Anda di halaman 1dari 40

Syukur Alhamdullilah penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala limpahan rahmat

dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Tuberkulosis Paru” sebagai
salah satu tugas di kepaniteraan Ilmu Penyakit Dalam RSUD Cilegon.
Dalam pembuatan referat, penulis mengucapkan terimakasih kepada dr. Rizki Drajat, Sp.P
selaku pembimbing saya atas bimbingan, arahan dan saran dalam penyusunan referat ini. Selain
itu, ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada orang tua dan teman-teman yang telah
memberikan doa, dorongan, serta bantuan kepada penulis sehingga referat dapat saya selesaikan.
Demikian, referat ini penulis hadirkan dengan segala kelebihan dan kekurangan. Oleh sebab
itu, kritik dan saran yang membangun demi perbaikan referat ini, sangat saya harapkan. Semoga
referat ini dapat memberikan manfaat dan pengetahuan bagi pembaca.

Cilegon, 16 Juli 2019


Penulis,

Dandy Abdi Cita Gemilang


BAB I

PENDAHULUAN

TB Paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis, yakni


sejenis tuberculosis bakteri tahan asam aerob. Secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta
kasus insiden TBC yang setara dengan 120 kasus per 100.000 penduduk. Lima negara dengan
insiden kasus tertinggi yaitu India, Indonesia, China, Philipina, dan Pakistan. Sebagian besar
estimasi insiden TBC pada tahun 2016 terjadi di Kawasan Asia Tenggara (45%) dimana Indonesia
merupakan salah satu di dalamnya dan 25% nya terjadi di kawasan Afrika.
Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017 (data per 17
Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali
lebih besar dibandingkan pada perempuan. Bahkan berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis
prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang terjadi
di negara-negara lain. Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada fakto risiko
TBC misalnya merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat. Survei ini menemukan bahwa
dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok sebanyak 68,5% dan hanya 3,7% partisipan
perempuan yang merokok.
Berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis tahun 2013-2014, prevalensi TBC dengan
konfirmasi bakteriologis di Indonesia sebesar 759 per 100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas
dan prevalensi TBC BTA positif sebesar 257 per 100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas.
Berdasarkan survey Riskesdas 2013, semakin bertambah usia, prevalensinya semakin
tinggi. Kemungkinan terjadi re-aktivasi TBC dan durasi paparan TBC lebih lama dibandingkan
kelompok umur di bawahnya. Sebaliknya, semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan (yang
menggambarkan kemampuan sosial ekonomi) semakin rendah prevalensi TBC.
Pembuatan diagnosis tuberkulosis paru kadang-kadang sulit, sebab penyakit tuberkulosis
paru yang sudah berat dan progresif, sering tidak menimbulkan gejala yang dapat dilihat/dikenal;
antara gejala dengan luasnya penyakit maupun lamanya sakit, sering tidak mempunyai korelasi
yang baik. Hal ini disebabkan oleh karena penyakit tuberkulosis paru merupakan penyakit paru
yang besar (great imitator), yang mempunyai diagnosis banding hampir pada semua penyakit dada
dan banyak penyakit lain yang mempunyai gejala umum berupa kelelahan dan panas.

1
Walaupun penyakit ini telah lama dikenal, obat-obat untuk menyembuhkannya belum lama
ditemukan, dan pengobatan tuberkulosis paru saat ini lebih dikenal dengan sistem pengobatan
jangka pendek dalam waktu 6–9 bulan. Prinsip pengobatan jangka pendek adalah membunuh dan
mensterilkan kuman yang berada di dalam tubuh manusia. Obat yang sering digunakan dalam
pengobatan jangka pendek saat ini adalah isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin dan
etambutol.

2
BAB II

DEFINISI

TB Paru merupakan penyakit yang disebabkan oleh Mycobacterium Tuberculosis, yakni


sejenis tuberculosis bakteri tahan asam aerob. Kuman TB Paru menyebar melalui transmisi udara,
dan menyerang jaringan yang memiliki konsentrasi oksigen yang tinggi seperti paru-paru.

EPIDEMIOLOGI

Secara global pada tahun 2016 terdapat 10,4 juta kasus insiden TBC yang setara dengan
120 kasus per 100.000 penduduk. Lima negara dengan insiden kasus tertinggi yaitu India,
Indonesia, China, Philipina, dan Pakistan. Sebagian besar estimasi insiden TBC pada tahun 2016
terjadi di Kawasan Asia Tenggara (45%) dimana Indonesia merupakan salah satu di dalamnya dan
25% nya terjadi di kawasan Afrika.

3
Badan kesehatan dunia mendefinisikan negara dengan beban tinggi/high burden countries
(HBC) untuk TBC berdasarkan 3 indikator yaitu TBC, TBC/HIV, dan MDR-TBC. Terdapat 48
negara yang masuk dalam daftar tersebut. Satu negara dapat masuk dalam salah satu daftar tersebut,
atau keduanya, bahkan bisa masuk dalam ketiganya. Indonesia bersama 13 negara lain, masuk
dalam daftar HBC untuk ke 3 indikator tersebut. Artinya Indonesia memiliki permasalahan besar
dalam menghadapi penyakit TBC.

Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun 2017 (data per 17
Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali
lebih besar dibandingkan pada perempuan. Bahkan berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis
prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang terjadi
di negara-negara lain. Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada fakto risiko
TBC misalnya merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat. Survei ini menemukan bahwa
dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok sebanyak 68,5% dan hanya 3,7% partisipan
perempuan yang merokok.

4
Berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis tahun 2013-2014, prevalensi TBC dengan
konfirmasi bakteriologis di Indonesia sebesar 759 per 100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas
dan prevalensi TBC BTA positif sebesar 257 per 100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas.
Berdasarkan survey Riskesdas 2013, semakin bertambah usia, prevalensinya semakin
tinggi. Kemungkinan terjadi re-aktivasi TBC dan durasi paparan TBC lebih lama dibandingkan
kelompok umur di bawahnya. Sebaliknya, semakin tinggi kuintil indeks kepemilikan (yang
menggambarkan kemampuan sosial ekonomi) semakin rendah prevalensi TBC.
Angka notifikasi kasus/case notification rate (CNR) adalah jumlah semua kasus TBC yang
diobati dan dilaporkan di antara 100.000 penduduk yang ada di suatu wilayah tertentu yang apabila
dikumpulkan serial, akan menggambarkan kecenderungan (trend) meningkat atau menurunnya
penemuan kasus dari tahun ke tahun di suatu wilayah.

Gambar 5. Case Notification Rate (CNR) per 100.000 Penduduk di Indonesia Tahun 2008-
2017

ETIOLOGI

Penyebab TB adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman yang bersifat aerob


obligat, berbentuk batang dengan ukuran panjang 1 – 4 μm dan tebal 0,3 – 0,6 μm, tidak berspora
dan tidak berkapsul. Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (60%), peptidoglikan
dan arabinomannan. Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan terhadap asam (asam alkohol)
sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan juga lebih tahan terhadap gangguan kimia dan fisis.
Hal ini terjadi karena kuman berada dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat
bangkit lagi dan menjadikan TB menjadi aktif lagi.

5
PATOFISIOLOGI

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang sangat
kecil, kuman TB yang terhirup melalui droplet nuclei dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman
TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan
memfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan
tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman
akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak,
akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan
paru disebut Fokus Primer GOHN.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe
regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini
menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe
(limfadenitis). Jika fokus primer terletak di lobus paru bagian bawah atau tengah, kelenjar limfe
yang terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru,
yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara fokus
primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang
(limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman Tb sehingga terbentuknya komplek primer
secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi
pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya
gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4 – 8 minggu dengan
rentang waktu antara 2 – 12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga
mencpai 103 – 104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman TB
sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersenstasi terhadap tuberkulin, mengalami
perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer
dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin. Selama masa inkubasi,
uji tuberkulin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluler tubuh terhadap
TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yag berfungsi baik, begitu
sistem imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB

6
dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang
masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan.
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya mengalami
resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis
perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga anak mengalami fibrosis dan enkapsulasi,
tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat
tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjari limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar
dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat,
bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di
jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau pratrakea yang mulanya berukuran normal saat
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu.
Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar
yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding
bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat
menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan
ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran
limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional
membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam
sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik
tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan
sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan
mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang
mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal dan paru, terutama di apeks paru atau
lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni
kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya.

7
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh
imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant. Fokus ini umumnya tidak langsung
berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi fokus reaktivasi. Fokus potensial di
apeks paru disebut sebagai fokus SIMON. Bertahun-tahun kemdian, bila daya tahan tubuh penjamu
(host) menurun, fokus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait,
misalnya meningitis TB, TB tulang dan lain-lain.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut
(acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan
beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi
klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu
2 – 6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi
kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi
karena tidak adekuatnya sistem imun penjamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada
balita.
Tuberkulosis milier merupaka hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan
jumlah kuman yang besar. Seua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran
yang lebih kurang sama. Istilah milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butir
padi-padian (miller seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1 – 3
mm, yang secara histologi merupakan granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread.
Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan menyebar ke saluran vaskular di dekatnya,
sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB
akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread.
Hal ini dapat terjadi secara berulang.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya sering
terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran
limfohematogen, TB endobronkial dan TB paru kronik. Sebanyak 0,5 – 3 % penyebaran
limfohematogen akan menjadi TB millier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3 – 6 bulan
setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran
kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3 – 9 bulan). Tejadinya TB paru
kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya

8
terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi
ini jarag terjadi pada anak-anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.
Tuberkulosis esktrapulmonal dapat terjadi pada 25 – 30 % anak yang terinfeksi TB. TB
tulang dan sendi terjadi pada 5 – 10 % anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1
tahun tetapi dapat juga 2 – 3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5 – 25 tahun setelah infeksi
primer.

KLASIFIKASI

A. Tuberkulosis Paru
1. Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak (BTA)
a. Tuberkulosis paru BTA (+)
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA
positif
 Hasil pemeriksaan 1 spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan
biakan kuman TB4 positif
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik
dan kelainan rediologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak respons
dengan pemberian antibiotik spektrum luas
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M.
tuberculosis positif
 Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa
2. Berdasarkan tipe penderita
a. Kasus baru: penderita yang belum pernah mendapat pengobatan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari 1 bulan (30 dosis harian)
b. Kasus kambuh (relaps): penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkuosis dan telah dinyatakan sembuh atau
pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan

9
dahak BTA positif atau biakan positif. Bila hanya menunjukkan perubahan pada
gambaran radiologik sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan
beberapa kemungkinan:
 Infeksi sekunder
 Infeksi jamur
 TB paru kambuh
c. Kasus pindahan (Transfer In): penderita yang sedang mendapatkan pengobatan
di suatu kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten lain. Penderita
pindahan tersebut harus membawa surat rujukan / pindah
d. Kasus lalai berobat: penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan
berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya
penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.
e. Kasus gagal: penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali positif
pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau penderita
dengan hasil BTA negatif, gambaran radiologi positif menjadi BTA positif pada
akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau gambaran radiologi ulang hasilnya
perburukan
f. Kasus kronik: penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA masih positif
setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik
g. Kasus bekas TB:
 Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas) negatif dan
gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih gambaran
radiologi serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan
OAT yang adekuat akan lebih mendukung
 Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan lesi TB aktif, namun
setelah mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak ada
perubahan gambaran radiologi
B. Tuberkulosis Ekstraparu
Batasan: Tuberkulosis yang menyerang organ lain selain paru, misalnya pleura, selaput
otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus,
ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dll. Diagnoss sebaiknya didasarkan atas kultur

10
spesimen positif atau histologi atau bukti klinis kuat konsisten dengan TB ekstraparu
aktif, yang selanjutnya dipertimbangkan oleh klinisi untuk diberikan obat anti
tuberkulosis siklus penuh. TB di luar paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan
penyakit, yaitu:
1. TB di luar paru ringan: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang
(kecuali tulang belakang), sendi dan kelenjar adrenal
2. TB di luar paru berat: meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis
eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kencing dan TB alat
kelamin

Catatan:
1. Yang dimaksud dengan TB paru adalah TB pada parenkim paru. Sebab itu pada
pleura atau TB pada kelenjar hilus tanpa ada kelainan radiologi paru, dianggap
sebagai penderita TB di luar paru
2. Bila ada seseorang penderita TB paru juga mempunyai TB di luar paru, maka untuk
kepentingan pencatatan penderita tersebut harus dicatat sebagai penderita TB paru
3. Bila seorang penderita TB ekstraparu pada beberapa organ, makan dicatat sebagai
ekstraparu pada organ yang penyakitnya paling berat

DIAGNOSIS

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis tuberculosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan
gejala sistemik, bila organ yang terkait adalah paru maka gejala lokal adalah gejala
respiratori (gejala lokal sesuai organ yang terlibat)

1. Gejala respiratorik

 Batuk > 2 minggu


 Batuk darah
 Sesak napas
 Nyeri dada

11
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang
cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical
check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin
tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan
selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
2. Gejala sistemik
 Demam
 Malaise
 Keringat malam
 Anoreksia dan berat badan menurun

Pemeriksaan Fisik

Pada tuberkulosis paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada
permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan
kelainan. Kelainan paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah
apeks dan segmen posterior (S1 dan S2) , serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada
pemeriksaan jasmani dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara
napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.

Pada pleuritis tuberkulosis, kelainan pemeriksaan fisis tergantung dari banyaknya cairan di
rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah
sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.

Pada limfadenitis tuberkulosis, terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di


daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah ketiak.
Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”
Pemeriksaan Bakteriologik
a. Bahan pemeriksaan
Pemeriksaan bakteriologi untuk menemukan kuman tuberkulosis mempunyai arti yang
sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologi
ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus,

12
bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces
dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH).
b. Cara pengumpulan dan pengiriman bahan
Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS):
 Sewaktu / spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
 Pagi (keesokan harinya)
 Sewaktu / spot (pada saat mengantarkan dahak pagi)

Bahan pemeriksaan/spesimen yang berbentuk cairan dikumpulkan/ditampung


dalam pot yang bermulut lebar, berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir,
tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasiliti, spesimen tersebut dapat dibuat
sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium.
Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau
untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml
sebelum dikirim ke laboratorium.
Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam
kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis
identitas pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium.
Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien,
spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos.
Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring:
 Kertas sring dengan ukuran 10x10 cm, dilipat 4 agar terlihat again tengahnya
 Dahak yang representative diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari
kertas saring sebanyak + 1 ml
 Kertas saring dilipat kembali dan dgantung dengan melubangi pada satu ujung yang
tidak mengandung bahan dahak
 Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman, misal
di dalam dus
 Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik
kecil

13
 Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi
kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi
 Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan dahak
 Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat laboratorium
c. Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain
Pemeriksaan bakteriologi dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor
cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin,
faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukandengan cara:
Mikroskopik
 Mikroskopik biasa: Pewarnaan Ziehl-Nielsen
 Mikroskopik fluoresens: Pewarnaan auramin-rhodamin (khususnya untuk
screening)

lnterpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila:


 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif  BTA positif
 1 kali positif, 2 kali negatif  ulang BTA 3 kali, kemudian
 Bila 1 kali positif, 2 kali negatif  BTA positif
 Bila 3 kali negatif  BTA negative

Interpretasi pemeriksaan mikroskopis dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi


WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease):
 Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negative
 Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang
ditemukan
 Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + (1+)
 Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
 Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)

Pemeriksaan Biakan
Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan cara:
 Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh

14
 Agar base media : Middle brook

Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat


mendeteksi Mycobacterium tuberculosis dan juga Mycobacterium other than
tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan beberapa cara, baik
dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji nikotinamid, uji niasin
maupun pencampuran dengan cyanogen bromide serta melihat pigmen yang timbul

Pemeriksaan Radiologik
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral, top-
lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi
gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). Gambaran radiologi yang dicurigai
sebagai lesi TB aktif:
 Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah
 Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular
 Bayangan bercak milier
 Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif


 Fibrotic
 Kalsifikasi
 Schwarte atau penebalan pleura

Luluh Paru (destroyed lung):


 Gambaran radiologi yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya
secara klinis disebut luluh paru .Gambaran radiologi luluh paru terdiri dari atelektasis,
ektasis/ multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau
penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologi tersebut.
 Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan aktiviti proses penyakit

15
Gambar 6. Alur Diagnosis TB

16
Pemeriksaan Khusus
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis adalah lamanya waktu yang
dibutuhkan untuk pembiakan kuman tuberkulosis secara konvensional. Dalam
perkembangan kini ada beberapa teknik yang lebih baru yang dapat mengidentifikasi
kuman tuberkulosis secara lebih cepat.
1. Pemeriksaan BACTEC
Dasar teknik pemeriksaan biakan dengan BACTEC ini adalah metode radiometrik. M
tuberculosis memetabolisme asam lemak yang kemudian menghasilkan CO2 yang akan
dideteksi growth indexnya oleh mesin ini. Sistem ini dapat menjadi salah satu alternatif
pemeriksaan biakan secara cepat untuk membantu menegakkan diagnosis dan
melakukan uji kepekaan (dikutip dari 13)
Bentuk lain teknik ini adalah dengan menggunakan Mycobacteria Growth Indicator
Tube (MGIT).
2. Polymerase chain reaction (PCR)
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat mendeteksi DNA, termasuk
DNA M.tuberculosis. Salah satu masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah
kemungkinan kontaminasi. Cara pemeriksaan ini telah cukup banyak dipakai, kendati
masih memerlukan ketelitian dalam pelaksanaannya.
Hasil pemeriksaan PCR dapat membantu untuk menegakkan diagnosis sepanjang
pemeriksaan tersebut dikerjakan dengan cara yang benar dan sesuai
standar internasional.
Apabila hasil pemeriksaan PCR positif sedangkan data lain tidak ada yang menunjang
ke arah diagnosis TB, maka hasil tersebut tidak dapat dipakai sebagai pegangan untuk
diagnosis TB
Pada pemeriksaan deteksi M.tb tersebut diatas, bahan / spesimen pemeriksaan dapat
berasal dari paru maupun ekstraparu sesuai dengan organ yang terlibat.
3. Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda:
a. Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat mendeteksi respons
humoral berupa proses antigen-antibodi yang terjadi. Beberapa masalah dalam

17
teknik ini antara lain adalah kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang
cukup lama.
b. ICT
Uji Immunochromatographic tuberculosis (ICT tuberculosis) adalah uji serologi
untuk mendeteksi antibodi M.tuberculosis dalam serum. Uji ICT merupakan uji
diagnostik TB yang menggunakan 5 antigen spesifik yang berasal dari membran
sitoplasma M.tuberculosis, diantaranya antigen M.tb 38 kDa. Ke 5 antigen tersebut
diendapkan dalam bentuk 4 garis melintang pada membran immunokromatografik
(2 antigen diantaranya digabung dalam 1 garis) disamping garis kontrol. Serum
yang akan diperiksa sebanyak 30 ml diteteskan ke bantalan warna biru, kemudian
serum akan berdifusi melewati garis antigen. Apabila serum mengandung antibodi
IgG terhadap M.tuberculosis, maka antibodi akan berikatan dengan antigen dan
membentuk garis warna merah muda. Uji dinyatakan positif bila setelah 15 menit
terbentuk garis kontrol dan minimal satu dari empat garis antigen pada membrane.
c. Mycodot
Uji ini mendeteksi antibodi antimikobakterial di dalam tubuh manusia. Uji ini
menggunakan antigen lipoarabinomannan (LAM) yang direkatkan pada suatu alat
yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum
pasien, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam
jumlah yang memadai sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan
warna pada sisir dan dapat dideteksi dengan mudah
d. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang terjadi.
Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para klinisi
harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi yang
terdeteksi
e. Uji serologi yang baru / IgG TB
Uji IgG adalah salah satu pemeriksaan serologi dengan cara mendeteksi antibodi
IgG dengan antigen spesifik untuk Mycobacterium tuberculosis. Uji IgG
berdasarkan antigen mikobakterial rekombinan seperti 38 kDa dan 16 kDa dan
kombinasi lainnya akan menberikan tingkat sensitiviti dan spesifisiti yang dapat

18
diterima untuk diagnosis. Di luar negeri, metode imunodiagnosis ini lebih sering
digunakan untuk mendiagnosis TB ekstraparu, tetapi tidak cukup baik untuk
diagnosis TB pada anak.
Saat ini pemeriksaan serologi belum dapat dipakai sebagai pegangan untuk
diagnosis.
Pemeriksaan Penunjang Lain
1. Analisis cairan pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan pleura perlu dilakukan pada
pasien efusi pleura untuk membantu menegakkan diagnosis. Interpretasi hasil analisis
yang mendukung diagnosis tuberkulosis adalah uji Rivalta positif dan kesan cairan
eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel limfosit dominan dan glukosa
rendah
2. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis TB.
Pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan histopatologi. Bahan jaringan dapat
diperoleh melalui biopsi atau otopsi, yaitu:
 Biopsi aspirasi dengan jarum halus (BJH) kelenjar getah bening (KGB)
 Biopsi pleura (melalui torakoskopi atau dengan jarum abram, Cope dan Veen
Silverman)
 Biopsi jaringan paru (trans bronchial lung biopsy/TBLB) dengan bronkoskopi, trans
thoracal needle aspiration/TTNA, biopsi paru terbuka)
 Otopsi. Pada pemeriksaan biopsi sebaiknya diambil 2 sediaan, satu sediaan
dimasukkan ke dalam larutan salin dan dikirim ke laboratorium mikrobiologi untuk
dikultur serta sediaan yang kedua difiksasi untuk pemeriksaan histology.
3. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk
tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua dapat digunakan sebagai
indikator penyembuhan pasien. LED sering meningkat pada proses aktif, tetapi laju
endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun kurang
spesifik.

19
4. Uji tuberculin
Uji tuberkulin yang positif menunjukkan ada infeksi tuberkulosis. Di Indonesia dengan
prevalens tuberkulosis yang tinggi, uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik penyakit
kurang berarti pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan
konversi, bula atau apabila kepositivan dariuji yang didapat besar sekali. Pada
malnutrisi dan infeksi HIV uji tuberkulin dapat memberikan hasil negative.
TATALAKSANA
Obat Anti Tuberkulosis (OAT)
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
 Rifampisn
 INH
 Pirazinamid
 Streptomisin
 Etambutol
2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination)
 Empat OAT dalam 1 tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg,
pirazinamid 400 mg, dan etambutol 275 mg, dan
 Tiga obat dalam 1 tablet, yaiitu rifampisin 150 mg, isoniazid 75 mg dan
pirazinamid 400 mg
3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)
 Kanamisin
 Kuinolon
 Obat lain masih dalam penelitian: makrolid, amoksilin + asam klavulanat
 Derivat rifampisin dan INH

Dosis OAT
1. Rifampisin: 10 mg/kg BB, maksimal 600 mg 2 – 3 kali/minggu atau
BB > 60 kg : 600 mg
BB 40 – 60 kg : 450 mg
BB < 40 kg : 300 mg
Dosis intermiten 600 mg / kali

20
2. INH: 5 mg/kg BB, maksimal 300 mg, 10 mg/kg BB 3 kali seminggu, 15 mg/kg BB 2
kali seminggu atau 300 mg/hari untuk dewasa. Intermiten: 600 mg/kali
3. Pirazinamid: fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 kali seminggu, 50 mg/kg BB
2 kali seminggu atau:
BB > 60 kg : 1500 mg
BB 40 – 60 kg : 1000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
4. Etambutol: fase intensif 20 mg/kg BB, fase lanjutan 15 mg/kg BB, 30 mg/kg BB 3 kali
seminggu, 45 mg/kg BB 2 kali seminggu atau:
BB > 60 kg : 1500 mg
BB 40 – 60 kg : 1000 mg
BB < 40 kg : 750 mg
Dosis intermiten 40 mg/kg BB/kali
5. Streptomisin: 15 mg/kg BB atau
BB > 60 kg : 1000 mg
BB 40 – 60 kg : 750 mg
BB < 40 kg : sesuai BB
6. Kombinasi dosis tetap
Rekomendasi WHO 1999 untuk kombinasi dosis tetap, penderita hanya minum obat 3
– 4 tablet sehari selama fase intensif, sedangkan fase lanjutan dapat menggunakan
kombinasi dosis 2 OAT seperti yang selama ini telah digunakan sesuai dengan pedoman
pengobatan.
Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek
samping serius harus dirujuk ke rumah sakit / fasilitas yang mampu menanganinya.

21
Obat Dosis Dosis yang dianjurkan Dosis Dosis (mg/kgBB)
(mg/kgB Harian Intermitten maks <40 40- >60
B/hari) (mg/kgBB/hari (mg/kgBB/hari (mg) 60
) )
R 8-12 10 10 600 300 450 600
H 4-6 5 10 300 150 300 450
Z 20-30 25 35 750 1000 1500
E 15-20 15 30 750 1000 1500
S Sesuai 750 1000
15-18 15 15 1000
BB
Tabel 1. Jenis dan Dosis OAT
Panduan OAT
Pengobatan tuberculosis dibagi menjadi:
1. TB paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto toraks: lesi luas
Panduan obat yang dianjurkan: 2 RHZE / 4 RH
Atau 2 RHZE / 6 HE
Atau 2 RHZE / 4 R3H3
Panduan ini dianjurkan untuk:
a. TB paru BTA (+), kasus baru
b. TB paru BTA (-), dengan gambaran radiologi lesi luas (termasuk luluh paru). Bila
ada fasilitas biakan dan uji resistensi, pengobatan disesuaikan dengan hasil uji
resistensi
2. TB Paru (kasus baru), BTA negatif, pada foto toraks: lesi minimal
Panduan obat yang dianjurkan: 2 RHZE / 4 RH
Atau 6 RHE
Atau 2 RHZE / 4 R3H3
3. TB paru kasus kambuh
Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan
sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan
obat RHE selama 5 bulan

22
4. TB paru kasus gagal pengobatan
Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh paduan: 3-6
bulan kanamisin, ofloksasin, etionamid, sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan ofloksasin,
etionamid, sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan pada fase awal dapat
diberikan 2 RHZES / 1 RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi. Bila
tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE selama 5 bulan. Dapat pula
dipertimbangkan tindakan bedah untuk mendapatkan hasil yang optimal. Sebaiknya
kasus gagal pengobatan dirujuk ke dokter spesialis paru.
5. TB paru kasus putus berobat
Pasien TB paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan
kriteria sebagai berikut:
a. Berobat > 4 bulan
1) BTA saat ini (-)
Klinis dan radiologi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT
dihentikan. Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk
memastikan diagnosis TB dengan mempertimbangkan juga kemungkinan
penyakit paru lain. Bila terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan
paduan obat yang lebih kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama
2) BTA saat ini (+)
Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat dan jangka
waktu pengobatan yang lebih lama.
b. Berobat < 4bulan
1) Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih
kuat dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama
2) Bila BTA negatif, gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan diteruskan
Jika memungkinkan seharusnya diperiksa uji resistensi terhadap OAT
6. TB paru kasus kronik
a. Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan
RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi
(minimal terdapat 4 macam OAT yang masih sensitif) ditambah dengan obat lini 2
seperti kuinolon, betalaktam, makrolid dll. Pengobatan minimal 18 bulan.

23
b. Jika tidak mampu dapat diberikan INH seumur hidup
c. Pertimbangkan pembedahan untuk meningkatkan kemungkinan penyembuhan
d. Kasus TB paru kronik perlu dirujuk ke dokter spesialis paru

Kategori Kasus Paduan obat yang diajurkan Keterangan


I - TB paru BTA +, 2 RHZE / 4 RH atau

BTA - , lesi 2 RHZE / 6 HE


luas
*2RHZE / 4R3H3

II - Kambuh -RHZES / 1RHZE / sesuai hasil Bila


uji resistensi atau 2RHZES / streptomisin
-Gagal pengobatan
1RHZE / 5 RHE alergi, dapat
diganti
3-6 kanamisin, ofloksasin,
kanamisin
etionamid, sikloserin / 15-18
ofloksasin, etionamid, sikloserin
atau 2RHZES / 1RHZE / 5RHE
II - TB paru putus Sesuai lama pengobatan
berobat sebelumnya, lama berhenti minum
obat dan keadaan klinis,
bakteriologi dan radiologi saat ini
(lihat uraiannya) atau

*2RHZES / 1RHZE / 5R3H3E3


III -TB paru BTA 2 RHZE / 4 RH atau
neg. lesi minimal
6 RHE atau

*2RHZE /4 R3H3
IV - Kronik RHZES / sesuai hasil uji resistensi
(minimal OAT yang sensitif) +

24
obat lini 2 (pengobatan minimal
18 bulan)
IV - MDR TB Sesuai uji resistensi + OAT lini 2
atau H seumur hidup

Tabel 2. Ringkasan paduan obat


Efek Samping OAT
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun
sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan
terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek samping yang
terjadi dapat ringan atau berat, bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat
simptomatis maka pemberian OAT dapat dilanjutkan.
1. Isoniazid (INH)
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping.
Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan
kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.
Efek samping yang terjadi dapat ringan atau berat (terlihat pada tabel 4), bila efek
samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simptomatis maka pemberian OAT
dapat dilanjutkan
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan
simptomatis ialah :
 Sindrom flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang
 Sindrom perut berupa sakit perut, mual, tidak nafsu makan, muntah kadang-
kadang diare
 Sindrom kulit seperti gatal-gatal kemerahan

Efek samping yang berat tetapi jarang terjadi ialah:


 Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut OAT harus distop dulu
dan penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus

25
 Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari
gejala ini terjadi, rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi
walaupun gejalanya telah menghilang
 Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak napas
Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata dan
air liur. Warna merah tersebut terjadi karena proses metabolisme obat dan tidak
berbahaya. Hal ini harus diberitahukan kepada pasien agar mereka mengerti dan tidak
perlu khawatir.
3. Pirazinamid
Efek samping utama ialah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB
pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-
kadang dapat menyebabkan serangan arthritis Gout, hal ini kemungkinan disebabkan
berkurangnya ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi
demam, mual, kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya
ketajaman, buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan
okuler tersebut tergantung pada dosis yang dipakai, jarang sekali terjadi bila dosisnya
15-25 mg/kg BB perhari atau 30 mg/kg BB yang diberikan 3 kali seminggu.
Gangguan penglihatan akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat
dihentikan. Sebaiknya etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan
okuler sulit untuk dideteksi.
5. Streptomisin
Efek samping utama adalah kerusakan syaraf kedelapan yang berkaitan dengan
keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan meningkat
seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko tersebut
akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek
samping yang terlihat ialah telinga mendenging (tinitus), pusing dan kehilangan
keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau
dosisnya dikurangi 0,25gr. Jika pengobatan diteruskan maka kerusakan alat
keseimbangan makin parah dan menetap (kehilangan keseimbangan dan tuli).

26
Reaksi hipersensitiviti kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai
sakit kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan
(jarang terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat
terjadi segera setelah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat
dikurangi 0,25gr.
Streptomisin dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada
perempuan hamil sebab dapat merusak syaraf pendengaran janin.

Efek samping Kemungkinan Tatalaksana


Penyebab
Minor OAT diteruskan
Tidak nafsu makan, mual, sakit perut Rifampisin Obat diminum malam
sebelum tidur
Nyeri sendi Pyrazinamid Beri aspirin /allopurinol
Kesemutan s/d rasa terbakar di kaki INH Beri vitamin B6
(piridoksin) 1 x 100 mg
perhari
Warna kemerahan pada air seni Rifampisin Beri penjelasan, tidak
perlu diberi apa-apa
Mayor Hentikan obat
Gatal dan Semua jenis OAT Beri antihistamin dan
kemerahan dievaluasi ketat
pada kulit
Tuli Streptomisin Streptomisin dihentikan
Gangguan Streptomisin Streptomisin dihentikan
keseimbangan
(vertigo dan
nistagmus)
Ikterik / Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT
Hepatitis sampai ikterik
Imbas Obat menghilang dan boleh
(penyebab lain diberikan hepatoprotektor
disingkirkan)
Muntah dan Sebagian besar OAT Hentikan semua OAT
confusion dan lakukan uji fungsi
(suspected hati
drug-induced
pre-icteric
hepatitis)
Gangguan Etambutol Hentikan etambutol
penglihatan

27
Kelainan Rifampisin Hentikan rifampisin
sistemik,
termasuk syok
dan purpura
Tabel 3. Efek Samping OAT dan Penatalaksanaannya

Pengobatan Suportif / Simptomatik


Pada pengobatan pasien TB perlu diperhatikan keadaan klinisnya. Bila keadaan klinis baik
dan tidak ada indikasi rawat, pasien dapat dibeikan rawat jalan. Selain OAT kadang perlu
pengobatan tambahan atau suportif/simptomatis untuk meningkatkan daya tahan tubuh atau
mengatasi gejala/keluhan
1. Pasien rawat jalan
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin
tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk pasien tuberkulosis,
kecuali untuk penyakit komorbidnya)
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau
keluhan lain
2. Pasien rawat inap
Indikasi rawat inap:
 TB paru disertai keadaan / komplikasi sbb:
a. Batuk darah massif
b. Keadaan umum buruk
c. Pneumotorak
d. Empiema
e. Efusi pleura massif / bilateral
f. Sesak napas berat (bukan karena efusi pleura)
TB di luar paru yang mengancam jiwa
a. TB paru milier
b. Meningitis TB
Pengobatan suportif / simptomatis yang diberikan sesuai dengan keadaan klinis dan
indikasi rawat

28
Terapi Pembedahan
Indikasi operasi:
1. Indikasi mutlak
a. Semua pasien yang telah mendapat OAT adekuat tetetapi dahak tetap positif
b. Pasien batuk darah yang masif tidak dapat diatasi dengan cara konservatif
c. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara
konservatif
2. Indikasi Relatif
a. Pasien dengan dahak negatif dengan batuk darah berulang
b. Kerusakan satu paru atau lobus dengan keluhan
c. Sisa kaviti yang menetap

Tindakan invasif (selain pembedahan)


1. Bronkoskopi
2. Punksi pleura
3. Pemasangan WSD (water sealed drainage)

Kriteria Sembuh
1. BTA mikroskopik negatif 2 kali (pada akhir fase intensif dan akhir pengobatan) dan
telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
2. Pada foto thoraks, gambaran radiologik serial tetap sama / perbaikan
3. Bila ada fasilitas biakan, maka kriteria ditambah biakan negatif

Evaluasi Pengobatan
Evaluasi pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek samping obat,
serta evaluasi keteraturan berobat
Evaluasi Klinik
1. Pasien dievaluasi setiap 2minggu pada 1 bulan pertama pengobatan selanjutnya setiap
1 bulan
2. Evaluasi : respons pengobatan dan ada tidaknya efek samping obat serta ada tidaknya
komplikasi penyakit
3. Evaluasi klinis meliputi keluhan , berat badan, pemeriksaan fisik

29
Evaluasi bakteriologik (0 – 2 – 6 / 9 bulan pengobatan)
1. Tujuan untuk mendeteksi ada tidaknya konversi dahak
2. Pemeriksaan & evaluasi pemeriksaan mikroskopik
 Sebelum pengobatan dimulai
 Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
 Pada akhir pengobatan
3. Bila ada fasilitas biakan : dilakukan pemeriksaan biakan dan uji resistensi

Evaluasi radiologi (0 – 2 – 6 / 9 bulan pengobatan)


1. Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah
lengkap
2. Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah ,
serta asam urat untukdata dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan
3. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid
4. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol (bila ada keluhan)
5. Pasien yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan audiometri
(bila ada keluhan)
6. Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal
tersebut. Yang paling penting adalah evaluasi klinis kemungkinan terjadi efek
samping obat. Bila pada evaluasi klinis dicurigai terdapat efek samping, maka
dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek
samping obat sesuai pedoman

Evaluasi keteraturan obat


1. Yang tidak kalah pentingnya adalah evaluasi keteraturan berobat dan diminum /
tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau
pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat. Penyuluhan atau pendidikan
dapat diberikan kepada pasien, keluarga dan lingkungannya
2. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah resistensi

30
Kriteria sembuh
1. BTA mikroskopis negatif dua kali (pada akhir fase intensifdan akhir pengobatan) dan
telah mendapatkan pengobatan yang adekuat
2. Pada foto toraks, gambaran radiologi serial tetap sama/ perbaikan
3. Bila ada fasiliti biakan, maka kriteria ditambah biakan negative

Evaluasi pasien yang telah sembuh


Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap dievaluasi minimal dalam 2
tahun pertama setelah sembuh, hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan. Hal
yang dievaluasi adalah mikroskopis BTA dahak dan foto toraks. Mikroskopis BTA dahak
3,6,12 dan 24 bulan (sesuai indikasi/bila ada gejala)setelah dinyatakan sembuh. Evaluasi
foto toraks 6, 12, 24 bulan setelah dinyatakan sembuh (bila ada kecurigaan TB kambuh).
TATALAKSANA PADA KEADAAN KHUSUS
A. TB Milier
Panduan obat: 2 RHZE / 4 RH
 Rawat inap
 Pada keadaan khusus (sakit berat), tergantung keadaan klinik, radiologik dan
evaluasi pengobatan, maka pengobatan lanjutan dapat diperpanjang sampai dengan
7 bulan 2 RHZE / 7 RH
 Pemberian kortikosteroid tidak rutin, hanya diberikan pada keadaan:
- Tanda / gejala meningitis
- Sesak napas
- Tanda / gejala toksik
- Demam tinggi
 Kortikosteroid: prednison 30 – 40 mghari, dosis diturunkan 5 – 10 mg setiap 5 – 7
hari, lama pemberian selama 4 – 6 minggu

B. Pleuritis Eksudativa TB (Efusi Pleura TB)


Panduan obat: 2 RHZE / 4 RH
 Evaluasi cairan, dikeluarkan seoptimal mungkin, sesuai keadaan penderita dan
berikan kortikosteroid

31
 Dosis steroid: predniso 30 – 40 mg/hari, diturunkan 5 – 10 mg setiap 5 – 7 hari,
pemberian selama 3 – 4 minggu
 Hati-hati pemberian kortikosteroid pada TB dengan lesi luas dan DM. ulagan
evaluasi cairan bila diperlukan

C. TB Ekstraparu
Panduan obat: 2 RHZE / 10 RH
Prinsip pengobatan sama dengan TB paru, misalnya pengobatan untuk TB tulag, TB
sendi dan TB kelenjar, meningitis pada bay dan anak lama pengobatan 12 bulan. Pada
TB ekstraparu lebih sering dilakukan tindakan bedah, dengan tujuan untuk:
 Mendapatkan bahan / spesimen untuk pemeriksaan (diagnosis)
 Pengobatan:
- Perikarditis konstriktiva
- Kompresi medula spinalis pada penyakit Pott’s

Pemberian kortikosteroid diperuntukkan pada perikarditis TB untuk mencegah


konstriksi jantung dan pada meningitis TB untuk menurunkan gejala sisa neurologik.
D. TB Paru dengan Diabetes Melitus (DM)
Panduan obat: - 2 RHZ (E-S) / 4 RH dengan regulasi baik / gula darah
terkontrol
- Bila gula darah tidak terkontrol, fase lanjutan 7 bulan: 2 RHZ
(E- S) / 7 RH
 DM harus dikontrol
 Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efek samping ke mata: sedangkan
penderita DM sering mengalami komplikasi kelainan pada mata
 Perlu diperhatikan penggunaan rifampisin akan mengurangi efektivitas obat oral
anti diabetes (sulfonil urea), sehingga dosisnya perlu ditingkatkan
 Perlu kontrol / pengawasan sesudah pengobatan selesai, untuk mengontrol /
mendeteksi dini bila terjadi kekambuhan

32
E. TB Paru dengan HIV / AIDS
Panduan obat: 2 RHZE / RH diberikan sampai 6 – 9 bulan setelah konversi dahak
 Menurut WHO, panduan obat dan lama pengobatan sama dengan TB paru tanpa
HIV / AIDS
 Jangan diberikan Thiacetazon karena dapat menimbulkan toksik yang hebat pada
kulit
 Obat suntik kalau dapat dihindari kecuali jika sterilisasinya terjamin
 Jangan lakukan desensitasi OAT pada penderita HIV / AIDS (misal: INH,
rifampisin) karena mengakibatkan toksik yang serius pada hati
 INH diberikan terus-menerus seumur hidup
 Bila terjadi MDR, pengobatan sesuai uji resistensi

F. TB Paru pada Kehamilan dan Menyusui


 Tidak ada indikasi pengguguran pada penderita TB pada kehamilan
 OAT tetap dapat diberikan kecuali streptomisin karena efek samping streptomisin
pada gangguan pendengaran janin
 Di Amerika, OAT tetap diberikan kecuali streptomisin dan pirazinamid untuk
wanita hamil
 Pada penderita TB dengan menyusui, OAT & ASI tetap dapat diberikan, walaupun
beberapa OAT dapat masuk ke dalam ASI, akan tetapi konsentrasinya kecil dan
tidak menyebabkan toksik pada bayi
 Wanita menyusui yang mendapat pengobatan OAT dan bayinya juga mendapat
pengobatan OAT dianjurkan tidak menyusui bayinya, agar bayi tidak mendapat
dosis berlebihan
 Pada wanita usia produktif yang mendapat pengobatan TB dengan rifampisin
dianjurkan untuk tidak menggunakan kontrasepsi hormonal, karena dapat terjadi
interaksi obat yang menyebabkan efektivitas obat kontrasepsi hormonal berkurang

33
G. TB paru dan Gagal Ginjal
 Jangan menggunakan OAT streptomisin, kanamisin dan capreomycin
 Sebaiknya hindari penggunaan etambutol karena waktu paruhnya memanjang dan
terjadi akumulasi etambutol. Dalam keadaan sangat diperlukan, etambutol dapat
diberikan dengan pengawasan kreatinin
 Sedapat mungkin dosis disesuaikan dengan faal ginjal (CCT, ureum, kreatinin)
 Rujuk ke ahli paru

H. TB paru denga Kelainan Hati


Panduan obat: 2 SHRE / 6 RH atau 2 SHE / 10 HE
 Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati
sebelum pengobatan
 Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh digunakan
 Pada penderita hepatitis akut dan atau klinik ikterik, sebaiknya OAT ditunda
sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan sangat
diperlukan dapat diberikan S dan E maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya
menyembuh dan dilanjutkan dengan 6 RH
 Sebaiknya rujuk ke ahli paru

I. Hepatitis Imbas Obat


 Dikenal sebagai kelainan hati akibat penggunaan obat-obat hepatotoksik (drug
induced hepatitis)
 Penatalaksanaan:
- Bila klinis (+) (ikterik +, gejala mual muntah +)  OAT stop
- Bila klinis (-), laboratorium terdapat kelainan:
Bilirubin > 2  OAT stop
SGOT, SGPT > 5 kali  OAT stop
SGOT, SGPT > 3 kali, gejala (+)  OAT stop
SGOT, SGPT > 3 kali, gejala (-)  teruskan pengobata dengan
pengawasan

34
Panduan OAT yang dianjurkan:
 Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
 Setelah itu, monitor klinis dan laboratorium. Bila klinis dan laboratorium normal
kembali (bilirubin, SGOT, SGPT), maka tambahkan INH desensitasi sampai dengan
dosis penuh (300 mg). selama itu perhatikan klinis dan periksa laboratorium saat INH
dosis penuh, bila klinis dan laboratorium normal, tambahkan rifampisin, desensitasi
sampai dengan doss penuh (sesuai berat badah). Sehingga panduan obat menjadi
RHES
 Pirazinamid tidak boleh digunakan lagi.

KOMPLIKASI
1. Batuk darah
2. Pneumotoraks
3. Luluh paru
4. Gagal napas
5. Gagal jantung
6. Efusi pleura

PROGNOSIS
Secara umum angka kesembuhan dapat mencapai 96-99% dengan pengobatan yang
baik. Namun angka rekurensi tuberculosis dapat mencapai 0-14% yang biasanya muncul 1
tahun setelah pengobatan TB selesai terutama di negara dengan insidensi TB yang rendah.
Reinfeksi lebih sering terjadi pada pasien di negara dengan insidensi yang tinggi. Prognosis
biasanya baik tergantung pada selesainya pengobatan. Prognosis dipengaruhi oleh
penyebaran infeksi apakah telah menyebar ekstra paru, immunokompeten. Usia tua serta
riwayat pengobatan sebelumnya. Indeks massa tubuh yang melambangkan status gizi juga
menjadi faktor yang mempengaruhi prognosis.
RESISTENSI GANDA (MULTI DRUG RESISTANCE / MDR)
Resistensi ganda menunjukkan M. tuberkuloss resisten terhadap rifampisin dan INH
dengan atau tanpa OAT lainnya. Secara umum resistensi terhadap OAT dibagi menjadi:
1. Resistensi primer: apabila penderita sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan TB

35
2. Resistensi inisial: apabila kita tidak tahu pasti apakah penderitanya sudah pernah ada
riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak
3. Resistensi sekunder: apabila penderita telah punya riwayat pengobatan sebelumnya

Penyebab terjadinya resistensi terhadap OAT yaitu:


1. Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis
2. Penggunaan panduan obat tidak adekuat, baik karena jenis obatnya yang tidak tepat
misalnya hanya memberikan INH dan etambutol pada awal pengobatan, maupun karena di
lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yag tinggi terhadap obat yang digunakan,
misalnya memberikan rifampisin dan INH saja pada daerah dengan resistensi terhadap
kedua obat tersebut sudah cukup tinggi
3. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu stop,
setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan mendapat obat kembali selama
dua atau tiga bulan lalu stop lagi, demikian seterusnya
4. Fenomena addition syndrome, yaitu suatu obat ditambahkan dalam suatu panduan
pengobatan yag tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten
pada panduan yang pertama, maka “penambahan” satu macam obat hanya akan menambah
panjangnya daftar obat yang resistem
5. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik, sehingga
mengganggu bioavailabilitas obat
6. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah kadang terhenti
pengirimannya sampai berbulan-bulan
7. Pemakaian OAT cukup lama, sehingga kadang menimbulkan kebosanan
8. Pengetahuan penderita kurang tentang penyakit TB

Pengobatan TB MDR
 Pengobatan MDR-TB hingga saat ini belum ada panduan pengobatan yang distandarisasi
untuk penderita MDR-TB. Pemberian pengobatan pada dasarnya tailor made, bergantung
dari hasil uji resstensi dengan menggunakan minimal 2 – 3 OAT yang masih sensitif dan
obat tambahan lain yang dapat digunakan yaitu golongan fluorokuinolon (ofloksasin dan
siprofloksasin), aminoglikosida (amikasin, kanamisin dan kapreomisin), etionamid,
sikloserin, klofamizin, amoksilin + asam klavulanat. Saat ini panduan yang dianjurkan

36
OAT yang masih sensitif minimal 2 – 3 OAT dari obat lini 1 ditambah dengan obat lain
(lini 2) golongan kuinolon yaitu ciprofloksasin dosis 2 x 500 mg atau ofloksasi 1 x 400 mg.
 Pengobatan terhadap tuberkulosis resisten ganda sangat sulit dan memerlukan waktu yang
lama yaitu minimal 12 bulan, bahkan bisa sampai 24 bulan
 Hasil pengobatan terhadap ressten ganda tuberkulosis ini kurang menggembirakan. Pada
penderita non-HIV, konversi hanya didapat sekitar 50% kasus, sedangkan response rate
didapat pada 65% kasus dan kesembuhan pada 56% kasus
 Pemberian OAT yang benar dan terawasi secara baik merupakan salah satu kunci penting
mencegah dan mengatasi masalah ressten ganda. Konsep Directly Observed Treatment
Short Course (DOTS) merupakan salah satu upaya penting dalam menjamin keteraturan
berobat penderita dan menanggulangi masalah tuberkulosis khususnya resisten ganda
 Prioritas yang dianjurkan bukan pengobatan MDR, tetapi pencegahan MDR-TB

37
BAB III

KESIMPULAN
Secara umum angka kesembuhan dapat mencapai 96-99% dengan pengobatan yang baik.
Namun angka rekurensi tuberculosis dapat mencapai 0-14% yang biasanya muncul 1 tahun setelah
pengobatan TB selesai terutama di negara dengan insidensi TB yang rendah. Reinfeksi lebih sering
terjadi pada pasien di negara dengan insidensi yang tinggi. Prognosis biasanya baik tergantung
pada selesainya pengobatan. Prognosis dipengaruhi oleh penyebaran infeksi apakah telah
menyebar ekstra paru, immunokompeten. Usia tua serta riwayat pengobatan sebelumnya. Indeks
massa tubuh yang melambangkan status gizi juga menjadi faktor yang mempengaruhi prognosis.

38
DAFTAR PUSTAKA

1. Badan Pusat Statistik,2017. Statistik Kesejahteraan Rakyat 2017, Jakarta.


2. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta, 2007; 3-4.101,802
3. Eddy, PS. Sejarah dan Epidemiologi Penyakit Tuberkulosis. Simposium Tuberkulosis.
Surabaya, Des. 1982 : 11-20.
4. Raviglione MC, Snider DE, Kochi Arata, Global Epidemiology of Tuberculosis JAMA
1995 ; 273 : 220-26.
5. WHO.TB A Clinical manual for South East Asia. Geneva, 1997; 19-23.
6. Aditama T.Y. Tuberculosis Situation in Indonesia, Singapore, Brunei Darussalam and in
Philippines, Cermin Dunia Kedokteran 1993 ; 63 : 3 –7.
7. Kementerian Kesehatan RI, 2016. National Strategic Plan of Tuberculosis Control 2016-
2020, Jakarta.
8. Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2017 tentang Sustainability Development Goals.
9. Hudoyo, A. Penerapan Strategi DOTS bagi Penderita TB, Dalam Simposium dan Semiloka
TB Terintegrasi. RSUP Persahabatan, Jakarta, 1999.
10. Broekmans, JF. Success is possible it best has to be fought for, World Health Forum An
International Journal of Health Development. WHO, Geneva, 1997 ; 18 : 243 – 47.
11. Bing, K. Diagnostik dan klasifikasi tuberkulosis paru. RTD Diagnosis dan Pengobatan
Mutakhir Tuberkulosis Pam Semarang, Mei 1989 1-6.
12. Suryatenggara, W. Peranan pyrazinamide dalam pengobatan tuberkulosis Yogyakarta 1984
: 43-55. paru jangka pendek. Simposium Pengobatan Mutakhir Tuberkulosis Paru Bandung,
57-63.
13. PDPI. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia, Jakarta. 2002.
14. Kementerian Kesehatan RI, 2016. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 67 Tahun 2016
tentang Penanggulangan Tuberkulosis, Jakarta. 66.610
15. Kementerian Kesehatan RI, 2015. Survei Prevalensi Tuberkulosis 2013-2014, Jakarta.
16. WHO, 2017. Global Tuberculosis Report 2017, Jenewa.
17. www.who.int/gho/mortality_burden_disease/cause_death/top10/en/

39

Anda mungkin juga menyukai