Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Peradaban modern yang bersifat materialistis dan cenderung membawa manusia pada
perilaku hedonis, yang pada akhirnya spiritual pada hati manusia akan mengalami
kekosongan dan kehampaan. Ketimpangan ini masyarakat modern mengalami krisis yang
sangat berat, krisis kejiwaan, untuk keluar dari krisis ini, sebagian orang menempuh jalan
spiritual dengan kata lain kembali ke agama. Akan tetapi, yang disebut agama disini bukan
hanya ritus-ritus formal semisal sholat, lebih dari itu penghayatan lebih dalam pada tataran
spiritual sehingga mampu menghantarkan manusia untuk lebih mendekatkan diri kepada
Tuhan.
Dalam islam penghayatan dan jalan spiritual ini disebut tasawuf. Tasawuf sendiri di
bagi dua : tasawuf sunni dan tasawuf falsafi. Tasawuf sunni adalah tasawuf yang
barwawasan moral praktis yang berdasarkan Al-Qu’ran dan Sunnah Nabi saw, sementara
tasawuf falsafi adalah yang menghubungkan tasawuf sunni dengan beberapa aliran mistis dari
luar dunia islam, tasawuf sunni dan falsafi mengajarkan cara mendekatkan diri kepada Tuhan.
Substansi ajaran tasawuf sunni yaitu : mahabbah, wara’, zuhud, sedangkan dalam ajaran
tasawuf falsafi yaitu : ittihad, hulul, wahdah al-wujud dan fana.
Al-Hallaj adalah seorang sufi yang terkenal atau terkemuka dari abad ke-9(3 H).
Kehidupannya,pengembaraannya dan pandangan hidupnya serta paham tasawufnya,semua
telah menggegerkan dunia fiqih, beratus ulama fiqih menentang dan beratus pula juga
membelanya. Dia dihukum mati dengan sangat kejam sekali,karena ajarannya dipandang oleh
ulama-ulama dizamannya merusak pokok kepercayaan islam.

Dalam makalah ini kami akan mencoba menguraikan dan menjelaskan tentang
perjalanan hidup al-Hallaj dan ajaran yang seperti apa yang akhirnya membawa al-Hallaj
dalam kematian, semoga memberi manfaat kita semua.

B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan Biografi singkat Abu Mansur Al-Hallaj
2. Bagaimana Ajaran Tasawuf Al-Hallaj

1|Page
BAB II

PEMBAHASAN

A. Biografi Abu Mansur Al-Hallaj

Nama lengkapnya adalah Abu Al-Mughist Al-Husain Bin Manshur Bin Muhammad
Al-Baidhawi, lahir di Baida, sebuah kota kecil di wilayah Persia, pada tahun 244 H/855 M. Ia
tumbuh dewasa di kota Wasith, dekat baghdad. Pada usia 16 tahun, ia belajar pada seorang
sufi terkenal saat itu, yaitu Sahl Bin ‘Abdullah At-Tusturi di Ahwaz1. Dua tahun kemudian, ia
pergi ke Basrah dan berguru pada ‘Amr Al-Makki yang juga seorang sufi, dan pada tahun
878 M, ia masuk ke kota baghdad dan belajar kepada Al-Junaid. Setelah itu, ia pergi
mengembara dari satu negeri ke negeri lain,menambah pengetahuan dan pengalaman dalam
ilmu tasawuf.

Dalam semua perjalanannya dan pengembaraannya ke berbagai kawasan Islam seperti


Khurasan, Ahwaz, India,Turkiztan,dan Mekah,Al-Hallaj telah banyak memperoleh pengikut.
Ia kemudian kembali ke Baghdad pada tahun 296 H/909 M.2 Selama dalam
pengembaraannya ia telah menunaikan ibadah haji tiga kali,akan tetapi setelah ia kembali
dari menunaikan ibadah haji, faham tasawufnya menyimpang dari apa yang diajarkan oleh
guru – gurunya itu,karena ia mengajarkan tasawuf yang mirip dengan ajaran pantheisme.

Di Baghdad,pengikutnya semakin bertambah banyak karena kecaman-kecamannya


terhadap kebobrokan pemerintah yang berkuasa pada waktu itu. Secara kebetulan, ia
bersahabat dengan kepala rumah istana,Nashr Al-Qusyairi yang mengingatkan sistem tata
usaha yang baik, dan pemerintahan yang bersih.3Al-Hallaj selalu mendorong sahabatnya
melakukan perbaikan dalam pemerintahan dan selalu melontarkan kritik-kritik terhadap
penyelewengan yang terjadi. Gagasan “pemerintahan yang bersih” dari Nashr Al-Qusyairi
dan Al-Hallaj ini jelas berbahaya karena khalifah boleh dikatakan tidak memiliki kekuasaan
yang nyata dan hanya merupakan lambang saja. Pada waktu yang sama,aliran-aliran
keagamaan dan tasawuf tumbuh dengan subur maka pemerintah sangat khawatir terhadap
kecaman-kecamannya yang sangat keras dan pengaruh sufi ke dalam struktur politik.4

1
Jamil. Akhlak Tasawuf. Ciputat: Referensi. 2013. Hal. 128
2
Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman,hlm. 121.
3
Saleh Abdul Sabur, Tragedi Al-Hallaj, Pustaka,Bandung,1976.hlm.ix
4
Ibid.

2|Page
Oleh karena itu, ucapan Al-Hallaj “ana al-haqq”, yang tidak bisa dimaafkan para
ulama fiqih dan dianggap sebagai ucapan kemurtadan,dijadikan alasan untuk menangkapnya
dan memenjarakannya. Setahun kemudian ia dapat meloloskan diri dari penjara berkat
pertolongan sopir penjara, tetapi 4 tahun kemudian ia tertangkap lagi di Kota Sus.5

Setelah dipenjara selama delapan tahun, Al-Hallaj dihukum gantung. Sebelum


digantung, ia dicambuk seribu kali tanpa mengaduh kesakitan,lalu kepalanya dipenggal.
Sebelum dipancung,ia meminta waktu untuk melakukan shalat dua rakaat. Setelah selesai
shalat, kaki dan tangannya dipotong,badannya digulung dalam tikar bambu lalu dibakar dan
abunya dibuang ke sungai, sedangkan kepalanya dibawa ke Khurasan untuk dipertontonkan.
Akhirnya Al-Hallaj wafat pada tahun 922 M.

Kematian tragis Al-Hallaj yang tampak seperti dongeng tidak membuat gentar para
pengikutnya. Ajarannya masih tetap berkembang. Terbukti setelah satu abad dari
kematiannya, di Irak ada 4.000 orang yang menamakan diri Hallajiah.6 Disisi lain
pengaruhnya sangat besar terhadap pengikutnya. Ia dianggap mempunyai hubungan dengan
gerakan Qaramitah.

B. Ajaran Tasawuf: Hulul dan Wahdat Asy-Syuhud7

Ajaran tasawuf Al-Hallah yang terkenal itu adalah Al-Hulul dan Wahdat Asy-Syuhud
yang kemudian melahirkan paham Wihdat Al-Wujud (kesatuan wujud) yang dikembangkan
Ibn ‘Arabi. Al-Hallaj memang pernah mengaku bersatu dengan Tuhan(Hulul). Kata Hulul
berdasarkan pengertian bahasa berarti menempati suatu tempat. Adapun menurut istilah
Tasawuf adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia
tertentu untuk mengambil tempat didalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam
tubuh itu dilenyapkan.8

5
Hamka,Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Yayasan Nurul Islam, Jakarta,1980,hlm.112.
6
Kamil Musthafa Asy-Syiblim Ash-Shillah Bain At-Tasawuf wa at-Tasyayyu’, Dar Al-Ma’arif,Mesir,
t.t.hlm.376.
7
Disarikan dari diskusi mata kuliah Studi Naskah Tasawuf di Pasca Sarjana UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta,1996,Bersama Prof.Dr.Harun Nasution.
8
Nasution, Filsafat Dan Mistisme...., Hlm. 78.

3|Page
Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat
ketuhanan. Ia menakwilkan :

  


   
  
   

“Dan (Ingatlah) ketika kami berfirman kepada para malaikat: "Sujudlah kamu
kepada Adam," Maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia
termasuk golongan orang-orang yang kafir”( Q.S.Al-Baqarah: 34).

Pada ayat di atas, Allah memberi perintah kepada malaikat untuk sujud kepada Adam.
Karena yang berhak untuk diberi sujud hanya Allah, Al-Hallaj memahami bahwa dalam diri
Adam sebenarnya ada unsur Ketuhanan.9 Ia berpendapat demikian karena sebelum
menjadikan makhluk, Tuhan melihat Dzat-Nya sendiri dan ia pun cinta kepada Dzat-Nya
sendiri, cinta yang tak dapat disifatkan, dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab
dari yang banyak. Ia mengeluarkan sesuatu dari tiada dalam bentuk copy diri-Nya yang
mempunyai segala sifat dan nama. Bentuk copy ini adalah Adam. Pada diri Adam-lah, Allah
muncul.10

Teori di atas tampak dalam sya’irnya :

“MahaSuci Dzat yang sifat kemanusiaan-Nya membuka

Rahasia ketuhanan-Nya yang gemilang.

Kemudian kelihatan bagi Makhluk-Nya dengan nyata

Dalam bentuk manusia yang makan dan minum.11

Melalui syair di atas tampaknya Al-Hallaj memperlihatkan bahwa Tuhan mempunyai


dua sifat dasar, sifat ketuhanan-Nya sendiri(lahut) dan sifat kemanusiaan ( Nasut). Jika Nasut
Allah mengandung tabiat seperti manusia yang terdiri dari roh dan jasad, Lahut tidak dapat

9
Abdul Qadir Mahmud, Al-Fikr Al-Islami wa Al-Falsafah Al-Mu’aridhah fi Al-Qadim wa Al-
Hadis,Hai’ah Al-Mishriyyah Al-‘Ammah Li Al-Kitab,1986,hlm.77-78.
10
Nasution, Filsafat dan Mistisme.....,hlm.88.
11
Ibid.hlm.88-89.

4|Page
bersatu dengan manusia kecuali dengan cara menempati tubuh setelah sifat-sifat
kemanusiannya hilang.12

Oleh karena itu Al-Hallaj mengatakan dalam syairnya :

“Jiwamu disatukan dengan jiwaku sebagaimana anggur

Disatukan dengan air suci

Dan jika ada sesuatu yang menyentuh Engkau,

Ia menyentuh aku pula,

Dan ketika itu dalam tiap hal Engkau adalah aku

Aku adalah Ia yang kucintai dan Ia yang kucintai adalah aku

Kami adalah dua jiwa yang bertempat dalam satu tubuh.

Jika engkau lihat aku, engkau lihat Ia

Dan jika engkau lihat Ia, engkau lihat kami.”13

Berdasarkan syair di atas, dapat dipahami bahwa persatuan antara Tuhan dan Manusia
dapat terjadi dengan mengambil bentuk Hulul. Agar bersatu, manusia harus terlebih dahulu
menghilangkan sifat-sifat kemanusiannya. Setelah sifat-sifat kemanusiannya hilang dan
hanya tinggal sifat ketuhanan yang ada dalam dirinya, di situlah Tuhan dapat mengambil
tempat dalam dirinya, dan ketika itu roh Tuhan dan roh manusia bersatu dalam tubuh
manusia.14

Menurut Al-Hallaj, pada Hulul terkandung kefanaan total kehendak manusia dalam
kehendak Ilahi, sehingga setiap kehendaknya adalah kehendak Tuhan, demikian juga
tindakannya. Namun, di lain waktu Al-Hallaj mengatakan :

“Barang siapa mengira bahwa ketuhanan berpadu jadi satu dengan kemanusiaan
taupun kemanusiaan berpadu dengan ketuhanan maka kafirlah ia. Sebab, Allah mandiri

12
Ibid.Hlm.90.
13
Ibid.
14
Ibid..Hlm.89.

5|Page
dalam Dzat maupun Sifat-Nya dari Dzat dan sifat makhluk. Ia tidak sekali-kali menyerupai
makhluk-Nya dan mereka pun tidak sekali-kali menyerupai-Nya.”15

Dengan demikian Al-Hallaj sebenarnya tidak mengakui dirinya Tuhan dan juga tidak
sama dengan Tuhan, seperti terlihat dalam syairnya :

“Aku adalah rahasia yang Mahabenar dan bukanlah yang Mahabesar itu aku, aku
hanya satu dari yang benar maka bedakanlah antara kami”.16

15
Taftazani, Sufi dari Zaman ke Zaman,Hlm.125.
16
Nasution, Filsafat dan Mistisme.....Hlm.91-92.

6|Page
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dapat diambil kesimpulan bahwasanya Hulul yang terjadi pada diri Al-Hallaj
tidaklah real karena memberi pengertian secara jelas adanya perbedaan antara hamba dan
Tuhan. Dengan demikian Hulul yang terjadi sekedar kesadaran psikis yang berlangsung pada
kondisi Fana,atau menurut ungkapnya sekadar terlebarnya nasut dalam lahut, atau dapat
dikatakan antara keduanya tetap ada perbedaan, seperti dalam syairnya juga, air tidak dapat
menjadi anggur meskipun keduanya telah bercampur aduk.

7|Page
DAFTAR PUSTAKA

Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Pustaka Setia Bandung,2010.

Samsul Munir Amin, Ilmu Tasawuf, Amzah,2012.

Sholihin, Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Pustaka Setia Bandung,2008.

Taftazani, Abu Al-Wafa’ Al-Ghanimi, Sufi dari zaman ke zaman, terj. Ahmad Rofi’ ‘Usmani,
Pustaka Bandung, 1985.

8|Page

Anda mungkin juga menyukai