KEBIJAKAN KEPELABUHAN PERIKANAN DAN SISTEM MONITORING
KAPAL PENANGKAP IKAN
Oleh : SALSABILA PRIMA ADHANINGGAR 1710713320010
KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT FAKULTAS PERIKANAN DAN KELAUTAN BANJARBARU 2019 Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi pedoman dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak. Istilah ini dapat diterapkan pada pemerintahan, organisasi dan kelompok sektor swasta, serta individu. Kebijakan berbeda dengan peraturan dan hukum. Jika hukum dapat memaksakan atau melarang suatu perilaku (misalnya suatu hukum yang mengharuskan pembayaran pajak penghasilan), kebijakan hanya menjadi pedoman tindakan yang paling mungkin memperoleh hasil yang diinginkan. Pada era sebelum kemerdekaan, sudah terdapat beberapa kebijakan yang mengatur tentang perikanan dan kelautan, namun puncak terbentuknya kebijakan nasional di sektor kelautan dan perikanan adalah pasca disahkannya Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea) No. 82 Tahun 1982 atau yang lebih dikenal dengan UNCLOS pada tanggal 10 Desember 1982, yang kemudian diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia pada tanggal 31 Desember 1985 melalui UU No.17 Tahun 1985. Setahun setelah konvensi tersebut, pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Dua tahun setelah itu, pemerintah juga mengeluarkan UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan. Selanjutnya, dikeluarkan UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Sebelum UNCLOS sudah ada pengaturan Perikanan dalam Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Pokok Dasar Peraturan Agraria yakni dalam pasal 47 ayat 2 menyinggung soal hak dalam pemeliharaan dan penangkapan ikan. Namun Undang Undang ini sangat jarang digunakan sebagai konsideran dasar pembentukan kebijakan dalam pengelolaan perikanan dan kelautan. Sejak konvensi UNCLOS ini bisa dikatakan kebijakan di sektor perikanan dan kelautan mulai banyak dikeluarkan oleh pemerintah. Tetapi, sektor perikanan dan kelautan pada waktu itu masih belum menjadi primadona. Padahal kita tahu bahwa secara ekologis, laut memiliki berbagai potensi sumber daya baik energi, mineral dan keanekaragaman hayati lainnya yang juga dalam pengelolaannya dilakukan oleh berbagai instansi. Tentu hal ini dapat memunculkan berbagai macam kebijakan baru tentang kelautan. Indonesia merupakan negara bahari karena 2/3 wilayahnya berupa perairan atau lautan. Oleh karenanya, keberadaan Pelabuhan Perikanan menjadi suatu kebutuhan dalam rangka menunjang pembangunan perikanan nasional. Dalam usaha menunjang peningkatan produksi perikanan laut, ketersediaan prasarana Pelabuhan Perikanan mempunyai arti yang sangat penting. Pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan membutuhkan Pelabuhan Perikanan yang menjadi pusat kegiatan penangkapan sumberdaya ikan, pengembangan armada penangkapan ikan, penanganan dan pengolahan hasil produksi tangkapan serta pemasaran hasil tangkapan. Pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan di sekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis perikanan yang digunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan. Kepelabuhan Perikanan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi pelabuhan perikanan dalam menunjang kelancaran, keamanan, dan ketertiban arus lalu lintas kapal perikanan, keamanan dan keselamatan operasional kapal perikanan, serta merupakan pusat pertumbuhan perekonomian nasional dan daerah yang terkait dengan kegiatan perikanan dengan tetap mempertimbangkan tata ruang wilayah. Terdapat banyak kebijakan yang mengatur mengenai Kepelabuhan Perikanan di Indonesia, contohnya mengenai tipe - tipe pelabuhan. Berdasarkan PERMEN No 08 Tahun 2012. Terdapat 4 jenis pelabuhan perikanan di Indonesia, yaitu tipe: a. Pelabuhan Perikanan tipe A, Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS); b. Pelabuhan Perikanan tipe B, Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN); c. Pelabuhan Perikanan tipe C, Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP); d. Pelabuhan Perikanan tipe D, Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI). Pembagian jenis pelabuhan ini didasarkan pada kriteria teknis dan operasional yang berbeda - beda pada tiap pelabuhan yang bertujuan agar bisa terlaksana dengan baik. Menurut saya kebijakan mengenai pembagian jenis Pelabuhan Perikanan ini sudah terlaksana dengan baik di Indonesia dilihat dari banyakya jumlah Pelabuhan Perikanan yang telah ditetapkan kelasnya bejumlah 100 diantaranya. Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) 7 unit, Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) 18 unit, Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) 39 unit, Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) 34 unit, dan Pelabuhan Perikanan Swasta 2 unit. Sistem Monitoring Kapal Penangkapan Ikan VMS (Vessel Monitoring System) atau Sistem Pemantauan Kapal Perikanan merupakan salah satu bentuk sistem yang digunakan untuk pengawasan dan pengendalian di bidang penangkapan dan/atau pengangkutan ikan, dengan menggunakan satelit dan peralatan transmitter yang ditempatkan pada kapal perikanan guna mempermudah pengawasan dan pengendalian terhadap kegiatan atau aktifitas kapal ikan berdasarkan posisi kapal yang terpantau di monitor Vessel Monitoring System di Pusat Pemantauan Kapal Perikanan (Fisheries Monitoring Center) di Jakarta atau di daerah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pengawasan Berdasarkan Pasal 12 ayat (1) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 42/PERMEN-KP/2015 tentang Sistem Pemantauan Kapal Perikanan disebutkan bahwa setiap kapal perikanan berukuran lebih dari 30 GT yang beroperasi di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) dan di laut lepas wajib memasang transmiter SPKP. Pengguna SPKP dapat memperoleh transmitter SPKP dari penyedia SPKP yang telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal (Pasal 13 ayat (1) Permen KP No. 42 Tahun 2015 dengan cara membeli. Pihak Pengguna dapat memilih Penyedia sesuai dengan keinginannya. Penyelenggara hanya merekomendasikan para Penyedia yang dapat dipilih, yang telah memenuhi persyaratan administrasi dan teknis untuk melayani penyediaan tansmiter SPKP dan pembayaran airtime. Pemasangan transmiter SPKP dilakukan oleh Penyedia bersama Pengguna SPKP/nakhkoda kapal perikanan yang disaksikan oleh Pengawas Perikanan yang hasilnya dituangkan dalam lembar pemasangan transmitter SPKP. Setiap kapal perikanan yang telah memasang transmitter SPKP wajib mengaktifkan transmitter SPKP dan dapat dipantau oleh Pusat Pemantauan Kapal Perikanan (PPKP). Bagi kapal perikanan yang telah mengaktifkan transmitter SPKP dan terpantau PPKP diterbitkan Surat Keterangan Aktivasi Transmiter (SKAT) yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal. Masa berlaku SKAT disesuaikan dengan airtime fee SPKP yang telah dibayarkan. Penangkapan ikan secara illegal adalah kegiatan penangkapan ikan diperairan teritorial atau Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) suatu negara, tanpa izin dari negara pantai bersangkutan. Penangkapan ikan yang tidak memenuhi ketentuan/peraturan perundangan (unregulated fishing) adalah kegiatan penangkapan ikan di perairan teritorial atau Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) suatu negara yang tidak mematuhi aturan yang berlaku di negara tersebut. Sedangkan penangkapan ikan yang tidak dilaporkan (unreported fishing) adalah kegiatan penangkapan ikan di perairan teritorial atau Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) suatu negara yang tidak dilaporkan baik operasionalnya maupun data kapal dan hasil tangkapannya kepada negara bersangkutan. Kapal ikan asing (KIA), kapal murni berbendera asing melaksanakan kegiatan penangkapan di perairan Indonesia tanpa dilengkapi dokumen dan tidak pernah mendarat di pelabuhan perikanan Indonesia, kapal ikan berbendera Indonesia eks KIA yang dokumennya tidak ada ijin, terjadinya over fishing di negara-negara tetangga yang kemudian mencari daerah tangkapan di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan produksi dan pemasarannya, system penegak hukum di laut masih lemah, terutama dilihat dari aspek legalnya maupun kemampuannya yang tidak sebanding dengan luas laut dengan kekuatan yang ada, sehingga para pelanggar leluasa melakukan kegiatannya. Sejak dilaksanakannya program ini, dirasakan bahwa masih kurang informasi yang dapat diperoleh oleh masyarakat khususnya pelaku perikanan tangkap. Kekurangan tersebut seperti: kegunaan VMS, cara kerja, prosedur pemasangan transmitter, manfaat yang akan diterima, dan masih banyak hal mengenai VMS yang belum mereka ketahui. Kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan adalah penyebab hal ini terjadi. Pelaku perikanan selama ini hanya diwajibkan memasang transmitter yang telah menjadi peraturan dalam bidang perikanan tangkap. Manfaat yang didapat dari program ini bagi pemerintah, melindungi ZEE dari kegiatan-kegiatan kapal perikanan, melacak dan mengidentifikasi tindakan illegal fishing, menunjukkan penyebaran kapal-kapal di wilayah penangkapan, memberikan informasi mengenai posisi kapal-kapal yang meminta bantuan dalam keadaan darurat. Sedangkan bagi pemilik kapal, memantau keberadaan dan perilaku kapal di laut melalui website, dan untuk mengetahui keadaan darurat.