Oleh :
177005127/ HK
FAKULTAS HUKUM
MEDAN
2019
DAFTAR ISI
Halaman
ISI.....................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................ 1
Rumusan Masalah ......................................................................
A. Latar Belakang Permasalahan ........................................... 1
E. KeaslianPenelitian ............................................................. 7
1. Kerangka Teori.............................................................. 8
G. Metode Penelitian............................................................. 17
i
ii
A. Pemidanaan ..........................................................................
Remisi ...............................................................................
Medan ..................................................................................
A. Kesimpulan ..........................................................................
B. Saran ....................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Gestichten Reglement, remisi hanya diberikan pada hari ulang tahun Ratu
Belanda. Berdasarkan hal ini remisi hanya benar-benar angerah belaka1. Sistem
menetapkan beberapa hak bagi seorang narapidana. Tujuan akhir dari pembinaan
sebagai hasil dari pembinaan itu selama berada dalam lapas, semakin cepat pula
1
Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, (PT Refika
Aditama, 2006), hlm, 133.
5
ditujukan untuk membuat jera pelaku dengan pemberian penderitaan, tidak pula
kejahatan adalah konflik yang terjadi antara terpidana dan masyarakat sehingga
Pandangan ini paling tidak sejalan dengan perkembangan yang terjadi yaitu
2
Ambeg Paramata, Aspek Hukum Pemberian Remisi Kepada Narapidana Korupsi, (Tim
Pohon Cahaya), hlm 82.
3
Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor M.HH.OT.02.02 tahun 2009
tentang Cetak Biru Pembaharuan Pelaksanaan Sistem Pemasyarakatan.
6
yang tertinggi terlihat pada anak-anak yang mencapai 50% sementara untuk
mereka yang pernah di pidana, angka tertinggi terlihat pada mereka yangberumur
21 tahun kebawah yaitu mencapai 70%. Lebih ditegaskan lagi oleh Jackson bahwa
reconviction rate tersebut menjadi lebih tinggi lagi setelah orang dijatuhi pidana
penjara daripada pidana bukan penjara. Selain masalah efektivitas yang menjadi
penjara. Kritik terhadap akibat negatif yang sering dilontarkan pada umumnya
akibat serius bagi kehidupan sosial ekonomi keluarganya. Terlebih pidana penjara
itu dikatakan dapat memberikan cap jahat (stigma) yang akan terbawa terus
4
Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan
Pidana Penjara, Genta Publishing 2010, hlm. 44.
7
walaupun yang bersangkutan tidak lagi melakukan kejahatan. Tak jarang bagi
raga. Kritikan yang cukup menarik dilihat dari sudut pandang politik kriminal
yaitu orang tidak menjadi lebih baik tetapi justru menjadi lebih jahat setelah
menjalani pidana penjara terutama apabila pidana penjara dikenakan kepada anak-
anak atau para remaja. Pemaknaan sebagian narapidana bahwa penjara adalah
tujuan pasti dari tiap politik kepenjaraan6. Konsep pemidanaan yang hanya
telah mulai ditinggalkan dan konsep baru yang dianut adalah konsep pembinaan
pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif
berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang
5
Sugeng Puji Leksono,Suara Hati dari Balik Terali Besi, Setetes Asadari Lowokwaroe
Anno1918, Fisip UMM, 2010 hlm.32.
6
Ibid hlm. 45.
8
asas:
a. Pengayoman;
c. Pendidikan;
d. Pembimbingan;
orang tertentu.7
lebih lanjut dalam Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995
e. Menyampaikan keluhan;
7
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
9
tertentu lainnya;
keluarga;
Pemberian remisi bagi narapidana yang dianggap sebagai salah satu wujud
hak warga binaan ternyata menuai pro dan kontra. Pemberian remisi ini dinilai
efek jera yang luar biasa pula bagi koruptor tersebut karena korupsi merupakan
tindak pidana korupsi tidak tergolong sebagai kejahatan biasa (ordinary crime)
melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).
Melihat semangat dan keinginan untuk memberikan efek jera bagi terpidana kasus
8
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
10
korupsi, Peraturan Pemerintah No.99 Tahun 2012 Perubahan kedua atas Peraturan
Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Hak Warga Binaan
sebelumnya. Pada ketentuan tersebut, telah menyebutkan bahwa salah satu syarat
dilakukannya (Pasal 34 A ayat 1 huruf a). Data yang diperoleh dari Lapas Kelas
1A narapidana korupsi yang ada di Lapas saat ini berjumlah 87 orang, yang sudah
mendapat remisi sebanyak 11 orang, dan yang belum mendapat remisi sebanyak
76 orang.
memberikan efek jera dan rasa taubat bagi narapidana setelah bebas dari masa
pemidanaan atau penahanan, sebab efek jera bagi pelaku kejahatan sebagaimana
yang telah disebutkan yakni dengan memperkecualikan pemberian hak hak warga
binaan khususnya remisi sehingga timbul rasa jenuh dan rasa enggan mengulangi
Medan)”.
11
B. Rumusan Masalah
3. Apa hambatan yang dihadapi dari pemberian remisi terhadap narapidana tindak
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan yang ingin dicapai dalam
Medan.
D. Manfaat Penelitian
2. Manfaat dari segi praktis, dapat memberi masukan kepada instansi terkait
pada khususnya.
E. Keaslian Penelitian
penelitian dan kajiannya. Selain itu, penelitian ini dilakukan dengan menjunjung
tinggi kode etik penulisan karya ilmiah sehingga dapat dipertanggung jawabkan
secara ilmiah. Adapun penelitian yang menyangkut mengenai Remisi antara lain:
Oleh karena itu, dapat dipertanggung jawabkan penulis bahwa tesis ini
memiliki keaslian dan sesuai dengan asas-asas keilmuan yang harus dijunjung
tinggi yaitu jujur, rasional, objektif serta terbuka. Hal ini merupakan implikasi
1. Kerangka Teori
dan berhasil tidaknya penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum,
yakni struktur hukum (struktur of law), substansi hukum (substance of the law)
dan budaya hukum (legal culture). Struktur hukum menyangkut aparat penegak
hukum merupakan hukum yang hidup (living law) yang dianut dalam suatu
“To begin with, the legal sytem has the structure of a legal system consist of
procedures the police department follow, and so on. Strukture, in way, is a kind
of crosss section of the legal system…a kind of still photograph, with freezes
the action”
(Artinya : Struktur dari sistem hukum terdiri atas unsur berikut ini, jumlah dan
mereka periksa), dan tata cara naik banding dari pengadilan ke pengadilan
lainnya. Struktur juga berarti bagaimana badan legislative ditata, apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan oleh Presiden, prosedur ada yang diikuti oleh
kepolisian dan sebagainya. Jadi struktur (legal struktur) terdiri dari lembaga
15
ada.)9
bagaimana pengadilan, pembuat hukum dan badan serta proses hukum itu berjalan
system is its substance. By this is meant the actual rules, norm, and behavioral
patterns of people inside the system… the stress here is on living law, not just
rules in law books”10. Aspek lain dari sistem hukum adalah substansinya, yang
dimaksud dengan substansinya adalah aturan, norma, dan pola perilaku nyata
manusia yang berada dalam system itu. Jadi substansi hukum menyangkut
mengikat dan menjadi pedoman bagi aparat penegak hukum. Mengenai budaya
culture. By this we mean people’s attitudes toward law and legal system their
belief … in other word, is the climinate of social thought and social force wicch
budaya hukum yang merupakan sikap manusia (termasuk budaya hukum aparat
9
Friedman, Lawrence M, Sistem Hukum ; Perspektif Ilmu Sosial ( The Legal System ;
A Social Science Perspective ), Bandung : Nusa Media, 2009 hlm. 57
10
Ibid
16
penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem hukum. Sebaik apapun penataan
struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum yang ditetapkan dan sebaik
apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa didukung budaya hukum oleh
orang-orang yang terlibat dalam sistem dan masyarakat maka penegakan hukum
tidak akan berjalan secara efektif. Hukum sebagai alat untuk mengubah
masyarakat atau rekayasa sosial tidak lain hanya merupakan ide-ide yang ingin
masyarakat kearah yang lebih baik, maka bukan hanya dibutuhkan ketersediaan
hukum dalam arti kaidah atau peraturan, melainkan juga adanya jaminan atas
perwujudan kaidah hukum tersebut ke dalam praktek hukum, atau dengan kata
lain, jaminan akan adanya penegakan hukum (law enforcement) yang baik. Jadi
11
Achmad Ali, 2002 Hlm.97
12
Pendapat Roscoe Pound sebagaimana dikutip oleh Satjopto Rahardjo, Hukum dan
Perubahan Sosial, dalam Bernard L. Tanya, Teori Hukum, Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang
dan Generasi, Genta Publishing 2010 hlm.163
17
ajaran hukum.
timbulkan oleh ajaran-ajaran hukum pada masa lalu dan bagaimana cara
bagaimana hukum pada masa lalu tumbuh dari kondisi sosial, ekonomi
dan seberapa jauh kita dapat mendasarkan atau mengabaikan hukum itu
tercapai.
Sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu
13
Ibid, hlm.84
18
masyarakat. Sistem peradilan pidana itu terdiri dari empat sub sistem yaitu:
dikatakan, bahwa untuk menjatuhkan pidana kepada pelaku tindak pidana, maka
dibutuhkan proses panjang dan selektif serta adil karena harus menjunjung tinggi
hak-hak setiap warganegara. Begitu juga dengan tujuan yang hendak dicapai dari
14
Petrus Irwan Pandjaitan dan Wiwik Sri Widiarty, Pembaharuan Pemikiran DR. Sahardjo
Mengenai Pemasyarakatan Narapidana, Jakarta Ind Hill Co, Jakarta 2008, hlm. 23.
15
Ibid, hlm.23-24.
16
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1987, hlm. 1.
19
keadilan dapat dicapai apabila tujuan dan theological tersebut dilakukan dengan
diperoleh pelaku tindak pidana17. Pemidanaan sebagai suatu rangkaian dari sistem
b. Tujuan jangka menengah, apabila yang hendak dicapai lebih luas yaitu
(criminal policy),
berpendapat :
17
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni Bandung 1985, hlm. 49
18
Ibid
20
yang tersesat yang mempunyai waktu dan kesempatan untuk bertobat. Tobat
sebagai tujuan pidana penjara. Sahardjo tidak ingin lagi melihat kenyataan
pulalah yang mendasari hingga saat ia menjadi Menteri Kehakiman pada tahun
Dinas Para Pimpinan Kepenjaraan pada tanggal 27 April 1964 yang memutuskan
19
Andi Hamzah, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Sapta Artha Jaya, Jakarta, 1993
hlm. 45
20
Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia , Refika Aditama
Bandung 2006, hlm. 98
21
pemasyarakatan, yaitu:
bimbingan.
negara.
21
Bambang Purnomo, Kapita Selecta Hukum Pidana, Liberty Yogyakarta, 1984 hlm. 4
22
bahwa ia penjahat.
10. Sarana fisik bangunan lembaga dewasa ini merupakan salah satu
hukum dan penegak hukum karena narapidana adalah warga negara yang perlu
Sebut saja sebelumnya hanya terdapat HIR Tahun 1941, yang kemudian terjadi
kesepakatan dalam Seminar Hukum Nasional Kedua pada tahun 1968 untuk
dan berakhir dengan lahirnya KUHAP pada akhir tahun 1981. KUHAP, dengan
22
Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama
Bandung 2006, hlm. 98-99
23
2. Kerangka Konsepsi
pengertian yang digunakan dalam penelitian ini, maka berikut ini diberikan
1. Pidana adalah reaksi atas delik, yang berwujud suatu nestapa yang
23
Mardjono Reksodiputro, Peran dan Tanggungjawab Hakim Pengawas dan Pengamat
Terhadap Hak-Hak Yang Menurut Hukum Dimiliki Narapidana, dalam Hak Asasi Manusia dalam
Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Pusat Pelayanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 65
24
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, 1987 opcit hlm. 9.
25
M.Sholehhudddin, Sistem Sanksi dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track System
dan Implementasinya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 42.
26
Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 32Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor. 3846.
24
bertanggungjawab27.
di Lembaga Pemasyarakatan30.
27
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1995 Nomor 77, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor. 3614.
28
Pasal 1 Angka 3 Keputusan Menteri Hukum dan Perundang-undangan Nomor
M.02.PR.08.03 Tahun 2003
29
Pasal 1 Angka-6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1995 Nomor 77, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor. 3614.
30
Pasal 1 Angka-7 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1995 Nomor 77, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor. 3614.
25
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
penelitian hukum yuridis normatif. Penelitian ini bersifat deskriptif yang berupaya
2. Metode Pendekatan
merupakan data sekunder) dengan data primer yang di dapat dari lapangan yaitu
3. Lokasi Penelitian
Jenis data yang digunakan dalam penelitian yaitu data primer dan data
sekunder.
26
a. Data primer
b. Data Sekunder
a. Wawancara
memperoleh data primer dan sebagai konfirmasi terhadap data sekunder. Studi
27
b. Studi dokumen
catatan dan laporan data lainnya yang terdapat pada berbagai institusi tempat
6. Analisis Data
dirangkum secara cermat untuk mendapatkan hasil yang akurat agar dapat
Hasil analisis data akan disimpulkan dengan metode induktif, yaitu fakta-
fakta yang didapat dari lapangan akan diuraikan terlebih dahulu, baru kemudian
berlangsung selama 7 (tujuh) bulan, yaitu mulai dari Desember 2018 – Juli 2019.
2018 - 2019
No. Nama Kegiatan
Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul
1. Pengajuan Judul
2. Bimbingan Proposal
3. Seminar Proposal
4. Persiapan Penelitian
dan Pengumpulan
Data
5. Bimbingan Tesis
6. Seminar Hasil
BAB II
A. Pemidanaan
1. Pengertian Pemidanaan
Berbicara mengenai pidana tentu tidak akan terlepas dari perkataan pidana
itu sendiri. Menurut Prof. Van Hamel31, arti dari pidana atau straf menurut
“ Een bijzonder leed, tegenden overtreder van een door den staat gehandhaafd
rechttsvoorsschrift, op den enkelen grond van die overtreding, van wege den
staat als handhaver der openbare rechtsorde, door met met de rechtbedeeling
belaste gezag uit te spreken” (Artinya : Suatu penderitaan yang bersifat khusus
“Het leed, door de strafwet als gevolg aan de overtreding van de norm
31
Van Hamel, Inleiding hal. 444 dalam P.F Lamintang, Hukum Penintensier
Indonesia, Sinar Grafika Jakarta, 2010 hlm. 33
32
Simons, LeerboekI hal .372, ibid
30
telah dikaitkan dengan pelanggaran suatu norma, yang dengan suatu putusan
die hij, als hij geen delict gepleegd zou hebben, genlet t.a.v zijn leven ,zijn
yang tidak dapat dibenarkan. Reaksi dari penguasa tersebut telah mencabut
atas nyawa, kebebasan dan harta kekayaannya yaitu seandainya ia telah tidak
atau suatu alat belaka. Ini berarti pula bahwa pidana bukan merupakan suatu
tujuan dan tidak mungkin dapat mempunyai tujuan. Menurutnya, hal ini perlu
dijelaskan agar di Indonesia jangan sampai terbawa oleh arus kacaunya cara
berfikir dari para penulis di Negeri Belanda karena mereka seringkali telah
menyebut tujuan dari pemidanaan dengan perkataan tujuan dari pidana hingga ada
beberapa penulis di tanah air yang tanpa menyadari kacaunya cara berfikir dari
33
Algra-Jansssen, Elementair Strafrecht hlm.59, ibidhlm. 34
31
para penulis Belanda dengan secara harfiah telah menerjemahkan perkataan doel
de straft sebagai tujuan dari pidana pada hal yang dimaksud dengan perkataan
menyangkut bidang hukum pidana saja akan tetapi juga hukum perdata.
disempitkan artinya yakni penghukuman dalam perkara pidana, yang kerap kali
pengganti perkataan “straf” namun menurut beliau istilah “pidana” lebih baik
daripada “hukuman”35.
2. Tujuan Pemidanaan
34
Van Hamel, Inleiding hal. 444 dalam P.F Lamintang, Hukum Penintensier Indonesia,
Sinar Grafika Jakarta, 2010 hlm. 35
35
Sudarto, Kapita Selecta Hukum Pidana, Alumni Bandung, 2006 hlm. 71
32
Pemikiran tentang tujuan dari suatu pemidanaan dewasa ini sedikit banyak
telah mendapat pengaruh dari pemikiran para pemikir atau penulis masa lalu. Pada
dan
mencari dasar dari pemidanaan pada pengertian hukum yang berlaku umum.
individu. Metode tersebut telah dipergunakan antara lain oleh Hugo de Groot,
yang untuk memperoleh penjelasan tentang apa sebabnya seorang pelaku harus
dipandang layak untuk menerima akibat dari perbuatannya telah melihat pada
kehendak alam, yaitu barang siapa telah melakukan sesuatu yang bersifat jahat,
pengikut Hugo de Groot sebagai penganut dari mazhab hukum alam telah
33
berusaha untuk mencari dasar pembenar pidana daripada asas-asas hukum yang
berlaku umum36.
pidana pada teorinya mengenai Contract Social, bahwa hukum adalah wujud
kemauan dan kepentingan umum (individu dan kelompok) yang hidup teratur
dalam sistem politik negara. Hukum adalah wujud volonte generale (kemauan
adanya badan legislasi yang merupakan representasi rakyat namun badan tersebut
Beccaria mencari dasar pembenar pada kehendak bebas (free will) dari
warga negara yakni yang telah mengorbankan sebagian kecil dari kebebasannya
kepada negara agar mereka memperoleh perlindungan dari negara dan dapat
dirumuskan dengan jelas dan tidak memungkinkan bagi hakim untuk melakukan
yang juga harus dirumuskan secara tertulis dan tertutup bagi penafsiran oleh
36
P.FLamintang, op,cit hlm. 12
37
Charles H.Petterson, Western Pholosophy, Nabraska Vol.1, 1970 dalam Bernard
L.Tanya, op.cit hlm.88
34
Teori dari para penulis Jerman disebut teori absolut atau teori pembalasan
Hegel, Herbart, Stahl, Leo Polak dan beberapa sarjana yang mendasarkan teorinya
mutlak, bukan hanya sesuatu yang perlu dijatuhkan tetapi menjadi suatu
menerima sanksi itu demi kesalahannya. Pemidanaan menjadi retribusi yang adil
38
Muladi dan Barda Nawawi, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni Bandung, 2005,
hlm. 30
39
Andi Hamzah, Hukum Pidana Indonesia,Yarsif Watampone, Jakarta, 2010 hlm. 45
35
yang secara suka rela menerima putusan hakim pidana dengan sendirinya
40
Ibid hlm. 46-48
36
maka semakin besar penghinaan yang di jatuhkan. Oleh sebab itu teori
Keberatan terhadap teori pembalasan ini adalah pertama, teori ini tidak
oleh Polak sendiri yang berpangkal kepada etika. Menurut etika spinoza,
Menurut Sudarto sekarang sudah tidak ada lagi penganut teori ajaran
pembalasan yang klasik dalam artian bahwa pidana merupakan suatu keharusan
mereka sudah menganut teori pembalasan yang modern misalnya van Bemmelen,
perbuatan dan pidana. Maka dapat dikatakan ada asas pembalasan negatif
dimana hakim hanya menetapkan batas-batas dari pidana. Pidana tidak boleh
untuk hukum pidana yang dewasa ini, maka pencegahan main hakim sendiri
(vermijding van eigenrichting) tetap merupakan fungsi yang penting sekali dalam
diakibatkan oleh pidana harus dibatasi dalam batas-batas yang paling sempit dan
pidana tidak boleh melebihi kesalahan terdakwa bahkan tidak dengan alasan-
menganggap pembalasan ini dalam arti positif, konstruktif dan bukan dalam arti
batas atas (bovengrens) dari beratnya pidana. Hanya saja dia berpendapat bahwa
tidak perlu pembalasan itu merupakan suatu tuntutan dari beratnya tindakan
41
Sudarto dalam Muladi dan Barda Nawawi Arief, op.cit hlm. 14-15
42
Ibid
39
teori-teori yang berusaha mencari dasar pembenaran dari suatu pidana semata-
mata pada satu tujuan tertentu dimana tujuan tersebut dapat berupa44 :
adagium Latin nemo prudens punit, quiq peccatum, sed net peccetur
43
Ibid
44
P.A.F Lamintang, op.cit hlm. 15
40
tersebut45.
oleh van Hamel (Belanda) dan von Liszt (Jerman) yang menyatakan
niat buruknya.
45
Andi Hamzah, op.cit, hlm. 48-49.
41
hukum46.
kepentingan hidup manusia yang oleh hukum telah diakui sebagai kepentingan
hukum dan mempunyai tugas untuk menentukan dan menetapkan batas-batas dari
kepentingan hukum yang dimiliki oleh orang yang satu dengan yang lain. Untuk
harus di tegakkan oleh negara. Negara harus menjatuhkan pidana bagi setiap
Ada yang menitikberatkan pembalasan namun ada pula yang ingin agar unsur
“orang tidak boleh menutup mata pada pembalasan. Memang, pidana dapat
dibedakan dengan sanksi-sanksi lain, tetapi tetap ada ciri-cirinya. Tetap tidak
46
G. Avan Hamel, Inleidingtotdestudievanhet Nederlandsche Strafrecht, 1929, hlm. 29,
ibid
47
P. FLamintang, ibid
42
dapat dikecilkan, artinya bahwa pidana adalah suatu sanksi, dan dengan demikian
terikat dengan tujuan sanksi-sanksi itu dan karena itu hanya akan diterapkan jika
umum”48.
beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. Tetapi
sampai batas mana beratnya pidana dan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh
terpidana dapat diukur ditentukan oleh apa yang berguna bagi masyarakat. Teori
tetapi maksud tiap-tiap pidana ialah untuk melindungi tata hukum. Pidana
dilakukan secara sukarela. Pembalasan adalah sifat suatu pidana tetapi bukan
48
W.P.J Pompe, Handboekvanhet Ned. Strafrecht, 1959, hlm. 8-9, ibid
43
gabungan ini memandang sama pembalasan dan pertahanan tata tertib masyarakat
hanya bagi korban namun juga bagi masyarakat baik secara langsung maupun
tidak langsung dan penderitaan bagi pelaku kejahatan yang di pidana itu sendiri.
Untuk menghadapi hal tersebut diperlukan suatu kebijakan kriminal yang terdiri
49
E.Utrecht, Hukum Pidana I, 1958, hlm.186, ibid
50
Barda Nawawi Arief, Beberapa Kebijakan Penegakan Hukum dan
Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung 2005 hlm. 54
44
adalah negara (lembaga yudikatif). Menurut Utrecht, sesuatu yang tidak dapat di
sangkal lagi adalah bahwa negara merupakan organisasi sosial yang tertinggi
sehingga atas dasar kenyataan tersebut sangatlah logis apabila negara diberi tugas
apabila hukuman itu dijatuhkan oleh negara sebagai organisasi sosial tertinggi
maka kita mempunyai jaminan penuh bahwa hukuman sebagai alat yang paling
penjatuhan hukuman yang dalam lingkup hukum pidana akibatnya berupa nestapa
atau penderitaan51.
pidana selama ini apabila dibandingkan dengan jenis pidana yang lainnya.
materi yang bersifat khusus yang mutlak hanya dapat dituangkan dalam bentuk
51
E.Utrecht, op.cit hlm. 158
52
Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta 2006 hlm. 213.
46
menanggulangi kejahatan yang terjadi tidak terlepas dari tujuan negara untuk
kewajiban dari negara melalui perangkat yang dimilikinya untuk melindungi dan
yang merugikan dan di lain pihak melindungi pelaku kejahatan dengan cara
kejahatan tersebut dapat menjadi pribadi yang lebih baik saat kembali kedalam
masyarakat. Bertolak dari pandangan yang demikian maka setiap kebijakan yang
diambil untuk menghadapi masalah kejahatan dengan sanksi pidana penjara harus
kebijakan formulasi merupakan tahap awal yang paling strategis dari keseluruhan
bersifat praktis maupun teoritis untuk mengurangi daya laku dari pidana hilang
47
a. Bahwa suatu pidana itu boleh saja tidak pernah kehilangan sifatnya
dirasakan :
in our culture have failed in rehabilitation and, infact, have been the
Terpidana, tetapi justru sifatnya yang seperti itulah yang harus dijaga
memberikan arti yang keliru karena tujuan yang ingin dicapai dengan
53
Herman G. Moeller, The Correctional Institutionin The Climate of Change, dalam
UNAFEI, Resource Material Series No. 14,
54
Van Hamel, Inleiding hlm. 450 dalam Lamintang, opcit. hlm. 53-54
55
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni Bandung,
2005, hlm. 77
48
untuk dikesampingkan.
c. Bahwa sebagai suatu alat pemidanaan yang baik adalah suatu pidana
bahwa pidana tersebut secara nyata memang dapat dijatuhkan oleh hakim
masyarakat.
pribadi.
49
dengan tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan dan bahwa
terpidana secara zedelijk atau secara kesusilaan itu sama sekali tidak
56
Terhadap pemberian sanksi pidana, Barda Nawawi Arif misalnya
berpendapat bahwa :
keamanan masyarakat;
56
Barda Nawawi Arief, Op.cit hlm. 8
50
pengayoman masyarakat.
57
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni Bandung, 1977 hlm. 44
51
58
Pendapat lain diungkapkan oleh Herman G. Moeller yang
berpendapat bahwa ditinjau dari segi tujuan yang hendak dicapai, kerugian-
kerugian tersebut dapat bersifat filosofis dimana terdapat hal-hal yang saling
direhabilitasi.
58
Ibid
52
emosional kronis).”
60
Sementara Berner dan Teeters menyatakan penjara telah tumbuh sebagai
personil yang paling baik pun telah gagal untuk menghilangkan keburukan yang
sangat besar dari penjara ini. Sekalipun pidana penjara tersebut berjangka pendek
59
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijaka n Pidana, Alumni
Bandung, 2005, hlm. 68
60
Ibid hlm. 68
53
di satu pihak dan di lain pihak bahkan menimbulkan apa yang disebut dengan
terganggu atau rusak yang berarti bahwa persesuaian antara apakah seseorang itu
penjara dari kejahatan sendiri sehingga stigma tersebut juga merupakan hasil
daripada reaksi- reaksi. Stigma juga dapat terjadi melalui pihak ketiga dan dalam
hal ini pers berperan besar didalam stigmatisasi saat menyebut nama seseorang
atau bahkan hanya dengan menyebut huruf awal dari nama di dalam surat kabar.
terkadang lebih banyak menimbulkan penderitaan dan oleh karena itu lebih
bahwa pelaku tindak pidana adalah seorang penjahat dengan segala akibatnya.
61
Ibid hlm .72
62
Donald Clemmer, Prisonization dalam The Sociology of Punishment & Correction,
Edited by Norman Jahnston, John Wrlyandsons, Inc. Newyork, 1970 hlm. 479 dalam
Petrus Irwan Pandjaitan, Pidana Penjara dalam Perspektif Penegak Hukum, Masyarakat
dan Narapidana, In hill CO, Jakarta, 2009 hlm. 7 yang memberikan batasan prisonization
sebagai “the term of prisonization to indicate the taking on ingreater or less degree of
the folk ways, mores, customs and general culture of the penitentiary”. Sementara TP
Morris menggunakan istilah Prisonitation untuk menggambarkan tingkah laku nyata
54
dari beberapa orang narapidana saja terutama bagi narapidana yang lebih
narapidana yang bertujuan untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan penjara namun
sebenarnya mereka menolak untuk mentaati peraturan.
55
proses pembinaan karena narapidana akan lebih cenderung taat atau patuh kepada
menjadi tertekan dan hal ini dapat menjadi pemicu kerusuhan didalam lembaga
pemasyarakatan. Bila hal ini terjadi maka hak-hak narapidana menjadi tertindas63.
kebudayaan masyarakat;
63
Ibid
64
Soerjono Soekanto, Dampak Hukum Terhadap Pola Perilaku Manusia, Masalah-
masalah Hukum dalam Barda Nawawi Arief, op.cit hlm. 108.
56
dikendalikan.
Terdapat 4 (empat) hal yang harus dipenuhi agar hukum dapat berlaku
b. Para penegak hukum harus mempunyai kepribadian yang baik dan dapat
sebenarnya memberi peluang yang amat besar untuk merumuskan tentang apa
yang benar dan yang baik bagi manusia dan masyarakat Indonesia, yang bukan
65
M. Sholehuddin, op.cit, hlm. 109
57
menanyakan dapat bertobat dan menjadi manusia yang beriman dan taat.
sebagai sesama warga masyarakat. Dalam kaitan ini, perlu diingat bahwa
seutuhnya”. Menurut Muladi apabila pidana akan digunakan sebagai sarana untuk
Hal ini menjadi penting, tidak hanya karena kejahatan itu pada hakekatnya
menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga dari kehidupan manusia.
bahwa pidana yang dikenakan kepada si pelanggar harus sesuai dengan nilai-nilai
bermasyarakat66.
66
Muladi, Hak Asasi Manusia, op.cit hlm. 224
59
apabila bagian dari sistem tersebut (sub sistem) bekerja secara terpadu dan
yaitu67:
offenders).
67
Philip P. Purpura, Criminal Justice, an Introduction, Butterworth Heinemann,
Boston 1997 hlm. 5
60
6. Menetapkan hukuman yang pantas dan sesuai bagi yang bersalah (set an
justice process).
(seperti pada arloji) yang harus bekerja sama. Masing-masing harus cermat dan
kuat dalam menjaga keseimbangan kerja satu dengan yang lainnya. Kebijakan
68
Mardjono Reksodiputro, op.cit. hlm. 94
69
Mardjono Reksodiputro, Mengembangkan Pendekatan Terpadu dalam Sistem
Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kedua, op.cit hlm. 142
61
70
Ibid hlm. 84-85.
71
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy Pendekataan Integral Penal Policy dan Non Penal
Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan, Pustaka Bangsa Press 2008 hlm. 97
62
dianut.
sebagai suatu sistem yang bekerja bersama dalam satu unit atau departemen atau
lebih ditujukan kepada kerjasama dan koordinasi antara subsistem yang ada
dengan prinsip unity indeversity. Bahwa setiap sub sistem dalam sistem peradilan
yang ada di masing-masing lembaga dan aktivitas dari masing- masing sub sistem
produk (output) suatu sub sistem merupakan masukan (input) bagi sub
sistem lainnya.
72
Ibid hlm. 98
63
3. Kebijakan yang diputuskan dan dijalankan oleh salah satu sub sistem
tata peradilan pidana sebagai bagian integral dari tata peradilan terpadu
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari satu rangkaian proses penegakkan
hukum.
dikenal sejak berlakunya Reglemen Penjara Stb. 1917 Nomor 708. Pola ini
fungsi pemidanaan tidak lagi sekedar penjeraan tetapi juga diarahkan pada usaha
atas pemikiran tersebut maka sejak tahun 1964 sistem pembinaan bagi
narapidana dan Anak Pidana telah berubah secara mendasar yaitu dari sistem
ada, yang semula disebut dengan rumah penjara dan rumah pendidikan negara
melainkan juga subyek yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-
waktu dapat melakukan kesalahan atau kekhilafan yang karenanya dikenai pidana
menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi
73
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
65
secara wajar sebagai warga negara yang baik dan bertanggung jawab.
Visi
74
Himpunan Peraturan Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2009
66
masyarakat serta sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yaang Maha Esa (untuk
Misi
Tujuan
berperan serta dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai
pengadilan.
67
Sasaran
yaitu :
yaitu :
2. Kualitas intelektual,
Pemasyarakatan, yaitu :
yang ada;
dan integrasi;
masyarakat;
umumnya;
Lembaga Pemasyarakatan.
69
masyarakat;
d. Pembimbingan;
75
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995, LN tahun 1995 Nomor 77, TLN Nomor
3614
70
lain seperti layaknya manusia dengan kata lain hak perdatanya tetap
rekreasi dan;
hidup tersebut tidak hanya berupa finansial dan material tetapi yang lebih
kemerdekaannya.
76
Marlina, Hukum Penitenier, Refika Aditama, Bandung, 2011 hlm. 102-104
72
lebih jahat daripada sebelum ia masuk lembaga untuk itu harus diadakan
pemisahan antara yang residivis dan yang bukan residivis, pelaku tindak
pidana berat dengan yang ringan, macam tindak pidana yang dilakukan,
pembangunan nasional.
bentuk dan warna pakaian, bentuk dan warna bangunan, cara pemberian
10. Sarana fisik bangunan lembaga dewasa ini merupakan salah satu
yang sudah bebas namun belum dapat pulang sehingga sementara masih
1990 tanggal 10April 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana atau Tahanan
adalah agar selama menjalani masa pembinaan hingga selesai menjalani masa
nasional.
pada sikap dan perilakunya yang tertib dan disiplin serta menggalang
a. Umur;
b. Jenis kelamin;
1. Register B-I adalah untuk narapidana yang dijatuhi pidana diatas 1 tahun.
77
Pasal 12 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan.
76
(Penggolongan berdasarkan jenis lama masa hukuman ini, bila dicermati lebih
memperoleh remisi adalah narapidana yang terdaftar dalam register B-I dan B-IIa.
Tujuan akhir dari pembinaan di lapas adalah untuk mengubah perilaku narapidana
(yang semula jahat, tersesat), menjadi orang yang baik. Narapidana yang telah dapat
perubahan perilaku sebagai hasil dari pembinaan itu selama berada dalam lapas,
pengaturan pemberian remisi melalui Keppres Republik Indonesia Serikat Nomor 156
Tahun 1950 tentang remisi. Soekarno, mengatakan remisi diberikan setiap peringatan
Sejak tahun 1950 remisi tidak lagi sebagai anugerah, tetapi menjadi hak setiap
narapidana yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Salah satu syarat remisi
berdasarkan Keppres Nomor 156 Tahun 1950 tentang remisi adalah narapidana harus
berkelakuan baik dalam kurun waktu pemberian remisi, jadi penilaian ini bekisar
Selain dari syarat berkelakuan baik, narapidana juga harus menjalani masa pidana
lebih dari 6 bulan, dan narapidana yang dipidana seumur hidup harus diubah menjadi
pidana sementara. Pidana seumur hidup ini dapat diubah menjadi pidana sementara.78
Pidana seumur hidup bukanlah pidana sementara karena batas waktu pidananya tidak
jelas, tetapi pidana ini dapat diubah menjadi pidana sementara. Sejak tahun 1950,
remisi tidak lagi sebagai anugerah, tetapi menjadi hak setiap narapidana yang
Selanjutnya lahirlah peraturan baru yang diatur dalamd Keppres Nomor 5 Tahun
1987 tentang remisi (pengurangan masa menjalani pidana), yang banyak sekali
satu adalah bagi residivis tidak mendapatkan remisi. Sementara dalam Keppres 156
berkelakuan baik dan pidana sementara terpenuhi. Pemgertian residivis menurut pasal
lebih dari satu kali dengan jarak 2 (dua) tahun sesudah dibebaskan, dengan tidak
78
Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, (PT Refika Aditama,
2006), hlm, 133.
78
ditempatkan sebagai motivasi (salah satu motivasi) bagi narapidana untuk membina
diri sendiri.
Remisi tidak sebagai hak seperti dalam sistem pemasyarakatan, tidak juga sebagai
anugerah sebagaimana dalam sistem kepenjaraan, tetapi sebagai hak dan kewajiban
Perubahan lainnya dalam Keppres Nomor 5 Tahun 1987 tentang remisi ini ialah
dalam memberikan remisi jauh lebih kecil dibandingkan Keppres Nomor 156 Tahun
1950 tentang remisi. Keppres Nomor 5 tahun 1987 menyebutkan bahwa narapidana
yang telah menjalani pidana 6 (enam) bulan sampai 12 (dua belas) bulan, memperoleh
pengurangan 1 (satu) bulan, narapidana yang telah menjalani pidana 12 (dua belas)
bulan atau lebih pada tahun pertama memperoleh remisi sebesar 2 (dua) bulan, tahun
kedua memperoleh 3 (tiga) bulan, tahun ketiga memperoleh remisi 4 (empat) bulan,
tahun keempat dan kelima memperoleh remisi sebesar 5 (lima) bulan, tahun keenam
Berdasarkan Keppres Nomor 156 Tahun 1950, narapidana yang telah menjalani
pidana 3 (tiga) sampai dengan 6 (enam) bulan memperoleh remisi sebesar 1 (satu)
bulan, yang telah menjalani pidana 6 (enam) sampai 12 (dua belas) bulan memperoleh
remisi sebesar 2 (dua) bulan dan yang telah menjalani pidana lebih dari 12 (dua belas)
bulan memperoleh minimal 3 (tiga) bulan, tahun keempat dan kelima sebesar 6 (enam)
lebih kecil dibandingkan dengan peraturan sebelumnya. Dan juga mengatur tambahan
remisi bagi narapidana yang telah berjasa kepada Negara atau kemanusiaan,
Yang dimaksud dengan telah berjasa pada Negara adalah berjasa yang bersifat
Negara. Sedangkan perbuatan yang bermanfaat bagi Negara atau kemanusiaan antara
lain adalah:
sebaliknya).79
Tambahan remisi yang diberikan maksimal 6 (enam) bulan, bagi yang berjasa
terhadap Negara atau kemanusiaan, sedangkan bagi yang membantu lapas mendapat
79
A. Sanusi Has, Dasar-dasar Penologi, (Jakarta: Rasanta, 1994), hlm, 64.
80
Keppres Nomor 5 tahun 1987 hanya mengatur pemberian remisi kepada narapidana
dengan pidana sementara. Pidana sementara dapat berupa pidana penjara, pidana
kurungan atau pidana kurungan pengganti denda. Oleh sebab itu pidana seumur hidup
dan pidana mati tidak dapat diberikan remisi. Kepadanya baru dapat diberikan remisi,
jika pidana seumur hidup atau pidana mati telah diubah menjadi pidana penjara
permohonan grasi kepada Presiden melalui Menteri Kehakiman. Grasi dalam hal
keputusan grasi dikenal dua macam, pertama ditolak yang berarti narapidana tersebut
harus menjalani pidana sesuai dengan putusan pengadilan dan kedua diterima yang
berarti bahwa pidanaya diubah. Pidana mati dan seumur hidup, perubahan pidana
biasanya setingkat lebih rendah dari pada pidana yang dijatuhkan oleh pengadilan
sebelumnya.
Seorang narapidana dengan pidana mati, jika mengajukan grasi dan diterima, maka
pidananya akan berubah menjadi pidana seumur hidup. Kemungkinan pidana mati
berubah menjadi pidana sementara karena grasinya diterima (turun dua tingkat) bis
saja terjadi. Tetapi sangatlah sulit hal itu dihadapkan. Narapidana dnegan pidana
seumur hidup mengajukan grasi dan diterima, maka keputusan grasinya akan berubah
Perubahan pidana mati dan pidana seumur hidup melalui grasi sangatlah kecil
mendapatkan remisi sangatlah tipis. Sebab perubahan pidana mati ke pidana seumur
hidup sudah merupakan hal maksimal. Jadi, mereka yang dipidana mati, sebenarnya
1. Tetap dalam bentuk pidana mati dan segera menjalani eksekusi hukuman
matinya.
2. Berubah menjadid pidana seumur hidup jika grasinya diterima, yang berarti
menunda kematian. Dengan demikian seorang yang dipidana mati sangat kecil
untuk itu sudah dibatasi. Sekali lagi memang tidak menutup kemungkinan untuk
berubah pidana mati menjadi pidana seumur hidup kemudian pidana sementara
Keppres Nomor 156 Tahun 1950 yang mengatur perubahan pidana seumur hidup
pidana sementara tanpa melalui grasi, berbeda dengan Keppres Nomor 5 Tahun 1987
dalam pasal 7 ayat 2 menegaskan bahwa: perubahan pidana penjara seumur hidup
menjadi pidana sementara dilakukan oleh Presiden ketentuan Keppres Nomor 5 Tahun
1987 dalam pasal 7 ayat 2 disamping membuka kemungkinan bagi narapidana seumur
hidup memperoleh grasi juga sekaligus merupakan kendala, bahkan merupakan suatu
kemunduran. Hal ini disebabkan tidak ada jaminan apabila pidana seumur hidup
80
C.I. Harsono, Sistem Bau Pembinaan Narapidana, (Jakarta: Djambatan, 1995).
82
Selain itu, perubahan pidana seumur hidup menjadi pidana waktu tertentu melalui
grasi bukan merupakan upaya hukum yang mudah, terutama bagi narapidana yang
“awam” dalam bidang hukum. Praktiknya, usulan grasi yang diajukan kepada
sampai dengan tahun 1994 yang menunjukkan bahwa ada 34 usulan grasi dalam
periode 8 tahun yakni sejak Keppres Nomor 5 Tahun 1987 sampai dengan tahun 1994,
namun tidak ada satupun usulan grasi narapidana seumur hidup yang diterima.81
bersangkutan akan menjadi penghuni lapas untuk seumur hidupnya, dan dengan
kemungkinan seperti itu dapat dipastikan bahwa proses pembinaan narapidana akan
terganggu.
Keppres Nomor 156 tahun 1950 pasal 6 disebutkan bahwa jika narapidana dengan
pidana seumur hidup selama lima tahun berturut-turut berkelakuan baik, kepadanya
bisa dimintakan perubahan pidana seumur hidup menjadi pidana sementara dan
selama-lamanya 15 (lima belas) tahun. Dengan demikian sebelum tahun 1987, masih
dimungkinkan bagi mereka yang dipidana mati jika memperoleh grasi akan berubah
menjadi pidana seumur hidup dan pidana seumur hidup akan berubah menjadi pidana
sementara tanpa mengajukan grasi. Namun, berlakunya Keppres Nomor 5 tahun 1950
81
Tongat, Pidana Seumur Hidup Dalam Sistem Hukum Pidana Di Indonesia, (Malang:
Universitas Muhammadiyah Malang, 2004), hlm 103.
83
dan berlakunya Keppres Nomor 5 tahun 1987, maka kemungkinan untuk merubah
pidana seumur hidup ke pidana sementara tanpa melalui grasi tertutup sama sekali.
Pembinaan narapidana dalam hal ini merupakan suatu kendala dalam sistem
narapidananya, intinya harus dicari jalan keluarnya agar lapas bukan tempat terakhir
adalah orang yang tersesat artinya kehilangan arah, oleh sebab itu harus diayomi dan
diberikan bekal hidup sebagai warga yang baik dan berguna bagi masyarakat (prinsip
pertama).
masyarakat, pembinaan diberikan terhadap pelaku tindak pidana perlu diayomi dan
diberikan bimbingan sebagai bekal hidupnya kelak setelah keluar dari lapas, agar
berguna bagi dan di dalam masyarakat.82 Jadi dalam sistem pemasyarakatan masih ada
tetap terbuka.
Untuk itu diperlukan suatu aturan yang memungkinkan narapidana yang dipidana
mati dan dipidana seumur hidup masih mempunyai peluang untuk kembali ke
masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat. Narapidana itu harus dijatuhi
82
C.I, Harsono, Op, Cit, Hlm 2.
84
pidana hilang kemerdekaan. Narapidana yang dipidana mati atau pidana seumur hidup
tetap saja dibiarkan menghabiskan sisa hidupnya dalam lapas tanpa diberi kesempatan
Mewujudkan visi dan misi bangsa Indonesia sesuai dengan yang tercantum di
dalam Pembukaan dan Undang-Undang Dasar 1945, pengaturan remisi berhulu pada
tentang perubahan kedua syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaan
pemasyarakatan, serta Keppres Nomor 174 tahun 1999 tentang remisi. Kebijakan
sebelum dicabut tahun 1995, hingga ketentuan pelepasan bersyarat dalam Kitab
dilepaskan dari model dan strategi kebijakan pemidanaan yang dianut oleh suatu
Negara. Model dan strategi kebijakan pemidanaan suatu Negara tersebut tidak dapat
Remisi menurut Keppres Nomor 174 tahun 1999 tentang remisi pada pasal 1 ayat
(1) menyatakan bahwa remisi adalah: pengurangan masa pidana yang diberikan
kepada narapidana dan anak pidana yang berkelakuan baik selama menjalani pidana.
Menurut pasal 34 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 99 tahun 2012 tentang
perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 dan Peraturan
Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga
binaan pemasyarakatan, remisi diberikan kepada narapidana dan anak pidana apabila
telah berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari 6 (enam) bulan.
Pasal 34A, khusus bagi narapidana yang diberikan karena melakukan tindak pidana
terhadap keamanan Negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta kejahatan
harus:
b. Telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan
korupsi, dan
2. Tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi
pidana terorisme.
pembinaan terhadap pelaku tindak pidana extraordinary crime, mengingat sifat dan
ciri khasnya. Syarat untuk memperoleh remisi menjadi lebih ketat dan lebih sulit
daripada tindak pidana biasa. Tindak pidana biasa, apabila untuk tindak pidana biasa
seorang narapidana telah berhak untuk memperoleh remisi setelah menjalani sepertiga
Dalam sistem baru pembinaan narapidana, remisi ditempatkan sebagai salah satu
motivasi bagi narapidana untuk membina diri sendiri. Sebab, remisi tidak sebagai
hukum seperti dalam sistem pemasyarakatan, tidak pula sebagai anugerah dan
dipenuhi.
bahkan untuk tahun 1999 telah dikeluarkan Keppres Nomor 69 tahun 1999 dan
belum sempat diterapkan akan tetapi kemudian dicabut kembali dengan Keppres
87
Nomor 174 tahun 1999. Remisi yang berlaku dan pernah berlaku di Indonesia sejak
jo 9 Juli 1941 Nomor 12 dan 26 Januari 1942 Nomor 22; merupakan yang
diberikan sebagai hadiah semata-mata pada hari kelahiran Sri Ratu Belanda.
2. Keputusan Presiden Nomor 156 tanggal 19 April 1950 yang termuat dalam Berita
G.8/106 tanggal 10 januari 1947 jo. Keputusan Presiden RI Nomor 120 tahun
tahun 1988 tanggal 14 Mei 1988 tentang Tambahan Remisi Bagi Narapidana
yang menjadi donor organ tubuh dan donor darah dan Keputusan Menteri
(remisi).
83
Y. Ambeg Paramarta, Aspek Hukum Pemberian Remisi Kepada Narapidana Korupsi,
Percetakan Pohon Cahaya, Jakarta, Hlm 95.
88
5. Keputusan Presiden Nomor 174 tahun 1999 jo Keputusan Menteri Hukum dan
tahun 1995 tentang pemasyarakatan, khususnya pasal 14 ayat (1) huruf i yang
1999 tentang syarat dan tata cara pelaksanaan hak warga binaaan pemasyarakatan).
Remisi diberikan oleh Menteri Hukum dan HAM, pemberian remisi ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Hukum dan HAM. Demikian ketentuan pasal 1 ayat (2)
dan (3) Keputusan Presiden Nomor 174 tahun 1999 tentang remisi.84
1. Narapidana dan Anak Pidana (Pasal 14 ayat (1) huruf i dan Pasal 22 ayat (1)
84
Ibid.
89
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara
a. Berkelakuan baik
kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional terorganisasi
remisi apabila:
*Tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara tertulis bagi
narapidana warga Negara asing, yang dipidana karena melakukan tindak pidana
terorisme.
Beberapa waktu lalu muncul wacana untuk merevisi PP 99 tahun 2012. Wacana
untuk merevisi PP itu muncul karena dipahami bahwa ketentuan dala PP Nomor 99
Negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, dan kejahatan transnasional
hukum di Indonesia masih merupakan sesuatu hal yang dianggap baru, pengaturan
ini sering disebut juga dengan istilah justice collaborators, dan ini dikenal dari hasil
kemudian mendapatkan perhatian dan selanjutnya mulai diatur dalam hukum positif
Ada lima jenis remisi, yaitu: Pasal 2 dan Pasal 3 Keputusan Presiden No. 174
Tahun 1999 tentang remisi serta Pasal 1 Peraturan Menteri Hukum dan HAM
2. Remisi Umum Susulan: Remisi Umum yang diberikan kepada narapidana dan
anak pidana yang pada tanggal 17 Agustus telah menjalani masa penahanan paling
singkat 6 (enam) bulan dan belum menerima putusan pengadilan yang berkekuatan
hukum tetap.
3. Remisi Khusus: diberikan pada hari besar keagamaan yang dianut oleh
narapidana dan anak pidana yang bersangkutan. Jika terdapat lebih dari satu macam
hari besar keagamaan dalam setahun untuk suatu agama tertentu, maka akan dipilih
hari besar yang paling dimuliakan oleh penganut agama yang bersangkutan.
dan anak pidana yang pada hari besar keagamaan sesuai dengan yang dianutnya
telah menjalani masa penahanan paling singkat 6 (enam) bulan dan belum
BAB III
dengan sistem Pemasyarakatan. Satu tahun kemudian pada tanggal 27 April 1964
terhadap para pelanggar hukum dan sebagai suatu pengejawantahan keadilan yang
tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan
93
dapat aktif berperan dalam pembangunan dan dapat hidup secara wajar sebagai
warga negara yang baik dan bertanggung jawab. Dari adanya Undang – undang
pada Tahun 1977 – 1978 menempati areal seluas 10 Ha (1000 x 1000). Areal
tanah ini berasal dari pertukaran tanah milik Lapas Medan dengan Kodam II Bukit
Barisan.
individu, anggota masyarakat dan mahluk Tuhan Yang Maha Esa (membangun
manusia mandiri).
Dasar pelaksanan tugas pokok, fungsi dan struktur organisasi adalah Surat
sebagai berikut :
Lapas dan melaksanakan urusan tata usaha serta rumah tangga, melakukan
Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya tersebut dibantu oleh staf sesuai
Tugas dan fungsinya adalah melakukan urusan tata usaha dan rumah
urusan keuangan.
95
b. Kepala Sub Bagian Kepegawaian dan staf, mempunyai tugas dan fungsi
c. Kepala Sub Bagian Umum dan staf, mempunyai tugas dan fungsi
mempersiapkan sarana kerja dan mengelola hasil kerja, yang dibantu oleh
narapidana.
pengamanan.
Gambar 1 :
masyarakat kearah yang lebih baik dan lebih beradab sehingga oleh karenanya
hukum pidana sebagai norma yang juga berlaku dalam masyarakat juga
Dengan pandangan bahwa narapidana bukan saja obyek melainkan juga subyek
yang tidak berbeda dari manusia lainnya yang sewaktu-waktu dapat melakukan
kesalahan atau kekhilafan yang dapat dikenakan pidana sehingga tidak harus
pidana85.
Pasal 14
Ayat (1):
Narapidana berhak :
85
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan, Lembaran Negara Tahun 1995 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara
Nomor. 3614.
99
e. Menyampaikan keluhan ;
f. Mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak
dilarang ;
berlaku.
Ayat (2):
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
Nomor 69 TLN Nomor 3846 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
Pemerintah Nomor 28 tahun 2006 LN tahun 2006 Nomor 61 TLN Nomor 4632.
Pasal 34
Ayat (1):
Setiap Narapidana dan Anak pidana yang selama menjalani masa pidana
Ayat (2):
Remisi sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dapat ditambah, apabila selama
86
Berdasarkan Penjelasan Pasal 34 Ayat (1) yang dimaksud dengan “berkelakuan baik”
adalah mentaati peraturan yang berlaku dan tidak dikenakan tindakan disiplin yang dicatat
dalam buku register F selama kurun waktu yang diperhitungkan untuk pemberian remisi.
87
Menurut penjelasan Pasal 34 Ayat (2) huruf-a, yang dimaksud dengan “berbuat jasa
kepada negara” antara lain :
1. Menghasilkan karya dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
berguna untuk pembangunan dan kemanusiaan.
2. Mencegah pelarian Tahanan, Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan;
88
Menurut penjelasan Pasal 34 Ayat (2) huruf-b, yang dimaksud dengan “perbuatan yang
bermanfaat bagi Negara atau kemanusiaan” antara lain : 1. Ikut menanggulangi bencana
alam; 2. Menjadi donor organ tubuh/donor darah yang telah memenuhi ketentuan yang
telah ditetapkan.
89
Menurut penjelasan Pasal 34 Ayat (2) huruf-c, yang dimaksud dengan “melakukan
perbuatan yang membantu kegiatan LAPAS ”adalah pekerjaan yang dilakukan oleh
Narapidana atau Anak Pidana yang diangkat sebagai pemuka kerja oleh Kepala LAPAS.
101
Pasal 35
Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 1999 tentang Tata Syarat dan Tata
terutama terkait dengan Narapidana yang telah melakukan tindak pidana yang
mengakibatkan kerugian yang besar bagi negara atau masyarakat atau korban
yang banyak atau menimbulkan kepanikan, kecemasan atau ketakutan yang luar
Pasal 34
90
Sebagai tindak lanjut Amanat Pasal 35 Undang-Undang Nomor 12 tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan kemudian dibuatlah Keputusan Presiden Nomor 174 tahun 1999 LN
tahun 1999 Nomor 223 tentang REMISI dimana dalam Pasal 1 Ayat (1) Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 174 tahun 1999 tersebut menyatakan bahwa “Setiap
Narapidana dan Anak Pidana yang menjalani pidana penjara sementara dan pidana
kurungan dapat diberikan remisi apabila yang bersaangkutan baik selama menjalani
pidana”.
102
(2) Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Narapidana dan
(3) Bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme,
berikut:
(4) Remisi sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) diberikan kepada Narapidana
Pasal 34 A
(1) Remisi bagi Narapidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Ayat (3)
Pemasyarakatan.
(2) Pemberian Remisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 Ayat (1) ditetapkan
Pasal 35
Bersyarat (PB):
berikut :
lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan
milyar rupiah).
TLN Nomor 3846 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
2012 Nomor 225 TLN Nomor 5359. Alasan perubahan tersebut dimaksudkan
Pasal 34
(2) Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan kepada
(3) Persyaratan berkelakuan baik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a
dibuktikan dengan:
(1) Pemberian Remisi bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak
kejahatan terhadap keamanan negara, kejahatan hak asasi manusia yang berat,
persyaratan:
105
b. telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan
ikrar:
(2) Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana narkotika dan
(3) Kesediaan untuk bekerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
harus dinyatakan secara tertulis dan ditetapkan oleh instansi penegak hukum
Pasal 34 B :
(1) Remisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) diberikan oleh Menteri.
(2) Remisi untuk Narapidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 A ayat (1)
(3) Pertimbangan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh
menteri dan/atau pimpinan lembaga terkait dalam jangka waktu paling lama 12
(dua belas) hari kerja sejak diterimanya permintaan pertimbangan dari Menteri.
Pasal 34 C :
(1) Menteri dapat memberikan Remisi kepada Anak Pidana dan Narapidana selain
(2) Narapidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas Narapidana yang:
(3) Menteri dalam memberikan Remisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
masyarakat.”
107
1. Jenis-Jenis Remisi
Nomor 174 tahun 1999 tentang Remisi disebutkan bahwa remisi terdiri atas :
1. Remisi Umum
2. Remisi khusus
ketentuan jika suatu agama mempunyai lebih dari satu hari besar
keagamaan dalam setahun maka yang dipilih adalah hari besar yang
3. Remisi Tambahan
kemanusiaan ;
Lembaga Pemasyarakatan.
108
4. Remisi Dasawarsa
lainnya.
91
Pasal 1 Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik
Indonesia Nomor M.01.HN.02.01 Tahun 2001
109
anak pidana yang pada saat hari raya keagamaannya berlangsung namun
masa pidana yang telah dijalaninya belum cukup 6 (enam) bulan. Namun
pemberian remisi ini dapat dicabut apabila dalam jangka waktu yang
F.
2. Besaran Remisi
a. Remisi Umum
1999 tentang Remisi mengatur tentang besarnya remisi Umum yang dapat
a. 1 (satu) bulan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani
b. 2 (dua) bulan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani
dalam ayat (1) ; Pada tahun kedua diberikan remisi 3 (tiga) bulan;
5 (lima) bulan;
110
b. Remisi Khusus
a) 15 (lima belas) hari bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah
b) 1 (satu) bulan bagi Narapidana dan Anak Pidana yang telah menjalani
(1) ;
bulan ; dan
d) Pada tahun keenam dan seterusnya diberikan remisi 2 (dua) bulan setiap
tahun.
adalah :
111
1. Hari Raya Idul Fitri bagi Narapidana atau Anak pidana yang beragama
Islam ;
2. Hari Raya Natal bagi Narapidana atau Anak pidana yang beragama
3. Hari Raya Nyepi bagi Narapidana atau Anak pidana yang beragama
Hindu ;
4. Hari Raya Waisak bagi Narapidana atau Anak pidana yang beragama
Budha ;
5. Bagi narapidana dan anak pidaana yang beragama selain tersebut diatas
c. Remisi Tambahan
a) ½ (satu per dua) dari remisi umum yang diperoleh pada tahun yang
b) 1/3 (satu per tiga) dari remisi umum yang diperoleh pada tahun yang
Tambahan Remisi bagi Narapidana yang menjadi Donor Organ Tubuh dan
harus disertai tanda bukti atau surat keterangan sah yang dikeluarkan oleh
rumah sakit yang melaksanakan operasi donor organ tubuh atau oleh
darahnya :
1) 5 kali
2) 10 kali
3) 15 kali
113
1) 20 kali.
2) 25 kali.
3) 30 kali
1) 36 kali
2) 43 kali
3) 50 kali
1) 59 kali
2) 67 kali
3) 75 kali
1) 84 kali
2) 92 kali
3) 100 kali
sebagai dasar untuk menetapkan besarnya remisi yang akan diperoleh oleh
Pasal 7
dengan hari besar keagamaan yang dianut oleh Narapidana dan Anak Pidana
yang bersangkutan.
(3) Dalam hal masa penahanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
92
Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Nomor : M.01.HN.02.01 Tahun
2001
115
(4) Untuk penghitungan sebagaimana dimaksud dalam pasal ini, 1 (satu) bulan
(5) Penghitungan besarnya remisi khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
didasarkan pada agama Narapidana dan Anak Pidana yang pertama kali
khusus bagi Narapidana maupun Anak Pidana yaitu bahwa remisi umum dan
93
Berdasarkan Penjelasan Pasal 41 Ayat (1) huruf-b Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 32 tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak
Warga Binaan Pemasyarakatan yang dimaksud dengan cuti menjelang bebas adalah :
a. Bentuk pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatanyang telah menjalani
2/3 (dua per tiga) masa pidana sekurang-kurangnya telah menjalani 9 (sembilan) bulan
dan berkelakuan baik dengan lama cuti sama dengan remisi terakhir yang diterimanya
paling lambat 6 (enam) bulan;
b. Bentuk pembinaan Anak Negara yang pada saat mencapai usia 17 (tujuh belas) tahun
6 (enam) bulan dan telah dinilai cukup baik.
116
prisonisasi.
3) Sebagai alat modifikasi perilaku dalam proses pembinaan selama di dalam lapas,
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 tahun 1999 akan membawa
1) Pengurangan masa pidana yang akan dijalani oleh narapidana maupun anak
pidana.
umum maupun remisi tambahan, masa pidana yang harus dijalani ternyata
94
Didin Sudirman, Masalah-Masalah Aktual Bidang Pemasyarakatan, Pusat
Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia, Jakarta hlm. 118
95
Dwidja Priyatno, Op.cit hlm. 140
117
mengakibatkan masa pidananya habis, tepat pada saat pemberian remisi yaitu
mengurangi masa pidana dari narapidana yang bersangkutan dan hal ini akan
menjadi pidana sementara waktu 15 (lima belas) tahun dengan syarat antara lain
narapidana tersebut telah menjalani pidana paling sedikit 5 (lima) tahun berturut-
persyaratan umum dan persyaratan khusus yang harus dipenuhi oleh narapidana
korupsi, yaitu berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari 6 bulan,
serta syarat khusus yaitu bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk
membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.
96
Pasal 9 Ayat (1) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 174 tahun
1999 tentang Remisi.
118
Persyaratan khusus yang paling sulit untuk dipenuhi karena harus membayar lunas
denda dan uang pengganti. Besarnya jumlah denda dan uang pengganti menjadi
salah satu alasan mengapa kebanyakan Narapidana korupsi tidak mampu memenuhi
berkelakuan baik, telah menjalani masa pidana lebih dari enam bulan, dan telah
2) Telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan
korupsi
undangan.
174 Tahun 1999 tentang Remisi, Narapidana yang berkelakuan baik ialah
Narapidana yang mentaati peraturan yang berlaku dan tidak dikenakan tindakan
disiplin yang dicatat dalam buku Register F selama kurun waktu yang
119
4) Menjalani penahanan atau pidana sesuai Surat Perintah Penahanan atau Surat
Keputusan Pengadilan.
6) Bekerja.
2) Membawa atau menyimpan atau membuat atau memiliki senjata api dan senjata
lainnya.
6) Melakukan penganiayaan.
BAB IV
PIDANA KORUPSI
ada beberapa hambatan yang dihadapi petugas sub seksi registrasi, baik hambatan
yang berasal dari Narapidana korupsi yang bersangkutan maupun dari proses
pengajuan pemberian remisi kepada Kementrian Hukum dan HAM RI. Hambatan
Medan, yaitu :
Kelas I Medan adalah membayar denda dan uang pengganti sesuai dengan
putusan pengadilan.
orang dan terdapat 42 orang yang tidak mendapatkan remisi diakibatkan tidak
dapat membayar denda dan uang pengganti. Berdasarkan hasil wawancara yang
tidak dapat memenuhi syarat khusus yaitu membayar denda dan uang
bahwa "saya tidak pernah mendapatkan remisi karena saya tidak dapat
membayar denda sebesar Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan uang
pengganti Rp. 100.000.000,-, (seratus juta rupiah) mau dicari kemana uang
telah membayar denda dan uang penggati namun karena tidak mendapatkan
surat justice collaborator maka remisi pun tidak dapat diberikan. Narapidana
dibayarkan denda dan uang pengganti tapi kalo ga dapat surat JC tuh ga bisa
Lamanya proses atau prosedur dari Kementrian Hukum dan HAM RI dalam
telah berhak mendapatkan remisi tetapi karena terhambat surat putusan vonis
Narapidana korupsi harus menunggu sampai surat keluar, sering pula justru
pengajuan remisi bagi Narapidana korupsi tidak dikabulkan. Hal ini jelas
bahwa dirinya menunggu lama dengan ketidak pastian namun akhirnya remisi
mengemukakan hal yang sama, dia mengatakan “lama kali lah pak untuk turun
keluarnya SK baru dibulan Juli 2017, panjang kali prosedurnya sehingga saya
perkembangan”.
I Medan
memperoleh remisi maka tidak ada deskriminasi oleh Petugas untuk tidak
Korupsi.
125
BAB V
A. Kesimpulan
syarat umum berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari 6 bulan.
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara
b. Telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan
korupsi
undangan.
persyaratan khusus pemberian Remisi, maka petugas sub seksi registrasi akan
tersebut. Hal itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
orang yang tidak/ belum pernah mendapatkan remisi berjumlah 42 orang sehingga
hanya 26 orang yang pernah mendapatkan remisi. Alasan tidak terpenuhinya syarat
khusus seperti membayar denda dan uang pengganti serta tidak mendapatkan surat
Justice Collaborator menjadi alasan utama narapidana tindak pidana korupsi tidak
membayar denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan. Oleh
karena itu dari 68 Narapidana korupsi hanya 26 orang yang mampu memenuhi
persyaratan khusus agar Petugas sub seksi registrasi dapat mengusulkan pemberian
yang jelas antara Petugas sub seksi registrasi Lapas Kelas I Medan dengan
127
Kementerian Hukum dan HAM RI agar tidak terlalu lama mengeluarkan Surat
B. Saran
berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana 6 bulan, hendaknya juga
bagi Narapidana Korupsi tidak memakan waktu yang lama, sehingga tidak