Anda di halaman 1dari 15

Rabu, Juli 25, 2007

SEJARAH PERKEMBANGAN RETORIKA

by : jaka 05.0217.15

Objek studi retorika setua kehidupan manusia. Kefasihan bicara mungkin


pertama kali dipertunjukkan dalam upacara adat: kelahiran, kematian, lamaran,
perkawinan, dan sebagainya. Pidato disampaikan oleh orang yang mempunyai
status tinggi. Dalam perkembangan peradaban pidato melingkupi bidang yang
lebih luas. "Sejarah manusia", kata Lewis Copeland dalam kata pengantar
bukunya tentang pidato tokoh-tokoh besar dalam sejarah, "terutama sekali
adalah catatan peristiwa penting yang dramatis, yang seringkali disebabkan oleh
pidato-pidato besar.

Sejak Yunani dan Roma sampai zaman kita sekarang, kepandaian pidato
dan kenegarawanan selalu berkaitan. Banyak jago pedang juga terkenal dengan
kefasihan bicaranya yang menawan".

Uraian sistematis retorika yang pertama diletakkan oleh orang Syracuse,


sebuah koloni Yunani di Pulau Sicilia. Bertahun-tahun koloni itu diperintah para
tiran. Tiran, di mana pun dan pada zaman apa pun, senang menggusur tanah
rakyat. Kira-kira tahun 465 SM, rakyat melancarkan revolusi. Diktator
ditumbangkan dan demokrasi ditegakkan. Pemerintah mengembalikan lagi tanah
rakyat kepada pemiliknya yang sah.

Di sinilah kemusykilan terjadi. Untuk mengambil haknya, pemilik tanah


harus sanggup meyakinkan dewan juri di pengadilan. Waktu itu, tidak ada
pengacara dan tidak ada sertifikat tanah. Setiap orang harus meyakinkan
mahkamah dengan pembicaraan saja. Sering orang tidak berhasil memperoleh
kembali tanahnya, hanya karena ia tidak pandai bicara.

Untuk membantu orang memenangkan haknya di pengadilan, Corax


menulis makalah retorika, yang diberi nama Techne Logon (Seni Kata-kata).
Walaupun makalah ini sudah tidak ada, dari para penulis sezaman, kita
mengetahui bahwa dalam makalah itu ia berbicara tentang "teknik
kemungkinan". Bila kita tidak dapat memastikan sesuatu, mulailah dari
kemungkinan umum. Seorang kaya mencuri dan dituntut di pengadilan untuk
pertama kalinya. Dengan teknik kemungkinan, kita bertanya, "Mungkinkah
seorang yang berkecukupan mengorbankan kehormatannya dengan mencuri?
Bukankah, sepanjang hidupnya, ia tidak pernah diajukan ke pengadilan karena
mencuri". Sekarang, seorang miskin mencuri dan diajukan ke pengadilan untuk
kedua kalinya. Kita bertanya, "la pernah mencuri dan pernah dihukum. Mana
mungkin ia berani melakukan lagi pekerjaan yang sama". Akhirnya, retorika me-
mang mirip "ilmu silat lidah".

Di samping teknik kemungkinan, Corax meletakkan dasar-dasar organisasi


pesan. Ia membagi pidato pada lima bagian: pembukaan, uraian, argumen,
penjelasan tambahan, dan kesimpuln. Dari sini, para ahli retorika kelak
mengembangkan organisasi pidato.

Walaupun demokrasi gaya Syracuse tidak bertahan lama, ajaran Corax


tetap berpengaruh. Konon, Gelon, penguasa yang menggulingkan demokrasi dan
menegakkan kembali tirani, menderita halitosis (bau mulut). Karena ia tiran yang
kejam, tak seorang pun berani memberitahukan hal itu kepadanya. Sampai di
negeri yang asing, seorang perempuan asing berani menyebutkannya. Ia
terkejut. Ia memarahi istrinya, yang bertahun-tahun begitu dekat dengannya,
tetapi tidak memberitahukannya. Istrinya menjawab bahwa karena ia tidak
pernah dekat dengan laki-laki lain, ia mengira semua laki-laki sama. Gelon tidak
jadi menghukum istrinya. Tampaknya, sang istri sudah belajar retorika dari
Corax.

Masih di Pulau Sicilia, tetapi di Agrigenturn, hidup Empedocles (490-430


SM), filosof, mistikus, politisi, dan sekaligus orator. Ia cerdas dan menguasai
banyak pengetahuan. Sebagai filosof, ia pernah berguru kepada Pythagoras dan
menulis The Nature of Things. Sebagai mistikus, ia percaya bahwa setiap orang
bisa bersatu dengan Tuhan bila ia menjauhi perbuatan yang tercela. Sebagai
politisi, ia memimpin pemberontakan untuk menggulingkan aristokrasi dan
kekuasaan diktator. Sebagai orator, menurut Aristoteles, "ia mengajarkan
prinsip-prinsip retorika, yang kelak dijual Gorgias kepada penduduk Athena".
Tahun 427 SM Gorgias dikirim sebagai duta ke Athena. Negeri itu sedang
tumbuh sebagai negara yang kaya. Kelas pedagang kosmopolitan selain memiliki
waktu luang lebih banyak, juga terbuka pada gagasan-gagasan baru. Di Dewan
Perwakilan Rakyat, di pengadilan, orang memerlukan kemampuan berpikir yang
jernih dan logis serta berbicara yang jelas dan persuasif. Gorgias memenuhi
kebutuhan "pasar" ini dengan mendirikan sekolah retorika. Gorgias menekankan
dimensi bahasa yang puitis dan teknik berbicara impromtu (kita bahas pada Bab
II). Ia meminta bayaran yang mahal; sekitar sepuluh ribu drachma ($ 10.000)
untuk seorang murid saja. Bersama Protagoras dan kawan-kawan, Gorgias
berpindah dari satu kota ke kota yang lain. Mereka adalah "dosen-dosen
terbang".

Protagoras menyebut kelompoknya sophistai, "guru kebijaksanaan"


Sejarahwan menyebut mereka kelompok Sophis. Mereka berjasa
mengembangkan retorika dan mempopulerkannya. Retorika, bagi mereka bukan
hanya ilmu pidato, tetapi meliputi pengetahuan sastra, gramatika, dan logika.
Mereka tahu bahwa rasio tidak cukup untuk meyakinkan orang. Mereka
mengajarkan teknik-teknik memanipulasi emosi dan menggunakan prasangka
untuk menyentuh hati pendengar. Berkat kaum Sophis, abad keempat sebelum
Masehi adalah abad retorika. Jago-jago pidato muncul di pesta Olimpiade, di
gedung perwakilan dan pengadilan. Bila mereka bertanding, orang-orang Athena
berdatangan dari tempat-tempat jauh; dan menikmati "adu pidato" seperti
menikmati pertandingan tinju. Kita hanya akan menyebutkan dua tokoh saja
sebagai contoh: Demosthenes dan Isocrates.

Berbeda dengan Gorgias, Demosthenes mengembangkan gaya bicara yang


tidak berbunga-bunga, tetapi jelas dan keras. Dengan cerdik, ia menggabungkan
narasi dan argumentasi. Ia juga amat memperhatikan cara penyampaian
(delivery). Menurut Will Durant, "ia meletakkan rahasia pidato pada akting
(hypocrisis). Berdasarkan keyakinan ini, ia berlatih pidato dengan sabar. Ia
mengulang-ulangnya di depan cermin. Ia membuat gua, dan berbulan-bulan
tinggal di sana, berlatih dengan diam-diam. Pada masa-masa ini, ia mencukur
rambutnya sebelah, supaya ia tidak berani keluar dari persembunyiannya. Di
mimbar, ia melengkungkan tubuhnya, bergerak berputar, meletakkan tangan di
atas dahinya seperti berpikir, dan seringkali mengeraskan suaranya seperti
menjerit.

Demosthenes pernah diusulkan untuk diberi mahkota atas jasa-jasanya


kepada negara dan atas kenegarawanannya. Aeschines, orator lainnya,
menentang pemberian mahkota dan memandangnya tidak konstitusional. Di
depan Mahkamah yang terdiri dari ratusan anggota juri, ia melancarkan
kecamannya kepada Demosthenes. Pada gilirannya, Demosthenes menyerang
Aeschines dalam pidatonya yang terkenal Perihal Mahkota. Dewan juri memihak
Demosthenes dan menuntut Aeschines untuk membayar denda. Aeschines lari ke
Rhodes dan hidup dari kursus retorika yang tidak begitu laku. Konon,
Demosthenes mengirimkan uang kepadanya untuk membebaskannya dari
kemiskinan. Persaudaraan karena profesi!

Duel antara dua orator itu telah dikaji sepanjang sejarah. Inilah buah
pendidikan yang dirintis oleh kaum Sophis. Tetapi ini juga yang membentuk citra
negatif tentang kaum Sophis. Seorang tokoh yang berusaha mengembangkan
retorika dengan menyingkirkan Sophisme negatif adalah Isocrates. Isocrates
percaya bahwa retorika dapat meningkatkan kualitas masyarakat; bahwa retorika
tidak boleh dipisahkan dari politik dan sastra. Tetapi ia menganggap tidak semua
orang boleh diberi pelajaran ini. Retorika menjadi sebuah pelajaran elit, hanya
untuk mereka yang berbakat.

Ia mendirikan sekolah retorika yang paling berhasil tahun 391 SM. Ia


mendidik muridnya menggunakan kata-kata dalam susunan yang jernih tetapi
tidak berlebih-lebihan, dalam rentetan anak kalimat yang seimbang dengan
pergeseran suara dan gagasan yang lancar. Karena ia tidak mempunyai suara
yang baik dan keberanian untuk tampil, ia hanya menuliskan pidatonya. Ia
menulis risalah-risalah pendek dan menyebarkannya. Sampai sekarang risalah-
risalah ini dianggap warisan prosa Yunani yang menakjubkan. Gaya bahasa
Isocrates telah mengilhami tokoh-tokoh retorika sepanjang zaman: Cicero,
Milton, Massillon, Jeremy Taylor, dan Edmund Burke.

Salah satu risalah yang ditulisnya mengkritik kaum Sophis. Risalah ini ikut
membantu berkembangnya kebencian kepada kaum Sophis. Di samping itu,
kaum Sophis kebanyakan para pendatang asing di Athena. Orang selalu
mencurigai yang dibawa orang asing. Apalagi mereka mengaku mengajarkan
kebijaksanaan dengan menuntut bayaran. Yang tidak sanggup membayar tentu
saja melepaskan kekecewaannya dengan mengecam mereka.

Socrates, misalnya, hanya sanggup membayar satu drachma untuk kursus


yang diberikan Prodicus. Karena itu, ia hanya memperoleh dasar-dasar bahasa
yang sangat rendah saja. Socrates mengkritik kaum Sophis sebagai para
prostitut. Orang yang menjual kecantikan untuk memperoleh uang, kata
Socrates, adalah prostitut. Begitu juga, orang yang menjual kebijaksanaan. Murid
Socrates yang menerima pendapat gurunya tentang Sophisme adalah Plato.

Plato menjadikan Gorgias dan Socrates sebagai contoh retorika yang palsu
dan retorika yang benar, atau retorika yang berdasarkan pada Sophisme dan
retorika yang berdasarkan pada filsafat. Sophisme mengajarkan kebenaran yang
relatif. Filsafat membawa orang kepada pengetahuan yang sejati. Ketika
merumuskan retorika yang benar - yang membawa orang kepada hakikat - Plato
membahas organisasi, gaya, dan penyampaian pesan. Dalam karyanya, Dialog,
Plato menganjurkan para pembicara untuk mengenal "jiwa" pendengarnya.
Dengan demikian, Plato meletakkan dasar-dasar retorika ilmiah dan psikologi
khalayak. Ia telah mengubah retorika sebagai sekumpulan teknik (Sophisme)
menjadi sebuah wacana ilmiah.

Aristoteles, murid Plato yang paling cerdas melanjutkan kajian retorika


ilmiah. Ia menulis tiga jilid buku yang berjudul De Arte Rhetorica.

Dari Aristoteles dan ahli retorika klasik, kita memperoleh lima tahap
penyusunan pidato: terkenal sebagai Lima Hukum Retorika (The Five Canons of
Rhetoric).

Inventio (penemuan). Pada tahap ini, pembicara menggali topik dan


meneliti khalayak untuk mengetahui metode persuasi yang paling tepat. Bagi
Aristoteles, retorika tidak lain daripada "kemampuan untuk menentukan, dalam
kejadian tertentu dan situasi tertentu, metode persuasi yang ada". Dalam tahap
ini juga, pembicara merumuskan tujuan dan mengumpulkan bahan (argumen)
yang sesuai dengan kebutuhan khalayak.

Aristoteles menyebut tiga cara untuk mempengaruhi manusia. Pertama,


Anda harus sanggup menunjukkan kepada khalayak bahwa Anda memiliki
pengetahuan yang luas, kepribadian yang terpercaya, dan status yang terhormat
(ethos). Kedua, Anda harus Menyentuh hati khalayak perasaan, emosi, harapan,
kebencian dan kasih sayang mereka (pathos). Kelak, para ahli retorika modern
menyebutnya imbauan emotional (emotional appeals). Ketiga, Anda Meyakinkan
khalayak dengan mengajukan bukti atau yang kelihatan sebagai bukti. Di sini
Anda mendekati khalayak lewat otaknya (logos).

Di samping ethos, pathos, dan logos, Aristoteles menyebutkan dua cara lagi
yang efektif untuk mempengaruhi pendengar: entimem dan contoh. Entimem
(Bahasa Yunani: "en" di dalam dan "thymos" pikiran) adalah sejenis silogisme
yang tidak lengkap, tidak untuk menghasilkan pembuktian ilmiah, tetapi untuk
menimbulkan keyakinan. Disebut tidak lengkap, karena sebagian premis
dihilangkan.

Sebagaimana Anda ketahui, silogisme terdiri atas tiga premis: mayor,


minor, dan kesimpulan. Semua manusia mempunyai perasaan iba kepada orang
yang menderita (mayor). Anda manusia (minor). Tentu Anda pun mempunyai
perasaan yang sama (kesimpulan). Ketika saya ingin mempengaruhi Anda untuk
mengasihi orang-orang yang menderita, saya berkata, "Kasihanilah mereka.
Sebagai manusia, Anda pasti mempunyai perasaan iba kepada orang yang
menderita ". Ucapan yang ditulis miring menunjukkan silogisme, yang premis
mayornya dihilangkan.
Di samping entimem, contoh adalah cara lainnya. Dengan mengemukakan
beberapa contoh, secara induktif Anda membuat kesimpulan umum. Sembilan
dari sepuluh bintang film menggunakan sabun Lnx. Jadi, sabun Lux adalah sabun
para bintang fihn.

Dispositio (penyusunan). Pada tahap ini, pembicara menyusun pidato atau


mengorganisasikan pesan. Aristoteles menyebutnya taxis, yang berarti
pembagian. Pesan harus dibagi ke dalam beberapa bagian yang berkaitan secara
logis. Susunan berikut ini mengikuti kebiasaan berpikir manusia: pengantar,
pernyataan, argumen, dan epilog. Menurut Aristoteles, pengantar berfungsi
menarik perhatian, menumbuhkan kredibilitas (ethos), dan menjelaskan tujuan.

Elocutio (gaya). Pada tahap ini, pembicara memilih kata-kata dan


menggunakan bahasa yang tepat untuk "mengemas" pesannya. Aristoteles
memberikan nasihat ini: gunakan bahasa yang tepat, benar, dan dapat diterima;
pilih kata-kata yang jelas dan langsung; sampaikan kalimat yang indah, mulia,
dan hidup; dan sesuaikan bahasa dengan pesan, khalayak, dan pembicara.

Memoria (memori). Pada tahap ini, pembicara harus mengingat apa yang
ingin disampaikannya, dengan mengatur bahan-bahan pembicaraannya.
Aristoteles menyarankan "jembatan keledai" untuk memudahkan ingatan. Di
antara semua peninggalan retorika klasik, memori adalah yang paling kurang
mendapat perhatian para ahli retorika modern.

Pronuntiatio (penyampaian). Pada tahap ini, pembicara menyampaikan


pesannya secara lisan. Di sini, akting sangat berperan. Demosthenes
menyebutnya hypocrisis (boleh jadi dari sini muncul kata hipokrit). Pembicara
harus memperhatikan olah suara (vocis) dan gerakangerakan,anggota badan
(gestus moderatio cum venustate).

RETORIKA ZAMAN ROMAWI

Teori retorika Aristoteles sangat sistematis dan komprehensif. Pada satu


sisi, retorika telah memperoleh dasar teoretis yang kokoh. Namun, pada sisi lain,
uraiannya yang lengkap dan persuasif telah membungkam para ahli retorika
yang datang sesudahnya. Orang-orang Romawi selama dua ratus tahun setelah
De Arte Rhetorica tidak menambahkan apa-apa yang berarti bagi perkembangan
retorika.

Buku Ad Herrenium, yang ditulis dalam bahasa Latin kira-kira 100 SM,
hanya mensistematisasikan dengan cara Romawi warisan retorika gaya Yunani.
Orang-orang Romawi bahkan hanya mengambil segi-segi praktisnya saja.
Walaupun begitu, kekaisaran Romawi bukan saja subur dengan sekolah-sekolah
retorika; tetapi juga kaya dengan orator-orator ulung: Antonius, Crassus, Rufus,
Hortensius. Yang disebut terakhir terkenal begitu piawai dalam berpidato
sehingga para artis berusaha mempelajari gerakan dan cara penyampaiannya.

Kemampuan Hortensius disempurnakan oleh Cicero. Karena dibesarkan


dalam keluarga kaya dan menikah dengan istri yang memberinya kehormatan
dan uang, Cicero muncul sebagai negarawan dan cendekiawan. Pernah hanya
dalam dua tahun (45-44 SM), ia menulis banyak buku filsafat dan lima buah
buku retorika. Dalam teori, ia tidak banyak menampilkan penemuan baru. Ia
banyak mengambil gagasan dari Isocrates. Ia percaya bahwa efek pidato akan
baik, bila yang berpidato adalah orang baik juga. The good man speaks well.
Dalam praktek, Cicero betul-betul orator yang sangat berpengaruh.

Caesar, penguasa Romawi yang ditakuti, memuji Cicero, "Anda telah


menemukan semua khazanah retorika, dan Andalah orang pertama yang
menggunakan semuanya. Anda telah memperoleh kemenangan yang lebih
disukai dari kemenangan para jenderal. Karena sesungguhnya lebih agung
memperluas batas-batas kecerdasan manusia daripada memperluas batas-batas
kerajaan Romawi".

Kira-kira 57 buah pidatonya sampai kepada kita sekarang ini. Will Durant
menyimpulkan kepada kita gaya pidatonya:

Pidatonya mempunyai kelebihan dalam menyajikan secara bergelora


satu sisi masalah atau karakter; dalam menghibur khalayak dengan
humor dan anekdot; dalam menyentuh kebanggaan, prasangka,
perasaan, patriotisme dan kesalehan; dalam mengungkapkan secara
keras kelemahan lawan - yang sebenarnya atau yang diberitakan,
yang tersembunyi atau yang terbuka; dalam mengalihkan perhatian
secara terampil dari pokok-pokok pembicaraan yang kurang
menguntungkan; dalam memberondong pertanyaan retoris yang sulit
dijawab; dalam menghimpun serangan-serangan, dengan kalimat-
kalimat periodik yang anak-anaknya seperti cambukan dan yang
badainya membahana....

Dari tulisan-tulisannya yang sampai sekarang bisa dibaca, kita mengetahui


bahwa Cicero sangat terampil dalam menyederhanakan pembicaraan yang sulit.
Bahasa Latinnya mudah dibaca. Melalui penanya, bahasa mengalir dengan deras
tetapi indah.
Puluhan tahun sepeninggal Cicero, Quintillianus mendirikan sekolah
retorika. Ia sangat mengagumi Cicero dan berusaha merumuskan teori-teori
retorika dari pidato dan tulisannya. Apa yang dapat kita pelajari dari
Quintillianus? Banyak. Secara singkat, Will Durant menceritakan kuliah retorika
Quantillianus, yang dituliskannya dalam buku Institutio Oratoria:

Ia mendefinisikan retorika sebagai ilmu berbicara yang baik.


Pendidikan orator harus dimulai sebelum dia lahir: Ia sebaiknya
berasal dari keluarga terdidik, sehingga ia bisa menerima ajaran yang
benar dan akhlak yang baik sejak napas yang ia hirup pertama
kalinya. Tidak mungkin menjadi terpelajar dan terhormat hanya
dalam satu generasi. Calon orator harus mempelajari musik supaya ia
mempunyai telinga yang dapat mendengarkan harmoni; tarian,
supaya ia memiliki keanggunan dan ritma; drama, untuk
menghidupkan kefasihannya dengan gerakan dan tindakan;
gimnastik, untuk memberinya kesehatan dan kekuatan; sastra, untuk
membenhik gaya dan melatih memorinya, dan memperlengkapinya
dengan pemikiran-pemikiran besar; sains, untuk memperkenalkan dia
dengan pemahaman mengenai alam; dan filsafat, untuk membentuk
karakternya berdasarkan petunjuk akal dan bimbingan orang bijak.
Karena semua persiapan tidak ada manfaatnya jika integritas akhlak
dan kemuliaan rohani tidak melahirkan ketulusan bicara yang tak
dapat ditolak. Kemudian, pelajar retorika harus menulis sebanyak dan
secermat mungkin.

Sebuah saran yang berlebihan. Tetapi kita diingatkan lagi pada Cicero. The
good man speaks well.

RETORIKA ABAD PERTENGAHAN

Sejak zaman Yunani sampai zaman Romawi, retorika selalu berkaitan


dengan kenegarawanan. Para orator umumnya terlibat dalam kegiatan politik.
Ada dua cara untuk memperoleh kemenangan politik: talk it out ('membicarakan
sampai tuntas) atau shoot it out (menembak sampai habis). Retorika subur pada
cara pertama, cara demokrasi. Ketika demokrasi Romawi mengalami
kemunduran, dan kaisar demi kaisar memegang pemerintahan, "membicarakan"
diganti dengan "menembak". Retorika tersingkir ke belakang panggung. Para
kaisar tidak senang mendengar orang yang pandai berbicara.

Abad pertengahan sering disebut abad kegelapan, juga buat retorika.


Ketika agama Kristen berkuasa, retorika dianggap sebagai kesenian jahiliah.
Banyak orang Kristen waktu itu melarang mempelajari retorika yang dirumuskan
oleh orang-orang Yunani dan Romawi, para penyembah berhala. Bila orang
memeluk agama Kristen, secara otomatis ia akan memiliki kemampuan untuk
nmnyampaikan kebenaran. St. Agustinus, yang telah mempelajari retorika
sebelum masuk Kristen tahun 386, adalah kekecualian pada zaman itu.

Dalam On Christian Doctrine (426), ia menjelaskan bahwa para


pengkhotbah harus sanggup mengajar, menggembirakan, dan menggerakkan -
yang oleh Cicero disebut sebagai kewajiban orator. Untuk mencapai tujuan
Kristen, yakni mengungkapkan kebenaran, kita harus mempelajari teknik
penyampaian pesan.

Satu abad kemudian, di Timur muncul peradaban baru. Seorang Nabi


menyampaikan firman Tuhan, "Berilah mereka nasihat dan berbicaralah kepada
mereka dengan pembicaraan yang menyentuh jiwa mereka" (Alquran 4:63 ).
Muhammad saw. bersabda, memperteguh firman Tuhan ini, "Sesungguhnya
dalam kemampuan berbicara yang baik itu ada sihirnya".

Ia sendiri seorang pembicara yang fasih - dengan kata-kata singkat yang


mengandung makna padat. Para sahabatnya bercerita bahwa ucapannya sering
menyebabkan pendengar berguncang hatinya dan berlinang air matanya. Tetapi
ia tidak hanya menyentuh hati, ia juga mengimbau akal para pendengarnya. Ia
sangat memperhatikan orang-orang yang dihadapinya, dan menyesuaikan
pesannya dengan keadaan mereka. Ada ulama yang mengumpulkan khusus
pidatonya dan menamainya Madinat al-Balaghah (Kota Balaghah). Salah seorang
sahabat yang paling dikasihinya, Ali bin Abi Thalib, mewarisi ilmunya dalam
berbicara. Seperti dilukiskan Thomas Carlyle, "every antagonist in the combats of
tongue or of sword was subdited by his eloquence and valor". Pada Ali bin Abi
Thalib, kefasihan dan kenegarawanan bergabung kembali. Khotbah-khotbahnya
dikumpulkan dengan cermat oleh para pengikutnya dan diberi judul Nahj al-
Balaghah (Jalan Balaghah).

Balaghah menjadi disiplin ilmu yang menduduki status yang mulia dalam
peradaban Islam. Kaum Muslim menggunakan balaghah sebagai pengganti
retorika. Tetapi, warisan retorika Yunani, yang dicampakkan di Eropa Abad
Pertengahan, dikaji dengan tekun oleh para ahli balaghah. Sayang, sangat
kurang sekali studi berkenaan dengan kontribusi Balaghah pada retorika modern.
Balaghah, beserta ma'ani dan bayan, masih tersembunyi di pesantren-pesantren
dan lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional.

RETORIKA MODERN
Abad Pertengahan berlangsung selama seribu tahun (400-1400). Di Eropa,
selama periode panjang itu, warisan peradaban Yunani diabaikan. Pertemuan
orang Eropa dengan Islam - yang menyimpan dan mengembangkan khazanah
Yunani - dalam Perang Salib menimbulkan Renaissance. Salah seorang pemikir
Renaissance yang menarik kembali minat orang pada retorika adalah Peter
Ramus. Ia membagi retorika pada dua bagian. Inventio dan dispositio
dimasukkannya sebagai bagian logika. Sedangkan retorika hanyalah berkenaan
dengan elocutio dan pronuntiatio saja. Taksonomi Ramus berlangsung selama
beberapa generasi.

Renaissance mengantarkan kita kepada retorika modern. Yang membangun


jembatan, menghubungkan Renaissance dengan retorika modern adalah Roger
Bacon (1214-1219). Ia bukan saja memperkenalkan metode eksperimental,
tetapi juga pentingnya pengetahuan tentang proses psikologis dalam studi
retorika. Ia menyatakan, "... kewajiban retorika ialah menggunakan rasio dan
imajinasi untuk menggerakkan kemauan secara lebih baik". Rasio, imajinasi,
kemauan adalah fakultas-fakultas psikologis yang kelak menjadi kajian utama
ahli retorika modern.

Aliran pertama retorika dalam masa modern, yang menekankan proses


psikologis, dikenal sebagai aliran epistemologis. Epistemologi membahas "teori
pengetahuan"; asal-usul, sifat, metode, dan batas-batas pengetahuan manusia.
Para pemikir epistemologis berusaha mengkaji retorika klasik dalam sorotan
perkembangan psikologi kognitif (yakni, yang membahas proses mental).

George Campbell (1719-1796), dalam bukunya The Philosophy of Rhetoric,


menelaah tulisan Aristoteles, Cicero, dan Quintillianus dengan pendekatan
psikologi fakultas (bukan fakultas psikologi). Psikologi fakultas berusaha
menjelaskan sebab-musabab perilaku manusia pada empat fakultas - atau
kemampuan jiwa manusia: pemahaman, memori, imajinasi, perasaan, dan
kemauan. Retorika, menurut definisi Campbell, haruslah diarahkan kepada upaya
"mencerahkan pemahaman, menyenangkan imajinasi, menggerakkan perasaan,
dan mempengaruhi kemauan".

Richard Whately mengembangkan retorika yang dirintis Campbell. Ia


mendasarkan teori retorikanya juga pada psikologi fakultas. Hanya saja ia
menekankan argumentasi sebagai fokus retorika. Retorika harus mengajarkan
bagaimana mencari argumentasi yang tepat dan mengorganisasikannya secara
baik. Baik Whately maupun Campbell menekankan pentingnya menelaah proses
berpikir khalayak. Karena itu, retorika yang berorientasi pada khalayak
(audience-centered) berutang budi pada kaum epistemologis - aliran pertama
retorika modern.
Aliran retorika modern kedua dikenal sebagai gerakan belles lettres (Bahasa
Prancis: tulisan yang indah). Retorika belletris sangat mengutamakan keindahan
bahasa, segi-segi estetis pesan, kadang-kadang dengan mengabaikan segi
informatifnya. Hugh Blair (1718-1800) menulis Lectures on Rhetoric and Belles
Lettres. Di sini ia menjelaskan hubungan antara retorika, sastra, dan kritik. Ia
memperkenalkan fakultas citarasa (taste), yaitu kemampuan untuk memperoleh
kenikmatan dari pertemuan dengan apa pun yang indah. Karena memiliki
fakultas citarasa, Anda senang mendengarkan musik yang indah, membaca
tulisan yang indah, melihat pemandangan yang indah, atau mencamkan pidato
yang indah. Citarasa, kata Blair, mencapai kesempurnaan ketika kenikmatan
inderawi dipadukan dengan rasio - ketika rasio dapat menjelaskan sumber-
sumber kenikmatan.

Aliran pertama (epistemologi) dan kedua (belles lettres) terutama


memusatkan perhatian mereka pada persiapan pidato - pada penyusunan pesan
dan penggunaan bahasa. Aliran ketiga - disebut gerakan elokusionis - justru
menekankan teknik penyampaian pidato. Gilbert Austin, misalnya memberikan
petunjuk praktis penyampaian pidato, "Pembicara tidak boleh melihat melantur.
Ia harus mengarahkan matanya langsung kepada pendengar, dan menjaga
ketenangannya. Ia tidak boleh segera melepaskan seluruh suaranya, tetapi
mulailah dengan nada yang paling rendah, dan mengeluarkan suaranya sedikit
saja; jika ia ingin mendiamkan gumaman orang dan mencengkeram perhatian
mereka". James Burgh, misal yang lain, menjelaskan 71 emosi dan cara
mengungkapkannya.

Dalam perkembangan, gerakan elokusionis dikritik karena perhatian - dan


kesetiaan - yang berlebihan pada teknik. Ketika mengikuti kaum elokusionis,
pembicara tidak lagi berbicara dan bergerak secara spontan. Gerakannya
menjadi artifisial. Walaupun begitu, kaum elokusionis telah berjaya dalam
melakukan penelitian empiris sebelum merumuskan "resep-resep" penyampaian
pidato. Retorika kini tidak lagi ilmu berdasarkan semata-mata "otak-atik otak"
atau hasil perenungan rasional saja. Retorika, seperti disiplin yang lain,
dirumuskan dari hasil penelitian empiris.

Pada abad kedua puluh, retorika mengambil manfaat dari perkembangan


ilmu pengetahuan modern - khususnya ilmu-ilmu perilaku seperti psikologi dan
sosiologi. Istilah retorika pun mulai digeser oleh speech, speech communication,
atau oral communication, atau public speaking. Di bawah ini diperkenalkan
sebagian dari tokoh-tokoh retorika mutakhir:

1. James A Winans
Ia adalah perintis penggunaan psikologi modern dalam pidatonya. Bukunya,
Public Speaking, terbit tahun 1917 mempergunakan teori psikologi dari William
James dan E.B. Tichener. Sesuai dengan teori James bahwa tindakan ditentukan
oleh perhatian, Winans, mendefinisikan persuasi sebagai "proses menumbuhkan
perhatian yang memadai baik dan tidak terbagi terhadap proposisi-proposisi". Ia
menerangkan pentingnya membangkitkan emosi melalui motif-motif psikologis
seperti kepentingan pribadi, kewajiban sosial dan kewajiban agama. Cara
berpidato yang bersifat percakapan (conversation) dan teknik-teknik
penyampaian pidato merupakan pembahasan yang amat berharga. Winans
adalah pendiri Speech Communication Association of America (1950).

2. Charles Henry Woolbert

Ia pun termasuk pendiri the Speech Communication Association of America.


Kali ini psikologi yang amat mempengaruhinya adalah behaviorisme dari John B.
Watson. Tidak heran kalau Woolbert memandang "Speech Communication"
sebagai ilmu tingkah laku. Baginya, proses penyusunan pidato adalah kegiatan
seluruh organisme. Pidato merupakan ungkapan kepribadian. Logika adalah da-
sar utama persuasi. Dalam penyusunan persiapan pidato, menurut Woolbert
harus diperhatikan hal-hal berikut: (1) teliti tujuannya, (2) ketahui khalayak dan
situasinya, (3) tentukan proposisi yang cocok dengan khalayak dan situasi
tersebut, (4) pilih kalimat-kalimat yang dipertalikan secara logis. Bukunya yang
terkenal adalah The Fundamental of Speech.

3. William Noorwood Brigance

Berbeda dengan Woolbert yang menitikberatkan logika, Brigance


menekankan faktor keinginan (desire) sebagai dasar persuasi. "Keyakinan", ujar
Brigance, "jarang merupakan hasil pemikiran. Kita cenderung mempercayai apa
yang membangkitkan keinginan kita, ketakutan kita dan emosi kita". Persuasi
meliputi empat unsur: (1) rebut perhatian pendengar, (2) usahakan pendengar
untuk mempercayai kemampuan dan karakter Anda, (3) dasarkanlah pemikiran
pada keinginan, dan (4) kembangkan setiap gagasan sesuai dengan sikap
pendengar.

4. Alan H. Monroe

Bukunya, Principles and Types of Speech, banyak kita pergunakan dalam


buku ini. Dimulai pada pertengahan tahun 20-an Monroe beserta stafnya meneliti
proses motivasi (motivating process). Jasa, Monroe yang terbesar adalah cara
organisasi pesan. Menurut Monroe, pesan harus disusun berdasarkan proses
berpikir manusia yang disebutnya motivated sequence.

Beberapa sarjana retorika modern lainnya yang patut kita sebut antara lain
A.E. Philips (Effective Speaking, 1908), Brembeck dan Howell (Persuasion: A
Means of Social Control, 1952), R.T. Oliver (Psychology of Persuasive Speech,
1942). Di Jerman, selain tokoh "notorious" Hitler, dengan bukunya Mein Kampf,
maka Naumann (Die Kunst der Rede, 1941), Dessoir (Die Rede als Kunst, 1984)
dan Damachke (Volkstumliche Redekunst, 1918) adalah pelopor retorika modern
juga.

Dewasa ini retorika sebagai public speaking, oral communication, atau


speech communication -diajarkan dan diteliti secara ilmiah di lingkungan
akademis. Pada waktu mendatang, ilmu ini tampaknya akan diberikan juga pada
mahasiswa-mahasiswa di luar ilmu sosial. Dr. Charles Hurst mengadakan
penelitian tentang pengaruh speech courses terhadap prestasi akademis
mahasiswa. Hasilnya membuktikan bahwa pengaruh itu cukup berarti.
Mahasiswa yang memperoleh pelajaran speech (speech group) mendapat skor
yang lebih tinggi dalam tes belajar dan berpikir, lebih terampil dalam studi dan
lebih baik dalam hasil akademisnya dibanding dengan mahasiswa yang tidak
memperoleh ajaran itu.

Hurst menyimpulkan:

Data penelitian ini menunjukkan dengan jelas bahwa kuliah speech


tingkat dasar adalah agen synthesa, yang memberikan dasar
skematis bagi mahasiswa untuk berpikir lebih teratur dan
memperoleh penguasaan yang lebih baik terhadap aneka fenomena
yang membentuk kepribadian.

Penelitian ini menjadi penting bagi kita, bukan karena dilengkapi dengan
data statistik yang meyakinkan atau karena berhasil memberikan gelar doktor
bagi Hurst, tetapi karena erat kaitannya dengan prospek retorika di masa depan.

Rujukan Penuh : Rakhmat, Jalaluddin. 2006. Retorika Modern Pendekatan


Praktis. Bandung: Penerbit PT. Remaja Rosda Karya
ww.mii.fmipa.ugm.ac.id
www.bem-fmipa.web.ugm.ac.id
dari web ini antum semua bisa keliling ke web organisasi yang lain.

salam kenal!

best regards

risma-mahasiswa kimia ugm 06-

Budax-KPI-oge....
Alhamdulillah, mudah-mudahan kita dapat memanfaatkan media ini sebagai lahan
dakwah dan sharing ilmu, wawasan dan pengalaman. Salam KPI! Eh... friend!!
tonx hilap ngisi komentarnya (di artikel mana aja), tp isinya jangan cuma ttg
artikelnya doank + ama display blognya juga yee.., and jangan cuma kritik doank
plus ama saran-saran yang KREATIF, INOVATIF, INISIATIF, RELATIF,
DOUBLETIF, yaa pokok na mah nu karitu lah... OK! Trim's :-*
Melihat profil lengkap saya

Daftar Menu
 Home
 Artikel
 Informasi
 Profil HMJ KPI
 Profil Mahasiswa
 Opini
 Curhat
 Quantum Zine
 Gallery

Ngobrol yuuk..
Click <a href="http://oggix.com">oggix.com for free Tagboard Shoutbox
Guestbook.</a>

Blog Archive
 ▼ 2007 (8)
o ▼ Juli (7)
 Komunikasi Penyiaran Islam
 Nurmawan, Drs.
 Menjadi ‘Great Public Speaker’
 HAND PHONE AJAIB
 Gelap
 “Kewajiban Menutup Aurat Bagi Wanita”
 SEJARAH PERKEMBANGAN RETORIKA
o ► Agustus (1)
 Surat Cinta Untuk Aa Gym

 ► 2008 (4)
o ► Januari (4)
 BURITANNUH (BN)
 membenci dan mencintai sama sakitnya (Jewel in t...
 Jangan Memberhalakan ”Multikulturalisme”!
 Training

Labels
 artikel (2)
 b3WarA (1)
 more than word (1)
 profil (1)
 Resensi (1)

RSS Feed
Atom Feed (xml)

Credits
Site Design By:
Free Blogger Skins

Anda mungkin juga menyukai