Anda di halaman 1dari 41

Case Report Session

Tinea Corporis

Oleh :

Annisa Pratiwi 1940312063


Muhammad Cesarea K 1940312069

Preseptor :

Dr. dr. Qaira Anum, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV


dr. Tutty Ariani, Sp.DV

BAGIAN ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


RUMAH SAKIT UMUM PUSAT DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2019

i
DAFTAR ISI

Daftar Isi.................................................................................................. i
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................. 1
1.2 Batasan Masalah................................................................................ 2
1.3 Tujuan Penulisan............................................................................... 2
1.4 Metode Penulisan .............................................................................. 2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA............................................................ 3
2.1 Definisi.............................................................................................. 3
2.2 Epidemiologi ..................................................................................... 3
2.3 Etiologi.............................................................................................. 4
2.4 Patogenesis........................................................................................ 4
2.5 Manifestasi Klinis ............................................................................. 6
2.6 Reaksi Kusta...................................................................................... 11
2.7 Diagnosis........................................................................................... 12
2.8 Pemeriksaan Penunjang .................................................................... 18
2.9 Penatalaksanaan ................................................................................ 21
2.10 Pencegahan Kecacatan .................................................................... 25
2.11Prognosis ……………………………………………………….. ... 26
BAB 3 LAPORAN KASUS .................................................................. 27
3.1 Identitas Pasien.................................................................................. 27
3.2 Anamnesis ......................................................................................... 27
3.3 Pemeriksaan Fisik ............................................................................. 30
3.4 Resume.............................................................................................. 35
3.5 Diagnosis Keja .................................................................................. 36
3.6 Diagnosis Banding ............................................................................ 36
3.7 Pemeriksaan Rutin ............................................................................ 36
3.8 Pemeriksaan Anjuran ........................................................................ 38
3.9 Diagnosis........................................................................................... 38
3.10 Tatalaksana...................................................................................... 38
3.11 Prognosis ......................................................................................... 39
BAB 4 DISKUSI .................................................................................... 41
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 44
i
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Penyakit kusta atau dikenal juga dengan nama lepra dan Morbus Hansen
merupakan penyakit yang telah menjangkit manusia sejak lebih dari 4000 tahun
yang lalu. Kata lepra merupakan terjemahan dari bahasa Hebrew, zaraath, yang
sebenarnya mencakup beberapa penyakit kulit lainnya. Kusta juga dikenal dengan
istilah kusta yang berasal dari bahasa India, kushtha. Nama Morbus Hansen ini
sesuai dengan nama yang menemukan kuman, yaitu Dr. Gerhard Armauwer
Hansen pada tahun 1874.1
Morbus Hansen (MH) merupakan penyakit infeksi kronik granulomatosa
yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat.
Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius
bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.2 Jumlah
kasus kusta yang tercatat WHO pada tahun 2014 di dunia sebanyak 213.899 orang
pasien baru. Kemudian pada tahun 2015 jumlah penderita kusta baru tercatat
sebanyak 210.578 orang.4,5
Status kusta di Indonesia tahun 2000 adalah eliminasi, dimana terdapat <1
kasus per 10.000 penduduk. Angka prevaensi kusta tahun 2017 merupakan angka
terendah dalam 5 tahun terakhir yaitu sebesar 0,70 kasus/10.000 penduduk.
Jumlah kasus kusta yang tercatat permulaan tahun 2009 adalah 21.538 orang.
Menurut data Depkes, pada tahun 2013 Sumatera Barat merupakan provinsi
dengan peringkat ke-19.2-5
Untuk menegakkan diagnosis kusta, setidaknya ditemukan satu tanda
kardinal, yaitu bercak kulit yang mati rasa, penebalan saraf tepi, dan adanya basil
tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (slit skin smear). Obat antikusta
yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS (diaminodifenil sulfon)
kemudian klofazimin dan rifampisin. Untuk mencegah resistensi, pengobatan
tuberkulosis telah menggunakan multidrug treatment (MDT) sejak tahun 1951,
sedangkan untuk kusta baru di mulai pada tahun 1971.2,3

1
Morbus Hansen adalah penyakit yang ditakuti karena dapat menyebabkan
ulserasi, multilasi, dan deformitas. Kerusaan saraf yang terjadi dapat bersifat
irreversibel di wajah dan ekstremitas, motorik dan sensorik. Sehingga diperlukan
pengetahuan mengenai etiologi, patogenesis, diagnosis, dan pengobatan penyakit
tersebut.2

1.2. Batasan Masalah


Penulisan case report session ini membahas tentang definisi, epidemiologi,
etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, penatatalaksanaan,
komplikasi dan prognosis morbus Hansen.

1.3. Tujuan Penulisan


Penulisan case report session ini bertujuan untuk mengetahui dan
memahami mengenai morbus Hansen.

1.4. Metode Penulisan


Penulisan case report session ini disusun berdasarkan studi kepustakaan
yang merujuk kepada berbagai literatur.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi Morbus Hansen


Morbus Hansen atau dengan nama lain kusta atau lepra adalah penyakit
infeksi kronik yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae yang bersifat
intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa
traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan
saraf pusat.2

2.2. Epidemiologi Morbus Hansen


Penyebaran penyakit kusta dari suatu tempat ke tempat lain sampai tersebar
diseluruh dunia disebabkan oleh perpindahan penduduk yang terinfeksi penyakit
tersebut. Di Indonesia penderita anak-anak dibawah umur 14 tahun didapatkan
kurang lebih 13%, tetapi jarang pada anak dibawah umur 1 tahun. Frekuensi
tertinggi terdapat pada kelompok umur 23-35 tahun.2
Kusta terdapat diseluruh dunia terutama Asia, Afrika, Amerika latin daerah
tropis dan subtropis serta sosial ekonominya rendah.2 Kusta terdapat di 120 negara
di seluruh dunia, terutama di daerah tropis dan subtropis dengan hotspot diAfrika
Tengah, sebagian Asia dan Brasil.2 Jumlah kasus kusta diseluruh dunia selama 12
tahun terakhir ini menurun disebagian besar negara atau daerah endemis. Kasus
yang terdaftar pada permulaan tahun 2009 tercatat 213.036 penderita yang berasal
dari 121 negara sedangkan jumlah kasus baru tahun 2008 tercatat 249.007.
Berdasarkan Global Leprosy Update tahun 2017 yang dikeluarkan oleh
WHO, didapatkan bahwa jumlah pasien baru yang di diagnosis kusta sebanyak
192.713 orang yang tersebar di 150 negara. Persebaran terbanyak pasien kusta
baru diketahui berada di daerah Asia Tenggara (119.055 kasus), kemudian disusul
dengan Amerika (31.527 kasus), Afrika (30.654 kasus), Pasifik Barat (7.040
kasus), Timur Tengah (4.0405 kasus), dan Eropa (32 kasus). Terdapat
peningkatan kejadian di seluruh dunia kecuali Eropa.
Di Indonesia jumlah kasus kusta yang tercatat permulaan tahun 2009 adalah
21.538 orang dengan kasus baru tahun 2008 sebesar 17.441 orang.2 Selama

3
periode 2008 – 2013 di Indonesia, angka penemuan kasus baru kusta pada tahun
2013 merupakan yang terendah yaitu sebesar 6,79 per 100.00 penduduk dengan
prevalensi berkisar 0,79-0,96 per 10.000 penduduk.3 Indonesia merupakan negara
yang menjadi salah satu dari 22 negara yang menjadi prioritas global dalam 10
tahun terakhir.
Status kusta di Indonesia tahun 2000 adalah eliminasi, dimana terdapat <1
kasus per 10.000 penduduk. Angka prevalensi kusta tahun 2017 merupakan
angka terendah dalam 5 tahun terakhir yaitu sebesar 0,70 kasus/10.000 penduduk
(Gambar 1.1). Jumlah kasus kusta yang tercatat permulaan tahun 2009 adalah
21.538 orang. Menurut data Departemen Kesehatan, dalam tahun 2015-2017
jumlah penderita baru kusta tidak mengalami perubahan signifikan.2-5

Gambar 2.1 Jumlah pasien baru kusta di indonesia 5 tahun terakhir5

2.3. Etiologi
Penyebab morbus Hansen adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan
oleh G.A Hansen tahun 1874 di Norwegia. M.leprae berupa batang lurus dengan
panjang sekitar 1 sampai 8 μm dan diameter 0,3 μm.5 Kuman ini merupakan basil
gram positif yang tahan asam dan alkohol.2

4
2.4. Patofisiologi
M.leprae mempunyai patogenitas dan daya invasi yang rendah, sebab
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala
yang lebih berat, ataupun sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi
dengan derajat penyakit, tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda,
sehingga mempengaruhi timbulnya reaksi granuloma setempat atau menyeluruh
yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu, penyakit kusta dapat
disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding dengan
tingkat reaksi selularnya daripada intensitas infeksinya.1,2
Masuknya kuman penyebab kusta yang dikenal dengan M.leprae sampai
sekarang masih belum diketahui secara pasti. Beberapa penelitian telah
memperlihatkan M.leprae masuk kedalam tubuh paling sering melalui kulit
terutama kulit yang lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan juga melalui
mukosa nasal. Adanya kuman didalam tubuh akan menyebabkan terjadinya suatu
reaksi antara tubuh dengan kuman penyebab dengan mengeluarkan makrofag
untuk melakukan proses fagositosis.7,8
M.leprae memiliki sel target untuk pertumbuhannya yaitu sel Schwann,
disamping itu sel Schwann berfungsi sebagai demielinisasi dan hanya sedikit
fungsinya sebagai fagositosis. Apabila terjadi gangguan imunitas tubuh dalam sel
Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi. Sehingga kondisi ini
menyebabkan aktifitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang
progresif.7 Gejala klinis klinis yang timbul akibat terinfeksi M.lepraebergantung
dari respon tubuh terhadap mikroorganisme tersebut. Jika imunitas seluler orang
tersebut bagus dan kuat, maka gejala klinis yang terjadi adalah MH tipe
tuberkuloid. Apabila imunitas selulernya lemah, maka gejala klinisnya adalah MH
tipe lepramatosa.7
a. Patogenesis MH tipe tuberkuloid
MH tipe TT, memilik fungsi sistem imunitas seluler yang tinggi, sehingga
makrofag sanggup menghancurkan kuman melalui proses fagositosis. Setelah
semua kuman difagositosis, makrofag berubah menjadi sel epiteloid yang tidak
bergerak aktif dan terkadang bersatu membentuk sel datia Langhans. Apabila

5
kondisi infeksi ini tidak segera diatasi maka akan menimbulkan kerusakan saraf
dan jaringan sekitarnya akibat reaksi berlebihan dan masa epiteloid.7
Kuman masuk ke dalam tubuh melalui kontak langsung dengan kulit
penderita atau melalui inhalasi, kemudian masuk melalui pembuluh limfe dan
darah kemudian mencapai target dari basal antara lain :7
1. Sel Schwann saraf tepi
2. Sel endotel pembuluh darah
3. Sel pericytes pembuluh darah
4. Sel monosit dan makrofag
Imunitas seluler seseorang pada MH tipe TT menjadi kompenen cukup
penting dalam mengatasi kuman. Imunitas seluler yang tinggi ditandai dengan uji
lepromin yang positif. Hal ini dapat mengakibatkan dalam waktu yang singkat sel-
sel radang akan berkumpul ke sekitar makrofag atau sel Schwann. Tujuan sel
radang tersebut adalah memfagosit kuman-kuman dan mengaktifkan makrofag
untuk menghancurkan kuman M.leprae. Efek samping dari peradangan tersebut
akan menyebabkan penekanan pada saraf sehingga proses anestesinya terjadi lebih
cepat dan berat.7
Peradangan terjadi hanya disekitar sel Schwann yang terbatas pada saraf
kulit saja, tidak masuk ke pembuluh darah. Hal ini menyebabkan lesi hanya
sedikit dan asimetris, dengan batas tegas karena dibatasi oleh sel radang, kelenjar
ekrin dan pilosebaseus akan tertekan sehingga menyebabkan keringat berkurang,
kulit kering dan rambut kulit tidak ada.7

b. Patogenesis MH tipe lepramatosa


Pada MH tipe LL terjadi kelumpuhan sistem imunitas selular sehingga
makrofag yang berperan dalam proses fagositosis tidak mampu menghancurkan
kuman. Hal ini menyebabkan terjadinya multifikasi kuman secara bebas yang
kemudian dapat merusak jaringan. Sistem imun seluler yang rendah dan ditandai
dengan uji lepromin negatif menyebabkan proses fagositasis menjadi lemah,
sehingga kuman bermultiplikasi lebih banyak di dalam sel makrofag atau sel
Schwann.6,7

6
Makrofag yang tidak mampu melakukan proses fagositosis berubah
menjadi sel Virchow atau Foam cell yang mengandung banyak kuman basil
sehingga apabila kondisi ini terus berlanjut maka kuman basil yang banyak akan
menyebabkan pecahnya Foam cell sehingga kuman basil akan keluar kemudian di
tangkap oleh sel Schwann yang lain sehingga terjadi penyebaran sesuai dengan
jaras saraf tepi. Kemudian kuman basil akan masuk kedalam aliran darah dan
menimbulkan lesi pada kulit dengan jumlah banyak, simteris, batas tegas, dengan
anestesi yang lama terjadi.6,7

c. Patogenesis MH tipe Borderline


Pada MH tipe ini klinisnya berada di antara tipe tuberkuloid dan
lepromatosa dapat berubah tipe karena merupakan tipe yang tidak stabil.2,8

2.5. Manifestasi Klinis


Diagnosis penyakit kusta didasarkan atas gambaran klinis, bakterioskopis,
histopatologis, dan serologis. Jika memungkinkan dapat dilakukan tes lepromin
untuk membantu penentuan tipe. Namun hasilnya cukup lama diketahui hyaitu
sekitar 3 minggu. M. Leprae yang masuk kedalam tubuh seseorang, dapat
menimbulkan gejala klinis sesuai dengan kerentanan atau imunitas orang tersebut.
Bentuk tipe klinis bergantung pada sistem imunitas seluler penderita. Bila
imunitas seluler baik akan tambah gambaran klinis ke arah tuberkuloid,
sebaliknya jika sistem imunitas seluler rendah memberikan gambaran
lepromatosa. Manifestasi klinis penyakit MH pada pasien mencerminkan tingkat
kekebalan selular pasien tersebut. Gejala dan keluhannya tergantung pada: 7-9
1. Multifikasi dan diseminasi kuman M.leprae
2. Respon imun penderita terhadap kuman M.leprae
3. Komplikasi yang diakibatkan oleh kerusakan saraf perifer.
Terdapat tiga tanda kardinal pada penyakit kusta. Jika terdapat 1 dari 3
tanda tersebut sudah cukup untuk menetapkan diagnosis penyakit MH ini. Tanda
kardinal tersebut diantaranya7-9:
1. lesi kulit yang anestesi
2. penebalan saraf perifer
3. ditemukan M.leprae (bakteriologis positif)

7
Adapun klasifikasi yang banyak dipakai adalah klasifikasi menurut Ridley
dan Jopling yang mengelompokan penyakit MH menjadi 5 kelompok berdasarkan
gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis, dan imunologis.2
1. Tipe Tuberkuloid (TT)
Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau
beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah
dapat ditemukan lesi yang regrasi atau central healing. Permukaan lesi dapat
bersisik dengan tepi yang meninggi bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis
atau tinea sirsinata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba,
kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak
adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respon imun pejamu yang adekuat
terhadap kuman MH.9
2. Tipe Boderline Tuberkuloid (BT)
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak yang
sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi
hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe tuberkuloid.
Gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya asimetris. Lesi satelit
biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal.9
3. Tipe Mid Borderline (BB)
Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe penyakit MH.
Merupakan bentuk dimorfik. Lesi dapat berupa makula infiltratif, permukaan lesi
dapat berkilap, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe BT
dan cenderung simetris. Lesi sangat bervariasi baik dalam ukuran, bentuk, ataupun
distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe
ini.9
4. Tipe Borderline Lepromatous (BL)
Lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit dan
dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jelas dan lebih bervariasi
bentuknya. Papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir
simetris dan beberapa nodus tampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian
tengah sering tampak normal dengan bagian pinggir dalam infiltrat lebih jelas
dibandingkan dengan pingir luarnya, dan beberapa plak tampak seperti punched

8
out. Tanda-tanda kerusakan saraf berupa kerusakan sensasi, hipopigmentasi,
berkurangnya keringat, dan hilangnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan
dengan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada tempat-tempat penebalan saraf.
5. Tipe Lepromatosa (LL)
Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa,
berkilap, berbatas tidak tegas, dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan
anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu,
cuping telinga, sedangkan di badan mengenai bagian yang dingin seperti lengan,
punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut
terdapat penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka
menjadi kasar, dan cekung membentuk facies leonina yang dapat disertai dengan
madarosis, iritis, keratitis. Lebih lanjut dapat terjadi deformitas hidung.8
Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang selanjutnya dapat
terjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking and
glove anaesthesia. Bila menjadi progresif, muncul makula dan papula baru
sedangkan lesi lama menjadi plakat dan nodus. Pada stadium lanjut serabut-
serabut saraf perifer mengalami degenerasi hialin atau fibrosis yang menyebabkan
anestesi dan pengecilan otot tangan dan kaki.1,8

Tabel 2.1 Klasifikasi Morbus Hansen1

Madrid Ridley-Jopling WHO


Tuberkuloid Tuberkuloid polar (TT) Pausibasiler (PB)
Tuberkuloid Indefinite (Ti)
Borderline Tuberkuloid (BT)
Borderline Mid Borderline (BB) Multibasiler (MB
Borderline Lepromatous (BL)
Lepromatous indefinite (Li)
Lepromatosa Lepromatosa polar (LL)

9
Gambar 2.2 Soliter, anestesi dan lesi anular pada tuberkuloid polar leprosy,
yang telah ada sejak 3 bulan. Tepi yang tajam, dan eritem. Pinprick perception
pada sentral lesi tidak ada. Sentral lesi lebih hipopigmentasi jika dibandingkan
dengan kulit sekitarnya yang normal.6

Gambar 2.3 beberapa lesi Borderline leprosy (BT), ysng memiliki


konfigurasi anular yang inkomplit dengan papul satelit. bandingan dengan TT lesi,
lesi in lebih kurang eritema.6

10
Tabel 2.2 Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta Pausibasiler2

Tabel 2.3 Gambaran klinis, bakteriologik dan imunologik kusta multibasiler2

Bila pada tipe-tipe tersebut disertai BTA positif, maka akan dimasukkan
kedalam kusta MB. Sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB,
BL dan LL atau apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif, harus di obati
dengan regimen MDT-TB.2

11
Tabel 2.4 Klasifikasi Klinis Kusta Berdasarkan WHO 19952
PB MB
1.Lesi kulit (makula  1-5 lesi  > 5 lesi
yang datar, papul  Hipopigmentasi/eritema
yang meninggi, infiltrat,  Distribusi tidak simetris  Distribusi simetris
plak eritem, nodus)
2.Kerusakan  Hilangnya sensasi  Hilangnya
saraf yang jelas sensas
(menyebabkan hilangnya  Hanya satu cabang saraf i kurang jelas
sensasi/kelemahan otot  Banyak
yang dipersarafi oleh saraf caban
yang terkena) g saraf

2.6. Reaksi Kusta


Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan
penyakit yang sebenarnya sangat kronik. Adapun patofisiologinya belum jelas
betul, terminologi dan klasifikasi masih bermacam-macam. Mengenai
patofisiologinya yang belum jelas tersebut akan dijelaskan secara imunologik.
Reaksi imun dapat menguntungkan tetapi dapat juga merugikan yang disebut
reaksi imun patologik dan reaksi kusta ini tergolong di dalamnya. Dalam
klasifikasi yang bermacam-macam itu yang tampaknya paling banyak di anut
pada akhir – akhir ini, yaitu2 :
a. ENL (eritema nodusum leprosum)
b. Reaksi reversal atau reaksi upgrading
ENL terutama timbul pada tipe lepromatosa polar dan dapat pula pada BL,
berarti makin tinggi tingkat multibasilarnya makin besar kemungkinan timbul
ENL. Secara imunopatologis, ENL termasuk respon imun humoral, berupa
fenomena kompleks imun akibat reaksi antara antigen M.Leprae + antibodi (IgM,
IgG) + Komplemen menjadi kompleks imun.2
Pada kulit akan timbul gejala klinis yang berupa nodus eritema dan nyeri
dengan tempat predileksi di lengan dan tungkai. Bila mengenai organ lain dapat
menimbulkan gejala seperti iridosiklitis, neuritis akut, limfadenitis, artritis, orkitis
dan nefritis akut dengan adanya proteinuria. ENL dapat disertai gejala konsitusi
dari ringan sampai berat.Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian

12
atau seluruh lesi yang telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru yang
relatif singkat, artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi makula menjadi
infiltrat, lesi infiltrat makin infiltratif dan lesi lama menjadi bertambah luas.2
Reaksi ENL dan reversal secara klinis, ENL dengan lesi eritema nodusum
sedangan reversal tanpa nodusm sehingga disebut reaksi lepra nodular, sedangkan
reaksi reversal adalah reaksi non nodular. Hal ini penting membantu menegakkan
diagnosis atas dasar leso ada atau tidaknya nodus. Kalau ada berarti reaksi non
nodular atau reaksi reversal atau reaksi borderline.2

2.7. Diagnosis
Diagnosa pasien kusta dapat ditegakkan berdasarkan pada penemuan tanda
kardinal (minimal 1 tanda kardinal) yaitu1,2,8:
1. Bercak kulit yang mati rasa
Ditemukannya bercak kulit yang hipopigmentasi atau eritematosa,mendatar
atau meninggi.
2. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf
yang terkena:
a. Gangguan fungsi sensoris: mati rasa/rasa berkurang
b. Gangguan fungsi motorik
Adanya pembesaran saraf perifer yang diketahui dengan cara
palpasi bisanya mengindikasikan adanya kelainan fungsi saraf yang
bersangkutan. Untuk itu perlu untuk melakukan voluntary muscle test.
Saraf perifer yang diperiksa antara lain : n. fasialis, n. aurikularis
magnus, n. radialis, n. ulnaris, n. medianus, n. poplitea lateralis, dan n.
tibialis posterior. Pada pemeriksaan akan dinilai hal-hal sebagai berikut:
• Bandingkan saraf bagian kiri dan kanan
• Ada pembesaran saraf atau tidak
• Bentuk pembesaran regular (smooth) atau irregular,bergumpal
• Perabaan keras atau kenyal
• Nyeri atau tidak
c. Gangguan fungsi otonom kulit kering,edema, pertumbuhan rambut
terganggu.
3. Adanya basil tahan asam (BTA) didalam kerokan jaringan kulit (slit skin smear).

13
Lokasi pengambilan kerokan jaringan kulit adalah kulit cuping
telinga dan lesi kulit pada bagian yang aktif. Bahan kadang-kadang
diperoleh dari biopsi kulit atau saraf.
Untuk menegakkan diagnosis kusta, setidaknya ditemukan satu
tanda kardinal, bila tidak maka kita hanya dapat mengatakan tersangka
kusta dan perlu diperhatikan klinisnya dan diperiksa ulang setelah 3-6 bulan
sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan, dibuat sediaan
mikrokopis pada gelas alas dan diwarnai dengan pewarnaan Ziehl
Neelsen.1,2,8,9 Bila ditemukan tanda cardinal di atas maka pasien adalah
tersangka kusta,observasi dan periksa ulang setelah 3-6 bulan.9

Cara Pemeriksaan Kusta


1. Cara Pemeriksaan :
a. Anamnesis:
- Keluhan yang ada/kapan timbul bercak .
- Apakah ada riwayat kontak .
- Riwayat pengobatan sebelumnya.2,9
b. Pemeriksaan kulit / rasa raba.
Untuk memeriksa rasa raba dengan memakai ujung kapas yang
dilancipkan kemudian disentuhkan secara tegak lurus pada kelainan kulit yang
dicurigai, sebaiknya penderita duduk pada waktu pemeriksaan. Terlebih dulu
petugas menerangkan bahwa bilamana merasa disentuh bagian tubuh dengan
kapas, ia harus menunjuk kulit yang disentuh dengan jari
telunjuknya,menghitung jumlah sentuhan atau dengan menunjukkan jari
tangan keatas untuk bagian yang sulit dijangkau, ini dikerjakan dengan mata
terbuka bilamana hal ini telah jelas,maka ia diminta menutup matanya.
Kelainan-kelainan dikulit diperiksa secara bergantian untuk mengetahui ada
tidaknya anestesi. pada telapak tangan dan kaki memakai bolpoin karena pada
tempat ini kulit lebih tebal.2,9

14
c. Pemeriksaan saraf (nervus )
Peroneus, dan tibialis posterior, namun pemeriksaan yang sering diutamakan
pada saraf ulnaris, peroneus, tibialis posterior, pada umumnya cacat kusta
mengikuti kerusakan pada saraf-saraf utama.2,9

2. Teknik Pemeriksaan Saraf 1,9:


a. Saraf Ulnaris.
Tangan kanan pemeriksa memegang lengan kanan bawah penderita
dengan posisi siku sedikit ditekuk sehingga lengan penderita rileks.
Dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri pemeriksa mencari sambil
meraba saraf ulnaris di dalam sulkus nervi Ulnaris yaitu lekuken diantara
tonjolan tulang siku dan tonjolan kecil di bagian medial (epicondilus
medialis).1,9
Dengan memberi tekanan ringan pada saraf Ulnaris sambil
digulirkan dan menelusuri keatas dengan halus sambil melihat mimik /
reaksi penderita adalah tampak kesakitan atau tidak. 1,9
b. Saraf Peroneus Communis (Poplitea Lateralis).
1. Penderita diminta duduk disuatu tempat (kursi dll ) dengan kaki dalam
keadaan rilek.
2. Pemeriksa duduk didepan penderita dengan tangan kanan memeriksa
kaki-kiri penderita dan tangan kiri memeriksa kaki kanan .
3. Pemeriksa meletakkan jari telunjuk dan jari tengah pada pertengahan
betis bagian luar penderita sambil pelan-pelan meraba keatas sampai
menemukan benjolan tulang (caput fibula) setelah menemukan tulang
tersebut jari pemeriksa meraba saraf peroneus 1 cm kearah belakang .
4. Dengan tekanan yang ringan saraf tersebut digulirkan bergantian
kekanan dan kiri sambil melihat mimik / reaksi penderita. 1,9
c. Saraf Tibialis Posterior .
1. Penderita masih duduk dalam posisi rileks .
2. Dengan jari telunjuk dan tengah pemeriksa meraba saraf Tibialis
Posterior dibagian belakang bawah dari mata kaki sebelah
dalam(maleolus medialis)dengan tangan menyilang (tangan kiri

15
memeriksa saraf tibialis kiri dan tangan kanan pemeriksa memeriksa
saraf tibialis posteior kanan pasien )
3. Dengan tekanan ringan saraf tersebut digulirkan sambil melihat mimik
/ reaksi dari penderita. 1,9

3. Pemeriksaan Gangguan Fungsi Saraf


Untuk mengetahui adanya gangguan pada fungsi saraf yang perlu
diperiksa adalah Mata, Tangan, dan Kaki, Pemeriksaan Fungsi Rasa Raba dan
Kekuatan Otot. Alat yang diperlukan : ballpoin yang ringan dan kertas serta
tempat duduk untuk penderita. 1,9
Cara pemeriksaan Fungsi Saraf.Periksa secara berurutan agar tidak ada
yang terlewatkan mulai dari kepala sampai kaki. 1,9
1. Mata
Fungsi Motorik (Saraf Facialis )
- Penderita diminta memejamkan mata.
- Dilihat dari depan / samping apakah mata tertutup dengan sempurna /
tidak, apakah ada celah .
- Bagi mata yang menutup tidak rapat, diukur lebar celahnya lalu
dicatat, misal lagofthalmus ± 3 mm, mata kiri atau kanan. 1,9
Catatan : Untuk fungsi sensorik mata(pemeriksaan kornea, yaitu fungsi
saraf Trigeminus) tidak dilakukan dilapangan. 1,9
2. Tangan
1) Fungsi Sensorik (Saraf Ulnaris dan Medianus )
a. Posisi penderita: Tangan yang akan diperiksa diletakkan diatas
meja/paha penderita atau tertumpu pada tangan kiri pemeriksa
sedemikian rupa, sehingga semua ujung jari tersangga.
b. Menjelaskan kepada penderita apa yang akan dilakukan padanya,
sambil memperagakan dengan menyentuhkan ujung ballpoin pada
lengannya dan satu atau dua titik pada telapak tangan
c. Bila penderita merasakan sentuhan tersebut diminta untuk
menunjukkan tempat sentuhan tersebut dengan jari tangan yang lain .
d. Tes diulangi sampai penderita mengerti dan kooperatif.

16
e. Penderita diminta tutup mata atau menoleh kearah berlawanan dari
tangan yang diperiksa.
f. Penderita diminta menunjuk tempat yang terasa disentuh .
g. Usahakan pemeriksaan titik tersebut acak dan tidak berurutan
h. Penyimpangan letak titik yang bisa diterima < 1,5 cm. 1,9

2) Fungsi Motorik (Kekuatan Otot)Saraf Ulnaris,Medianus danRadialis.


a. Saraf Ulnaris (Kekuatan Otot Jari kelingking).
- Tangan kiri pemeriksa memegang ujung jari 2, 3, dan 4 tangan
kanan penderita dengan telapak tangan penderita menghadap
keatas dan posisi ektensi (jari kelingking /5 bebas bergerak tidak
terhalang oleh tangan pemeriksa .
- Minta penderita mendekatkan dan menjauhkan kelingking dari jari-
jari lainnya,bila penderita dapat melakukannya minta ia menahan
kelingkingnya pada posisi jauh dari jari lainnya , dan kemudian ibu
jari pemeriksa mendorong pada bagian pangkal kelingking. 1,9
Penilaian :
- Bila jari kelingking penderita tidak dapat mendekat atau menjauh
berarti dari jari lainnya berarti lumpuh.
- Bila jari kelingking penderita tidak dapat menahan dorongan
pemeriksa berarti lemah .
- Bila jari kelingking penderita dapat menahan dorongapemeriksa
ibu jari bisa maju dan dapat menahan dorongan ibu jari pemeriksa
berarti masih kuat. 1,9
Bila masih ragu , penderita diminta menjepit sehelai kertas yang
diletakkan diantara jari manis dan jari kelingking tersebut, lalu
pemeriksa menarik kertas tersebut sambil menilai ada tidaknya tahanan
/ jepitan terhadap kertas tesebut. 1,9
Penilaian :
- Bila kertas terlepas dengan mudah berarti kekuatan otot lemah .
- Bila ada tahanan terhadap kertas tersebut berarti otot masih kuat1,9

17
b. Saraf Medianus (Kekuatan Otot Ibu Jari )
- Tangan kanan pemeriksa memegang jari telunjuk sampai
kelingking tangan kanan penderita agar telapak tangan penderita
menghadap keatas,dan dalam posisi ekstensi .
- Ibu jari penderita ditegakkan keatas sehingga tegak lurus terhadap
telapak tangan penderita (seakan-akan menunjuk kearah hidung)
dan penderita diminta untuk mempertahankan posisi tersebut.
- Jari telunjuk pemeriksa menekan pangkal ibu jari yaitu dari bagian
batas antara punggung dengan telapak mendekati telapak
tangan.1,9
Penilaian :
- Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat .
- Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti sudah lemah .
- Bila tidak ada gerakan berarti lumpuh.1,9
c. Saraf Radialis ( Kekuatan otot Pergelangan tangan ).
- Tangan kiri pemeriksa memegang punggung lengan bawah tangan
kanan penderita .
- Penderita diminta menggerakkan pergelangan tangan yang
terkepal keatas (ektensi ).
- Penderita diminta bertahan pada posisi ektensi ( keatas) lalu
dengan tangan kanan pemeriksa menekan tangan penderita
kebawah kearah fleksi.1,9
Penilaian :
- Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti masih kuat .
- Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah .
- Bila tidak ada gerakan dan tahanan berarti lumpuh ( pergelangan
tangan tidak bisa digerakkan keatas).1,9
3. Kaki
a) Fungsi Rasa Raba (Saraf Tibialis Posterior )
- Kaki kanan penderita diletakan pada paha kiri, usahakan telapak kaki
menghadap keatas .
- Tangan kiri pemeriksa menyangga ujung jari kaki penderita .

18
- Cara pemeriksaan sama seperti pada rasa raba tangan.
- Pada daerah yang menebal sedikit menekan dengan cekungan
berdiameter 1cm.
- Jarak penyimpangan yang bisa diterima maksimal 2,5 cm. 1,9
b) Fungsi Motorik: Saraf Peroneus (Saraf Poplitea Lateralis )
- Dalam keadaan duduk ,penderita diminta mengangkat ujung kaki
dengan tumit tetap terletak dilantai / ektensi maksimal (seperti berjalan
dengan tumit).
- Penderita diminta bertahan pada posisi ekstensi tersebut lalu pemeriksa
dengan kedua tangan menekan punggung kaki penderita kebawah
/lantai. 1,9
Keterangan:
- Bila ada gerakan dan tahanan kuat berarti kuat.
- Bila ada gerakan dan tahanan lemah berarti lemah .
- Bila tidak ada gerakan dan tahanan lumpuh (ujung kaki tidak bisa
ditegakkan keatas). 1,9

2.8. Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan bakterioskopik (kerokan jaringan kulit).1
Pemeriksaan bakterioskopik digunakan untuk membantu penegakan
diagnosis dan followup pengobatan. Sediaan dibuat dari kerokan jaringan
kulityang di warnai dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam (BTA), antara
lain dengan ZIEHL-NEELSEN. Hasil pemeriksaan bakterioskopik yang negatif
pada seorang penderita, belum tentu orang tersebut tidak mengandung kuman
lepra.2,9
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah
sediaan dinyatakan dengan Indeks Bakteri (IB) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut
RIDLEY. 0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapang pandang (LP).2,9

19
Tabel 2.5 Kepadatan BTA1,2
0 BTA -
1 – 10/ 100 LP +1

1 – 10/ 10 LP +2

1 – 10/ 1 LP +3

10 – 100/ 1 LP +4

100 – 1000/ 1 LP +5

> 1000/ 1 LP +6

Indeks Morfologi (IM) adalah persentase bentuk solid dibandingkan


dengan jumlah solid dan nonsolid.1,2
Rumus:
Jumlah BTA solid x 100 % = X %
Jumlah BTA solid + non solid

Syarat perhitungan:
a. Jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA
b. IB 1+ tidak perlu dibuat IM-nya, karena untuk medapat 100 BTA harus
mencari dalam 1000 sampai 10.000 lapangan
c. Mulai dari IB 3+ harus dihitung IM-nya, sebab dengan IB 3+ maksimum
harus dicari dalam 100 lapangan.1,2

b. Pemeriksaan Histopatologik
Granuloma adalah akumulasi makrofag atau derivat-derivatnya. Gambaran
histopatologik tipe tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf yang lebih
nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan bersifat non solid. Pada tipe
lepromatosa terdapat zona sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu
suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik.
Didapati sel Virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline, terdapat
campuran unsur-unsur tersebut.2

20
Tabel 2.6 Karakteristik histologis berbagai tipe kusta menurut Ridley-Jopling.2
Tipe
TT BT BB BL LL
TT Ti BT BB BL Li LL
Reaksi lepromin 3+ 2+ 1+ - - - -
Stabilitas imunologik ++ + ± - ± + ++
Reaksi borderline - ± + ++ + ± -
Eritema - - - - - + +
nodusu
m leprosum
Basil dalam hidung - - - - + ++ ++
Basil dalam granuloma 0 0-1+ 1-3+ 3-4+ 4-5+ 5-6+ 5-6+
Sel epiteloid + + + + - - -
Sel datia langhans +++ ++ + + - - -
Globi - - - - - + +
Sel busa (sel Virchow) - - - - + ++ +++
Limfosit +++ +++ ++ + + +/± ±
Infiltrasi zona + + +/- - - - --
sub
epidermal
Kerusakan saraf ++ +++ ++ + ± + -

c. Pemeriksaan Serologik
Pemeriksaan serologik kusta didasarkan atas terbentuknya antibodi pada
tubuh seseorang yang terinfeksi oleh M. leprae. Antibodi yang terbentuk dapat
bersifat spesifik terhadap M. leprae, yaitu antibodi anti phenolic glycolipid-1
(PGL-1) dan antibodi antiprotein 16 kD serta 35 kD. Sedangkan antibodi tidak
spesifik antara lain antibodi anti-lipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan
oleh kuman M. tuberculosis.2
Kegunaan pemeriksaan serologik ini adalah dapat membantu diagnosis
kusta yang meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.
Disamping itu dapat membantu menentukan kusta subklinis karena tidak didapati
lesi kulit, misalnya pada narakontak serumah.2
Macam-macam pemeriksaan serologik kusta adalah uji MLPA
21
(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA (Enzyme Linked
Immunosorbent Assay) dan uji ML dipstick (Mycobacterium Leprae Dipstick).2

2.9. Penatalaksaan
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS
(diaminodifenil sulfon) kemudian klofazimin dan rifampisin. Untuk mencegah
resistensi , pengobatan tuberkulosis telah menggunakan multidrug treatment
(MDT) sejak tahun 1951, sedangkan untuk kusta baru di mulai pada tahun 1971.2

Regimen pengobatan MDT


Kombinasi obat dapson (DDS), rifampisin, dan klofazimin (lampren)
bertujuan untuk mengurangi resistensi dapson, memperpendek masa pengobatan,
mempercepat memutus mata rantai penularan, serta mengurangi ketidak-taatan
pasien dan menurunkan angka putus obat.7 Berdasarkan klasifikasi WHO (1997)
untuk kepentingan pengobatan, penderita kusta dibagi menjadi 3 grup, yaitu
pausibasilar dengan lesi tunggal, pausibasilar dengan lesi 2-5 buah dan penderita
multibasilar dengan lesi lebih dari 5 buah. Oleh sebab itu skema rejimen MDT-
WHO menjadi sebagai berikut:9
1. Rejimen PB dengan lesi kulit 2-5 buah, terdiri atas rifampisin 600 mg sebulan
sekali, di bawah pengawasan, ditambah dengan DDS 100 mg/hari (1-2
mg/kgBB) swakelola selama 6 bulan.
2. Rejimen MB dengan lesi kulit lebih dari 5 buah, terdiri atas kombinasi
rifampisin 600 mg sebulan sekali di bawah pengawasan, DDS 100 mg/hari
swakelola ditambah klofazimin 300 mg sebulan sekali diawasi dan 50 mg/hari
swakelola. Lama pengobatan 1 tahun.
3. Rejimen PB dengan lesi tunggal, terdiri atas rifampisin 600 mg ditambah
dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg (ROM) dosis tunggal.
Dosis tersebut merupakan dosis dewasa, untuk anak-anak disesuaikan
dengan berat badan.9
Berikut merupakan kelompok orang yang membutuhkan MDT: 7,9
1. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapat MDT.
2. Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal dibawah ini:
a. Relaps
b. Masuk kembali setelah default (dapat PB maupun MB)

22
c. Pindahan (pindah masuk)
d. Ganti klasifikasi/tipe

Berikut merupakan regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang


direkomendasikan oleh WHO. Regimen tersebut adalah sebagai berikut:8,9

Tabel 2.7 Pengobatan Morbus Hansen Pausibasiler8,9


Jenis Obat <5 th 5-9 th 10-15 th >15 th Keterangan
Minum
Rifampisin 300mg/bln 450 mg/bln 600 mg/bln didepa
n
petugas
Berdasarkan Minum
berat badan 25 mg/bln 50mg/bln 100 mg/bln d
DDS i depan
petugas
25 mg/hari 50 mg/hari 100 mg/hari Minum di
rumah

Keterangan:
 Dewasa
Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum diminum didepan petugas)
 2 kapsul rifampisin @ 300mg (600 mg)
 1 tablet dapson/DDS 100mg
Pengobatan harian: hari ke 2-28
 1 tablet dapson/DDS100 mg

23
Tabel 2.8 Pengobatan Morbus Hansen Multibasiler.8,9
Jenis Obat <5 th 5-9 th 10-15 th >15 th Keterangan
Minu
Rifampisin 300 mg/bln 450 mg/bln 600 mg/bln m
didepa
n
petuga
s
Minum
25 mg/bln 50 mg/bln 100 mg/bln didepa
Dapson Berdasarka n
n berat petugas
badan 25 mg/bln 50 mg/bln 100 mg/bln Minum
dirumah
Minum
100 mg/bln 150 mg/bln 300 mg/bln didepa
Lampren n
petugas
50 mg 2x 50 mg 50 mg Minum
seminggu setiap 2 hari perhari dirumah

Keterangan:
a. Dewasa
 Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum didepan petugas)
o 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg)
o 3 tablet lampren @ 100mg (300 mg)
o 1 tablet dapson/DDS 100 mg
 Pengobatan harian: hari ke 2-28
o 1 tablet lampren50 mg
o 1 tablet dapson/DDS 100 mg8,9
b. Dosis MDT MB untuk anak (10-14 tahun)
 Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminumdi depan petugas)

24
o 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
o 3 tablet lampren @ 50 mg (150 mg)
o 1 tablet dapson/DDS 50 mg
 Pengobatan harian: hari ke 2-28
o 1 tablet lampren 50 mg selang sehari
o 1 tablet dapson/DDS 50 mg8,9

Pengobatan Reaksi Kusta


Prinsip pengobatan reaksi kusta :8,9
 Pemberian obat antireaksi
 istirahat atau imobilisasi
 analgetik, sedatif untuk mengatasi rasa nyeri
 obat anti kusta diteruskan
Pada Reaksi ENL obat yang sering dipakai adalah prednison. Dosisnya
tergantung kepada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari,
kadang-kadang lebih tergantung makin beratnya reaksi. Klofazimin sebagai obat
antikusta dapat juga dipakai sebagai anti reaksi ENL, tetapi dengan dosis yang
lebih tinggi, biasanya 200-300 mg sehari.2,8
Lampren/ klofazimin diberikan dengan cara:9
 3 x 100 mg/hari selama 2 bulan
 2x 100 mg/hari selama 2 bulan
 1 x 100 mg/hari selama 2 bulan

Pada reaksi reversal perlu diperhatikan, apakah reaksi disertai neuritis atau tidak.
Sebab kalau tanpa neuritis akut tidak perlu diberikan pengobatan tambahan. Kalau
ada neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya
disesuaikan dengan berat ringannya neuritis. Biasanya diberikan prednison 40-60
mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-perlahan. Anggota gerak yang terkena
neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan sedatif kalau diperlukan dapat
diberikan, klofazimin untuk reaksi reversal kurang efektif.2
Cara pemberian kortikosteroid :9
 Dimulai dengan dosis tinggi atau sedang
 Gunakan prednison atau prednisolon
 Gunakan sebagai dosis tunggal pagi hari
25
 Dosis diturunkan setelah terjadi respon maksimal
 Dosis dapat dimulai antara 40-80 mg prednison/ hari dan diturunkan 5-10 mg/ 2 minggu

Tabel 2.9 Pemberian prednison1,8


Minggu pemberian Dosis harian yang
dianjurkan
Minggu 1-2 40 mg
Minggu 3-4 30 mg
Minggu 5-6 20 mg
Minggu 7-8 15 mg
Minggu 9-10 10 mg
Minggu 11-12 5 mg

2.10. Pencegahan Kecacatan


Cara terbaik untuk melakukan pencegahan kecacatan atau prevention of
disabilities adalah (POD) adalah dengan melaksanakan diagnosis dini kusta,
pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat, selanjutnya dengan mengenali
gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf serta memulai
pengobatan sesegera mungkin.1
WHO expert Committee on leprosy (1997) membuat klasifikasi kecacatan
pada penderita kusta, yaitu: 1
Cacat pada tangan dan kaki
a. Tingkat 0 : tidak ada gangguan sensibilitas, tidak ada kerusakan atau deformitas
yang terlihat.
b. Tingkat 1 : ada gangguan sensibilitas tanpa kerusakan atau deformitas yang
terlihat
c. Tingkat 2 : terdapat kerusakan atau deformitas
Cacat pada mata
a. Tingkat 0 : tidak ada kelainan / kerusakan pada mata (termasuk visus)
b. Tingkat 1 : ada kelainan / kerusakan pada mata tetapi tidak terlihat dengan
visus sedikit berkurang
c. Tingkat 2: ada kelainan mata yang terlihat dan atau visus yang terganggu
Kerusakan pada tangan atau kaki dapat berupa ulserasi, absorbs, mutilasi,
dan kontraktur.Kerusakan pada mata dapat berupa anestesi kornea, iridosiklitis,

26
dan lagoftalmos.1,2

2.11. Prognosis
Pada penderita yang tidak diberi pengobatan maka pasien dapat sembuh sendirinya yaitu
pada tipe TT atau pasien BT yang beralih ke TT. Di lain hal penyakit ini dapat menjadi
progresif dengan kejadian morbiditas pada kerusakan saraf dan reaksi kusta.1,2

27
BAB 3
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. Ani
Umur : 48 tahun
Jenis Kelamin : Wanita
Nomor RM : 01.06.01.99
Pekerjaan : PNS (kantor walikota)
Pendidikan :
Alamat : Jl. Ratulangi No. 5
Status : Menikah
Agama : Islam
Suku : Minang
Negeri Asal : Indonesia

ANAMNESIS
Seorang pasien perempuan berusia 48 tahun datang ke poliklinik kulit dan
kelamin RS Naili DBS Padang pada tanggal 5 September 2019, dengan :

Keluhan Utama
Bercak – bercak merah yang terasa gatal dan meluas pada darerah perut,
pinggang, dan punggung sejak 2 minggu yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang


- Awalnya 2 minggu yang lalu muncul bercak merah sebesar uang logam di perut
pasien. Bercak tersebut lama kelamaan bertambah lebar dan meluas ke pinggang
dan punggung. Bercak – bercak kemerahan tersebut terasa sangat gatal terutama
bila berkeringat dan udara panas.
- Pasien tidak mengalami demam, malaise, dan nyeri sendi.
- Pasien sering memakai pakaian yang tebal dan berlapis.
- Pasien mandi sekali sehari dan jarang mengganti pakaian setelah beraktivitas di
luar rumah.
- Pasien menggunakan handuk bersama dengan suaminya.

28
- Pasien memiliki hewan peliharaan di rumah yaitu kucing yang bulunya rontok
dan pasien sering berinteraksi dengan kucing tersebut.
- Pasien tidak memiliki kebiasaan berkebun.
- Pasien belum pernah berobat sebelumnya dengan keluhannya yang sekarang.
- Pasien tidak sedang mengkonsumsi obat kortikosteroid.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Pasien tidak pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya.
- Pasien memiliki riwayat Diabetes Melitus sejak 6 bulan yang lalu dan sedang
menkonsumsi obat.

Riwayat Pengobatan
Pasien belum pernah berobat dengan keluhannya yang sekarang.

Riwayat Penyakit Keluarga


- Suami pasien memiliki keluhan yang sama dan belum diobati.

Riwayat pekerjaan, sosial, dan ekonomi


- Pasien seorang PNS yang bekerja di kantor wali kota dengan aktivitas ringan -
sedang.
- Pasien tinggal bersama suami dan 1 orang anak
- Pasien mandi sekali sehari dan jarang berganti pakaian

Riwayat Penyakit Atopi


- Riwayat kaligata tidak ada
- Riwayat bersin-bersin pagi hari tidak ada
- Riwayat alergi makanan disangkal
- Riwayat alergi obat tidak ada
- Riwayat mata merah, gatal, dan berair tidak ada
- Riwayat asma tidak ada
- Riwayat alergi serbuk sari dan bulu binatang tidak ada

29
PEMERIKSAAN FISIK
Status Generalisata
Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan
Kesadaran : Komposmentis Kooperatif
Nadi : 96x /menit
Napas : 18x /menit
Berat Badan : 47 kg
Tinggi badan : 159 cm
IMT : 18,59 kg/m2
Status gizi : Normoweight
Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik,
lagoftalmus (-), eksoftalmus (-), visus tidak dilakukan
KGB : Tidak ada pembesaran
Pemeriksaan thorak : Dalam batas normal
Pemeriksaan abdomen : Dalam batas normal
Ekstremitas : CRT < 2s, edema (-/-)

Status Dermatologikus
Lokasi : Perut, pinggang kiri, punggung sebelah kiri, paha
kiri atas bagian luar
Distribusi : Terlokalisir
Bentuk : Tidak khas
Susunan : Polisiklik
Batas : Tegas
Ukuran : Plakat
Effloresensi : Makula eritematosa dengan tepi lebih aktif yang
terdiri dari papul eritem dan krusta serta skuama
diatasnya, bagian tengah terdapat central healing

30
Gambar 3.1 Lesi pada pinggang, punggung, dan paha kiri atas sebelah luar

Status Venerologikus : Tidak dilakukan pemeriksaan


Kelainan selaput : Tidak ditemukan kelainan
Kelainan kuku : Tidak ditemukan kelainan
Kelainan rambut : Tidak ditemukan kelainan kelainan
Kelenjar Limfe : Tidak terdapat pembesaran KGB

31
Resume
Seorang perempuan berusia 48 tahun datang dengan keluhan bercak –
bercak merah yang terasa gatal dan meluas pada darerah perut, pinggang, dan
punggung sejak 2 minggu yang lalu. Awalnya 2 minggu yang lalu muncul bercak
merah sebesar uang logam di perut pasien. Bercak tersebut lama kelamaan
bertambah lebar dan meluas ke pinggang dan punggung. Bercak – bercak
kemerahan tersebut terasa sangat gatal terutama bila berkeringat dan udara panas.
Pasien tidak mengalami demam, malaise, dan nyeri sendi. Pasien sering
memakai pakaian yang tebal dan berlapis. Pasien mandi sekali sehari dan jarang
mengganti pakaian setelah beraktivitas di luar rumah. Pasien menggunakan
handuk bersama dengan suaminya. Pasien memiliki hewan peliharaan di rumah
yaitu kucing yang bulunya rontok dan pasien sering berinteraksi dengan kucing
tersebut. Pasien tidak memiliki kebiasaan berkebun. Pasien belum pernah berobat
sebelumnya dengan keluhannya yang sekarang. Pasien tidak sedang
mengkonsumsi obat kortikosteroid.
Pemeriksaan status dermatologikus ditemukan makula eritematosa dengan
tepi lebih aktif yang terdiri dari papul eritem dan krusta serta skuama diatasnya,
bagian tengah terdapat central healing pada perut, pinggang kiri, punggung sebelah
kiri, paha kiri atas bagian luar. Distribusi terlokalisir, bentuk tidak khas, susunan
polisiklik, batas tegas, dan ukuran plakat

DIAGNOSIS KERJA
Suspek Tinea Corporis

DIAGNOSIS BANDING
Psoriasis Rosea

PEMERIKSAAN RUTIN
Pemeriksaan kerokan kulit dengan KOH : tampak hifa bersepta dan bercabang tanpa
penyempitan, hifa panjang dan artrospora

PEMERIKSAAN ANJURAN
Tidak ada

32
DIAGNOSIS
Tinea Corporis

TATALAKSANA
 Terapi Umum :
- Menjelaskan kepada pasien bahwa penyakitnya disebabkan oleh infeksi
jamur yang mudah tumbuh di daerah yang lembab
- Menyarankan kepada pasien untuk menggunakan pakaian yang lebih tipis
dan tidak berlapis serta bahan yang mudah menyerap keringat
- Menyarankan kepada pasien untuk menjaga kebersihan dengan mandi 2x
sehari dan berganti pakaian jika banyak berkeringat
- Menyarankan kepada pasien untuk tidak lagi menggunakan handuk
bersama
- Menyarankan kepada pasien untuk mengobati hewan peliharaan yang
bulunya rontok
- Memberitahukan kepada pasien untuk mengontrol penyakit DM nya ke
dokter dan mengkonsumsi obat teratur

 Terapi Khusus :
- Antifungal topikal : Ketokonazol krim 2% yang diberikan hingga lesi hilang
dan dilanjurkan 1-2 minggu kemudian untuk mencegah rekurensi
- Griseofulvin tablet dengan dosis 500 mg/ hari yang diberikan 1x sehari
selama 10-14 hari
- Loratadine tablet 10 mg, dosis 1 x sehari

PROGNOSIS
Quo ad Vitam : Bonam
Quo ad Sanam : Dubia ad Bonam
Quo ad Functionam : Bonam
Quo ad kosmetikum : Bonam

33
RESEP
PRAKTIK UMUM
dr. Annisa Rian
SIP. 212/09/2019
Praktik Senin-Jumat 14.00-16.00
Jalan Perintis Kemerdekaan
Padang Telp. 0751-377727

Padang, 9 September 2019


R/Griseofulvin tab 500 mg No.XX
S1dd tab I φ

R/Ketokonazole krim 2% No.I


Sue ( 2x sehari setelah mandi)
_________________________________ φ

R/Loratadine tab 10 mg No.X


S1dd tab I
_________________________________ φ

Pro : Ny. Ani


Umur : 48 tahun
Alamat: Jl. Ratulangi No. 5

34
BAB 4
DISKUSI

Seorang perempuan berusia 26 tahun datang dengan keluhan bercak dan


bengkak merah, yang terasa semakin menebal dan kurang rasa pada kedua pipi dan
dahi sejak 6 bulan yang lalu. Awalnya 4 tahun lalu muncul bercak putih pada wajah
yang kurang rasa kemudian menyebar ke badan, kedua lengan dan kedua tungkai.
Bercak ada yang timbul. Pasien berobat ke rumah sakit dan mendapatkan obat salep
1 macam pasien lupa nama obatnya, namun keluhan tidak berkurang dan pasien
tidak berobat lagi.
Pasien kembali berobat ke dokter Sp.KK di RS Yarsi Padang dan dirujuk ke
Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP M. Djamil Padang. Pasien pernah mengalami
kaligata saat cuaca dingin. Pasien seorang ibu rumah tangga dengan aktivitas fisik
ringan sampai sedang. Riwayat atopi disangkal.
Kusta merupakan penyakit infeksi kronik granulomatosa yang disebabkan
oleh Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat. Saraf perifer sebagai
afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian
dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Seseorang yang terinfeksi M.leprae
gejala klinis yang akan timbul tergantung dari respon tubuh terhadap
mikroorganisme tersebut. Apabila imunitas seluler orang tersebut bagus dan kuat,
maka gejala klinis yang terjadi adalah MH tipe tuberkuloid. Apabila imunitas
selulernya lemah, maka gejala klinisnya adalah MH tipe lepromatosa.
Sumber infeksi pada kasus ini dicurigai dari kakak kakek pasien dimana saat
pasien masih bayi, kakak kakek pasien memiliki keluhan bercak kemerahan disertai
putusnya jari-jari kaki. Dan dari kakak kandung pasien dimana kakak kandung
pasien memiliki keluhan bercak kemerahan tanpa rasa gatal dan telah di diagnosis
penyakit kusta, dimana sebelum pasien menikah pasien tinggal serumah dengan
kakak kandung pasien. Masa inkubasi penyakit ini cukup lama yaitu berkisar 4 hari
sampai dengan 40 tahun. Hal ini mengingat evidence dari morbus hansen bahwa
rute penularan dapat melalui kontak langsung. Saraf perifer merupakan lokasi
pertama yang diserang, kemudian lanjut mengenai kulit hingga menyebabkan gejala
berupa kulit yang mati rasa, dan dapat menyerang organ lain kecuali susunan saraf
pusat. Cardinal sign morbus hansen adalah lesi kulit yang mati rasa (makula/plak
hipopigmentasi/ eritematous/ hipoestesi) penebalan saraf tepi yang disertai dengan

35
gangguan fungsi saraf.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan lesi dengan lokasi di dahi, pipi kiri dan
kanan, dagu, lengan kiri, tungkai bawah kiri, kaki kanan dan kiri, distribusi
terlokalisir, bentuk dan susunan tidak khas, batas tidak tegas, ukuran lentikular
sampai plakat, effloresensi plak eritem disertai infiltrat, makula eritem, makula
hipopigmentasi, xerosis kutis. Didapatkan adanya madarosis dan xerosis kutis
disebabkan oleh infiltrasi granuloma kedalam adneksa kulit yang terdiri atas kelenjar
keringat, kelenjar sebasea dan folikel rambut. Didapatkan lesi lebih dari 5, hilangnya
sensasi yang jelas pada kelingking tangan kanan, terdapat pembesaran dan nyeri pada
nervus ulnaris kanan, dan pada pemeriksaan BTA didapatkan hasil yang negatif
.Berdasarkan tanda-tanda klinis tersebut banyak klasifikasi tanda utama mengarah ke
kusta tipe Pausibasiler (PB) namun dikarenakan jumlah lesi lebih dari 5 yang mana
adalah tanda utama untuk kusta tipe Multibasiler (MB) dan menurut Pedoman
Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta Kemenkes RI jika ditemukan salah
satu tanda utama MB ditemukan, maka pasien diklasifikasikan sebagai kusta MB.
Namun untuk diagnosis pasti dianjurkan dilakukan pemeriksaan penunjang secara
histologi.
Terapi umum yang diberikan adalah menjelaskan tentang penyebab penyakit
kusta, penularan, pengobatan dan pencegahan kecacatan, menjelaskan lama
pengobatan penyakit kusta, memberikan edukasi anggota keluarga yang serumah
agar diperiksa karena kusta dapat muncul tanpa gejala klinis yang jelas. Terapi
khusus yang diberikan berupa MDT-MB hari pertama 2 kapsul rifampisin 300mg
(600mg), 3 tablet Clofazimine 100mg (300 mg). Pengobatan harian berupa tablet
Clofazimine 50 mg 1x1 tablet sehari, tablet dapson/DDS 100mg 1x1 tablet sehari.
Untuk mencegah resistensi, pengobatan morbus hansen telah menggunakan
multidrug treatment (MDT). Selain untuk mencegah resistensi, MDT digunakan
sebagai usaha untuk memperpendek masa pengobatan.
Untuk prognosis kesembuhan dan kehidupan pada pasien ini adalah bonam
selama pasien dapat berobat dan kontrol teratur, prognosis kosmetik adalah dubia
ad bonam karena lesi tidak luas dan warna lesi menyerupai warna kulit, sedangkan
prognosis fungsi adalah dubia ad malam karena sudah terdapat anestesi.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Wolff Klaus, Doldsmith, Stevern, Barbara. Fitzpatrick’s Dermatology in


General Medicine 8th ed. New York : McGraw Hill 2011.
2. Wisnu I, Daili ESS, Menaldi. Kusta. Dalam: Menaldi SL (eds). Ilmu Penyakit
kulit dan Kelamin. Edisi ke-7. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. 2017.
3. Kusta. Pusat data dan informasi Kementerian Kesehatan RI. 2015.pp: 1-8.
4. Global Leprosy Strategy 2016-2020. World Health Organization. 2016.
5. Global Leprosy Update. World Health Organization. 2017
6. Hajar,S. Morbus Hansen Biokimia dan Imunopatogenesis. Journal
Kedokteran Syiah Kuala. 2017. Vol.17(3), p.190-4.
7. Schieke SM, Garg A. Fungal disease: superficial fungal infection.
In:Goldsmith LA, Katz SI,Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolf K, eds.
Fitzpatrick’s Dermatology in GeneralMedicine. 8th Ed: Volume 2. New
York: McGraw-Hill; 2012.
8. James WD, Berger TG, Elston DM, eds. Andrews’ Disease of the Skin,
Clinical Dermatology.12th Ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2015.
9. Burns T., B.S., Cox N. et al, Rook’s Textbook of Dermatology. 9th Edition. 2016.
10. James W. D., B.T.G., Elston D. M, Andrew’s Diseases Of Skin: ClinicalDer matology
12th edition.2015

37
38
39

Anda mungkin juga menyukai