Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN KASUS

RSUD DR. AGOESDJAM KETAPANG

Nama Dokter Internship : dr. Maria Enjelina

Dokter Pembimbing : dr. Feria Kowira dan dr. Theresia

A. Anamnesis
A.1. Identitas

Nama : Ny. H. Y.

Jenis kelamin : Perempuan

Usia : 59 tahun

Alamat : Kelurahan Tuan Tuan

Agama : Islam

Pekerjaan : IRT

Tanggal masuk RS : 03 Maret 2018

Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 03 Maret 2018

A.2. Keluhan Utama

Nyeri dada

A.3. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSUD Agoesdjam dengan keluhan nyeri dada


sebelah kiri sejak kurang lebih 4 jam sebelum masuk rumah sakit, nyeri dirasakan
seperti tertimpa benda berat yang dirasakan menembus hingga ke punggung. Pasien
mengatakan nyeri juga dirasakan seperti rasa panas di dada yang tidak hilang
dengan istirahat. Pasien juga mengeluhkan adanya nyeri kepala (+) dan pandangan
terasa gelap, mual (-), muntah (-) dan nafas terasa sesak juga disangkal. Keluhan
tersebut baru pertama kali dirasakan oleh pasien. Makan/minum (+) seperti biasa.
BAK terakhir sekitar 6 jam SMRS, jumlah urin tidak diketahui. BAB hari ini (+)
dalam batas normal. Keluhan lain disangkal.

A.4. Riwayat Penyakit Dahulu dan Kebiasaan

 Riwayat darah tinggi (+), kolesterol (+), asam urat (-), DM (+) sejak 3
tahun yang lalu, Stroke (+) 2 tahun yang lalu
 Riwayat konsumsi atau pemakaian obat tertentu disangkal
 Pasien jarang kontrol berobat ke RS, dan kontrol jika hanya ada keluhan

B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 03 Maret 2018

Keadaan umum : tampak sakit sedang


Kesadaran : CM
Tanda vital : Tekanan darah : 140/80 mmHg
Nadi : 70 x/menit, ireguler
Napas : 20 x/menit
Suhu : 36,8oC
BB : 68 kg

Status generalis :
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
THT : Faring tidak hiperemis, tonsil T1/T1
Leher : Pembesaran KGB (-)
Paru-paru :
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris, retraksi sela iga (-),
penggunaan otot bantu pernapasan (-)
Palpasi : Vokal fremitus sama sinistra = dekstra
Perkusi : sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara napas dasar vesikular (+/+), Rhonki (-/-), Wheezing
(-/-)
Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus cordis tidak teraba
Perkusi : batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1S2 iregular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen :
Inspeksi : Permukaan abdomen tampak datar
Palpasi : Hepar, lien tidak teraba, suepel
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Ekstremitas : Akral hangat (++/++), CRT < 2’’, edema (-)
Motorik 5/5/5 5/5/5
5/5/5 5/5/5
pulsus defisit (+)

C. Pemeriksaan Laboratorium

Jenis Tanggal Pemeriksaan


Pemeriksaan
03 Maret 2018 Nilai Rujukan

Hb 13,5 12-14 gr/dl

Hematokrit 39,5 37-43%

Eritrosit 4,59 4,0-5,0 jt/ul

Leukosit 8.700 5000-10.000/ul

Trombosit 243.000 150.000-400.000/ul

MCV 86,1 82-92 fl

MCH 29,4 27-31 pg

MCHC 34,2 30-36 g/dl


GDS 292 <140 mg/dl

Ureum 32 20-40 mg/dl

Kreatinin 0,7 0,5-1,5 mg/dL

D. Pemeriksaan Penunjang Lainnya


EKG tanggal 03 Maret 2018

Aritmia, P tidak dapat di identifikasi,


ireguler, HR 70x/menit, terdapat ST-
depresi tipe upsloping di lead V2, V3
dan V4

Kesan : NSTEMI anterior dan Atrial


Fibrilasi

E. Resume
Perempuan, 59 tahun, datang dengan keluhan nyeri dada sebelah kiri sejak
kurang lebih 4 jam SMRS. Nyeri dirasakan seperti tertimpa benda berat yang
dirasakan menembus hingga ke punggung. Pasien mengatakan nyeri juga dirasakan
seperti rasa panas di dada yang tidak hilang dengan istirahat. Pasien juga
mengeluhkan adanya nyeri kepala (+) dan pandangan terasa gelap, mual (-), muntah
(-) dan nafas terasa sesak juga disangkal. Keluhan tersebut baru pertama kali
dirasakan oleh pasien.
Pemeriksaan tanda vital pasien didapatkan kesan pemeriksaan nadi ireguler dan
pulsus defisit (+).
Pemeriksaan penunjang laboratorium didapatkan adanya hiperglikemia. Hasil
EKG didapatkan gambaran adanya NSTEMI Anterior dan Atrial Fibrilasi.
F. Diagnosis

ACS NSTEMI Anterior


Atrial Fibrilasi
DM tipe 2

G. Terapi
- O2 3-5 lpm nasal kanul
- Monitor
- IVFD NaCl 0,9% 20 tpm
- Inj. Arixtra 1 x 2,5 mg SC
PO:
- Clopidogrel 1 x 75 mg
- Aspilet 1 x 80 mg
- ISDN 3 x 5 mg
- Atorvastatin 1 x 20 mg
- Valsartan 1 x 40 mg
- Lansoprazole 2 x 30 mg
- Pro ICU

H. Prognosis
Ad functionam : Dubia Ad Malam
Ad vitam : dubia Ad Bonam
Ad sanactionam : Dubia Ad Malam
Follow Up

Tanggal S O A P

04/3/2018 Nyeri Kes : CM ACS NSTEMI Monitor Rencana


07.45 wib dada TD : 140/70 Anterior, Atrial IVFD NaCl 0,9% pindah
berkurang HR : 100x/m, ireg Fibrilasi, DM 20 tpm ruangan
RR : 20 x/m Biasa
tipe 2 Inj. Arixtra 1 x
T : 36,3’C
2,5 mg SC
PO:
Clopidogrel 1 x
75 mg
Aspilet 1 x 80 mg
ISDN 3 x 5 mg
Atorvastatin 1 x
20 mg
Valsartan 1 x 40
mg
Lansoprazole 2 x
30 mg
05/3/2018 nyeri dada Kes : CM ACS NSTEMI Clopidogrel 1 x Pasien
08.00 wib berkurang TD : 120/80 Anterior, Atrial 75 mg sudah
HR : 72x/m Fibrilasi, DM Aspilet 1 x 80 mg dirawat di
RR : 20x/m ruangan
tipe 2I ISDN 3 x 5 mg
T : 37,2’C Biasa
Atorvastatin 1 x
20 mg
Valsartan 1 x 40
mg
Lansoprazole 2 x
30 mg
TINJAUAN PUSTAKA

A. Sindroma Koroner Akut


Sindrom koroner akut merupakan suatu istilah yang menggambarkan
kumpulan gejala klinik yang ditandai dengan nyeri dada dan gejala lain yang
disebabkan oleh penurunan aliran darah ke jantung, sindrom ini meliputi
unstable angina pectoris sampai perkembangan menjadi miokard infark akut.
Lebih dari 90% ACS disebabkan oleh gangguan plak aterosklerosis dengan
diikuti agregasi trombosit dan pembentukan thrombus intrakoroner.5
SKA merupakan salah satu bentuk manifestasi klinis dari penyakit
jantung koroner (PJK), salah satu akibat dari proses aterotrombosis selain strok
iskemik serta peripheral arterial disease (PAD). Aterotrombosis merupakan
suatu penyakit kronik dengan proses yang sangat kompleks dan multifaktor serta
saling terkait.6
Infark miokard adalah nekrosis miokard yang berkembang cepat oleh
karena ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen otot-otot jantung
(Fenton, 2009). Hal ini biasanya disebabkan oleh ruptur plak yang kemudian
diikuti oleh pembentukan trombus oleh trombosit. Lokasi dan luasnya miokard
infark bergantung pada lokasi oklusi dan aliran darah kolateral.7
Diagnosis infark miokard didasarkan atas diperolehnya dua atau lebih
dari 3 kriteria, yaitu adanya nyeri dada, perubahan gambaran elektrokardiografi
(EKG) dan peningkatan pertanda biokimia. Sakit dada terjadi lebih dari 20 menit
dan tak ada hubungan dengan aktifitas atau latihan. Gambaran EKG yang khas
yaitu timbulnya gelombang Q yang besar, elevasi segmen ST dan inversi
gelombang T (Irmalita, 1996). Pada nekrosis otot jantung, protein intraseluler
akan masuk dalam ruang interstitial dan masuk ke sirkulasi sistemik melalui
mikrovaskuler lokal dan aliran limfatik.8
B. ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI)
1. Definisi
ST Elevation Myocardial Infarction (STEMI) merupakan sebagian
dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris
tak stabil, IMA tanpa elevasi ST dan IMA dengan elevasi ST.9
Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri
koroner, maka terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST (STEMI).
Perkembangan perlahan dari stenosis koroner tidak menimbulkan STEMI karena
dalam rentang waktu tersebut dapat terbentuk pembuluh darah kolateral. Dengan
kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri koroner tersumbat cepat. 10
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara
mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada
sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat
biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral
sepanjang waktu. STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara
cepat pada lesi vaskuler, di mana lesi ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti
merokok, hipertensi dan akumulasi lipid.11
Oklusi koroner akut dengan iskemia miokard berkepanjangan yang
pada akhirnya akan menyebabkan kematian miosit kardiak. Kerusakan
miokard yang terjadi bergantung pada letak dan lamanya sumbatan aliran
darah, ada atau tidaknya kolateral dan luas wilayah miokard yang diperdarahi
pembuluh darah yang tersumbat.12
2. Diagnosis
a. Anamnesis
Pasien yang dating dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan
anamnesis secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau
dari luar jantung. Jika dicurigai nyeri dadanya berasal dari jantung perlu
dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu
dianamnesis pula apakah ada riwayat infark mokard sebelumnya serta
factor-faktor resiko antara lain hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia,
merokok stres serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.9
Pada hampir setengah kasus, terdapat factor pencetus sebelum
terjadi STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stres emosi atau penyakit medis
atau bedah. Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam,
variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah
bangun tidur.9
b. Nyeri dada
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien SKA.
Nyeri dada atau rasa tidak nyaman di dada merupakan keluhan dari
sebagian besar pasien dengan SKA. Seorang dokter harus mampu
mengenal nyeri dada angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada
lainnya karena gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan
pasien SKA.9
Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut :
1) Lokasi : substermal, retrostermal, dan prekordial
2) Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda
berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.
3) Penjalaran ke: leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung/
interskapula, dan dapat juga ke lengan kanan.
4) Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat
5) Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah
makan
6) Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin,
dan lemas.10
c. Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan dalam menentukan
terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi ST dapat
mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi.
Jika EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tapi pasien tetap simtomatik
dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval 5-10
menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinu harus dilakukan
untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada pasien
dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi
kemungkinan infark pada ventrikel kanan.13
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal STEMI mengalami
evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis
sebagai infark miokard gelombang Q. sebagian kecil menetap menjadi
infark miokard non-gelombang Q. jika obstruksi trombus tidak total,
obstruksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya
tidak ditemukan elevasi segmen ST. pasien tersebut biasanya mengalami
angina tidak stabil atau non-STEMI.13
d. Laboratorium
Petanda (biomarker) kerusakan jantung. Pemeriksaan yang
dianjurkan adalah creatinine kinase (CK)MB dan cardiac specific
troponin (cTn) T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus
digunakan sebagai penanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai
kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti
peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA,
terapi reperfusi diberikan sesegera mungkin dan tidak tergantung
pemeriksaan biomarker.
Peningkatan enzim dua kali di atas nilai batas atas normal
menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard).
1) CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai
puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi
jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan
CKMB
2) cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. enzim ini meningkat setelah 2
jam bila infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn
T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10
hari
3) Pemeriksaan lainnya: mioglobin, creatinine kinase (CK) dan lactic
dehidrogenase (LDH), reaksi nonspesifik terhadap lesi miokard adalah
leukositosis PMN yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset
nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-
15.000/uL.10
3. Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan IMA adalah diagnosis cepat,
menghilangkan nyeri dada, penilaian dan implementasi strategi reperfusi
yang mungkin dilakukan, pemberian antitrombotik dan terapi antiplatelet,
pemberian obat penunjang dan tatalaksana komplikasi IMA.14
Penanganan kegawat daruratan.
a. Tatalaksana awal:
Pasien perlu perawatan di rumah sakit, sebaiknya di unit intensif koroner,
pasien perlu diistirahatkan (bed rest), diberi penenang dan oksigen 4L/
menit (saturasi dipertahankan > 90%), Nitrat diberikan 5mg SL (dapat
diulang 3x) lalu drip bila masih nyeri, Aspirin 160mg (dikunyah), Morfin
iv bila nyeri tidak teratasi dengan nitrat.13
b. Tatalaksana lanjut sesuai indikasi dan kontraindikasi (jangan menunda
reperfusi).
1) Anti iskemik: nitrat, B-bloker, Ca antagonis.
2) Anti platelet oral: aspirin, clopidogrel.
3) Anti koagulan: heparin (UFH, LMWH).
4) Terapi tambahan: Ace inhibitor/ ARB, Statin.
Dosis heparin (UFH) sebagai co-terapi: Bolus iv 60 u/ kg BB
maksimum 4000u, dosis maintenance drip 12u/ kg BB selama 24 – 48
jam dengan maksimum 1000 u/ jam dengan target aPTT 50 – 70s.
Monitoring aPTT 3, 6, 12, 24 jam setelah terapi dimulai. LMWH dapat
digunakan sebagai alternative UFH pada pasien-pasien berusia < 75
tahun dengan fungsi ginjal baik (kreatinin < 2,5 mg/dl pada laki-laki
atau < 2 mg/ dl pada wanita).13
4. Komplikasi
1. Disfungsi ventrikuler
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam
bentuk, ukuran dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan
non infark. Proses ini disebut remodeling ventrikuler dan umumnya
mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan
bulan atau tahun pasca infark. Segera setelah infark ventrikel kiri
mengalami dilatasi. Secara akut, hasil ini berasal dari ekspansi infark al;
slippage serat otot, disrupsi sel miokardial normal dan hilangnya jaringan
dalam zona nekrotik. Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen
noninfark, mengakibatkan penipisan yang disproporsional dan elongasi
zona infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi
dikaitkan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark
pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik
yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk.
Progresivitas dilatasi dan konsekuensi klinisnya dapat dihambat dengan
terapi inhibitor ACE dan vasodilator lain. Pada pasien dengan fraksi ejeksi
<40%, tanpa melihat ada tidaknya gagal jantung, inhibitor ACE harus
diberikan.9
2. Gangguan hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama
kematian dirumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia
mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas,
baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang
tersering dijumpai adalah ronki basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4
gallop. Pada pemeriksaan rontgen sering jumpai kongersi paru.9
5. Prognosis
Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca IMA :
Tabel 1. Klasifikasi Killip pada Infark Miokard Akut
Klas Definisi Mortalitas (%)
I Tak ada gagal jantung kongestif 6
II + S3 dan/atau ronki basah 17
III Edema paru 30-40
IV Syok kardiogenik 60-80
Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana; S3
gallop, kongesti paru dan syok kardiogenik.9

Tabel 2. Klasifikasi forrester untuk Infark Miokard Akut


Klas Indeks Kardiak PCWP (mmHg) Mortalitas (%)
(L/min/m2)
I >2,2 <18 3
II >2,2 >18 9
III <2,2 <18 23
IV <2,2 >18 51
Klasifikasi forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung
dan pulmonary capillary wedge pressure (PCWP).9

Tabel 3. Risk score untuk Infark Miokard dengan Elevasi STEMI


Factor resiko (Bobot) Skor
resiko/mortalitas
30 hari (%)
Usia 65-74 tahun (2 poin) 0 (0,8)
Usia >75 tahun (3 poin) 1 (1,6)
Diabetes mellitus/ hipertensi atau angina (1 poin) 2 (2,2)
Tekanan darah sistolik <100 mmHg (3 poin) 3 (4,4)
Frekuensi jantung >100 mmHg (2 poin) 4 (7,3)
Klasifikasi Killip II-IV (2 poin) 5 (12,4)
Berat <67 kg (1 poin) 6 (16,1)
Elevasi ST anterior atau LBBB (1 poin) 7 (23,4)
Waktu ke reperfusi > 4 jam (1 poin) 8 (26,8)
Skor resiko = total poin (0-14) >8 (35,9)
TIMI Risk score adalah system prosnostik paling akhir yang menggabungkan
anamnesis sederhana dan pemeriksaaan fisis yang dinilai pada pasien STEMI
yang mendapat terapi trombolitik.9
C. Ustable Angina Pektoris (UAP) / Non ST Elevation Myocardial Infarction
(NSTEMI)
1. Definisi
Angina pektoris tidak stabil (UAP) dan infark miokard akut tanpa
elevasi ST (NSTEMI) diketahui merupakan suatu kesinambungan dengan
kemiripan patofisiologi dan gejala klinis sehingga pada prinsipnya
penatalaksanaan keduanya tidak berbeda. Diagnosis NSTEMI ditegakkan jika
pasien dengan manifestasi klinis UAP menunjukkan bukti adanya nekrosis
miokard berupa peningkatan biomarker jantung.15
Troponin T atau troponin I merupakan petanda nekrosis miokard yang
lebih disukai karena lebih spesifik daripada enzim jantung tradisional seperti
CK dan CKMB. Pada pasien dengan IMA, peningkatan awal troponin pada
darah perifer setelah 3-4 jam dan dapat menetap sampai 2 minggu.15
Menurut pedoman American College of Cardiology (ACC) dan
American Heart Association (AHA) perbedaan angina tak stabil dan infark
tanpa elevasi segmen ST ( NSTEMI) ialah apakah iskemi yang timbul cukup
berat sehingga dapat menimbulkan kerusakan pada miokardium, sehingga
adanya petanda kerusakan miokardium dapat diperiksa. Diagnosis angina tak
stabil bila pasien mempunyai keluhan iskemi sedangkan tak ada kenaikan
troponin maupun CK-MB, dengan ataupun tanpa perubahan ECG untuk
iskemi, seperti adanya depresi segmen ST ataupun elevasi sebentar atau
adannya gelombang T yang negatif.12
2. Etiologi
Ustable Angina Pektoris (UAP) / Non ST Elevation Myocardial
Infarction (NSTEMI) dapat disebabkan oleh adanya aterioklerosis, spasme
arteri koroner, anemia berat, artritis, dan aorta Insufisiensi.16
Patofisiologi lainnya yang dapat menyebabkan terjadinya angina
pektoris tidak stabil :
a. Ruptur Plak
Ruptur plak aterosklerotik dianggap penyebab terpenting penyebab angina
pektoris tidak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total
dari pembuluh koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan yang
minimal. Plak aterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung banyak
lemak dan pelindung jaringan fibrotik (fibrotic cap). Plak yang tidak stabil
terdiri dari inti banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel
makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan
intima yang normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Terjadinya ruptur
menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan menyebabkan
aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah
100% akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila
trombus tidak menyumbat 100% dan hanya menimbulkan stenosis yang
berat akan terjadi angin tak stabil.
b. Trombosis dan Agregasi Trombosit
Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar
terjadinya angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu
disebabkan karena interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos,
makrofag dan kolagen. Inti lemak merupakan bahan terpenting dalam
pembentukan trombus yang kaya trombosit, sedangkan sel otot polos dan
sel busa (foam cell) yang ada dalam plak berhubungan dengan ekspresi
faktor jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah,
faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade
reaksi enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin.
Sebagai reaksi terhadap gangguan faal endotel, terjadi agregasi platelet dan
platelet melepaskan isi granulasi sehingga memicu agregasi yang lebih
luas, vasokonstriksi dan pembentukkan trombus. Faktor sistemik dan
inflamasi ikut berperan dalam perubahan terjadinya hemostase dan
koagulasi dan berperan dalam memulai trombosis yang intermiten, pada
angina tak stabil.
c. Vasospasme
Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak
stabil. Diperkirakan adanya disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang
diproduksi oleh platelet berperan pada perubahan dalam tonus pembuluh
darah dan menyebabkan spasme. Spasme yang terlokalisir seperti pada
angina prinzmetal juga dapat menyebabkan angina tak stabil, dan
mempunyai peran dalam pembentukan trombus.
d. Erosi pada plak tanpa ruptur
Terjadinya penyempitan juga dapat disebabkan karena terjadinya
poliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan
endotel; adanya perubahan bentuk dan lesi karena bertambahnya sel otot
polos dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan
keluhan iskemia.
e. Kadang bisa karena : emboli, kelainan kongenital, penyakit inflamasi
sistemik.16

Gambar 1. Perjalanan Proses Aterosklerosis (Initiation, Progression dan


Complication) Pada Plak Aterosklerosis.16
3. Patofisiologi
Mekanisme timbulnya angina pektoris didasarkan pada
ketidakadekuatan suplay oksigen ke sel-sel miokardium yang diakibatkan
karena kekakuan arteri dan penyempitan lumen arteri koroner
(arteriosklerosis koroner). Tidak diketahui secara pasti apa penyebab
arteriosklerosis, namun jelas bahwa tidak ada faktoer tunggal yang
bertanggung jawab atas perkembangan arteriosklerosis. Pada saat beban kerja
suatu jaringan meningkat, kebutuhan oksigennya juga meningkat. Apabila
kebutuhan oksigen meningkat pada jantung yang sehat, arteri-arteri koroner
akan berdilatasi dan akan mengalirkan banyak darah dan oksigen ke otot
jantung. Akan tetapi apabila arteri koroner mengalami kekakuan atau
menyempit akibat aterosklerosis dan tidak dapat berdilatasi sebagai respon
terhadap peningkatan kebutuhan oksigen dan kemudian akan terjadi iskemia
(kekurangan suplai darah) miokardium. Adanya endotel yang cedera
mengakibatkan hilangnya produksi NO (nitrat oksid) yang berfungsi untuk
menghambat berbagai zat yang reaktif. Dengan tidak adanya fungsi ini dapat
menyebabkan otot polos berkontraksi dan timbul spasmus koroner yang
memperberat penyempitan lumen karena suplai oksigen ke miokard
berkurang. Penyempitan atau blok ini belum menimbulkan gejala yang begitu
nampak bila belum mencapai 75%. Bila penyempitan lebih dari 75% serta
dipicu dengan aktifitas berlebihan maka suplai darah ke koroner akan
berkurang. Oleh karena itu, sel-sel miokardium mulai menggunakan glikolisis
anaerob untuk memenuhi kebutuhan eneginya. Proses pembentukan energi
ini sangat tidak efisien dan menyebabkan terbentuknya asam laktat. Asam
laktat menurunkan pH miokardium dan menyebabkan nyeri yang berkaitan
dengan angina pektoris. Apabila kebutuhan energi sel-sel jantung berkurang,
suplai oksigen menjadi adekuat dan sel-sel otot kembali ke proses fosforilasi
oksidatif untuk membentuk energi. Proses ini tidak menghasilkan asam laktat.
Dengan menghilangnya penimbunan asam laktat, nyeri angina pektoris
mereda. Dengan demikian, angina pektoris adalah suatu keadaan yang
berlangsung singkat.17
4. Klasifikasi
Pada tahun 1989 Brauwald menganjurkan dibuat klasifikasi supaya
ada keseragaman. Klasifikasi berdasarkan beratnya serangan angina dan
keadaan klinik.18
a. Berdasarkan angina :
1) Kelas I: angina yang berat untuk pertama kali, atau makin bertambah
beratnya nyeri dada
2) Kelas II: angina pada waktu istirahat dan terjadinya subakut dalam I
bulan, tapi tidak ada serangan angina dalam 48 jam terakhir
3) Kelas III: adanya serangan angina waktu istirajat dan terjadinya secara
akut baik sekali atau lebih, dalam waktu 48 jam terakhir.18
b. Keadaan klinis:
1) Kelas A: angina tak stabil sekunder, karena adanya anemia, infeksi lain
atau febris
2) Kelas B: angina tak stabil primer, tak ada faktor ekstrakasdiak
3) Kelas C: angina yang timbul setelah serangan infark jantung.18
c. Intensitas pengobatan:
1) tak ada pengobatan atau hanya mendapatkan pengobatan minimal
2) timbul keluhan walaupun telah mendapat terapi yang standar
3) masih timbul serangan angina walaupun telah diberikan pengobatan
yang maksimum, dengan penyekat beta, nitrat dan antagonis kalsium.18
5. Diagnosis
a. Anamnesis
Keluhan pasien umumnya berupa angina untuk pertama kali atau keluhan
angina yang bertambah dari biasa. Nyeri dada seperti pada angina biasa
tapi lebih berat dan lebih lama, mungkin timbul pada waktu istirahat, atau
timbul karena aktivitas yang minimal. Nyeri dada dapat disertai keluhan
sesak napas, mual, sampai muntah, kadang-kadang disertai keringat
dingin. Pada pemeriksaan jasmani seringkali tidak ada yang khas.19
b. Pemeriksaan Fisik
Sewaktu angina dapat tidak menunjukkan kelainan. Pada auskultasi dapat
terdengar derap atrial atau ventrikel dan murmur sistolik di daerah apeks.
Frekuensi denyut jantung dapat menurun, menetap, atau meningkat pada
waktu serangan angina.20
c. Pemeriksaan Penunjang
1) EKG
EKG perlu dilakukan pada waktu serangan angina, bila EKG
istirahat normal, stress test harus dilakukan dengan treadmill ataupun
sepeda ergometer. Tujuan dari stress test adalah:
a) menilai nyeri dada apakah berasal dari jantung atau tidak
b) menilai beratnya penyakit seperti bila kelainan terjadi pada
pembuluh darah utama akan
c) memberi hasil positif kuat.20
Gambaran EKG penderita ATS dapat berupa depresi segmen
ST, depresi segmen ST disertai inversi gelombang T, elevasi segmen
ST, hambatan cabang ikatan His dan tanpa perubahan segmen ST dan
gelombang T. perubahan EKG pada ATS berdifat sementara dan
masing-masing dapat terjadi sendiri-sendiri ataupun bersamaan.
Perubahan tersebut imbul di saat serangan angina dan kembali ke
gambaran normal atau awal setelah keluhan angina hilang dalam waktu
24 jam. Bila perubahan tersebut menetap setelah 24 jam atau terjadi
elevasi gelombang Q, maka disebut sebagai IMA.20
2) Enzim LDH, CPK, dan CK-MB
Pada ATS kadar enzim LDH dan CPK dapat normal atau
meningkat tetapi tidak melebihi 50% di atas normal. CK-MB
merupakan enzim yang paling sensitive untuk nekrosis otot miokard,
tetapi kadar dapat terjadi positif palsu. Hal ini menunjukkan pentingnya
pemeriksaan kadar enzim secara serial untung menyingkirkan adanya
IMA.20
6. Skor Risiko TIMI
Skor resiko merupakan suatu metode untuk stratifikasi resiko, dan
angka faktor resiko. Insidens outcome yang buruk (kematian, (re) infark
miokard, atau iskemia berat rekuren) pada 14 hari sekitar antara 5% dengan
skor resiko 0-1, sampai 41% dengan skor resiko 6-7.skor resiko ini berasal
dari analisis pasien-pasien pada penelitian TIMI 11B dan telah divalidasi pada
empat penelitian tambahan dan satu registry. Dengan meningkatnya skor
resiko, telah diobservasi manfaat yang lebih besar secara progresif pada terapi
dengan LMWH versus UFH, dengan platelet GP IIb/IIIa receptor blocker
tirofiban versus placebo, dan strategi invasif versus konservatif.16
Pada pasien untuk semua level skor resiko TIMI, penggunaan
clopidogrel menunjukkan penurunan outcome yang buruk relatif sama. Skor
resiko juga efektif dalam memprediksi outcome yang buruk pada pasien
setelah pulang.16
Tabel 4. Skor Resiko TIMI untuk UAP/NSTEMI
- Usia > 65 tahun
- > 3 faktor risiko PJK
- Stenosis sebelumnya > 50%
- Deviasi ST
- > 2 kejadian angina < 24 jam
- Aspirin dalam 7 hari terakhir
- Peningkatan petanda jantung
Skor Resiko TIMI untuk UAP/NSTEMI.16
7. Penatalaksanaan
a. Tindakan Umum
Pasien perlu perawatan di rumah sakit,sebaiknya di unit intensif
koroner, pasien perlu diistirahatkan (bed rest), diberi penenang dan
oksigen. Pemberian morfin atau petidin perlu pada pasien yang masih
merasakan sakit dada walaupun sudah mendapat nitrogliserin.21
b. Terapi Medika Mentosa
1) Obat anti-iskemia
a) Nitrat : dapat menyebabkan vasodilatasi pembuluh vena dan arteriol
perifer, dengan efek mengurangi preload dan afterload sehingga
dapat mengurangi wall stress dan kebutuhan oksigen (Oxygen
demand). Nitrat juga menambah oksigen suplay dengan vasodilatsai
pembuluh koroner dan memperbaiki aliran darah kolateral. Dalam
keadaan akut nitrogliserin atau isosorbid dinitrat diberikan secara
sublingual atau infus intravena. Dosis pemberian intravena : 1-4
mg/jam. Bila keluhan sudah terkendali maka dapat diganti dengan
per oral.
Preparat :
Nitrogliserin : Nitromock 2,5 - 5 mg tablet sublingual
Nitrodisc 5- 10 mg tempelkan di kulit
Nitroderm 5-10 mg tempelkan di kulit
Isosorbid dinitrat : Isobit 5-10 mg tablet sublingual
Isodil 5-10 mg tablet sublingual
Cedocard 5-10 mg tablet sublingual
b) β-blocker : dapat menurunkan kebutuhan oksigen miokardium
melalui efek penurunan denyut jantung dan daya kontraksi
miokardium. Berbagai macam beta-blocker seperti propanolol,
metoprolol, dan atenolol. Kontra indikasi pemberian penyekat beta
antra lain dengan asma bronkial, bradiaritmia.
c) Antagonis kalsium : dapat menyebabkan vasodilatasi koroner dan
menurunkan tekanan darah. Ada 2 golongan besar pada antagonis
kalsium :
- golongan dihidropiridin : efeknya sebagai vasodilatasi lebih kuat
dan penghambatan nodus sinus maupun nodus AV lebih sedikit
dan efek inotropik negatif juga kecil (Contoh: nifedipin)
- golongan nondihidropiridin : golongan ini dapat memperbaiki
survival dan mengurangi infark pada pasien dengan sindrom
koroner akut dan fraksi ejeksi normal. Denyut jantung yang
berkurang, pengurangan afterload memberikan keutungan pada
golongan nondihidropiridin pada sindrom koroner akut dengan
faal jantung normal (Contoh : verapamil dan diltiazem). 21
2) Obat anti-agregasi trombosit
Obat antiplatelet merupakan salah satu dasar dalam pengobatan
angina tidak stabil maupun infark tanpa elevasi ST segmen. Tiga
gologan obat anti platelet yang terbukti bermanfaat seperti aspirin,
tienopiridin dan inhibitor GP Iib/IIIa.
a) Aspirin : banyak studi telah membuktikan bahwa aspirin dapat
mengurangi kematian jantung dan mengurangi infark fatal maupun
non fatal dari 51% sampai 72% pada pasien dengan angina tidak
stabil. Oleh karena itu aspirin dianjurkan untuk diberikan seumur
hidup dengan dosis awal 160mg/ hari dan dosis selanjutnya 80
sampai 325 mg/hari.
b) Tiklopidin : obat ini merupakan suatu derivat tienopiridin yang
merupakan obat kedua dalam pengobatan angina tidak stabil bila
pasien tidak tahan aspirin. Dalam pemberian tiklopidin harus
diperhatikan efek samping granulositopenia.
c) Klopidogrel : obat ini juga merupakan derivat tienopiridin yang
dapat menghambat agregasi platelet. Efek samping lebih kecil dari
tiklopidin . Klopidogrel terbukti juga dapat mengurangi strok, infark
dan kematian kardiovaskular. Dosis klopidogrel dimulai 300 mg/hari
dan selanjutnya75 mg/hari.
d) Inhibitor glikoprotein IIb/IIIa
Ikatan fibrinogen dengan reseptor GP IIb/IIIa pada platelet ialah
ikatan terakhir pada proses agregasi platelet. Karena inhibitor GP
IIb/IIIa menduduki reseptor tadi maka ikatan platelet dengan
fibrinogen dapat dihalangi dan agregasi platelet tidak terjadi. Pada
saat ini ada 3 macam obat golongan ini yang telah disetujui :
- absiksimab suatu antibodi mooklonal
- eptifibatid suatu siklik heptapeptid
- tirofiban suatu nonpeptid mimetik
Obat-obat ini telah dipakai untuk pengobatan angina tak
stabil maupun untuk obata tambahan dalam tindakan PCI terutama
pada kasus-kasus angina tak stabil. 21
3) Obat anti-trombin
a) Unfractionated Heparin
Heparin ialah suatu glikosaminoglikan yang terdiri dari pelbagi
rantai polisakarida yang berbeda panjangnya dengan aktivitas
antikoagulan yang berbeda-beda. Antitrombin III, bila terikat
dengan heparin akan bekerja menghambat trombin dan dan faktor
Xa. Heparin juga mengikat protein plasma, sel darah, sel endotel
yang mempengaruhi bioavaibilitas. Pada penggunaan obat ini juga
diperlukan pemeriksaan trombosit untuk mendeteksi adanya
kemungkinan heparin induced thrombocytopenia (HIT).
b) Low Molecular Weight Heparin (LMWH)
LMWH dibuat dengan melakukan depolimerisasi rantai plisakarida
heparin. Dibandingkan dengan unfractionated heparin, LMWH
mempuyai ikatan terhadap protein plasma kurang, bioavaibilitas
lebih besar. LMWH yang ada di Indonesia ialah dalteparin,
nadroparin, enoksaparin dan fondaparinux. Keuntungan pemberian
LMWH karena cara pemberian mudah yaitu dapat disuntikkan
secara subkutan dan tidak membutuhkan pemeriksaan laboratorium.
c) Direct Thrombin Inhibitors
Direct Thrombin Inhibitors secara teoritis mempunyai kelebihan
karena bekerja langsung mencegah pembentukan bekuan darah,
tanpa dihambat oleh plasma protein maupun platelet factor 4.
Hirudin dapat menurunkan angka kematian dan infark miokard,
tetapi komplikasi perdarahan bertambah. Bivalirudin telah disetujui
untuk menggantikan heparin pada pasien angina tak stabil yang
menjalani PCI. Hirudin maupun bivalirudin dapat menggantikan
heparin bila ada efek samping trombositopenia akibat heparin (HIT).
21

4) Tindakan revaskularisasi pembuluh koroner


Tindakan revaskularisasi perlu dipertimbangkan pada pasien
dengan iskemi berat dan refakter dengan terapi medikamentosa. Pada
pasien dengan penyempitan di left main atau penyempitan pada 3
pembuluh darah, bila disertai faal ventrikel kiri yang kurang tindakan
operasi bypass (CABG) mengurangi masuknya kembali ke rumah sakit.
Pada pasien dengan faal jantung yang masih baik dengan penyempitan
pada satu pembuluh darah atau dua pembuluh darah atau bila ada
kontraindikasi tindakan pembedahan PCI merupakan pilihan utama.17
Teknik-teknik invasif misalnya percutaneous transluminal
coronary angioplasty (PTCA) dan bedah pintas arteri koroner dapat
menurunkan serangan angina klasik. Dengan PTCA,lesi aterosklerotik
didilatasi oleh sebuah kateter yang dimasukkan melalui kulit ke dalam
arteri femoralis atau brakialis dan di dorong ke jantung. Setelah berada
di pembuluh yag sakit, balon yang ada di kateter digembungkan. Hal
ini akan memecahkan plak dan meregangkan arteri. Dengan bedah
pintas, potongan arteri koroner yang sakit diikat, dan diambil arteri atau
vena dari tempat lain untuk dihubungkan ke bagian yang tidak sakit.
Aliran darah dipulihkan melalui pembuluh baru ini. Pembuluh yang
paling sering ditransplantasikan adalah vena safena atau arteri mamaria
interna. Pemasangan selang artificial atau stent ke dalam arteri agar
tatap terbuka kadang-kadang dilakukan dengan keberhasilan yang
bervariasi. Bedah pintas koroner menghilangkan nyeri angina tetapi
tampaknya tidak mempengaruhi mortalitas jangka-panjang.17
c. Terapi Non Medika Mentosa
1) Istirahat memungkinkan jantung memompa lebih sedikit darah
(penurunan volume sekuncup) dengan kecepatan yang lambat
(penurunan kecepatan denyut jantung). Hal ini menurukan kerja jantung
sehingga kebutuhan oksigen juga berkurang. Posisi duduk adalah postur
yang dianjurkan sewaktu beristirahat. Sebaliknya berbaring,
meningkatkan aliran balik darah ke jantung sehingga terjadi
peningkatan volume diastolik akhir, volume sekuncup dan curah
jantung.
2) Terapi oksigen untuk mengurangi kebutuhan oksigen jantung.
8. Pencegahan
a. Perubahan life style (termasuk berhenti merokok dan lain-lain), penurunan
BB, penyesuaian diet, olahraga teratur dan lain-lain.21
b. Mengobati faktor predisposisi dan faktor pencetus : stress, emosi,
hipertensi, penyakit DM, hiperlipidemia, obesitas, anemia.22
c. Menghindari bekerja pada keadaan dingin atau stres lain yang diketahui
mencetuskan serangan angina klasik pada seseorang.17
d. Memberikan penjelasan perlunya melatih aktivitas sehari-hari sehingga
untuk meningkatkan kemampuan jantung agar dapat mengurangi serangan
jantung.21
9. Komplikasi
a. Infark miokardium (IM) adalah kematian sel-sel miokardium yang terjadi
akibat kekurangan oksigen yang berkepanjanga. Hal ini adalah respon letal
terakhir terhadap iskemia miokardium yang tidak teratasi. Sel-sel
miokardium mulai mati setelah sekitar 20 menit mengalami kekurangan
oksigen. Setelah periode ini, kemampuan sel untuk menghasilkan ATP
secara aerobs lenyap dan sel tidak memenuhi kebutuhan energinya.22
b. Aritmia : Karena insidens PJK dan hipertensi tinggi, aritmia lebih sering
didapat dan dapat berpengaruh terhadap hemodinamik. Bila curah jantung
dan tekanan darah turun banyak, berpengaruh terhadap aliran darah ke
otak, dapat juga menyebabkan angina, gagal jantung.21
c. Gagal Jantung : Gagal jantung terjadi sewaktu jantung tidak mampu
memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan oksigen dan
nutrien tubuh. Gagal jantung disebabkan disfungsi diastolik atau sistolik.
Gagal jantung diastolik dapat terjadi dengan atau tanpa gagal jantung
sistolik. Gagal jantung dapat terjadi akibat hipertensi yang lama (kronis).
Disfungsi sistolik sebagai penyebab gagal jantung akibat cedera pada
ventrikel, biasanya berasal dari infark miokard. 21
10. Prognosis
Pada angina tidak stabil bila dapat didiagnosis dengan tepat dan cepat
serta memberikan pengobatan yang tepat dan agresif maka dapat
menghasilkan prognosis yang baik. Namun bila tidak dapat menimbulkan
kematian

D. ATRIAL FIBRILASI
1. Definisi
Atrial fibrilasi (AF) adalah suatu aritmia yang ditandai oleh disorganisasi
dari depolarisasi atrium sehingga berakibat pada gangguan fungsi mekanik
atrium.24 Atrial fibrilasi mempunyai karakteristik sebagai berikut:25
1. Interval RR tidak teratur, yaitu tidak ada pola repetitif pada
elektrokardiografi (EKG)
2. Tidak ada gambaran gelombang P yang jelas pada EKG
3. Siklus atrial (jika terlihat) yaitu interval di antara dua aktivasi atrial
sangat bervariasi >300 kali per menit

2. Patofisiologi
Ada dua mekanisme yang memicu dan mempertahankan kejadian AF
yaitu adanya otomatisasi satu atau lebih focus depolarisasi dan adanya re-
entry yang menjadi suatu sirkuit agar AF dapat terus berlangsung. Hal ini
menyebabkan remodeling atrium yang ditandai dengan fibrosis yakni suatu
penumpukan kolagen yang abnormal dan berlebihan, infiltrasi lemak pada
nodus sinoatrial, perubahan molecular pada kanal ino dan perubahan pola
depolarisasi dan penggunaan energy sel serta apoptosis.27
Gambar Prinsip mekanisme elektrofisiologi fibrilasi atrium.

Keterangan gambar:
A. Aktivasi fokal (focal activation). Fokus pencetus (ditandai bintang)
seringkali terletak diantara muara vena pulmonalis. Wavelets yang
dihasilkan merupakan konduksi fibrilasi seperti pada multiple-wavelet re-
entry.
B. Multiple-wavelet re-entry. Wavelets (tanda panah) secara acak masuk
kembali ke jaringan yang sebelumnya diaktivasinya atau diaktivasi oleh
wavelets lain. Perjalanan wavelets bervariasi. LA - left atrium; PV-
pulmonary vein; ICV – inferior vena cava; SCV - superior vena cava; RA
- right atrium.
Dapat disimpulkan bahwa AF dimulai dengan adanya aktivitas listrik
secara cepat yang berasal dari lapisan muskular dari vena pulmonalis. Aritmia
ini akan berlangsung terus dengan adanya lingkaran sirkuit re-entry yang
multipel. Penurunan masa refrakter dan terhambatnya konduksi akan
memfasilitasi terjadinya re-entry. Setelah AF timbul secara terus-menerus
akan terjadi remodeling listrik (electrical remodeling) yang selanjutnya akan
membuat AF permanen. Perubahan ini pada awalnya reversibel, namun akan
menjadi permanen seiring terjadinya perubahan struktur, bila AF berlangsung
lama.
AF kronik dapat menyebabkan regangan dan dilatasi atrium dikarenakan
gangguan kontraktilitas dari atrium, sehingga proses fibrosis pada atrium
tersebut justru merupakan konsekuensi dari AF . Fibrosis interstisial, dilatasi
atrium dan payah jantung akan memfasilitasi AF menjadi persisten, sehingga
hal tersebut bagaikan suatu lingkaran setan dalam perjalanan klinis aritmia
ini.24

3. Klasifikasi
Secara klinis, terdapat 5 tipe AF yang dapat dibedakan berdasarkan
presentasi dan durasi aritmia.
1. First diagnosed AF: setiap pasien yang baru pertama kali terdiagnosis dengan
AF tanpa melihat durasi atau beratnya gejala yang ditimbulkan oleh AF
tersebut.
2. Paroxysmal AF: AF yang biasanya hilang dengan sendirinya dalam 48 jam
sampai 7 hari. Jika dalam 48 jam belum berubah ke irama sinus maka hanya
kemungkinan kecil untuk dapat berubah ke irama sinus lagi sehingga perlu
dipertimbangkan pemberian antikoagulan.
3. Persistent AF: episode AF yang bertahan sampai lebih dari 7 hari dan
membutuhkan kardioversi untuk terminasi dengan obat atau dengan elektrik.
4. Long standing persistent AF: episode AF yang berlangsung lebih dari 1 tahun
dan strategi yang diterapkan masih kontrol irama jantung (rhythm control).
5. Permanent AF: jika AF menetap dan secara klinis dapat diterima oleh pasien
dan dokter sehingga strategi managemen adalah tata laksana kontrol laju
jantung (rate control).
Gambar Klasifikasi atrial fibrilasi23

Berdasarkan laju respon ventrikel, AF dibagi menjadi :


1. AF respon cepat (rapid response) dimana laju ventrikel >100 kali/menit
2. AF respon lambat (slow response) dimana laju ventrikel ±60 kali/menit
3. AF respon normal (normo response) dimana laju ventrikel antara 60-100
kali permenit.

4. Penegakan Diagnosis
a. Anamnesis
AF memiliki gejala klinis yang luas. Beberapa kasus bisa jadi asimptomatik.
Keluhan yang sering dialami pasien adalah palpitasi, dispneu, fatigue, mata
berkunang-kunang dan nyeri dada. Karena gejala AF tidak spesifik maka tidak
bisa digunakan untuk menegakkan dan menentukan onset AF.5 AF dapat pula
diawali dengan manifestasi stroke atau TIA (transient ischemic attack) sehingga
beralasan bila penyakit ini disebut asimptomatik dan sering pula AF kembali
secara spontan (self terminating)
b.Pemeriksaan Penunjang
Adanya denyut irregular seharusnya selalu memunculkan kecurigaan ke arah
AF, dan untuk memastikannya perlu dilakukan pemeriksaan dengan EKG1. Bila
EKG tidak menunjukkan adanya AF namun dugaan AF sangat kuat maka
sebaiknya lakukan pengawasan dengan Holter 24 jam untuk mendokumentasikan
ada tidaknya aritmia. Jika pasien tidak stabil karena hipotensi, ongoing ischemia,
gagal jantung berat, kardioversi elektrik darurat harus segera dilakukan. Namun,
bila klinis pasien stabil, anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
seharusnya dilakukan dan difokuskan pada pencarian penyabab dasar yang
memicu dan kondisi komorbid yang menyertai. Pemeriksaan standar yang
biasanya dilakukan untuk evaluasi fungsi jantung dan identifikasi kondisi
komorbid termasuk EKG, darah lengkap, profil metabolik lengkap, pengukuran
hormon tiroid, foto thoraks dan ekokardiografi27.

Tabel Evalusi klinis pasien dengan AF28

Evaluasi minimum Pemeriksaan tambahan


1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik Satu atau beberapa pemeriksaan
 Ada tidaknya gejala klinis AF berikut perlu dilakukan
 Klasifikasi AF (first episode, 1. Six-minute walk test
paroxysmal, persistent, or  Jika efektifitas terapi rate
permanent) control masih dipertanyakan
 Onset serangan pertama atau 2. Exercise testing
waktu ditegakknya AF  Jika efektifitas terapi rate
 Frekuensi, durasi, faktor control pada AF permanen
pemicu dan cara berakhirnya masih dipertanyakan
AF  Untuk mencari tahu adanya AF
 Respon terhadap obat yang yang dipicui oleh latihan
diberikan 3. Holter monitoring
 Adanya penyakit jantung yang  Jika tipe aritmia masih
mendasari atau kondisi lain dipertanyakan
seperti hipertiroid atau  Sebagai alat untuk evaluasi
konsumsi alkohol terapi rate control
2. EKG, untuk identifikasi 4. Foto thoraks, untuk evaluasi
 Ritme (memastikan AF)  Bila penemuan klinis mengarah
 Hipertrofi ventrikel kiri kepada abnormalitas parenkim
 Durasi dan morfologi paru dan pembuluh darah paru
gelombang P
 Preeksitasi
 Bundle branch block
 MI
 Aritmia atrial lainnya
 Mengukur interval R-R, QRS
dan QT sebagai evaluasi
terhadap terapi antiaritmia
3. Ekokardiografi, untuk identifikasi
 Penyakit katup jantung
 Ukuran atrium kanan dan kiri
 Ukuran dan fungsi ventrikel
kiri
 Tekanan ventrikel kanan
(hipertensi pulmonal)
 Hipertrofi ventrikel kiri
 Thrombus atrium kiri
(sensitivitas rendah)
 Penyakit perikardium
4. Pemeriksaan tiroid, ginjal dan
fungsi hati
 Pada first episode AF dengan
denyut jantung sulit dikontrol

5. Tata Laksana

Tata laksana AF bertujuan untuk mengurangi gejala dan mencegah


komplikasi. Pencegahan komplikasi AF diupayakan melalui terapi antitrombotik,
mengontrol laju ventrikel (rate control) dan terapi adekuat terhadap penyakit
jantung penyerta. Terapi tersebut juga akan menghilangkan symptom, tetapi untuk
menghilangkan symptom sepenuhnya diperlukan terapi kontrol irama (rhythm
control) melalui kardioversi, terapi antiaritmia atau bahkan ablasi.29

Gambar Kaskade tata laksana AF23


Pada kasus AF paroksismal, target terapi umumnya adalah mereduksi aritmia
yang terjadi dan mempertahankan irama sinus. Sedangkan pada AF permanen,
pendekatan rate control lebih menjadi pilihan24. Terapi pada pasien AF yang
persisten masih kontroversial apakah berusaha untuk mempertahankan irama sinus
atau membiarkan pasien dalam irama AF dan mengontrol laju jantung. Sampai saat
ini pada tahap awal para klinisi tetap berusaha tetap mempertahankan irama sinus
dengan kardioversi dan obat antiaritmia25. Namun apapun jenis fibrilasi atriumnya,
upaya prevensi risiko tromboemboli, meredakan gejala klinis dan hemodinamik
serta penanganan komorbid merupakan aspek penting manajemen keseluruhan.24

Strategi dalam pengobatan AF adalah sebagai berikut:

1. Antitrombotik
Pemilihan antitrombotik harus didasarkan ada tidaknya faktor risiko stroke
dan tromboemboli, pengelompokan menggunak skor CHADS2. CHADS2 yang
merupakan singkatan dari Cardiac failure, Hypertension, Age (>75 tahun),
Diabetes Mellitus dan riwayat Stroke atau TIA masing-masing diberi skor 1 kecuali
riwayat stroke mendapat skor 2. Makin tinggi skor CHADS2, maka makin tinggi
risiko stroke, dalam hal ini skor 0 dikelompokka sebagai risiko rendah, skor 1-2
risiko sedang dan skor >2 adalah risiko tinggi.29

Skema pemilihan antitrombotik23


2. Kontrol laju
Terapi awal setelah awitan AF harus selalu meliputi antitrombotik yang
adekuat dan mengontrol laju ventrikel.29 Strategi menurunan laju ventrikel dikenal
sebagai laju kontrol, berfungsi untuk memperbaiki pengisian diastolik, perfusi
koroner, menurunkan kebutuhan energi miokardium dan mencegah kardiomiopati
yang diperantarai oleh takikardi.27
Target utama dari pendekatan ini adalah meredakan gejala klinis dan
pencegahan komplikasi hemodinamik dengan cara mengontrol respons laju
ventrikel. Target terapi adalah laju ventrikel antara 60-80 kpm saat istirahat dan 90-
115 kpm saat beraktivitas sedang. Obat yang menjadi lini pertama adalah golongan
penyekat beta (metoprolol dan atenolol). Jika monoterapi belum berhasil, maka
agen kedua atau ketiga dapat ditambahkan. Golongan antagonis kalsium non-
dihidropiridin seperti diltiazem dan verapamil dapat menjadi pilihan lini kedua pada
pasien yang kontraindikasi atau nontoleransi dengan penyekat beta. Penyekat beta
dan antagonis kalsium bersifat depresif terhadap fungsi ventrikel sehingga harus
berhati-hati dalam penggunaannya pada pasien dengan hipotensi atau payah
jantung. Digoxin dapat dijadikan pilihan sebagai kontrol laju pada pasien payah
jantung dengan fibrilasi atrium. Namun digoxin kurang efektif dalam mengontrol
denyut jantung pada saat beraktivitas atau dalam kondisi hiperadrenergik seperti
demam, tirotoksikosis dan pasca operasi. Upaya non-farmakologis berupa ablasi
nodus AV dan pacing dapat menjadi pilihan yang efektif dalam control laju bagi
pasien yang gagal terapi dengan agen-agen farmakologis24.
3. Kontrol irama
Merubah AF ke irama sinus dilakukan bila pasien masih terdapat gejala
simtomatik dengan pendekatan kontrol laju. Harus diingat bahwa pendekatan
kontrol irama belum menunjukkan hasil yang lebih baik dalam hal penurunan
mortalitas atau kejadian tromboemboli dibandingkan dengan pendekatana kontrol
laju. Oleh karena itu, keputusan untuk melakukan kontrol irama hanya bila pasien
masih simtomatik.29
Kontrol irama atau kardioversi mengacu pada upaya reversi dan
mempertahankan irama sinus dalam waktu panjang. Kontrol irama dapat dicapai
secara farmakologis dengan menggunakan agen anti-aritmia maupun dengan
kardioversi elektrik. Kardioversi secara farmakologis kurang efektif jika
dibandingkan dengan kardioversi elektrik bifasik. Namun metode kardioversi
manapun akan membawa risiko tromboemboli, terutama jika aritmia telah
berlangsung >48 jam, kecuali jika profilaksis dengan antikoagulan telah diberikan
sebelumnya.24 Agen farmakologik yang dapat dipakai adalah flecainide, dofetilide,
propafenone, dan ibutilide. Amiodaron masih merupakan obat dengan efektifitas
yang paling baik untuk control irama.29 Sebaiknya kardioversi farmakologik
dimulai kurang dari 7 hari setelah onset fibrilasi atrium agar efektivitasnya lebih
baik. Panduan dari NICE (National Institute for Health and Clinical Exellence)
menganjurkan strategi kontro laju sebagai pilihan pertama pada pasien dengan
fibrilasi atrium persisten dengan karakteristik sebagai berikut; berusia >65 tahun,
dengan penyakit jantung koroner, kontraindikasi terhadap agen antiaritmia, tanpa
adanya gagal jantung kongestif, dan tidak cocok untuk kardioversi. Sedangkan
strategi rhythm control selayaknya menjadi pilihan pertama pada fibrilasi atrium
persisten yang bergejala, usia pasien lebih muda, tampil pertama kali sebagai
fibrilasi atrium ataupun paroksismal terhadap suatu presipitan.24

Skema Pemilihan antiaritmia untuk


mempertahankan irama sinus pada
pasien dengan AF paroksismal dan
persisten berulang28

4. Ablasi
Indikasi ablasi AF adalah AF simtomatik yang refrakter atau intoleren
terhadap terapi paling tidak satu antiaritmia kelas 1 atau 3. Ablasi juga dapat
dilakukan pada pasien gagal jantung simtomatik. Ada juga pasien yang memilih
ablasi sebagai upaya terbebas dari keharusan minum antikoagulan jangka panjang.
Adanya thrombus di atrium kiri merupakan kontraindikasi ablasi.29

Skema Manajemen farmakologi pasien dengan AF paroksismal berulang28

DAFTAR PUSTAKA
Skema Manajeman farmakologi
pasien dengan AF persisten atau
1. Hamm CW, Bertrand M, Braunwald E. Acute coronary syndrome
permanenwithout
berulangST
28

elevation : implementation of new guidelines. Lancet 2001; 358: 1533-8


2. Patrono C, Renda G. Platelet activation and inhibition in unstable coronary
syndromes. Am J Cardiol 1997; 80(5A): 17E-20E
3. World Health Organization. Deaths from coronary heart disease. Cited 2011
Nov Available from URL :
http://www.who.int/cardiovascular_diseases/cvd_14_deathHD.pdf
4. Boedi-Darmojo R, Epidemiology of atherosclerotic disease: Special focus on
cardiovascular disease. Dalam: Tanuwidjojo S, Rifqi S. Atherosklerosis from
theory to clinical practice, Naskah lengkap cardiology-update.Semarang:
Badan Penerbit Undip.2003.p.1-1
5. Lilly, L.S.Pathophysiology of Heart Disease : A Collaborative Project of
Medical Students and Faculty.Edisi Keempat.Baltimore-Philadelpia.
Lippincott Williams & Wilkins, 2007; 225-243.
6. Anderson, J, Adams, C, Antman, E, et al. ACC/AHA 2007 guidelines for the
management of patients with unstable angina/non-ST-elevation myocardial
infarction: a report of the American College of Cardiology/American Heart
Association Task Force on Practice Guidelines 50:e1. Diunduh dari:
www.acc.org/qualityandscience/ clinical/statements.htm (accessed September
18, 2007).
7. Irmalita, 1996. Infark Miokard. Dalam: Rilantono, L.I., Baraas, F., Karo Karo,
S., Roebiono, P.S., ed., Buku Ajar Kardiologi. Jakart.Gibler, WB. Evaluation
of chest pain in the emergency department. Ann Intern Med 1995; 123:315;.
8. Patel, N.R., Jackson. G., 1999. Serum markers in myocardial infarction. J Clin
Pathol. Diambil dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC501424/?page=1. Di akses
Desember 20,2012
9. Alwi, I. 2006. Infark miokard akut dengan elevasi ST dalam Aru W.S.,
Bambang S., Idrus A., Marcelius S.K., Siti S.S (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Edisi IV. FK UI. Jakarta.
10. Antman, E.M., Braunwald, E., ST-Segment Elevation Myocardial Infarction.
In: Kasper, D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L.,
Jameson, J. L., (eds). Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16 th ed.
USA. 2005. pp.1532-44
11. Brown, T.C., Penyakit Aterosklerotik Koroner. Dalam: Price, S.A., William,
L.M., (ed.) Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi 6. EGC.
Jakarta. 2006. Hal : 580-587
12. Barriento, Aida Sua´rez; Romero, Pedro Lo´pez; Vivas, David and et al.
Circadian Variations of Infarct Size in Acute Myocardial Infarctionm, 2011.
Accessed 9 Nov 2011. Avalaibale form:
http://www.suc.org.uy/correosuc/correosuc6-51_archivos/Heart-2011-
CircadianVariations.pdf
13. Chou, T., Electrocardiography in Clinical Practice Adult and Pediatric:
Myocardial Infarction, Myocardial Injury, and Myocardial Ischemia. 4th ed.
Pennsylvania: W. B. Saunders Company. 1996.
14. Irmalita, dkk. Tatalaksana Sindroma Koroner Akut dengan Elevasi Segmen
ST. In: Irmalita, Rilantono, L.I., Baraas, F., Karo Karo, S., Roebiono, P.S.,,
(ed). Standard Pelayanan Medik (SPM) Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh
Darah Harapan Kita Edisi 3.2009; 12-16
15. Aslan, Ahmad. Bathini, Prasantha. Smith, Robert. 2004. ACC/AHA Guidelines
for The Management of Patients with ST Elevation Myocardial Infarction.
Cardiac Cath Conference
16. Haru, Sjaharuddin., Alwi, Idrus. 2006. Infark miokard akut tanpa elevasi ST
dalam Aru W.S., Bambang S., Idrus A., Marcelius S.K., Siti S.S (Eds). Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV. FK UI. Jakarta.
17. Elizabeth J. Corwin. Buku saku patofisiologi.Edisi ke-3.Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC;2009.hal.492-504.
18. Trisnohadi, Hanafi B,. 2006. Angina Pectoris Tak Stabil dalam Aru W.S.,
Bambang S., Idrus A., Marcelius S.K., Siti S.S (Eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Edisi IV. FK UI. Jakarta.
19. Hamm CW, Braunwald E. A Classification of Unstable Angina revised
Circulation, 2000. Accssed 9 Nov 2011. Avalaible from:
www.medicalcriteria.com/.../car_angina.htm
20. Hamm, Christian W; Bassand, Jean-Pierre; Agewall, Stefan and et al. ESC
Guidelines for the management of acute coronary syndromes in patients
presenting without persistent ST-segment elevation, 2011. Accessed 9 Nov
2011. Avalaible form: http://www.escardio.org/guidelines-surveys/esc-
guidelines/Pages/ACS-non-ST-segment-elevation.aspx
21. Buku ajar Ilmu penyakit dalam jilid II.Edisi ke-5.Jakarta:Interna
Publishing;2009.hal.1728-34.
22. Chung E.K. Penuntun Praktis Penyakit Kardiovaskuler.Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC;2000.
23. European Society of Cardiology. Guidelines for the management of atrial
fibrillation. European Heart Journal. 2010. 31. p.2369–2429.
24. Dinarti LK,Suciadi LP. Stratifikasi Risiko dan Strategi Manajemen Pasien
dengan Fibrilasi Atrium. Maj Kedokt Indon. 2009. Vol.59 (6). p. 277-284.
25. Yansen I, Yuniadi Y. Tata Laksana Fibrilasi Atrium: Kontrol Irama atau Laju
Jantung. CDK-202. 2013. Vol.40 (3). p.171-175.
26. Rienstra M et al. Symptoms and Functional Status of Patients WithAtrial
Fibrillation: State of the Art and Future Research Opportunities. Circulation.
2012. 125:p.2933-2943.
27. Gutierrez C et al. Atrial Fibrillation: Diagnosis and Treatment. American
Family Physician. 2011. Vol.83 (1). p. 61-68.
28. American College of Cardiology Foundation and American Heart Association.
ACCF/AHA Pocket Guideline Management of Patients With Atrial Fibrillation
(Adapted from the 2006 ACC/AHA/ESC Guideline and the 2011
ACCF/AHA/HRS Focused Updates). ACC/AHA. 2011.
29. Yuniadi Y. Waspada Fibrilasi Atrium. Dalam: Rilantono LI. Penyakit
Kardiovaskular (PKV) 5 Rahasia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2012. p.390-
408.

Anda mungkin juga menyukai