Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perdarahan Intraserebral (SICH)

Perdarahan intraserebral (SICH) terjadi apabila ada pembuluh darah arteri

ke otak yang pecah sehingga timbul gangguan aliran darah yang menyebabkan

bagian otak tersebut tidak mendapatkan asupan darah yang memadai serta

berakibat pada kerusakan dan gejala yang mendadak (Rincon et al, 2008). SICH

terjadi sekitar 4 – 14% dari seluruh jenis stroke dan berhubungan dengan

mortalitas dan morbiditas yang tinggi (Bamford et al., 1990; Kase et al., 1994).

Sekitar 32% hingga 50% penderita meninggal dalam 30 hari, dan hanya 20% yang

mampu hidup mandiri setelah 6 bulan mengalami serangan ICH (Anderson et al.,

1994; Counsell et al., 1995; Broderick et al., 1994). Beberapa faktor klinis dan

radiologis seperti usia, tingkat kesadaran, hipertensi, demam, hiperglikemia,

tekanan nadi, volume ICH, volume edema perihematoma, hidrosefalus,

pergeseran garis tengah/ midline shift (MLS) dan IVH diketahui memberikan

prognosis yang buruk pada penderita SICH (Fieschi et al., 1998; Portenoy et al.,

1987; Daverat et al., 1991; Tuhrim et al., 1988; Tuhrim et al., 1991; Broderick et

al., 1993; Qureshi et al., 1995; Gebel et al., 2002; Ahn et al., 2004; Broderick et

al., 1999; Franke et al., 1992; Gebel et al., 2002; Leira et al., 2004; Mendelow et

al., 2005; Reithmeier et al., 2005; Yuzawa et al., 2008).

14

Universitas Sumatera Utara


Selain beberapa faktor prognosis diatas, dikenal juga istilah END (early

neurological deterioration), yang terjadi pada 20% hingga 40% penderita SICH,

dan berhubungan dengan prognosis yang buruk (Lisk et al., 1994). Prediktor

independen dari END antara lain suhu tubuh, hitung neutrofil, dan kadar

fibrinogen plasma yang tinggi. Hipertermia merupakan dampak dari reaksi fase

akut dan inflamasi. Kadar fibrinogen mencerminkan aktivasi mekanisme

inflamasi yang menyebabkan kerusakan jaringan di sekitar hematoma.

Secara klinis mayoritas penderita SICH datang dengan penurunan

kesadaran akibat peningkatan ICP dan atau penekanan langsung atau distorsi

thalamus atau RAS (Reticular Activating System) di batang otak. Presentasi klinis

penderita SICH disamping penurunan kesadaran tergantung dari lokasi hematoma.

Tabel 1. Tabel karakteristik klinis penderita SICH berdasarkan lokasi perdarahan


Jenis Lokasi Tampilan klinis

perdarahan

Supratentorial Putaminal Hemiparesis dan hemisensory loss,

hemianopia & disfasia (apabila hemisfer

dominan terlibat), deviasi konjugat ke sisi

yang mengalami perdarahan)

Thalamic Hemisensory loss, hemiparesis & gangguan

pergerakan ekstraokular, forced downward

gaze, upgaze palsy, pupil miosis dan

nonreaktif, paralisis konvergens, nistagmus

15

Universitas Sumatera Utara


retraktif & ptosis

Lobar Occipital: nyeri bola mata ipsilateral &

defisit lapangan pandang; temporal: disfasia,

ganguan lapangan pandang & nyeri telinga;

frontal: nyeri kepala & hemiparesis;

parietal: nyeri kepala di temporal anterior &

hemisensory loss

Infratentorial Cerebellar Mual muntah yang mendadak, ataksia,

nistagmus, dismetria, kelemahan otot wajah

Non-spesifik Pontine Bila berukuran kecil, dapat menyebabkan

paralisis dan dapat berhubungan dengan

pergerakan bola mata (lock-in state), bila

berukuran besar dapat menyebabkan koma,

kuadriplegia, rigiditas deserebrasi & pupil

yang pinpoint

Intraventricular Meningismus & penurunan kesadaran

SICH yang berkembang menjadi IVH terjadi pada 30% hingga 45% dan

merupakan faktor independen terhadap hasil akhir yang buruk. Adanya IVH

meningkatkan risiko kematian yang bermakna pada penderita SICH dan volume

IVH secara langsung mempengaruhi faktor kematian. IVH yang berkembang pada

saat awal serangan memperburuk hasil akhir penderita SICH, dan pengangkatan

16

Universitas Sumatera Utara


hematoma intraventrikel akan mengurangi respons inflamasi, hidrosefalus dan

defisit fungsional jangka panjang.

B. Patofisiologi SICH

Efek ICH terhadap jaringan otak bersifat bifasik. Pada fase awal, cedera

terjadi akibat efek massa dari hematoma (Aronowski et al., 2005). ICH

menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial/ intracranial pressure (ICP), yang

kemudian akan menyebabkan herniasi transtentorial (Badjatia et al., 2005). Pada

fase berikutnya melibatkan faktor-faktor komponen darah yang sifatnya merusak,

infiltrasi sel-sel imun sistemik ke dalam jaringan otak, aktivasi mikroglia, dan

proses apoptosis yang diinduksi oleh hematoma, kerusakan progresif dari sawar

darah otak/ blood brain barrier (BBB) dan meningkatnya edema otak (Xi et al.,

1998; Xue et al., 2003; Wang et al., 2005; Felberg et al., 2002; Qureshi et al.,

2001).

Respons inflamasi pada SICH ditandai dengan aktivasi sel-sel imun lokal

seperti sel mikroglia. Proses inflamasi akut dapat terlihat dalam 4 jam setelah ICH

pada model hewan coba, dan reaksi inflamasi lokal ini berperan dalam kerusakan

otak (Wang et al., 2007). Leukosit yang berasal dari sirkulasi darah merupakan

sumber utama dari kerusakan yang terjadi. Infiltrasi dari sel-sel imun yang

bersirkulasi sistemik ini memperburuk kerusakan BBB. Hal ini menyebabkan

terjadinya edema (Aronowski et al., 2005; Gong et al., 2000; Ma et al., 2011).

Lapisan endotel yang rusak akan memicu inflamasi dengan cara

meningkatkan sintesis molekul adhesi seperti soluble intercellular cell adhesion

17

Universitas Sumatera Utara


molecule-1 (sICAM-1), soluble endothelial selectin (sE-selectin), dan soluble

platelet selectin (sP-selectin) yang mengikat leukosit-leukosit yang ada didalam

sirkulasi sehingga leukosit-leukosit tersebut melakukan migrasi kedalam daerah

otak yang telah mengalami iskemia (Yilmaz et al., 2008). Molekul adhesi seperti

sICAM-1 dan soluble vascular cell adhesion molecule-1 (sVCAM-1) merupakan

parameter pro-inflamasi terhadap terjadinya aktivasi sistem imun (Bevilacque et

al., 1993). Peranan molekul-molekul adhesi ini sebenarnya dalam kondisi

fisiologis adalah mengatur kontak antar sel (Springer, 1990). Pengerahan dari sel-

sel mononuklear yang berada di sirkulasi perifer merupakan langkah penting pada

awal terjadinya inflamasi di otak (Hafler & Weiner, 1989). Molekul-molekul

adhesi ini juga berperan dalam kondisi patologis seperti pada penyakit

serebrovaskular (Endres et al., 1997). sICAM-1 dan sVCAM-1 dilaporkan

meningkat kadarnya didalam cairan serebrospinal/ cerebrospinal fluid (CSF) yang

diperoleh dari dalam ventrikel pada penderita SICH, yang berhubungan dengan

hasil akhir yang buruk (Kraus et al., 2002).

IVH juga menyebabkan peningkatan ICP. Peningkatan ICP ini

menyebabkan penderita IVH mengalami penurunan kesadaran melalui beberapa

mekanisme sebagai berikut, yakni: penurunan cerebral perfusion pressure (CPP),

ensefalopati iskemik, edema otak yang difus, dan penekanan bagian rostral batang

otak dan thalamus akibat peregangan ventrikel tiga (Naff et al., 2000; Steinke et

al., 1992). Volume darah didalam ventrikel dan berat ringannya hidrosefalus yang

terjadi merupakan faktor prognostik pada penderita IVH (Mayfrank et al., 1993;

Tuhrim et al., 1992).

18

Universitas Sumatera Utara


Meskipun EVD dianggap sebagai pertolongan pertama pada kelompok

penderita IVH yang mengalami hidrosefalus akut, ternyata tidak didapatkan

hubungan antara peningkatan ICP atau kontrol ICP terhadap perburukan atau

perbaikan neurologis (Adams et al., 1998). Peningkatan ICP pada IVH

kemungkinan juga disebabkan oleh hal-hal lain disamping akibat hidrosefalus

akut (Coplin et al., 1998).

Seringkali terdapat asumsi bahwa koma ataupun kematian yang terjadi

pada penderita IVH merupakan akibat dari peningkatan ICP yang akut yang

kemudian mencederai reticular activating system (RAS) atau menyebabkan

gangguan perfusi otak. Meskipun volume IVH yang lebih besar dan derajat

dilatasi ventrikel yang lebih berat pada pemeriksaan CT scan awal berhubungan

dengan hasil akhir yang buruk, tidak dijumpai hubungan antara ICP terhadap hasil

akhir penderita IVH (Diringer et al., 1998).

C. Sistem Ventrikel

Sistem ventrikel di otak memberikan tempat bertekanan rendah bagi CSF

untuk mengalir. Sistem ini seringkali menjadi rusak apabila terisi oleh darah

akibat pecahnya dinding pembuluh darah seperti halnya terjadi pada SICH

(Qureshi et al., 2001). Perdarahan di otak dapat terjadi akibat pecahnya pembuluh

darah yang disebabkan oleh aneurisma, malformasi arteri vena/ arteriovenous

malformation (AVM), koagulopati, atau karena hipertensi. Berbagai kondisi

patologis tersebut dapat menyebabkan akumulasi darah didalam ventrikel yang

kemudian menyebabkan oklusi/ obstruksi ruang intraventrikel. Perdarahan yang

19

Universitas Sumatera Utara


lokasinya cukup dalam dari permukaan otak yang berdekatan dengan ventrikel

juga dapat ruptur mengisi ke ruang ventrikel dan mengganggu regulasi tekanan

intrakranial. Rupturnya darah ke dalam ventrikel akan menimbulkan penurunan

kesadaran secara klinis dan seringkali menyebabkan kematian (Qureshi et al.,

1995).

Fasilitas pemeriksaan CT scan dan ICP monitoring kini memungkinkan

pengukuran IVH baik secara kuantitatif serta efeknya terhadap ICP (Graeb et al.,

1982; Naff et al., 2000; Zimmerman et al., 2006; Janny et al., 1982). Meskipun

penatalaksanaan IVH secara akademis dilakukan dengan melakukan kontrol ICP

dan drainase IVH hingga sistem ventrikel lancar kembali, hingga saat ini belum

ada penelitian randomized control trial (RCT) dalam skala besar yang menguji

manfaat dari tindakan tersebut (Broderick et al., 2007; Steiner et al., 2006).

D. Dinamika CSF pada IVH

Perdarahan intraventrikel akan mengganggu absorpsi CSF yang kemudian

akan menyebabkan peningkatan ICP. Hal ini telah dibuktikan dengan pemasangan

ICP monitoring, dan ICP pada penderita tersebut diatas 15 mm Hg (Kosteljanetz,

1984). Sebenarnya patofisiologi transisi antara peningkatan ICP akibat

hidrosefalus akut masih belum jelas diketahui. Diperkirakan adanya bekuan darah

(clot) menyebabkan aliran CSF didalam ventrikel menjadi terhambat. Tetapi

kenyataan klinis didapati bahwa ada sebagian penderita yang mengalami

hidrosefalus juga tidak mengalami keluhan meskipun tidak dipasang shunt. Hal

tersebut menunjukan bahwa peningkatan ICP tidak semata-mata menjadi faktor

20

Universitas Sumatera Utara


utama dalam terjadinya hidrosefalus, tetapi ada faktor-faktor lain seperti

komposisi biokimiawi jaringan periventrikel terhadap proses terjadinya dilatasi

sistim ventrikel.

E. Mekanisme Kerusakan Otak Akibat IVH

Baik faktor mekanis maupun biokimiawi berperan terhadap kerusakan

jaringan otak. Pada penelitian hewan coba (canine dan porcine) didapatkan

informasi bahwa semakin banyak hematoma yang dimasukkan ke dalam ventrikel,

maka semakin banyak hewan coba yang mati (Pang et al., 1986; Mayfrank et al.,

1997; Qureshi et al., 2002). Penelitian lain juga membuktikan bahwa terpaparnya

ventrikel oleh darah akan menyebabkan penurunan kesadaran dan pada tingkat

jaringan, akan terjadi inflamasi, fibrosis dan hidrosefalus (Pang et al., 1986).

Evakuasi hematoma dapat meningkatkan tingkat kesadaran dan mencegah

inflamasi jaringan pada simulasi hewan coba, meskipun tindakan tersebut

dilakukan pada beberapa saat penundaan. Pengamatan secara histologi

menunjukan bahwa hidrosefalus dan inflamasi dicegah melalui evakuasi

hematoma dengan trombolitik (Mayfrank et al., 2000; Wagner et al., 1999).

Beberapa model lain juga menunjukan adanya proses pemulihan/ pencegahan

terhadap terjadinya dilatasi ventrikel, herniasi dan koma, infiltrasi sel darah putih,

edema periventrikular, dan edema yang luas.

21

Universitas Sumatera Utara


F. Penatalaksanaan IVH: Alasan Rasional dan Evidence Based

Usaha mengobati IVH pada awalnya difokuskan untuk mengurangi ICP

yang meningkat. Alasan pengobatan IVH ini cukup beralasan, karena ICP yang

tinggi akan mengakibatkan herniasi dan iskemia, yang merupakan dua dampak

yang sering terjadi pada IVH. Meskipun demikian, beberapa laporan menunjukan

bahwa pengelolaan ICP yang dilakukan tidak memberikan perbaikan kesadaran

dan fungsional ataupun mortalitas (Adams & Diringer, 1998; Misra et al., 2005).

Sementara itu, penelitian lain melaporkan bahwa pengendalian ICP mampu

memperbaiki gejala-gejala herniasi dan memperbaiki hasil akhir (Qureshi et al.,

2000). Penelitian yang dilakukan dalam skala besar seperti STICH dan FVIIa,

NovoSeven tidak memberikan pernyataan spesifik mengenai tindakan evakuasi

IVH maupun target pengendalian ICP. Pada CLEAR IVH trial dilaporkan bahwa

pengobatan IVH dengan memberikan r-TPA melalui kateter mampu mengurangi

mortalitas. Evakuasi hematoma diharapkan mampu mengurangi cedera sekunder

akibat efek negatif dari hematoma tersebut. Secara biologis diperkirakan tindakan

tersebut mampu memblokir aktivasi inflamasi dan kematian sel yang diperantarai

oleh aktivasi trombin, pembersihan dari sisa-sisa besi bebas, dan meningkatkan

fagositosis dari eritrosit yang mengalami pembekuan (Xi et al., 1998; Xi et al.,

2006; Zhao et al., 2007).

Tindakan operasi pada penderita IVH di ventrikel lateralis dibagi menjadi

metode langsung dan tidak langsung (Coplin et al., 1998; Goh et al., 1981; Haines

& Lapointe, 1998; Koos, 1993; Miyake et al., 2000; Nieuwkamp et al., 2000).

Metode tidak langsung yang dimaksud adalah pemasangan drain eksternal untuk

22

Universitas Sumatera Utara


menyuntikan obat-obat trombolitik. Metode langsung adalah dengan melakukan

kraniotomi untuk menciptakan akses ke ventrikel lateralis untuk mengangkat

hematoma dibawah visualisasi langsung. Metode tidak langsung merupakan

metode yang kurang invasif, tetapi cukup sulit untuk mengidentifikasi sumber

perdarahan. Akses transkortikal untuk mencapai ventrikel lateralis terdiri dari

beberapa approach: frontal, temporal, parietal dan occipital (Piepmeier et al.,

1993; Timurkaynak et al., 1986). Pengangkatan hematoma menggunakan frontal

approach menuju kornu inferior sangat sulit. Jarak antara kornu posterior melalui

parietal approach cukup jauh dan cukup sulit untuk melakukan pengangkatan

hematoma melalui kornu anterior dan inferior. Temporal approach sangat

bermanfaat untuk pengangkatan hematoma di kornu inferior, tetapi tidak dapat

mengkonfirmasi lesi yang berada di kornu anterior. Occipital approach cukup baik

untuk mencapai kornu posterior karena pada ventrikel yang dilatasi, jarak tersebut

cukup pendek dan memungkinkan untuk menilai seluruh bagian dari ventrikel

lateralis. Dikenal juga high occipital approach yang dinilai lebih baik karena jarak

dengan kornu posterior lebih dekat dibandingkan dengan occipital approach

(Onoda et al., 2001).

Pemasangan EVD baik tunggal maupun bilateral memungkinkan drainase

darah dan CSF secara bersamaan dari sistim ventrikel untuk mengurangi ICP.

Beberapa laporan menunjukan bahwa tindakan pemasangan EVD saja tidak cukup

efektif untuk meningkatkan prognosis penderita IVH yang buruk. Tidak jarang

patensi EVD sulit untuk dicapai karena seringkali darah didalam drain tersebul

23

Universitas Sumatera Utara


membeku (clotting). Untuk menghindari hal tersebut, beberapa ahli menggunakan

obat-obat fibrinolitik seperti urokinase.

Disamping pemasangan EVD dan tindakan operasi, dikenal juga metode

lain untuk melakukan pengangkatan IVH, yakni aspirasi dengan endoskopi (Chen

et al., 2011; Hamada et al., 2008; Longatti et al., 2005; Nishikawa et al., 2007;

Nishikawa et al., 2008; Zhang et al., 2007). Dengan tehnik ini juga dikenal

penggunaan rigid dan flexible instument dengan segala kelebihan dan

kekurangannya masing-masing. Pada tehnik ini, keberhasilan atau hasil akhir

sangat dipengaruhi oleh ada tidaknya sisa IVH di akuaduktus syilvii dan ventrikel

IV (Saphiro et al., 1994).

G. Hipertensi dan Hasil Akhir Penderita ICH

Tekanan darah seringkali mengalami peningkatan pada penderita yang

mengalami ICH. Mekanisme patofisiologi yang melandasi terjadinya peningkatan

tekanan darah ini adalah akibat respons stress tubuh melalui sistem neuroendokrin

(sistem saraf simpatik, aksis renin-angiotensin, atau sistem glukokortikoid) dan

akibat respons peningkatan tekanan intrakranial. Secara teoritis, hipertensi juga

berperan dalam meluasnya hematoma intraserebral, edema perihematoma, dan

terjadinya perdarahan ulang yang pada akhirnya memberikan hasil akhir yang

buruk bagi penderita SICH.

Pengendalian tekanan darah yang intensif dan agresif belum terbukti

meningkatkan hasil akhir penderita SICH. Rekomendasi pada tahun 2010

menyebutkan bahwa penderita SICH yang pada awalnya memiliki tekanan darah

24

Universitas Sumatera Utara


sistolik antara 150 hingga 220 mm Hg cukup aman apabila dilakukan penurunan

tekanan darah yang akut hingga 140 mm Hg (Class IIa; Level of Evidence: B).

Apabila tekanan darah sistolik > 200 mm Hg atau MAP diatas 150 mm

Hg, maka penurunan tekanan darah yang agresif menggunakan antihipertensi

intravena yang diberikan melalui infus kontinyu dapat diberikan dengan

melakukan pemantauan tekanan darah setiap 5 menit. Apabila tekanan darah

sistolik > 180 mm Hg atau MAP diatas 130 mm Hg kemungkinan besar terjadi

peningkatan ICP yang perlu dimonitor dan dilakukan penurunan tekanan darah

dengan antihipertensi intravena yang diberikan secara intermiten untuk

mempertahankan CPP ≥ 60 mm Hg. Apabila tekanan darah sistolik > 180 mm Hg

atau MAP diatas 130 mm Hg kemungkinan besar terjadi peningkatan ICP yang

perlu dimonitor dan dilakukan penurunan tekanan darah dapat diberikan lebih

bertahap misalnya dengan target MAP 110 mm Hg atau tekanan darah 160/ 90

mm Hg menggunakan antihipertensi intravena kontinyu dengan melakukan

pengukuran ulang setiap 15 menit (Class C).

H. SICH dan Koagulopati

Berdasarkan etiologinya, SICH dibagi menjadi primer dan sekunder. SICH

primer disebabkan oleh rupturnya pembuluh darah yang berukuran kecil atau

akibat angiopati amiloid, berkontribusi 78 hinga 88% dari seluruh SICH(Foulkes,

1988). SICH sekunder berhubungan dengan anomali vaskular, tumor dan

gangguan koagulasi, yang terjadi pada sebagian kecil penderita.

25

Universitas Sumatera Utara


Koagulopati atau gangguan perdarahan hanya terjadi pada sebagian kecil

penderita, tetapi merupakan faktor risiko yang bermakna terhadap terjadinya

SICH. Kondisi seperti hemofilia dan leukemia akut berhubungan dengan

trombositopenia, perdarahan intrakranial masif yang sering menjadi penyebab

utama kematian (Kerr, 1964; McCormick & Rosenfield, 1973).

Proses koagulasi dan hemostasis yang dimediasi trombosit merupakan dua

mekanisme pertahanan terhadap perdarahan. Kaskade koagulasi segera

dikerahkan setelah terjadi kontak langsung antara darah dengan lapisan endotel

yang mengalami cedera. Respons kaskade koagulasi idealnya berkoordinasi

dengan pembentukan plak trombosit yang awalnya menutup lesi pada pembuluh

darah. Di susunan saraf pusat, ketidakseimbangan antara sistim yang pro- dengan

anti-koagulan akibat faktor yang didapat maupun yang diturunkan dapat

menyebabkan kelainan trombosis ataupun perdarahan.

Koagulopati dapat menyebabkan perdarahan intrakranial dibagi menjadi

kelainan yang didapat dan kelainan kongenital. Koagulopati yang didapat pada

umumnya merupakan akibat dari obat-obat seperti aspirin, antikoagulan, dan agen

trombolitik. Koagulopati yang didapat yang lain antara lain akibat: 1) neoplasma;

2) ITP (Idiopathic Trombositopenic Purpura) dan 3) Trombositopenia yang

disebabkan oleh alkohol, kelainan hepar dan ginjal, maupun obat-obat yang lain.

Kelainan kongenital yang dapat menyebabkan SICH antara lain hemofilia A,

hemofilia B, dan penyakit jarang yang lainnya.

Beberapa obat-obatan yang dikategorikan sebagai antiplatelet seperti

aspirin, memilii cara kerja menghambat aktivasi enzim siklooksigenase secara

26

Universitas Sumatera Utara


irreversible sehingga mengurangi produksi platelet agreggant alami thromboxane

A2 (Vane, 1971). Inhibisi ini membuat aspirin menjadi agen antiplatelet yang

sangat baik secara klinis. Pada pasien-pasien yang menderita infark miokard akut

dan penyakit oklusi kardiovaskular, obat aspirin mengurangi risiko infark miokard

non fatal, stroke non fatal, dan kematian yang disebabkan oleh penyakit vaskular.

Aspirin juga dapat mengurangi serangan infark miokard pertama pada pria

(Gaziano et al, 2000).

Physician’s Health Study melaporkan terdapat 23 kasus stroke hemoragik

pada 11,037 penderita yang mengkonsumsi aspirin dosis rendah (325 mg setiap

harinya) dibandingkan dengan 12 stroke hemoragik pada 11,034 pasien yang

menerima plasebo ( Steering Committee of the Physicians’ Health Study Research

Group, 1996).

SICH yang disebabkan oleh antikoagulan terjadi sekitar 10% hingga 20%

( Kase, 1986; Mohr et al., 1978; Yarnell & Earnest, 1976)

Lokasi perdarahan pada penderita yang mengkonsumsi antikoagulan

sebagaian terjadi di intraserebral, dan hanya sebagian kecil bermanifestasi sebagai

perdarahan subdural (Subdural hemorrhage/ SDH). Target INR 2.5 hingga 4.5

pada pengobatan antikoagulan meningkatkan risiko tahunan SICH sebesar tujuh

hingga sepuluh kali pilat (Hart et al, 1995)

Perdarahan yang disebabkan oleh antikoagulan biasanya berkembang

secara gradual, dalam beberapa jam atau hari (Kase et al., 1986). SICH akibat

antikoagulan seringkali terus berkembang setelah terlihat pada pemeriksaan

27

Universitas Sumatera Utara


radiologi pertama kali (Hart et al., 1995). Angka mortalitas SICH akibat

antikoagulan adalah 60% (Hart et al., 1995).

Mekanisme terjadinya SICH akibat antikoagulan masih belum jelas. Pada

pemeriksaan autopsi pada penderita lansia yang memiliki riwayat hipertensi

sering didapati pengumpulan hemosiderin yang menunjukan adanya vaskulopati

pembuluh darah berkaliber kecil (Cole & Yates, 1967).

Tabel 2. Uji Tapis Laboratorium untuk kelainan perdarahan


Pemeriksaan Laboratorium Kelainan Perdarahan

Hitung dan apusan darah tepi Anemia, leukemia, DIC

Hitung trombosit Trombositopenia

Masa perdarahan Interaksi antara trombosit dan

pembuluh darah

PT Penggunaan warfarin, defisiensi faktor

I, II, V, VII dan X

aPTT Penggunaan heparin; defisiensi seluruh

faktor koagulasi, terutama faktorVIII &

IX, kecuali faktor VII

TT atau Fibrinogen Penggunaan heparin; FDP;

hipofibrinogenemia atau

disfibrinogenemia

28

Universitas Sumatera Utara


I. Tindakan Operasi Kraniotomi Evakuasi Pada Penderita SICH

Hingga saat ini manfaat tindakan operasi dikatakan belum jelas terlihat

(Class IIb; Level of Evidence: C), kecuali pada penderita yang mengalami

perdarahan di serebelum yang mengalami deteriorasi neurologis atau mengalami

penekanan batang otak dan/ atau yang mengalami hidrosefalus akibat obstruksi

sistem ventrikel, perlu dilakukan evakuasi hematoma sesegera mungkin (Class I;

Level of Evidence: B). Tindakan pertolongan pertama pada kelompok penderita

diatas hanya dengan melakukan pemasangan EVD saja tanpa melakukan evakuasi

hematoma, tidak dianjurkan (Class III; Level of Evidence: C). Pada penderita

yang mengalami perdarahan lobar > 30 mL dan lokasinya 1 cm dari permukaan

korteks maka perlu dipertimbangkan untuk kraniotomi evakuasi hematoma (Class

IIb; Level of Evidence: B).

J. Tindakan Hemikraniektomi Dekompresi pada SICH

Hemikraniektomi dekompresi yang diikuti dengan evakuasi hematoma

intraserebral merupakan prosedur yang aman dan efektif pada kasus SICH yang

berukuran besar dengan gangguan kesadaran yang berat (Tekeuchi, 2013).

Penelitian STICH (Surgical Trial in Intracerebral Hemorrhage) yang dilakukan

pada 1000 penderita SICH telah gagal membuktikan bahwa tindakan kraniotomi

evakuasi hematoma yang dilakukan dalam waktu 72 jam setelah onset dapat

memperbaiki hasil akhir dibandingkan dengan terapi konservatif (Mandelow,

2005). Hemikraniektomi dekompresi merupakan prosedur pembedahan yang

dilakukan untuk mengurangi peningkatan ICP yang hebat. Tindakan ini dilakukan

29

Universitas Sumatera Utara


dengan melakukan pembukaan tulang kepala dan tulang tersebut tidak

dikembalikan/ disimpan untuk sementara waktu untuk memberikan waktu bagi

otak yang sedang mengalami edema untuk mendapatkan penambahan ruang,

sehingga tidak terjadi pergeseran jaringan otak didalam kranium yang dapat

menyebabkan herniasi yang mengancam jiwa. Disamping memberikan manfaat

untuk mengurangi ICP yang tinggi, prosedur ini juga dapat meningkatkan

compliance jaringan otak, cadangan oksigen otak, dan perfusi otak (Aarabi, 2006;

Kontopoulos, 2002; Schaller, 2003). Prosedur ini lebih banyak digunakan pada

kasus cedera kepala berat, perdarahan subarachnoid yang hebat akibat ruptur

aneurisma dan pada infark serebri yang berat. Sedangkan penggunaan prosedur in

ipada kasus SICH masih jarang. Meskipun demikian, hemikraniektomi

dekompresi dilaporkan dapat meningkatkan hasil akhir pada model ICH hewan

(tikus), dan beberapa penelitian juga melaporkan manfaat prosedur ini pada SICH

yang luas (Marinkovic, 2009; Dierssen, 1983; Fung, 2012; Kim, 2009; Ma, 2010;

Maira, 2002; Murthy, 2005; Ramnarayan, 2009; Shimamura, 2011; Takeuchi,

2013).

K. Cedera Otak Sekunder pada SICH

Ekstravasasi produk-produk darah ke parenkim otak menyebabkan pembentukan

hematom, edema dan kematian sel (Sangha, 2011). Hematoma yang terbentuk dan

efek massa yang diakibatkan menyebabkan defisit neurologis pada penderita

SICH (Broderick, 1990; Kazui, 1996). Pemberian obat-obat hemostatik dan

pengendalian tekanan darah yang ketat selama ini digunakan untuk membatasi

30

Universitas Sumatera Utara


perluasan hematom (Anderson, 2010; Anderson, 2008; Qureshi, 2007; Qureshi,

2011).

Pada hitungan jam setelah terjadinya perdarahan intraserebral, efek massa

dari hematoma secara mekanik merusak struktur neuron dan membran sel glia

yang berada di sekitarnya, sehingga terjadi influks ion kalsium dan pelepasan

neurotransmiter eksitatorik (Xi, 2006). Hal ini menyebabkan nekrosis dan edema

sitotoksik (Keep, 2005). Homeostasis menjadi terganggu pada tingkat selular dan

proses kerusakan terus berlanjut. Cedera otak sekunder akibat SICH diakibatkan

oleh efek toksik selular, disrupsi BBB, edema vasogenik, dan upregulation dari

mediator inflamasi (Hwang, 2011).

Aktivasi kaskade koagulasi akan mencetuskan pembentukan trombin

(Hwang, 2011). Trombin pada awalnya membatasi perluasan hematoma dan pada

konsentrasi yang rendah merangsang heat shock protein dan iron scavanger. Pada

konsentrasi yang tinggi seperti pada SICH, trombin akan menginisiasi beberapa

jalur yang sifatnya destruktif (Hua, 2009).

Trombin merangsang sel glia untuk memproduksi sitokin-sitokin

inflamasi. Upregulation TNF-α akibat disrupsi integritas BBB, apoptosis, dan

recruitment mediator-mediator pro-inflamasi (Barone, 1999; Hua, 2007).

Upregulation beberapa MMP menyebakan terjadinya degradasi matriks

ekstraselular (Giancotti, 1999; Hwang, 2011).

Edema vasogenik yang diakibatkan perubahan permeabilitas BBB

menyebabkan gangguan fungsional yang berlangsung selama beberapa minggu

(Zazulia, 2001). Efek massa akibat edema perihematoma dapat menyebabkan

31

Universitas Sumatera Utara


hipoperfusi regional akibat penekanan pembuluh-pembuluh darah disekitarnya

(Thiex, 2007). Hal ini akan menyebabkan gangguan pembentukan adenosine

triphosphate, gangguan regulasi ion dan neurotransmiter, dan pembentukan

radikal bebas (Siesjo, 1988).

kaskade komplemen yang diinisiasi oleh trombin meningkatkan migrasi

sel inflamasi melalui anafilatoksin dan destruksi selular secara langsung melalui

membrane attack complex. Lisis sel-sel endotel melalui membrane attack complex

pada akhirya menyebabkan disrupsi BBB lebih lanjut (Hua, 2000). Besi yang

dilepaskan dari lisis sel darah merah dan radikal bebas yang dihasilkan oleh sel-

sel inflamasi akan menghasilkan stres oksidatif, yang kemudian menyebabkan

kematian sel dan kerusakan BBB lebih lanjut (Babu, 2012; Hwang, 2011).

Model ICH pada hewan coba yang dikenal pada saat ini terdiri dari dua

model: 1) autologous whole-blood protocol dan 2) collagenase protocol. Pada

model autologous whole-blood protocol, darah dimasukan melalui pembuluh

darah di permukaan dan disuntikan secara stereotaktik ke dalam striatum

(Kirkman, 2011). Sesungguhnya metode ini memiliki kelemahan, dimana darah

yang diinjeksikan dapat merembes disepanjang rute masuknya jarum, sehingga

perdarahan juga dijumpai di dalam ventrikel dan rongga subarachnoid (Yang,

1994). Kelemahan yang lain adalah model ini tidak dapat memberikan fenomena

perdarahan ulang seperti halnya SICH yang dijumpai secara klinis. Dari penelitian

dengan model ini, diperoleh laporan bahwa penyuntikan produk whole blood

menyebabkan defisit neurologis yang lebih ringan dibandingkan dengan SICH

32

Universitas Sumatera Utara


klinis dan menunjukan bukt-bukti pemulihan spontan (Leonardo, 2012; Grasso,

2009; Hua, 2006; Hua, 2000).

Pada model kolagenase, kolagenase bakterial disuntukan kedalam nukleus

kaudatus untuk membuat erosi lamina basalis pembuluh darah dan menginduksi

perdarahan in situ. Perdarahan pada umumnya terlihat 10 menit setelah

penyuntikan, tetapi perluasan hematoma terus berlangsung hingga 24 jam. Model

ini lebih mencerminkan SICH yang dijumpai secara klinis. Mengingat kolagenase

memiliki efek yang sanagt luas, maka terjadinya perdarahan ulang juga dapat

dihasilkan dengan model ini (Wang, 2005). Defisit neurologis yang dihasilkan

melalui model ini lebih berat dibandingkan dengna defisit neurologis yang

ditimbulkan oleh model penyuntikan whole-blood, dan tidak terlihat tanda-tanda

adanya pemulihan spontan pada hewan coba yang diteliti (Manaenko, 2011;

Bernard, 2002; Knight, 2008; Wang, 2007). Kelemahan dari model kolagenase ini

adalah toksisitas selular dan inflamasi yang terjadi lebih berat dibandingkan

dengan SICH yang dijumpai secara klinis pada manusia (Manaenko, 2011).

33

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai