Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN
A. PENDAHULUAN
Manusia tidak bisa terlupas dari sistem saraf pusat dan sistem endokrin selama
hidupnya. Kedua sistem ini berhubungan secara embriologis, anatomis, dan
fungsional. Contohnya, banyak kelenjar endokrin juga berasal dari
neuroektodermal, yaitu lapisan embriologinal yang juga merupakan asal dari
sistem saraf pusat. Selain itu, terdapat hubungan anatomis antara sistem saraf pusat
dan sistem endokrin, terutama melalui hipotalamus. Akibatnya, rangsangan yang
mengganggu sistem saraf pusat seringkali juga mengubah fungsi sistem endokrin.
Sebaliknya, perubahan fungsi sistem endokrin dapat berakibat pada fungsi SSP.
Paduan kerja sama antara sistem neuroendokrin membantu organisme memberikan
reaksi maksimal terhadap rangsangan internal dan eksternal.1
Sistem endokrin terdiri dari kelenjar-kelenjar yang menyekresi hormon yang
membantu memelihara dan mengatur fungsi-fungsi vital seperti (1) respons
terhadap stres dan cedera, (2) pertumbuhan dan perkembangan, (3) reproduksi, (4)
homeostasis ion, (5) metabolisme energi, dan (6) respons kekebalan tubuh.1
Seperti penyakit endokrin lainnya, penyakir kelenjar tiroid dapat berupa:
1. Pembentukan hormon tiroid yang berlebihan (hipertiroidisme)
2. Defisiensi produksi hormon (hipotiroidisme)
3. Pembesaran tiroid (goiter) tanpa bukti adanya pembentukan hormon tiroid
abnormal.
Selain itu, pasien yang memiliki penyakit sistemik dapat mengalami
perubahan metabolisme tiroksin dan fungsi tiroid.1
Tiroksikosis ialah manifestasi klinis kelebihan hormon tiroid yang beredar
dalam sirkulasi. Hipertiroidisme adalah tiroksikosis yang diakibatkan oleh kelenjar
tiroid yang hiperaktif. Apapun sebabnya manifestasi klinisnya sama, karena efek
ini disebabkan ikatan T3 dengan reseptor T3-inti yang makin penuh. Rangsang
oleh TSH atau TSH-like substances (TSI,TSAb), autonomi intrinsik kelenjar
menyebabkan tiroid meningkat, terihat dari radioaktif neck-uptake turun.
Sebaliknya pada destruksi kelenjar misalnya karena radang, inflamasi, radiasi akan
terjadi kerusakan sel hingga hormon yang tersimpan dalam folikel keluar masuk
darah. Dapat pula karena pasien mengkonsumsi hormon tiroid berlebihan. 1

1
BAB II
ILUSTRASI KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. BM
Jenis Kelamin : Wanita
Tanggal lahir : 06-07-1957
Umur : 56 tahun
Alamat : jl. Gelagah No.10 RT.002/03 Ciputat, Tangerang Selatan,
Banten
Agama : Islam
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : Tamat SD
Status pernikahan : Menikah

B. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada hari Senin, 10 Maret 2014
di poliklinik Penyakit Dalam RSUP Fatmawati pukul 10.30 WIB.

Keluhan utama:
Benjolan di leher sebelah kanan dan kiri yang membesar sejak 2 tahun
sebelum masuk rumah sakit (SMRS).

Riwayat penyakit sekarang:


Pasien sejak sekitar 20 tahun SMRS merasa sudah memiliki benjolan di leher
namun tidak dikeluhkan karena dirasa tidak mengganggu. Benjolan dirasakan
membesar perlahan selama sekitar 20 tahun terakhir. Benjolan terasa bergerak ke
atas saat menelan, tidak nyeri, tidak panas, dan tidak berwarna merah. Pasien tidak
merasa sesak napas, suara serak, ataupun sulit menelan.
Pasien sering merasakan tangan gemetar dan cepat lelah. Nafsu makan
seperti biasa, diare hanya kadang-kadang, rambut rontok, cepat berkeringat, sulit
tidur, lebih suka udara dingin, gelisah, dan berdebar-debar. Pasien juga mengakui
dirinya suka beraktivitas dan sulit untuk diam. Pasien tidak pernah demam. Tidak
ada mata menonjol. Berat badan turun dari 70 kg menjadi 62 kg. Tidak ada riwayat

2
trauma di leher sebelumnya. Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini
sebelumnya. Tidak ada kelainan leher sejak lahir.
Pasien berobat sejak 2 tahun SMRS dan saat ini keluhan yang tersisa seperti
tangan gemetar, rambut rontok, dan sering berkeringat. Selama 2 tahun pengobatan
berat badan pasien naik dari 60 kg menjadi 72 kg.

Riwayat penyakit dahulu:


Pasien telah berobat selama 2 tahun terakhir dengan obat PTU. Pasien
menyangkal riwayat hipertensi dan kencing manis. Riwayat alergi obat disangkal.
Riwayat benjolan di tempat lain disangkal. Pasien memiliki strabismus sejak kecil.

Riwayat penyakit keluarga:


Pasien memiliki paman yang memiliki keluhan serupa. Keluarga memiliki
riwayat hipertensi. Riwayat kencing manis dan alergi obat di dalam keluarga
disangkal.

Riwayat kebiasaan dan sosial:


Pasien seorang ibu rumah tangga dan memiliki kesibukan sebagai penjual
nasi uduk dengan aktivitas dimulai sejak jam 4 pagi sampai jam 10 pagi. Pasien
mengkonsumsi garam beryodium. Pasien menyangkal adanya riwayat radiasi.

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : Compos mentis
TB : 168 cm
BB : 72 Kg
IMT : 25,51 Kg/m2

Tanda vital:
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Nadi : 84 x/menit
Pernafasan : 16 x/menit
Suhu : 36,8 ᵒC
Status generalis:
3
Kulit : sawo matang,
Kepala : normosefali, deformitas (-)
Mata : strabismus (+), eksoftalmus (-), konjungtiva tidak pucat, sklera
tidak ikterik, reflek cahaya langsung +/+, reflek cahaya tak
langsung +/+
Telinga : normotia, serumen (-), nyeri tekan tragus (-)
Hidung : deviasi septum (-), secret (-)
Tenggorokan : faring hiperemis (-), tonsil T1-T1
Leher : JVP 5-2 cmH2O, KGB tidak teraba membesar, pemeriksaan
kelenjar tiroid lihat status lokalis
Mulut : oral hygiene baik, karies (-)
Jantung : I: ictus cordis tidak terlihat
P: ictus cordis teraba di ICS V MCL sinistra
P: Batas kanan : linea sternalis dextra
Batas kiri : midclavicula sinistra
Pinggang jantung : ICS III linea sternalis sinistra
A: S1 dan S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru : I: gerakan dada simetris saat statis dan dinamis
P: fremitus kanan sama dengan kiri
P: sonor di seluruh lapang paru
A: suara napas vesikuler, rhonki (-), wheezing (-)
Abdomen : I: supel, datar
P: nyeri tekan (-), benjolan (-), hati dan limpa tidak teraba
membesar
P: timpani
A: bising usus (+) normal, bruit (-)
Ekstremitas : akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik

Status lokalis regio colli:


Inspeksi:
Terlihat benjolan pada regio colli dekstra dan sinistra. Benjolan di kiri lebih besar
dibanding benjolan sisi kanan. Trakea terdorong ke sisi kanan. Warna benjolan
sama dengan warna kulit. Benjolan terlihat ikut bergerak saat menelan. Tidak
terlihat adanya venektasi.

4
Palpasi:
Pada regio colli dekstra dan sinistra teraba massa yang ikut bergerak keatas saat
pasien menelan dengan konsistensi lunak, permukaan bernodul, batas tegas, mobile
saat digoyang. ukuran massa kiri 4 x 7,5 cm, ukuran massa kiri sebesar 4 x 4 cm.
Tidak ada nyeri tekan. Tidak teraba pembesaran kelenjar getah bening. Pada
perabaan suhu sama dengan sekitarnya.

Auskultasi :
Tidak terdapat bruit

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium
Tanggal 05/03/2014
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
TSH Ultra Sensitif < 0,03 μIU/ml 0,27-3,75 μIU/ml
Free T4 2,62 ng/dl 0,77-1,7 ng/dl

Pemeriksaan radiologi
Tanggal 13/12/2011
Rongten thorax:
Kesan : cor dan pulmo dalam batas normal

Tanggal 19/12/2011
Thyroid Scan dengan radiofarmaka Tc-99m pertechnetate dengan hasil:
- Ukuran kedua thyroid tidak membesar.
- Tampak nodul di thyroid kanan yang sedikit / tidak menangkap
aktivitas.
- Thyroid kiri tangkapan inhomogen, dengan tangkapan yang relatif
normal.
- Thyroid uptake total : 1,5% (N = 1-5%)

Kesimpulan :

- Cold nodul thyroid kanan, dengan suspek warm nodul thyroid kiri

5
- Total thyroid uptake dalam batas normal

Tanggal 13/12/2011
USG Thyroid:
Lobus Kanan :
- Ukuran lebih besar dari normal 7,21 x 2,10 cm
- Terdiri dari multiple nodule padat dengan beberapa tampak degenerasi
kistik ringan
- Ukuran terbesar nodule 2,47 x 1,46 cm dan 1,74 x 1,42 cm

Lobus Kiri :

- Ukuran lebih besar dari normal 6,72 x 2,92 cm


- Tampak multiple nodule padat dengan beberapa ukuran dengan ukuran
terbesar 1,93 x 1,04 dan 1,78 x 0,97 cm

Di daerah istmus sisi kiri tampak nodule padat dengan degenerasi kistik
dengan ukuran 5,52 x 2 cm

Tampak KGB cervikal kiri atas sedikit membesar dengan ukuran 1,29 x
0,31 dan 1,03 x 0,34 cm

Kesan :

- Struma multi nodosa bilateral


- Nodule padat dengan degenerasi kistik isthmus sisi kiri
- Pembesaran KGB kecil cervikal kiri

New Castle’s Index


Item Grade Score
Age of onset (year) 15-24 0
25-34 +4
35-44 +8
45-54 +12
>55 +16
Psychological precipitant Present -5

6
Absent 0
Frequent cheking Present -3
Absent 0
Severe anticipatory anxiety Present -3
Absent 0
Increased appetite Present +5
Absent 0
Goiter Present +3
Absent 0
Thyroid bruit Present +18
Absent 0
Exophthalmos Present +9
Absent 0
Lid retraction Present +2
Absent 0
Hyperkinesis Present +4
Absent 0
Fin e finger tremor Present +7
Absent 0
Pulse rate >90 x/min +16
80-90 x/min +8
<80 x/min 0
Total 26
Euthyroid : (-11) – (+23)
Probably Hyperthyroid : (+24) – (+39)
Definite Hyperthyroid : (+40) – (+80)

Wayne’s Index
Symptoms Present Absent
Dyspnoe d’effort +1
Palpitation +2
Tiredness +2
Preference for heat -5

7
Preference for cold +5
Indifference to temperature 0
Excessive sweating +3
Appetite increased +3
Appetite decreased -3
Weight increased -3
Weight decreased +3
Nervousness +3
Sign Present Absent
Palpable (struma) thyroid +3 -3
Bruit over thyroid +2 -2
Exopthalmos +2 0
Lid retraction 0 0
Lid lag +1 0
Hyperkinetic movements +4 -2
Fine finger tremor +1 0
Hands hot +2 -2
Hands moist +1 -1
Pulse A.F +4 0
Pulse regular < 80 x/min -3
Pulse regular 81-90 x/min 0
Pulse regular >90 x/min +3
Total 20
Hyperthyroid : (>20)
Probably hyperthyroid : (+10) – (+20)
No hyperthyroid : (<10)

E. RESUME
Pasien wanita, 56 tahun datang dengan keluhan benjolan di leher sebelah
kanan dan kiri yang membesar sejak 2 tahun SMRS. Benjolan bergerak ke atas saat
menelan. Keluhan disertai tremor (+), cepat lelah (+), Nafsu makan biasa, diare
(+), rambut rontok (+), cepat berkeringat (+), sulit tidur (+), lebih suka udara

8
dingin (+), gelisah (+), berdebar-debar (+), suka beraktivitas (+), berat badan turun
(+). Riwayat keluarga dengan keluhan serupa (+).
Pada pemeriksaan fisik keadaan umum tampak sakit ringan, compos mentis,
IMT 25,51 Kg/m2. Tanda vital didapatkan tekanan darah 130/80 mmHg, frekuensi
nadi 84 x/menit, frekuensi pernafasan 16 x/menit, suhu 36,8 ᵒC. Pada kepala,
telinga, hidung, mulut, paru, jantung, abdomen dan ekstremitas dalam batas
normal. Pada regio colli dekstra dan sinistra terlihat benjolan multiple. Trakea
terdorong ke sisi kanan. Warna benjolan sama dengan warna kulit. Benjolan
terlihat ikut bergerak saat menelan. Konsistensi lunak, permukaan bernodul, batas
tegas, mobile saat digoyang. ukuran massa kiri 4 x 7,5 cm, ukuran massa kiri
sebesar 4 x 4 cm. Tidak ada nyeri tekan. Tidak teraba pembesaran kelenjar getah
bening. Pada perabaan suhu sama dengan sekitarnya. Tidak terdapat bruit.
Pada pemeriksaan laboratorium (05/03/2014) didapatkan TSH Ultra Sensitif
< 0,03 μIU/ml, Free T4 2,62 ng/dl. Pada rontgen thorax didapatkan cor dan pulmo
dalam batas normal. Pada Thyroid Scan (19/12/2011) dengan radiofarmaka Tc-
99m pertechnetate dengan kesimpulan cold nodul thyroid kanan, dengan suspek
warm nodul thyroid kiri dan total thyroid uptake dalam batas normal. Pada
pemeriksaan USG Thyroid (13/12/2011) didapatkan struma multi nodosa bilateral,
nodule padat dengan degenerasi kistik isthmus sisi kiri, pembesaran KGB kecil
cervikal kiri. Total indeks new castle 26 dan indeks wayne 20.

F. DIAGNOSIS
Struma Multi Nodular Toksik

G. TATALAKSANA
Nonmedikamentosa:
- Edukasi mengenai penyakit pasien dan kemungkinan komplikasi.
Medikamentosa:
- PTU 2 x 100 mg

H. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad fungtionam : ad bonam
Ad sanationam : ad bonam

9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

A. ANATOMI DAN FISIOLOGI KELENJAR TIROID

Kelenjar tiroid terdapat di bawah laring pada kedua sisi, tepatnya pada sisi
anterior trakea. Salah satu kelenjar endokrin terbesar ini memiliki berat 15 hingga
20 gram. Kelenjar ini mensekresikan dua hormon utama, tiroksin (T4) dan
triyodotironin (T3), keduanya dapat meningkatkan metabolisme tubuh. Tidak
hanya itu, terdapat juga hormon kalsitonin yang disekresi kelenjar ini. Hormon
tersebut berfungsi dalam metabolisme kalsium. Keseluruhan sekresi hormon-
hormon di atas diatur oleh sekresi hormon perangsang-tiroid (thyroid stimulating
hormon, TSH) yang dihasilkan kelenjar hipofisis anterior.

Hormon-hormon tersebut di atas diproduksi di dalam folikel-folikel kelenjar


tiroid. Satu folikel memiliki diameter diantara 100 hingga 300 mikrometer. Folikel
tersebut dilapisi oleh sel-sel epitel kuboid (gepeng ketika inaktif) yang dinamai sel
folikular. Sel folikular mengeluarkan hormon yang dihasilkannya ke bagian dalam
folikel yang juga diisi cairan koloid. Koloid terdiri atas glikoprotein tiroglobulin
besar, di dalam molekul-molekulnya mengandung hormon tiroid.

Proses Pembentukan Hormon Kelenjar Tiroid

 Bahan Baku Yodium

Untuk membuat tiroksin dalam jumlah normal, setiap tahunnya dibutuhkan 50


mg yodium yang ditelan dalam bentuk iodida. Setelah ditelan per oral, iodida akan
diabsorpsi dari saluran cerna ke dalam darah. Seperlima dari iodida yang beredar
di darah akan digunakan oleh kelenjar tiroid sebagai bahan baku.

 Pompa Iodida (Trapping)

Tahap pertama pembuatan hormon tiroid dimulai disini, yakni pengangkutan


iodida dari darah ke dalam sel-sel dan folikel kelenjar tiroid. Iodida akan
dipompakan secara aktif oleh membran basal sel tiroid, kemampuan ini disebut

10
iodide trapping. Pada keadaan normal, kelenjar tiroid (pompa iodida) dapat
memekatkan iodida 30 kali dari konsentrasinya di dalam darah. Jika pompa
menjadi sangat aktif, tingkat kepekatan dapat meningkat menjadi 250 kali lipat.
Faktor-faktor yang berperan pada kecepatan trapping antara lain TSH
(menaikkan kerja) dan hipofisektomi (mengurangi aktivitas pompa iodida).

 Proses Kimia Pembentukan Tiroksin dan Triyodotironin

Sekresi Tiroglobulin. Retikulum endoplasma dan aparatus Golgi


mensintesis dan menyekresi molekul glikoprotein besar yang disebut tiroglobulin,
dengan berat molekul 335.000, ke dalam folikel. Setiap molekul tiroglobulin
mengandung 70 asam amino tirosin, dan tiroglobulin merupakan substrat utama
yang bergabung dengan iodida untuk membentuk hormon tiroid. Hormon tiroksin
dan triiodotironin dibentuk dari asam amino tirosin, yang merupakan sisa bagian
dari molekul tiroglobulin selama sintesis hormon tiroid.

 Oksidasi Ion Iodida. Awalnya, ion yodium berbentuk nascent iodine (Io)
atau I3-. Bentuk ion ini harus dioksidasi agar bisa berikatan dengan asam
amino tirosin. Proses oksidasi yodium tersebut ditingkatkan oleh enzim
peroksidase dan penyertanya hidrogen peroksidase. Enzim peroksidase
terletak di bagian apikal membran sel atau melekat pada membran sel, sehinga
menempatkan yodium yang teroksidasi tadi di dalam sel tepat pada molekul
tiroglobulin mula-mula dikeluarkan dari alat golgi dan melalui membran sel
masuk ke dalam tempat penyimpanan koloid kelenjar tiroid.
 Iodinasi Tirosin, ‘Organifikasi’ Tiroglobulin. Pengikatan iodium dengan
molekul tiroglobulin disebut organifikasi tiroglobulin. Iodium yang sudah
teroksidasi akan berikatan langsung, meskipun sangat lambat, dengan asam
amino tirosin. Di dalam sel-sel tiroid, iodium yang teroksidasi itu berasosiasi
dengan enzim iodinase yang menyebabkan proses di atas dapat berlangsung
selama beberapa detik hingga menit. Dengan kecepatan yang sama dengan
pelpasan tiroglobulin dari aparatus Golgi, iodium akan berikatan dengan
seperenam bagian dari asam amino tirosin yang ada pada molekul tiroglobulin.
Tirosin mula-mula diiodisasi menjadi monoiodotirosin dan selanjutnya menadi
diiodotirosin. Selama beberapa hari berikutnya, makin banyak sisa

11
diiodotirosin yang saling bergandengan (coupling) satu sama lainnya. Reaksi
ini disebut coupling reaction.

Hasil penggabungan satu molekul monoiodotirosin dengan satu molekul


diiodotirosin membentuk 3,5,3’-Triyodotironin (T3). Sementara, jika dua
diiodotirosin bergabung, terbentuklah Tiroksin (T4). 93% dari hormon tiroid yang
diproduksi adalah tiroksin, 7% lainnya adalah triiodotironin. Namun, di jaringan,
tiroksin akan dideionisasi menjadi triiodotironin, yakni hormon tiroid utama yang
dipakai jaringan (35 mikrogram digunakan per harinya).

Kira-kira hanya ¼ dari total hasil iodinasi tiroglobulin yang menjadi tiroksin
dan triiodotironin, selebihnya tetap menjadi diiodotirosin dan monoiodotirosin.

Penyimpanan Tiroglobulin. Sesudah hormon tiroid disintesis, setiap


molekul tiroglobulin mengandung 30 molekul tiroksin, dan rata-rata terdapat
sedikit molekul triiodotironin. Hormon tiroid disimpan di dalam folikel dalam
jumlah yang cukup untuk kebutuhan tubuh 2 hingga 3 bulan ke depan.

Pelepasan Tiroksin dan Triyodotironin

Tiroksin dan triyodotironin harus dipecah terlebih dahulu dari molekul


tiroglobulin sebelum diedarkan ke sistem sirkulasi tubuh. Awalnya, permukaan
apikal sel-sel tiroid menjulurkan pseudopodia mengelilingi sebagian kecil koloid,
sehingga terbentuk vesikel pinositik. Vesikel ini masuk ke dalam apeks sel tiroid,
kemudian bergabung dengan lisosom sel untuk mendigestikan molekul-molekul
tiroglobulin menggunakan enzim protease. Protease tersebut akan melepaskan
tiroksin dan triiodotironin menjadi bentuk bebas. Selanutnya, kedua hormon
tersebut berdifusi melalui bagian basal sel-sel tiroid ke pembuluh kapiler di
sekelilingnya.

Diiodotirosin dan monoiodotirosin yang masih terikat pada molekul


tiroglobulin tetap didigesti dengan enzim deiodinase, sehingga iodin yang
menempel pada mereka dilepaskan ke sel. Iodin yang dilepaskan ini menjadi
bahan baku tambahan bagi sel untuk membuat hormon baru.

12
Pengangkutan ke Jaringan

Protein Plasma. 99% hormon tiroid berikatan dengan protein plasma yang
disintesis hati. Hormon-hormon tersebut terutama berikatan dengan globulin
pengikat-tiroksin (TBG), namun ada juga yang berikatan dengan albumin serta
prealbumin pengikat-tiroksin (TBP).

Jaringan. Protein plasma memiliki afinitas yang sangat tinggi terhadap


hormon tiroid. Akibatnya, hormon tiroid, khususnya tiroksin, sangat lambat
dilepas ke jaringan. Setiap enam hari, setengah dari jumlah tiroksin di darah
dilepaskan ke jaringan, sementara triiodotironin cukup dalam 1 hari saja. Sewaktu
memasuki sel, hormon tiroid berikatan dengan protein intrasel, tiroksin sekali lagi
berikatan lebih kuat daripada triiodotironin.

Hormon-hormon di atas memiliki onset yang lambat dan masa kerja yang
lama. Setelah penyuntikan dosis besar tiroksin, misalnya, efek metabolisme belum
muncul dalam 2-3 hari pertama. Namun, ketika tiroksin sudah beraktivitas, akan
terjadi progresivitas yang sangat tinggi, dan mencapai puncak hingga 10-12 hari.
Aktivitas hormon kemudian akan menurun setelah 15 hari, namun tetap bertahan
selama kira-kira 1,5-2 bulan.

Triyodotironin lebih cepat berespon dibanding tirosin, dengan periode laten 6-


12 jam pertama penyuntikan. Aktivitas selular maksimum akan didapatkan pada 2-
3 hari. Periode laten ini terjadi akibat ikatan yang kuat antara hormon dengan
protein intrasel.

Fungsi Fisiologis Hormon Tiroid

Transkripsi Gen. Hormon tiroid merangsang transkripsi inti sejumlah gen,


sehingga akan terjadi sintesis protein yang berpengaruh terhadap aktivitas
fungsional tubuh. Namun, sebelum bekerja pada gen, kebanyakan tiroksin
dikonversi terlebih dahulu menjadi triiodotironin. Reseptor hormon tiroid intrasel
mempunyai afinitas yang tinggi terhadap triiodotironin, sehingga lebih dari 90%
molekul hormon tiroid yang akan berikatan dengan reseptor adaah triiodotironin.

13
Aktivasi Reseptor Inti Sel. Reseptor hormon tiroid melekat pada DNA.
Reseptor ini biasanya membentuk heterodimer dengan reseptor retinoid X
(RXR) atau elemen respons hormon tiroid yang spesifik pada DNA. Hal ini
akan menyebabkan peningkatan atau penurunan transkripsi gen yang
menimbulkan pembentukan protein. Sintesis protein tersebut dapat berpengaruh ke
pertumbuhan, perkembangan SSP, kardiovaskular (meningkatnya curah jantung,
aliran darah, frekuensi, kekuatan jantung, irama pernapasan), atau peningkatan
metabolisme (meningkatnya kerja mitokondria, pompa Na+-K+-ATPase, konsumsi
oksigen, glukoneogenesis, glikogenolisis, lipolisis, sintesis protein, dan laju
metabolisme basal).

Fungsi Pertumbuhan dan Metabolik. Hormon tiroid dapat meningkatkan


laju metabolisme setinggi 60-100% di atas nilai normal, jika diproduksi dalam
jumlah banyak. Kecepatan penggunaan makanan sebagai energi juga sangat
meningkat. Dalam metabolisme protein, selain meningkatkan sintesis, kecepatan
katabolisme juga dipercepat. Selain itu, hormon ini juga berpengaruh terhadap
kecepatan pertumbuha, eksitasi proses mental, bahkan aktivitas kelenjar endokrin
lain.

Pengaturan Sekresi Hormon Tiroid

TSH. TSH dari hipofisis anterior meningkatkan sekresi tiroid. Efeknya antara
lain meningkatkan proteolisis tiroglobulin, meningkatkan aktivitas pompa yodium,
meningkatkan iodinasi tirosin, meningkatkan ukuran dan aktivitas sekretorik sel-
sel tiroid, serta meningkatkan jumlah sel-sel tiroid. Namun, efek awal yang paling
penting adalah proteolisis tiroglobulin, sehingga, dengan dilepaskannya TSH, akan
dilepaskan pula tiroksin dan triodotironin ke aliran darah. Efek ini perlu waktu
berjam-jam hingga berhari-hari.

Siklik Adenosin Monofosfat (cAMP). cAMP berfungsi sebagai caraka


kedua dalam efek perangsangan TSH. Efek dari sistem cAMP ini adalah
bervariasinya respons sel-sel tiroid yang ditangsang TSH. Awalnya, terjadi
pengikatan TSH dengan reseptor spesifik TSH di basal membran sel. Ikatan ini
mengaktifkan adenilil siklase yang meningkatkan pembentukan cAMP. Molekul

14
tersebut kemudian mengaktifkan protein kinase yang digunakan untuk fosforilasi
di seluruh sel.

Pengaturan Sekresi TSH. Sekresi TSH diatur oleh hipotalamus, yaitu


sekresi neurohormon TRH (Thyrotrophin Releasing Hormone). TRH adalah
amida tripeptida yang mempengaruhi kelenjar hipofisis anterior untuk
mengeluarkan TSH. Harus ada aliran darah porta yang menghubungkan
hipotalamus dengan hipofisis, jika tidak, TRH tidak bisa sampai ke hipofisis untuk
merangsang pengeluaran TSH.

Awalnya, terjadi pengikatan TRH di dalam membran hipofisis. Ikatan ini


mengaktifkan sistem caraka kedua fosfolipase di hipofisis, sehingga terbentuk
fosfolipase C, diikuti dengan produksi caraka kedua lain seperti ion kalsium dan
diasil gliserol.

Efek Umpan Balik. Umpan balik negatif untuk kontrol sekresi TSH adalah
adanya peningkatan konsentrasi hormon tiroid di cairan tubuh. Bila kecepatan
sekresi tiroid meningkat hingga 1,75 kali normal, kecepatan TSH dapat menurun
hingga nol. Meskipun hipofisis anterior dipisahkan dari hipotalamus, efek umpan
balik negatif tetap bekerja. Sehingga, selain berpengaruh terhadap sekresi TRH
pada hipotalamus, efek umpan balik negatif juga diperkirakan bekerja langsung ke
hipofisis anterior.

B. EPIDEMIOLOGI
Prevalensi hipertiroidisme pada praktek umum adalah 25 – 30 kasus dalam
10.000 wanita , sedangkan di rumah sakit didapatkan 3 kasus dalam 10.000
pasien. Di Amerika Serikat 3 kasus dalam 10.000 wanita. Prevelensi
hipertiroidisme 10 kali lebih sering pada wanita dibanding pria.

C. ETIOLOGI

Lebih dari 95% kasus hipertiroid disebabkan oleh penyakit graves, suatu
penyakit tiroid autoimun yang antibodinya merangsang sel-sel untuk
menghasilkan hormon yang berlebihan.

15
Penyebab hipertiroid lainnya yang jarang selain penyakit graves adalah:

1. Toksisitas pada strauma multinudular


2. Adenoma folikular fungsional atau karsinoma (jarang)
3. Edema hipofisis penyekresi-torotropin (hipertiroid hipofisis)
4. Tumor sel benih, misal karsinoma (yang kadang dapat menghasilkan
bahan mirip-TSH) atau teratoma (yang mengandung jarian tiroid
fungsional)
5. Tiroiditis (baik tipe subkutan maupun hashimato) yang keduanya dapat
berhubungan dengan hipertiroid sementara pada fase awal.

D. KLASIFIKASI
Terdapat 2 tipe hipertiroidisme spontan yang paling sering ditemukan,yakni :
 Penyakit Graves
Pada tahun 1835, Robert Graves melaporkan pengamatannya pada suatu
penyakit yang ditandai dengan “ palpitasi yang lama dan hebat pada
perempuan” disertai pembesaran kelenjar tiroid. Penyakit Graves adalah
penyebab tersering hipertiroidisme endogen. Penyakit ini ditandai dengan trias
manifestasi :
o Tiroksikosikosis akibat pembesaran difus tiroid yang
hiperfungsional terjadi pada semua kasus.
o Oftalmopati infiltrative yang menyebabkan eksoftalmos terjadi pada
hamper 40 % pasien.
o Dermopati infiltrative local (kadang-kadang disebut miksedema
pratibia) ditemukan di sebagian kecil pasien.
Penyakit Graves timbul terutama pada orang dewasa muda, dengan insiden
puncak antara usia 20-40 tahun. Perempuan terkena tujuh kali lebih sering
daripada laki-laki. Peningkatan insiden penyakit graves sering ditemukan pada
keluarga dari pasien dengan angka concordance 50% pada kembar identik.
Timbulnya penyakit ini berkaitan dengan pewarisan antigen leukosit manusia
(HLA)-DR3
Patogenesis Penyakit Graves adalah suatu penyakit otoimun yang biasanya
ditandai oleh produksi otoantibodi yang memiliki kerja mirip TSH pada
kelenjar tiroid. Otoantibodi IgG ini, yang disebut immunooglobulin

16
perangsang tiroid (thyroid-stimulating immunoglobulin), meningkatkan
pembentukan HT, tetapi tidak mengalami umpan balik negatif dari kadar HT
yang tinggi. Kadar TSH dan TRH rendah karena keduanya berespons terhadap
peningkatan kadar HT. Penyebab penyakit Grave tidak diketahui, namun
tampaknya terdapat predisposisi genetik terhadap penyakit otoimun, Yang
paling sering terkena adalah wanita berusia antara 20an sampai 40an. Terdapat
predisposisi familial terhadap penyakit ini dan sering berkaitan dengan
bentuk-bentuk endokrinopati autoimun lainnya. Pada penyakit graves terdapat
2 kelompok gambaran utama yakni tiroidal dan ekstratiroidal dan keduanya
mungkin tidak tampak.
 Gondok nodular toksik
adalah peningkatan ukuran kelenjar tiroid akibat peningkatan kebutuhan akan
hormon tiroid. Peningkatan kebutuhan akan hormon tiroid terjadi selama
periode pertumbuhan atau kebutuhan metabolik yang tinggi misalnya pada
pubertas atau kehamilan. Dalarn hal ini, peningkatan HT disebabkan oleh
pengaktivan hipotalamus yang didorong oleh proses metabolisme tubuh
sehingga disertai oleh peningkatan TRH dan TSH. Apabila kebutuhan akan
hormon tiroid berkurang, ukuran kelenjar tiroid biasanya kembali ke normal.
Kadang-kadang terjadi perubahan yang ireversibel dan kelenjar tidak dapat
mengecil. Kelenjar yang membesar tersebut dapat, walaupun tidak selalu,
tetap memproduksi HT dalm jumlah berlebihan. Apabila individu yang
bersangkutan tetap mengalami hipertiroidisme, maka keadaan ini disebut
gondok nodular toksik. Dapat terjadi adenoma, hipofisis sel-sel penghasil TSH
atau penyakit hipotalamus,walaupun jarang. Goiter Nodular toksik paling
sering ditemukan pada pasien lanjut usia sebagai komplikasi goiter nodular
kronik.

E. PATOGENESIS

Penyebab hipertiroidisme biasanya adalah penyakit graves, goiter toksika.


Pada kebanyakan penderita hipertiroidisme, kelenjar tiroid membesar dua sampai
tiga kali dari ukuran normalnya, disertai dengan banyak hiperplasia dan lipatan-
lipatan sel-sel folikel ke dalam folikel, sehingga jumlah sel-sel ini lebih meningkat
beberapa kali dibandingkan dengan pembesaran kelenjar. Juga, setiap sel

17
meningkatkan kecepatan sekresinya beberapa kali lipat dengan kecepatan 5-15
kali lebih besar daripada normal.

Pada hipertiroidisme, kosentrasi TSH plasma menurun, karena ada sesuatu


yang “menyerupai” TSH, Biasanya bahan – bahan ini adalah antibodi
immunoglobulin yang disebut TSI (Thyroid Stimulating Immunoglobulin),
yang berikatan dengan reseptor membran yang sama dengan reseptor yang
mengikat TSH. Bahan – bahan tersebut merangsang aktivasi cAMP dalam sel,
dengan hasil akhirnya adalah hipertiroidisme. Karena itu pada pasien
hipertiroidisme kosentrasi TSH menurun, sedangkan konsentrasi TSI meningkat.
Bahan ini mempunyai efek perangsangan yang panjang pada kelenjar tiroid, yakni
selama 12 jam, berbeda dengan efek TSH yang hanya berlangsung satu jam.
Tingginya sekresi hormon tiroid yang disebabkan oleh TSI selanjutnya juga
menekan pembentukan TSH oleh kelenjar hipofisis anterior.

Pada hipertiroidisme, kelenjar tiroid “dipaksa” mensekresikan hormon hingga


diluar batas, sehingga untuk memenuhi pesanan tersebut, sel-sel sekretori kelenjar
tiroid membesar. Gejala klinis pasien yang sering berkeringat dan suka hawa
dingin termasuk akibat dari sifat hormon tiroid yang kalorigenik, akibat
peningkatan laju metabolisme tubuh yang diatas normal. Bahkan akibat proses
metabolisme yang menyimpang ini, terkadang penderita hipertiroidisme
mengalami kesulitan tidur. Efek pada kepekaan sinaps saraf yang mengandung
tonus otot sebagai akibat dari hipertiroidisme ini menyebabkan terjadinya tremor
otot yang halus dengan frekuensi 10-15 kali perdetik, sehingga penderita
mengalami gemetar tangan yang abnormal. Nadi yang takikardi atau diatas normal
juga merupakan salah satu efek hormon tiroid pada sistem kardiovaskuler.
Eksopthalmus yang terjadi merupakan reaksi inflamasi autoimun yang mengenai
daerah jaringan periorbital dan otot-otot ekstraokuler, akibatnya bola mata
terdesak keluar.

F. GEJALA

 Gejala Konsitusi : kulit pasien tiroksikosis cenderung lunak,hangat, dan


kemerahan ; pasien sering tidak tahan panas dan banyak berkeringat.

18
Peningkatan aktivitas simpatis dan hipermetabolisme menyebabkan
penurunan berat walaupun nafsu makan meningkat.
 Saluran cerna : stimulasi usus menyebabkan hipermotilitas, malabsorpsi
dan diare
 Jantung : palpitasi dan takikardi sering terjadi; pasien lanjut usia dapat
mengalami gagaj jantungkongestif akibat bertambah parahnya penyakit
jantung yang sudah ada
 Neuromuskular : pasien sering mengalami kecemasan, tremor, dan
iritabilitas. Hampir 50% mengalami kelemahan otot proksimal (miopati
tiroid)
 Manifestasi mata : tatpan yang lebar dan melotot serta kelopak mata
membuka akibat stimulasi berlebihan saraf simpatis terhadap otot levator
palpebra superior. Namun, oftalmopati tiroid sejati yang disertai dengan
proptosis adalah gambaran yang hanya ditemukan pada penyakit graves.

G. GAMBARAN KLINIS
1. Penyakit Graves
a. Kebanyakan wanita
b. Berusia 20-40 tahun
c. Pasien mengeluh lelah
d. Gemetar
e. Tidak tahan panas
f. Keringat semakin banyak bila panas
g. Kulit lembab
h. Berat badan menurun
i. Nafsu makan meningkat
j. Diare
k. Kelemahan serta atrofi otot

2. Goiter Nodular Toksik


a. Kebanyakan wanita usia antara 20-40 tahun
b. mudah lelah
c. Berat badan menurun
c. Kelemahan serta atrofi otot

19
d. Aritmia
e. Gagal jantung

Pemeriksaan fisis :

a. Oftalmopati ( mata melotot )


b. Pelebaran palpebra fissura
c. Kedipan mata berkurang
d. Palpitasi dan takikardi

H. DIAGNOSIS
Diagnosis Hipertiroidisme didasarkan pada gambaran klinis dan data
laboratorium. Pengukuran konsentrasi TSH dengan menggunakan pemeriksaan
TSH yang sensitive merupakan satu-satunya uji penapisan yang paling bermanfaat
untuk hipertiroidisme karena kadar TSH menurun, bahkan pada stadium paling
awal, saat penyakit mungkin masih subklinis. Pada kasus hipertiroidisme terkait
hipofisis atau hypothalamus (sekunder) yang jarang, kadar TSH normal atau
meningkat. Kadar TSH yang rendah biasanya dipastikan dengan pengukuran T4
bebas, yang diperkirakan meningkat. Kadang ditemukan pasien yang
hipertiroidismenya terutama disebabkan oleh peningkatan kadar T3 dalam darah
(toksikosis T3). Tanda-tanda vital (suhu, nadi, laju pernafasan, tekanan darah)
menunjukkan peningkatan denyut jantung. Tekanan darah sistolik bisa meningkat.
Pemeriksaan fisik bisa menunjukkan adanya pembesaran kelenjar tiroid atau
gondok.

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG

J.1 Pemeriksaan Laboratorium


 TSHS, T4 atau FT4
 T3 atau FT3
 TSH RAb
 Kadar leukosit
J.2 Pemeriksaan Radiologi
 Tiroid scan
 Foto thorax

20
J.3 Pemeriksaan Lainnya
 EKG

J. PENATALAKSANAAN
Konservatif
Tata laksana penyakit Graves

1. Obat Anti-Tiroid. Obat ini menghambat produksi hormon tiroid. Jika dosis
berlebih, pasien mengalami gejala hipotiroidisme. Pengobatan jangka
panjang dengan obat-obat antitiroid seperti PTU atau methimazol, yang
diberikan paling sedikit selama 1 tahun. Obat-obat ini menyekat sintesis
dan pelepasan tiroksin.
2. Penyekat beta seperti propranolol diberikan bersamaan dengan obat-obat
antitiroid. Karena manifestasi klinis hipertiroidisme adalah akibat dari
pengaktifan simpatis yang dirangsang oleh hormon tiroid, maka
manifestasi klinis tersebut akan berkurang dengan pemberian penyekat
beta; penyekat beta manurunkan takikardia, kegelisahan dan berkeringat
yang berlebihan. Propranolol juga menghambat perubahan tiroksin perifer
menjadi triiodotironin.

Indikasi :

1. Mendapat remisi yang menetap atau memperpanjang remisi pada


pasien muda dengan struma ringan – sedang dan tiroktosikosis
2. Untuk mengendalikan tiroktosikosis pada fase sebelum pengobatan
atau sesudah pengobatan yodium radioaktif
3. Persiapan tiroidektomi
4. Pasien hamil, usia lanjut
5. Krisis tiroid

3. Penyekat adinergik ß pada awal terapi diberikan, sementara menunggu


pasien menjadi eutiroid setelah 6-12 minggu pemberian anti tiroid.
Propanolol dosis 40-200 mg dalam 4 dosis pada awal pengobatan, pasien
kontrol setelah 4-8 minggu. Setelah eutiroid, pemantauan setiap 3-6 bulan

21
sekali: memantau gejala dan tanda klinis, serta Lab.FT4/T4/T3 dan TSHs.
Setelah tercapai eutiroid, obat anti tiroid dikurangi dosisnya dan
dipertahankan dosis terkecil yang masih memberikan keadaan eutiroid
selama 12-24 bulan. Kemudian pengobatan dihentikan, dan dinilai apakah
tejadi remisi. Dikatakan remisi apabila setelah 1 tahun obat antitiroid di
hentikan, pasien masih dalam keadaan eutiroid, walaupun kemudian hari
dapat tetap eutiroid atau terjadi kolaps. Lama terapi dengan obat-obat
antitiroid pada penyakit Graves cukup bervariasi dan dapat berkisar dari 6
bulan sampai 20 tahun. Remisi yang dipertahankan dapat diramalkan
dengan karakteristik sebagai berikut:

1. Kelenjar tiroid kemabali normal ukurannya


2. Pasien dikontrol dengan obat antitiroid dosis yang relative kecil
3. TSH R Ab [stim] tidak lagi dideteksi dalam serum
4. Jika kelenjar tiroid kembali secara normal bisa disupresi setelah
pemberian liotironin.

Surgical

 Radioaktif iodine, Tindakan ini adalah untuk memusnahkan kelenjar


tiroid yang hiperaktif, kontraindikasi untuk anak-anak dan wanita
hamil.

Indikasi : pasien berusia > 35 tahun, hipertiroidisme yang kambu


setelah dioperasi, gagal mencapai remisi setelah pemberian obat
antitiroid, tidak mampu atau ridak mau berbat antitiroid, adenoma
toksik, strauma multinodosa toksik.

 Tiroidektomi, Tindakan Pembedahan ini untuk mengangkat kelenjar


tiroid yang membesar.

Indikasi : Pasien usia muda dengan strauma dan tidak respon terhadap
antitiroid, wanita hamil trimester kedua yang memerlukan obat dosis
tinggi, alergi terhadap obat antitiroid, dan tidak dapat menerima

22
yodium radioaktif, adenoma toksik, strauma multinodosa toksik, graves
yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul.

K. KOMPLIKASI
 Krisis tiroid : mortalitas
 Penyakit Graves : Penyakit jantung hipertiroid, oftalmopati graves,
dermopati graves infeksi karena agranulositosis pada pengobatan dengan
obat antitiroid

L. PROGNOSIS
 Dubia ad bonam
 Mortalitas krisis tiroid dengan pengobatan adekuat = 10-15%

M. DIFFERENTIAL DIAGNOSIS

Differential Diagnosis Manifestasi Klinis


Hipertiroidisme Primer Penyakit graves, Strauma multinodosa toksik,
adenoma toksik, metastasis karsinoma tiroid
fungsional, strauma ovarii, mutasi reseptor TSH
Obat : kelebihan iodium (fenomena Jod Basedow)
Tiroksikositosis tanpa Tiroiditis subakut, tiroiditis silent, destruksi tiroid
hipertiroidisme (karena amiodarone, radiasi, infark adenoma), asupan
hormon tiroid berlebihan (tiroksikosis factitia)
Hipertiroidisme sekunder Adenoma hipofisis yang mensekresi TSH, syndrome
resistensi hormone tiroid, tumor yang mensekresi
HCG, tiroksikosis gestasional

23
BAB IV
ANALISA MASALAH

Pada anamnesis wanita berusia 56 tahun datang dengan keluhan utama


Benjolan di leher sebelah kanan dan kiri yang membesar sejak 2 tahun sebelum
masuk rumah sakit (SMRS). Pasien sejak sekitar 20 tahun SMRS merasa sudah
memiliki benjolan di leher namun tidak dikeluhkan karena dirasa tidak mengganggu.
Benjolan dirasakan membesar perlahan selama sekitar 20 tahun terakhir. Benjolan
terasa bergerak ke atas saat menelan, tidak nyeri, tidak panas, dan tidak berwarna
merah. Pasien tidak merasa sesak napas, suara serak, ataupun sulit menelan. Pasien
sering merasakan tangan gemetar dan cepat lelah. Nafsu makan seperti biasa, diare
hanya kadang-kadang, rambut rontok, cepat berkeringat, sulit tidur, lebih suka udara
dingin, gelisah, dan berdebar-debar. Pasien juga mengakui dirinya suka beraktivitas
dan sulit untuk diam. Pasien tidak pernah demam. Tidak ada mata menonjol. Berat
badan turun dari 70 kg menjadi 62 kg. Tidak ada riwayat trauma di leher sebelumnya.
Pasien tidak pernah mengalami keluhan seperti ini sebelumnya. Tidak ada kelainan
leher sejak lahir. Pasien berobat sejak 2 tahun SMRS dan saat ini keluhan yang tersisa
seperti tangan gemetar, rambut rontok, dan sering berkeringat. Selama 2 tahun
pengobatan berat badan pasien naik dari 60 kg menjadi 72 kg. Pasien menyangkal
adanya keluhan serupa sebelumnya. Pasien menyangkal riwayat hipertensi dan
kencing manis. Riwayat alergi obat disangkal. Riwayat benjolan di tempat lain
disangkal. Pasien memiliki strabismus sejak kecil. Pasien memiliki paman yang
memiliki keluhan serupa. Keluarga memiliki riwayat hipertensi. Riwayat kencing
manis dan alergi obat di dalam keluarga disangkal. Pasien seorang ibu rumah tangga
dan memiliki kesibukan sebagai penjual nasi uduk dengan aktivitas dimulai sejak jam
4 pagi sampai jam 10 pagi. Pasien mengkonsumsi garam beryodium. Pasien
menyangkal adanya riwayat radiasi.
Pada kasus ini pasien dengan gejala-gejala tirotoksikosis. Tirotoksikosis
adalah suatu sindroma klinik yang terjadi akibat meningkatnya kadar hormon tiroid
(T3) yang beredar dalam tubuh. Triyodotironin (T3) akan meningkatkan komsumsi
oksigen dan produksi panas melalui rangsangan tarhadap Na+-K+ ATPase pada
hampir semua jaringan tubuh (kecuali otak, limpa dan testis) yang pada akhirnya akan
meningkatkan basal metabolisme rate sehingga pasien sering berkeringat dan lebih
menyukai udara dingin. Hormon tiroid juga akan merangsang peningkatan sintesis

24
struktur protein dan akhirnya menyebabkan berkurangnnya massa otot dan
menurunnya berat badan.
Terdapat beberapa penyebab tirotoksikosis diantaranya :
1. Penyakit Graves’ ( Diffuse Toxic goiter )
2. Adenoma Toksik ( Penyakit Plummer)
3. Struma Multinoduler
4. Tiroiditis sub-akut
5. Torotoksikosis faksisia (biasanya akibat minum hormon tiroid untuk
menurunkan berat badan)
6. Penyebab yang sangat jarang : struma ovarium, molahidatidosa,
karsinoma tiroid follikulare yang bermetastase.

Untuk mengarahkan gejala klinis pada keadaan hyperthyroid dan


Hypothyroid pada saat anamnesis dan pemeriksaan fisik, kita dapat menggunakan
indeks wayne dan new castle yang memuat skor-skor yang membantu dalam
penegakkan suatu kondisi mengenai thyroid.
New Castle’s Index
Item Grade Score
Age of onset (year) 15-24 0
25-34 +4
35-44 +8
45-54 +12
>55 +16
Psychological precipitant Present -5
Absent 0
Frequent cheking Present -3
Absent 0
Severe anticipatory anxiety Present -3
Absent 0
Increased appetite Present +5
Absent 0
Goiter Present +3
Absent 0

25
Thyroid bruit Present +18
Absent 0
Exophthalmos Present +9
Absent 0
Lid retraction Present +2
Absent 0
Hyperkinesis Present +4
Absent 0
Fine finger tremor Present +7
Absent 0
Pulse rate >90 x/min +16
80-90 x/min +8
<80 x/min 0
Total 26
Euthyroid : (-11) – (+23)
Probably Hyperthyroid : (+24) – (+39)
Definite Hyperthyroid : (+40) – (+80)

Wayne’s Index
Symptoms Present Absent
Dyspnoe d’effort +1
Palpitation +2
Tiredness +2
Preference for heat -5
Preference for cold +5
Indifference to temperature 0
Excessive sweating +3
Appetite increased +3
Appetite decreased -3
Weight increased -3
Weight decreased +3
Nervousness +3
Sign Present Absent

26
Palpable (struma) thyroid +3 -3
Bruit over thyroid +2 -2
Exopthalmos +2 0
Lid retraction 0 0
Lid lag +1 0
Hyperkinetic movements +4 -2
Fine finger tremor +1 0
Hands hot +2 -2
Hands moist +1 -1
Pulse A.F +4 0
Pulse regular < 80 x/min -3
Pulse regular 81-90 x/min 0
Pulse regular >90 x/min +3
Total 20
Hyperthyroid : (>20)
Probably hyperthyroid : (+10) – (+20)
No hyperthyroid : (<10)

Total indeks new castle 26 dan indeks wayne 20 yang menunjukkan bahwa
pasien ini kemungkinan menderita hipertiroid.

Pada pemeriksaan laboratorium (05/03/2014) didapatkan TSH Ultra Sensitif


< 0,03 μIU/ml, Free T4 2,62 ng/dl. Hasil TSH Ultra Sensitif menurun dan Free T4
meningkat, hal ini menunjukkan hipertiroid klinis. Pada rontgen thorax didapatkan cor
dan pulmo dalam batas normal.

Pada Thyroid Scan (19/12/2011) dengan radiofarmaka Tc-99m pertechnetate


dengan kesimpulan cold nodul thyroid kanan, dengan suspek warm nodul thyroid kiri
dan total thyroid uptake dalam batas normal. Pada pemeriksaan USG Thyroid
(13/12/2011) didapatkan struma multi nodosa bilateral, nodule padat dengan
degenerasi kistik isthmus sisi kiri, pembesaran KGB kecil cervikal kiri.
Kesimpulannya pasien terdiagnosis dengan Struma Multi Nodular Toksik.

Pada pasien ini diberikan Obat anti tiroid (OAT) . Golongan obat ini terdiri
dari propylthyourasil (PTU) biasanya diberikan pada dengan dosis awal 300-600 mg

27
Biasanya remisi spontan akan terjadi dalam waktu 1-2 bulan. Pada saat itu dosis obat
dapat diturunkan menjadi 50-200 mg (dalam dosis terbagi/2 kali sehari) untuk PTU.
Dosis maintenance ini dapat diberikan hingga 2 tahun untuk mencegah relaps.
Mekanisme kerja obat ini adalah menghambat konversi T4 (tidak aktif) menjadi
bentuk aktif (T3) dan jug memblok aktifitas hormon tiroid. Efek samping obat ini
adalah agranulositosis, reaksi allergi dan hepatotoksik.

28
BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari anamnesis, pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan penunjang,


disimpulkan bahwa pasien menderita struma multi noduler toksik. Dengan demikian
dilakukan penatalaksanaan yang sesuai dengan hipertiroid klinis.

Fungsi utama hormon tiroid adalah meningkatkan aktivitas metabolik seluler,


sebagai hormon pertumbuhan, dan mempengaruhi mekanisme tubuh yang spesifik
seperti sistem kardiovaskuler dan regulasi hormon lain. Diagnosis hipertiroidisme
mengacu pada hasil pemeriksaan TSH, FT4, indeks wayne dan indeks new castle
berdasarkan gejala klinis yang timbul.

Penatalaksanaan SMNT meliputi pemberian bahan penghambat sintesis tiroid,


seperti anti tiroid, penghambat ion iodida, dan terapi radio iodine. Salah satu
komplikasi buruk dari hipertiroid adalah krisis tiroid yang berakibat pada berbagai
sistem tubuh yang akhirnya bisa fatal. Jika dicurigai ke arah keganasan maka
dianjurkan pada pasien ini untuk FNAB dan biopsi.

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Price, Anderson. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit edisi 6.


Vol 2. Jakarta : EGC. Hal 1225.
2. Sherwood, Lauralee. Sistem endokrin. Dalam : Fisiologi manusia dari sel ke
sistem edisi 2. Jakarta : EGC. 2001. Hal 644.
3. Syarif, Amir. Elysabeth. Amubisid. Dalam : Gunawan, Sulistia Gan.
Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta : Balai
Penerbit UI. 2008. Hal 551-554.
4. Sudoyo, Ayu. Setiyohandi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata, Marcellus.
Setiati, Siti . Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi kelima. Jilid III. Jakarta :
EGC. Hal 1993.
5. Robbins. Buku ajar Patologi. Edisi ketujuh. Volume 2. Jakarta : EGC. Hal
811.
6. Roizen M, Becker CE. Thyroid strom. The Western Journal of Medicine
1971;115:5-9.
7. Chew SC, Leslie D. Clinical endocrinology and diabetes. Churchill
Livingstone Elseiver 2006:8.
8. Sjamsuhidayat R, De jong W. Sistem endokrin. Jakarta EGC 2005:2:683-695.
9. Shahab A. Penyakit Graves (struma diffusa toksik) diagnosis dan
penatalaksanaannya. Bullletin PIKI4 : seri endokrinologi-metabolisme.
2002:9-18.
10. Harrison. Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam edisi 13. Jakarta EGC
2000;5:2144-2151.
11. Ramirez JI, Petrone P, Kuncir EJ, Asensio JA. Thyroid strom induced by
strangulation. Southern Medical Association 2004;97:608-610.
12. Jiang Y, Karen AH, Bartelloni P. Thyroid strom presenting as multiple organ
dysfunction syndrome. Chest 2000;118:877-879.

30

Anda mungkin juga menyukai