Anda di halaman 1dari 29

Tinjauan kepustakaan IV

Referat onkologi

TOKSISITAS KEMOTERAPI PADA KANKER PARU

Disusun oleh:
dr. Amilia Frayanty
180760101040003

Pembimbing:
Dr. Novita Andayani, Sp.P(K)

PESERTA PPDS-1 PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH 2021

1
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...........................................................................................................1
DAFTAR TABEL...................................................................................................i
BAB 1 PENDAHULUAN......................................................................................1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................................ii
2.1. kanker paru.......................................................................................................3
2.2. Mekanisme check point.....................................................................................4
2.3. Regimen Kemoterapi .......................................................................................6
2.4 Patogenesis toksisitas kemoterapi....................................................................14
2.7 Patogenesis Toksisitas Hematologi..................................................................18
2.8PatogenesisToksisitas Hematologi....................................................................21
BAB 3 KESIMPULAN........................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................29

1
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.................................................................................................................4
Gambar 2.................................................................................................................6

Gambar 3.................................................................................................................8

Gambar 4................................................................................................................11

Gambar 5................................................................................................................16

Gambar 6................................................................................................................18

ii 1
ii 2
ABSTRAK

Kanker paru adalah penyebab utama kematian terkait kanker di seluruh dunia,
dengan non-small cell lung cancer (NSCLC) menyumbang 80% dari kasus kanker
paru Tingkat kelangsungan hidup 5 tahun untuk kanker paru semua stadium
cukup rendah yaitu 19% dan hanya 5% untuk pasien dengan penyakit stadium
lanjut. Sebelum terjadinya kanker paru, ada beberapa fase dalam pembentukan sel
kanker yaitu inisiasi, promosi, transformasi, progresi. Tatalaksana kanker paru,
terdiri dari kemoterapi lini pertama dan lini kedua. Masing- masing kemoterapi ini
memiliki toksisitas dalam aplikasinya, berupa toksisitas hematologi dan non
hematologi. Hasil kajian ini mengungkap bahwa kombinasi karboplatin-
paklitaksel merupakan kemoterapi yang paling banyak digunakan (72,2%).
Toksisitas hematologis yang terjadi meliputi anemia, leukopenia, dan
trombositopenia dengan tingkat keparahan 1–3. koordinasi mual dan muntah
terjadi di pusat muntah di medula oblongata melalui sinyal dari saraf vagal aferen.
Diare diyakini sebagai bentuk atau produk sampingan dari gastrointestinal
mucositis. Peran sentral P53 dalam memediasi apoptosis yang diinduksi
kemoterapi di berbagai jaringan telah dikonfirmasi dan ini juga ditunjukkan pada
kerontokan rambut. Kemoterapi berbasis platinum menyebabkan gangguan
rangsangan membran saraf, disfungsi transpor aksonal dan gangguan
neurotransmisi.
Kata kunci : Tumor paru, toksisitas kemoterapi, toksisitas hematologi, toksisitas
non hematologi

ABSTRACT
Lung cancer is the leading cause of cancer-related death worldwide, with
non-small cell lung cancer (NSCLC) cancer accounting for 80% of lung
cancer.The 5-year survival rate for all-stage lung cancer is quite low at 19% and
only 5% for patients with advanced disease. Before the occurrence of lung
cancer, there are several phases in the formation of cancer cells, namely
initiation, promotion, transformation, and progression. Lung cancer treatment
consists of first-line and second-line chemotherapy. Each chemotherapy has
toxicity in its application, in the form of hematological and non-hematological
toxicity. The results of this study revealed that the combination of carboplatin-
paclitaxel was the most widely used chemotherapy (72.2%). Hematologic toxicity
that occurs includes anemia, leukopenia, and thrombocytopenia with a severity of
1–3 . Coordination of nausea and vomiting occurs in the vomiting center in the
medulla oblongata via signals from vagal afferent nerves. Diarrhea is believed to
be a form or byproduct of gastrointestinal mucositis. The central role of P53 in
mediating chemotherapy-induced apoptosis in various tissues has been confirmed
and this has also been demonstrated in hair loss. These compounds cause
disruption of nerve membrane excitability, dysfunction of axonal transport and
impaired neurotransmission.
Keywords: Lung cancer, chemotherapy toxicity, hematological toxicity, non-
hematological toxicity

iii 1
BAB I
PENDAHULUAN

Kanker paru adalah penyebab utama kematian terkait kanker di seluruh


dunia, dengan non-small cell lung cancer (NSCLC) menyumbang 80% dari kasus
kanker paru. Tingkat kelangsungan hidup 5 tahun untuk kanker paru-paru semua
stadium cukup rendah yaitu 19% dan hanya 5% untuk pasien dengan penyakit
stadium lanjut.1 Penatalaksanaan kanker paru berubah dengan cepat karena terapi
baru sedang dirancang untuk memerangi angka kematian yang tinggi ini. Seiring
dengan berkembangnya bidang ini, penting bagi dokter, dan ahli paru pada
khususnya, menyadari potensi toksisitas paru dari berbagai modalitas pengobatan
untuk pengelolaan kanker paru.1
Penggunaan obat kemoterapi dalam pengobatan kanker sering disertai
dengan toksisitas pada beberapa sistem organ. Kajian retrospektif terhadap
toksisitas hematologis akibat kemoterapi pada pasien kanker paru sudah
dilaksanakan. Data pasien di RSUP Dr. M. Djamil Padang, Sumatera Barat,
sejumlah 22 pasien yang didiagnosis menderita kanker paru yang menjalani
kemoterapi, tidak menderita penyakit hematologis dan gangguan hematopoiesis,
serta memiliki fungsi ginjal dan hati yang normal dimasukkan ke dalam kajian.
pasien memenuhi kriteria dengan jumlah siklus kemoterapi sebanyak 40. Hasil
kajian ini mengungkap bahwa kombinasi karboplatin-paklitaksel merupakan
kemoterapi yang paling banyak digunakan (72,2%). Toksisitas hematologis yang
terjadi meliputi anemia, leukopenia, dan trombositopenia dengan tingkat
keparahan 1–3. Karboplatin-paklitaksel merupakan satu-satunya kombinasi
kemoterapi yang menyebabkan ketiga toksisitas hematologis tersebut, sekaligus
juga merupakan satu-satunya kombinasi yang menimbulkan trombositopenia.
Anemia merupakan toksisitas hematologis yang paling banyak terjadi meliputi
lebih dari separuh pasien. Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat toksisitas
hematologis yang cukup tinggi akibat kemoterapi pada pasien kanker paru.1,2

1
Toksisitas hematologi dan non hematologi yang terkait dengan obat yang
digunakan dalam pengobatan NSCLC. Beberapa agen kemoterapi seperti cisplatin
dan karboplatin terkenal dengan indeks terapeutiknya yang buruk dan dengan efek
toksik yang tinggi, sehingga dosis dan regimen yang tidak tepat dapat
menyebabkan beberapa efek samping yang serius dan bahkan kematian. 1 Tingkat
toksisitas juga menjadi satu dari kriteria yang harus diperhitungkan sebelum
melakukan kemoterapi. Kemoterapi hanya dapat diresepkan jika toksisitas tidak
melebihi derajat tiga berdasarkan skala penilaian toksisitas WHO.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KANKER PARU

Kanker paru adalah penyakit dengan pertumbuhan sel yang tidak


terkendali yang dimulai disalah satu atau kedua paru.1 Sebagian besar kanker paru
seperti karsinoma paru berasal dari sel epitel. Kanker paru menempati urutan
keempat dari semua jenis kanker di Indonesia dan menjadi penyebab kematian
nomor dua setelah penyakit kardiovaskular.2 Penatalaksanaan kanker paru
dilakukan dengan rangkaian pengobatan seperti pembedahan, terapi radiasi,
kemoterapi, dan terapi kombinasi.3 Beberapa agen kemoterapi seperti cisplatin
dan karboplatin terkenal dengan indeks terapeutiknya yang buruk dan dengan efek
toksik yang tinggi, sehingga dosis dan regimen yang tidak tepat dapat
menyebabkan beberapa efek samping yang serius dan bahkan kematian.1
Obat kemoterapi umumnya bekerja pada sel yang aktif membelah. Oleh
karena itu, efeknya tidak hanya dialami oleh sel kanker tetapi juga pada jaringan
normal dengan tingkat proliferasi yang tinggi seperti sistem gastrointestinal dan
hematopoietik. Rejimen kemoterapi lini pertama yang direkomendasikan oleh The
National Comprehensive Cancer Network (NCCN) untuk Kanker Paru terdiri dari
kombinasi platinum (cisplatin atau karboplatin) dengan obat sitotoksik lain,
seperti paclitaxel, gemcitabine, vinorelbine, pemetrexed, dan docetaxel.4 Cisplatin
dan karboplatin adalah agen sitotoksik nefrotoksik yang dapat berkontribusi pada
agen penurunan dalam kreatinin klirens hingga 60-80%. Di sisi lain, karboplatin
dilaporkan memiliki nefrotoksisitas yang lebih kecil. Tingkat toksisitas juga
menjadi satu dari kriteria yang harus diperhitungkan sebelum melakukan
kemoterapi. Kemoterapi hanya dapat diresepkan jika toksisitas tidak melebihi
derajat tiga berdasarkan skala penilaian toksisitas WHO.1

2
2.2 TAHAPAN TERJADINYA KANKER
Ada beberapa tahapan fase yang terjadi pada saat terbentuknya kanker yait
u sebagai berikut:4

INISIASI
Adalah fase dimana sel normal mulai terpapar dengan karsinogen. Dimana
sel yang terpapar karsinogen ini mulai mengalami mutasi DNA. Jika sel yang
mengalami mutasi DNA ini berhasil di checkpoint (DNA repair), maka sel akan
kembali normal (reversibel). Tapi jika terlalu banyak sel yang mutasi, maka satu
dua sel akan lolos dari DNA repair dan masuk ke fase M. Sel abnormal ini akan
membelah dan masuk ke fase promosi.4

Gambar 1. Tahapan Terjadinya kanker4

PROMOSI
Adalah fase dimana sel yang sudah cacat tadi membelah dan memperbany
ak diri. Dari satu sel cacat, dihasilkan dua sel anak yang juga cacat. Intinya terjadi
proliferasi (clonal expansion). pada fase ini tidak terjadi kerusakan DNA lebih lan
jut, hanya terjadi proliferasi sel cacat saja. Jika sel cacat ini berhasil di check point
(DNA repair) maka sel cacat akan apoptosis, dan sel kembali normal (reversibel).4

3
TRANSFORMASI
Pada fase ini sel terus menerus terpapar dengan karsinogen maka sel cacat
telah kehilangan mekanisme keseimbangan onkogen vs tumor supresor gen, dan s
el telah berubah menjadi sel ganas. Sel ganas kemudian semakin berproliferasi me
njadi banyak. Tahap ini sudah ireversibel.4

PROGRESI
Sel ganas akan menyebar ke tempat lain. Fase ini ditandai dengan adanya i
nvasi jaringan lokal, invasi jauh (metastasis) dan angiogenesis. Sel kanker membe
lah dalam kecepatan yang sangat tinggi dan berarti membutuhkan nutrisi dan oksi
gen yang sangat banyak . sel tadi akan melepaskan VEGF (vascular endothel grow
th factor). VEGF merupakan faktor pertumbuhan sel endotel di pembuluh darah.,
Sel endotel berproliferasi membentuk pembuluh darah baru yang menyuplai ke sel
kanker tersebut.4

2.3 MEKANISME CHECK POINT

Ada dua titik checkpoint pada mekanisme karsinogenesis, yaitu fase G1 d


an G2 Sebenarnya ada 1 check point lagi di fase M, yaitu di metafase Jika ada DN
A yang salah replikasi sewaktu di fase S, maka kesalahan tersebut akan diperbaiki
di fase G2. Saat masuk ke fase M, sel yang membelah mitosis adalah benar benar
sel yang sudah tidak ada kesalahannya lagi. Prinsipnya jangan sampai ada sel DN
A yang salah, lolos masuk ke fase M Bila lolos DNA yg salah ini yang akan mem
belah, dan berati sel anaknya juga akan ikut salah.
Sel yang sudah selesai membelah masuk ke fase G1. Disini checkpoint lag
i. bila ada sel anak yang cacat akan diperbaiki di fase G1, atau sel nya akan apopto
sis, atau repair DNA Kenapa bisa terjadi kesalahan? Karena ada karsinogen dan fa
ktor lain. Karsinogen akan merusak DNA, sehingga waktu direplikasikan DNA ya
ng dihasilkan akan ikut rusak dam akan dicoba diperbaiki oleh G1. Tapi kalau kar
sinogennya terpapar terus menerus (cth. Rokok jangka panjang) maka DNA yang

4
error akan sangat banyak sekali, sehingga tubuh tidak sanggup melakukan checkp
oint semua sel yang cacat. Akibatnya akan ada satu dua sel acat yang lolos masuk
ke fase M. Hasilnya, dihasilkan juga lah sel anak yang DNA nya cacat.4
Sel yang sudah selesai membelah masuk ke fase G1. Disini checkpoint lag
i. bila ada sel anak yang cacat akan diperbaiki di fase G1, atau sel nya akan apopto
sis, atau repair DNA Kenapa bisa terjadi kesalahan? Karena ada karsinogen dan fa
ktor lain Karsinogen akan merusak DNA, sehingga waktu direplikasikan DNA ya
ng dihasilkan akan ikut rusak dam akan dicoba diperbaiki oleh G1. Tapi kalau kar
sinogennya terpapar terus menerus (cth. Rokok jangka panjang) maka DNA yang
error akan sangat banyak sekali, sehingga tubuh tidak sanggup melakukan checkp
oint semua sel yang cacat. Akibatnya akan ada satu dua sel acat yang lolos masuk
ke fase M. Hasilnya, dihasilkan juga lah sel anak yang DNA nya cacat.4

Gambar 2. siklus sel kanker4


2.4 JENIS KEMOTERAPI

Penggolongan kemoterapi berdasarkan mekanisme aksi5


a. Alkylating agent: merupakan pengambat sintesis DNA. Contoh: cisplastin,

5
karboplatin
b. Antimetabolit: merupakan suatu antifolat (pemetrexed), DN analog
(gemsitabine)
c. Antimicrotubule; paclitaxel
d. Topoisomerase inhibitor: etoposide, irinotecan
e. Agen sitotoksik: bleomisin
f. Lain-lain: Antineoplastik yg mengganggu keseimbangan hormon, Biological
respons modifier, antibiotik, Miscellaneous antineoplastic

KEMOTERAPI LINI PERTAMA


Pemberian kemoterapi lini pertama diberikan pada pasien yang belum
pernah mendapatkan kemoterapi atau pasien yang mendapat kemoterapi kurang
dari dua siklus.4,5
Berikut kombinasi kemoterapi lini pertama:
karboplatin 5 AUC hari 1, paklitaksel 175mg/BSA hari 1, setiap 21 hari
karboplatin, gemsitabin 1250mg/BSA (hari 1,8) setiap 21 hari
karboplarin, vinoralbin 30mg/BSA (hari 1,8) setiap 21 hari
karboplatin, dosetaksel 75mg/BSA (hari1) setiap 21 hari
karboplatin, pemetrexed 500mg/BSA (hari 1) setiap 21 hari
karboplatin, Etopiside 100mg/BSA (hari 1,2,3) setiap 21 hari

KEMOTERAPI LINI KEDUA


Kemoterapi lini kedua diberikan pada pasien yang progresif disease
setelah kemoterapi dua siklus atau progresif pada masa evaluasi setelah
kemoterapi 4-6 siklus.4,5
Berikut kemoterapi lini kedua:
kemoterapi monoterapi yang belum pernah diberikan pada 1st line
dotaxel 75mg/m2 siklus 3 minggu selama 6 siklus
pemetrexed 500mg/m2 siklus 3 mingguan selama 6 siklus =>hanya pada
nonskuamous
Erlotinib 150mg/hari atau Gemitinib 250mg/hari

6
doublet non platinum

2.5 PATOGENESIS TOKSISITAS KEMOTERAPI

PERAN GENETIK
Dalam studi terkini yang menyelidiki hubungan interaksi gen-gen
dengan respon kemoterapi dan toksisitas. Ditemukan bahwa hubungan secara
signifikan terkait antara respon toksisitas platinum dengan kemoterapi secara
keseluruhan. Studi ini juga menemukan bahwa beberapa single nukleotida
polimorfisme (SNP) secara signifikan terkait dengan fenotipe dalam bentuk
pasangan SNP-SNP. Banyak SNP yang dianalisis dalam penelitian ini dilaporkan
tidak memiliki hubungan dengan sensitivitas dan toksisitas kemoterapi berbasis
platinum. Interaksi gen-gen memperhitungkan konteks genetik, dan "heritabilitas
yang hilang" sebagian dikaitkan dengan rendahnya kemampuan untuk mendeteksi
interaksi gen-gen yang disebutkan. Jadi interaksi gen-gen bertindak sebagai
pendekatan yang sangat diperlukan untuk mempelajari bagaimana SNP
mempengaruhi fenotipe. Ketika mempertimbangkan interaksi gen-lingkungan,
penelitian ini menemukan bahwa lingkungan juga memainkan peran penting
dalam respon obat. Kesimpulannya, analisis interaksi gen-gen dan gen-lingkungan
selanjutnya dapat menemukan SNP yang terkait dengan respons kemoterapi dan
toksisitas berbasis platinum. Strategi analisis interaksi gen-gen dan gen-
lingkungan dapat memiliki nilai potensial untuk memprediksi respon kemoterapi
dan toksisitas pada pasien NSCLC.19,20
Efek interaksi SNP-SNP pada respons kemoterapi dan toksisitas sebagian
dapat dijelaskan oleh fungsi spesifik gen ini. RS2231142 adalah varian non-
sinonim dalam ABCG2 (C421A, encoding Q141K, Gln141Lys), yang merupakan
anggota keluarga ATP -binding cassette (ABC) transporters. Dan dilaporkan
bahwa varian ABCG2C421A dikaitkan dengan trombositopenia yang parah.
CES5A adalah salah satu dari lima subfamili CE dan umumnya diekspresikan di
hati. Enzim CES memediasi hidrolisis obat dan produk metabolik, sampai batas
tertentu, bertanggung jawab atas hepatotoksisitas dan nefrotoksisitas atau

7
toksisitas hematik. Singkatnya, ABCG2 dan CES5A keduanya terkait dengan
toksisitas kemoterapi berbasis platinum, jadi ketika kita mempertimbangkan
keduanya, predikasi toksisitas dapat ditingkatkan. Dalam hal toksisitas hematologi
yang diinduksi kemoterapi, Heat Shock Proteins (HSPs) adalah pendamping
utama yang memediasi pelipatan (ulang) protein, dan gen Sulfatase modifying
factor 1 (Sumf1) dapat mengaktifkan situs katalitik SGSH23.19,20

Gambar 3. Mekanisme kerja obat dalam pengobatan kanker4

Saat mengeksplorasi hubungan potensial dengan respons kemoterapi


berbasis platinum, Rho GTPase mengaktifkan protein 26 (ARHGAP26) adalah
regulator negatif dari keluarga Rho yang mengubah protein G kecil RhoA dan
Cdc42 menjadi bentuk terikat PDB yang tidak aktif, dan dikaitkan dengan kanker
lambung. Rho Fungsional dapat mengatur aktivitas promotor c-fos, yang dapat
meningkatkan kelangsungan hidup sel sementara menyebabkan apoptosis dalam
konsentrasi tinggi. Kelompok pembawa zat terlarut 2 memfasilitasi glucose
transporter member 1 (SLC2A1) memasok sel dengan glukosa dengan
memfasilitasi difusi molekul glukosa melintasi membran plasma ketika
konsentrasi glukosa seluler rendah. Gen untuk perbaikan DNA yaitu ERCC6

8
adalah penjaga penting dari stabilitas genom secara keseluruhan, dan genotipe
yang berbeda dari rs2228528 dikaitkan dengan kerentanan. Sebagai kesimpulan,
SNP yang diidentifikasi dalam penelitian ini terkait dengan respons kemoterapi
dan toksisitas berbasis platinum, yang mungkin merupakan hasil dari dampaknya
pada fungsi gen yang relevan. Suatu SNP pada suatu gen dapat menyebabkan
perubahan fenotipe dalam proses kemoterapi berbasis platinum. Efek terakumulasi
dari dua atau lebih SNP dapat melakukan peran yang lebih penting dalam proses
ini. Secara tradisional, histologi dianggap sebagai faktor penting dalam keputusan
pengobatan pada pasien NSCLC. Namun, histologi tidak dapat memprediksi
respons kemoterapi dan toksisitas berbasis platinum secara tepat karena
heterogenitasnya. Saat kami mempertimbangkan gen, akurasi prediksi meningkat.
Dengan kata lain, faktor lingkungan yang digabungkan dengan gen dapat
mencapai hasil prediksi yang lebih baik.19,20

2.6 TOKSISITAS HEMATOLOGI

Tingkat toksisitas menjadi satu dari kriteria yang harus diperhitungkan


sebelum melakukan kemoterapi. Berdasarkan Common Terminology Criteria for
Adverse Events (CTCAE) versi 5 tahun 2017 ada 5 grade dalam penilaian
toksisitas kemoterapi. berdasarkan skala penilaian toksisitas WHO, Kemoterapi
hanya dapat diresepkan jika toksisitas tidak melebihi derajat 3.

9
Gambar 4. derajat toksisitas kemoterapi menurut CTCAE versi 5.0 tahun
2017

ANEMIA
Anemia umumnya ditemui pada pasien kanker terutama pada mereka yang
menjalani kemoterapi aktif dengan/atau tanpa terapi radiasi. Dalam salah satu
studi survei terbesar, European Cancer Anemia Survey (ECAS), 39% dari 15.367
pasien yang menjalani kemoterapi dan diikuti selama 6 bulan ditemukan anemia
dengan Hb <10,0 g / dL. Secara keseluruhan, hanya 39% dari pasien ini yang
diobati, sebagian besar dengan agen perangsang eritropoietin (ESA) atau transfusi
darah.21
Patogenesis cancer-induced anemia (CIA) adalah kompleks dan
seringkali sulit untuk diidentifikasi dan pada sebagian besar waktunya
multifaktorial. Kehilangan darah terkait kemoterapi baik radioterapi dan
kemoterapi bisa menjadi imunosupresif dan menghambat eritropoiesis; beberapa
dapat menyebabkan anemia yang lebih berat daripada yang lain. Porsi signifikan
dari pasien kanker dengan anemia tidak memiliki penyebab yang dapat
diidentifikasi; Anemia pada keadaan ini diklasifikasikan sebagai anemia penyakit
kronis. Mekanisme yang mendasari penyebab anemia jenis ini tidak jelas, tetapi
diduga melibatkan aktivasi sitokin seperti Interferon-γ, Interleukin-1 dan faktor
nekrosis jaringan (TNF). Sitokin ini dapat menekan produksi eritropoietin
endogen (EPO), mengganggu penggunaan zat besi dan mengurangi proliferasi
prekursor eritroid.21
Penyerapan besi ke dalam sel dipengaruhi oleh reseptor transferin. Besi
menemukan jalannya ke sirkulasi melalui dua jalur: enterosit duodenum yang
menyerap 1/2 mg besi per hari dari nutrisi, dan makrofag melepaskan 20-25 mg
besi per hari dari sel darah merah tua yang terinternalisasi. Hepatosit juga
memainkan peran penting dalam metabolisme zat besi; mereka menyimpan
sejumlah besar besi melalui feritin. ketika konsentrasi hepcidin rendah, besi

10
memasuki plasma dengan kecepatan tinggi; dan ketika konsentrasi hepcidin
tinggi, besi terperangkap dalam enterosit, hepatosit, dan makrofag. Akhirnya,
peradangan sangat merangsang sintesis hepsidin melalui beberapa interleukin
(IL), terutama interleukin-6 (IL-6), dan IL-1b. Hipoferemia yang dihasilkan
merupakan faktor protektif pada beberapa infeksi akut.21
LEUKOPENIA
Efek samping hematologi yang disebabkan oleh obat platinum termasuk
yang mempengaruhi fungsi sumsum tulang dan produksi sel darah dan termasuk
leukopenia (penurunan kadar sel darah putih), neutropenia (yang merupakan
subkelas leukopenia dan didefinisikan sebagai tingkat neutrofil yang rendah),
trombositopenia (tingkat trombosit yang rendah, yang bertanggung jawab untuk
pembekuan darah), dan anemia (tingkat sel darah merah yang rendah).
Myelosuppression adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi
ketika produksi sumsum tulang dari semua sel darah terpengaruh dan
mengakibatkan rendahnya tingkat sel darah putih dan merah, serta trombosit.22
Ketiga obat platina diketahui menyebabkan beberapa bentuk toksisitas
hematologi, dan myelosupresi adalah toksisitas karboplatin dosis terbatas. Faktor
risiko toksisitas hematologis termasuk fungsi ginjal, usia, dan ras, dan keparahan
efek samping terkait langsung dengan dosis obat. Efek samping ini dapat
membuat pasien merasa pusing, lelah dan lesu, dan ketika mereka mengalami
leukopenia atau neutropenia, dapat membuat mereka rentan terhadap infeksi dan
memperpanjang masa tinggal di rumah sakit. Dengan demikian, setiap pasien
yang diobati dengan obat platinum dimonitor secara ketat yang mencakup
mengukur jumlah leukosit dan tingkat trombosit, dan jumlah neutrofil absolut
(ANC). Perhatian khusus bagi pasien adalah perkembangan febrile neutropenia
(perkembangan demam dengan suhu lebih dari 38°C) karena 5-7% pasien yang
mengalami efek samping ini meninggal selama mereka dirawat di rumah sakit.
Pengobatan dengan obat platinum umumnya memberi pasien kemungkinan
sedang (10-20%) atau tinggi (> 20%) untuk mengembangkan neutropenia demam,
tergantung pada obat kemoterapi lain yang diresepkan bersama.22

11
Gambar 4 . Peran Hepcidin dalam homeostasis besi21

TROMBOSITOPENIA
Kejadian trombositopenia terkait kemoterapi paling banyak berhubungan
dengan pemberian gemsitabin dan regimen berbasis platinum. Setiap agen
kemoterapi mempunyai mekanisme yang berbeda dalam menyababkan
trombositopenia. Alkylating agents mempengaruhi stem sel, siklofosfamid
mempengaruhi megakariosit.
progenitor yang lebih dewasa, bortezomib mencegah pelepasan platelet
dari megakariosit, dan terapi-terapi lainnya memicu apoptosis platelet.
Trombositopenia menimbulkan sejumlah permasalahan dalam perawatan pasien
kanker. Risiko perdarahan meningkat pada hitung platelet <10.000/µL sedangkan
pada nilai <50.000µL, perdarahan sering menjadi penyulit prosedur operasi, dan
pada nilai <100.000µL, kemoterapi dan radioterapi diberikan dengan pengawasan

12
akan terjadinya trombositopenia dan peningkatan risiko perdarahan.
Trombositopenia dapat juga terjadi bersama infeksi atau reaksi obat yang
berhubungan dengan terapi kanker. Platelet dewasa akan mengalami kematian
terprogram (apoptosis), bila tidak digunakan dalam hemostasis, yang ditentukan
oleh “platelet clock”. Platelet clock ini tergantung pada keberadaan protein
antiapoptotik yang disebut Bcl-x(L), suatu protein yang menghambat protein pro
apoptosis Bax dan Bak. Aktivitas Bax dan Bak peningkat dan memicu apoptosis
platelet saat jumlah Bcl-x(L) menurun. Platelet yang sudah diapoptosis
dibersihkan oleh sel sistem retikuloendotelial. Sistem limfatik hanya memiliki
peran kecil dalam homeostasis normal platelet. Beberapa kemoterapi menurunkan
jumlah platelet melalui percepatan penghancurannya. Daya tahan platelet sendiri
mungkin terganggu oleh beberapa agen, dengan mengurangi aktivitas Bcl-x(L).
Kemoterapi juga dapat meningkatkan bersihan platelet melalui mekanisme imun,
tapi efek ini jarang terjadi. Pemberian agen tunggal fludarabin dalam terapi
limfoma diketahui menyebabkan imun trombositopenia pada 4,5% pasien. Jenis
ITP ini biasanya berespon terhadap rituksimab.

Perawatan untuk pasien dapat mencakup transfusi darah, pemberian


antibiotik spektrum luas, dan dalam beberapa kasus, pemberian faktor
pertumbuhan myeloid, yang mencakup faktor perangsang koloni granulosit. Obat-
obatan berbasis biologis ini mengurangi kejadian neutropenia dengan
meningkatkan produksi dan kelangsungan hidup neutrofil dewasa dan sel
progenitor granulosit neutrofil.22

2.7 TOKSISITAS NON HEMATOLOGIS

MUAL DAN MUNTAH


Patofisiologi chemotherapy-induced nausea and vomiting (CINV)
mencakup jalur perifer dan sistem saraf pusat (SSP) dengan mekanisme berbeda
yang terlibat dalam CINV akut dan CINV tertunda. Dalam CINV akut, radikal

13
bebas yang dihasilkan oleh agen kemoterapi beracun merangsang sel
enterochromaffin di saluran pencernaan, menyebabkan pelepasan serotonin.
Selanjutnya, serotonin mengikat saraf aferen vagal usus melalui reseptor 5-HT3,
yang memicu refleks muntah melalui nucleus of the solitary tract (NTS) dan
chemoreceptor trigger zone (CTZ) di SSP. Pensinyalan reseptor 5-HT3 mungkin
juga memainkan peran dalam CINV tertunda, tetapi pada tingkat yang lebih
rendah daripada di CINV akut. Substansi P dianggap sebagai neurotransmitter
utama yang terlibat dalam CINV tertunda. Obat kemoterapi memicu pelepasan zat
P dari neuron di sistem saraf pusat dan perifer, yang kemudian berikatan dengan
reseptor neurokinin-1 (NK1) terutama di NTS untuk menginduksi muntah. Baik
pada CINV akut maupun tertunda, koordinasi mual dan muntah terjadi di pusat
muntah di medula oblongata melalui sinyal dari NTS, CTZ, atau saraf vagal
aferen. Agen antiemetik yang direkomendasikan untuk aliran CINV akut dan
tertunda dari perbedaan patofisiologi. Namun, ada bukti “cross-talk” antara jalur
5-HT3 dan NK1 yang dapat memandu strategi pengobatan dan pencegahan.23
CINV antisipatif umumnya dianggap sebagai respons terkondisi untuk
episode CINV sebelumnya. Stimulus sensorik (misalnya, penglihatan, suara, bau)
yang ada pada saat episode CINV menyebabkan pasien mengasosiasikan stimulus
dengan mual dan muntah. Paparan stimulus selanjutnya kemudian memicu
respons mual dan muntah yang terkondisi. Contoh klasik adalah pasien yang
menjadi mual hanya setelah tiba di ruang infus kemoterapi. Pencegahan CINV
akut dan tertunda adalah pendekatan terbaik untuk antisipasi CINV sehingga
stimulus sensorik tidak terbentuk.23

DIARE DAN KONSTIPASI


Meskipun beberapa regimen kemoterapi telah dikaitkan dengan Diare
dengan derajat yang berbeda-beda (Tabel 4), sebagian besar penelitian dasar
tentang mekanisme yang mendasari chemotherapy induced diarrhea (CID) telah
difokuskan pada irinotecan dan metabolit aktifnya SN38. Karena diare adalah efek
samping pengobatan irinotecan yang diketahui dengan baik, perubahan histologis
yang terjadi di seluruh saluran GI sebagai respons terhadap pemberian irinotecan

14
telah diperiksa dalam beberapa penelitian pada hewan. Ablasi kriptografi yang dih
asilkan, vilus tumpul dan atrofi epitel pada usus kecil dan usus besar telah
dilaporkan, mengakibatkan kerusakan mukosa dan degenerasi menjadi penyebab
utama di seluruh literatur seputar CID. CID sebagian besar masih diyakini sebagai
bentuk, atau produk sampingan, dari gastrointestinal mucositis. Mucositis
didefinisikan sebagai cedera mukosa yang muncul sebagai peradangan dan
ulserasi, yang mengakibatkan perubahan mikroflora usus dan sekresi GI.
Patofisiologi dasar mucositis dapat dibagi menjadi 5 fase berurutan: (i) inisiasi;
(ii) regulasi naik; (iii) pensinyalan dan amplifikasi; (iv) ulserasi dan peradangan;
dan (v) penyembuhan.24
Inisiasi mucositis diyakini sebagai akibat dari efek langsung atau tidak
langsung kemoterapi sitotoksik pada sel epitel yang membelah dengan cepat di
saluran GI, memicu apoptosis. Hal ini menyebabkan pengurangan area villus,
ditambah dengan aktivasi faktor nuklir-kappa B (NFkB) dan peningkatan regulasi
sitokin pro-inflamasi berikutnya termasuk interleukin 1, yang berkontribusi pada
ulserasi dan peradangan di epitel mukosa. Mikrobiota usus diketahui memainkan
peran integral dalam homeostasis usus dan sekarang diyakini memainkan peran
kunci dalam perkembangan mucositis. Studi terbaru mengungkapkan bahwa
pemberian kemoterapi memiliki efek pada komposisi mikroba usus, dan
mikrobiota tinja.24
Banyak penelitian yang menyelidiki efek pemberian kemoterapi pada
mikrobiota difokuskan terutama pada topoisomerase I inhibitor, irinotecan, karena
keterlibatan mikrobiota dalam metabolisme. Setelah metabolisme di hati,
irinotecan diubah menjadi metabolit aktif SN-38 oleh enzim karboksilesterase,
sebelum dinonaktifkan melalui glukuronidasi oleh uridin difosfat
glukuronosiltransferase 1A1 (UGT1A1) untuk membentuk SN38 glukuronida
(SN38-G). Namun, SN38G dapat diaktifkan kembali menjadi SN38 dengan
adanya enzim β-glukuronidase, yang dapat diproduksi oleh mikrobioma usus.
Beberapa penelitian menunjukkan adanya pergeseran bakteri komensal,
khususnya Bifidobacterium spp. menuju Salmonella spp. dan Escherichia coli
setelah pemberian irinotecan. Dari bakteri penghasil β-glukuronidase, Bacteroides

15
spp. telah terbukti menurun setelah pengobatan irinotecan, bersamaan dengan
Staphylococcus spp., Clostridium spp. dan E. coli ditemukan meningkat,
sementara bakteri menguntungkan, Lactobacillus spp. dan Bifidobacterium spp.
menurun setelah pengobatan irinotecan. Ketika diberikan dalam kombinasi
dengan antimetabolite 5-fluorouracil, keberadaan Clostridium cluster XI dan
Enterobacteriaceae ditemukan meningkat, sementara pengobatan dengan 5-
fluorouracil saja juga telah ditemukan untuk meningkatkan keberadaan
Clostridium spp. dan Staphylococcus spp. pada 24 jam pasca perawatan.24
Perubahan mikrobiota ini diyakini memainkan peran penting tidak hanya
dalam menjaga homeostasis usus dan integritas tetapi dalam modulasi respon
inflamasi melalui interaksi dengan reseptor Toll-like dan reseptor domain
oligomerisasi nukleotida yang mengaktifkan NFkB. Pada fase penyembuhan,
proliferasi dan diferensiasi epitel GI kembali sekitar 2 minggu pasca-kemoterapi,
tetapi perubahan fungsional tetap ada setelah pemulihan perubahan morfologi.
Patofisiologi yang mendasari perubahan fungsi GI ini meliputi beberapa
mekanisme sekretori, osmotik, inflamasi, dan neurogenik yang tumpang tindih.24

RAMBUT RONTOK
Siklus rambut dapat dibagi menjadi 3 fase: (1) pertumbuhan (anagen), (2)
involusi (katagen), dan (3) istirahat (telogen). 19 Setelah kemoterapi, siklus rambut
normal ini terganggu, menyebabkan 1 dari 2 jalur yang berbeda, anagen distrofi atau
katagen distrofik. 17 jalur terakhir yang mengakibatkan kerontokan rambut paling
luas. Pohl-Pinkus adalah penyempitan batang rambut yang terjadi dalam pola seperti
gelombang karena sifat siklik dari rejimen kemoterapi. Ketika kemoterapi diberikan, sel-
sel matriks rambut rusak.. Miniaturisasi HF juga merupakan gambaran umum dari
kerusakan akibat kemoterapi, meskipun pada tingkat tertentu terdapat pada 30% pasien
bahkan sebelum pengobatan, menunjukkan bahwa ini adalah pengamatan umum pada
kulit kepala yang sehat. Setelah penghentian pengobatan, Rossi dkk 22 mengamati
peningkatan jumlah HFs di anagen; namun, ini sering mengalami depigmentasi sebagai
akibat dari hilangnya melanosit yang diinduksi kemoterapi. Produksi batang rambut
normal biasanya kembali 1 tahun setelah perawatan dan beberapa rambut terdeteksi
berpigmen di dasar dan putih di ujungnya, menunjukkan repopulasi melanosit dari bola

16
rambut.Peran sentral P53 dalam memediasi apoptosis yang diinduksi kemoterapi di
berbagai jaringan telah dikonfirmasi dan ini juga ditunjukkan pada HF. Memang,
penghapusan P53 mencegah kerontokan rambut yang diinduksi kemoterapi pada tikus
dan, yang penting, juga mengurangi ekspresi protein dari target transkripsi P53 langsung,
yaitu, Fas dan IGFBP3, yang keduanya merangsang apoptosis.25

jalur baru telah diidentifikasi yang semakin meningkatkan pemahaman kita


tentang kontrol molekuler apoptosis HF sebagai respons terhadap kemoterapi, yaitu
pensinyalan sonic hedgehog (Shh). Gangguan pensinyalan Shh ditemukan sebagai
peristiwa penting dalam patogenesis kerusakan kemoterapi, dengan pengobatan
siklofosfamid pada folikel bulu menurunkan kadar Shh dan penghambatan farmakologis
Shh pada tikus yang merekapitulasi banyak aspek kerusakan siklofosfamid. 39 Sebuah
studi percontohan pada manusia juga menunjukkan korelasi antara penurunan transkrip
Shh pada gagal jantung yang dicabut dari pasien yang menjalani pengobatan kemoterapi
dan perkembangan alopecia.25

Gambar 5. mekanisme
rambut rontok pasca kemoterapi25

NEUROPATI PERIFER
Merupakan efek samping kemoterapi yang sering dialami oleh pasien yang
menerima pengobatan kanker. Nyeri dan kelainan sensorik dapat bertahan selama
berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun setelah penghentian kemoterapi. Ced
era mitokondria juga telah terlibat dalam pengembangan disfungsi aksonal yang m

17
engarah ke neuropati post kemoterapi. Jika dibandingkan dengan serabut saraf yan
g tidak diobati, mitokondria tampak membesar atau bengkak, sering dengan vakuo
lasi. Kalsium intraseluler dalam modulator penting dari perakitan mikrotubulus da
n fungsi mitokondria .Secara umum diakui bahwa kekurangan homeostasis kalsiu
m merupakan komponen utama dalam induksi nyeri neuropatik26.

Gejala, keparahan, dan pemulihan Neuropati perifer yang diinduksi paclita


xel bermanifestasi dengan perubahan distal bilateral yang simetris yang terutama
ditandai dengan gejala sensorik seperti kesemutan, mati rasa, dan nyeri terbakar d
alam distribusi stocking-and-glove. Refleks tendon dalam pada tungkai bawah bia
sanya rendah atau tidak ada. Perkembangan neuropati banyak faktor predisposisi,
termasuk: (1) usia lanjut, (2) jadwal dan durasi pengobatan, (3) dosis taksan untuk
setiap siklus, (4)bersamaan pemberian obat neuropsikiatri, dan (5) adanya neuropa
ti yang sudah ada. 26

Mekanisme utama dari tindakan untuk sitotoksisitas alkaloid vinca adalah


melalui pengikatan tubulin untuk mengganggu polimerisasi dan perakitan mikrotu
bulus. Senyawa ini adalah agen spesifik siklus sel, bertindak terutama di M fase u
ntuk menghentikan pembelahan sel. Vinca alkaloid mengganggu sitoskeleton neur
on melalui efeknya pada tubulin, yang menyebabkan hilangnya mikrotubulus akso
nal yang utuh dan perubahan dalam panjang, susunan, dan orientasinya.26

Perubahan ini dalam fungsi mitokondria menyebabkan peningkatan genera


si spesies oksigen reaktif dan gangguan rangsangan saraf. Vincristine tampaknya
mempengaruhi serat sensorik pada tahap awal dan banyak lagi parah dari serat mo
torik. Selain itu, vincristine menargetkan saraf kranial, paling sering saraf okulom
otor. Gejala melibatkan saraf sensorik dan motorik perifer, sistem saraf otonom, s
erta sistem saraf pusat. Pasien biasanya mengeluh mati rasa, kesemutan dan nyeri
neuropatik pada ekstremitas atas dan bawah. Neuropati otonom biasanya disajikan
oleh: sembelit, retensi urin, dan hipotensi ortostatik. Perbaikan lengkap dari
neuropati selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan biasanya diharapkan
dalam kasus kondisi ringan, sedangkan resolusi yang tidak lengkap terjadi selama

18
berbulan-bulan hingga bertahun-tahun pada kasus yang parah.26

Kemoterapi berbasis platinum sangat beracun bagi neuron. Senyawa ini m


enyebabkan gangguan rangsangan membran saraf, disfungsi transpor aksonal dan
gangguan neurotransmisi, induksi inflamasi melalui pelepasan kemokin proinflam
asi, dan perubahan ekspresi saluran ion. Pemberian kalsium dan magnesium ditem
ukan untuk memperbaiki gejala neuropati yang diinduksi oxaliplatin.26

Gambar 6. neuropati perifer26

19
KESIMPULAN

Kanker paru adalah penyebab utama kematian terkait kanker di seluruh


dunia, dengan non-small cell lung cancer (NSCLC) menyumbang 80% dari kasus
kanker paru.1
Tingkat kelangsungan hidup 5 tahun untuk kanker paru-paru semua
stadium cukup rendah yaitu 19% dan hanya 5% untuk pasien dengan penyakit
stadium lanjut.1
Metaanalisis jaringan ini menunjukkan bahwa rejimen Paclitaxel +
Gemcitabine dan Docetaxel + Gemcitabine mungkin memiliki insiden toksisitas
hematologi yang lebih rendah pada pengobatan stadium III / IV NSCLC,
sedangkan regimen Carboplatin + Paclitaxel dan Cisplatin + Gemcitabine +
Vinorelbine relatif lebih tinggi. Temuan ini memiliki makna panduan tertentu
untuk penggunaan klinis dan pengobatan NSCLC stadium III / IV.15

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Yuliandra, Y. et al. Hematologic Toxicities of Chemotherapy in Lung


Cancer Patients : A Retrospective Study in Dr . M . Djamil Hospital Padang
, Indonesia Toksisitas Hematologis Akibat Kemoterapi pada Pasien Kanker
Paru : 8, (2019).
2. World Health Organization. Cancer: Fact Sheets. (2018). Available at:
who.int/en/news-room/ fact-sheets/detail/cancer. (Accessed: 24th February
2021)
3. CancerCare. Treatment Update : Lung Cancer. (2019).
4. Randy Y. C. Poon. Cell Cycle Control: A System of Interlinking
Oscillators. volume 2329. juni 2021
5. Stevenson, M. M. Non-Small Cell Lung Cancer (NSCLC) Treatment
Protocols. Oncology (2020).
6. Antonia, S. J. et al. Durvalumab after Chemoradiotherapy in Stage III
Non–Small-Cell Lung Cancer. 1–11 (2017). doi:10.1056/NEJMoa1709937
7. Reck, M. et al. Nivolumab plus ipilimumab versus chemotherapy as first-
line treatment in advanced non e small-cell lung cancer with high tumour
mutational burden : patient-reported outcomes results from the randomised.
Eur. J. Cancer 116, 137–147 (2019).
8. Paz-Ares, L. et al. Pembrolizumab plus Chemotherapy for Squamous Non–
Small-Cell Lung Cancer. N. Engl. J. Med. 379, (2018).
9. Domine, M. et al. Pembrolizumab plus Chemotherapy in Metastatic Non–
Small-Cell Lung Cancer. N. Engl. J. Med. (2018).
doi:10.1056/NEJMoa1801005
10. Nakagawa, K. et al. Ramucirumab plus erlotinib in patients with untreated ,
EGFR -mutated , advanced non-small-cell lung cancer phase 3 trial. N Engl
J Med 2045, 1–15 (2019).

21
11. Martin, R. et al. Pembrolizumab versus Chemotherapy for PD-L1–Positive
Non–Small-Cell Lung Cancer. N Engl J Med 1823–1833 (2016).
doi:10.1056/NEJMoa1606774
12. Mok, T. S. K. et al. Pembrolizumab versus chemotherapy for previously
untreated , PD-L1-expressing , locally advanced or metastatic non-small-
cell lung cancer: a randomised , open-label , controlled , phase 3 trial. 6736,
1–12 (2019).
13. Crinò, L. et al. Nivolumab versus Docetaxel in Advanced Squamous-Cell
Non–Small-Cell Lung Cancer. N Engl J Med 1–13 (2015).
doi:10.1056/NEJMoa1504627
14. Leighl, N. et al. Pembrolizumab for the Treatment of Non–Small-Cell
Lung Cancer. N Engl J Med 2018–2028 (2018).
doi:10.1056/NEJMoa1501824
15. Cheng, Z. et al. Toxicity comparisons of eight chemotherapy regimens in
the treatment of metastatic / advanced non-small-cell lung cancer : a
network meta-analysis. 10, 8709–8719 (2017).
16. Zhang, C. Clinical comparative investigation of efficacy and toxicity of
cisplatin plus gemcitabine or plus Abraxane as first-line chemotherapy for
stage III / IV non-small-cell lung cancer. 5693–5698 (2016).
17. Sjøgren, K., Jacobsen, K. A., Grønberg, B. H. & Halvorsen, T. O. Timing
of Severe Toxicity from Chemotherapy in Patients With Lung Cancer.
6406, 6399–6406 (2020).
18. Gkika, E. et al. Efficacy and Toxicity of Di ff erent Chemotherapy
Protocols for Concurrent Chemoradiation in Non-Small Cell Lung Cancer
— A Secondary Analysis of the PET Plan Trial. Cancer (2020).
19. Jia-jia, C. et al. Gene-gene and gene-environment interactions influence
platinum- based chemotherapy response and toxicity in non-small cell lung
cancer patients. 1–8 (2017). doi:10.1038/s41598-017-05246-8
20. Liu, W., Wang, Y., Luo, J., Yuan, H. & Luo, Z. Genetic Polymorphisms
and Chemotherapy-Induced Toxicities in Patients With Lung Cancer : A
Systematic Review and. 9, 1–10 (2020).

22
21. Abdel-razeq, H. & Hashem, H. Recent update in the pathogenesis and
treatment of chemotherapy and cancer induced anemia. Crit. Rev. Oncol. /
Hematol. 145, 102837 (2020).
22. Wheate, N. J. The side effects of platinum-based chemotherapy drugs: a
review for chemists. 47, (2018).
23. Adel, N. Overview of Chemotherapy-Induced Nausea and Vomiting and
Evidence-Based Therapies. Am J Manag Care 23, 259–265 (2017).
24. Mcquade, R. M., Stojanovska, V., Abalo, R., Bornstein, J. C. & Nurgali, K.
Chemotherapy-Induced Constipation and Diarrhea : Pathophysiology ,
Current and Emerging Treatments. 7, 1–14 (2016).
25. Haslam S, Lain. Smart, Eleanor. Kerontokan Rambut Akibat Kemoterapi:
Penggunaan Biomarker untuk Memprediksi Keparahan Alopesia dan
Kemanjuran Pengobatan. 14: 2019
26. Flatters, S, J, L. Dougherty, P. M. Clinical and preclinical perspectives on
Chemotherapy-Induced Peripheral Neuropathy (CIPN): a narrative review.
British Journal of Anaesthesia, 119 (4): 737–49 (2017)

23

Anda mungkin juga menyukai