Tinea Corporis
Oleh :
Preseptor :
i
DAFTAR ISI
Daftar Isi.................................................................................................. i
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Batasan Masalah................................................................................ 2
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................... 2
1.4 Metode Penulisan .............................................................................. 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................ 3
2.1 Definisi.............................................................................................. 3
2.2 Epidemiologi ..................................................................................... 3
2.3 Etiologi.............................................................................................. 4
2.4 Patogenesis........................................................................................ 4
2.5 Manifestasi Klinis ............................................................................. 6
2.6 Reaksi Kusta...................................................................................... 11
2.7 Diagnosis........................................................................................... 12
2.8 Pemeriksaan Penunjang .................................................................... 18
2.9 Penatalaksanaan ................................................................................ 21
2.10 Pencegahan Kecacatan .................................................................... 25
2.11Prognosis ……………………………………………………….. ... 26
BAB 3 LAPORAN KASUS .................................................................. 27
3.1 Identitas Pasien.................................................................................. 27
3.2 Anamnesis ......................................................................................... 27
3.3 Pemeriksaan Fisik ............................................................................. 30
3.4 Resume.............................................................................................. 35
3.5 Diagnosis Keja .................................................................................. 36
3.6 Diagnosis Banding ............................................................................ 36
3.7 Pemeriksaan Rutin ............................................................................ 36
3.8 Pemeriksaan Anjuran ........................................................................ 38
3.9 Diagnosis........................................................................................... 38
3.10 Tatalaksana...................................................................................... 38
3.11 Prognosis ......................................................................................... 39
BAB 4 DISKUSI .................................................................................... 41
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 44
i
BAB 1
PENDAHULUAN
1
Morbus Hansen adalah penyakit yang ditakuti karena dapat menyebabkan
ulserasi, multilasi, dan deformitas. Kerusaan saraf yang terjadi dapat bersifat
irreversibel di wajah dan ekstremitas, motorik dan sensorik. Sehingga diperlukan
pengetahuan mengenai etiologi, patogenesis, diagnosis, dan pengobatan penyakit
tersebut.2
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
3
periode 2008 – 2013 di Indonesia, angka penemuan kasus baru kusta pada tahun
2013 merupakan yang terendah yaitu sebesar 6,79 per 100.00 penduduk dengan
prevalensi berkisar 0,79-0,96 per 10.000 penduduk.3 Indonesia merupakan negara
yang menjadi salah satu dari 22 negara yang menjadi prioritas global dalam 10
tahun terakhir.
Status kusta di Indonesia tahun 2000 adalah eliminasi, dimana terdapat <1
kasus per 10.000 penduduk. Angka prevalensi kusta tahun 2017 merupakan
angka terendah dalam 5 tahun terakhir yaitu sebesar 0,70 kasus/10.000 penduduk
(Gambar 1.1). Jumlah kasus kusta yang tercatat permulaan tahun 2009 adalah
21.538 orang. Menurut data Departemen Kesehatan, dalam tahun 2015-2017
jumlah penderita baru kusta tidak mengalami perubahan signifikan.2-5
2.3. Etiologi
Penyebab morbus Hansen adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan
oleh G.A Hansen tahun 1874 di Norwegia. M.leprae berupa batang lurus dengan
panjang sekitar 1 sampai 8 μm dan diameter 0,3 μm.5 Kuman ini merupakan basil
gram positif yang tahan asam dan alkohol.2
4
2.4. Patofisiologi
M.leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala
yang lebih berat, ataupun sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi
dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda,
sehingga mempengaruhi timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh
yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu, penyakit kusta dapat
disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan
tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya.1,2
Masuknya kuman penyebab kusta yang dikenal dengan M.leprae sampai
sekarang masih belum diketahui secara pasti. Beberapa penelitian telah
memperlihatkan M.leprae masuk kedalam tubuh paling sering melalui kulit
terutama kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan juga melalui
mukosa nasal. Adanya kuman didalam tubuh akan menyebabkan terjadinya suatu
reaksi antara tubuh dengan kuman penyebab dengan mengeluarkan makrofag
untuk melakukan proses fagositosis.7,8
M.leprae memiliki sel target untuk pertumbuhannya yaitu sel Schwann,
disamping itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit
fungsinya sebagai fagositosis. Apabila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel
Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Sehingga kondisi ini
menyebabkan aktifitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang
progresif.7 Gejala klinis klinis yang timbul akibat terinfeksi M.lepraebergantung
dari respon tubuh terhadap mikroorganisme tersebut. Jika imunitas seluler orang
tersebut bagus dan kuat, maka gejala klinis yang terjadi adalah MH tipe
tuberkuloid. Apabila imunitas selulernya lemah, maka gejala klinisnya adalah MH
tipe lepramatosa.7
a. Patogenesis MH tipe tuberkuloid
MH tipe TT, memilik fungsi sistem imunitas seluler yang tinggi, sehingga
makrofag sanggup menghancurkan kuman melalui proses fagositosis. Setelah
semua kuman difagositosis, makrofag berubah menjadi sel epiteloid yang tidak
bergerak aktif dan terkadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Apabila
5
kondisi infeksi ini tidak segera diatasi maka akan menimbulkan kerusakan saraf
dan jaringan sekitarnya akibat reaksi berlebihan dan masa epiteloid.7
Kuman masuk ke dalam tubuh melalui kontak langsung dengan kulit
penderita atau melalui inhalasi, kemudian masuk melalui pembuluh limfe dan
darah kemudian mencapai target dari basal antara lain :7
1. Sel Schwann saraf tepi
2. Sel endotel pembuluh darah
3. Sel pericytes pembuluh darah
4. Sel monosit dan makrofag
Imunitas seluler seseorang pada MH tipe TT menjadi kompenen cukup
penting dalam mengatasi kuman. Imunitas seluler yang tinggi ditandai dengan uji
lepromin yang positif. Hal ini dapat mengakibatkan dalam waktu yang singkat sel-
sel radang akan berkumpul ke sekitar makrofag atau sel Schwann. Tujuan sel
radang tersebut adalah memfagosit kuman-kuman dan mengaktifkan makrofag
untuk menghancurkan kuman M.leprae. Efek samping dari peradangan tersebut
akan menyebabkan penekanan pada saraf sehingga proses anestesinya terjadi lebih
cepat dan berat.7
Peradangan terjadi hanya disekitar sel Schwann yang terbatas pada saraf
kulit saja, tidak masuk ke pembuluh darah. Hal ini menyebabkan lesi hanya
sedikit dan asimetris, dengan batas tegas karena dibatasi oleh sel radang, kelenjar
ekrin dan pilosebaseus akan tertekan sehingga menyebabkan keringat berkurang,
kulit kering dan rambut kulit tidak ada.7
6
Makrofag yang tidak mampu melakukan proses fagositosis berubah
menjadi sel Virchow atau Foam cell yang mengandung banyak kuman basil
sehingga apabila kondisi ini terus berlanjut maka kuman basil yang banyak akan
menyebabkan pecahnya Foam cell sehingga kuman basil akan keluar kemudian di
tangkap oleh sel Schwann yang lain sehingga terjadi penyebaran sesuai dengan
jaras saraf tepi. Kemudian kuman basil akan masuk kedalam aliran darah dan
menimbulkan lesi pada kulit dengan jumlah banyak, simteris, batas tegas, dengan
anestesi yang lama terjadi.6,7
7
Adapun klasifikasi yang banyak dipakai adalah klasifikasi menurut Ridley
dan Jopling yang mengelompokan penyakit MH menjadi 5 kelompok berdasarkan
gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis, dan imunologis.2
1. Tipe Tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau
beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah
dapat ditemukan lesi yang regrasi atau central healing. Permukaan lesi dapat
bersisik dengan tepi yang meninggi bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis
atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba,
kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak
adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat
terhadap kuman MH.9
2. Tipe Boderline Tuberkuloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak yang
sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi
hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe tuberkuloid.
Gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya asimetris. Lesi satelit
biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.9
3. Tipe Mid Borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe penyakit MH.
Merupakan bentuk dimorfik. Lesi dapat berupa makula infiltratif, permukaan lesi
dapat berkilap, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe BT
dan cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi baik dalam ukuran, bentuk, ataupun
distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe
ini.9
4. Tipe Borderline Lepromatous (BL)
Lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit dan
dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi
bentuknya. Papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir
simetris dan beberapa nodus tampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian
tengah sering tampak normal dengan bagian pinggir dalam infiltrat lebih jelas
dibandingkan dengan pingir luarnya, dan beberapa plak tampak seperti punched
8
out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa kerusakan sensasi, hipopigmentasi,
berkurangnya keringat, dan hilangnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan
dengan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada tempat-tempat penebalan saraf.
5. Tipe Lepromatosa (LL)
Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa,
berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan
anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu,
cuping telinga, sedangkan di badan mengenai bagian yang dingin seperti lengan,
punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut
terdapat penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka
menjadi kasar, dan cekung membentuk facies leonina yang dapat disertai dengan
madarosis, iritis, keratitis. Lebih lanjut dapat terjadi deformitas hidung.8
Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang selanjutnya dapat
terjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and
glove anaesthesia. Bila menjadi progresif, muncul makula dan papula baru
sedangkan lesi lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-
serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan
anestesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.1,8
9
Gambar 2.2 Soliter, anestesi dan lesi anular pada tuberkuloid polar leprosy,
yang telah ada sejak 3 bulan. Tepi yang tajam, dan eritem. Pinprick perception
pada sentral lesi tidak ada. Sentral lesi lebih hipopigmentasi jika dibandingkan
dengan kulit sekitarnya yang normal.6
10
Tabel 2.2 Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta Pausibasiler2
Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan dimasukkan
kedalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB,
BL dan LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus di obati
dengan regimen MDT-TB.2
11
Tabel 2.4 Klasifikasi Klinis Kusta Berdasarkan WHO 19952
PB MB
1.Lesi kulit (makula 1-5 lesi > 5 lesi
yang datar, papul Hipopigmentasi/eritema
yang meninggi, infiltrat, Distribusi tidak simetris Distribusi simetris
plak eritem, nodus)
2.Kerusakan Hilangnya sensasi Hilangnya
saraf yang jelas sensas
(menyebabkan hilangnya Hanya satu cabang saraf i kurang jelas
sensasi/kelemahan otot Banyak
yang dipersarafi oleh saraf caban
yang terkena) g saraf
12
atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru yang
relatif singkat, artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi makula menjadi
infiltrat, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah luas.2
Reaksi ENL dan reversal secara klinis, ENL dengan lesi eritema nodusum
sedangan reversal tanpa nodusm sehingga disebut reaksi lepra nodular, sedangkan
reaksi reversal adalah reaksi non nodular. Hal ini penting membantu menegakkan
diagnosis atas dasar leso ada atau tidaknya nodus. Kalau ada berarti reaksi non
nodular atau reaksi reversal atau reaksi borderline.2
2.7. Diagnosis
Diagnosa pasien kusta dapat ditegakkan berdasarkan pada penemuan tanda
kardinal (minimal 1 tanda kardinal) yaitu1,2,8:
1. Bercak kulit yang mati rasa
Ditemukannya bercak kulit yang hipopigmentasi atau eritematosa,mendatar
atau meninggi.
2. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf
yang terkena:
a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa/rasa berkurang
b. Gangguan fungsi motorik
Adanya pembesaran saraf perifer yang diketahui dengan cara
palpasi bisanya mengindikasikan adanya kelainan fungsi saraf yang
bersangkutan. Untuk itu perlu untuk melakukan voluntary muscle test.
Saraf perifer yang diperiksa antara lain : n. fasialis, n. aurikularis
magnus, n. radialis, n. ulnaris, n. medianus, n. poplitea lateralis, dan n.
tibialis posterior. Pada pemeriksaan akan dinilai hal-hal sebagai berikut:
• Bandingkan saraf bagian kiri dan kanan
• Ada pembesaran saraf atau tidak
• Bentuk pembesaran regular (smooth) atau irregular,bergumpal
• Perabaan keras atau kenyal
• Nyeri atau tidak
c. Gangguan fungsi otonom kulit kering,edema, pertumbuhan rambut
terganggu.
3. Adanya basil tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (slit skin smear).
13
Lokasi pengambilan kerokan jaringan kulit adalah kulit cuping
telinga dan lesi kulit pada bagian yang aktif. Bahan kadang-kadang
diperoleh dari biopsi kulit atau saraf.
Untuk menegakkan diagnosis kusta, setidaknya ditemukan satu
tanda kardinal, bila tidak maka kita hanya dapat mengatakan tersangka
kusta dan perlu diperhatikan klinisnya dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan
sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan, dibuat sediaan
mikrokopis pada gelas alas dan diwarnai dengan pewarnaan Ziehl
Neelsen.1,2,8,9 Bila ditemukan tanda cardinal di atas maka pasien adalah
tersangka kusta,observasi dan periksa ulang setelah 3-6 bulan.9
14
c. Pemeriksaan saraf (nervus )
Peroneus, dan tibialis posterior, namun pemeriksaan yang sering diutamakan
pada saraf ulnaris, peroneus, tibialis posterior, pada umumnya cacat kusta
mengikuti kerusakan pada saraf-saraf utama.2,9
15
memeriksa saraf tibialis kiri dan tangan kanan pemeriksa memeriksa
saraf tibialis posteior kanan pasien )
3. Dengan tekanan ringan saraf tersebut digulirkan sambil melihat mimik
/ reaksi dari penderita. 1,9
16
e. Penderita diminta tutup mata atau menoleh kearah berlawanan dari
tangan yang diperiksa.
f. Penderita diminta menunjuk tempat yang terasa disentuh .
g. Usahakan pemeriksaan titik tersebut acak dan tidak berurutan
h. Penyimpangan letak titik yang bisa diterima < 1,5 cm. 1,9
17
b. Saraf Medianus (Kekuatan Otot Ibu Jari )
- Tangan kanan pemeriksa memegang jari telunjuk sampai
kelingking tangan kanan penderita agar telapak tangan penderita
menghadap keatas,dan dalam posisi ekstensi .
- Ibu jari penderita ditegakkan keatas sehingga tegak lurus terhadap
telapak tangan penderita (seakan-akan menunjuk kearah hidung)
dan penderita diminta untuk mempertahankan posisi tersebut.
- Jari telunjuk pemeriksa menekan pangkal ibu jari yaitu dari bagian
batas antara punggung dengan telapak mendekati telapak
tangan.1,9
Penilaian :
- Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat .
- Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti sudah lemah .
- Bila tidak ada gerakan berarti lumpuh.1,9
c. Saraf Radialis ( Kekuatan otot Pergelangan tangan ).
- Tangan kiri pemeriksa memegang punggung lengan bawah tangan
kanan penderita .
- Penderita diminta menggerakkan pergelangan tangan yang
terkepal keatas (ektensi ).
- Penderita diminta bertahan pada posisi ektensi ( keatas) lalu
dengan tangan kanan pemeriksa menekan tangan penderita
kebawah kearah fleksi.1,9
Penilaian :
- Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat .
- Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah .
- Bila tidak ada gerakan dan tahanan berarti lumpuh ( pergelangan
tangan tidak bisa digerakkan keatas).1,9
3. Kaki
a) Fungsi Rasa Raba (Saraf Tibialis Posterior )
- Kaki kanan penderita diletakan pada paha kiri, usahakan telapak kaki
menghadap keatas .
- Tangan kiri pemeriksa menyangga ujung jari kaki penderita .
18
- Cara pemeriksaan sama seperti pada rasa raba tangan.
- Pada daerah yang menebal sedikit menekan dengan cekungan
berdiameter 1cm.
- Jarak penyimpangan yang bisa diterima maksimal 2,5 cm. 1,9
b) Fungsi Motorik: Saraf Peroneus (Saraf Poplitea Lateralis )
- Dalam keadaan duduk ,penderita diminta mengangkat ujung kaki
dengan tumit tetap terletak dilantai / ektensi maksimal (seperti berjalan
dengan tumit).
- Penderita diminta bertahan pada posisi ekstensi tersebut lalu pemeriksa
dengan kedua tangan menekan punggung kaki penderita kebawah
/lantai. 1,9
Keterangan:
- Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti kuat.
- Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah .
- Bila tidak ada gerakan dan tahanan lumpuh (ujung kaki tidak bisa
ditegakkan keatas). 1,9
19
Tabel 2.5 Kepadatan BTA1,2
0 BTA -
1 – 10/ 100 LP +1
1 – 10/ 10 LP +2
1 – 10/ 1 LP +3
10 – 100/ 1 LP +4
100 – 1000/ 1 LP +5
> 1000/ 1 LP +6
Syarat perhitungan:
a. Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA
b. IB 1+ tidak perlu dibuat IM-nya, karena untuk medapat 100 BTA harus
mencari dalam 1000 sampai 10.000 lapangan
c. Mulai dari IB 3+ harus dihitung IM-nya, sebab dengan IB 3+ maksimum
harus dicari dalam 100 lapangan.1,2
b. Pemeriksaan Histopatologik
Granuloma adalah akumulasi makrofag atau derivat-derivatnya. Gambaran
histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih
nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan bersifat non solid. Pada tipe
lepromatosa terdapat zona sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu
suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik.
Didapati sel Virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline, terdapat
campuran unsur-unsur tersebut.2
20
Tabel 2.6 Karakteristik histologis berbagai tipe kusta menurut Ridley-Jopling.2
Tipe
TT BT BB BL LL
TT Ti BT BB BL Li LL
Reaksi lepromin 3+ 2+ 1+ - - - -
Stabilitas imunologik ++ + ± - ± + ++
Reaksi borderline - ± + ++ + ± -
Eritema - - - - - + +
nodusu
m leprosum
Basil dalam hidung - - - - + ++ ++
Basil dalam granuloma 0 0-1+ 1-3+ 3-4+ 4-5+ 5-6+ 5-6+
Sel epiteloid + + + + - - -
Sel datia langhans +++ ++ + + - - -
Globi - - - - - + +
Sel busa (sel Virchow) - - - - + ++ +++
Limfosit +++ +++ ++ + + +/± ±
Infiltrasi zona + + +/- - - - --
sub
epidermal
Kerusakan saraf ++ +++ ++ + ± + -
c. Pemeriksaan Serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada
tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat
bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1
(PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan antibodi tidak
spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan
oleh kuman M. tuberculosis.2
Kegunaan pemeriksaan serologik ini adalah dapat membantu diagnosis
kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.
Disamping itu dapat membantu menentukan kusta subklinis karena tidak didapati
lesi kulit, misalnya pada narakontak serumah.2
Macam-macam pemeriksaan serologik kusta adalah uji MLPA
21
(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA (Enzyme Linked
Immunosorbent Assay) dan uji ML dipstick (Mycobacterium Leprae Dipstick).2
2.9. Penatalaksaan
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS
(diaminodifenil sulfon) kemudian klofazimin dan rifampisin. Untuk mencegah
resistensi , pengobatan tuberkulosis telah menggunakan multidrug treatment
(MDT) sejak tahun 1951, sedangkan untuk kusta baru di mulai pada tahun 1971.2
22
c. Pindahan (pindah masuk)
d. Ganti klasifikasi/tipe
Keterangan:
Dewasa
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum diminum didepan petugas)
2 kapsul rifampisin @ 300mg (600 mg)
1 tablet dapson/DDS 100mg
Pengobatan harian: hari ke 2-28
1 tablet dapson/DDS100 mg
23
Tabel 2.8 Pengobatan Morbus Hansen Multibasiler.8,9
Jenis Obat <5 th 5-9 th 10-15 th >15 th Keterangan
Minu
Rifampisin 300 mg/bln 450 mg/bln 600 mg/bln m
didepa
n
petuga
s
Minum
25 mg/bln 50 mg/bln 100 mg/bln didepa
Dapson Berdasarka n
n berat petugas
badan 25 mg/bln 50 mg/bln 100 mg/bln Minum
dirumah
Minum
100 mg/bln 150 mg/bln 300 mg/bln didepa
Lampren n
petugas
50 mg 2x 50 mg 50 mg Minum
seminggu setiap 2 hari perhari dirumah
Keterangan:
a. Dewasa
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum didepan petugas)
o 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg)
o 3 tablet lampren @ 100mg (300 mg)
o 1 tablet dapson/DDS 100 mg
Pengobatan harian: hari ke 2-28
o 1 tablet lampren50 mg
o 1 tablet dapson/DDS 100 mg8,9
b. Dosis MDT MB untuk anak (10-14 tahun)
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminumdi depan petugas)
24
o 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
o 3 tablet lampren @ 50 mg (150 mg)
o 1 tablet dapson/DDS 50 mg
Pengobatan harian: hari ke 2-28
o 1 tablet lampren 50 mg selang sehari
o 1 tablet dapson/DDS 50 mg8,9
Pada reaksi reversal perlu diperhatikan, apakah reaksi disertai neuritis atau tidak.
Sebab kalau tanpa neuritis akut tidak perlu diberikan pengobatan tambahan. Kalau
ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya
disesuaikan dengan berat ringannya neuritis. Biasanya diberikan prednison 40-60
mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-perlahan. Anggota gerak yang terkena
neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedatif kalau diperlukan dapat
diberikan, klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif.2
Cara pemberian kortikosteroid :9
Dimulai dengan dosis tinggi atau sedang
Gunakan prednison atau prednisolon
Gunakan sebagai dosis tunggal pagi hari
25
Dosis diturunkan setelah terjadi respon maksimal
Dosis dapat dimulai antara 40-80 mg prednison/ hari dan diturunkan 5-10 mg/ 2 minggu
26
dan lagoftalmos.1,2
2.11. Prognosis
Pada penderita yang tidak diberi pengobatan maka pasien dapat sembuh sendirinya yaitu
pada tipe TT atau pasien BT yang beralih ke TT. Di lain hal penyakit ini dapat menjadi
progresif dengan kejadian morbiditas pada kerusakan saraf dan reaksi kusta.1,2
27
BAB 3
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Ani
Umur : 48 tahun
Jenis Kelamin : Wanita
Nomor RM : 01.06.01.99
Pekerjaan : PNS (kantor walikota)
Pendidikan :
Alamat : Jl. Ratulangi No. 5
Status : Menikah
Agama : Islam
Suku : Minang
Negeri Asal : Indonesia
ANAMNESIS
Seorang pasien perempuan berusia 48 tahun datang ke poliklinik kulit dan
kelamin RS Naili DBS Padang pada tanggal 5 September 2019, dengan :
Keluhan Utama
Bercak – bercak merah yang terasa gatal dan meluas pada darerah perut,
pinggang, dan punggung sejak 2 minggu yang lalu.
28
- Pasien memiliki hewan peliharaan di rumah yaitu kucing yang bulunya rontok
dan pasien sering berinteraksi dengan kucing tersebut.
- Pasien tidak memiliki kebiasaan berkebun.
- Pasien belum pernah berobat sebelumnya dengan keluhannya yang sekarang.
- Pasien tidak sedang mengkonsumsi obat kortikosteroid.
Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah berobat dengan keluhannya yang sekarang.
29
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalisata
Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan
Kesadaran : Komposmentis Kooperatif
Nadi : 96x /menit
Napas : 18x /menit
Berat Badan : 47 kg
Tinggi badan : 159 cm
IMT : 18,59 kg/m2
Status gizi : Normoweight
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,
lagoftalmus (-), eksoftalmus (-), visus tidak dilakukan
KGB : Tidak ada pembesaran
Pemeriksaan thorak : Dalam batas normal
Pemeriksaan abdomen : Dalam batas normal
Ekstremitas : CRT < 2s, edema (-/-)
Status Dermatologikus
Lokasi : Perut, pinggang kiri, punggung sebelah kiri, paha
kiri atas bagian luar
Distribusi : Terlokalisir
Bentuk : Tidak khas
Susunan : Polisiklik
Batas : Tegas
Ukuran : Plakat
Effloresensi : Makula eritematosa dengan tepi lebih aktif yang
terdiri dari papul eritem dan krusta serta skuama
diatasnya, bagian tengah terdapat central healing
30
Gambar 3.1 Lesi pada pinggang, punggung, dan paha kiri atas sebelah luar
31
Resume
Seorang perempuan berusia 48 tahun datang dengan keluhan bercak –
bercak merah yang terasa gatal dan meluas pada darerah perut, pinggang, dan
punggung sejak 2 minggu yang lalu. Awalnya 2 minggu yang lalu muncul bercak
merah sebesar uang logam di perut pasien. Bercak tersebut lama kelamaan
bertambah lebar dan meluas ke pinggang dan punggung. Bercak – bercak
kemerahan tersebut terasa sangat gatal terutama bila berkeringat dan udara panas.
Pasien tidak mengalami demam, malaise, dan nyeri sendi. Pasien sering
memakai pakaian yang tebal dan berlapis. Pasien mandi sekali sehari dan jarang
mengganti pakaian setelah beraktivitas di luar rumah. Pasien menggunakan
handuk bersama dengan suaminya. Pasien memiliki hewan peliharaan di rumah
yaitu kucing yang bulunya rontok dan pasien sering berinteraksi dengan kucing
tersebut. Pasien tidak memiliki kebiasaan berkebun. Pasien belum pernah berobat
sebelumnya dengan keluhannya yang sekarang. Pasien tidak sedang
mengkonsumsi obat kortikosteroid.
Pemeriksaan status dermatologikus ditemukan makula eritematosa dengan
tepi lebih aktif yang terdiri dari papul eritem dan krusta serta skuama diatasnya,
bagian tengah terdapat central healing pada perut, pinggang kiri, punggung sebelah
kiri, paha kiri atas bagian luar. Distribusi terlokalisir, bentuk tidak khas, susunan
polisiklik, batas tegas, dan ukuran plakat
DIAGNOSIS KERJA
Suspek Tinea Corporis
DIAGNOSIS BANDING
Psoriasis Rosea
PEMERIKSAAN RUTIN
Pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH : tampak hifa bersepta dan bercabang tanpa
penyempitan, hifa panjang dan artrospora
PEMERIKSAAN ANJURAN
Tidak ada
32
DIAGNOSIS
Tinea Corporis
TATALAKSANA
Terapi Umum :
- Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakitnya disebabkan oleh infeksi
jamur yang mudah tumbuh di daerah yang lembab
- Menyarankan kepada pasien untuk menggunakan pakaian yang lebih tipis
dan tidak berlapis serta bahan yang mudah menyerap keringat
- Menyarankan kepada pasien untuk menjaga kebersihan dengan mandi 2x
sehari dan berganti pakaian jika banyak berkeringat
- Menyarankan kepada pasien untuk tidak lagi menggunakan handuk
bersama
- Menyarankan kepada pasien untuk mengobati hewan peliharaan yang
bulunya rontok
- Memberitahukan kepada pasien untuk mengontrol penyakit DM nya ke
dokter dan mengkonsumsi obat teratur
Terapi Khusus :
- Antifungal topikal : Ketokonazol krim 2% yang diberikan hingga lesi hilang
dan dilanjurkan 1-2 minggu kemudian untuk mencegah rekurensi
- Griseofulvin tablet dengan dosis 500 mg/ hari yang diberikan 1x sehari
selama 10-14 hari
- Loratadine tablet 10 mg, dosis 1 x sehari
PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Bonam
Quo ad Sanam : Dubia ad Bonam
Quo ad Functionam : Bonam
Quo ad kosmetikum : Bonam
33
RESEP
PRAKTIK UMUM
dr. Annisa Rian
SIP. 212/09/2019
Praktik Senin-Jumat 14.00-16.00
Jalan Perintis Kemerdekaan
Padang Telp. 0751-377727
34
BAB 4
DISKUSI
35
gangguan fungsi saraf.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan lesi dengan lokasi di dahi, pipi kiri dan
kanan, dagu, lengan kiri, tungkai bawah kiri, kaki kanan dan kiri, distribusi
terlokalisir, bentuk dan susunan tidak khas, batas tidak tegas, ukuran lentikular
sampai plakat, effloresensi plak eritem disertai infiltrat, makula eritem, makula
hipopigmentasi, xerosis kutis. Didapatkan adanya madarosis dan xerosis kutis
disebabkan oleh infiltrasi granuloma kedalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar
keringat, kelenjar sebasea dan folikel rambut. Didapatkan lesi lebih dari 5, hilangnya
sensasi yang jelas pada kelingking tangan kanan, terdapat pembesaran dan nyeri pada
nervus ulnaris kanan, dan pada pemeriksaan BTA didapatkan hasil yang negatif
.Berdasarkan tanda-tanda klinis tersebut banyak klasifikasi tanda utama mengarah ke
kusta tipe Pausibasiler (PB) namun dikarenakan jumlah lesi lebih dari 5 yang mana
adalah tanda utama untuk kusta tipe Multibasiler (MB) dan menurut Pedoman
Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta Kemenkes RI jika ditemukan salah
satu tanda utama MB ditemukan, maka pasien diklasifikasikan sebagai kusta MB.
Namun untuk diagnosis pasti dianjurkan dilakukan pemeriksaan penunjang secara
histologi.
Terapi umum yang diberikan adalah menjelaskan tentang penyebab penyakit
kusta, penularan, pengobatan dan pencegahan kecacatan, menjelaskan lama
pengobatan penyakit kusta, memberikan edukasi anggota keluarga yang serumah
agar diperiksa karena kusta dapat muncul tanpa gejala klinis yang jelas. Terapi
khusus yang diberikan berupa MDT-MB hari pertama 2 kapsul rifampisin 300mg
(600mg), 3 tablet Clofazimine 100mg (300 mg). Pengobatan harian berupa tablet
Clofazimine 50 mg 1x1 tablet sehari, tablet dapson/DDS 100mg 1x1 tablet sehari.
Untuk mencegah resistensi, pengobatan morbus hansen telah menggunakan
multidrug treatment (MDT). Selain untuk mencegah resistensi, MDT digunakan
sebagai usaha untuk memperpendek masa pengobatan.
Untuk prognosis kesembuhan dan kehidupan pada pasien ini adalah bonam
selama pasien dapat berobat dan kontrol teratur, prognosis kosmetik adalah dubia
ad bonam karena lesi tidak luas dan warna lesi menyerupai warna kulit, sedangkan
prognosis fungsi adalah dubia ad malam karena sudah terdapat anestesi.
36
DAFTAR PUSTAKA
37
38
39