Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

LIMFOMA HODGKIN DAN NON-HODGKIN

Disusun oleh :
Dandy Abdi Cita Gemilang
NPM 1102015051

Pembimbing :
dr. Kesuma Mulya, Sp.Rad

KEPANITRAAN KLINIK ILMU NEUROLOGI


PERIODE 2 SEPTEMBER - 5 OKTOBER 2019
RSUD CILEGON

i
DAFTAR ISI
Daftar isi.......................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................2
2.1 Definisi .............................................................................................2
2.2 Klasifikasi.........................................................................................2
2.3 Etiologi..............................................................................................9
2.4 Anatomi Sistem Limfatik.................................................................12
2.5 Patofisiologi.....................................................................................13
2.6 Gejala Klinis Umum........................................................................15
2.7 Diagnosis ........................................................................................16
2.8 Penatalaksanaan...............................................................................23
2.9 Komplikasi.......................................................................................27
2.10 Prognosis..........................................................................................27
BAB III KESIMPULAN............................................................................29
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................30

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Limfoma adalah kanker yang berasal dari jaringan limfoid mencakup sistem
limfatik dan imunitas tubuh. Tumor ini bersifat heterogen, ditandai dengan kelainan
umum yaitu pembesaran kelenjar limfe diikuti splenomegali, hepatomegali dan
kelainan sumsum tulang. Tumor ini dapat juga dijumpai ekstra nodul yaitu diluar
sistem limfatik dan imunitas antara lain pada traktus digestivus, paru, kulit dan organ
lain.
Di Indonesia sendiri, LNH bersama-sama dengan LH dan leukemia menduduki
urutan keenam tersering. Sampai saat ini belum diketahui sepenuhnya mengapa angka
kejadian penyakit ini terus meningkat. Adanya hubungan yang erat antara penyakit
AIDS dan penyakit ini memperkuat dugaan adanya hubungan antara kejadian limfoma
dengan kejadian infeksi sebelumnya.
Secara umum, limfoma diklasifikasikan menjadi dua, yaitu limfoma hodgkin
dan limfoma non-hodgkin. Klasifikasi ini dibuat berdasarkan perbedaan histopatologis
dari kedua penyakit di atas, di mana pada limfoma hodgkin terdapat suatu gambaran
yang khas yaitu adanya sel Reed-Sternberg.
Sebagian besar limfoma ditemukan pada stadium lanjut yang merupakan
penyulit dalam terapi kuratif. Penemuan penyakit pada stadium awal masih merupakan
faktor penting dalam terapi kuratif walaupun tersedia berbagai jenis kemoterapi dan
radioterapi. Akhir-akhir ini, angka harapan hidup 5 tahun meningkat dan bahkan
sembuh berkat manajemen tumor yang tepat dan tersedianya kemoterapi dan
radioterapi.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Limfoma atau limfoma maligna adalah sekelompok kanker di mana sel-sel
limfatik menjadi abnormal dan mulai tumbuh secara tidak terkontrol. Karena jaringan
limfe terdapat di sebagian besar tubuh manusia, maka pertumbuhan limfoma dapat
dimulai dari organ apapun.

2.2 Klasifikasi
Berdasarkan gambaran histopatologisnya, limfoma dibedakan menjadi dua
jenis, yaitu:
a. Limfoma Hodgkin (LH)
Diagnosis LH berdasarkan pemeriksaan histologik, yang dalam hal ini adanya
sel Reed-Sternberg (kadang-kadang sel Hodgkin varian mononuklear) dengan
gambaran dasar yang cocok merupakan hal yang menentukan sistem klasifikasi
histologik, sebagaimana lebih dari 25 tahun yang lalu telah dikembangkan oleh
Lukes dan Butler, masih selalu berlaku sebagai dasar pembagian penyakit Hodgkin.
Limfoma jenis ini memiliki dua tipe. yaitu tipe klasik dan tipe nodular
predominan limfosit, di mana limfoma hodgkin tipe klasik memiliki empat subtipe
menurut Rye, antara lain:

2
Gambar 1 Sel Reed-Stenberg
1. LH tipe nodular sclerosis
LH tipe nodular sclerosing adalah tipe LH yang paling sering dijumpai, baik
pada penderita pria ataupun wanita, terutama pada para remaja dan dewasa muda. LH
tipe ini memiliki kecenderungan predileksi pada kelenjar getah bening yang terletak di
supraklavikula, servikal dan mediastinum. Karakteristik histologik dari LH tipe
nodular sclerosing adalah (1) adanya variasi dari sel Reed Stenberg yaitu sel lakuna
yang merupakan sebuah sel besar yang memiliki sebuah inti multilobus, anak inti yang
kecil dan multipel serta sitoplasma yang melimpah dan pucat dan (2) adanya fibrosis
dan sklerosis yang luas dengan pita kolagen yang membagi jaringan limfoid ke dalam

3
nodul-nodul berbatas dengan infiltrat seluler yang mengandung limfosit, eosinofil,
histiosit dan sel lakuna.

Gambar 2 Gambaran Histopatologik pada LH Tipe Nodular Sclerosis

2. LH tipe mixed cellularity


LH tipe mixed cellularity adalah tipe LH yang paling sering terjadi pada anak-
anak dan penderita yang berusia lebih dari atau sama dengan 50. Pria lebih dominan
untuk menjadi penderita dibandingkan dengan wanita dan LH tipe ini memiliki
kecenderungan predileksi pada kelenjar getah bening yang terletak di abdomen dan
limpa. Karakteristik histologik dari LH tipe mixed cellularity adalah sel Reed Sternberg
yang berlimpah di dalam infiltrat inflamasi heterogen yang mengandung limfosit
berukuran kecil, eosinofil, sel plasma dan makrofag. LH tipe ini juga yang paling sering
menunjukkan manifestasi sistemik dibandingkan dengan tipe-tipe lainnya.

4
Gambar 3 Gambaran Histopatologik pada LH Tipe Mixed Cellularity

3. LH tipe lymphocyte depleted


LH tipe lymphocyte depleted merupakan tipe LH yang paling jarang dijumpai
dan hanya mencangkup kurang dari 1% dari keseluruhan kasus LH namun merupakan
tipe LH yang paling agresif dibandingkan dengan tipe LH lainnya. LH tipe ini paling
sering terjadi pada penderita dengan usia yang sudah lanjut dan seringkali dihubungkan
dengan infeksi virus HIV/AIDS. Infiltrat pada LH tipe ini lebih sering tampak difus
dan hiposeluler sedangkan sel Reed Stern- berg hadir dalam jumlah yang besar dan
bentuk yang bervariasi. LH tipe lymphocyte depleted dapat dibagi menjadi subtipe
retikuler dengan sel Reed Sternberg yang dominan dan sedikit limfosit serta subtipe
fibrosis difus di mana kelenjar getah bening digantikan oleh jaringan ikat yang tidak
teratur dan dijumpai sedikit sel limfosit dan sel Reed Sternberg. 


4. LH tipe lymphocyte predominant


LH tipe nodular lymphocyte predominant mencangkup sekitar 5% dari
keseluruhan kasus LH. Karakteristik histologik dari LH tipe ini yaitu adanya variasi sel
Reed Sternberg limfohistiositik yang memiliki inti besar multilobus yang halus dan
menyerupai gambaran berondong jagung (pop-corn). Sel Reed Sternberg biasanya

5
ditemukan di dalam nodul besar yang sebagian besar dipenuhi oleh sel B limfosit kecil
yang bercampur dengan makrofag sedangkan sel-sel reaktif lainnya seperti eosinofil,
neutrophil dan sel plasma jarang ditemukan.

Gambar 4 Gambaran Histopatologik pada LH Tipe Lymphocyte Predominant

b. Limfoma Non-Hodgkin (LNH)


Limfoma non-Hodgkin merupakan satu golongan penyakit yang heterogen
dengan spektrum yang bervariasi dari tumor yang sangat agresif sampai kelainan
indolen dengan perjalanan lama dan tidak aktif.
Limfoma non-Hodgkin berdasarkan atas asal limfositnya dibagi menjadi 2,
yaitu NHL limfosit B yang nantinya akan berdeferensiasi menjadi sel plasma yang
membentuk antibodi (prevalensinya 70%) dan NHL limfosit T yang nantinya akan
berdeferensiasi menjadi bentuk aktif.

6
Tabel 2: Klasifikasi Revised American European Lymphoma (REAL)

Perbedaan antara LH dengan LNH ditandai dengan adanya sel Reed-Sternberg


yang bercampur dengan infiltrat sel radang yang bervariasi. Sel Reed-Sternberg adalah
suatu sel besar berdiameter 15-45 mm, sering berinti ganda (binucleated), berlobus dua
(bilobed), atau berinti banyak (multinucleated) dengan sitoplasma amfofilik yang
sangat banyak. Tampak jelas di dalam inti sel adanya anak inti yang besar seperti
inklusi dan seperti “mata burung hantu” (owl-eyes), yang biasanya dikelilingi suatu
halo yang bening.

7
(a) (b)
Gambar 5 Gambaran histopatologis (a) Limfoma Hodgkin dengan Sel Reed Sternberg
dan (b) Limfoma Non Hodgkin

Gambar 6. Penentuan Stadium Limfoma berdasarkan Klasifikasi Ann Arbor

8
Tabel 3: Klasifikasi Limfoma Menurut Ann Arbor yang telah dimodifikasi oleh
Costwell

Keterlibatan/Penampakan
Stadium
I Kanker mengenai 1 regio kelenjar getah bening atau 1 organ
ekstralimfatik (IE)
II Kanker mengenai lebih dari 2 regio yang berdekatan atau 2 regio
yang letaknya berjauhan tapi masih dalam sisi diafragma yang sama
(IIE)
III Kanker telah mengenai kelenjar getah bening pada 2 sisi diafragma
ditambah dengan organ ekstralimfatik (IIIE) atau limpa (IIIES)
IV Kanker bersifat difus dan telah mengenai 1 atau lebih organ
ekstralimfatik
Suffix
A Tanpa gejala B
B Terdapat salah satu gejala di bawah ini:
• Penurunan BB lebih dari 10% dalam kurun waktu 6 bulan sebelum
diagnosis ditegakkan yang tidak diketahui penyebabnya
• Demam intermitten > 38° C
• Berkeringat di malam hari
X Bulky tumor yang merupakan massa tunggal dengan diameter > 10
cm, atau , massa mediastinum dengan ukuran > 1/3 dari diameter
transthoracal maximum pada foto polos dada PA

2.3 Etiologi
Penyebab limfoma hodgkin dan non-hodgkin sampai saat ini belum diketahui secara
pasti. Beberapa hal yang diduga berperan sebagai penyebab penyakit ini antara lain:

9
a. Infeksi (EBV, HTLV-1, HCV, KSHV, dan Helicobacter pylori)
b. Faktor lingkungan seperti pajanan bahan kimia (pestisida, herbisida, bahan
kimia organik, dan lain-lain), kemoterapi, dan radiasi.
c. Inflamasi kronis karena penyakit autoimun
d. Faktor genetik
Epidemiologi LH menunjukkan kemungkinan adanya peran infeksi virus yang
berlangsung (abnormal) pada umur anak. Misalnya, negara non industri, dimana terjadi
pemaparan terhadap virus yang umum terdapat pada umur lebih muda, puncak
insidensi pertama LH juga terjadi jauh lebih dini (antara 5 dan 15 tahun) daripada di
negara-negara Barat. Dalam hal pemaparan terhadap virus umum terjadi belakangan,
(misalnya pada keluarga kecil, status ekonomi sosial yang lebih tinggi) insidensi LH
relatif lebih tinggi. Ini dapat menunjukkan bahwa mengalami infeksi virus tertentu
mempunyai efek predisposisi, yang terutama berlaku kalau infeksinya timbul pada usia
lebih belakangan. Ada petunjuk bahwa virus Epstein-Barr (EBV) mungkin memegang
peran pada patogenesis LH. Dengan menggunakan teknik biologi molekular pada
persentase yang cukup tinggi kasus LH (kecuali bentuk kaya limfosit) dapat
ditunjukkan adanya DNA EBV dalam sel Reed-Sternberg. Juga dapat ditunjukkan
produksi protein EBV tertentu. Tetapi, apakah ada hubungan kausal langsung antara
infeksi EBV dan terjadinya morbus Hodgkin, ataukah ada kausa bersama untuk kedua
fenomena tanpa hubungan kausa langsung (misalnya imunodefisiensi relatif) masih
belum jelas.
Pada tipe NHL tertentu, infeksi virus tampaknya memegang peran. Yang paling banyak
diketahui adalah peran virus Epstein-Barr (EBV). Kaitan langsung untuk terjadinya
NHL terdapat pada limfoma Burkitt (tipe endemik) pada anak-anak kecil di Afrika
Tengah. Dalam hal ini terdapat kerjasama infeksi EBV, infeksi malaria, dan deregulasi
onkogen karena translokasi kromosomal t (8; 14), yang menyebabkan berkembangnya
limfoma Burkitt. Juga di dunia Barat, EBV dapat ditunjukkan dalam berbagai tipe NHL
(yaitu NHL sel-B besar dan NHL sel-T). Tetapi, peran langsung EBV dalam genesis
NHL ini jauh kurang jelas daripada untuk limfoma Burkitt tipe endemik.

10
HTLV-1 adalah virus yang ada hubungannya dengan HIV-I (AIDS). Ada hubungan
dengan terjadinya limfoma sel-T dan leukemia di Jepang dan daerah Karibia. Di Eropa,
virus ini tidak atau hampir sama sekali tidak terdapat. Di samping infeksi virus
imunosupresi yang lama merupakan faktor etiologi yang lain. Ini dapat merupakan
imunodefisiensi kongenital, seperti misalnya pada ataksia, teleangiektasia, atau
kelainan akuisita, seperti pada AIDS atau pada terapi imunosupresif pada penderita
transplantasi. Pada umumnya penderita ini mendapat limfoma sel-B derajat tinggi.
Dibanding dengan tumor solid telah lebih banyak diketahui mengenai peran onkogen
dalam terjadinya NHL. Pada NHL terdapat translokasi kromosom. Yang khas di sini
adalah bahwa bagian kromosom spesifik, yang di dalamnya terlokalisasi gen reseptor
immunoglobulin atau sel T terpindah ke kromosom lain, yaitu ke tempat suatu
onkogen. Bahwa disini justru terlibat gen reseptor immunoglobulin dan sel-T bukanlah
suatu kebetulan. Dalam perkembangan dini sel-B dan T gen-gen ini mengalami proses
pengaturan kembali pada niveau DNA, dengan penyusunan gen-gen fungsional dari
berbagai komponen gen pada kromosom. Pada proses ini terjadi sementara patah
kromosom. Alih-alih terjadi perbaikan patah dalam kromosom asli malahan dapat juga
terjadi penggabungan yang keliru ke kromosom lain. Hasilnya adalah suatu translokasi.
Onkogen yang bersangkutan karena itu dapat terderegulasi dan teraktivasi. Sebagai
prototype adalah translokasi t (8; 14) tersebut di atas, dimana satu dari gen-gen rantai
berat immunoglobulin kromosom 14 tergabung ke onkogen c-myc pada kromosom 8.
Aktivasi c-myc menyebabkan proliferasi hebat. Translokasi t (8; 14) secara spesifik
terdapat pada limfoma Burkitt (endemik dan sporadik) tetapi juga pada lain-lain NHL
sel-B derajat tinggi.
Translokasi yang dapat disamakan adalah translokasi t (14; 18) yang terdapat dalam
kira-kira 85% NHL folikular sentroblastik/sentrositik (dan dalam tipe yang berasal dari
ini). Onkogen bcl-2 yang bersangkutan dengan ini menyebabkan sentrosit dalam
keadaan normal mempunyai jangka hidup sangat terbatas, dapat hidup lebih lama
karena blokade terhadap apa yang disebut kematian sel terprogram (apoptosis). Efek
ini memegang peran penting pada terjadinya tipe NHL ini. Jadi perlu dipahami bahwa

11
onkogen dapat menstimulasi proliferasi maupun menghambat kematian sel. Kedua
faktor itu dapat menimbulkan replikasi sel neoplastik.

2.4 Anatomi Sistem Limfatik


Sistem limfatik terdapat di seluruh bagian tubuh manusia, kecuali sistem saraf
pusat. Bagian terbesarnya terdapat di sumsum tulang, lien, kelenjar timus, limfonodi
dan tonsil. Organ-organ lain termasuk hepar, paru-paru, usus, jantung, dan kulit juga
mengandung jaringan limfatik.

Gambar 7 Anatomi Sistem Limfatik

12
Limfonodi berbentuk seperti ginjal atau bulat, dengan diameter sangat kecil
sampai dengan 1 inch. Limfonodi biasanya membentuk suatu kumpulan (yang terdiri
dari beberapa kelenjar) di beberapa bagian tubuh yang berbeda termasuk leher, axilla,
thorax, abdomen, pelvis, dan inguinal. Kurang lebih dua per tiga dari seluruh kelenjar
limfe dan jaringan limfatik berada di sekitar dan di dalam tractus gastrointestinal.
Pembuluh limfe besar adalah ductus thoracicus, yang berasal dari sekitar bagian
terendah vertebrae dan mengumpulkan cairan limfe dari extremitas inferior, pelvis,
abdomen, dan thorax bagian inferior. Pembuluh limfe ini berjalan melewati thorax dan
bersatu dengan vena besar di leher sebelah kiri. Ductus limfatikus dextra
mengumpulkan cairan limfe dari leher sebelah kanan, thorax, dan extremitas bagian
superior kemudian menyatu dengan vena besar pada leher kanan.

2.5 Patofisiologi
Ada empat kelompok gen yang menjadi sasaran kerusakan genetik pada sel-sel
tubuh manusia, termasuk sel-sel limfoid, yang dapat menginduksi terjadinya
keganasan. Gen-gen tersebut adalah proto-onkogen, gen supresor tumor, gen yang
mengatur apoptosis, gen yang berperan dalam perbaikan DNA.
Proto-onkogen merupakan gen seluler normal yang mempengaruhi
pertumbuhan dan diferensiasi, gen ini dapat bermutai menjadi onkogen yang
produknya dapat menyebabkan transformasi neoplastik, sedangkan gen supresor tumor
adalah gen yang dapat menekan proliferasi sel (antionkogen). Normalnya, kedua gen
ini bekerja secara sinergis sehingga proses terjadinya keganasan dapat dicegah.
Namun, jika terjadi aktivasi proto-onkogen menjadi onkogen serta terjadi inaktivasi
gen supresor tumor, maka suatu sel akan terus melakukan proliferasi tanpa henti.
Gen lain yang berperan dalam terjadinya kanker yaitu gen yang mengatur
apoptosis dan gen yang mengatur perbaikan DNA jika terjadi kerusakan. Gen yang
mengatur apoptosis membuat suatu sel mengalami kematian yang terprogram,
sehingga sel tidak dapat melakukan fungsinya lagi termasuk fungsi regenerasi. Jika gen
ini mengalami inaktivasi, maka sel-sel yang sudah tua dan seharusnya sudah mati

13
menjadi tetap hidup dan tetap bisa melaksanakan fungsi regenerasinya, sehingga
proliferasi sel menjadi berlebihan. Selain itu, gagalnya gen yang mengatur perbaikan
DNA dalam memperbaiki kerusakan DNA akan menginduksi terjadinya mutasi sel
normal menjadi sel kanker.
Diagnosis morbus Hodgkin berdasarkan pemeriksaan histologik, yang dalam
hal ini adanya sel Reed-Sternberg (kadang-kadang sel Hodgkin varian mononuklear)
dengan gambaran dasar yang cocok merupakan hal yang menentukan sistem
klasifikasi histologik, sebagaimana lebih dari 25 tahun yang lalu telah dikembangkan
oleh Lukes dan Butler, masih selalu berlaku sebagai dasar pembagian penyakit
Hodgkin.

Gambar 8 Skema Patofisiologi Terjadinya Keganasan

14
2.6 Gejala Klinis Umum
Baik tanda maupun gejala limfoma hodgkin dan limfoma non-hodgkin dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 4 Manifestasi Klinis dari Limfoma
Limfoma Hodgkin Limfoma Non-Hodgkin
• Asimtomatik limfadenopati • Asimtomatik limfadenopati
• Gejala sistemik (demam • Gejala sistemik (demam
intermitten, keringat intermitten, keringat
malam, BB turun) malam, BB turun)
Anamnesis • Nyeri dada, batuk, napas • Mudah lelah
pendek • Gejala obstruksi GI tract
• Pruritus dan Urinary tract.
• Nyeri tulang atau nyeri
punggung
• Teraba pembesaran • Melibatkan banyak kelenjar
limonodi pada satu perifer
kelompok kelenjar (cervix, • Cincin Waldeyer dan
axilla, inguinal) kelenjar mesenterik sering
• Cincin Waldeyer & terkena
kelenjar mesenterik jarang • Hepatomegali &
Pemeriksaan terkena Splenomegali
Fisik • Hepatomegali & • Massa di abdomen dan
Splenomegali testis
• Sindrom Vena Cava
Superior
• Gejala susunan saraf pusat
(degenerasi serebral dan
neuropati)

15
2.7 Diagnosis
Untuk mendiagnosis limfoma malignum pada tonsil perlu dilakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya.
Untuk anamnesis, bisa ditanyakan kepada pasien apakah mengalami keluhan-keluhan
yang telah disebutkan di bagian manifestasi klinis sebelumnya.

Pada pemeriksaan fisik dalam pemeriksaan palpasi bisa ditemukan pembesaran


kelenjar getah bening yang tidak nyeri di leher terutama supraklavikuler, aksila dan
inguinal. Mungkin lien dan hati teraba membesar.
Perlu dilakukan pemeriksaan THT secara menyeluruh untuk mencari
keterlibatan tonsil dalam penyakit limfoma malignum pada penderita. Bisa ditemukan
pembesaran tonsil unilateral atau bilateral, dan ulserasi pada palatum, tonsil, nasofaring
dan laring.
Pemeriksaan darah rutin, uji fungsi hati dan uji fungsi ginjal merupakan bagian
penting dalam pemeriksaan medis, tetapi tidak memberi keterangan tentang luas
penyakit atau keterlibatan organ spesifik. Pada pasien HL serta pada penyakit
neoplastik atau kronik lainnya mungkin ditemukan anemia normokromik normositik
derajat sedang yang berkaitan dengan penurunan kadar besi dan kapasitas ikat besi,
tetapi dengan simpanan besi yang normal atau meningkat di sumsum tulang sering
terjadi reaksi leukomoid sedang sampai berat, terutama pada pasien dengan gejala dan
biasanya menghilang dengan pengobatan. Eosinofilia absolut perifer ringan tidak
jarang ditemukan. Juga dijumpai monositosis absolut limfositopenia absolut (<1000 sel
per millimeter kubik) biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit stadium lanjut.
Telah dilakukan evaluasi terhadap banyak pemeriksaan sebagai indikator
keparahan penyakit. Sampai saat ini, laju endap darah masih merupakan pemantau
terbaik, tetapi pemeriksaan ini tidak spesifik dan dapat kembali ke normal walaupun
masih terdapat penyakit residual. Uji lain yang abnormal adalah peningkatan kadar

16
tembaga, kalsium, asam laktat, fosfatase alkali, lisozim, globulin, protein C-reaktif dan
reaktan fase akut lain dalam serum.
Biopsi aspirasi jarum halus (BAJAH) sering dipergunakan pada diagnosis
pendahuluan limfadenopati jadi untuk identifikasi penyebab kelainan tersebut seperti
reaksi hiperplastik kelenjar getah bening, metastasis karsinoma, dan limfoma maligna.
Ciri khas sitologi biopsi aspirasi limfoma Hodgkin yaitu populasi limfosit yang banyak
aspek serta pleomorfik dan adanya sel Reed-Sternberg. Apabila sel Reed-Sternberg
sulit ditemukan adanya sel Hodgkin berinti satu atau dua yang berukuran besar dapat
dipertimbangkan sebagai parameter sitologi Limfoma Hodgkin. Penyulit diagnosis
sitologi biopsi aspirasi pada Limfoma non-Hodgkin adalah kurang sensitif dalam
membedakan Limfoma non-Hodgkin folikel dan difus. Pada Limfoma non-Hodgkin
yang hanya mempunyai subtipe difus, sitologi, biopsi aspirasi dapat dipergunakan
sebagai diagnosis definitif. Penyakit lain dalam diagnosis sitologi biopsi aspirasi
Limfoma Hodgkin ataupun Limfoma non-Hodgkin adalah adanya negatif palsu
termasuk di dalamnya inkonklusif. Untuk menekan jumlah negatif palsu dianjurkan
melakukan biopsi aspirasi multipel hole di beberapa tempat permukaan tumor. Apabila
ditemukan juga sitologi negatif dan tidak sesuai dengan gambaran klinis, maka pilihan
terbaik adalah biopsi insisi atau eksisi.
Biopsi tumor sangat penting, selain untuk diagnosis juga identifikasi subtipe
histopatologi walaupun sitologi biopsi aspirasi jelas LH ataupun LNH. Biopsi
dilakukan bukan sekedar mengambil jaringan, namun harus diperhatikan apakah
jaringan biopsi tersebut dapat memberi informasi yang adekuat. Biopsi biasanya dipilih
pada rantai KGB di leher. Kelenjar getah bening di inguinal, leher bagian belakang dan
submandibular tidak dipilih disebabkan proses radang, dianjurkan agar biopsi
dilakukan dibawah anestesi umum untuk mencegah pengaruh cairan obat suntik local
terhadap arsitektur jaringan yang dapat mengacaukan pemeriksaan jaringan.

17
Pemeriksaan penunjang lain yang bisa dilakukan adalah pemeriksaan
radiologi dan termasuk di dalamnya adalah:
1. Foto toraks untuk menentukan keterlibatan KGB mediastinal
2. Limfangiografi untuk menentukan keterlibatan KGB didaerah iliaka dan pasca aortal
3. USG banyak digunakan melihat pembesaran KGB di paraaortal dan sekaligus
menuntun biopsi aspirasi jarum halus untuk konfirmasi sitologi.
4. CT-Scan sering dipergunakan untuk diagnosa dan evaluasi pertumbuhan Limfoma

Gambar 9 Rontgen thorax Massa Mediastinum

18
Gambar 10 Rontgen thorax
seorang pria berusia 28 tahun
dengan limfoma Hodgkin.
menunjukkan massa jaringan
lunak yang homogen (panah).

Gambar 11 Limfoma pada USG Renal

19
Gambar 12 Nodul Limfoma pada USG Leher

Gambar 13 CT Scan Otak menunjukkan dua lesi hiperdens nodul dalam yang
terletak di daerah corona radiata kanan dan di transisi frontoparietal kiri

20
Gambar 14 CT Scan Abdomen menunjukkan keterlibatan kandung empedu oleh
limfoma. penebalan parietal ditandai dari kandung empedu (panah lebar), bersama-
sama dengan infiltrasi limfomatosa periportal (panah sempit).

21
Gambar 15 CT Scan menunjukkan penebalan dinding lekuk perut yang lebih rendah
(panah lebar), bersama-sama dengan keterlibatan kelenjar getah bening regional (panah
sempit).

Gambar 16 CT-Scan Kontras Kepala yang Menunjukkan Pembesaran Tonsil Kanan


Akibat Limfoma Maligna

22
2.8 Penatalaksanaan
Terapi pertama

Stadium I – II - Terapi standar: radiasi lapangan mantel dan


radiasi kelenjar paraaorta dan limpa; kadang-
kadang hanya lapangan mantel saja
- Jika ada faktor resiko, kemoterapi
dilanjutkan dengan radioterapi
- Dalam penelitian, kemoterapi terbatas
dengan “involved field radiation”

Stadium IIIA Kemoterapi ditambah dengan radioterapi

Stadium IIIB – IV Kemoterapi, ditambah dengan radioterapi

Penatalaksanaan limfoma maligna dapat dilakukan melalui berbagai cara,


yaitu:
a. Radioterapi
Radioterapi memiliki peranan yang sangat penting dalam pengobatan limfoma,
terutama limfoma hodgkin di mana penyebaran penyakit ini lebih sulit untuk
diprediksi. Beberapa jenis radioterapi yang tersedia telah banyak digunakan
untuk mengobati limfoma hodgkin seperti radioimunoterapi dan radioisotope.
Radioimunoterapi menggunakan antibodi monoclonal seperti CD20 dan CD22
untuk melawan antigen spesifik dari limfoma secara langsung, sedangkan
radioisotope menggunakan Iodine atau Yttrium (Itrium) untuk iradiasi sel-sel
tumor secara selektif. Teknik radiasi yang digunakan didasarkan pada stadium
limfoma itu sendiri, yaitu:

23
• Untuk stadium I dan II secara mantel radikal
• Untuk stadium III A/B secara total nodal radioterapi
• Untuk stadium III B secara subtotal body irradiation
• Untuk stadium IV secara total body irradiation

Gambar 17 Berbagai macam teknik radiasi

b. Kemoterapi
Merupakan teknik pengobatan keganasan yang telah lama digunakan dan
banyak obat-obatan kemoterapi telah menunjukkan efeknya terhadap
limfoma.
Pengobatan Awal:
1. MOPP regimen: setiap 28 hari untuk 6 siklus atau lebih.
o Mechlorethamine: 6 mg/m2, hari ke 1 dan 8
o Vincristine (Oncovine): 1,4 mg/m2 hari ke 1 dan 8
o Procarbazine: 100 mg/m2, hari 1-14
o Prednisone: 40 mg/m2, hari 1-14, hanya pada siklus 1 dan 4
2. ABVD regimen: setiap 28 hari untuk 6 siklus
o Adriamycin: 25 mg/m2, hari ke 1 dan 15

24
o Bleomycin: 10 mg/m2, hari ke 1 dan 15
o Vinblastine: 6 mg/m2, hari ke 1 dan 15
o Dacarbazine: 375 mg/m2, hari ke 1 dan 15
3. Stanford V regimen: selama 2-4 minggu pada akhir siklus
o Vinblastine: 6 mg/m2, minggu ke 1, 3, 5, 7, 9, 11
o Doxorubicin: 25 mg/m2, minggu ke 1, 3, 5, 9, 11
o Vincristine: 1,4 mg/m2, minggu ke 2, 4, 6, 8, 10, 12
o Bleomycin: 5 units/m2, minggu ke 2, 4, 8, 10, 12
o Mechlorethamine: 6 mg/m2, minggu ke 1, 5, 9
o Etoposide: 60 mg/m2 dua kali sehari, minggu ke 3, 7, 11
o Prednisone: 40 mg/m2, setiap hari, pada minggu ke 1-10,
tapering of pada minggu ke 11,12
4. BEACOPP regimen: setiap 3 minggu untuk 8 siklus
o Bleomycin: 10 mg/m2, hari ke- 8
o Etoposide: 200 mg/m2, hari ke 1-3
o Doxorubicin (Adriamycine): 35 mg/m2, hari ke-1
o Cyclophosphamide: 1250 mg/m2, hari ke-1
o Vincristine (Oncovine): 1,4 mg/m2, hari ke-8
o Procarbazine: 100 mg/m2, hari ke 1-7
o Prednisone: 40 mg/m2, hari ke 1-14
Jika pengobatan awal gagal atau penyakit relaps:
1. ICE regimen
a. Ifosfamide: 5 g/m2, hari ke-2
b. Mesna: 5 g/m2, hari ke-2
c. Carboplatin: AUC 5, hari ke-2
d. Etoposide: 100 mg/m2, hari ke 1-3
2. DHAP regimen
a. Cisplatin: 100 mg/m2, hari pertama
b. Cytarabine: 2 g/m2, 2 kali sehari pada hari ke-2

25
c. Dexamethasone: 40 mg, hari ke 1-4
3. EPOCH regimen – Pada kombinasi ini, etoposide, vincristine, dan
doxorubicin diberikan secara bersamaan selama 96 jam IV secara
berkesinambungan.
a. Etoposide: 50 mg/m2, hari ke 1-4
b. Vincristine: 0.4 mg/m2, hari ke 1-4
c. Doxorubicin: 10 mg/m2, hari ke 1-4
d. Cyclophosphamide: 750 mg/m2, hari ke- 5
e. Prednisone: 60 mg/m2, hari ke 1-6

c. Imunoterapi
Bahan yang digunakan dalam terapi ini adalah Interferon-α, di mana interferon-
α berperan untuk menstimulasi sistem imun yang menurun akibat pemberian
kemoterapi.
d. Transplantasi sumsum tulang
Transplasntasi sumsum tulang merupakan terapi pilihan apabila limfoma tidak
membaik dengan pengobatan konvensional atau jika pasien mengalami pajanan
ulang (relaps). Ada dua cara dalam melakukan transplantasi sumsum tulang,
yaitu secara alogenik dan secara autologus. Transplantasi secara alogenik
membutuhkan donor sumsum yang sesuai dengan sumsum penderita. Donor
tersebut bisa berasal dari saudara kembar, saudara kandung, atau siapapun
asalkan sumsum tulangnya sesuai dengan sumsum tulang penderita. Sedangkan
transplantasi secara autologus, donor sumsum tulang berasal dari sumsum
tulang penderita yang masih bagus diambil kemudian dibersihkan dan
dibekukan untuk selanjutnya ditanamkan kembali dalam tubuh penderita agar
dapat menggantikan sumsum tulang yang telah rusak.

26
2.9 Komplikasi
Ada dua jenis komplikasi yang dapat terjadi pada penderita limfoma maligna,
yaitu komplikasi karena pertumbuhan kanker itu sendiri dan komplikasi karena
penggunaan kemoterapi. Komplikasi karena pertumbuhan kanker itu sendiri dapat
berupa pansitopenia, perdarahan, infeksi, kelainan pada jantung, kelainan pada paru-
paru, sindrom vena cava superior, kompresi pada spinal cord, kelainan neurologis,
obstruksi hingga perdarahan pada traktus gastrointestinal, nyeri, dan leukositosis jika
penyakit sudah memasuki tahap leukemia. Sedangkan komplikasi akibat penggunaan
kemoterapi dapat berupa pansitopenia, mual dan muntah, infeksi, kelelahan, neuropati,
dehidrasi setelah diare atau muntah, toksisitas jantung akibat penggunaan doksorubisin,
kanker sekunder, dan sindrom lisis tumor.

2.10 Prognosis
Menurut The International Prognostic Score, prognosis limfoma hodgkin
ditentukan oleh beberapa faktor di bawah ini, antara lain:
• Serum albumin < 4 g/dL
• Hemoglobin < 10.5 g/dL
• Jenis kelamin laki-laki
• Stadium IV
• Usia 45 tahun ke atas
• Jumlah sel darah putih > 15,000/mm3
• Jumlah limfosit < 600/mm3 atau < 8% dari total jumlah sel darah putih
Jika pasien memiliki 0-1 faktor di atas maka harapan hidupnya mencapai 90%,
sedangkan pasien dengan 4 atau lebih faktor-faktor di atas angka harapan hidupnya
hanya 59%.6
Sedangkan untuk limfoma non-hodgkin, faktor yang mempengaruhi
prognosisnya antara lain:
• usia (>60 tahun)

27
• Ann Arbor stage (III-IV)
• hemoglobin (<12 g/dL)
• jumlah area limfonodi yang terkena (>4) dan
• serum LDH (meningkat)
yang kemudian dikelompokkan menjadi tiga kelompok resiko, yaitu resiko rendah
(memiliki 0-1 faktor di atas), resiko menengah (memiliki 2 faktor di atas), dan resiko
buruk (memiliki 3 atau lebih faktor di atas).

28
BAB III

KESIMPULAN

Limfoma malignum merupakan penyakit keganasan primer jaringan limfoid


yang dibagi menjadi 2 golongan besar, yaitu limfoma Hodgkin dan limfoma non-
Hodgkin. Limfoma malignum dapat mengenai tonsil, yang juga merupakan salah satu
dari jaringan limfoid di tubuh manusia. Limfoma Hodgkin bercirikan adanya sel
malignum khusus, yang disebut dengan sel Reed-Sternberg, pada limfonodus atau
jaringan limfatik lainnya. Limfoma malignum non-Hodgkin adalah suatu keganasan
primer jaringan limfoid yang bersifat padat.
Limfoma malignum, ditemukan manifestasi klinis secara umum, yaitu berat
badan menurun, demam, lesu, keringat malam dan nyeri pada tulang. Manifestasi klinis
yang berhubungan dengan limfoma malignum pada tonsil bisa kesulitan dalam
menelan, nyeri menelan dan merasa adanya massa di tenggorok.
Untuk mendiagnosis limfoma malignum pada tonsil perlu dilakukan
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya.
Setelah diagnosis ditegakkan maka ditentukan stadium dari penyakitnya, lalu
dilakukan terapi yang terdiri dari radioterapi dan kemoterapi. Operasi biasanya hanya
dilakukan jika akan dilakukan pemeriksaan biopsi histopatologi, stabilisasi jalan nafas
dan jika terapi radioterapi dan kemoterapi tidak berhasil.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Berthold, D. dan Ghielmini, M. 2004. Treatment of Malignant Lymphoma. Swiss


Med Wkly (134) : 472-480.
2. Dessain, S.K. 2009. Hodgkin Disease.
http://emedicine.medscape.com/article/20188-overview (diakses tanggal 18
September 2019).
3. Ford-Martin, Paula. 2005. Malignant Lymphoma. [serial online].
http://www.healthline.com /malignant-lymphoma/ (diakses tanggal 18 September
2019).
4. Kumar, Abbas, dan Fausto. 2005. Phatologic Basis of Diseases 7th Edition.
Philadelphia: Elsevier & Saunders
5. Price, S.A dan Wilson, L.M. 2005. “Pathophysiology: Clinical Concepts of
Disease Processes, Sixth Edition”. Alih bahasa Pendit, Hartanto, Wulansari dan
Mahanani. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit Edisi 6. Jakarta:
EGC
6. Reksodiputro, A. dan Irawan, C. 2006. “Limfoma Non-Hodgkin”. Disunting oleh
Sudoyo, Setyohadi, Alwi, Simadibrata, dan Setiati. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid II. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
7. The National Institute for Health and Care Excellence, 2016. Non-Hodgkin’s
lymphoma: diagnosis and management. bit.ly/2Ag6q4M (diakses pada tanggal 18
September 2019).
8. Vinjamaram, S. 2010. Lymphoma, Non-Hodgkin.
http://emedicine.medscape.com/article/20339-overview (diakses tanggal 18
September 2019).

30

Anda mungkin juga menyukai