, dalam kejadian tertentu dan situasi tertentu, metode persuasi yang
ada". Dalam tahap ini juga, pembicara merumuskan tujuan dan mengumpulkan bahan (argumen)
yang sesuai dengan kebutuhan khalayak.Aristoteles menyebut tiga cara untuk mempengaruhi
manusia. Pertama, Anda harus sanggup menunjukkan kepada khalayak bahwa Anda memiliki
pengetahuan yang luas, kepribadian yang terpercaya, dan status yang terhormat (ethos). Kedua,
Anda harus Menyentuh hati khalayak perasaan, emosi, harapan, kebencian dan kasih sayang
mereka (pathos). Kelak, para ahli retorika modern menyebutnya imbauan emotional (emotional
appeals). Ketiga, Anda Meyakinkan khalayak dengan mengajukan bukti atau yang kelihatan
sebagai bukti. Di sini Anda mendekati khalayak lewat otaknya (logos).Di samping ethos, pathos,
dan logos, Aristoteles menyebutkan dua cara lagi yang efektif untuk mempengaruhi pendengar:
entimem dan contoh. Entimem (Bahasa Yunani: "en" di dalam dan "thymos" pikiran) adalah sejenis
silogisme yang tidak lengkap, tidak untuk menghasilkan pembuktian ilmiah, tetapi untuk
menimbulkan keyakinan. Disebut tidak lengkap, karena sebagian premis dihilangkan. Sebagaimana
Anda ketahui, silogisme terdiri atas tiga premis: mayor, minor, dan kesimpulan. Semua manusia
mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita (mayor). Anda manusia (minor). Tentu
Anda pun mempunyai perasaan yang sama (kesimpulan). Ketika saya ingin mempengaruhi Anda
untuk mengasihi orang-orang yang menderita, saya berkata, "Kasihanilah mereka. Sebagai
manusia, Anda pasti mempunyai perasaan iba kepada orang yang menderita ". Ucapan yang ditulis
miring menunjukkan silogisme, yang premis mayornya dihilangkan. Di samping entimem, contoh
adalah cara lainnya. Dengan mengemukakan beberapa contoh, secara induktif Anda membuat
kesimpulan umum. Sembilan dari sepuluh bintang film menggunakan sabun Lnx. Jadi, sabun Lux
adalah sabun para bintang fihn.
2. Dispositio (penyusunan). Pada tahap ini, pembicara menyusun pidato atau
mengorganisasikan pesan. Aristoteles menyebutnya taxis, yang berarti pembagian. Pesan harus
dibagi ke dalam beberapa bagian yang berkaitan secara logis. Susunan berikut ini mengikuti
kebiasaan berpikir manusia: pengantar, pernyataan, argumen, dan epilog. Menurut Aristoteles,
pengantar berfungsi menarik perhatian, menumbuhkan kredibilitas (ethos), dan menjelaskan tujuan.

3. Elocutio (gaya). Pada tahap ini, pembicara memilih kata-kata dan menggunakan bahasa
yang tepat untuk "mengemas" pesannya. Aristoteles memberikan nasihat ini: gunakan bahasa yang
tepat, benar, dan dapat diterima; pilih kata-kata yang jelas dan langsung; sampaikan kalimat yang
indah, mulia, dan hidup; dan sesuaikan bahasa dengan pesan, khalayak, dan pembicara.
4. Memoria (memori). Pada tahap ini, pembicara harus mengingat apa yang ingin
disampaikannya, dengan mengatur bahan-bahan pembicaraannya. Aristoteles menyarankan
"jembatan keledai" untuk memudahkan ingatan. Di antara semua peninggalan retorika klasik, me-
mori adalah yang paling kurang mendapat perhatian para ahli retorika modern.

5. Pronuntiatio (penyampaian). Pada tahap ini, pembicara menyampaikan pesannya secara


lisan. Di sini, akting sangat berperan. Demosthenes menyebutnya hypocrisis (boleh jadi dari sini
muncul kata hipokrit). Pembicara harus memperhatikan olah suara (vocis) dan gerakan-
gerakan,anggota badan (gestus moderatio cum venustate).

RETORIKA ZAMAN ROMAWI

Teori retorika Aristoteles sangat sistematis dan komprehensif. Pada satu sisi, retorika telah
memperoleh dasar teoretis yang kokoh. Namun, pada sisi lain, uraiannya yang lengkap dan persuasif
telah membungkam para ahli retorika yang datang sesudahnya. Orang-orang Romawi selama dua ratus
tahun setelah De Arte Rhetorica tidak menambahkan apa-apa yang berarti bagi perkembangan retorika.
Buku Ad Herrenium, yang ditulis dalam bahasa Latin kira-kira 100 SM, hanya mensistematisasikan
dengan cara Romawi warisan retorika gaya Yunani. Orang-orang Romawi bahkan hanya mengambil
segi-segi praktisnya saja. Walaupun begitu, kekaisaran Romawi bukan saja subur dengan sekolah-
sekolah retorika; tetapi juga kaya dengan orator-orator ulung: Antonius, Crassus, Rufus, Hortensius.
Yang disebut terakhir terkenal begitu piawai dalam berpidato sehingga para artis berusaha mempelajari
gerakan dan cara penyampaiannya. Kemampuan Hortensius disempurnakan oleh Cicero. Karena di-
besarkan dalam keluarga kaya dan menikah dengan istri yang memberinya kehormatan dan uang,
Cicero muncul sebagai negarawan dan cendekiawan. Pernah hanya dalam dua tahun (45-44 SM), ia
menulis banyak buku filsafat dan lima buah buku retorika. Dalam teori, ia tidak banyak menampilkan
penemuan baru. Ia banyak mengambil gagasan dari Isocrates. Ia percaya bahwa efek pidato akan baik,
bila yang berpidato adalah orang baik juga. The good man speaks well. Dalam praktek, Cicero betul-
betul orator yang sangat berpengaruh. Caesar, penguasa Romawi yang ditakuti, memuji Cicero, "Anda
telah menemukan semua khazanah retorika, dan Andalah orang pertama yang menggunakan semuanya.
Anda telah memperoleh kemenangan yang lebih disukai dari kemenangan para jenderal. Karena se-
sungguhnya lebih agung memperluas batas-batas kecerdasan manusia daripada memperluas batas-batas
kerajaan Romawi".

Kira-kira 57 buah pidatonya sampai kepada kita sekarang ini. Will Durant menyimpulkan kepada
kita gaya pidatonya:

Pidatonya mempunyai kelebihan dalam menyajikan secara bergelora satu sisi masalah atau
karakter; dalam menghibur khalayak dengan humor dan anekdot; dalam menyentuh
kebanggaan, prasangka, perasaan, patriotisme dan kesalehan; dalam mengungkapkan
secara keras kelemahan lawan - yang sebenarnya atau yang diberitakan, yang tersembunyi
atau yang terbuka; dalam mengalihkan perhatian secara terampil dari pokok-pokok
pembicaraan yang kurang menguntungkan; dalam memberondong pertanyaan retoris yang
sulit dijawab; dalam menghimpun serangan-serangan, dengan kalimat-kalimat periodik
yang anak-anaknya seperti cambukan dan yang badainya membahana....

Dari tulisan-tulisannya yang sampai sekarang bisa dibaca, kita mengetahui bahwa Cicero sangat
terampil dalam menyederhanakan pembicaraan yang sulit. Bahasa Latinnya mudah dibaca. Melalui
penanya, bahasa mengalir dengan deras tetapi indah. Puluhan tahun sepeninggal Cicero, Quintillianus
mendirikan sekolah retorika. Ia sangat mengagumi Cicero dan berusaha merumuskan teori-teori
retorika dari pidato dan tulisannya. Apa yang dapat kita pelajari dari Quintillianus? Banyak. Secara
singkat, Will Durant menceritakan kuliah retorika Quantillianus, yang dituliskannya dalam buku
Institutio Oratoria:

Ia mendefinisikan retorika sebagai ilmu berbicara yang baik. Pendidikan orator harus
dimulai sebelum dia lahir: Ia sebaiknya berasal dari keluarga terdidik, sehingga ia bisa
menerima ajaran yang benar dan akhlak yang baik sejak napas yang ia hirup pertama
kalinya. Tidak mungkin menjadi terpelajar dan terhormat hanya dalam satu generasi.
Calon orator harus mempelajari musik supaya ia mempunyai telinga yang dapat
mendengarkan harmoni; tarian, supaya ia memiliki keanggunan dan ritma; drama, untuk
menghidupkan kefasihannya dengan gerakan dan tindakan; gimnastik, untuk memberinya
kesehatan dan kekuatan; sastra, untuk membentuk gaya dan melatih memorinya, dan
memperlengkapinya dengan pemikiran-pemikiran besar; sains, untuk memperkenalkan dia
dengan pemahaman mengenai alam; dan filsafat, untuk membentuk karakternya
berdasarkan petunjuk akal dan bimbingan orang bijak. Karena semua persiapan tidak ada
manfaatnya jika integritas akhlak dan kemuliaan rohani tidak melahirkan ketulusan bicara
yang tak dapat ditolak. Kemudian, pelajar retorika harus menulis sebanyak dan secermat
mungkin.

Sebuah saran yang berlebihan. Tetapi kita diingatkan lagi pada Cicero. The good man speaks
well.

RETORIKA ABAD PERTENGAHAN

Sejak zaman Yunani sampai zaman Romawi, retorika selalu berkaitan dengan kenegarawanan.
Para orator umumnya terlibat dalam kegiatan politik. Ada dua cara untuk memperoleh kemenangan
politik: talk it out ('membicarakan sampai tuntas) atau shoot it out (menembak sampai habis). Retorika
subur pada cara pertama, cara demokrasi. Ketika demokrasi Romawi mengalami kemunduran, dan
kaisar demi kaisar memegang pemerintahan, "membicarakan" diganti dengan "menembak". Retorika
tersingkir ke belakang panggung. Para kaisar tidak senang mendengar orang yang pandai berbicara.
Abad pertengahan sering disebut abad kegelapan, juga buat retorika. Ketika agama Kristen berkuasa,
retorika dianggap sebagai kesenian jahiliah. Banyak orang Kristen waktu itu melarang mempelajari
retorika yang dirumuskan oleh orang-orang Yunani dan Romawi, para penyembah berhala. Bila orang
memeluk agama Kristen, secara otomatis ia akan memiliki kemampuan untuk nmnyampaikan
kebenaran. St. Agustinus, yang telah mempelajari retorika sebelum masuk Kristen tahun 386, adalah
kekecualian pada zaman itu. Dalam On Christian Doctrine (426), ia menjelaskan bahwa para
pengkhotbah harus sanggup mengajar, menggembirakan, dan menggerakkan - yang oleh Cicero disebut
sebagai kewajiban orator. Untuk mencapai tujuan Kristen, yakni mengungkapkan kebenaran, kita harus
mempelajari teknik penyampaian pesan. Satu abad kemudian, di Timur muncul peradaban baru.
Seorang Nabi menyampaikan firman Tuhan, "Berilah mereka nasihat dan berbicaralah kepada mereka
dengan pembicaraan yang menyentuh jiwa mereka" (Alquran 4:63). Muhammad saw. bersabda,
memperteguh firman Tuhan ini, "Sesungguhnya dalam kemampuan berbicara yang baik itu ada
sihirnya". Ia sendiri seorang pembicara yang fasih - dengan kata-kata singkat yang mengandung makna
padat. Para sahabatnya bercerita bahwa ucapannya sering menyebabkan pendengar berguncang hatinya
dan berlinang air matanya. Tetapi ia tidak hanya menyentuh hati, ia juga mengimbau akal para
pendengarnya. Ia sangat memperhatikan orang-orang yang dihadapinya, dan menyesuaikan pesannya
dengan keadaan mereka. Ada ulama yang mengumpulkan khusus pidatonya dan menamainya Madinat
al-Balaghah (Kota Balaghah). Salah seorang sahabat yang paling dikasihinya, Ali bin Abi Thalib,
mewarisi ilmunya dalam berbicara. Seperti dilukiskan Thomas Carlyle, "every antagonist in the
combats of tongue or of sword was subdited by his eloquence and valor". Pada Ali bin Abi Thalib,
kefasihan dan kenegarawanan bergabung kembali. Khotbah-khotbahnya dikumpulkan dengan cermat
oleh para pengikutnya dan diberi judul Nahj al-Balaghah (Jalan Balaghah). Balaghah menjadi disiplin
ilmu yang menduduki status yang mulia dalam peradaban Islam. Kaum Muslim menggunakan
balaghah sebagai pengganti retorika. Tetapi, warisan retorika Yunani, yang dicampakkan di Eropa Abad
Pertengahan, dikaji dengan tekun oleh para ahli balaghah. Sayang, sangat kurang sekali studi berkenaan
dengan kontribusi Balaghah pada retorika modern. Balaghah, beserta ma'ani dan bayan, masih
tersembunyi di pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional.

RETORIKA MODERN

Abad Pertengahan berlangsung selama seribu tahun (400-1400). Di Eropa, selama periode
panjang itu, warisan peradaban Yunani diabaikan. Pertemuan orang Eropa dengan Islam - yang
menyimpan dan mengembangkan khazanah Yunani - dalam Perang Salib menimbulkan Renaissance.
Salah seorang pemikir Renaissance yang menarik kembali minat orang pada retorika adalah Peter
Ramus. Ia membagi retorika pada dua bagian. Inventio dan dispositio dimasukkannya sebagai bagian
logika. Sedangkan retorika hanyalah berkenaan dengan elocutio dan pronuntiatio saja. Taksonomi
Ramus berlangsung selama beberapa generasi Renaissance mengantarkan kita kepada retorika modern.
Yang membangun jembatan, menghubungkan Renaissance dengan retorika modern adalah Roger
Bacon (1214-1219). Ia bukan saja memperkenalkan metode eksperimental, tetapi juga pentingnya
pengetahuan tentang proses psikologis dalam studi retorika. Ia menyatakan, "... kewajiban retorika
ialah menggunakan rasio dan imajinasi untuk menggerakkan kemauan secara lebih baik". Rasio,
imajinasi, kemauan adalah fakultas-fakultas psikologis yang kelak menjadi kajian utama ahli retorika
modern. Aliran pertama retorika dalam masa modern, yang menekankan proses psikologis, dikenal
sebagai aliran epistemologis. Epistemologi membahas "teori pengetahuan"; asal-usul, sifat, metode,
dan batas-batas pengetahuan manusia. Para pemikir epistemologis berusaha mengkaji retorika klasik
dalam sorotan perkembangan psikologi kognitif (yakni, yang membahas proses mental). George
Campbell (1719-1796), dalam bukunya The Philosophy of Rhetoric, menelaah tulisan Aristoteles,
Cicero, dan Quintillianus dengan pendekatan psikologi fakultas (bukan fakultas psikologi). Psikologi
fakultas berusaha menjelaskan sebab-musabab perilaku manusia pada empat fakultas - atau
kemampuan jiwa manusia: pemahaman, memori, imajinasi, perasaan, dan kemauan. Retorika, menurut
definisi Campbell, haruslah diarahkan kepada upaya "mencerahkan pemahaman, menyenangkan
imajinasi, menggerakkan perasaan, dan mempengaruhi kemauan". Richard Whately mengembangkan
retorika yang dirintis Campbell. Ia mendasarkan teori retorikanya juga pada psikologi fakultas. Hanya
saja ia menekankan argumentasi sebagai fokus retorika. Retorika harus mengajarkan bagaimana
mencari argumentasi yang tepat dan mengorganisasikannya secara baik. Baik Whately maupun
Campbell menekankan pentingnya menelaah proses berpikir khalayak. Karena itu, retorika yang
berorientasi pada khalayak (audience-centered) berutang budi pada kaum epistemologis - aliran
pertama retorika modern. Aliran retorika modern kedua dikenal sebagai gerakan belles lettres (Bahasa
Prancis: tulisan yang indah). Retorika belletris sangat mengutamakan keindahan bahasa, segi-segi
estetis pesan, kadang-kadang dengan mengabaikan segi informatifnya. Hugh Blair (1718-1800) me-
nulis Lectures on Rhetoric and Belles Lettres. Di sini ia menjelaskan hubungan antara retorika, sastra,
dan kritik. Ia memperkenalkan fakultas citarasa (taste), yaitu kemampuan untuk memperoleh
kenikmatan dari pertemuan dengan apa pun yang indah. Karena memiliki fakultas citarasa, Anda
senang mendengarkan musik yang indah, membaca tulisan yang indah, melihat pemandangan yang
indah, atau mencamkan pidato yang indah. Citarasa, kata Blair, mencapai kesempurnaan ketika
kenikmatan inderawi dipadukan dengan rasio - ketika rasio dapat menjelaskan sumber-sumber
kenikmatan. Aliran pertama (epistemologi) dan kedua (belles lettres) terutama memusatkan perhatian
mereka pada persiapan pidato - pada penyusunan pesan dan penggunaan bahasa. Aliran ketiga - disebut
gerakan elokusionis - justru menekankan teknik penyampaian pidato. Gilbert Austin, misalnya
memberikan petunjuk praktis penyampaian pidato, "Pembicara tidak boleh melihat melantur. Ia harus
mengarahkan matanya langsung kepada pendengar, dan menjaga ketenangannya. Ia tidak boleh segera
melepaskan seluruh suaranya, tetapi mulailah dengan nada yang paling rendah, dan mengeluarkan
suaranya sedikit saja; jika ia ingin mendiamkan gumaman orang dan mencengkeram perhatian
mereka". James Burgh, misal yang lain, menjelaskan 71 emosi dan cara mengungkapkannya. Dalam
perkembangan, gerakan elokusionis dikritik karena perhatian - dan kesetiaan - yang berlebihan pada
teknik. Ketika mengikuti kaum elokusionis, pembicara tidak lagi berbicara dan bergerak secara
spontan. Gerakannya menjadi artifisial. Walaupun begitu, kaum elokusionis telah berjaya dalam
melakukan penelitian empiris sebelum merumuskan "resep-resep" penyampaian pidato. Retorika kini
tidak lagi ilmu berdasarkan semata-mata "otak-atik otak" atau hasil perenungan rasional saja. Retorika,
seperti disiplin yang lain, dirumuskan dari hasil penelitian empiris. Pada abad kedua puluh, retorika
mengambil manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan modern - khususnya ilmu-ilmu perilaku
seperti psikologi dan sosiologi. Istilah retorika pun mulai digeser oleh speech, speech communication,
atau oral communication, atau public speaking. Di bawah ini diperkenalkan sebagian dari tokoh-tokoh
retorika mutakhir:

1. James A Winans Ia adalah perintis penggunaan psikologi modern dalam pidatonya. Bukunya,
Public Speaking, terbit tahun 1917 mempergunakan teori psikologi dari William James dan E.B.
Tichener. Sesuai dengan teori James bahwa tindakan ditentukan oleh perhatian, Winans, men-
definisikan persuasi sebagai "proses menumbuhkan perhatian yang memadai baik dan tidak terbagi
terhadap proposisi-proposisi". Ia menerangkan pentingnya membangkitkan emosi melalui motif-motif
psikologis seperti kepentingan pribadi, kewajiban sosial dan kewajiban agama. Cara berpidato yang
bersifat percakapan (conversation) dan teknik-teknik penyampaian pidato merupakan pembahasan yang
amat berharga. Winans adalah pendiri Speech Communication Association of America (1950).

2. Charles Henry Woolbert Ia pun termasuk pendiri the Speech Communication Association of
America. Kali ini psikologi yang amat mempengaruhinya adalah behaviorisme dari John B. Watson.
Tidak heran kalau Woolbert memandang "Speech Communication" sebagai ilmu tingkah laku. Baginya,
proses penyusunan pidato adalah kegiatan seluruh organisme. Pidato merupakan ungkapan kepribadian.
Logika adalah dasar utama persuasi. Dalam penyusunan persiapan pidato, menurut Woolbert harus
diperhatikan hal-hal berikut: (1) teliti tujuannya, (2) ketahui khalayak dan situasinya, (3) tentukan
proposisi yang cocok dengan khalayak dan situasi tersebut, (4) pilih kalimat-kalimat yang dipertalikan
secara logis. Bukunya yang terkenal adalah The Fundamental of Speech.

3. William Noorwood Brigance Berbeda dengan Woolbert yang menitikberatkan logika, Brigance
menekankan faktor keinginan (desire) sebagai dasar persuasi. "Keyakinan", ujar Brigance, "jarang
merupakan hasil pemikiran. Kita cenderung mempercayai apa yang membangkitkan keinginan kita,
ketakutan kita dan emosi kita". Persuasi meliputi empat unsur: (1) rebut perhatian pendengar, (2)
usahakan pendengar untuk mempercayai kemampuan dan karakter Anda, (3) dasarkanlah pemikiran
pada keinginan, dan (4) kembangkan setiap gagasan sesuai dengan sikap pendengar.

4. Alan H. Monroe Bukunya, Principles and Types of Speech, banyak kita pergunakan dalam buku ini.
Dimulai pada pertengahan tahun 20-an Monroe beserta stafnya meneliti proses motivasi (motivating
process). Jasa, Monroe yang terbesar adalah cara organisasi pesan. Menurut Monroe, pesan harus
disusun berdasarkan proses berpikir manusia yang disebutnya motivated sequence. Beberapa sarjana
retorika modern lainnya yang patut kita sebut antara lain A.E. Philips (Effective Speaking, 1908),
Brembeck dan Howell (Persuasion: A Means of Social Control, 1952), R.T. Oliver (Psychology of Per-
suasive Speech, 1942). Di Jerman, selain tokoh "notorious" Hitler, dengan bukunya Mein Kampf, maka
Naumann (Die Kunst der Rede, 1941), Dessoir (Die Rede als Kunst, 1984) dan Damachke
(Volkstumliche Redekunst, 1918) adalah pelopor retorika modern juga. Dewasa ini retorika sebagai
public speaking, oral communication, atau speech communication -diajarkan dan diteliti secara ilmiah
di lingkungan akademis. Pada waktu mendatang, ilmu ini tampaknya akan diberikan juga pada
mahasiswa-mahasiswa di luar ilmu sosial. Dr. Charles Hurst mengadakan penelitian tentang pengaruh
speech courses terhadap prestasi akademis mahasiswa. Hasilnya membuktikan bahwa pengaruh itu
cukup berarti. Mahasiswa yang memperoleh pelajaran speech (speech group) mendapat skor yang lebih
tinggi dalam tes belajar dan berpikir, lebih terampil dalam studi dan lebih baik dalam hasil
akademisnya dibanding dengan mahasiswa yang tidak memperoleh ajaran itu.

Hurst menyimpulkan:

Data penelitian ini menunjukkan dengan jelas bahwa kuliah speech tingkat dasar adalah
agen synthesa, yang memberikan dasar skematis bagi mahasiswa untuk berpikir lebih
teratur dan memperoleh penguasaan yang lebih baik terhadap aneka fenomena yang
membentuk kepribadian.

Penelitian ini menjadi penting bagi kita, bukan karena dilengkapi dengan data statistik yang
meyakinkan atau karena berhasil memberikan gelar doktor bagi Hurst, tetapi karena erat kaitannya
dengan prospek retorika di masa depan.

Rujukan Penuh : Rakhmat, Jalaluddin. 2006. Retorika Modern Pendekatan Praktis. Bandung: Penerbit
PT. Remaja Rosda Karya
Tips-tips Menjadi pembicara yang baik

(PUBLIK Speaker adalah orang yang melakukan Public Speaking (PS), yakni berbicara di depan
umum, utamanya ceramah atau pidato.Secara luas, PS mencakup semua aktivitas berbicara
(komunikasi lisan) di depan orang banyak, termasuk dalam rapat, membawakan acara (jadi MC),
presentasi, diskusi, briefing, atau mengajar di kelas. Presenter TV dan penyair radio termasuk
melakukan PS dilihat dari sisi jumlah audience yang banyak (publik), meskipun tidak face to face.
Menjadi menjadi pembicara yang baikdapat dilakukan dengan dua cara, yakni:1. Practice –Latihan
pidato di depan kawan-kawan, keluarga, bahkan anjing/kucing, atau siapa saja yang bisa
mendengarkan; di depan cermin; menggunakan recorder.2. Building Skill –membangun keterampilan
PS dengan memahami teknik PS, meliputi persiapan dan penyampaian.

PERSIAPAN

Persiapan Mental
1. Rileks! Atasi gugup dengan menarik nafas panjang/dalam; menggerakan badan; berdiri tegak
layaknya tentara berbaris dengan bahu dan dada yang tegap, lalu tersenyumlah!
2. Know the room! Jadikan seakan-akan ia kamar Anda sendiri.
3. Know the audience! Kenali karakteristik dan pandang mereka sebagai teman akrab.
4. Know your material! Anggaplah Anda yang paling tahu.

Persiapan Fisik
1. Pastikan kondisi badan dan suara fit, segar, dan normal
2. Kenakan pakaian yang serasi dengan susana acara.
3. Jangan memakan keju, mentega, atau minum susu, soda, teh, kopi, sekurang-kurangnya sejam
sebelum tampil.
4. Jabatlah tangan Anda agar darah mengalir — membuat gerakan tangan Anda lebih alami saat
berbicara di podium.
5. Jaga agar mulut dan tenggorokan Anda tetap basah. Siapkan selalu air mineral.

Persiapan Materi
1. Baca literatur dan cari sumber data sebanyak mungkin. Semakin banyak pengetahuan dan
wawasan, Anda pun kian percaya diri.
2. Susun pointer atau outline.
3. Anda punya empat pilihan penguasaan materi: Membaca naskah (Reading from complete text),
menggunakan catatan (Using notes) berupa garis besar materi (outline) –ini cara terbaik,
menggunakan hapalan (memory) –pilihan terburuk karena komunikasi dengan audience
berkurang, terutama soal kontak mata; dan menggunakan alat bantu visual sebagai catatan

PEMBUKAAN

1. Start Low and Slow


2. Don’t apologize.
3. Teknik pembuka a.l. langsung menyebut pokok persoalan yang akan dibicarakan; mengajukan
pertanyaan provokatif, menyatakan kutipan — teori, ungkapan, peristiwa, atau pepatah.

PENYAMPAIAN

1. Teknik pemaparan: deduktif – gagasan utama ke perincian; “teori” ke empiris; induktif –


kasus ke kesimpulan; empiris ke “teori”; kronologis – Urutan peristiwa.
2. bicaralah agak keras agar cukup terdengar

3. ucapkan setiap kata dengan jelas

4. Gunakan kata berona yang melukiskan sikap, perasaan, keadaan. Misalnya, kata “terisak-
isak” lebih berona daripada kata “menangis”; kata “matanya berbinar-binar” -> bergembira, dll

5. Kalimat aktif (action words) lebih dinamis daripada kalimat pasif.

PENUTUP

1. Langsung tutup, ucapkan salam, jika materi pembicaraan sudah disampaikan atau waktu
sudah habis.
2. Teknik penutup: menyimpulkan, menyatakan kembali gagasan utama dengan kalimat
berbeda, mendorong audience untuk bertindak (Appeal for Action), kutipan sajak, kitab suci,
pribahasa, atau ucapan ahli, memuji khalayak, dll.

ELEMEN PUBLIC SPEAKING

Teknik Vokal

1. Intonasi (intonation) –nada suara, irama bicara, atau alunan nada dalam melafalkan kata-kata
2. Aksentuasi (accentuation) atau logat, dialek. Lakukan stressing pada kata-kata tertentu yang
dianggap penting.

3. Kecepatan (speed). Jangan bicara terlalu cepat

4. Artikulasi (articulation), yaitu kejelasan pengucapan kata-kata; pelafalan kata (pronounciation)

5. Infleksi – lagu kalimat, perubahan nada suara; hindari pengucapan yang sama bagi setiap kata.
Infleksi naik (go up) menunjukkan adanya lanjutan, menurun (go down) tunjukkan akhir
kalimat.

Eye Contact

1. Pandang audience; sapukan pandangan ke seluruh audience


2. Pandang tepat pada matanya!

Gesture/mimik

1. Alami, spontan, wajar, tidak dibuat-buat


2. Penuh, tidak sepotong-sepotong, tidak ragu

3. Sesuai dengan kata-kata

4. Gunakan untuk penekanan pada poin penting

5. Jangan berlebihan. Less is more!

6. The most important gesture: to SMILE!

7. Gerakan tubuh meliputi: ekspresi wajah, gerakan tangan, lengan, bahu, mulut atau bibir,
gerakan hidung, kepala, badan, kaki.

8. Setiap gerakan mengandung tiga bagian: Pendekatan (The Approach) – Tubuh siap untuk
bergerak; Gerakan (The Stroke) – gerakan tubuh itu sendiri; dan Kembali kembali ke posisi
semula atau keadaan normal.

9. Variatif, jangan monoton. Misalnya terus-menerus mengepalkan jari tangan di atas.

10. Jangan melalukan gerakan tubuh yang tidak bermakna atau tidak mendukung pembicaraan
seperti: memegang kerah baju, mempermainkan mike, meremas-remas jari, dan menggaruk-
garuk kepala.

11. Makin besar jumlah hadirin, kian besar dan lambat gerakan tubuh yang kita lakukan. Jika kita
berbicara di depan hadirin dalam jumlah kecil, atau di videoconferencing, atau di televisi,
lakukan gerakan tubuh alakadarnya

Humor

1. Bumbu Public Speaking


2. Use Natural Humor! Don’t try to be a stand up comedian!

3. Gunakan hentian (pause) sekadar memberikan kesempatan kepada pendengar untuk tertawa

4. Teknik humor a.lmelebihkan sesuatu secara tidak proporsional. Misalnya, ungkapan “hujan
lokal” bagi pembicara yang “menyemburkan” air liur; parodi –meniru gaya suatu karya
serius (lagu, pepatah, puisi) dengan penambahan agar lucu, misalnya mengubah lirik lagu
dengan kata-kata baru bernada humor; teknik belokan mendadak –membawa khalayak
untuk meyakini bawa kita akan berbicara normal, namun tiba-tiba kita mengatakan
sebaliknya atau tidak disangka-sangka pada akhir pembicaraan. Contoh: Saya mencintai
seorang wanita, namun kami tidak bisa menikah karena keluarganya merasa keberatan. Saya
tidak bisa apa-apa, karena keluarganya yang tidak setuju itu adalah suami dan anak-
anaknya!; TV (baca: tivi) yang dibuat di Bandung dan bermerk “Parisj van Java” yaitu
tipikir-pikir tidak ada.

EXTRA !!!‘PUBLIC SPEAKING’ ON RADIO BERBICARA


di radio (siaran) membutuhkan skill tersendiri. Kita tidak bisa melihat pendengar, demikian pula
sebaliknya. “Pendengarmu tak tahu wajahmu… Pendengarmu tak tahu rumahmu… Suaramu
pengenalmu,” demikian kata Bimbo dalam syair lagu “Balada Seorang Penyiar”.
Itulah sebabnya, radio disebut “Theatre of Mind”. Kita dan pendengar hanya bisa saling
membayangkan sosok masing-masing.
Pembicara di radio, utamanya penyiar (announcer), memang unik: berbicara kepada audience
yang tidak terlihat (invisible audience); tidak berbicara kepada siapa pun –yakni tidak ada
lawan bicara secara fisik hadir di depan mata, namun pada saat yang sama ia berbicara kepada
setiap orang, mungkin ribuan pendengar. (Simultaneously talking to no one - that is no one in
your physical presence - and everyone, possible thousands of listeners). Oleh karena itu,
berbicara di radio atau ketika siaran, lakukan dan miliki hal-hal berikut:
Visualize!Mau tidak mau, visualisasi (membayangkan pendengar) harus dilakukan ketika
siaran. Kita harus mementuk “mental image” tentang pendengar. Caranya: “Bayangkan, kita
sedang berbicara, ngobrol, dengan seorang pendengar yang sedang duduk di depan kita!
Membayangkan adanya seorang pendengar di depan kita, akan membantu kita berkomunikasi
secara alamiah, gaya ngobrol (conversational way)”.
“Bicara kepada satu orang” adalah prinsip dasar siaran radio atau berbicara di radio.
Smile!“Senyumlah! Meskipun kita tidak bisa melihat orangnya (yang jadi teman bicara)”.
Kehangatan pembicaraan dapat dibangun dengan senyum. Senyim ketika berbicara (siaran) di
radio, senilai dengan kontak mata (eye contact).
WawasanPenyiar harus berwawasan agar siarannya hidup, dinamis, berisi, dan tidak monoton.
Kosakata, varietas kata, improvisasi, hanya bisa dilakukan oleh penyiar yang berwawasan luas.
Karena itu, banyak baca, jadilah orang yang haus ilmu dan pengetahuan! Dijamin, jika Anda
berwawasan luas, takkan kehabisan kata-kata untuk berbicara.
Sense of MusicRadio identik dengan musik, gudangnya lagu, dan pendengar umumnye
menyetel radio untuk mendengarkan lagu favorit. Penyiar harus memiliki sense of music yang
tinggi. Soalnya, tugas penyiar bukan hanya mutar lagu-lagu, tapi mesti paham juga tentang jenis
musik, alat musik, dan artisnya.
Sense of HumorPenyiar juga harus humoris, punya bakat menghibur. Bakat itu diperlukan
karena profesi penyiar radio dituntut mampu menghibur pendengar. Lagi pula, radio identik
dengan hiburan (entertaintment).
Bahasa TuturSiaran harus menggunakan bahasa tutur, bahasa percakapan (conversational
language), demikian juga naskah berita atau iklan.
Bahasa tutur yaitu bahasa yang dipakai dalam pergaulan sehari-hari yang mempunyai ciri khas:
(a) kalimatnya sederhana, singkat, kurang lengkap, tidak banyak menggunakan kata
penghubung; dan (b) menggunakan spoken words atau kata-kata yang lazim dipakai sehari-hari

Anda mungkin juga menyukai