Anda di halaman 1dari 44

REFERAT

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA SCABIES

Disusun oleh:
Sarah Hayati
030.13.177

Pembimbing:
dr. H. Didi Sukandi Sulaeman, Sp. A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KARAWANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 19 AGUSTUS 2019 – 26 OKTOBER 2019
KATA PENGANTAR

Pertama-tama saya panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan yang Maha Esa
atas berkat rahmat dan hidayah-Nya maka saya sebagai dokter muda Fakultas
Kedokteran Universitas Trisakti dapat menyelesaikan referat dengan judul
"Diagnosis dan Tatalaksana Scabies" pada waktunya.
Referat ini dibuat oleh dokter muda Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti
demi memenuhi tugas dalam menempuh kepaniteraan di bagian Ilmu Penyakit
Anak Rumah Sakit Umum Daerah Karawang. Saya mengucapkan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada :
1. dr. Didi Sukandi Sulaeman, Sp.A dokter pembimbing yang telah
memberikan saran dan koreksi dalam penyusunan referat ini.
2. Teman-teman dokter muda dan semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan referat ini.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan referat ini masih banyak


kekurangan, oleh karena itu, segala kritik dan saran dari semua pihak yang
membangun guna menyempurnakan referat ini sangat penulis harapkan. Demikian
yang penulis dapat sampaikan, semoga referat ini dapat bermanfaat dalam bidang
kedokteran, khususnya untuk bidang ilmu penyakit anak

Jakarta, September 2019

Sarah Hayati
030.13.177

i
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

PERSETUJUAN
REFERAT

Judul:

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA SCABIES

Nama : Sarah Hayati


NIM : 030.13.177

Telah disetujui untuk dipresentasikan

Pada Hari .......... , Tanggal ….. September 2019

Jakarta, ….. September 2019

Pembimbing

dr. Didi Sukandi Sulaeman, Sp.A

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................ i


Lembar Persetujuan Pembimbing ............................................................... ii
Daftar Isi...................................................................................................... iii
BAB I Pendahuluan .................................................................................... 1
BAB II Tinjauan Pustaka ............................................................................ 2
2.1 Definisi ........................................................................................... 2
2.2 Epidemiologi .................................................................................. 2
2.2 Faktor risiko ................................................................................... 2
2.4 Mortalitas dan morbiditas .............................................................. 3
2.5 Klasifikasi ...................................................................................... 3
2.6 Patogenesis ..................................................................................... 3
2.7 Etiologi ........................................................................................... 7
2.8 Gejala klinis ................................................................................... 7
2.9 Diagnosis ........................................................................................ 8
2.10 Diagnosis banding ........................................................................ 10
2.11 Tatalaksana .................................................................................. 13
2.12 Monitoring ................................................................................... 20
2.13 Komplikasi ................................................................................... 25
2.14 Pencegahan .................................................................................. 25
BAB III Kesimpulan ................................................................................... 27
BAB IV Daftar Pustaka............................................................................... 28

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Scabies merupakan manifestasi klinis yang disebabkan oleh penetrasi


kutu parasit obligat pada manusia, Sarcoptes scabies var. hominis ke dalam
lapisan epidermis. Kutu scabies ini adalah hewan Arthropoda yang awalnya
diidentifikasi pada tahun 1600-an, namun tidak dikenal sebagai penyebab erupsi
kulit hingga tahun 1700-an. Perkiraan sekitar 300 juta jiwa diseluruh dunia
terinfeksi kutu scabies. Scabies menyerang seluruh lapisan masyarakat, dimana
wanita dan anak-anak lebih banyak terinfeksi. Penyakit ini umumnya cenderung
banyak ditemukan pada area urban, khususnya pada area padat penduduk.
Terdapat bukti adanya variasi musim, dimana banyak kasus dilaporkan pada saat-
saat musim dingin daripada saat musim panas. Insiden scabies telah meningkat
dalam 2 dekade terakhir ini, terutama di rumah-rumah perawatan, penjara, dan
bangsal-bangsal rumah sakit. Transmisi parasit ini biasanya terjadi melalui
kontak personal, meskipun kutu scabies ini dapat hidup di kulit manusia selama
lebih dari 3 hari.(1) Riwayat kontak di sekolah, atau dengan teman dekat
merupakan hal yang penting, terutama ketika tidak ada konfirmasi laboratorium.
Dalam hal anamnesis, paparan terjadi sedikitnya dalam 1 bulan sebelum
munculnya gejala. Gejala awal ini terdiri dari adanya lesi yang bermacam-
macam, kadang muncul pada pergelangan tangan dan lengan, namun lesi ini
kadang diabaikan. Pruritus yang bersifat progresif, yang dapat mengganggu tidur
dan aktivitas normal, merupakan gejala yang sering dikeluhkan pasien dalam
mencari pengobatan. Munculnya lesi primer kadang-kadang dapat diperoleh
hanya dari anamnesis langsung kepada pasien. Scabies sendiri seharusnya
dianggap berbeda dari penyakit-penyakit gatal yang umum. Bentuk khusus yang
disebut “crusted” atau scabies “Norwegia” dapat muncul dengan keluhan gatal
yang minimal atau bahkan tidak ada (2)
Beberapa pasien datang berobat dengan perubahan sekunder yang luas pada
kulit, seperti dermatitis yang meluas, infeksi bakterial sekunder, self-induced
dermatitis yang disebabkan oleh pengobatan yang tidak sesuai. Diperkirakan

1
bahwa rata-rata pasien-pasien seperti ini telah terinfeksi sedikitnya 1 bulan
sebelum gejala ketidaknyamanan generalisata ini muncul.(2) Manifestasi klinis
dari scabies yaitu gatal secara umum yang lebih intens terutama pada malam hari
dan menyebabkan ketidaknyamanan pada pasien, namun, komplikasi dan
kematian juga dapat terjadi, umumnya karena adanya pioderma bakterial
sekunder, yang umumnya disebabkan oleh Streptococcus pyogenus atau
Staphylococcus aureus. Infeksi sekunder ini dapat menyebabkan komplikasi
seperti glomerulonefritis post-streptococcus dan sepsis sistemik.(3)
Kutu ini membuat liang terowongan pada stratum corneum dan
melanjutkan siklus hidupnya di sana. Banyak obat-obatan, terutama dari
golongan insektisida, yang digunakan dalam terapi scabies pada abad ke-20.
Namun, kebanyakan dari obat-obatan ini bersifat toksik. Akhir-akhir ini, adanya
resistensi terhadap obat yang sudah ada sebelumnya, derajat keparahan penyakit,
dan reaksi lanjut dari obat-obatan telah mendorong perkembangan strategi
pengobatan dan antiektoparasit baru untuk manajemen yang lebih optimal.(4)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.DEFINISI
Scabies merupakan infeksi ektoparasit pada manusia yang disebabkan
oleh kutu Sarcoptes scabiei var hominis.(3) Infeksi ini terjadi akibat kontak
langsung dari kulit ke kulit maupun kontak tidak langsung (melalui benda
misalnya pakaian handuk, sprei, bantal dan lain - lain).(5)

2.2.EPIDEMIOLOGI
Scabies dapat menyerang semua ras dan semua kelas sosial di seluruh
dunia, tetapi gambaran yang akurat mengenai prevalensinya sulit didapatkan.
Studi yang dilakukan oleh Downs et al. dengan data-data yang dikumpulkan di
Inggris antar tahun 1967 dan 1996 menunjukkan insiden yang tinggi pada akhir
tahun 1960-an dan 1970-an, kemudian menurun pada tahun 1980-an, dan kembali
meningkat pada tahun 1990-an, dimana prevalensi yang lebih tinggi ditemukan
pada area urban, di sebelah utara Inggris, lebih banyak pada wanita dan anak-
anak, dan frekuensi yang lebih banyak pada musim dingin dibandingkan dengan
pada musim panas. Beberapa penelitian lain juga menemukan adanya variasi
musim ini.(6) Ada dugaan bahwa setiap siklus 30 tahun terjadi epidemi skabies.
Banyak faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini, antara lain:
kebersihan yang buruk, kesalahan diagnosis, dan perkembangan dermografik
serta ekologi. Penyakit ini dapat dimasukkan dalam P.H.S. (Penyakit akibat
Hubungan Seksual).(7)
Scabies paling sering ditemukan pada anak-anak dan dewasa muda, tetapi
dapat menyerang semua umur, dan di Inggris dalam beberapa tahun terakhir ini
lebih sering ditemukan pada lansia di tempat-tempat perawatan. Insiden seks
secara keseluruhan mungkin sama sedangkan pada ras terdapat beberapa
kelompok ras yang rentan, yang mungkin lebih berhubungan dengan kebiasaan
dan faktor sosial daripada faktor kerentanan yang melekat. Populasi yang padat,
yang umum terjadi di negara-negara terbelakang dan hampir selalu terkait dengan

3
kemiskinan dan faktor kebersihan yang buruk, juga ikut mendorong penyebaran
scabies.(6)

2.3.ETIOLOGI
Scabies disebabkan oleh parasit kutu Sarcoptes scabiei var hominis. Kutu
scabies memiliki 4 pasang kaki dan berukuran 0,3 mm, yang tidak dapat dilihat
dengan menggunakan mata telanjang.(7) Secara morfologik merupakan tungau
kecil, berbentuk oval, punggungnya cembung dan bagian perutnya rata. Tungau
ini translusen, berwarna putih kotor, dan tidak bermata. Ukurannya yang betina
berkisar antara 330 – 450 mikron x 250 – 350 mikron, sedangkan yang jantan
lebih kecil, yakni 200 – 240 mikron x 150 – 200 mikron. Bentuk dewasa
mempunyai 4 pasang kaki, 2 pasang didepan sebagai alat untuk melekat dan 2
pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut, sedangkan pada jantan
pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan keempat dengan alat perekat.(7)

Gambar 1 : Gambaran morfologi Sarcoptes scabiei

Siklus hidup tungau ini sebagai berikut. Setelah kopulasi (perkawinan)


yang terjadi di atas kulit, tungau jantan akan mati. Tapi kadang-kadang masih
dapat hidup beberapa hari dalam terowongan yang digali oleh tungau betina.
Tungau betina yang telah dibuahi menggali terowongan dalam stratum korneum,
dengan kecepatan 2 -3 milimeter sehari dan sambil meletakkan telurnya 2 atau 4
butir sehari sampai mencapai 40-50 telur yang dihasilkankan oleh setiap tungau
betina selama rentang umur 4-6 minggu dan selama itu tungau betina tidak
meninggalkan terowongan. Setelah itu, larva berkaki enam akan muncul dari

4
telur setelah 3-4 hari dan keluar dari terowongan dengan memotong atapnya.
Larva kemudian menggali terowongan pendek (moulting pockets) di mana
mereka berubah menjadi nimfa. Setelah itu berkembang menjadi tungau jantan
dan betina dewasa. Seluruh siklus hidupnya mulai dari telur sampai bentuk
dewasa memerlukan waktu antara 8 – 12 hari.(6,13)

Gambar 2. Siklus Hidup Skabies

Tungau skabies lebih suka memilih area tertentu untuk membuat


terowongannya dan menghindari area yang memiliki banyak folikel pilosebaseus.
Biasanya, pada satu individu terdapat kurang dari 20 tungau di tubuhnya, kecuali
pada Norwegian scabies dimana individu bisa didiami lebih dari sejuta tungau.
Orang tua dengan infeksi virus immunodefisiensi dan pasien dengan pengobatan
immunosuppresan mempunyai risiko tinggi untuk menderita Norwegian
scabies.(14,6)

5
2.4.FAKTOR RISIKO

Gambar 2 : Faktor-Faktor yang Memengaruhi Prevalensi Skabies(8)

2.5. PATOGENESIS
Reaksi alergi yang sensitif terhadap tungau dan produknya memperlihatkan
peran yang penting dalam perkembangan lesi dan terhadap timbulnya gatal. (9) S.
Scabiei melepaskan substansi sebagai respon hubungan antara tungau dengan
keratinosit dan sel-sel Langerhans ketika melakukan penetrasi ke dalam kulit. (10)
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan keterlibatan reaksi
(9,10)
hipersensitivitas tipe IV dan tipe I. Pada reaksi tipe I, pertemuan antigen
tungau dengan Imunoglobulin-E pada sel mast yang berlangsung di epidermis
menyebabkan degranulasi sel-sel mast. Sehingga terjadi peningkatan antibodi
IgE. Keterlibatan reaksi hipersensitivitas tipe IV akan memperlihatkan gejala
(10)
sekitar 10-30 hari setelah sensitisasi tungau dan akan memproduksi papul-

6
papul dan nodul inflamasi yang dapat terlihat dari perubahan histologik dan
(9)
jumlah sel limfosit T banyak pada infiltrat kutaneus. Kelainan kulit yang
menyerupai dermatitis tersebut sering terjadi lebih luas dibandingkan lokasi
tungau dengan efloresensi dapat berupa papul, nodul, vesikel, urtika dan lainnya.
Akibat garukan yang dilakukan oleh pasien dapat timbul erosi, ekskoriasi, krusta
hingga terjadinya infeksi sekunder. (11)
Cara penularan skabies:
Skabies dapat ditularkan melalui kontak langsung maupun kontak tidak
langsung.(12) Penularan melalui kontak langsung (skin-to-skin) menjelaskan
mengapa penyakit ini sering menular ke seluruh anggota keluarga.(10) Penularan
secara tidak langsung dapat melalui penggunaan bersama pakaian, handuk,
maupun tempat tidur. Bahkan dapat pula ditularkan melalui hubungan seksual
antar penderita dengan orang sakit,(7) namun skabies bukan manifestasi utama
dari penyakit menular seksual. (12)

2.6. DIAGNOSIS
1. Gambaran Klinis
Kelainan klinis pada kulit yang ditimbulkan oleh infestasi Sarcoptes scabiei
sangat bervariasi. Meskipun demikian kita dapat menemukan gambaran klinis
berupa keluhan subjektif dan objektif yang spesifik. Dikenal ada 4 tanda
utama atau cardinal sign pada infestasi skabies, yaitu (1,13) :
1. Pruritus nocturna
Setelah pertama kali terinfeksi dengan tungau skabies, kelainan
kulit seperti pruritus akan timbul selama 6 hingga 8 minggu. Infeksi yang
berulang menyebabkan ruam dan gatal yang timbul hanya dalam beberapa
hari. Gatal terasa lebih hebat pada malam hari.(3,4) Hal ini disebabkan
karena meningkatnya aktivitas tungau akibat suhu yang lebih lembab dan
panas. Sensasi gatal yang hebat seringkali mengganggu tidur dan
penderita menjadi gelisah.(13)

7
2. Sekelompok orang
Penyakit ini menyerang manusia secara kelompok, sehingga dalam
sebuah keluarga biasanya mengenai seluruh anggota keluarga. Begitu
pula dalam sebuah pemukiman yang padat penduduknya, skabies dapat
menular hampir ke seluruh penduduk. Didalam kelompok mungkin akan
ditemukan individu yang hiposensitisasi, walaupun terinfestasi oleh
parasit sehingga tidak menimbulkan keluhan klinis akan tetapi menjadi
pembawa/carier bagi individu lain.(13)
3. Adanya terowongan
Kelangsungan hidup Sarcoptes scabiei sangat bergantung kepada
kemampuannya meletakkan telur, larva dan nimfa didalam stratum
korneum, oleh karena itu parasit sangat menyukai bagian kulit yang
memiliki stratum korneum yang relative lebih longgar dan tipis. (13)

Lesi yang timbul berupa eritema, krusta, ekskoriasi papul dan nodul
yang sering ditemukan di daerah sela-sela jari, aspek volar pada
pergelangan tangan dan lateral telapak tangan, siku, aksilar, skrotum,
penis, labia dan pada areola wanita.(3) Bila ada infeksi sekunder ruam
kulitnya menjadi polimorf (pustul, ekskoriasi, dan lain-lain).(13)

Gambar 3. Lesi pada sela jari, penis, dan areola mammae

Erupsi eritematous dapat tersebar di badan sebagai reaksi


hipersensitivitas pada antigen tungau. Lesi yang patognomonik adalah
terowongan yang tipis dan kecil seperti benang, berstruktur linear kurang
lebih 1 hingga 10 mm, berwarna putih abu-abu, pada ujung terowongan
ditemukan papul atau vesikel yang merupakan hasil dari pergerakan

8
tungau di dalam stratum korneum. Terowongan ini terlihat jelas kelihatan
di sela-sela jari, pergelangan tangan dan daerah siku. Namun, terowongan
tersebut sukar ditemukan di awal infeksi karena aktivitas menggaruk
pasien yang hebat.(3)

Gambar 4. Tempat-tempat predileksi skabies


4. Menemukan Sarcoptes scabiei
Apabila kita dapat menemukan terowongan yang masih utuh
kemungkinan besar kita dapat menemukan tungau dewasa, larva, nimfa
maupun skibala dan ini merupakan hal yang paling diagnostik. Akan
tetapi, kriteria yang keempat ini agak susah ditemukan karena hampir
sebagian besar penderita pada umumnya datang dengan lesi yang sangat
variatif dan tidak spesifik.(13) Pada kasus skabies yang klasik, jumlah
tungau sedikit sehingga diperlukan beberapa lokasi kerokan kulit. Teknik
pemeriksaan ini sangat tergantung pada operator pemeriksaan, sehingga
kegagalan menemukan tungau sering terjadi namun tidak menyingkirkan
diagnosis skabies.(14)

2. Bentuk Klinis
Selain bentuk skabies yang klasik, terdapat pula bentuk-bentuk yang tidak
khas, meskipun jarang ditemukan. Kelainan ini dapat menimbulkan kesalahan
diagnostik yang dapat berakibat gagalnya pengobatan
9
Bentuk-bentuk skabies antara lain : (15)
1. Skabies pada orang bersih
Klinis ditandai dengan lesi berupa papula dan kanalikuli dengan jumlah
(13)
yang sangat sedikit, kutu biasanya hilang akibat mandi secara teratur.
Namun bentuk ini seringkali salah diagnosis karena lesi jarang ditemukan
dan sulit mendapatkan terowongan tungau. (15)

Gambar 5 . Skabies pada orang bersih (scabies of cultivated) *


2. Skabies nodular
Skabies nodular memperlihatkan lesi berupa nodul merah kecoklatan
berukuran 2-20 mm yang gatal. Umumnya terdapat pada daerah yang tertutup
terutama pada genitalia, inguinal dan aksila. Pada nodus yang lama tungau sukar
ditemukan, dan dapat menetap selama beberapa minggu hingga beberapa bulan
walaupun telah mendapat pengobatan anti skabies.(14,15)

Gambar 6. Skabies Nodular **


3. Skabies incognito
Penggunaan obat steroid topikal atau sistemik dapat menyamarkan gejala
dan tanda pada penderita apabila penderita mengalami skabies.(13) Sehingga
(11)
penderita dapat memperlihatkan perubahan lesi secara klinis. Akan

10
tetapi dengan penggunaan steroid, keluhan gatal tidak hilang dan dalam
waktu singkat setelah penghentian penggunaan steroid lesi dapat kambuh
kembali bahkan lebih buruk. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena
penurunan respon imun seluler.(13)

Gambar 7. Skabies incognito dengan lesi krusta terlokalisasi pada penderita dengan
pengobatan regimen imunosupresan ***

4. Skabies yang ditularkan oleh hewan (7)


Sarcoptes scabiei varian canis bisa menyerang manusia yang
pekerjaannya berhubungan erat dengan hewan tersebut, misalnya anjing,
kucing dan gembala. Lesi tidak pada daerah predileksi skabies tipe
humanus tetapi pada daerah yang sering berkontak dengan hewan
peliharaan tersebut, seperti dada, perut, lengan. Masa inkubasi jenis ini
lebih pendek dan sembuh sendiri bila menjauhi hewan tersebut dan mandi
bersih-bersih oleh karena varietas hewan tidak dapat melanjutkan siklus
hidupnya pada manusia.(13,15)

Gambar 8. Skabies caninum

5. Skabies Norwegia (Skabies berkrusta)


Kondisi yang jarang ini sangat mudah menular karena tungau berada
(15)
dalam jumlah yang banyak dan diperkirakan lebih dari sejuta tungau

11
berkembang di kulit, sehingga dapat menjadi sumber wabah di tempat
pelayanan kesehatan. (3)
Kadar IgE yang tinggi, eosinofil perifer, dan perkembangan krusta di
kulit yang hiperkeratotik dengan skuama dan penebalan menjadi
(7)
karakteristik penyakit ini. Plak hiperkeratotik tersebar pada daerah
palmar dan plantar dengan penebalan dan distrofi kuku jari kaki dan tangan.
(3) (13)
Lesi tersebut menyebar secara generalisata seperti daerah leher dan
(7)
kulit kepala. telinga, bokong, siku, dan lutut.(13) Kulit yang lain biasanya
terlihat xerotik. Pruritus dapat bervariasi dan dapat pula tidak ditemukan
pada bentuk penyakit ini.(13)

Gambar 9. Skabies norwegian pada plantar

Bentuk ini ditemukan pada penderita yang mengalami gangguan fungsi


imunologik misalnya penderita HIV/AIDS, lepra, penderita infeksi virus
leukemia type 1, pasien yang menggunakan pengobatan imunosupresi,
penderita gangguan neurologik dan retardasi mental.(6,13)

6. Skabies pada bayi dan anak


Pada anak yang kurang dari dua tahun, infestasi bisa terjadi di wajah dan
kulit kepala sedangkan pada orang dewasa jarang terjadi.(3) Lesi skabies
pada anak dapat mengenai seluruh tubuh, termasuk seluruh kepala, leher,
telapak tangan, telapak kaki dan sering terjadi infeksi sekunder berupa
impetigo, ektima, sehingga terowongan jarang ditemukan. Pada bayi, lesi
terdapat di wajah.(13)

12
Nodul pruritis erithematos keunguan dapat ditemukan pada axilla dan
daerah lateral badan pada anak-anak. Nodul-nodul ini bisa timbul
berminggu-minggu setelah eradikasi infeksi tungau dilakukan. Vesikel dan
bulla bisa timbul terutama pada telapak tangan dan jari.(3)

Gambar 10. Skabies pada anak

2.6. PATOGENESIS
Pada defisiensi insulin akut, akan terjadi hiperglikemia karena pengaruh
insulin pada metabolisme glukosa tidak ada. Penimbunan glukosa di ekstrasel
menyebabkan hiperosmolaritas. Transpor maksimal glukosa akan meningkat di
ginjal sehingga glukosa diekskresikan ke dalam urin. Hal ini menyebabkan
diuresis osmotik yang disertai kehilangan air (poliuria), Na+ dan K+ dari ginjal,
dehidrasi dan kehausan. Meskipun kehilangan K+ dari ginjal, tetapi tidak terjadi
hipokalemia karena sel melepaskan K+ akibat penurunan aktivitas kotranspor
Na+-K+-2Cl- dan Na+-K+-ATPase. Oleh karena itum konsentrasi K+ ekstrasel
cenderung meningkat sehingga menyamarkan keseimbangan K+ negatif.(5)

13
Gambar 1. Patofisiologi KAD(5)

Pemberian insulin kemudian menyebabkan hipokalemia yang dapat


mengancam nyawa. Dehidrasi menyebabkan hipovolemia dengan menimbulkan
gangguan sirkulasi dengan derajat yang sesuai. Pelepasan aldosteron yang terjadi
meningkatkan kekurangan K+, sedangkan pelepasan epinefrin dan glukokortikoid

14
akan meningkatkan katabolisme. Aliran darah ginjal yang menurun akan
mengurangi ekskresi glukosa dari ginjal sehingga mendorong terjadinya
hiperglikemia.(5)

Sel semakin kehilangan fosfat (P) dan magnesium yang juga diekskresi
oleh ginjal. Jika terdapat defisiensi insulin, protein akan dipecahkan menjadi
asam amino di otot dan jaringan lain. Pemecahan otot bersama dengan gangguan
elektrolit akan menyebabkan kelemahan otot. Lipolisis yang telah terjadi
menyebabkan pelepasan asam lemak ke dalam darah (hiperlipidasidemia). Hati
menghasilkan asam asetoasetat dan asam hidroksibutirat-β dari asam lemak.
Penumpukan asam ini akan menyebabkan asidosis, yang memaksa pasien untuk
bernapas dalam (Kussmaul). Beberapa asam ini dipecahkan menjadi aseton
(benda keton). Selain itu, trigliserida akan dibentuk di hari dari asam lemak dan
bergabung menjadi VLDL. Oleh karena defisiensi insulin memperlambat
pemecahan lipoprotein, hiperlipidemia menjadi semakin berat. Beberapa
trigliserida tetap tersisa di dalam hati sehingga terjadi perlemakan hati.(5)

15
Pemecahan protein dan lemak serta poliuria akan menyebabkan penurunan berat
badan. Metabolisme yang abnormal, gangguan elektrolit dan perubahan volume
sel akibat perubahan osmolaritas dapat mengganggu fungsi neuron dan
menyebabkan koma hiperosmolar atau ketoasidosis. Akibat utama defisiensi
insulin relatif adalah hiperglikemia dan hiperosmolaritas, sedangkan pada
defisiensi insulin absolut, selain akibat tersebut terdapat peningkatan proteolisis
dan lipolisis (ketoasidosis).(5)

Gambar 2. Faktor predisposisi terjadinya infeksi pada KAD(6)

Infeksi yang berat dapat meningkatkan pelepasan hormon antagonis


seperti somatoropin, glukokortikoid, epinefrin (pada stres), progestogen dan
koriomamotropin (pada kehamilan), ACTH, hormon tiroid, dan glukagon
sehingga meningkatkan manifestasi diabetes melitus.(5)

16
2.7. ETIOLOGI
Infeksi tetap merupakan faktor pencetus paling sering untuk KAD dan
KHH, namun beberapa penelitian terbaru menunjukkan penghentian atau
kurangnya dosis insulin dapat menjadi faktor pencetus penting. Patut
diperhatikan bahwa terdapat sekitar 10-22% pasien yang datang dengan diabetes
awitan baru. Infeksi yang paling sering diketemukan adalah pneumonia dan
infeksi saluran kemih yang mencakup antara 30% sampai 50% kasus. Penyakit
medis lainnya yang dapat mencetuskan KAD adalah penyalahgunaan alkohol,
trauma, emboli pulmonal dan infark miokard. Beberapa obat yang mempengaruhi
metabolisme karbohidrat juga dapat menyebabkan KAD atau KHH, diantaranya
adalah: kortikosteroid, pentamidine, zat simpatomimetik, penyekat alpha dan
beta.(7)
Peningkatan penggunaan pompa insulin yang menggunakan injeksi
insulin kerja pendek dalam jumlah kecil dan sering telah dikaitkan dengan
peningkatan insidens KAD secara signifikan bila dibandingkan dengan metode
suntikan insulin konvensional. Studi Diabetes Control and Complications Trial
menunjukkan insidens KAD meningkat kurang lebih dua kali lipat bila
dibandingkan dengan kelompok injeksi konvensional. Hal ini kemungkinan
disebabkan oleh penggunaan insulin kerja pendek yang bila terganggu tidak
meninggalkan cadangan untuk kontrol gula darah.(7)
Pada pasien-pasien muda dengan T1DM, permasalahan psikologis yang
disertai dengan gangguan pola makan dapat menjadi pemicu keadaan KAD pada
kurang lebih 20% kasus. Faktor-faktor yang dapat menyebabkan pasien
menghentikan penggunaan insulin seperti ketakutan peningkatan berat badan,
ketakutan hipoglikemia, pemberontakan dari otoritas dan stres akibat penyakit
kronik juga dapat menjadi pemicu kejadian KAD.(7)

2.8.GEJALA KLINIS
Berdasarkan konsensus IDAI tahun 2017, disebutkan gejala klinis KAD
sebagai berikut:

17
1. Gejala klasik DM berupa poliuria, polidipsi, serta penurunan berat
badan.
2. Dehidrasi, dengan derajat yang bervariasi.
3. Mual, muntah, nyeri perut, takikardi, hipotensi, turgor kulit menurun, dan
syok.
4. Perubahan kesadaran dengan derajat yang bervariasi, mulai dari bingung
sampai koma.
5. Pola napas Kussmaul.(1)

KAD biasanya timbul dengan cepat, biasanya dalam rentang waktu <24
jam.(7) Gejala awal hingga lanjutan dapat dikelompokkan sebagai berikut(8):

Karakteristik Gejala
Stage 1 Hiperglikemia Polidipsi, poliuri
Stage 2 Ketonemia Stage 1 + malaise
Stage 3 Ketonuria Stage 2 + semakin lemas, sakit
kepala/myalgia, mual, nyeri perut
Stage 4 KAD Stage 3 + muntah, kebingungan, pusing
berputar, nafas cepat dan dalam, nafas
berbau keton
Stage 5 Koma Tidak sadar
Stage 6 Kematian Akral dingin, CRT <2”

2.9.DIAGNOSIS
Pada pasien yang belum terdiagnosa diabetes, diagnosisnya akan lebih
sulit. Pasien biasanya mengalami nyeri perut, mual, muntah, dehidrasi dan
hiperpnea. Muntah tanpa disertai diare dapat pula sebagai gejala KAD. Pada
anamnesa anak yang lebih besar, sering didapatkan polidipsia, poliuria, nokturia,
enuresis, terdapat penurunan berat badan dalam beberapa waktu terakhir. Dapat
disertai riwayat kejang dan penurunan kesadaran. Pada pasien yang telah

18
diketahui menderita diabetes, KAD dapat dicurigai bila terdapat keluhan nyeri
perut, muntah-muntah, atau malaise.(3)
Manifestasi klinis KAD sangat bervariasi dari ringan sampai berat dan
gejalanya dapat menyerupai pneumonia, asma, bronkiolitis atau akut abdomen.
Muntah pada pasien KAD disebabkan karena asidosis metabolik, sedangkan
nyeri perut terjadi akibat menurunnya perfusi mesenterium, dehidrasi otot dan
jaringan usus serta paralisis saluran cerna akibat gangguan keseimbangan asam
basa dan elektrolit. Nyeri perut dapat menyerupai gejala klinis apendisitis,
perforasi usus, dan pankreatitis. Muntah dan nyeri perut ini sering menyebabkan
terjadinya salah diagnosis saat awal pasien datang.(9) Pernapasan Kussmaul
tampak pada asidosis karena rangsangan pada pusat pernafasan medular. Pada
KAD sering juga didapatkan napas berbau keton. Dan pada kasus yang berat
dapat terjadi penurunan kesadaran dan kejang.(2)
Pada semua pasien harus dicari kemungkinan adanya infeksi sebagai
faktor pemicu ketoasidosis metabolik. Infeksi yang paling sering diketemukan
adalah pneumonia dan infeksi saluran kemih yang mencakup antara 30% sampai
50% kasus.(7)

19
Pada pemeriksaan penunjang, didapatkan kadar GDS ≥200 mg/dL,
ketonemia dan ketonuria, pH ≤7.3, dan bikarbonat ≤18 mEq per L (18 mmol per
L). Orang dengan hiperglikemi dapat memiliki pseudohiponatremia dan kadar
natrium harus diperbaiki. Urinalisis hanya dapat mengukur aseton dan
asetoasetat, bukan β-hidroksibutirat, yaitu keton yang terdapat pada KAD. Pada
suatu penelitian, terdapat 6 dari 18 sampel pasien KAD yang negatif untuk
pemeriksaan keton pada tes carik celup urin. Ketonemia adalah kadar keton
dalam darah ≥ 0.42 mmol per L.(10) Anion gap >10-12 mmol/L telah
mengindikasikan adanya asidosis dengan peningkatan anion gap. Namun kadar
anion gap >35 mmol dianggap sebagai asidosis laktat.(11)
Pemeriksaan lainnya meliputi pemeriksaan elektrolit, fosfat, BUN,
kreatinin, darah perifer lengkap dan EKG. Kadar kalium ≤ 3.3 mEq per L (3.3
mmol per L) mengindikasikan hipokalemia. Leukositosis dapat muncul walaupun
tidak ada infeksi. Hal ini terjadi karena adanya peningkatan katekolamin dalam
darah. Evaluasi adanya infeksi dapat dilakukan dengan kultur darah dan urin.
Peningkatan kadar hemogloblin dapat terjadi karena dehidrasi. Kadar HbA1c
menggambarkan derajat glycemic control pada orang yang telah diketahui
menderita diabetes.(10)

2.10. DIAGNOSIS BANDING

20
Gambar 3. Diagnosis banding(7)

a. Ketoasidosis diabetikum vs. Ketoasidosis alkohol


Tidak semua pasien dengan ketoasidosis mengalami KAD. Pasien dengan
penyalahgunaan etanol kronik dan baru saja mendapatkan intake alkohol eksesif
(ie. Binge drinking) sehingga menyebabkan nausea vomitus dan kelaparan akut
dapat menderita ketoasidosis alkohol (KAA). Pada semua laporan KAA,
peningkatan keton tubuh total (7-10 mmol/L) dapat diperbandingkan dengan
pasien-pasien KAD.(7)
Kadar malonil ko-A yang rendah juga membantu menstimulasi
ketoasidosis dan peningkatan kadar katekolamin, sehingga menurunkan sekresi
insulin dan meninkatkan rasio glukagon terhadap insulin. Kesemua keadaan ini
menyebabkan terjadinya pergeseran keseimbangan reaksi ke arah produksi beta-
hidroksibutirat. Sehingga biasanya pasien dengan KAA datang dengan kadar
glukosa normal atau rendah disertai dengan kadar beta-hidroksibutirat yang jauh
lebih tinggi dibanding asetoasetat.(7)
Ketoasidosis diabetikum dikarakteristikkan dengan hiperglikemia
(glukosa plasma >250 mg/dL) sedangkan ketoasidosis tanpa hiperglikemia secara
khas merujuk kepada ketoasidosis alkohol.(7)

21
b. Ketoasidosis diabetikum vs. Ketosis kelaparan
Pada beberapa pasien dengan penurunan intake makanan (<500 kkal/hari)
selama beberapa hari, dapat terjadi ketoasidosis ringan yang disebut sebagai
ketosis kelaparan. Meskipun demikian, subyek sehat dapat beradaptasi terhadap
puasa berkepanjangan dengan meningkatkan bersihan badan keton pada jaringan
perifer (otak dan otot) dan juga dengan meningkatkan kemampuan ginjal dalam
mengekresikan amonium sebagai kompensasi peningkatan produksi asam
ketoasid. Sehingga pasien dengan ketosis kelaparan jarang datang dengan kadar
konsentrasi bikarbonat <18 mEq/L dan tidak juga menunjukkan tanda
hiperglikemia.(7)

c. Ketoasidosis diabetikum vs. Asidosis metabolic lainnya


Ketoasidosis diabetikum juga harus dibedakan dari penyebab-penyebab
lain asidosis metabolik gap anion tinggi, termasuk asidosis laktat, gagal ginjal
kronik stadium lanjut, dan keracunan obat-obatan seperti salisilat, metanol, etilen
glikol dan paraldehid. Pengukuran kadar laktat darah dapat dengan mudah
menentukan diagnosis asidosis laktat (>5 mmol/L) oleh karena pasien KAD
jarang sekali menunjukkan kadar laktat setinggi ini. Meskipun demikian, status
redoks yang terganggu dapat mengaburkan ketoasidosis pada pasien dengan
asidosis laktat.(7)

d. Hyperosmolar Hyperglicemic State (HHS)


Suatu keadaan dimana terjadi peningkatan ekstrim dari glukosa darah dan
hiperosmolalitas tanpa ketosis yang signifikan. HHS jarang terjadi pada anak
dibandingkan dengan KAD. Tidak seperti gejala klasik KAD (hiperventilasi,
muntah dan nyeri perut) yang terjadi akut, gejala poliuria dan polidipsia pada
HHK mungkin sulit untuk disadari yang pada akhirnya akan terjadi dehidrasi dan

22
hilangnya elektrolit. Pada orang dewasa, defisit cairan pada HHS bisa mencapai
2x lebih banyak daripada KAD.(11)
Kriteria HHS(11):
 Kadar glukosa darah >33.3 mmol/L (600 mg/dL)
 pH arteri>7.30; pH vena>7.25
 Bikarbonat >15 mmol/L
 Sedikit ketonemia dan ketonuria
 Osmolalitas serum >320 mOsm/kg
Penting untuk mengetahui bahwa dapat saja terjadi kemiripan manifestasi
antara HHS dan KAD, terutama bila terjadi dehidrasi berat, asidosis ringan atau
sedang karena penurunan perfusi atau asidosis laktat. Sebaliknya, anak dengan
DMT1 dapat memiliki manifestasi hiperglikemia berat dari HHS tertutama jika
asupan tinggi karbohidrat dipakai untuk menghilangkan haus sebelum diagnosis
ditegakkan.(11)

Gambar 4. Diagnosis banding dengan HHS(10)

2.11. TATALAKSANA(1)

23
Tujuan utama adalah menghentikan proses asidosis bukan hanya
menurunkan kadar glukosa. Prinsip tata laksana KAD meliputi terapi cairan
untuk mengkoreksi dehidrasi dan menstabilkan fungsi sirkulasi, pemberian
insulin untuk menghentikan produksi badan keton yang berlebihan, mengatasi
gangguan keseimbangan elektrolit, mengatasi penyakit yang mendasari KAD
serta monitor komplikasi terapi.
Anak dengan KAD harus dirawat di tempat yang memiliki perawat
terlatih dalam menangani KAD, memiliki panduan tata laksana KAD, memiliki
laboratorium yang memungkinkan evaluasi pasien secara ketat.
• Indikasi perawatan di Ruang Rawat Intensif adalah:
-- KAD berat.
-- Risiko edema serebri.
-- Usia sangat muda (< 5 tahun)
-- Aritmia

2.11.1. Penilaian Awal(1)


 Amankan airway, breathing, circulation:
-- Airway : amankan jalan napas. Jika perlu kosongkan isi lambung
-- Breathing : berikan oksigen pada pasien dengan dehidrasi berat atau syok.
-- Circulation : pemantauan jantung sebaiknya menggunakan EKG untuk
mengevalusi adanya kemungkinan hiperkalemia atau
hipokalemia.
-- Sebaiknya dipasang dua kateter intravena (IV).
 Nilai kesadaran menggunakan GCS (Glasgow Coma Scale).
 Timbang berat badan pasien
-- Gunakan berat badan aktual untuk menghitung kebutuhan cairan maupun
kebutuhan insulin.
 Nilai derajat dehidrasi
-- Dehidrasi dianggap sedang jika dehidrasinya mencapai 5%-9%, tanda-tanda
dehidrasi meliputi:

24
 Capillary refill memanjang
 Turgor menurun
 Hiperpnea
 Serta adanya tanda-tanda dehidrasi seperti membran mukus yang
kering, mata cekung, dan tidak ada air mata.
-- Dehidrasi dianggap lebih dari 10% atau berat jika terdapat nadi yang lemah,
hipotensi, dan oliguria.
-- Mengingat derajat dehidrasi dari klinis sangat subyektif dan seringkali tidak
akurat maka direkomendasikan bahwa pada KAD sedang dehidrasinya
adalah 5-7% sedangkan pada KAD berat derajat dehidrasinya adalah 7-10%.
 Evaluasi klinis apakah terdapat infeksi atau tidak.
 Ukur kadar glukosa darah dan kadar beta hidroksi butirat/BOHB (atau keton
urin) dengan alat bedside.
 Lakukan pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium
setidaknya glukosa plasma, elektrolit serum (perhitungan anion gap), analisis
gas darah (pH, HCO3 dan pCO2) vena, kadar BOHB, dan darah tepi lengkap.
Pemeriksaan tambahan lain yang diperlukan adalah serum kreatinin,
osmolalitas plasma, serum albumin, fosfor, dan magnesium.
 Periksa HbA1c.
 Lakukan pemeriksaan urinalisis.
 Jika terdapat demam atau tanda infeksi lainnya lakukan kultur (darah, urin, atau
kultur dari spesimen lainnya) sebelum pemberian antibiotik.
 Lakukan EKG jika hasil pemeriksaan elektrolit tertunda. Perhatikan ada
tidaknya perubahan EKG sebagai berikut:
 Hiperkalemia
-- Interval PR memanjang
-- QT memendek
-- Gelombang T simetris, tinggi, tajam
-- Gelombang sinus
 Hipokalemia
-- Terdapat gelombang U

25
-- Interval QT melebar
-- Gelombang T mendatar
-- Segmen ST menurun
 Hipokalsemia
-- Interval QT memanjang
 Lain-lain
-- QTc memanjang
-- QTc: Corrected QT.

Gambar 5. Gambaran EKG pada hipokalemi dan hiperkalemi(12)

2.11.2. Cairan dan elektrolit(1)


 Defisit cairan dan elektrolit harus diganti.
 Tujuan rehidrasi adalah untuk memperbaiki sirkulasi, menurukan kadar hormon
counter regulatory, menurunkan kadar gula darah memperbaiki perfusi ginjal(9)
 Apabila terjadi renjatan, berikan NaCl 0,9% atau RL 20 ml/kgBB dan dapat
diulangi sampai renjatan teratasi.

26
-- Bila renjatan sudah membaik tetapi sirkulasi belum stabil, cairan dapat
diberikan dengan kecepatan 10 ml/kgBB dalam waktu 1-2 jam.
-- Rehidrasi harus segera dimulai dengan cairan isotonik (NaCl 0,9% atau
cairan yang hampir isotonik misalnya Ringer Laktat/RL atau Ringer
Asetat).
-- Rehidrasi awal harus menggunakan NaCl 0,9% atau ringer asetat paling
tidak selama 4-6 jam.
-- Setelah itu, penggantian cairan harus dengan cairan yang memiliki tonisitas
sama atau lebih dari 0,45% dengan ditambahkan kalium klorida, kalium
fosfat atau kalium asetat.
-- Penilaian osmolalitas efektif berguna untuk evaluasi terapi cairan dan
elektrolit.
Rehidrasi selanjutnya dilakukan dalam kurun waktu 48 jam dengan
memperhitungkan sisa defisit cairan ditambah kebutuhan cairan rumatan untuk
48 jam.
 Gunakan cairan kristaloid dan hindari penggunaan koloid.
 Karena derajat dehidrasi mungkin sulit ditentukan dan dapat diestimasi
berlebihan, maka cairan infus per hari tidak boleh melebihi 1,5-2x kebutuhan
cairan rumatan berdasarkan usia, berat maupun luas permukaan tubuh.
 Salah satu indikator status hidrasi adalah kadar Natrium. Pada KAD terjadi
pseudohiponatremia sehingga kadar natrium pasien KAD dihitung untuk
mengetahui kadar Natrium sebenarnya (Na+), dengan rumus:

[Na+ terukur] + (1,6 x [glukosa -100 mg/dL] / 100)


atau
[Na+ terukur] + (1,6 x [glukosa -5,6 mM] / 5,6)

 Kadar Na+ harus tetap dalam kisaran normal yaitu 135–145 mEq/L atau
perlahan-lahan menjadi normal jika pada awalnya meningkat. Kadar Na+ yang
tinggi merupakan tanda adanya dehidrasi hipertonik dan rehidrasi perlu

27
dilakukan lebih lambat. Bila Na+ turun dibawah nilai normal maka hal ini
menunjukkan pemberian cairan yang terlalu cepat atau retensi air.
 Kandungan natrium dalam cairan perlu ditambah jika kadar natrium serum
rendah dan tidak meningkat sesuai dengan penurunan kadar glukosa darah.
 Hati-hati, penggunaan NaCl 0,9% dalam jumlah besar dapat mengakibatkan
timbulnya asidosis metabolik hiperkloremik.
 Hiperkloremia didefinisikan dengan rasio klorida : Natrium > 0,79
 Kebutuhan cairan pada KAD yang sudah teratasi sama dengan kebutuhan
cairan anak normal lainnya.
 Cara penghitungan kebutuhan cairan pada awal tata laksana:
1. Estimasi derajat dehidrasi = A%
2. Estimasi defisit cairan = A% x BB (Kg) x1000 mL =B mL
3. Hitung cairan rumatan untuk 48 jam = C mL
4. Hitung kebutuhan cairan total 48 jam = Defisit + Rumatan = D mL
5. Hitung kecepatan cairan infus per jam= D mL/48 jam

2.11.3. Insulin(1)
 Mulai pemberian insulin 1-2 jam setelah pemberian cairan. Pemberian insulin
sejak awal tata laksana meningkatkan risiko hipokalemia.
 Jenis insulin yang boleh diberikan adalah short acting atau rapid acting
 Rute pemberian insulin adalah intravena (IV). Lakukan flushing pada karet
infus sebelum terpasang pada pasien.
 Dosis insulin yang digunakan: 0,05-0,1 U/kgBB/jam.
-- Insulin bolus tidak diperlukan pada tata lakasana KAD
-- Untuk memudahkan pemberian, monitoring dan titrasi insulin selama tata
laksana KAD maka buatlah line IVFD untuk insulin secara tersendiri dengan
kadar cairan 1 mL = 0,01 U insulin.
 Cara pengencerannya adalah: 50 Unit insulin diencerkan dalam 50 mL NaCl
0,9% (1 mL = 1 U) atau 5 Unit insulin diencerkan dalam 50 mL NaCl (1mL =
0,01 U)

28
-- Pertahankan dosis insulin tetap 0,05-0,1 U/kgBB/jam sampai KAD teratasi
(pH > 7,30, bikarbonat > 15 mEq/L, BOHB < 1 mmol/L).
-- Dosis insulin dapat diturunkan lebih rendah dari 0,05 U/kgBB/ jam jika
pasien sensitif terhadap insulin dan tetap menunjukkan adanya perbaikan
asidosis metabolik.
 Untuk mencegah penurunan glukosa darah yang terlalu cepat selama asidosis
belum teratasi maka tambahkan cairan Dektrosa 5% dalam cairan intravena
(Dekstrosa 5% ditambahkan pada NaCl 0,9% atau 0,45%) jika kadar glukosa
plasma turun menjadi 250-300 mg/dL (14-17 mmol/L).
-- Terkadang perlu menggunakan cairan Dekstrosa 10% atau 12,5% untuk
mencegah terjadinya hipoglikemia sekaligus mengkoreksi asidosis
metabolik.
-- Jika penurunan glukosa darah lebih dari 90 mg/dL/jam (5 mmol/L/jam) maka
pertimbangkan untuk menambahkan cairan yang mengandung glukosa
meskipun kadar glukosa darah belum turun < 300 mg/dL.
 Jika parameter KAD (seperti pH, anion gap, konsentrasi betahidroksi butirat)
tidak mengalami perbaikan, evaluasi ulang pasien, dosis insulin, dan penyebab
lainnya yang menyebabkan pasien tidak berespon terhadap terapi insulin
(misalnya infeksi atau salah dalam pengenceran insulin dll).
 Jika pemberian insulin intravena kontinu tidak memungkinkan pada pasien
dengan KAD tanpa gangguan sirkulasi perifer maka dapat diberikan insulin
subkutan atau intramuskuler tiap jam atau tiap dua jam. Insulin yang digunakan
adalah insulin kerja cepat atau kerja pendek.
-- Dosisnya dapat dimulai dari 0,3 U/kgBB dilanjutkan satu jam kemudian
dengan insulin lispro atau aspart dengan dosis 0,1 U/ kgBB/jam atau 0,15-0,2
U/kgBB tiap 2 jam.
-- Jika kadar glukosa darah < 250 mg/dL (< 14 mmol/L) sebelum KAD teratasi,
kurangi dosis insulin menjadi 0,05 U/kgBB/jam untuk mempertahankan
glukosa darah 200 mg/dL sampai KAD teratasi.

2.11.4. Kalium(1)

29
 Pada pemeriksaan darah, kadar kalium plasma dapat normal, meningkat, atau
menurun meskipun kadar total kalium tubuh menurun.
 Pada semua pasien KAD perlu koreksi kalium, kecuali jika terdapat gagal
ginjal.
 Jika pasien hipokalemia: mulai pemberian kalium saat resusitasi cairan awal
sebelum pemberian insulin atau berikan setelah cairan resusitasi bersamaan
dengan mulai pemberian insulin.
 Jika hiperkalemia (K+>6 mEq/L): tunda pemberian kalium sampai diuresis
normal.
 Pemeriksaan EKG dapat membantu menentukan hiperkalemia atau
hipokalemia.
 Kalium dapat diberikan dengan konsentrasi 40 mEq/L. Selanjutnya disesuaikan
dengan hasil pemeriksaan kadar kalium plasma.
 Jenis preparat kalium yang digunakan sebaiknya adalah kalium fosfat bersama-
sama dengan kalium klorida atau asetat untuk mencegah terjadinya asidosis
hiperkloremia dan hipokalsemia. Contoh: kalium fosfat diberikan 20 mEq/L
sedangkan kalium klorida juga 20 mEq/L.
 Pemberian kalium harus dilakukan secara terus menerus selama pasien
mendapatkan cairan intravena.
 Kecepatan penggantian kalium tidak boleh melebihi 0,5 mEq/kgBB/jam.
 Jika hipokalemia menetap meskipun penggantian kalium sudah pada kecepatan
maksimal maka dosis insulin dapat diturunkan.

2.11.5. Asidosis(1)
 Teratasi dengan pemberian cairan dan insulin.
 Terapi bikarbonat dapat menyebabkan asidosis SSP paradoksikal dan
meningkatkan risiko terjadinya hipokalemia.
 Bikarbonat dapat digunakan pada kondisi hiperkalemia berat atau jika pH darah
< 6,8
-- Dosisnya adalah 1-2 mEq/kg BB diberikan IV selama lebih dari 60 menit.

30
2.12. MONITORING(1)
Pemantauan pada pasien KAD meliputi:
 Tanda vital (kesadaran, frekuensi nadi, frekuensi napas, tekanan darah, suhu)
tiap jam.
 Balans cairan tiap jam (jika terdapat penurunan kesadaran maka perlu dipasang
kateter urin).
 Pada KAD berat, monitoring dengan EKG membantu untuk mendeteksi adanya
hiperkalemia atau hipokalemia.
 Pemeriksaan kadar glukosa darah kapiler tiap jam.
 Pemeriksaan laboratorium: elektrolit, ureum, hematokrit, glukosa darah dan
analisis gas darah harus diulang tiap 4-6 jam (pada kasus yang berat elektrolit
harus diperiksa tiap jam). Peningkatan leukosit dapat disebabkan oleh stres dan
belum tentu merupakan tanda infeksi.
 Observasi tanda-tanda edema serebri, meliputi tiba-tiba sakit kepala hebat,
perubahan tanda-tanda vital (bradikardia, hipertensi, apnea), muntah, kejang,
perubahan status neurologis (iritabilitas, mengantuk, inkontinensia) atau tanda
neurologis spesifik (parese saraf kranial-opthalmoplegia, pelebaran pupil dan
respon pupil terganggu), menurunnya saturasi oksigen.
 Pemantauan keton urin tidak menggambarkan intervensi untuk perbaikan
metabolik asidosis. Dengan perbaikan metabolik asidosis, keton urin tampak
seolah-olah meningkat. Perbaikan metabolik asidosis mengakibatkan BOHB
diubah menjadi asetoasetat, sedangkan pemeriksaan keton urin tidak bisa
mendeteksi BOHB.

Transisi ke insulin subkutan dan mulai asupan peroral:


 Cairan oral mulai diberikan jika sudah terdapat perbaikan klinis nyata.
 Jika sudah mulai diberikan cairan per oral maka jumlah cairan per oral ini harus
dimasukkan dalam perhitungan cairan total.

31
 Jika KAD sudah teratasi dan asupan per oral sudah ditoleransi dengan baik
maka waktu paling baik untuk mengganti insulin menjadi insulin subkutan
adalah saat sebelum makan.
 Untuk mencegah terjadinya hiperglikemia rebound maka insulin subkutan
pertama harus diberikan 15-30 menit (insulin kerja cepat) atau 1-2 jam (insulin
kerja pendek) sebelum insulin intravena dihentikan.

32
Gambar 6. Algoritma tata laksana KAD pada anak(11)

33
Gambar 7. Tata laksana KAD pada anak (10)

34
Gambar 7. Tata laksana KAD pada anak (10)

35
2.13. KOMPLIKASI

Gambar 8. Komplikasi KAD(4)

2.14. PENCEGAHAN
Dua faktor pencetus utama KAD adalah terapi insulin inadekuat dan
infeksi. Pada sebagian besar kasus, kejadian-kejadian ini dapat dicegah dengan
akses yang lebih baik terhadap perawatan medis, termasuk edukasi pasien
intensif dan komunikasi efektif dengan penyedia layanan kesehatan selama
kesakitan akut. Target-target pencegahan pada krisis hiperglikemik yang
dicetuskan baik oleh kesakitan akut ataupun stres adalah termasuk
mengendalikan defisiensi insulin, menurunkan sekresi hormon stres berlebihan,
menghindari puasa berkepanjangan dan mencegah dehidrasi berat.(7)
Oleh karena itu, suatu program edukasi harus mengulas manajemen hari
sakit dengan informasi spesifik pemberian insulin kerja pendek, target glukosa
darah selama sakit, cara-cara mengendalikan demam dan mengobati infeksi dan
inisiasi diet cair mudah cerna berisi karbohidrat dan garam. Paling penting adalah
penekanan kepada pasien untuk tidak menghentikan insulin dan segera mencari
konsultasi ahli pada awal masa sakit. (7)

36
Keberhasilan program bergantung kepada interaksi erat antara pasien dan
dokter serta pada tingkat keterlibatan pasien atau anggota keluarga dalam
mencegah diperlukannya rawat inap. Pasien/keluarga harus bersedia untuk
mencatat glukosa darah, keton urin, pemberian insulin, temperatur, laju napas dan
nadi serta berat badan secara akurat. Indikator perawatan rumah sakit termasuk:
kehilangan berat badan >5%; laju napas >30 kali/menit; peningkatan glukosa
darah refrakter; perubahan status mental; demam tak terkendali; dan nausea
vomitus tak terobati. (7)
Selain isu edukasi seperti di atas, beberapa studi melaporkan bahwa salah
satu penyebab penting KAD pada pasien dengan T1DM adalah penghentian
insulin (67%). Alasan untuk penghentian insulin diantaranya adalah
permasalahan ekonomi (50%), kehilangan nafsu makan (21%), masalah prilaku
(14%) atau rendahnya pengetahuan manajemen hari sakit (14%). Oleh karena
penyebab paling umum dari penghentian insulin adalah alasan ekonomi,
perbaikan pelayanan kesehatan masyarakat dan akses pasien ke pengobatan
adalah cara terbaik untuk mengatasinya pada kelompok pasien ini. (7)

37
BAB III
KESIMPULAN

KAD adalah manifestasi dari defisiensi absolut dan relatif insulin yang
disertai dengan peningkatan kadar hormon counter-regulatory seperti glukagon,
katekolamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan yang menghambat penggunaan
glukosa di jaringan yang mempunyai reseptor insulin seperti hepar, lemak dan
otot disertai dengan dehidrasi. Onset baru KAD dapat dicegah dengan menyadari
gejala awal dari diabetes dan pada prinsipnya hampir semua KAD berulang dapat
dicegah dengan pemahaman tata laksana pada hari saat sakit, psikososial yang
baik dan pemantauan ketat pada fungsi insulin pump. Tata laksana KAD
sebaiknya dilakukan pada tempat yang memiliki fasilitas memadai dan
pemantauan yang ketat. Terapi cairan dimulai dengan NaCl 0.9% untuk rehidrasi
dan dilanjutkan dengan NaCl 0.45% untuk maintenance dan mengatasi 5%-10%
dehidrasi, tergantung dari tingkat keparahannya. Walaupun kadar kalium normal,
tetap ada defisit kalium total yang harus diatasi. Mannitol dan larutan hipertonik
harus disiapkan, untuk terapi cepat jika ada indikasi edema serebri yaitu
komplikasi mematikan dari KAD. Komplikasi lain dari KAD termasuk
hipofosfatemia, hipokalemi, hipoglikemi, trombosis vena perifer, pneumonia
aspirasi, rhabdomyolysis, pankreatitis akut dan gagal ginjal akut.

38
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Stone SP, Goldfarb JN, Bacelieri RE. Scabies, other mites, and pediculosis In:
Wolff K, Lowell A, Katz GSI, Paller GAS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s
dermatology in general medicine. 7th ed. United state of America. McGraw-
Hill; 2008. p. 2029-2032.
2. Trozak DJ, Tennenhouse JD, Russell JJ. Herpes Scabies. In: Trozak DJ,
Tennenhouse JD, Russell JJ editors. Dermatology Skills for Primary Care; An
Illustrated Guide: Humana Press; 2006. p. 105-11
3. Currie JB, McCarthy JS. Permethrin and Ivermectin for Scabies. New England J
Med. 2010; 362: p. 718.
4. Karthikeyan K. Treatment of Scabies: Newer Perspectives. Postgraduate Med J.
2005; 81: p. 8 - 10.
5. Chosidow O. Scabies. New England J Med. 2006; 345: p. 1718-1723
6. Burns DA. Diseases caused by arthropods and other noxious animals. In: Rook’s
textbook of dermatology. 8th ed. United kingdom. Willey-blackwell; 2010. p.
38.36 – 38.38.
7. Handoko,PR. Skabies. In: Prof.Dr.dr.Adi Djuanda, editor. Ilmu penyakit kulit
dan kelamin. Ed 6. Jakarta. FK UI; 2010.p.122-123
8. Romani L, Koroivueta J, Steer Ac, Kama M, Kaldor Jm, Wand H, Et Al. Scabies
and impetigo prevalence and risk factors in Fiji: a national survey. Plos Negl
Trop Dis. 2015;9(3): E452.
9. Burns DA. Diseases Caused by Arthropods and Other Noxious Animals, in:
Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C. Rooks Textbook of Dermatology.
Vol.2. USA: Blackwell publishing; 2004. 37-47.
10. Hicks MI, Elston DM. Scabies. Dermatologic Therapy. 2009. November
:22/279-292.
11. Harahap M. Ilmu Penyakit Kulit.Ed.1. Jakarta: Hipokrates; 2000. 109-13.
12. Walton SF, Currie BJ. Problems in Diagnosing Scabies, A Global Disease in
Human and Animal Populations. Clin Microbiol Rev. 2007. April. 268-79.

39
13. Itzhak Brook. Microbiology of Secondary Bacterial Infection in Scabies
Lesions. J Clin Microbiol. 1995. August: 33/2139-2140.
14. Scabies and Pediculosis, Orkin Miltoin, Howard L. Maibach. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine, 7th. USA: McGrawHill; 2008. 2029-31.

5. Silbernagl S, Lang F. Teks dan atlas berwarna patofisiologi. Jakarta: Penerbit


Buku Kedokteran EGC; 2007.
6. Casqueiro J, Casqueiro J, Alves C. Infections in patients with diabetes
mellitus: A review of pathogenesis. Indian J Endocrinol Metab.
2012;16(Suppl 1):27-36.
7. Sumantri S. Pendekatan diagnostik dan tatalaksana ketoasidosis diabetikum.
Internal Medicine Department. 2009.
8. Scheiner G. Ketones, shmeetones. Diabetes Health. 2011.
9. Aji H. Gambaran klinis ketoasidosis diabetikum anak. Jurnal Kedokteran
Brawijaya. 2012;27(2).
10. Westerberg DP. Diabetic ketoacidosis: evaluation and treatment. Am Fam
Physician. 2013;85(5):337-46.
11. Wolfsdorf JI, Allgroveb J, Craigc ME, Edged J, Glasere N, Jainf V, et al.
Diabetic ketoacidosis and hyperglycemic hyperosmolar state. Pediatric
Diabetes. 2014;15(20):154-79.
12. Rosenbloom AL. The management of diabetic ketoacidosis in children.
Diabeter Ther. 2010;1(2):103-20.

40

Anda mungkin juga menyukai