Anda di halaman 1dari 25

MANAJEMEN PEMASARAN

RESUME
BAB 6 “SCIENTIFIC LAWS: ISSUES AND ASPECTS”

BAB 7 “ON THE MORPHOLOGY OF THEORY”

ILMIRA ROSALIN

B2041182005

PROGRAM STUDI MAGISTER MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2019
DAFTAR ISI
RESUME BAB 6 .............................................................................................................. 2
I. The Time Issue .......................................................................................................... 2
A. Hukum Keseimbangan ............................................................................................. 2
B. Hukum Koeksistensi Atemporal ............................................................................... 3
C. Hukum Suksesi ......................................................................................................... 3
D. Hukum Proses ........................................................................................................... 4
II. Aksioma, Hukum Fundamental, and Hukum Turunan ............................................. 5
A. Bridge Laws .............................................................................................................. 6
III. Eksistensi dan Universalitas ...................................................................................... 8
A. Pernyataan Tunggal .................................................................................................. 8
B. Pernyataan Eksistensial ............................................................................................ 8
C. Hukum Statistik ........................................................................................................ 9
D. Hukum Universal .................................................................................................... 10
RESUME BAB 7 ............................................................................................................ 11
I. Gagasan Teori ......................................................................................................... 11
II. Kesalahpahaman Teori ........................................................................................... 12
III. Kriteria “Terkait secara Sistematis” ....................................................................... 13
A. Sistem Bahasa Formal ............................................................................................. 15
B. Sistem Formal Aksiomatik ...................................................................................... 15
C. Aturan Penafsiran .................................................................................................... 16
D. Isu-Isu dalam Formalisasi........................................................................................ 17
E. “Teori Umum Pemasaran”: Formalisasi Parsial ...................................................... 18
F. Teori Perilaku Pembeli: Formalisasi Parsial ........................................................... 19
IV. Kriteria “Generalisasi seperti Hukum” ................................................................... 21
V. Kriteria “Teruji secara Empiris” ............................................................................. 22
A. Sifat Pengujian Empiris ........................................................................................... 22
B. Proses Pengujian Empiris ........................................................................................ 22
C. On Confirmation...................................................................................................... 23
RESUME BAB 6

Scientific Laws: Issues and Aspects

I. The Time Issue


A. Hukum Keseimbangan
Hukum keseimbangan adalah hukum yang menyatakan hubungan yang berlaku
hanya pada titik waktu ketika sistem berada pada keseimbangan. Hukum ekuilibrium
merupakan hukum koeksistensi atemporal yang menyatakan bahwa hubungan
tertentu dalam sistem tertentu hanya akan benar jika nilai variabel tidak berubah dari
waktu ke waktu; artinya, sistem harus diam.
Bentuk dasar dari hukum tersebut yaitu nilai-nilai spesifik Y dikaitkan dengan
nilai-nilai spesifik X hanya ketika sistem berada pada titik waktu e ketika X dan Y
tidak berubah (definisi ekuilibrium).
Analisis teori permintaan konvensional menetapkan bahwa, pada ekuilibrium,
konsumen akan membeli kombinasi tertentu dari barang X dan Y yang mana tingkat
substitusi marginal barang X untuk barang Y sama dengan rasio harga X terhadap
harga Y.
Tingkat substitusi marjinal menunjukkan tingkat di mana konsumen bersedia
untuk mengganti X untuk Y, dan harga menunjukkan tingkat di mana mereka dapat
menggantikan X untuk Y. Perhatikan bahwa hubungan hanya berlaku jika sistem
berada pada ekuilibrium. Sama pentingnya untuk teori permintaan, sebaliknya adalah
benar: jika hubungan tidak berlaku, sistem tidak pada kesetimbangan.

Alderson (1965), sebagai fungsionalis, menyarankan agar pemasar mengakui


bahwa ada tiga tingkat keseimbangan yang berbeda dalam aktivitas manusia yang
terorganisir, yaitu:
a) Ada keseimbangan pasar yang berkaitan dengan jaringan hubungan eksternal
di antara sistem perilaku terorganisir.
b) Ada keseimbangan organisasi yang merupakan bentuk keseimbangan internal
dalam sistem individu.
c) Ada keseimbangan ekologis berkaitan dengan penyesuaian antara masyarakat
dan lingkungannya
B. Hukum Koeksistensi Atemporal
Hukum koeksistensi atemporal adalah hukum yang berlaku pada titik waktu
selain dari titik ekuilibrium tetapi tidak menentukan hubungan yang tergantung
waktu.
Sekarang, semua hukum ekuilibrium adalah hukum koeksistensi atemporal,
tetapi tidak semua hukum koeksistensi atemporal adalah hukum ekuilibrium. Yaitu,
banyak hukum koeksistensi atemporal menyatakan hubungan yang terjadi pada titik
waktu selain dari posisi keseimbangan. Oleh karena itu, bentuk dasar hukum
koeksistensi atemporal adalah:

Yt = f (Xt)

Nilai tertentu Y setiap saat t dikaitkan dengan nilai tertentu X pada saat yang sama t.

Bergmann (1957, hlm. 102) merujuk pada semua hukum koeksistensi atemporal
sebagai hukum cross-sectional dan menyatakan bahwa konsep “hukum (cross-
sectional) diambil dari metafora yang mempertimbangkan keadaan cross-section
temporal dari suatu proses. Hukum semacam itu menyatakan hubungan fungsional
yang diperoleh di antara nilai-nilai yang dimiliki beberapa variabel pada saat yang
sama.”

C. Hukum Suksesi
Hukum suksesi mencakup hubungan yang bergantung waktu yang
memungkinkan memprediksi fenomena masa depan. Hukum suksesi menyatakan
bahwa nilai-nilai yang ditentukan dari satu atau lebih variabel akan berhasil pada
waktunya dengan nilai-nilai yang ditentukan dari satu atau lebih variabel lainnya
(Hempel 1965a, hal. 352). Dubin (1969, p. 100) merujuk pada hukum seperti hukum
sekuensial dan Kaplan (1964, p. 109) menggunakan istilah hukum temporal.
Model "hierarki efek" yang diselidiki oleh Palda (1966) dan berdasarkan urutan
kognitif-afektif-konatif dari keadaan psikologis yang diusulkan oleh Lavidge dan
Steiner (1961). Seperti yang dinyatakan oleh Terrence O'Brien (1971, p. 284), model
hierarki efek terdiri dari tiga pernyataan:
a) Kesadaran memengaruhi sikap dari waktu ke waktu, dan hubungannya
diharapkan positif.
b) Sikap memengaruhi niat untuk membeli dari waktu ke waktu, dan
hubungannya diharapkan positif.
c) Niat memengaruhi pembelian aktual dari waktu ke waktu, dan hubungannya
diharapkan positif.

Perhatikan bahwa hubungan yang tergantung waktu ditentukan oleh perubahan


kesadaran mendahului perubahan sikap, yang mendahului perubahan niat. Inti dari
ilustrasi adalah bahwa ketika hubungan yang tergantung waktu ditentukan secara
jelas, proses pengujian empiris difasilitasi.
Meskipun model hierarki efek lebih unggul daripada banyak model pemasaran
dalam menentukan hubungan yang tergantung waktu, itu jauh dari optimal dalam hal
ini. Perhatikan bahwa model hierarki efek menyatakan bahwa perubahan kesadaran
mendahului perubahan niat. Namun, model tidak menentukan lama waktu antara
perubahan yang diharapkan ini. Beberapa model pemasaran sangat spesifik dalam
mengidentifikasi dimensi waktu. Model perilaku konsumen Nicosia (1966) adalah
salah satunya.

D. Hukum Proses
Hukum proses memiliki semua karakteristik hukum suksesi dan, di samping itu,
dapat dibalik sehubungan dengan waktu. Hukum proses memungkinkan seseorang
untuk memprediksi fenomena masa depan dan memperkenalkan kembali fenomena
masa lalu. Ini adalah makna "reversibel berkaitan dengan waktu." Dengan demikian,
jika kita mengetahui posisi dan kecepatan sebuah planet pada suatu waktu, hukum
mekanika langit Newton memungkinkan kita untuk tidak hanya memprediksi posisi
dan kecepatan planet di masa depan tetapi juga untuk memproduksikan ulang posisi
dan kecepatan planet pada waktu di masa lalu. Seperti yang akan dicatat oleh
pembaca, hukum proses adalah jenis pernyataan yang sangat kuat. Sejauh
pengetahuan penulis buku, saat ini tidak ada contoh hukum proses dalam pemasaran.
Gambar 1 Laws and the Time Variable (p. 148)

II. Aksioma, Hukum Fundamental, and Hukum Turunan


Untuk menghargai sifat dan peran aksioma dalam penelitian ilmiah membutuhkan
beberapa elaborasi dari pengertian hukum dasar versus hukum turunan. Hempel (1965c,
hlm. 267) mengemukakan bahwa semua pernyataan seperti hukum dalam teori apapun
dapat dikategorikan sebagai fundamental atau turunannya. Kumpulan hukum turunan
dalam teori terdiri dari semua hukum yang dapat disimpulkan dari hukum lain dalam teori
yang sama.
Dengan demikian, hukum Kepler mengenai pergerakan planet dapat disimpulkan
atau diturunkan dari hukum Newton yang lebih mendasar. Dalam pemasaran, "hukum
akar kuadrat," yang menyatakan bahwa untuk mendapatkan kekuatan perhatian dari iklan
dua kali lipat, ukuran iklan harus ditingkatkan empat kali lipat, dapat diturunkan dari
hukum Weber yang lebih mendasar (Meyers and Reynolds 1967, p 13).
Hukum dasar suatu teori adalah hukum yang (1) digunakan untuk menyimpulkan
hukum lain dan (2) tidak dapat disimpulkan dari hukum lain dalam teori yang sama.
Hukum dasar suatu teori adalah aksioma dari teori itu, dan hukum turunan sering
disebut teorema. Seperti yang Bergmann (1957, hlm. 131) telah amati, “Hukum-hukum
teori disimpulkan dari aksioma-aksiomanya.”
Secara empiris menguji aksioma suatu teori adalah mungkin dan diinginkan. Pernyataan
bahwa aksioma dianggap benar tidak berarti bahwa aksioma dianggap benar secara
empiris. Sebaliknya, aksioma teori diasumsikan benar secara analitis.

Memahami perbedaan antara mengasumsikan bahwa aksioma benar secara


empiris dan dengan asumsi bahwa aksioma benar untuk tujuan analitis sangat penting
untuk menghilangkan banyak kesalahpahaman tentang peran yang tepat dari aksioma
dalam konstruksi dan evaluasi sebuah teori. Oleh karena itu, apa arti dari ungkapan “untuk
tujuan analitis semata”? Ingat kembali perbedaan antara hukum fundamental dan turunan,
pernyataan bahwa aksioma dianggap benar untuk tujuan analitis menyiratkan bahwa kita
menganggap aksioma benar hanya untuk tujuan menghasilkan hukum turunan dan
pernyataan lainnya. Oleh karena itu, "untuk tujuan analitis yang ketat" terdiri dari jenis
proses berikut: "jika pernyataan ini (aksioma) benar atau salah, maka pernyataan berikut
(teorema atau hipotesis) adalah benar atau salah. “ Diskusi sebelumnya dapat diringkas
dengan mencatat bahwa kita mengasumsikan aksioma benar untuk tujuan membangun
teori daripada untuk tujuan mengevaluasi teori.

A. Bridge Laws
Suatu kumpulan hukum turunan yang patut mendapat perhatian khusus adalah
Bridge laws, atau yang disebut Hempel sebagai bridge principle:
[Bridge laws] menunjukkan bagaimana proses yang dipertimbangkan oleh
teori tersebut terkait dengan fenomena empiris yang sudah kita kenal, dan yang
kemudian dapat dijelaskan, diprediksi, atau direproduksi oleh teori tersebut. . .
. Tanpa bridge principle, seperti yang telah kita lihat, sebuah teori tidak akan
memiliki kekuatan penjelas. . . . Tanpa bridge principle, prinsip-prinsip internal
teori tidak akan menghasilkan implikasi pengujian, dan syarat kemampuan
pengujian akan dilanggar. (Hempel 1966, hlm. 72–75)
Gambar 2 Fundamental dan Derivative Laws (p. 158)

 Hukum fundamental atau aksioma adalah hukum dalam teori yang digunakan
untuk menyimpulkan hukum lain dan tidak dapat dengan sendirinya disimpulkan
dari hukum lain dalam teori yang sama.
 Hukum turunan (derivatif) atau teorema adalah hukum dalam teori yang
disimpulkan dari hukum fundamental.
 Bridge Laws adalah hukum turunan yang digunakan untuk “menjembatani gap”
antara hukum umum dalam suatu teori dan golongan tertentu dari kejadian
empiris yang diselidiki.
 Pernyataan yang berasal dari Bridge laws yang dapat diuji secara langsung
disebut hipotesis penelitian.

Singkatnya, Gambar 2 menunjukkan bahwa hukum dasar atau aksioma teori (1)
digunakan untuk menyimpulkan hukum lain dan (2) tidak dapat disimpulkan dari
hukum lain dalam teori yang sama. Aksioma tidak dianggap benar secara empiris;
sebaliknya, mereka dianggap benar untuk tujuan analitis untuk memperoleh
pernyataan lain. Hukum turunan dalam teori disimpulkan dari hukum dasar. Bridge
laws adalah hukum turunan yang menjembatani kesenjangan antara hukum umum
teori dan kelas-kelas fenomena spesifik yang sedang diselidiki. Seperti contoh
disonansi kognitif yang diilustrasikan, Bridge laws diperlukan untuk menurunkan
hipotesis penelitian untuk tujuan pengujian.
III. Eksistensi dan Universalitas
Empat jenis pernyataan dasar yang memiliki tingkat ekstensi berbeda antara lain
adalah pernyataan tunggal (singular statement), pernyataan eksistensial (existential
statements), hukum statistik (statistical laws), dan hukum universal (universal laws).

A. Pernyataan Tunggal
Pernyataan tunggal kadang disebut sebagai pernyataan khusus atau observasi,
hanya mencakup fenomena tertentu yang terikat dalam tempat dan waktu tertentu.
Pernyataan tunggal memainkan peran penting dalam konfirmasi atau validasi teori
dan hukum karena hipotesis penelitian yang digunakan untuk menguji teori dan
hukum biasanya merupakan pernyataan tunggal.
Hipotesis penelitian tentang disonansi kognitif yang dibahas pada bagian
sebelumnya adalah ilustrasi pernyataan tunggal dalam riset pemasaran: “Subjek yang
menerima jaminan pasca transaksi akan memiliki skor disonansi persepsian yang
lebih rendah (misal: Akan kurang disonan) daripada subjek dalam kelompok
kontrol.” Bahwa pernyataan itu tunggal terbukti dari fakta bahwa pernyataan itu
merujuk pada subyek tertentu dalam kelompok tertentu dan skor spesifik yang
diambil pada titik yang dapat diidentifikasi dalam waktu.
 Singular statement bisa diuji dan juga benar-benar bisa dibuktikan salah. Dengan
demikian, peran utama mereka dalam penelitian terletak pada pengujian hukum
dan teori. Contoh: Merek X berada dalam fase maturity siklus hidup produk.

B. Pernyataan Eksistensial
Pernyataan eksistensial adalah pernyataan yang mengusulkan adanya beberapa
fenomena. Zaltman, Pinson, dan Angelmar (1973, p. 66) mengemukakan bahwa
semua pernyataan eksistensial murni dapat dikonfirmasi tetapi tidak dapat dapat
dibuktikan salah. Pernyataan eksistensial mengusulkan adanya beberapa kejadian.
 Qualified existential statements (pernyataan eksistensial terikat atau memenuhi
syarat) dapat diuji dan dapat dibuktikan salah.
Contoh: Ada produk di industri deterjen yang berada dalam fase maturity siklus
hidup produk.
 Unqualified existential statements (pernyataan eksistensial yang tidak memenuhi
syarat) dapat diuji tetapi tidak sepenuhnya dapat dibuktikan salah.
Contoh: Ada produk berada dalam fase maturity siklus hidup produk.

Dalam upaya mengeksplorasi dasar-dasar perilaku konsumen, Tucker (1967, p.


134) menegaskan dua "proposisi", yaitu:
Proposisi 1. Seseorang melewati beberapa proses dan memperoleh sesuatu dengan
efek tertentu.
Proposisi 2. Seseorang menggunakan sesuatu dengan cara tertentu dengan efek
tertentu.
“Proposisi” ini pada kenyataannya adalah pernyataan eksistensial yang tidak
memenuhi syarat, dan, dengan demikian, dapat dikonfirmasi tetapi tidak dapat
dipalsukan. Proposisi pertama dapat dikonfirmasikan sebagai benar jika seseorang
dapat menemukan satu orang yang telah melalui beberapa proses dan memperoleh
sesuatu dengan efek tertentu. Namun demikian, tidak ada desain penelitian yang
mungkin bisa menunjukkan pernyataan itu salah.

Peran utama "proposisi" ini dan pernyataan eksistensial lainnya dalam riset
pemasaran mungkin heuristik. Sebagai contoh, jika seseorang mengadopsi keyakinan
eksistensial bahwa ada hubungan seperti hukum di antara fenomena pemasaran,
maka seseorang dapat mencoba untuk menemukan hubungan tersebut. Di sisi lain,
jika seseorang berpegang teguh pada keyakinan bahwa hubungan di antara fenomena
pemasaran tidak seperti hukum, lalu mengapa melakukan penelitian? Justru dalam
konteks ini bahwa kepercayaan atau tidak percaya pada pernyataan eksistensial
memainkan peran heuristik dalam penelitian.

C. Hukum Statistik
Hukum kecenderungan dan hukum probabilitas adalah jenis hukum statistik
yang tidak dapat diuji atau dibuktikan salah.
 Hukum Kecenderungan adalah sejenis hukum statistik yang menyatakan bahwa
dua variabel cenderung berbeda secara sistematis. Kebanyakan pernyataan seperti
hukum dalam pemasaran adalah hukum kecenderungan. Contoh: Semakin besar
jumlah merek yang dijual oleh suatu perusahaan, semakin kecil kecenderungan
merek tersebut untuk berada pada fase maturity siklus hidup produk.
 Hukum probabilitas adalah jenis hukum statistik di mana hubungan antara dua
variabel secara jelas ditentukan dalam bentuk probabilitas atau pernyataan
frekuensi relatif. Contoh: Probabilitas suatu merek berada pada fase maturity
siklus hidup produk sama dengan 1 / n2, di mana n sama dengan jumlah merek
yang dijual oleh perusahaan.

D. Hukum Universal
Hukum universal menyatakan hubungan antara dua variabel dalam bentuk
persyaratan umum universal yang ketat. Hukum semacam itu memiliki ekstensi
terbesar dan universalitas dan dapat dibuktikan salah tetapi tidak sepenuhnya dapat
dikonfirmasi (confirmable).
Contoh: Semua perusahaan dengan lebih dari 7 merek dalam suatu lini produk
akan memiliki kurang dari 50% dari merek-merek tersebut yang berada dalam fase
maturity siklus hidup produk.
Gambar 3 Extension and Universality
RESUME BAB 7
On the Morphology of Theory

I. Gagasan Teori
Beberapa gagasan teori yang dikemukakan oleh beberapa ahli diantaranya:
Kaplan (1964, p. 297) mendefinisikan teori sebagai berikut: “Kita dapat mulai
mengatakan dengan bahwa teori adalah sistem hukum. Tetapi hukum diubah dengan
dibawa ke dalam hubungan sistematis satu sama lain, seperti pernikahan yang
menghubungkan dua orang yang tidak pernah sama lagi.”

Bergmann (1957, p. 31) mengemukakan, “Jika harus ada formula lagi, orang
mungkin mengatakan bahwa teori adalah sekelompok hukum yang terhubung secara
deduktif.”

Blalock (1969, p. 2) mengusulkan, “Telah dicatat bahwa teori tidak sepenuhnya


terdiri dari skema konseptual atau tipologi tetapi harus mengandung proposisi seperti
hukum yang saling terkait konsep variabel dua atau lebih pada suatu waktu. Lebih jauh,
proposisi ini harus saling terkait.”

Bunge (1967a, p. 381) jauh lebih spesifik dan terperinci dalam uraian teorinya,
mengemukakan:
“Dalam bahasa sehari-hari dan dalam metascience biasa, "hipotesis," "hukum,"
dan "teori" sering tertukar; dan kadang-kadang hukum dan teori dianggap sebagai
ketegasan hipotesis. Dalam ilmu pengetahuan maju dan dalam metascience
kontemporer, tiga istilah ini biasanya dibedakan: "hukum" atau "rumus hukum"
menandakan sebuah hipotesis dari jenis tertentu — yaitu, non-tunggal, tidak
terisolasi, merujuk pada suatu pola, dan dikuatkan; dan "teori" menunjuk suatu
sistem hipotesis, di antaranya rumusan hukum sangat mencolok — sedemikian
rupa sehingga inti dari suatu teori adalah sistem rumusan hukum. Untuk
meminimalkan kebingungan, untuk sementara kami akan mengadopsi
karakterisasi berikut: Seperangkat hipotesis ilmiah adalah teori ilmiah jika dan
hanya jika itu merujuk pada hal subjek faktual yang diberikan dan setiap anggota
set tersebut merupakan asumsi awal (aksioma, asumsi tambahan, atau
datum/fakta) atau konsekuensi logis dari satu atau lebih asumsi awal.”
Menurut Braithwaite (1968, p. 22), teori ilmiah adalah sistem deduktif di mana
konsekuensi yang dapat diamati secara logis mengikuti dari gabungan fakta yang diamati
dengan serangkaian hipotesis mendasar dari sistem.
Ahli teori pemasaran Wroe Alderson (1957, p. 5) mengusulkan bahwa "teori
adalah seperangkat proposisi yang konsisten di antara mereka sendiri dan yang relevan
dengan beberapa aspek dunia faktual."

Rudner (1966, p. 10) mendefinisikan sebuah teori adalah seperangkat pernyataan


yang terkait secara sistematis, termasuk beberapa generalisasi seperti hukum, yang dapat
diuji secara empiris. Tujuan teori adalah untuk meningkatkan pemahaman ilmiah melalui
struktur sistematis yang mampu menjelaskan dan memprediksi fenomena.

Ada tiga kriteria utama teori, yaitu:


(1) Terkait secara sistematis
(2) Termasuk generalisasi seperti hukum, dan
(3) Dapat diuji secara empiris

Selanjutnya, analisis singkat tentang kesalahpahaman teoretis akan


mengungkapkan bahwa penggunaan teori yang sembarangan telah mengakibatkan
banyak kesalahan dalam pemasaran.

II. Kesalahpahaman Teori


Istilah teori pemasaran sering dipandang tidak disukai oleh mahasiswa pemasaran
dan fakultas pemasaran. Beberapa kritik di dunia akademis lebih umum menganggap
mata kuliah ini terlalu teoritis. Kritik siswa mulai berpusat pada empat tema yang
berulang:
1. Mata kuliah yang terlalu teoretis sulit dimengerti.
2. Mata kuliah yang terlalu teoretis lebih bersifat dugaan daripada faktual. ("Itu hanya
teori, bukan fakta.")
3. Mata kuliah yang terlalu teoretis tidak terkait dengan dunia nyata.
4. Mata kuliah yang terlalu teoretis tidak cukup praktis. ("Tidak apa-apa dalam teori
tetapi tidak dalam praktik.")

Kritik pertama, kesederhanaan adalah karakteristik yang diinginkan dari teori,


tetapi kenyataan seringkali kompleks, dan susunan teoretis yang digunakan untuk
menjelaskan realitas seringkali kompleks. Namun, teori yang disajikan dalam mata kuliah
terkadang sulit untuk dipahami dan tidak jelas cara penulisan. Bahkan para ahli teori besar
(seperti J.M. Keynes) telah sering mengungkapkan gagasan mereka dengan cara yang
rentan terhadap perbedaan besar dalam penafsiran.
Kritik kedua menyatakan bahwa kursus yang terlalu teoritis bersifat dugaan dan
bukan faktual. Salah satu ciri dari pikiran yang belum matang secara ilmiah adalah merasa
tidak nyaman dengan adanya ketidakpastian. Ilmuwan sejati selalu siap untuk merevisi
keyakinan mereka berdasarkan bukti baru. Mengenali bahwa preferensi konsumen
bergeser ke arah mobil yang lebih kecil itu berguna, tetapi tantangan sebenarnya adalah
mengembangkan teori, yang pada dasarnya bersifat dugaan, untuk menjelaskan
perubahan preferensi konsumen di masa lalu dan untuk memprediksi perubahan di masa
depan.
Ketiga, tuduhan bahwa isi dari kursus/matkul yang terlalu teoretis adalah "tidak
terkait dengan dunia nyata" atau "tidak praktis". Penyelesaian tuduhan ini terletak pada
kesadaran bahwa semua konstruksi yang konon teoretis harus dapat diuji secara empiris
dan harus mampu menjelaskan dan memprediksi fenomena dunia nyata.
Ringkasnya, karena dunia nyata seringkali kompleks, konstruksi teoretis yang
dengannya kita berusaha menjelaskan realitas seringkali menjadi kompleks. Karena pada
hakikatnya teori tidak dapat secara konklusif terbukti benar (dalam arti bahwa pernyataan
tunggal dapat terbukti benar), teori, tentu saja, bersifat dugaan. Tetapi masalah yang
paling penting (seperti penjelasan dan prediksi) dalam disiplin apapun adalah selalu dari
variasi dugaan. Akhirnya, anggapan bahwa teoretis dan praktis berada di ujung yang
berlawanan dari sebuah rangkaian kesatuan adalah salah. Konstruksi apapun yang
dimaksudkan sebagai teori harus mampu menjelaskan dan memprediksi fenomena dunia
nyata. Dan penjelasan dan prediksi fenomena adalah sungguh masalah praktis.

III. Kriteria “Terkait secara Sistematis”


Sebuah teori adalah serangkaian pernyataan yang terkait secara sistematis,
termasuk beberapa generalisasi seperti hukum, yang dapat diuji secara empiris. Bagian
ini akan mengeksplorasi dua pertanyaan dasar:

(1) Mengapa pernyataan dalam teori harus terkait secara sistematis?


Pandangan yang diambil di sini adalah bahwa kita memerlukan teori untuk
memuat serangkaian pernyataan terkait secara sistematis untuk meningkatkan
pemahaman ilmiah tentang fenomena. Untuk memahami secara ilmiah terjadinya suatu
fenomena membutuhkan lebih dari sekadar mampu menjelaskan dan memprediksinya
menggunakan generalisasi seperti hukum yang terisolasi. Selain itu, kita harus dapat
menunjukkan bagaimana pernyataan yang digunakan untuk menjelaskan dan
memprediksi suatu fenomena tergabung ke dalam isi pengetahuan ilmiah.
Pandangan bahwa kriteria terkait secara sistematis mewakili posisi konsensus
dapat didukung oleh pemeriksaan yang cermat dari perspektif teori yang dikutip
sebelumnya. Sebagai contoh, Kaplan menyebutkan "koneksi sistematis," Bergmann
berbicara tentang "terhubung secara deduktif," Blalock mengharuskan "proposisi yang
saling terkait," dan Braithwaite membahas "serangkaian hipotesis mendasar." Karena itu,
semua penulis ini menyinggung tentang apa yang kita sebut kriteria secara sistematis.

(2) Dengan cara apa tepatnya pernyataan dalam suatu teori dihubungkan secara
sistematis?
Sebagaimana Dubin (1969, p. 16) telah amati, sekedar memiliki kumpulan
proposisi tidak harus memiliki teori. Proposisi atau pernyataan dalam sebuah teori harus
memiliki tingkat konsistensi internal yang tinggi. Untuk memeriksa konsistensi internal,
semua konsep dalam setiap pernyataan dalam teori harus didefinisikan dengan jelas,
semua hubungan antara konsep-konsep dalam setiap pernyataan harus ditentukan secara
jelas, dan semua hubungan timbal balik antara pernyataan-pernyataan dalam teori harus
secara jelas digambarkan.

Gambar 1 – Full Formalization of a Theory (p. 176)


A. Sistem Bahasa Formal

Sistem bahasa formal harus terlebih dahulu dibedakan dari sistem bahasa alami,
seperti bahasa Inggris. Baik sistem bahasa formal dan sistem bahasa alami mencakup
(1) elemen, (2) aturan formasi, dan (3) definisi. Jenis definisi yang diperlukan di sini
adalah definisi nominal (Hempel 1970, hlm. 654). Jenis-jenis definisi ini harus
dibedakan dengan hati-hati dari definisi operasional. Kira-kira, definisi nominal
berkaitan dengan hubungan antar istilah saja (pertimbangan sintaksis), dan definisi
operasional berkaitan dengan hubungan antara istilah dan dunia nyata (pertimbangan
semantik).
Bagaimana sistem bahasa formal berbeda dari bahasa alami? Sistem bahasa
formal berbeda dari bahasa alami karena mereka mengidentifikasi semua elemen
primitif, dan mereka mengembangkan "kamus" lengkap yang menunjukkan
bagaimana semua istilah nonprimitif berasal dari elemen primitif. Lebih jauh,
daripada memiliki aturan formasi bahasa alami yang longgar dan terus berkembang,
seperti bahasa Inggris, sistem bahasa formal secara ketat dan lengkap menentukan
aturan formasi yang menggambarkan cara yang diizinkan untuk menggabungkan
elemen untuk membentuk pernyataan.
Ringkasnya, formalisasi penuh dari sebuah teori membutuhkan konstruksi
sistem bahasa formal yang mencakup daftar lengkap elemen-elemen primitif dari
sistem, sebuah "kamus" yang menunjukkan bagaimana semua istilah non-primitif
sistem berasal dari elemen-elemen primitif, dan sebuah penjelasan lengkap dari
aturan formasi yang menetapkan bagaimana elemen dapat digabungkan untuk
membentuk pernyataan yang diizinkan (sering disebut "wffs" atau "formulasi yang
dibentuk dengan baik" dalam filsafat literatur sains). Namun demikian, formalisasi
penuh suatu teori membutuhkan lebih dari sekadar sistem bahasa formal. Sistem ini
juga harus mengalami aksiomaisasi, subjek yang sekarang kita bahas.

B. Sistem Formal Aksiomatik

Gambar 1 menunjukkan bahwa teori yang sepenuhnya dirumuskan mencakup


sistem bahasa formal yang telah diaksioma. Sistem bahasa formal aksioma disebut
sebagai kalkulus dalam filsafat ilmu. Aksiomaasi sistem bahasa formal
mengharuskan (1) adopsi aturan transformasi dan (2) pemilihan pernyataan atau
aksioma mendasar yang tepat. Contoh silogistik aturan transformasi dari teori
permintaan konsumen harus menggambarkan jenis-jenis aturan yang diperlukan:
1) Bundel barang A berisi empat jeruk dan dua apel.
2) Bundel barang B berisi tiga jeruk dan tiga apel.
3) Bundel barang C berisi dua jeruk dan empat apel.
4) Konsumen X menunjukkan preferensi untuk bundel A daripada bundel B.
5) Konsumen X menunjukkan preferensi untuk bundel B daripada bundel C.
6) Oleh karena itu, konsumen X akan menunjukkan preferensi untuk bundel A
daripada bundel C.

Dalam teori permintaan konsumen, pernyataan (6) dapat disimpulkan dari


pernyataan (1) sampai (5) karena teori permintaan mengasumsikan bahwa preferensi
konsumen mengikuti aturan transformasi logis yang dikenal sebagai transitivitas.
Yaitu, jika A lebih disukai daripada B, dan B lebih disukai daripada C, maka A lebih
disukai daripada C. Oleh karena itu, untuk mengaksiomatisasi sistem bahasa formal
pertama-tama mengharuskan kita mengadopsi serangkaian aturan transformasi yang
menentukan bagaimana beberapa pernyataan dapat disimpulkan dari pernyataan lain.
Pemilihan pernyataan atau aksioma dasar yang tepat dilakukan untuk
memisahkan pernyataan fundamental dari pernyataan yang diturunkan atau
disimpulkan. Menurut Popper (1959, hlm. 71), ada empat kriteria untuk memilih
pernyataan fundamental yang tepat untuk aksioma, yaitu: (1) bebas dari kontradiksi,
(2) independen, (3) cukup/memadai, dan (4) perlu.
Singkatnya, aksiomatisasi sistem bahasa formal mensyaratkan (1) spesifikasi
aturan transformasi yang menyatakan cara-cara yang diizinkan di mana pernyataan
dapat digabungkan untuk mendapatkan atau menyimpulkan pernyataan lain, dan (2)
penggambaran seperangkat pernyataan atau aksioma mendasar yang bebas dari
kontradiksi, independen, memadai, dan perlu. Setiap teori, setidaknya pada
prinsipnya, rentan terhadap aksiomatisasi karena setiap teori terdiri dari pernyataan,
dan harus memungkinkan untuk mengklasifikasikan pernyataan dalam hal apakah
mereka (1) diturunkan atau (2) mendasar dalam teori itu.

C. Aturan Penafsiran

Merujuk kembali pada Gambar 1, sistem bahasa formal aksiomatik menjadi


sistem teoretis yang sepenuhnya dirumuskan ketika seperangkat aturan interpretasi
semantik yang sesuai untuk elemen atau istilah dalam sistem bahasa formal telah
dikembangkan. Karena sistem teoretis digunakan untuk menjelaskan dan
memprediksi fenomena, elemen-elemen dalam teori tersebut entah bagaimana harus
dihubungkan dengan wujud yang dapat diamati dan sifat-sifat wujud yang dapat
diamati di dunia nyata. Aturan interpretasi semantik yang menyempurnakan
hubungan ini beragam disebut sebagai ukuran, indikator, definisi operasional,
definisi koordinasi, aturan korespondensi, atau korelasi epistemik (Nagel 1961, p.
93).
Merangkum tiga bagian sebelumnya, sebuah teori adalah seperangkat
pernyataan yang terkait secara sistematis, termasuk beberapa generalisasi seperti
hukum, yang dapat diuji secara empiris. Terkait secara sistematis adalah kriteria teori
yang diinginkan dan konsensus karena sains berupaya meningkatkan pemahaman
ilmiah dengan memberikan penjelasan terorganisir tentang alam semesta.
Serangkaian pernyataan akan memenuhi kriteria yang terkait secara sistematis ketika
menunjukkan semacam sistematisasi, setidaknya pada prinsipnya, dapat menerima
formalisasi penuh. Sistem teoretis yang sepenuhnya dirumuskan terdiri dari sistem
bahasa formal yang telah diaksioma dan sepenuhnya ditafsirkan. Sistem bahasa
formal memuat: (1) elemen, (2) aturan formasi, dan (3) serangkaian definisi
(ketiganya secara spesifik ditentukan). Sistem bahasa formal aksioma mencakup
seperangkat aturan transformasi yang menunjukkan bagaimana beberapa pernyataan
dapat diturunkan dari pernyataan lain dan seperangkat pernyataan fundamental yang
(1) bebas dari kontradiksi, (2) independen, (3) memadai, dan (4) perlu. Sistem bahasa
formal aksioma menjadi sistem teoritis yang sepenuhnya dirumuskan ketika
seperangkat aturan interpretasi semantik telah dikembangkan.

D. Isu-Isu dalam Formalisasi

Banyak ahli filsafat ilmu mempertanyakan peran formalisasi dalam


pengembangan teori. Suppe (1977b, hlm. 110–155) telah merangkum argumen
mereka yaitu sebagai berikut:
1) Interkoneksi sistematis di antara konsep-konsep banyak teori tidak cukup
spesifik untuk memungkinkan aksiomatisasi yang bermanfaat. Suppe
mengutip contoh-contoh seperti teori evolusi Darwin, teori Hoyle tentang asal
usul alam semesta, teori struktur bahasa Pike, dan psikologi Freud.
2) Formalisasi suatu teori sering membuat banyak masalah filosofis yang tidak
tersentuh. Ini karena formalisasi biasanya lebih menekankan pertimbangan
sintaksis daripada semantik.
3) Formalisasi adalah analisis statis yang mengungkapkan "potret" teori pada
satu titik waktu. Dengan demikian, formalisasi mengabaikan dinamika
perkembangan teori.

Analisis sebelumnya menyiratkan bahwa tujuan utama formalisasi terletak pada


evaluasi struktur teoretis, bukan dalam menemukan atau menciptakannya.
Seringkali, upaya bahkan untuk merumuskan sebagian teori, dengan memperlihatkan
struktur esensial atau morfologinya, dapat mempertajam diskusi tentang teori dan
memasukkannya ke dalam kerangka kerja yang cocok untuk pengujian.
Bagi banyak teori pemasaran, formalisasi parsial teori merupakan prasyarat
mutlak diperlukan untuk analisis yang bermakna. Dua contoh harus menggambarkan
hal ini. Pertama, kita akan mempertimbangkan apa yang disebut "teori umum
pemasaran" yang diusulkan oleh Robert Bartels (1968), dan kedua, kita akan
mengeksplorasi formalisasi parsial dari "teori perilaku pembeli" Howard-Sheth
(1969) yang dihasilkan oleh Farley and Ring (1970).

E. “Teori Umum Pemasaran”: Formalisasi Parsial

Robert Bartels (1968) mengusulkan teori pemasaran umum yang mencakup


tujuh sub-teori: (1) teori inisiatif sosial; (2) teori pemisahan ekonomi (pasar); (3) teori
peran pasar, ekspektasi, dan interaksi; (4) teori aliran dan sistem; (5) teori batasan
perilaku; (6) teori perubahan sosial dan evolusi pemasaran; dan (7) teori kontrol
sosial pemasaran.

Bartels menyatakan teorinya tentang aliran dan sistem sebagai berikut:


Aliran adalah pergerakan elemen yang memutuskan pemisahan pasar.
Pemasaran tidak terjadi sebagai gerakan tunggal, melainkan sebagai
sejumlah gerakan, secara seri, paralel, timbal balik, atau duplikat. Mereka
terjadi dalam hubungan yang kompleks di antara individu-individu yang
telah menemukan basis ekonomi untuk keberadaan mereka dan untuk
partisipasi mereka dalam proses pemasaran. (Bartels 1968, hlm. 33)
Demikian pula, Bartels menyatakan teorinya tentang batasan perilaku dengan cara
ini:
Tindakan dalam sistem pemasaran tidak sepenuhnya ditentukan oleh
satu orang atau sekelompok orang. Itu diatur oleh banyak faktor penentu
dan terjadi dalam batasan yang ditentukan oleh masyarakat. Beberapa
kendala ini bersifat ekonomi. Ini dapat ditentukan melalui pengalaman
dalam kombinasi keuntungan dari faktor ekonomi produksi. Namun,
banyak kelayakan yang telah ditentukan dan ditetapkan dalam bentuk
teknologi pemasaran, pengetahuan, atau generalisasi untuk perilaku. Ini
adalah alasan untuk memiliki pengetahuan yang mendalam tentang
mekanisme pemasaran, atau hubungan komoditas-fungsi-lembaga
sebagaimana diatur dalam teori pemasaran konvensional.

Kendala juga bersifat sosial, bukan ekonomi atau teknis. Ini mungkin
bersifat etis, karena istilah itu digunakan secara luas, menunjukkan apa
yang "benar" untuk dilakukan dalam keadaan tertentu. Kebenaran dapat
ditentukan oleh standar pribadi, hukum, sosial, dan teistik, dan masing-
masingnya mungkin berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya.
Karena pemasaran dipandang lebih sebagai proses personal daripada
hanya proses fisik, kendala seperti itu memainkan peran yang lebih
menonjol dalam teori pemasaran. (Bartels 1968, hlm. 33)

F. Teori Perilaku Pembeli: Formalisasi Parsial

Teeori perilaku pembeli oleh Howard-Sheth (1969). Gambar 7.2 mereproduksi


ringkasan teori ini. Seperti dapat diamati, teori terdiri dari sejumlah besar gagasan,
baik eksogen maupun endogen ke sistem. Gagasan tersebut saling berhubungan oleh
hubungan sebab akibat langsung (garis penuh) dan oleh efek umpan balik (garis
putus-putus).
Sekarang, pertanyaan mendasar yang harus ditanyakan dari setiap struktur
teoritis adalah: seberapa baik teori ini mewakili dunia nyata dengan menjelaskan dan
memprediksi fenomena dunia nyata? Untuk menjawab pertanyaan ini diperlukan
teori yang melalui pengujian empiris. Sayangnya, teori seperti yang digambarkan
pada Gambar 7.2 tidak dibangun dalam bentuk yang sesuai untuk pengujian. Baik
struktur sintaksis maupun semantik dari teori harus pertama-tama direkonstruksi
dalam bentuk paling tidak sebagian yang dirumuskan untuk membuat struktur
tersebut dapat menerima pengujian empiris.
Penelitian empiris oleh Lehmann dan rekan (1974) diuji secara spesifik untuk
hubungan perkembangan yang didalilkan oleh model H-S. Dengan menggunakan
prosedur koefisien korelasi parsial dan analisis korelasi cross-lagged, mereka
menyimpulkan:
Tingkat kepercayaan untuk model Howard-Sheth, serta untuk dua struktur
lainnya, cukup tinggi untuk menyimpulkan bahwa mereka secara statistik
signifikan, jika sangat tidak sempurna, representasi dari pemrosesan informasi
konsumen dan pengambilan keputusan dari waktu ke waktu. Namun, dalam hal
mencari dukungan kuat untuk model, hasilnya mengecewakan. (Lehmann et al.
1974, hal. 51)

Karena dukungan yang lemah untuk versi H-S, Lehmann dan rekannya
membangun model yang direvisi dengan hubungan perkembangan yang berbeda.
Upaya perintis Farley dan rekannya secara meyakinkan menunjukkan keinginan
akan formalisasi. Tanpa formalisasi parsial mereka tentang teori Howard-Sheth,
sebagian besar masih belum teruji. Formalisasi parsial mereka menyebabkan
pengujian empiris (Farley dan Ring 1970), kemudian ke penilaian dan evaluasi
teoretis (Hunt dan Pappas 1972), dan kemudian untuk pengujian ulang dan
pembangunan kembali (Lehmann et al. 1974). Sebagai kesimpulan, bogeyman dari
penutupan prematur tidak boleh menghalangi siapa pun dari formalisasi teori,
setidaknya sejauh formalisasi memfasilitasi analisis teoritis dan pengujian empiris.
Gambar 2 Teori Perilaku Pembeli – Howard-Sheth (p. 185))

IV. Kriteria “Generalisasi seperti Hukum”

Generalisasi seperti hukum adalah pernyataan yang memiliki bentuk dasar dari
persyaratan umum (pernyataan dari variasi "Jika X terjadi, maka Y akan terjadi") yang
(a) memiliki konten empiris, (b) menunjukkan kebutuhan nomik, dan (c) secara sistematis
diintegrasikan ke dalam isi pengetahuan ilmiah.
Mengapa teori harus mengandung setidaknya beberapa pernyataan dalam bentuk
generalisasi seperti hukum? Karena tujuan teori adalah untuk meningkatkan pemahaman
ilmiah melalui struktur sistematis yang mampu menjelaskan dan memprediksi fenomena.
Kriteria generalisasi seperti hukum mewakili posisi konsensus dalam filsafat ilmu.
Jadi, Kaplan (1964, hlm. 297) membutuhkan “sistem hukum”; Bergmann (1957, hlm. 31)
mengemukakan “sekelompok hukum”; Blalock (1969, p. 2) menuntut bahwa teori
mengandung "proposisi seperti hukum"; dan, akhirnya, Bunge (1967a, p. 381)
menegaskan "sistem hipotesis, di antaranya rumusan hukum sangat mencolok." Semua
penulis ini membutuhkan konstruksi teoretis untuk memuat apa yang disebut di sini
sebagai "generalisasi seperti hukum". Sayangnya, para ahli teori pemasaran sering

21
kelihatannya mengabaikan kriteria generalisasi hukum dalam upaya mereka
mengembangkan teori pemasaran.

V. Kriteria “Teruji secara Empiris”

Mengapa teori harus diuji secara empiris?


 Popper (1959) mengemukakan alasannya yakni pengetahuan ilmiah bertumpu
pada landasan dapat diuji empiris, di mana teori-teori itu bermula, haruslah
objektif dalam arti bahwa isi kebenarannya harus secara intersubjektif
bersertifikasi. Karena peneliti yang berbeda, dengan sikap, pendapat, dan
kepercayaan yang berbeda, akan dapat melakukan pengamatan dan melakukan
eksperimen untuk memastikan isi kebenaran teori.
 Alasan lain dari mengharuskan teori agar dapat diuji secara empiris muncul dari
tujuan teori itu sendiri. Tujuan utama teori adalah untuk meningkatkan
pemahaman ilmiah melalui struktur sistematis yang mampu menjelaskan dan
memprediksi fenomena. Setiap struktur sistematis yang tidak dapat diuji secara
empiris akan menderita impotensi penjelas dan prediktif yaitu ia tidak akan dapat
menjelaskan dan memprediksi fenomena. Oleh karena itu, setiap struktur yang
tidak dapat diuji secara empiris tidak akan dapat melakukan tugas yang
diharapkan dari struktur teoritis asli.

A. Sifat Pengujian Empiris

Cara untuk menentukan isi kebenaran dari teori apapun adalah dengan
mengujinya secara empiris. Gambar 3 mewakili satu konseptualisasi (yang
dipadatkan dengan kasar) dari proses pengujian empiris.

B. Proses Pengujian Empiris

Langkah pertama dalam menguji teori secara empiris adalah untuk mendapatkan
beberapa hukum jembatan (Bridge Laws) atau membimbing hipotesis dari teori yang
tepat. Hukum jembatan adalah sejenis hukum turunan yang fungsinya untuk
menjembatani kesenjangan antara teori dan fenomena tertentu yang sedang
diselidiki.
Baik teori maupun hukum jembatan tidak dapat diuji secara langsung; mereka
hanya dapat diuji secara tidak langsung. Karena teori dan hukum jembatan terdiri

22
dari pernyataan dalam bentuk persyaratan umum, tidak ada yang dapat diuji dengan
konfrontasi langsung dengan data.
Sebaliknya, hipotesis penelitian dapat diuji secara langsung. Ini adalah
pernyataan tipe prediksi yang (a) diturunkan dari hukum jembatan dan (b) dapat
diterima untuk konfrontasi langsung dengan data. Misalnya, hipotesis penelitian
yang berasal dari hukum jembatan sebelumnya dan benar-benar diuji adalah: "Subjek
yang menerima jaminan posttransaction akan memiliki skor disonansi yang
dirasakan lebih rendah (yaitu, akan kurang disonan) daripada subjek dalam kelompok
kontrol" (Hunt 1970 , hlm. 48). Hipotesis penelitian dapat diuji secara langsung
karena mengacu pada subyek tertentu dalam kelompok tertentu (bukan konsumen
pada umumnya) dan skor spesifik pada alat ukur (bukan disonansi pada umumnya).

Gambar 3 Empirical Testing Process (p. 190)

C. On Confirmation

Istilah hipotesis umumnya digunakan sebagai label tujuan umum yang identik
dengan konsep-konsep seperti hukum, generalisasi seperti hukum, hukum turunan,
teori, penjelasan, model, aksioma, dan teorema. Penulis menyarankan menggunakan
istilah hipotesis (atau hipotesis penelitian) untuk mewakili pernyataan yang berasal

23
dari hukum atau teori dan rentan terhadap pengujian langsung dengan konfrontasi
dengan data dunia nyata. Sudut pandang yang diungkapkan di sini mirip dengan
posisi Dubin (1969, p. 212): "Sebuah hipotesis dapat didefinisikan sebagai prediksi
tentang nilai-nilai unit teori di mana indikator empiris digunakan untuk unit-unit
yang disebutkan dalam setiap proposisi."
Jika hipotesis dikonfirmasi, maka ini memberikan dukungan empiris bahwa teori
tersebut memang benar secara empiris; yaitu, teori ini secara empiris dikuatkan oleh
konfirmasi hipotesis penelitian.
Jika hipotesis ditolak oleh data, maka ini memberikan bukti empiris bahwa (a)
teorinya salah (realita tidak dibangun seperti yang diusulkan teori), atau (b) kesalahan
telah dibuat dalam prosedur pengujian empiris, atau (c) hipotesis yang ditolak tidak
secara tepat diturunkan dari teori, atau kombinasi dari a, b, dan c.

Jika teori X benar, maka hipotesis h benar.


Hipotesis h secara empiris benar.
Karena itu, teori X adalah benar.
Jelas, hipotesis h bisa benar dan teori X bisa salah. Oleh karena itu, ketika sebuah
teori telah diuji berkali-kali dan hipotesisnya telah dikonfirmasi, kita tidak dapat
mengatakan bahwa teori itu benar secara empiris; sebaliknya, kita dapat mengatakan
bahwa uji empiris telah memberikan dukungan induktif yang kuat untuk kebenaran
teori.
Semakin "berat" bobot bukti empiris, semakin besar kemungkinan bahwa teori
tersebut secara akurat mewakili kenyataan, dan, dengan demikian, semakin tinggi
teori tersebut dikonfirmasikan.

Sumber:
Buku Marketing Theory: Foundations, Controversy, Strategy, Resource-Advantage
Theory by Shelby D. Hunt.

24

Anda mungkin juga menyukai