dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Tuberkulosis Paru” sebagai
salah satu tugas di kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSUD Cilegon.
Dalam pembuatan referat, penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Rizki Drajat, Sp.P
selaku pembimbing saya atas bimbingan, arahan dan saran dalam penyusunan referat ini. Selain
itu, ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada orang tua dan teman-teman yang telah
memberikan doa, dorongan, serta bantuan kepada penulis sehingga referat dapat saya selesaikan.
Demikian, referat ini penulis hadirkan dengan segala kelebihan dan kekurangan. Oleh sebab
itu, kritik dan saran yang membangun demi perbaikan referat ini, sangat saya harapkan. Semoga
referat ini dapat memberikan manfaat dan pengetahuan bagi pembaca.
PENDAHULUAN
1
Walaupun penyakit ini telah lama dikenal, obat-obat untuk menyembuhkannya belum lama
ditemukan, dan pengobatan tuberkulosis paru saat ini lebih dikenal dengan sistem pengobatan
jangka pendek dalam waktu 6–9 bulan. Prinsip pengobatan jangka pendek adalah membunuh dan
mensterilkan kuman yang berada di dalam tubuh manusia. Obat yang sering digunakan dalam
pengobatan jangka pendek saat ini adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin dan
etambutol.
2
BAB II
DEFINISI
EPIDEMIOLOGI
Secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden TBC yang setara dengan
120 kasus per 100.000 penduduk. Lima negara dengan insiden kasus tertinggi yaitu India,
Indonesia, China, Philipina, dan Pakistan. Sebagian besar estimasi insiden TBC pada tahun 2016
terjadi di Kawasan Asia Tenggara (45%) dimana Indonesia merupakan salah satu di dalamnya dan
25% nya terjadi di kawasan Afrika.
3
Badan kesehatan dunia mendefinisikan negara dengan beban tinggi/high burden countries
(HBC) untuk TBC berdasarkan 3 indikator yaitu TBC, TBC/HIV, dan MDR-TBC. Terdapat 48
negara yang masuk dalam daftar tersebut. Satu negara dapat masuk dalam salah satu daftar tersebut,
atau keduanya, bahkan bisa masuk dalam ketiganya. Indonesia bersama 13 negara lain, masuk
dalam daftar HBC untuk ke 3 indikator tersebut. Artinya Indonesia memiliki permasalahan besar
dalam menghadapi penyakit TBC.
Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017 (data per 17
Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali
lebih besar dibandingkan pada perempuan. Bahkan berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis
prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang terjadi
di negara-negara lain. Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada fakto risiko
TBC misalnya merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat. Survei ini menemukan bahwa
dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok sebanyak 68,5% dan hanya 3,7% partisipan
perempuan yang merokok.
4
Berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis tahun 2013-2014, prevalensi TBC dengan
konfirmasi bakteriologis di Indonesia sebesar 759 per 100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas
dan prevalensi TBC BTA positif sebesar 257 per 100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas.
Berdasarkan survey Riskesdas 2013, semakin bertambah usia, prevalensinya semakin
tinggi. Kemungkinan terjadi re-aktivasi TBC dan durasi paparan TBC lebih lama dibandingkan
kelompok umur di bawahnya. Sebaliknya, semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan (yang
menggambarkan kemampuan sosial ekonomi) semakin rendah prevalensi TBC.
Angka notifikasi kasus/case notification rate (CNR) adalah jumlah semua kasus TBC yang
diobati dan dilaporkan di antara 100.000 penduduk yang ada di suatu wilayah tertentu yang apabila
dikumpulkan serial, akan menggambarkan kecenderungan (trend) meningkat atau menurunnya
penemuan kasus dari tahun ke tahun di suatu wilayah.
Gambar 5. Case Notification Rate (CNR) per 100.000 Penduduk di Indonesia Tahun 2008-
2017
ETIOLOGI
5
PATOFISIOLOGI
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang sangat
kecil, kuman TB yang terhirup melalui droplet nuclei dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman
TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan
memfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan
tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman
akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak,
akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan
paru disebut Fokus Primer GOHN.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini
menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe
(limfadenitis). Jika fokus primer terletak di lobus paru bagian bawah atau tengah, kelenjar limfe
yang terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru,
yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus
primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang
(limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman Tb sehingga terbentuknya komplek primer
secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi
pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya
gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4 – 8 minggu dengan
rentang waktu antara 2 – 12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga
mencpai 103 – 104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman TB
sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersenstasi terhadap tuberkulin, mengalami
perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer
dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi,
uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap
TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yag berfungsi baik, begitu
sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB
6
dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang
masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis
perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga anak mengalami fibrosis dan enkapsulasi,
tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat
tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjari limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar
dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat,
bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di
jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau pratrakea yang mulanya berukuran normal saat
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu.
Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar
yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding
bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat
menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan
ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran
limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional
membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam
sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik
tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan
sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan
mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang
mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal dan paru, terutama di apeks paru atau
lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni
kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya.
7
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh
imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant. Fokus ini umumnya tidak langsung
berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di
apeks paru disebut sebagai fokus SIMON. Bertahun-tahun kemdian, bila daya tahan tubuh penjamu
(host) menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait,
misalnya meningitis TB, TB tulang dan lain-lain.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut
(acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan
beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi
klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu
2 – 6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi
kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi
karena tidak adekuatnya sistem imun penjamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada
balita.
Tuberkulosis milier merupaka hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan
jumlah kuman yang besar. Seua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran
yang lebih kurang sama. Istilah milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir
padi-padian (miller seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1 – 3
mm, yang secara histologi merupakan granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread.
Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan menyebar ke saluran vaskular di dekatnya,
sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB
akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread.
Hal ini dapat terjadi secara berulang.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya sering
terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran
limfohematogen, TB endobronkial dan TB paru kronik. Sebanyak 0,5 – 3 % penyebaran
limfohematogen akan menjadi TB millier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3 – 6 bulan
setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran
kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3 – 9 bulan). Tejadinya TB paru
kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya
8
terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi
ini jarag terjadi pada anak-anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.
Tuberkulosis esktrapulmonal dapat terjadi pada 25 – 30 % anak yang terinfeksi TB. TB
tulang dan sendi terjadi pada 5 – 10 % anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1
tahun tetapi dapat juga 2 – 3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5 – 25 tahun setelah infeksi
primer.
KLASIFIKASI
A. Tuberkulosis Paru
1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)
a. Tuberkulosis paru BTA (+)
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif
Hasil pemeriksaan 1 spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan kuman TB4 positif
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik
dan kelainan rediologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak respons
dengan pemberian antibiotik spektrum luas
Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.
tuberculosis positif
Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa
2. Berdasarkan tipe penderita
a. Kasus baru: penderita yang belum pernah mendapat pengobatan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan (30 dosis harian)
b. Kasus kambuh (relaps): penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkuosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan
9
dahak BTA positif atau biakan positif. Bila hanya menunjukkan perubahan pada
gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan
beberapa kemungkinan:
Infeksi sekunder
Infeksi jamur
TB paru kambuh
c. Kasus pindahan (Transfer In): penderita yang sedang mendapatkan pengobatan
di suatu kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita
pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah
d. Kasus lalai berobat: penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan
berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya
penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
e. Kasus gagal: penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali positif
pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau penderita
dengan hasil BTA negatif, gambaran radiologi positif menjadi BTA positif pada
akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau gambaran radiologi ulang hasilnya
perburukan
f. Kasus kronik: penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik
g. Kasus bekas TB:
Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas) negatif dan
gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih gambaran
radiologi serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan
OAT yang adekuat akan lebih mendukung
Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan lesi TB aktif, namun
setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak ada
perubahan gambaran radiologi
B. Tuberkulosis Ekstraparu
Batasan: Tuberkulosis yang menyerang organ lain selain paru, misalnya pleura, selaput
otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus,
ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dll. Diagnoss sebaiknya didasarkan atas kultur
10
spesimen positif atau histologi atau bukti klinis kuat konsisten dengan TB ekstraparu
aktif, yang selanjutnya dipertimbangkan oleh klinisi untuk diberikan obat anti
tuberkulosis siklus penuh. TB di luar paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan
penyakit, yaitu:
1. TB di luar paru ringan: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang
(kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal
2. TB di luar paru berat: meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis
eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan TB alat
kelamin
Catatan:
1. Yang dimaksud dengan TB paru adalah TB pada parenkim paru. Sebab itu pada
pleura atau TB pada kelenjar hilus tanpa ada kelainan radiologi paru, dianggap
sebagai penderita TB di luar paru
2. Bila ada seseorang penderita TB paru juga mempunyai TB di luar paru, maka untuk
kepentingan pencatatan penderita tersebut harus dicatat sebagai penderita TB paru
3. Bila seorang penderita TB ekstraparu pada beberapa organ, makan dicatat sebagai
ekstraparu pada organ yang penyakitnya paling berat
DIAGNOSIS
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis tuberculosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan
gejala sistemik, bila organ yang terkait adalah paru maka gejala lokal adalah gejala
respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat)
1. Gejala respiratorik
11
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang
cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical
check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin
tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan
selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
2. Gejala sistemik
Demam
Malaise
Keringat malam
Anoreksia dan berat badan menurun
Pemeriksaan Fisik
Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada
permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan
kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah
apeks dan segmen posterior (S1 dan S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada
pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara
napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari banyaknya cairan di
rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah
sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
12
bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces
dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).
b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
Pagi (keesokan harinya)
Sewaktu / spot (pada saat mengantarkan dahak pagi)
13
Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi
kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi
Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan dahak
Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat laboratorium
c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain
Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin,
faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukandengan cara:
Mikroskopik
Mikroskopik biasa: Pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik fluoresens: Pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk
screening)
Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan cara:
Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh
14
Agar base media : Middle brook
Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral, top-
lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi
gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai
sebagai lesi TB aktif:
Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah
Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular
Bayangan bercak milier
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
15
Gambar 6. Alur Diagnosis TB
16
Pemeriksaan Khusus
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu yang
dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam
perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi
kuman tuberkulosis secara lebih cepat.
1. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. M
tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan
dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif
pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan
melakukan uji kepekaan (dikutip dari 13)
Bentuk lain teknik ini adalah dengan menggunakan Mycobacteria Growth Indicator
Tube (MGIT).
2. Polymerase chain reaction (PCR)
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk
DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah
kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati
masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya.
Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang
pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai
standar internasional.
Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang
ke arah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk
diagnosis TB
Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen pemeriksaan dapat
berasal dari paru maupun ekstraparu sesuai dengan organ yang terlibat.
3. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda:
a. Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respons
humoral berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam
17
teknik ini antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang
cukup lama.
b. ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologi
untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji ICT merupakan uji
diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran
sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut
diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada membran immunokromatografik
(2 antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) disamping garis kontrol. Serum
yang akan diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian
serum akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung antibodi
IgG terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan
membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit
terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada membrane.
c. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini
menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat
yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum
pasien, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam
jumlah yang memadai sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan
warna pada sisir dan dapat dideteksi dengan mudah
d. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi.
Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi
harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang
terdeteksi
e. Uji serologi yang baru / IgG TB
Uji IgG adalah salah satu pemeriksaan serologi dengan cara mendeteksi antibodi
IgG dengan antigen spesifik untuk Mycobacterium tuberculosis. Uji IgG
berdasarkan antigen mikobakterial rekombinan seperti 38 kDa dan 16 kDa dan
kombinasi lainnya akan menberikan tingkat sensitiviti dan spesifisiti yang dapat
18
diterima untuk diagnosis. Di luar negeri, metode imunodiagnosis ini lebih sering
digunakan untuk mendiagnosis TB ekstraparu, tetapi tidak cukup baik untuk
diagnosis TB pada anak.
Saat ini pemeriksaan serologi belum dapat dipakai sebagai pegangan untuk
diagnosis.
Pemeriksaan Penunjang Lain
1. Analisis cairan pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada
pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis
yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan
eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa
rendah
2. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB.
Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histopatologi. Bahan jaringan dapat
diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu:
Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen
Silverman)
Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi, trans
thoracal needle aspiration/TTNA, biopsi paru terbuka)
Otopsi. Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan
dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk
dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histology.
3. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk
tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai
indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju
endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang
spesifik.
19
4. Uji tuberculin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan ada infeksi tuberkulosis. Di Indonesia dengan
prevalens tuberkulosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit
kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan
konversi, bula atau apabila kepositivan dariuji yang didapat besar sekali. Pada
malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil negative.
TATALAKSANA
Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
Rifampisn
INH
Pirazinamid
Streptomisin
Etambutol
2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination)
Empat OAT dalam 1 tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg,
pirazinamid 400 mg, dan etambutol 275 mg, dan
Tiga obat dalam 1 tablet, yaiitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg dan
pirazinamid 400 mg
3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
Kanamisin
Kuinolon
Obat lain masih dalam penelitian: makrolid, amoksilin + asam klavulanat
Derivat rifampisin dan INH
Dosis OAT
1. Rifampisin: 10 mg/kg BB, maksimal 600 mg 2 – 3 kali/minggu atau
BB > 60 kg : 600 mg
BB 40 – 60 kg : 450 mg
BB < 40 kg : 300 mg
Dosis intermiten 600 mg / kali
20
2. INH: 5 mg/kg BB, maksimal 300 mg, 10 mg/kg BB 3 kali seminggu, 15 mg/kg BB 2
kali seminggu atau 300 mg/hari untuk dewasa. Intermiten: 600 mg/kali
3. Pirazinamid: fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 kali seminggu, 50 mg/kg BB
2 kali seminggu atau:
BB > 60 kg : 1500 mg
BB 40 – 60 kg : 1000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
4. Etambutol: fase intensif 20 mg/kg BB, fase lanjutan 15 mg/kg BB, 30 mg/kg BB 3 kali
seminggu, 45 mg/kg BB 2 kali seminggu atau:
BB > 60 kg : 1500 mg
BB 40 – 60 kg : 1000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
Dosis intermiten 40 mg/kg BB/kali
5. Streptomisin: 15 mg/kg BB atau
BB > 60 kg : 1000 mg
BB 40 – 60 kg : 750 mg
BB < 40 kg : sesuai BB
6. Kombinasi dosis tetap
Rekomendasi WHO 1999 untuk kombinasi dosis tetap, penderita hanya minum obat 3
– 4 tablet sehari selama fase intensif, sedangkan fase lanjutan dapat menggunakan
kombinasi dosis 2 OAT seperti yang selama ini telah digunakan sesuai dengan pedoman
pengobatan.
Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek
samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / fasilitas yang mampu menanganinya.
21
Obat Dosis Dosis yang dianjurkan Dosis Dosis (mg/kgBB)
(mg/kgB Harian Intermitten maks <40 40- >60
B/hari) (mg/kgBB/hari (mg/kgBB/hari (mg) 60
) )
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
S Sesuai 750 1000
15-18 15 15 1000
BB
Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT
Panduan OAT
Pengobatan tuberculosis dibagi menjadi:
1. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Panduan obat yang dianjurkan: 2 RHZE / 4 RH
Atau 2 RHZE / 6 HE
Atau 2 RHZE / 4 R3H3
Panduan ini dianjurkan untuk:
a. TB paru BTA (+), kasus baru
b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologi lesi luas (termasuk luluh paru). Bila
ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji
resistensi
2. TB Paru (kasus baru), BTA negatif, pada foto toraks: lesi minimal
Panduan obat yang dianjurkan: 2 RHZE / 4 RH
Atau 6 RHE
Atau 2 RHZE / 4 R3H3
3. TB paru kasus kambuh
Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan
sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan
obat RHE selama 5 bulan
22
4. TB paru kasus gagal pengobatan
Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh paduan: 3-6
bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin,
etionamid, sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan pada fase awal dapat
diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila
tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan. Dapat pula
dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal. Sebaiknya
kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru.
5. TB paru kasus putus berobat
Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan
kriteria sebagai berikut:
a. Berobat > 4 bulan
1) BTA saat ini (-)
Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT
dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk
memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan
penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama
2) BTA saat ini (+)
Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka
waktu pengobatan yang lebih lama.
b. Berobat < 4bulan
1) Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih
kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama
2) Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan diteruskan
Jika memungkinkan seharusnya diperiksa uji resistensi terhadap OAT
6. TB paru kasus kronik
a. Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan
RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi
(minimal terdapat 4 macam OAT yang masih sensitif) ditambah dengan obat lini 2
seperti kuinolon, betalaktam, makrolid dll. Pengobatan minimal 18 bulan.
23
b. Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
c. Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan
d. Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru
*2RHZE /4 R3H3
IV - Kronik RHZES / sesuai hasil uji resistensi
(minimal OAT yang sensitif) +
24
obat lini 2 (pengobatan minimal
18 bulan)
IV - MDR TB Sesuai uji resistensi + OAT lini 2
atau H seumur hidup
25
Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari
gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi
walaupun gejalanya telah menghilang
Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata dan
air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak
berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar mereka mengerti dan tidak
perlu khawatir.
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB
pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-
kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan
berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi
demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya
ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan
okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya
15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu.
Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat
dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan
okuler sulit untuk dideteksi.
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat
seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut
akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek
samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan
keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau
dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat
keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli).
26
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai
sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan
(jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat
terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat
dikurangi 0,25gr.
Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada
perempuan hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin.
27
Kelainan Rifampisin Hentikan rifampisin
sistemik,
termasuk syok
dan purpura
Tabel 3. Efek Samping OAT dan Penatalaksanaannya
28
Terapi Pembedahan
Indikasi operasi:
1. Indikasi mutlak
a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap positif
b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif
2. Indikasi Relatif
a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c. Sisa kaviti yang menetap
Kriteria Sembuh
1. BTA mikroskopik negatif 2 kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan
telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
2. Pada foto thoraks, gambaran radiologik serial tetap sama / perbaikan
3. Bila ada fasilitas biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif
Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek samping obat,
serta evaluasi keteraturan berobat
Evaluasi Klinik
1. Pasien dievaluasi setiap 2minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap
1 bulan
2. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya
komplikasi penyakit
3. Evaluasi klinis meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik
29
Evaluasi bakteriologik (0 – 2 – 6 / 9 bulan pengobatan)
1. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
2. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
Sebelum pengobatan dimulai
Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
Pada akhir pengobatan
3. Bila ada fasilitas biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi
30
Kriteria sembuh
1. BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensifdan akhir pengobatan) dan
telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
2. Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/ perbaikan
3. Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negative
31
Dosis steroid: predniso 30 – 40 mg/hari, diturunkan 5 – 10 mg setiap 5 – 7 hari,
pemberian selama 3 – 4 minggu
Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM. ulagan
evaluasi cairan bila diperlukan
C. TB Ekstraparu
Panduan obat: 2 RHZE / 10 RH
Prinsip pengobatan sama dengan TB paru, misalnya pengobatan untuk TB tulag, TB
sendi dan TB kelenjar, meningitis pada bay dan anak lama pengobatan 12 bulan. Pada
TB ekstraparu lebih sering dilakukan tindakan bedah, dengan tujuan untuk:
Mendapatkan bahan / spesimen untuk pemeriksaan (diagnosis)
Pengobatan:
- Perikarditis konstriktiva
- Kompresi medula spinalis pada penyakit Pott’s
32
E. TB Paru dengan HIV / AIDS
Panduan obat: 2 RHZE / RH diberikan sampai 6 – 9 bulan setelah konversi dahak
Menurut WHO, panduan obat dan lama pengobatan sama dengan TB paru tanpa
HIV / AIDS
Jangan diberikan Thiacetazon karena dapat menimbulkan toksik yang hebat pada
kulit
Obat suntik kalau dapat dihindari kecuali jika sterilisasinya terjamin
Jangan lakukan desensitasi OAT pada penderita HIV / AIDS (misal: INH,
rifampisin) karena mengakibatkan toksik yang serius pada hati
INH diberikan terus-menerus seumur hidup
Bila terjadi MDR, pengobatan sesuai uji resistensi
33
G. TB paru dan Gagal Ginjal
Jangan menggunakan OAT streptomisin, kanamisin dan capreomycin
Sebaiknya hindari penggunaan etambutol karena waktu paruhnya memanjang dan
terjadi akumulasi etambutol. Dalam keadaan sangat diperlukan, etambutol dapat
diberikan dengan pengawasan kreatinin
Sedapat mungkin dosis disesuaikan dengan faal ginjal (CCT, ureum, kreatinin)
Rujuk ke ahli paru
34
Panduan OAT yang dianjurkan:
Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
Setelah itu, monitor klinis dan laboratorium. Bila klinis dan laboratorium normal
kembali (bilirubin, SGOT, SGPT), maka tambahkan INH desensitasi sampai dengan
dosis penuh (300 mg). selama itu perhatikan klinis dan periksa laboratorium saat INH
dosis penuh, bila klinis dan laboratorium normal, tambahkan rifampisin, desensitasi
sampai dengan doss penuh (sesuai berat badah). Sehingga panduan obat menjadi
RHES
Pirazinamid tidak boleh digunakan lagi.
KOMPLIKASI
1. Batuk darah
2. Pneumotoraks
3. Luluh paru
4. Gagal napas
5. Gagal jantung
6. Efusi pleura
PROGNOSIS
Secara umum angka kesembuhan dapat mencapai 96-99% dengan pengobatan yang
baik. Namun angka rekurensi tuberculosis dapat mencapai 0-14% yang biasanya muncul 1
tahun setelah pengobatan TB selesai terutama di negara dengan insidensi TB yang rendah.
Reinfeksi lebih sering terjadi pada pasien di negara dengan insidensi yang tinggi. Prognosis
biasanya baik tergantung pada selesainya pengobatan. Prognosis dipengaruhi oleh
penyebaran infeksi apakah telah menyebar ekstra paru, immunokompeten. Usia tua serta
riwayat pengobatan sebelumnya. Indeks massa tubuh yang melambangkan status gizi juga
menjadi faktor yang mempengaruhi prognosis.
RESISTENSI GANDA (MULTI DRUG RESISTANCE / MDR)
Resistensi ganda menunjukkan M. tuberkuloss resisten terhadap rifampisin dan INH
dengan atau tanpa OAT lainnya. Secara umum resistensi terhadap OAT dibagi menjadi:
1. Resistensi primer: apabila penderita sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan TB
35
2. Resistensi inisial: apabila kita tidak tahu pasti apakah penderitanya sudah pernah ada
riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak
3. Resistensi sekunder: apabila penderita telah punya riwayat pengobatan sebelumnya
Pengobatan TB MDR
Pengobatan MDR-TB hingga saat ini belum ada panduan pengobatan yang distandarisasi
untuk penderita MDR-TB. Pemberian pengobatan pada dasarnya tailor made, bergantung
dari hasil uji resstensi dengan menggunakan minimal 2 – 3 OAT yang masih sensitif dan
obat tambahan lain yang dapat digunakan yaitu golongan fluorokuinolon (ofloksasin dan
siprofloksasin), aminoglikosida (amikasin, kanamisin dan kapreomisin), etionamid,
sikloserin, klofamizin, amoksilin + asam klavulanat. Saat ini panduan yang dianjurkan
36
OAT yang masih sensitif minimal 2 – 3 OAT dari obat lini 1 ditambah dengan obat lain
(lini 2) golongan kuinolon yaitu ciprofloksasin dosis 2 x 500 mg atau ofloksasi 1 x 400 mg.
Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten ganda sangat sulit dan memerlukan waktu yang
lama yaitu minimal 12 bulan, bahkan bisa sampai 24 bulan
Hasil pengobatan terhadap ressten ganda tuberkulosis ini kurang menggembirakan. Pada
penderita non-HIV, konversi hanya didapat sekitar 50% kasus, sedangkan response rate
didapat pada 65% kasus dan kesembuhan pada 56% kasus
Pemberian OAT yang benar dan terawasi secara baik merupakan salah satu kunci penting
mencegah dan mengatasi masalah ressten ganda. Konsep Directly Observed Treatment
Short Course (DOTS) merupakan salah satu upaya penting dalam menjamin keteraturan
berobat penderita dan menanggulangi masalah tuberkulosis khususnya resisten ganda
Prioritas yang dianjurkan bukan pengobatan MDR, tetapi pencegahan MDR-TB
37
BAB III
KESIMPULAN
Secara umum angka kesembuhan dapat mencapai 96-99% dengan pengobatan yang baik.
Namun angka rekurensi tuberculosis dapat mencapai 0-14% yang biasanya muncul 1 tahun setelah
pengobatan TB selesai terutama di negara dengan insidensi TB yang rendah. Reinfeksi lebih sering
terjadi pada pasien di negara dengan insidensi yang tinggi. Prognosis biasanya baik tergantung
pada selesainya pengobatan. Prognosis dipengaruhi oleh penyebaran infeksi apakah telah
menyebar ekstra paru, immunokompeten. Usia tua serta riwayat pengobatan sebelumnya. Indeks
massa tubuh yang melambangkan status gizi juga menjadi faktor yang mempengaruhi prognosis.
38
DAFTAR PUSTAKA
39