Anda di halaman 1dari 48

205

PDT : Neurologi
Abses Otak
Atropi Spinal Muskular
Bell's Palsy
Edema Otak
Ensefalitis Herpes Simpleks
Epilepsi Lobus Temporalis
Hidrosefalus
Infeksi Virus Sitomegalo
Kejang Demam
Mati Otak
Meningitis
Palsi Serebral
Sindroma Down
Sindroma Guillain-Barre
Status Epileptikus
206

ABSES OTAK
Darto Saharso
Divisi Neuropediatri
Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak – FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya

BATASAN
Proses pernanahan yang terlokalisir diantara jaringan otak, baik disertai pembentukan kapsul atau
tidak.

PATOFISIOLOGI
Penyebab terbanyak adalah bakteri anaerobik (70%). Bakteri lain yang jadi penyebab
adalah Streptococcus sp, Staphylococcus sp, Bacteriodes fragilis.
Pada bayi baru lahir biasanya disebabkan oleh Proteus sp, E coli, Group B Streptococcus.
Abses otak dapat terjadi karena:
1. Penyebaran langsung dari fokus infeksi yang berdekatan dengan otak, misalnya
infeksi telinga tengah, sinusitis paranasalis dan mastoiditis
2. Penyebaran dari fokus infeksi yang jauh secara hematogen
3. Infeksi akibat trauma tembus kepala
4. Infeksi pasca operasi kepala

Penyakit jantung bawaan sianotik dengan pirau dari kanan ke kiri (misalnya pada
Tetralogy of Fallot), terutama pada anak berusia lebih dari 2 tahun, merupakan faktor
predisposisi terjadinya abses otak
Terjadinya abses otak melalui 4 stadium, yaitu:
1. Stadium serebritis dini (hari ke 1 – 3)
2. Stadium serebritis lambat (hari ke 4 – 9)
3. Stadium pembentukan kapsul dini (hari ke 10 – 14)
4. Stadium pembentukan kapsul lambat (setelah hari ke 14)
GEJALA KLINIS
 Tidak ada satupun gejala klinis khas untuk abses otak.
 Gambaran klasik yang sering dijumpai berupa sakit kepala, panas, defisit
neurologis fokal, kejang dan gangguan kesadaran.

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS


 Anamnesis:
Sakit kepala merupakan keluhan dini yang paling sering dijumpai (70 – 90%).
Terkadang juga didapatkan mual, muntah dan kaku kuduk (25%).
 Pemeriksaan fisik:
Panas tidak terlalu tinggi. Defisit neurologis fokal menunjukkan adanya edema di
sekitar abses. Kejang biasanya bersifat fokal. Gangguan kesadaran mulai dari
perubahan kepribadian, apatis sampai koma. Apabila dijumpai papil edema
menunjukkan bahwa proses sudah berjalan lanjut. Dapat dijumpai hemiparese dan
disfagia.
207

 Pemeriksaan laboratorium:
o Darah: jarang dapat memastikan diagnosis. Biasanya lekosit sedikit
meningkat dan laju endap darah meningkat pada 60% kasus
o Cairan Serebro Spinal (CSS): dilakukan bila tidak ada tanda-tanda
peningkatan tekanan intra kranial (TIK) oleh karena dikhawatirkan terjadi
herniasi
 Pemeriksaan radiologi:
CT Scan: CT scan kepala dengan kontras dapat dipakai untuk memastikan
diagnosis. Pada stadium awal (1 dan 2) hanya didapatkan daerah hipodens dan
daerah irreguler yang tidak menyerap kontras. Pada stadium lanjut (3 dan 4)
didapatkan daerah hipodens dikelilingi cincin yang menyerap kontras

DIAGNOSIS BANDING
 Tumor di daerah serebropontin
 Abses ekstradural
 Empiema subdural
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan medikamentosa dengan atau tanpa aspirasi dilakukan pada stadium
serebritis, abses multipel dan abses yang didapatkan pada daerah kritis
Pada penatalaksanaan medikamentosa diberikan:
1. Cefotaxime 200-300 mg/KgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis selama 6 minggu
atau
Kombinasi Ampicillin 200 mg/KgBB/hari IV dibagi dalam 6 dosis +
Chloramphenicol 100 mg/KgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis.
2. Metronidazole 15 mg/KgBB/dosis IV kemudian dilanjutkan dengan 7,5
mg/KgBB/dosis IV/PO setiap 6 jam selama 7 hari (maksimal 4 g/hari).
3. Apabila didapatkan peningkatan TIK dapat diberikan:
a. Mannitol dosis awal 0,5-1 mg/KgBB IV kemudian dilanjutkan 0,25-0,5
mg/KgBB IV setiap 4-6 jam
b. Dexamethasone dosis awal 0,5 mg/KgBB IV dilanjutkan dengan dosis
rumatan 0,5 mg/KgBB/hari IV dibagi dalam 3 dosis atau
Methylprednisolone dosis awal 1-2 mg/KgBB IV dilanjutkan dengan dosis
rumatan 0,5 mg/KgBB/dosis setiap 6 jam
Pengurangan dosis (tappering off) dimulai pada hari ke 5
Perhatian: Steroid dapat menghambat penetrasi antibiotik pada abses dan
menghambat pembentukan dinding abses yang berakibat abses mudah
pecah dan terjadi meningitis.

KOMPLIKASI
 Herniasi unkal atau tonsiler karena kenaikan TIK
 Ventrikulitis karena pecahnya abses di ventrikel
 Perdarahan abses

PROGNOSIS
Prognosis baik bila usia muda, tidak didapatkan gangguan neurologis berat dan tidak ada
penyakit yang mendasari.
208

DAFTAR PUSTAKA
1. Osenbach RK, Loftus CM: Diagnosis and management of brain abscess. Neurosurg
Clin N Am, 1992, Apr ; 3(2) : 403-20.
2. Saez-Liorens X: Brain abscess in children. Semin Pediatr Infect Dis 2003, 2003 ; 14
(2) : 108-14.
3. Sennaroglu L., Sozeri B: Otogenic brain abscess : review of 41 cases. Otolaryngol
Head Neck Surg 2000, Dec ; 123 (6) : 751-5.
4. Seydoux C, Francioli P: Bacterial brain abscesses : Factors influencing mortality and
sequellae. Clin Infect Dis, 1992 ; 15 (3) : 394-401.
5. Ucapan terima kasih kepada: dr. Erny, Sp.A atas bantuan dalam penyusunan
pedoman diagnosis & terapi, Neurologi anak.
209

ATROPI SPINAL MUSKULAR (ASM)


Darto Saharso
Divisi Neuropediatri
Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak – FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya

BATASAN
Atropi spinal muskular (atau spinal muscular atrophy) yang lazim disingkat SMA
merupakan kumpulan kelainan otosomal resesif yang ditandai dengan kelemahan
progresif lower motor neutron (LMN)

PATOFISIOLOGI
SMA secara anatomis ditandai dengan hilangnya lower (alpha) motor neuron sepanjang
medula spinalis dan nukleus saraf motorik tertentu di batang otak (yaitu nukleus saraf
kranialis V, VI, IX dan XII)
Penelitian menunjukkan pada penderita SMA terjadi mutasi kromosom pada gen 5q11.2-
13.3 yang mengkode pembentukan pembentukan protein survival motor neuron (SMN).
Mutasi pada gen tersebut menyebabkan SMN yang terbentuk tidak dapat berfungsi
membentuk spliceosoma small nuclear ribonucleoproteins (snRPNs), padahal snRPNs
berperan pada fase awal pembentukan mRNA.
Tetapi mengapa kerusakan yang terjadi hanya mengenai LMN dan bersifat progresif
masih belum jelas.
SMA dibagi menjadi beberapa tipe berdasarkan usia saat timbulnya gejala klinis:
(Walton, 1957; Bradley 1996; Rudnik-Schoneborn, 1996; Fenichel, 1997; Joynt, 1997;
Menkes)
1. SMA Tipe I – Infantil Aut atau Wernig-Hoffman disease
Timbul sebelum usia 6 bulan, dimana 95% kasus timbul pada usia sekitar 3 bulan
2. SMA Tipe II – Infantil Kronik
Merupakan tipe SMA tersering dijumpai. Gejala klinisnya timbul pada usia 6
sampai dengan 18 bulan
3. SMA Tipe III – Juvenil Kronik atau Kugelberg-Welander syndrome
Merupakan tipe SMA dengan klinik paling ringan yang timbul setelah usia 18
bulan
4. SMA Tipe IV – Onset Dewasa
Gejala klinis tibul pada usia 30an dan pasien memiliki harapan hidup yang baik

GEJALA KLINIS
Gejala klinis SMA tergantung pada tipenya, yaitu:
 Tipe I:
o Hipotoni
o Disfungsi bulbaris (sulit mengisap, menelan dan bernafas)
o Floppy infant
o Biasanya didapatkan riwayat sianosis berkepanjangan pada waktu lahir
 Tipe II:
o Gangguan tumbuh kembang berupa motoric delay dimana penderita belum
bisa duduk atau berdiri sendiri pada usia 1 tahun.
210

o Tremor jari-jari yang diduga berkaitan dengan fasikulasi pada otot-otot


skeletal
o Psedohipertropi m. gastroknemius
o Deformitas muskoloskeletal
o Gagal nafas
 Tipe III:
o Kelemahan otot-otot proksimal yang progresif lambat
o Penderita biasanya dapat berdiri dan berjalan tetapi kesulitan melakukan
gerakan motorik khusus (mendaki, naik tangga, dll)
o Disfungsi bulbar tidak terjadi pada awal penyakit
 Tipe IV:
o Gejala klinisnya mirip tipe III

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS


 Pemeriksaan fisik: ~ lesi LMN
o Kelemahan flasid
o Hipotonia
o Refleks tendon dalam menurun atau tidak ada
o Fasikulasi
o Atropi otot
 Pemeriksaan laboratorium:
o Kadar creatinine kinase (CK) normal pada SMA tipe I dan sedikit
meningkat pada 3 tipe lainnya
o Analisa cairan serebro-spinal normal
o Analisa kromosom, khususnya pada rantai 5q
 Pemeriksaan elektrofisiologis:
o NCV normal
o Conduction Motor Action Potentials (CMAPs) rendah normal atau
menurun (tergantung tingkat keparahan penyakitnya)
Pada kelemahan yg kronik, CMAPs mendekati normal karena telah terjadi
re-inervasi dan kolateral
 Biopsi otot:
o Dilakukan untuk membedakan dengan penyakit neuromuskular lainnya
o Pada awal penyakit tampak atropi serabut-serabut oto dan hipertropi
kompensasi
o Tampak degenerasi atau hilangnya SMN dengan gambaran neurogenik
pada morfologi otot

DIAGNOSIS BANDING
 Distropi muskular kongenital
 Miopati kongenital
 Gangguan metabolisme karbohidrat
 Miastenia gravis
211

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaannya bersifat suportif dan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup
pasien dan untuk meminimalkan kecacatan, terutama pada pasien progresif lambat.
Pengobatan farmakologis khusus tidak ada.
Terapi pembedahan (koreksi skoliosis atau intervensi ortopedi lainnya) diindikasikan bila
didapatkan kemungkinan harapan hidup yang lama.
Pemberian vantilasi non mekanik dan percutaneous gastrostomy dilaporkan mampu
meningkatkan kualitas hidup tetapi tidak berpengaruh terhadap kemungkinan harapan
hidup.

KOMPLIKASI
 Pnemonia
 Skoliosis
 Kontraktur sendi
 Gagal nafas

PROGNOSIS
 SMA tipe I: angka harapan hidup usia 2, 4, 10 dan 20 tahun adalah 32%, 18%, 8%
dan 0%
Kebanyakan SMA tipe I meninggal sebelum usia 18 bulan
 SMA tipe II: angka harapan hidup usia 2, 4, 10 dan 20 tahun adalah 100%, 100%,
98% dan 77%
 SMA tipe III:
o Onset < 3 tahun: angka harapan hidup usia 2, 4, 10, 20 dan 40 tahun
adalah 98%, 94,5%, 73%, 44% dan 34%
o Onset > 3 tahun: angka harapan hidup usia 2, 4, 10, 20 dan 40 tahun
adalah 100%, 100%, 97%, 89% dan 67%
 SMA tipe II: angka harapan hidup usia 2, 4, 10 dan 20 tahun adalah 100%, 100%,
98% dan 77%

DAFTAR PUSTAKA
1. Swaiman KF, Anterior horn cell and cranial motor neuron disease. In: Swaiman KF
ed. Pediatric Neurology – Principles and Practice. 2nd ed. St. Louis: Mosby; 1994;
1407-14.
2. Tsao B, Armon C. Spinal Muscular Atrophy,
http://www.emedicine.com/neuro/topic631.htm , update terakhir 5 Mei 2006,
didownload 18 Mei 2006, jam 14.30 WIB
212

BELL’S PALSY
Darto Saharso
Divisi Neuropediatri
Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak – FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya

BATASAN
Kelumpuhan pada N Fasialis perifer yang bersifat mendadak dan unilateral.

PATOFISIOLOGI
Patofisiologinya belum jelas, tapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses
inflamasi pada N Fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter N Fasialis sehingga
terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal.
Perjalanan N Fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang
mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen
meatal. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi
atau iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi.
Etiologinya sebagian besar idiopatik, tetapi beberapa penelitian mendukung adanya
infeksi sebagai penyebab Bell’s Palsy terutama HSV.
Pada Bell’s Palsy harus dipertimbangkan kemungkinan adanya faktor-faktor lain
penyebab kelumpuhan N Fasialis antara lain :
 Aneurisme vertebral, arteri basilaris atau arteri karotis
 Meningitis karsinomatous
 Trauma fasialis
 Meningitis leukemia
 Operasi telinga bagian tengah
 Trauma perinatal
 Tumor pada glandula parotis
 Osteomielitis pada basis kranii

GEJALA KLINIS
 Nyeri dibelakang telinga
 Gangguan sensoris pada daerah yang terkena
 Biasanya didahului oleh URI dan atau infeksi virus lainnya
 Drooling
 Gangguan pengecapan
 Gangguan pendengaran
 Pengeluaran air mata berlebihan

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS


 Pemeriksaan fisik:
Kelumpuhan N Fasialis mudah terlihat hanya dengan pemeriksaan fisik, tetapi
yang harus diteliti lebih lanjut adalah apakah ada penyebab lain yang
menyebabkan kelumpuhan N Fasialis.
213

Pada lesi supranuklear, dimana lokasi lesi diatas nukleus fasialis di Pons, maka
lesinya bersifat UMN. Pada kelainan tersebut, sepertiga atas N Fasialis normal,
sedangkan duapertiga dibawahnya mengalami paralisis.
Pemeriksaan N Canialis lainnya dalam batas normal.
 Pemeriksaan laboratorium:
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis
Bell’s Palsy.
 Pemeriksaan radiologi:
Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bell’s palsy. Pemeriksaan CT Scan
dilakukan jika dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang,
stroke, skleloris multipel dan AIDS pada CNS.
 Pemeriksaan elektrofisiologi:
Pemeriksaan Elektrofisiologi untuk mengetahui fungsi N Fasialis jarang
dilakukan.

DIAGNOSIS BANDING
 Tumor jinak skull
 Aneurisma serebral
 Meningioma
 Sklerosis multipel

PENATALAKSANAAN
Pada keadaan darurat terapi yang dianjurkan adalah farmakologis:
1. Steroid: Prednisone 1 mg/KgBB/hari PO selama 7 hari
Masih kontroversi, beberapa penelitian menunjukkan adanya keuntungan tapi di
lain pihak mengatakan tidak ada gunanya.
2. Antivirius: Acyclovir 20 mg/KgBB/hari PO
Dapat dipertimbangakan karena beberapa peneliti menyatakan virus sebagai
penyebab Bell’s Palsy.
3. Perawatan mata: untuk menghindari terjadinya kekeringan kornea dan trauma
benda asing, maka diberikan air mata buatan, salep mata selama tidur dan
kacamata untuk menghindari sinar matahari dan benda asing.
Bila kondisi penderita sudah stabil, penanganan rehabilitasi medis dapat segera diberikan.

KOMPLIKASI
Sebagian Bell’s Palsy akan membaik tanpa deformitas, tetapi 1/3 penderita dapat
mengalami sekuele berupa:
1. Regenerasi motorik tidak lengkap.
Dengan tanda epifora, inkompeten oral dan obstruksi nasal.
2. Regenerasi sensorik tidak lengkap.
Dengan tanda disgeusia (gangguan pengecapan), ageusia (kehilangan
pengecapan), disesthesia (kehilangan sensasi atas stimulasi).
214

PROGNOSIS
1. Pemulihan lengkap tanpa gejala sisa
2. Pemulihan tidak lengkap pada fungsi motorik, tetapi tidak ada defek pada
kosmetik
3. Kecacatan menetap yang nyata

DAFTAR PUSTAKA
1. Adam RD, Victor M, eds. : part 5: Disease of the spinal cord, peripheral nerve, and
muscle. In : Principles of Neurology, 5th ed. New York : Mc Graw Hill ; 1993 : 1175-
7.
2. English JB, Stommel EW, Bernat JL: Recurrent Bell Palsy, Neurology, 1996 August ;
47 (2) : 407-16.
3. Morrow MJ: Bell palsy and Herpes Zoster Otikus. Curr Treat Option Neurol, 2000
September ; 2 (5) : 407-16.
4. Victor M, Martin J: Disorders of the cranial nerves. wmj 2000 ; 173 : 266-6.
5. Williamson IG, Whelan TR: The clinical problems of bell palsy : Is treatment with
steroid effective? Br J Gen Pract, 1996 December ; 46 (413) 743-7.
6. Ucapan terima kasih kepada: dr. Erny, Sp.A atas bantuan dalam penyusunan pedoman
diagnosis & terapi, Neurologi anak
215

EDEMA OTAK
Darto Saharso
Divisi Neuropediatri
Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak – FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya

BATASAN
Edema otak adalah peningkatan kadar air di dalam jaringan otak baik intra maupun
ekstraselular sebagai reaksi terhadap proses-proses patologis lokal ataupun pengaruh-
pengaruh umum yang merusak.

PATOFISIOLOGI
Ada 3 tipe edema otak:
1. Edema Vasogenik
Terjadi karena kenaikan permeabilitas kapiler dan kerusakan sawar darah otak,
sehingga cairan dari pembuluh darah masuk ke ruang ekstraselular terutama
terletak dalam white matter.
Penyebabnya adalah tumor otak, trauma, abses otak, perdarahan otak dan
meningitis bakteri.
2. Edema Sitotoksik
Terjadi karena gangguan permeabilitas membran sel sehingga terjadi penumpukan
cairan di ruang intraselular dan penumpukan cairan tersebut terletak di dalam
white dan grey matter.
Penyebabnya adalah hipoksia, hipoosmolar, iskemia, meningitis bakteri dan
sindrom Rey.
3. Edema Hidrostatik
Terjadi karena adanya perbedaan tekanan hidrostatik di sistem ventrikel yang
disebabkan oleh gangguan sirkulasi dari cairan serebrospinal, cairan tersebut
terletak di interstitial daerah periventrikular.
Penyebabnya adalah obstruksi hidrosefalus.

GEJALA KLINIS
Edema otak dimanifestasikan dengan adanya tanda-tanda kenaikan tekanan intrakranial,
yaitu:
 Sakit kepala
 Muntah
 Gangguan kepribadian: irritable, pemarah, apatis dan penurunan prestasi sekolah
 Pada bayi-bayi didapatkan penambahan lingkar kepala lebih besar dari normal
dan ubun-ubun besar menonjol
 Gangguan penglihatan: edema yang bersifat kronis dapat menyebabkan paralise
N.VI
 Papil edema: biasanya didapatkan pada anak dengan fontanella yang telah
menutup
 Gangguan motorik
216

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS


 Pemeriksaan fisik:
Kalau mungkin pada bayi secara external dengan modified Schotz tonometer.
 Pemeriksaan radiologi:
CT Scan: CT Scan kepala dengan kontras dapat dipakai untuk memastikan
diagnosis.

PENATALAKSANAAN
Pada dasarnya sesuai dengan penatalaksanaan peningkatan tekanan intrakranial.
1. Menurunkan volume darah otak
 Hiperventilasi
 Elevasi kepala 30o dengan posisi di tengah dengan tujuan tidak
menghambat venous return
 Menurunkan metabolisme otak dengan pemberian barbiturat
 Cegah atau atasi kejang
 Cegah hiperpireksia
 Apabila mungkin dilakukan surface cooling supaya terjadi hipothermia
 Restriksi cairan 60% kebutuhan, kecuali bila hipotensi
2. Menurunkan volume dari cairan serebrospinal
 Acetazolamide 25 mg/KgBB/hari PO dibagi dalam 3 dosis. Dosis dapat
dinaikkan 25 mg/KgBB/hari (Maksimal 100 mg/KgBB/hari)
 VP shunt
3. Menurunkan volume otak
 Osmotik diuretik: Mannitol dosis awal 0,5-1 mg/KgBB IV kemudian
dilanjutkan 0,25-0,5 mg/KgBB IV setiap 4-6 jam
 Loop diuretik: Furosemide 0,5-1 mg/KgBB/dosis IV tiap 6-12 jam
 Steroid: Dexamethasone dosis awal 0,5 mg/KgBB IV dilanjutkan dosis
rumatan 0,1 mg/KgBB/dosis tiap 6 jam selama 3 hari
4. Apabila 1, 2, 3 tidak ada kemajuan, dipertimbangkan untuk melakukan temporal
dekompresi dengan kraniektomi.

KOMPLIKASI
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah herniasi otak, distorsi batang otak dan regangan
arteri. Ditandai dengan keadaan umum anak mendadak memburuk, dengan tanda-tanda
berupa penurunan kesadaran, dilatasi pupil, bradikardi dan pernafasan yang irregular.

DAFTAR PUSTAKA
1. Hahn JF: Cerebral edema and neuro intensive care. Pediat clins N. Am. 27 : 587-592
(1980).
2. Mickell JJ: Evaluation and treatment of intracranial hypertension in neurological
emergencies in infancy and childhood, 1st ed. Pp 71-79. Harper & Raw Philadelphia,
1984.
3. Rosman NP: increased intracranial pressure in childhood, Pediat, Clins N. Am. 21 :
483-499 (1974).
217

4. Ucapan terima kasih kepada: dr. Erny, Sp.A atas bantuan dalam penyusunan pedoman
diagnosis & terapi, Neurologi anak
ENSEFALITIS HERPES SIMPLEKS
Darto Saharso
Divisi Neuropediatri
Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak – FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya

BATASAN
Inflamasi parenkim otak yang disebabkan infeksi virus Herpes tipe 1 (HSV-1) dan tipe 2
(HSV-2)

PATOFISIOLOGI
Belum jelas, ada kemungkinan:
 Infeksi primer akibat transmisi virus secara langsung melalui jalur neuronal dari
perifer ke otak melalui N. Trigeminus atau N. Olfactorius. Faktor presipitasi
adalah penurunan sistim imun host
 Reaktivasi infeksi herpes virus laten dalam otak
Pada neonatus penyebab terbanyak adalah HSV-2 yang merupakan infeksi dapatan dari
sekret genital yang terinfeksi pada saat persalinan

GEJALA KLINIS
 Bersifat akut/subakut
 Demam
 Nyeri kepala
 Gejala psikiatrik
 Kejang
 Muntah
 Kelemahan otot fokal
 Hilangnya memori
 Gangguan status mental
 Fotofobia
 Kelainan gerakan
 Pada neonatus gejala mulai tampak pada usia 4-11 hari berupa letargik, malas
minum, iritabel dan kejang

DIAGNOSIS
 Pemeriksaan fisik:
Gangguan kesadaran, demam, disfasia, ataxia, kejang fokal > general,
hemiparesis, gangguan saraf otak, hilangnya lapangan pandang dan papiledema.
Pada neonatus: temperatur tidak stabil, ubun-ubun besar menonjol, tanda traktus
piramidalis, ikterus, renjatan, perdarahan, distres nafas dan lesi kulit yang khas.
 Pemeriksaan laboratorium:
 Analisis CSS: Pada minggu pertama dapat normal, pleositosis
mononuklear, peningkatan ringan protein, kadar glukose normal/menurun
ringan, jumlah sel normal. Kultur CSS dapat positif pada neonatus
218

 PCR: sensitif dan spesifik

 Pemeriksaan radiologi:
MRI: Merupakan pilihan utama, lesi bermakna pada lobus temporalis bagian
medial dan bagian inferior lobus frontalis
 Pemeriksaan EEG:
Cukup sensitive tapi tidak spesifik
 Pemeriksaan biopsi otak:
Merupakan pemeriksaan definitif untuk menegakkan diagnosis

DIAGNOSIS BANDING
 Meningitis aseptik

PENATALAKSANAAN
1. Acylovir 10 mg/KgBB/dosis setiap 8 jam IV drip dalam 1 jam selama 10 hari
2. Terapi suportif lainnya (anti kejang, obat penurun panas, oksigenasi, nutrisi
parenteral dan enteral)

KOMPLIKASI
 Edema otak
 Perdarahan serebral

PROGNOSIS
Angka kematian dengan terapi Acyclovir 19%.
Sekuelae tergantung pada usia dan status neurologi pada saat diagnosis ditegakkan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Atkins JT. HSV PCR for CNS infections : pearls and pitfalls. Pediatr Infect Dis J,
1999 ; 18 : 823-4.
2. Domingues RB, Tsanalics AM, Pannuti CS, et al. Evaluation of the range of clinical
presentations of herpes simplex encephalitis by using polymerase chain reaction assay
of cerebrospinal fluid samples. Clin Infect Dis, 1997 ; 25 : 86-9.
3. Dupuis O, Audibert F, Fernandez H. Herpes simplex virus encephalitis in pregnancy.
Obstet Gynecol, 1999 ; 94 : 810-2.
4. Kohl S. Postnatal herpes simplex virus infection. In: Feign RD, Cherry JD, eds.
Textbook of pediatric infectious diseases. Philadelphia : WB Saunders ; 1992.
5. Ucapan terima kasih kepada : dr. Erny, Sp.A atas bantuan dalam penyusunan
pedoman diagnosis & terapi, Neurologi anak
219

EPILEPSI LOBUS TEMPORALIS


Darto Saharso
Divisi Neuropediatri
Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak – FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya

BATASAN
Kejang berulang tanpa provokasi yang berasal dari medial atau lateral lobus temporalis,
biasanya berupa kejang parsial sederhana tanpa gangguan kesadaran, dengan atau tanpa
aura, dan dapat berupa kejang parsial kompleks dengan gangguan kesadaran. (ILAE-
1985)

PATOFISIOLOGI
Lima puluh persen epilepsi merupakan tipe parsial dan epilepsi parsial merupakan
epilepsi lobus temporalis (ELT).
Pada epilepsi lobus temporalis sering didapatkan sklerosis pada daerah hipokampus.
Sklerosis ini akan menyebabkan kematian sel daerah hipokampus pada regio CA1, CA3
dan hilus dentatus
Penyebab yang sering menimbulkan epilepsi lobus temporalis ini adalah:
 Post infeksi SSP (ensefalitis herpes simpleks dan meningitis bakteri)
 Trauma kepala yang menimbulkan ensefalomalasia dan sikatrik korteks
 Glioma
 AVM
 Hamartomas
 Genetik
 Kejang demam komplikata

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS


 Anamnesis:
Aura dijumpai pada 80% penderita ELT. Aura yang timbul dapat berupa gejala
penciuman, ilusi, halusinasi penglihatan dan halusinasi pendengaran.
Kadang ditemukan adanya distorsi menilai ukuran benda dan jarak penderita
dengan obyek.
Pnenomena psikis yang dapat timbul adalah dejavu, depersonalisasi dan
derealisasi.
Juga dapat disertai dengan perasaan cemas dan takut.
 Pemeriksaan fisik:
o Penderita menjadi diam
o Mata melebar, pupil dilatasi
o Otomatisasi gerak bibir, gerakan mengecap, mengunyah atau menelan
berulang
o Postur distonik unilateral tungkai
 Pemeriksaan radiologi:
220

MRI: dijumpai atropi hipokampus pada 87% penderita




 Pemeriksaan EEG:
Gelombang paku dan gelombang tajam yang diikuti dengan gelombang lambat
pada regio temporal anterior (F7/F8 dan T3,T4) atau regio temporal basal (F9/F10
dan T9/T10)

DIAGNOSIS BANDING
 Epilepsi lobus frontalis
 Narkolepsi

PENATALAKSANAAN
1. Carbamazepine dosis awal 5 mg/KgBB/hari PO, kemudian dilanjutkan dengan
dosis rumatan 15-20 mg/KgBB/hari PO, atau
Phenytoin dosis awal 5-7 mg/KgBB/hari PO, kemudian dilanjutkan dengan dosis
rumatan 5-7 mg/KgBB/hari PO
2. Bila tidak ada respon dapat dilakukan stimulai N. Vagus atau lobektomi temporal
anterior

PROGNOSIS
Penderita ELT memiliki kecenderungan mengalami kematian mendadak 50x lebih tinggi
daripada populasi normal.
Jika setelah 2 tahun tidak mengalami kejang kembali dapat dikatakan memiliki prognosis
yang baik.
Penderita dapat mengalami gangguan bicara dan defisit fungsi memori.

DAFTAR PUSTAKA
1. Acharya V, Acharya J, Luders H, Olfactory epilepsy aura. Neurology 1998
Jul;51(1):56-61
2. Foldvary N, Nashold B, Mascha E, Seizures outcome after temporal lobectomy for
temporal lobe epilepsy: a Kaplan-Meier survival analysis. Neurology 2000 Feb
8;54(3):630-4
3. Gollham R, Kane K, Bryant-Comstock L: A double-blind comparison of lamotrigine
and carbamazepine in newly diagnosed epilepsy with health-related quality of life as
an outcome measure. Seizures 2000 Sep;9(6):375-9
4. Harvey AS, Berkovic SF, Wrennall JA: Temporal lobe epilepsy in childhood, clinical
EEG and neuroimaging findings and syndrome classification in a cohort with new
onset seizures. Neurology 1997 Oct;49(4):960-8
221

HIDROSEFALUS
Darto Saharso

Divisi Neuropediatri
Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak – FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya

BATASAN
Hidrosefalus adalah suatu keadaan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya
cairan serebrospinalis, disebabkan baik oleh produksi yang berlebihan maupun gangguan
absorpsi, dengan atau pernah disertai tekanan intrakanial yang meninggi sehingga terjadi
pelebaran ruangan-ruangan tempat aliran cairan serebrospinalis.

PATOFISIOLOGI
Hidrosefalus terjadi karena adanya gangguan absorpsi, obstruksi, cairan serebrospinalis
dan/atau produksi yang berlebihan.
Penyebab terjadinya hidrosefalus pada bayi dan anak dibagi menjadi 2, yaitu
1. Penyebab bawaan (kongenital):
a. Stenosis akuaduktus silvii (10%)
b. Malformasi Dandy-Walker (2-4%)
c. Malformasi Arnold-Chiari tipe 1 dan 2
d. Agenesis Foramen Monro
e. Toksoplasmosis kongenital
f. Sindroma Bickers-Adams
2. Penyebab dapatan:
a. Tumor (20%), misalnya meduloblastoma, astrositoma, kista, abses atau
hematoma
b. Perdarahan intraventrikular
c. Meningitis bakterial
d. Peningkatan tekanan sinus venosus (akondroplasia, kraniostenosis atau
trombosis venous)
e. Iatrogenik: Hipervitaminosis A dapat menyebabkan peningkatan sekresi
cairan serebrospinal atau meningkatkan permeabilitas sawar darah otak,
sehingga menimbulkan hidrosefalus
f. Tidak diketahui
GEJALA KLINIS
 Bayi:
Pada bayi, kepala dengan mudah membesar sehingga akan didapatkan gejala :
o Kepala makin membesar
o Veba-vena kepala prominen
o Ubun-ubun melebar dan tegang
o Sutura melebar
o “Cracked-pot sign”, yaitu bunyi seperti pot kembang yang retak atau buah
semangka pada perkusi kepala
222

o Perkembangan motorik terlambat


o Perkembangan mental terlambat
o Tonus otot meningkat, hiperrefleksi (refleks lutut/akiles)
o “Cerebral cry”, yaitu tangisan pendek, bernada tinggi dan bergetar
o Nistagmus horisontal
o “Sunset phenomena”, yaitu bola mata terdorong ke bawah oleh tekanan
dan penipisan tulang tulang supraorbita, sklera tampak di atas iris,
sehingga iris seakan-akan seperti matahari yang akan terbenam.
 Anak:
Bila sutura kranialis sudah menutup, terjadi tanda-tanda kenaikan tekanan
intrakranial :
o Muntah proyektil
o Nyeri kepala
o Kejang
o Kesadaran menurun
o Papiledema

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS


 Pemeriksaan fisik:
o Pengukuran lingkaran kepala secara berkala. Pengukuran ini penting
untuk melihat pembesaran kepala yang progresif atau lebih dari normal
o Transiluminasi
 Pemeriksaan darah:
o Tidak ada pemeriksaan darah khusus untuk hidrosefalus
 Pemeriksaan cairan serebrospinal:
o Analisa cairan serebrospinal pada hidrosefalus akibat perdarahan atau
meningitis untuk mengetahui kadar protein dan menyingkirkan
kemungkinan ada infeksi sisa
 Pemeriksaan radiologi:
o X-foto kepala: tampak kranium yang membesar atau sutura yang melebar.
o USG kepala: dilakukan bila ubun-ubun besar belum menutup.
o CT Scan kepala: untuk mengetahui adanya pelebaran ventrikel dan
sekaligus mengevaluasi struktur-struktur intraserebral lainnya

DIAGNOSIS BANDING
 Bayi sehat
 Ciri keluarga (“familial feature”)
 Megaensefali
 Hidranensefali
 Tumor otak
 Cairan subdural (”subdural effusion”)

PENATALAKSANAAN
 Farmakologis:
Mengurangi volume cairan serebrospinalis:
223

o Acetazolamide 25 mg/KgBB/hari PO dibagi dalam 3 dosis. Dosis dapat


dinaikkan 25 mg/KgBB/hari (Maksimal 100 mg/KgBB/hari)
o Furosemide 1 mg/KgBB/hari PO dibagi dalam 3-4 dosis
Catatan: Lakukan pemeriksaan serum elektrolit secara berkala untuk mencegah
terjadinya efek samping.
Bila ada tanda-tanda infeksi, beri antibiotika sesuai kuman penyebab.
 Pembedahan:
(Lihat Bagan Penatalaksanaan Hidrosefalus)
KOMPLIKASI
 Hernia serebri
 Kejang
 Renjatan
224

INFEKSI VIRUS SITOMEGALO KONGENITAL


Darto Saharso
Divisi Neuropediatri
Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak – FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya

BATASAN
Infeksi Virus Sitomegalo (Citomegalo Virus atau CMV) adalah infeksi yang tejadi pada
bayi dari ibu penderita CMV selama masa kehamilan.

PATOFISIOLOGI
Transmisi vertikal dari ibu ke bayi melalui transplacental. Infeksi CMV pada ibu hamil bisa
secara primer atau rekuren. Infeksi primer pada ibu hamil ditandai dengan terjadinya serokonversi
dari IgG antibodi CMV selama kehamilan atau didapatkan IgG dan IgM CMV bersama-sama
selama kehamilan. Sedangkan infeksi rekuren ditandai adanya antibodi CMV pada fase sebelum
terjadinya pembuahan.
Pada infeksi primer, transmisi infeksi ke bayi sebesar 40%. Adanya IgG anti CMV pada ibu hamil
tidak memberi perlindungan kepada bayi, sehingga kelainan kongenital mungkin terjadi.

GEJALA KLINIS
Pada bayi baru lahir, 10% diantaranya akan menunjukkan gejala klinik berupa:
 IUGR
 Ikterus
 Hepatosplenomegali
 Ptekie sampai purpura
 Pneumonia.
 Biasanya juga dijumpai kelainan kongenital lain seperti: penyakit jantung bawaan (defek
septal), atresia bilier, hernia inguinalis dan abnormalitas muskuloskeletal

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS


 Anamnesis:
Bayi tidak bergerak aktif dan malas minum
 Pemeriksaan fisik:
Letargi, hiper/hipotoni, mikrosefali, chorioretinitis dan tuli neural sensorik.
 Pemeriksaan laboratorium:
Diagnosis pasti infeksi CMV dilakukan dengan melakukan pemeriksaan pada:
o
Urine dan saliva pada 3 minggu pertama kelahiran.
 Pemeriksaan sesegera mungkin harus dilakukan, jika virus didapatkan
pada bayi usia >3 minggu, infeksi yang terjadi mungkin didapatkan
selama kehamilan (kongenital), perinatal atau postnatal.
o
Pemeriksaan IgG dan IgM anti CMV.
 Pemeriksaan serologi ini sering dilakukan untuk menegakkan
diagnosis infeksi CMV kongenital tetapi kadang-kadang
membingungkan.
225

 Dikatakan infeksi CMV kongenital positif jika didapatkan IgM anti


CMV (+) pada saat lahir tetapi hasil IgM anti CMV (-) tidak
menyingkirkan diagnosis infeksi CMV kongenital.
 Titer IgG anti CMV penderita yang meningkat signifikan
dibandingkan dengan titer ibu menunjukkan kemungkinan bayi
tersebut menderita infeksi kongenital aktif, tetapi untuk lebih
memastikan lakukan pemeriksaan ulang pada bulan I, III dan VI.
 Kemungkinan infeksi CMV kongenital bisa disingkirkan jika terdapat
penurunan titer IgG anti CMV.
 Apabila pada pemeriksaan cairan serebrospinal dijumpai DNA CMV
maka hal tersebut menunjukkan telah terjadi proses kerusakan di otak.
o
Antigenemia CMV.
 Kuantifikasi antigenemia dapat digunakan untuk memprediksikan
penyakit CMV, level antigenemia tinggi memberikan nilai prediksi
positif yang tinggi penyakit CMV. Level antigenemia akan menurun
seiring dengan pengobatan anti virus yang dilakukan, sehingga dapat
digunakan untuk memonitor pengobatan.
o
Pemeriksaan lain meliputi: SGOT meningkat >300 IU, bilirubin direk
meningkat >30 mg/dl, trombositopenia minggu pertama berkisar antara
2000-125.000/mm3
 Pemeriksaan radiologi:
CT scan kepala: tampak leukomalasia periventrikuler, atrofi kortikal,
pembesaran ventrikel uniteral/bilateral, efusi subdural dan perdarahan otak.
Adanya kalsifikasi intrakranial biasanya disertai gangguan kognisi dan
pendengaran.

DIAGNOSIS BANDING
 Infeksi rubela kongenital
 Toksoplasmosis kongenital

PENATALAKSANAAN
 Gancyclovir 6 mg/KgBB/dosis IV drip dalam 1 jam, diberikan setiap 12 jam
selama 6 minggu. Terapi ini tidak dianjurkan untuk bayi asimptomatik karena
resiko ESO, antara lain supresi sumsum tulang dan atrofi testis
 Evaluasi bayi dengan infeksi CMV kongenital meliputi:
o Klinis: Tinggi badan, Berat Badan, Lingkar Kepala, Hepar dan lien, Mata
o Laboratorium: darah lengkap, hapusan darah tepi, trombosit,
SGPT/SGOT, bilirubin direk/indirek, CMV urine dan CSS
o Lainnya: CT Scan kepala dan BERA
DAFTAR PUSTAKA
1. Bale JF, ed. Congenital infections of the central nervous system. Semin pediatr neurol, September,
1994 ; 1.
2. Bale JF, Murph JR. Congenital infections and nervous system. Pediatr Clin N Am, 1992 ; 39 : 669.
3. Boppana SB, Fowler KB, vaid Y, et al. Neuroradiographic finding in the newborn period and
longterm outcome in children with symptomatic cytomegalovirus infection. Pediatr 1997 ; 99 : 409.
4. Ucapan terima kasih kepada : dr. Erny, Sp.A atas bantuan dalam penyusunan pedoman diagnosis &
terapi, Neurologi anak.
226

KEJANG DEMAM
Darto Saharso
Divisi Neuropediatri
Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak – FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya

BATASAN
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (suhu rektal
diatas 380C) yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium

PATOFISIOLOGI
Belum jelas, kemungkinan dipengaruhi oleh faktor keturunan/genetik

GEJALA KLINIS
Ada 2 bentuk kejang demam, yaitu:
1. Kejang Demam Sederhana (Simple Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala klinis
sebagai berikut:
 Kejang berlangsung singkat, < 15 menit
 Kejang umum tonik dan atau klonik
 Umumnya berhenti sendiri
 Tanpa gerakan fokal atau berulang dalam 24 jam
2. Kejang Demam Komplikata (Complex Febrile Seizure), dengan ciri-ciri gejala
klinis sebagai berikut:
 Kejang lama, > 15 menit
 Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang
parsial
 Berulang atau lebih dari 1 kali dalam 24 jam

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS


 Anamnesis:
Biasanya didapatkan riwayat kejang deman pada anggota keluarga lainnya (ayah,
ibu atau saudara kandung).

 Pemeriksaan neurologis:
Tidak didapatkan kelainan
 Pemeriksaan laboratorium:
Pemeriksaan rutin tidak dianjurkan, kecuali untuk mengevaluasi sumber infeksi
atau mencari penyebab (darah tepi, elektrolit dan gula darah)
 Pemeriksaan radiologi:
X-ray kepala, CT Scan kepala atau MRI tidak rutin dan hanya dikerjakan atas
indikasi
 Pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS):
227

Tindakan pungsi lumbal untuk pemeriksaan CSS dilakukan untuk menegakkan


atau menyingkirkan kemungkinan meningitis.
Pada bayi kecil, klinis meningitis tidak jelas, maka tindakan pungsi lumbal
dikerjakan dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Bayi < 12 bulan: diharuskan
2. Bayi antara 12-18 bulan: dianjurkan
3. Bayi > 18 bulan: tidak rutin, kecuali bila ada tanda-tanda menigitis
 Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG):
Tidak direkomendasikan, kecuali pada kejang demam yang tidak khas (misalnya
kejang demam komplikata pada anak usia >6 tahun atau kejang demam fokal)

DIAGNOSIS BANDING
 Meningitis
 Ensefalitis
 Abses otak

PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan kejang demam meliputi penanganan pada saat kejang dan pencegahan
kejang.
1. Penanganan Pada Saat Kejang
 Menghentikan kejang: Diazepam dosis awal 0,3-0,5 mg/KgBB/dosis IV
(perlahan-lahan) atau 0,4-0,6mg/KgBB/dosis REKTAL SUPPOSITORIA.
Bila kejang masih belum teratasi dapat diulang dengan dosis yang sama 20
menit kemudian.
 Turunkan demam:
o Antipiretika: Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen
5-10 mg/KgBB/dosis PO, keduanya diberikan 3-4 kali perhari
o Kompres: suhu > 390C: air hangat; suhu >380C: air biasa
 Pengobatan penyebab: antibiotika diberikan sesuai indikasi dengan
penyakit dasarnya
 Penanganan suportif lainnya meliputi:
o Bebaskan jalan nafas
o Pemberian oksigen
o Menjaga keseimbangan air dan elektrolit
o Pertahankan keseimbangan tekanan darah

2. Pencegahan Kejang
 Pencegahan berkala (intermiten) untuk kejang demam sederhana dengan
Diazepam 0,3 mg/KgBB/dosis PO dan antipiretika pada saat anak
menderita penyakit yang disertai demam
 Pencegahan kontinu untuk kejang demam komplikata dengan Asam
Valproat 15-40 mg/KgBB/hari PO dibagi dalam 2-3 dosis

PROGNOSIS
Apabila tidak diterapi dengan baik, kejang demam dapat berkembang menjadi:
228

 Kejang demam berulang


 Epilepsi
 Kelainan motorik
 Gangguan mental dan belajar
229

DAFTAR PUSTAKA
1. Baumann RJ. Febrile Seizures. E Med J, March 12 2002, vol. 2, No. 3 : 1-10
2. Baumann RJ. Technical Report: Treatment of The Child with Simple Febrile
Seizures. http://www.pediatric.org/cgi/content/full/103/e86
3. Lewis H. Viruses in Febrile Convulsion. Arch Dis Child, 2001 ; 82 : 428.
4. Berg AT, Shinnar S, Levy SR, Testa FM. Childhood-Onset Epilepsy With and
Without Preceeding Febrile Seizures. Neurology, vol. 53, No. 8, 1999 : 23-34.
5. Duffer PK, Baumann RJ. A Synopsis of the American Academy of Pediatrics
Practice Parameter on The Evaluation and Treatment of Children with Febrile
Seizures. Pediatrics in Review, vol. 20, No. 8, 1999 : 285-7.
6. Campfield P, Camfield C. Advance in Diagnosis and Management of Pediatrics
Seizures Disorders in Twentieth Century. J Pediatr 2000, 136 : 847-9.
7. American Academy of Pediatrics. Practice Parameter : Long-term Treatment of
The Child with Febrile Seizures. Pediatrics 1999 ; 103 : 1307-10.
8. Gordon KE, Dooley JM, Camfield PR, Camfield CS, MacSween J. Treatment of
Febrile Seizures: Influence of The Treatment Efficacy and Side-effect Profile on
Value to Parents. Pediatrics 2001 ; 108 : 65-9.
9. Ucapan terima kasih kepada : dr. Erny, Sp.A atas bantuan dalam penyusunan
pedoman diagnosis & terapi, Neurologi anak.
230

MATI OTAK
Darto Saharso
Divisi Neuropediatri
Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak – FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya

BATASAN
Mati Otak (MO) atau Brain Death adalah suatu keadaan dimana fungsi otak secara
seluruhan termasuk batang otak telah hilang. Seseorang yang sudah dinyatakan MO pada
dasarnya dikatakan sudah meninggal.

Kepentingan merumuskan konsep MO adalah:


1. Etikal: MO merupakan keadaan klinis yang definitif. Penderita dengan MO akan
mengalami kondisi asistolik dalam seminggu dengan tanpa memandang terapi apa
yang sudah diberikan. Pada 20.000 lebih kasus MO yang didokumentasikan, tidak
ada yang hidup kembali.
2. Kemanusiaan: setiap manusia memiliki hak untuk dihormati termasuk pada saat
kematian, keputusan untuk menentukan kematian sebaiknya tidak perlu terlalu
ditunda.
3. Manfaat: perawatan penderita di Ruang Perawatan Intensif (ICU) membutuhkan
dana yang tinggi. Secara moral dan ekonomis tidak dapat dibenarkan tetap
melakukan ventilasi pada keadaan MO, jadi fasilitas tersebut sebaiknya diberikan
pada penderita lain yang mempunyai prognosis lebih baik.
4. Transplantasi organ: menerima keaadaan MO akan merupakan bagian yang
penting bagi program transplantasi organ.

PRA KONDISI:
1. Penderita dengan koma dalam, apnea dan menggunakan ventilator setidaknya
selama 12 jam.
2. Penyebab koma telah ditegakkan dan sudah cukup untuk menjelaskan keadaan
penderita.
3. Terdapat kerusakan struktur otak yang sudah tidak dapat disembuhkan.

KRITERIA EKSKLUSI:
1. Koma yang disebabkan oleh kelainan metabolik atau endokrin, intoksikasi obat
dan hipotermia primer (ditetapkan jika temperatur tubuh < 320 C).
2. Penyakit neurologis tertentu misalnya Sindroma Guillain Barre, Sindroma Miller
Fisher dan Sindroma Lock-in.
3. Koma yang belum diketahui sebabnya.
4. Neonatus prematur

KRITERIA DIAGNOSTIK: (harus dipenuhi semuanya!)


1. Koma dalam, tidak responsif dan tidak reseptif, GCS ≤ 3/15
2. Apnea, dikonfirmasi dengan tes apnea
3. Refleks batang otak tidak ada dan dikonfirmasikan dari serangkaian tes:
a. Refleks cahaya pupil
231

b. Refleks okulo-sefalik
c. Respon motorik dari saraf kranialis
d. Refleks kornea
e. Refleks vestibulo-okular (tes kalori)
f. Refleks oro-faringeal
g. Refleks trakeo-bronkial

PEMERIKSAAN
(Seluruh keadaan dan kriteria eksklusi harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum
melakukan pemeriksaan untuk MO).
1. Refleks cahaya pupil: tidak ada respon terhadap cahaya bilateral.
2. Refleks okulo-sefalik (Doll’s eyes phenomena) negative: pemeriksaan ini hanya
dikerjakan jika tidak ada fraktur atau tidak stabilnya tulang leher secara jelas.
Respon tes ini ditimbulkan dengan membuat gerakan cepat, bertenaga dengan
memindahkan posisi kepala dari posisi ditengah ke 90˚ pada kedua sisi.
3. Refleks kornea: tidak dijumpai kedipan mata dengan mengoles mata dengan
ujung kapas.
4. Respon motorik dari nervi kranialis: tidak ada seringai yang tampak jika diberikan
stimulis nyeri dengan melakukan penekanan pada saraf supraorbita, tekanan
dalam pada kedua kondilus persendian temporo-mandibula atau pada kuku (nail
bed).
5. Refleks vestibulo-okular (tes kalori): pemeriksaan ini tidak boleh dikerjakan jika
ada perforasi membrana timpani. Tes ini dikerjakan pada posisi kepala terangkat
30˚ dengan melakukan irigasi membrana timpani pada satu sisi dengan 10 cc air
es. Lakukan irigasi selama 1 menit pada tiap telinga dan jarak pemeriksaan antara
2 telinga sebaiknya berkisar 5 menit. Deviasi tonik pada mata secara langsung
terhadap stimulus kalori dingin tidak dijumpai pada MO.
6. Refleks oro-faringeal: tidak dijumpai refleks muntah dengan stimulasi pada
faring posterior.
7. Refleks trakeo-bronkial: kateter penghisap dimasukkan melalui endotracheal tube
hingga mencapai karina atau lebih dalam. Hilangnya refleks batuk terhadap
penghisapan bronkial harus dijumpai.
8. Tes apnea:
a. Prasyarat: penderita harus dalam keadaan kardiovaskuler dan respirasi
yang stabil
b. Sesuaikan setting ventilator untuk memelihara PaCO 2 berkisar 40
mmHg
c. Pra-oksigenasi dengan O2 100% selama 10 menit
d. Diskoneksi dari ventilator
e. Berikan 100% O2 melalui kateter trakea dengan aliran 6 l/m
f. Monitoring O2 saturasi dengan pulse oxymetri
g. Ukur PaCO2 setelah 5 menit lalu setelah 8 menit jika PaCO2 tidak
melebihi 60 mmHg
h. Hubungkan kembali penderita dengan ventilator
i. Pemutusan hubungan dengan ventilator tidak boleh melebihi 10 menit
pada satu kali pemeriksaan
232

j. Tes apnea positif: jika tidak ada usaha bernafas dengan PaCO2 ≥ 60
mmHg
k. Jika selama tes apnea terjadi hipotensi yang bermakna, desaturasi yang
nyata atau aritmia kardiak, secara langsung dilakukan pemeriksaan
BGA, hubungkan segera kembali dengan ventilator. Seharusnya pada
keadaan PaCO2 < 60mmHg, hasil tes dikatakan belum pasti. Selanjutnya
pertimbangan diserahkan kepada pediatri untuk menentukan kapan tes
dapat diulang atau tergantung dari tes lain untuk menegakkan diagnosis
klinis MO. (Untuk penderita dengan penyakit paru kronik, standar dasar
PaCO2 mungkin diatas 40 mmHg. Tes apnea dikatakan positif jika tidak
ada usaha bernafas pada PaCO2 meningkat 20 mmHg dari standart dasar
PaCO2).

KRITERIA TAMBAHAN UNTUK ANAK


Secara umum dapat diasumsikan bahwa otak anak mungkin lebih lentur terhadap bentuk
trauma tertentu, walaupun pendapat tersebut masih bersifat kontroversial. Evaluasi pada
bayi baru lahir untuk trauma perinatal sulit dilakukan. Hal tersebut berhubungan dengan
banyak faktor termasuk sulitnya pemeriksaan klinis, menentukan penyebab koma dan
validitas pemeriksaan laboratorium tertentu. Oleh karena itu, tidak ada rekomendasi dapat
dibuat untuk bayi kurang bulan (prematur) dan bayi usia kurang dari 7 hari.
Diluar periode persebut, kriteria MO dapat diaplikasikan tetapi jarak 2 pemeriksaan
dibuat memanjang tergantung usia anak, dan tes tertentu (EEG) direkomendasikan untuk
anak usia < 1 tahun.

Tabel 1. Jarak Waktu dan Jumlah Pemeriksaan EEG kasus MO pada anak.
Jarak waktu antara Jumlah EEG yang
Usia
dua pemeriksaan direkomendasikan
7 hari-2 bulan 48 jam 2
2 bulan-1 tahun 24 jam 2
>1 tahun 12 jam Tidak diperlukan
Jika terdapat hipoksik iskemik encephalopathy, observasi setidaknya 24 jam sangat direkomendasikan.
Interval mungkin dapat dipersingkat jika EEG tidak menunjukkan gambaran elektrocerebral.

PENILAIAN DAN SERTIFIKASI


1. Dua dokter spesialis yang berkompeten (minimal 3 tahun setelah lulus dan telah
mendapatkan pelatihan untuk menentukan MO) dapat mendiagnosis MO untuk
menerbitkan sertifikasi MO. Mereka adalah dokter anak, anestesi, neurologi dan
bedah saraf. Dokter yang berkepentingan dalam transplantasi organ tidak
disertakan untuk sertifikasi MO
2. Penilaian dan sertifikasi harus diulang setelah penilaian pertama (dengan interval
diantara 2 pemeriksaan tergantung dari usia penderita), tidak harus dokter
spesialis yang sama
3. Sertifikasi MO ditentukan oleh sejumlah dokter pertama (dokter A dan B) dan
dilengkapi oleh 2 dokter yang lainnya (dokter C dan D) atau dokter A dan B jika
dokter yang sama dapat melakukan tes ulangan
4. Waktu untuk menentukan kematian adalah waktu tes ke dua. Jika detak jantung
penderita berhenti sebelum tes kedua, saat itu ditetapkan sebagai waktu kematian
233

5. Sertifikasi MO hanya dilakukan di RS dengan fasilitas lengkap perawatan intensif


kardiopulmoner pada penderita koma

KESALAHAN DIAGNOSIS
1. Mungkin sering terjadi pada penderita dengan:
a. Trauma berat pada wajah
b. Abnormalitas pupil yang menetap
c. Apnea tidur atau penyakit paru yang berat yang menyebabkan retensi
kronik CO2
d. Kadar toksik beberapa obat sedatif, aminoglikosida, trisiklik
antidepresan, antikonvulsan, obat kemoterapi atau bahan neuromuscular
bloking.
2. Kadar obat sangat berguna jika dapat diukur secara kuantitatif. Jika kadar obat
berada pada rentang bawah, diagnosis MO dapat ditegakkan.
3. Jika kadar obat atau racun tidak dapat ditentukan secara kuantitatif, penderita
seharusnya diobservasi selama 4 kali waktu paruh untuk menentukan waktu
eliminasi obat dalam darah, hal tersebut merupakan jaminan bahwa obat tersebut
tidak mempengaruhi fungsi organ atau fungsi obat lainnya. (lihat Tabel 2.)
4. Jika obat tidak dikenal tetapi sangat dicurigai terdapat dalam darah, penderita
sebaiknya diobservasi selama 48 jam untuk melihat perubahan refleks batang otak
dan respon motoriknya; jika tidak tampak perubahan, kerjakan EEG untuk
menentukan MO.
5. Penentuan MO seharusnya ditunda jika terjadi asidosis berat atau alkalosis berat
seperti pada intoksikasi bahan tertentu karena mempunyai potensi untuk pulih dari
penyakitnya atau krisis endokrin.

6. Gerakan spontan dan refleks dapat terlihat pada penderita yang sudah mengalami
MO. Tersering adalah kejutan pada jari, tanda flexi jari kaki dan repons babinski
persisten. Gerakan tersebut berasal dari medula spinalis dan tidak sering tampak
secara spontan. Adanya gerakan tersebut tidak menggugurkan diagnois MO.

Tabel 2. Waktu Paruh Beberapa Macam Obat.


Waktu eliminasi waktu
Macam obat Rentang terapeutik
paruh (jam)
Midazolam 2-5 50-150 ng/ml
Diazepam 40 0.2-0.8 ug/ml
Carbamazepin 10-60 2-10 ug/ml
Phenobarbital 100 20-40 ug/ml
Phenobarbitone 10 1-5 ug/ml
Thiopentone 10 6-35 ug/ml
Morphine 2-3 70-450 ng/ml
Amitriptilin 10-24 75-200 ng/ml
234

DAFTAR PUSTAKA
1. Ahmann PA, Carrigan TA, Carlton D, et al : Brain death in children :
characteristic common carotid arterial velocity patterns measured with pulsed
Doppler ultrasound. J Pediatr 1987 May ; 110 (5) : 723-8.
2. Kato T, Tokumaru A, O’uchi T : Assessment of brain death in children by means
of P-31 MR spectroscopy : preliminary note. Work in progress. Radiology 1991
Apr ; 179 (1) : 95-9.
3. Kohrman MH, Spivack BS
4. Consensus Statement on Brain Death 2003. Ministry of Health, Academy of
Medicine of Malaysia and Malaysian Society of Neurosciences.
5. Guidelines for the determination of brain death in children. American Academy of
Paediatric Task Force on Brain Death in Children. Paediatric, 1987 ; 80 : 298-300.
6. Ucapan terima kasih kepada : dr. Erny, Sp.A atas bantuan dalam penyusunan
pedoman diagnosis & terapi, Neurologi anak.
235

MENINGITIS
Darto Saharso
Divisi Neuropediatri
Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak – FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya

BATASAN
Meningitis adalah suatu reaksi keradangan yang mengenai satu atau semua lapisan
selaput yang membungkus jaringan otak dan sumsum tulang belakang, yang
menimbulkan eksudasi berupa pus atau serosa, disebabkan oleh bakteri spesifik/non
spesifik atau virus.

PATOFISIOLOGI
Meningitis dapat terjadi secara:
 Hematogen
 Per kontinuatum
 Implantasi langsung

GEJALA KLINIS
 Neonatus:
o Gejala tidak khas
o Panas ±
o Anak tampak malas, lemah, tidak mau minum, muntah, dan kesadaran menurun
o Ubun-ubun besar kadang-kadang cembung
o Pernafasan tidak teratur
 Anak umur 2 bulan – 2 tahun:
o Gambaran klasik (-)
o Hanya panas, muntah, gelisah, kejang berulang
o Kadang-kadang ”high pitched cry”
 Anak umur > 2 tahun:
o Panas, menggigil, muntah, nyeri kepala
o Kejang
o Gangguan kesadaran
o Tanda-tanda rangsang meningeal: kaku kuduk, tanda Brudzinski dan Kernig (+)

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS


 Pemeriksaan cairan serebrospinal:
Diagnosis pasti meningitis dibuat berdasarkan gejala klinis dan hasil analisa
cairan serebrospinal dari pungsi lumbal.
Tabel 1. Interpretasi Analisa Cairan Serebrospinal
Tes Meningitis Bakterial Meningitis Virus Meningitis TBC
Tekanan LP Meningkat Biasanya normal Bervariasi
Warna Keruh Jernih Xanthochromia
Jumlah sel > 1000/ml < 100/ml Bervariasi
Jenis sel Predominan PMN Predominan MN Predominan MN
Protein Sedikit meningkat Normal/meningkat Meningkat
Glukosa Normal/menurun Biasanya normal Rendah
236

Kontraindikasi pungsi lumbal:


o Infeksi kulit di sekitar daerah tempat pungsi. Oleh karena kontaminasi dari
infeksi ini dapat menyebabkan meningitis.
o Dicurigai adanya tumor atau tekanan intrakranial meningkat. Oleh karena
pungsi lumbal dapat menyebabkan herniasi serebral atau sereberal.
o Kelainan pembekuan darah.
o Penyakit degeneratif pada join vertebra, karena akan menyulitkan
memasukan jarum pada ruang interspinal.
 Pemeriksaan radiologi:
o X-foto dada: untuk mencari kausa meningitis
o CT Scan kepala: dilakukan bila didapatkan tanda-tanda kenaikan tekanan
intrakranial dan lateralisasi
 Pemeriksan lain:
o Darah: LED, lekosit, hitung jenis, biakan
o Air kemih: biakan
o Uji tuberkulin
o Biakan cairan lambung

DIAGNOSIS BANDING
 Meningismus
 Abses otak
 Tumor otak

PENATALAKSANAAN
Penanganan penderita meningitis meliputi:
1. Farmakologis:
a. Obat anti infeksi:
 Meningitis tuberkulosa:
o Isoniazid 10-20 mg/KgBB/hari PO dibagi dalam 2 dosis (maksimal
500 mg/hari) selama 1½ tahun
o Rifampicin 10-15 mg/KgBB/hari PO dosis tunggal selama 1 tahun
o Streptomycin sulphate 20-40 mg/KgBB/hari IM dosis tunggal atau
dibagi dalam 2 dosis selama 3 bulan
 Meningitis bakterial, umur <2 bulan :
o Cephalosporin Generasi ke 3, atau
o Kombinasi Ampicilin 150-200 mg (400 mg)/KgBB/hari IV dibagi
dalam 4-6 kali dosis sehari dan Chloramphenicol 50 mg/KgBB/hari IV
dibagi dalam 4 dosis
 Meningitis bakterial, umur >2 bulan:
o Kombinasi Ampicilin 150-200 mg (400 mg)/KgBB/hari IV dibagi
dalam 4-6 kali dosis sehari dan Chloramphenicol 50 mg/KgBB/hari IV
dibagi dalam 4 dosis, atau
o Sefalosporin Generasi ke 3
237

o Dexamethasone dosis awal 0,5 mg/KgBB IV dilanjutkan dengan dosis


rumatan 0,5 mg/KgBB IV dibagi dalam 3 dosis, selama 3 hari. Diberikan
30 menit sebelum pemberian antibiotika

b. Pengobatan simptomatis
 Menghentikan kejang:
o Diazepam 0,2-0,5 mg/KgBB/dosis IV atau 0,4-0,6
mg/KgBB/dosis REKTAL SUPPOSITORIA, kemudian
dilanjutkan dengan:
o Phenytoin 5 mg/KgBB/hari IV/PO dibagi dalam 3 dosis atau
o Phenobarbital 5-7 mg/Kg/hari IM/PO dibagi dalam 3 dosis
 Menurunkan panas:
o Antipiretika: Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO atau Ibuprofen
5-10 mg/KgBB/dosis PO diberikan 3-4 kali sehari
o Kompres air hangat/biasa
c. Pengobatan suportif
o Cairan intravena
o Oksigen. Usahakan agar konsentrasi O2 berkisar antara 30-50%.
2. Perawatan:
 Pada waktu kejang:
o Longgarkan pakaian, bila perlu dibuka
o Hisap lendir
o Kosongkan lambung untuk menghindari muntah dan aspirasi
o Hindarkan penderita dari rudapaksa (misalnya jatuh)
 Bila penderita tidak sadar lama:
o Beri makanan melalui sonde
o Cegah dekubitus dan pnemonia ortostatik dengan merubah posisi
penderita sesering mungkin, minimal ke kiri dan ke kanan setiap 6 jam
o Cegah kekeringan kornea dengan boorwater/salep antibiotika
 Bila mengalami inkontinensia urin lakukan pemasangan kateter
 Bila mengalami inkontinensia alvi lakukan lavement
 Pemantauan ketat:
o Tekanan darah
o Pernafasan
o Nadi
o Produksi air kemih
o Faal hemostasis untuk mengetahui secara dini ada DIC
 Fisioterapi dan rehabilitasi.

KOMPLIKASI
 Cairan subdural
 Hidrosefalus
 Edema otak
238

 Abses otak
 Renjatan septik
 Pnemonia (karena aspirasi)
 Koagulasi intravaskular menyeluruh (DIC)

PROGNOSIS
Penderita meningitis dapat sembuh, sembuh dengan cacat motorik/mental atau
meninggal, hal tergantung dari:
 Umur penderita
 Jenis kuman penyebab
 Berat ringan infeksi
 Lama sakit sebelum mendapat pengobatan
 Kepekaan kuman terhadap antibiotika yang diberikan
 Adanya dan penanganan penyulit
239

PALSI SEREBRAL
Darto Saharso
Divisi Neuropediatri
Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak – FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya

BATASAN
Palsi Serebral atau Cerebral Palsy (CP) adalah kelainan yang tidak progresif dari gerakan
dan sikap tubuh karena kerusakan otak yang terjadi pada periode awal pertumbuhan otak,
yang pada umumnya di bawah 3 tahun.

PATOFISIOLOGI
Palsi Serebral disebabkan oleh beberapa faktor penyebab yang terjadi pada masa prenatal,
natal dan post natal.
A. Penyebab Prenatal
 Trimester I: malformasi kongenital, kelainan genetik, infeksi intrauterin
(rubella, sifilis, sitomegalovirus, toksoplasma). Percobaan pengguguran.
 Trimester II dan III: percobaan pengguguran, ibu dengan penyakit kronis,
toksemia, IUGR, infeksi intrauterin, trauma.
 Lain-lain: sinar X, usia ibu < 17 tahun atau > 35 tahun, asfiksia in utero
(abrupsio plasenta, plasenta previa).
B. Penyebab Perinatal
 Toksemia
 Perdarahan antepartum
 Kelainan plasenta/umbilikus yang menyebabkan hipoksia/ iskemia
 Trauma persalinan, persalinan macet/lama
 Asfiksia berat
 Infeksi
 Prematuritas dan atau BBLR
 Hipoglikemia
 Hiperbilirubinemia/Kern Ikterus
 Syok
C. Penyebab Postnatal
 Infeksi
 Trauma
 Gangguan pembuluh darah otak
 Epilepsi
 Keracunan obat, bahan kimia dan logam berat

Berdasarkan aspek klinis dan anatomis, CP dapat diklasifikasikan menjadi (Gilroy &
Meyer, 1975) :
1. CP Diplegia Spastik
240

Kelumpuhan 2 anggota gerak, kerusakan traktus kortikospinalis. 50% kasus


2. CP Hemiplegik
Kelumpuhan 2 anggota gerak sepihak, anggota gerak atas lebih berat, kerusakan
traktus kortikospinalis unilateral. 30% kasus
3. CP Kuadriplegi Spastik/Diplegi Kompleks
Disertai koreoatetosis, kerusakan traktus kortikospinalis dan sistem lainnya
4. CP Atetotik/Koreoatetotik
Kerusakan sistem ekstrapiramidal, gerakan abnormal
5. CP Ataksia
Kelainan pada serebelum dan serabut asosiasinya, ataksia merupakan gejala
utama. Gejala lainnya:
 Mata: gangguan visus, gerakan bola mata, strabismus, dan nistagmus
 THT: ketulian (audiometri)
 Psikologik: test IQ (juga penting untuk terapi dan rehabilitasi)
 Psikomotorik: gangguan tingkah laku dan lain-lainnya
 Test perkembangan: gangguan bicara (90% kasus)
 Laboratorik: mencari kausa seperti toxoplasmosis dll.

GEJALA KLINIS
 Gangguan gerakan dan sikap tubuh
 Keterlambatan perkembangan motorik dan bicara
 Kaki gemetar
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS
 Anamnesis:
Anemnesis ibu merupakan hal yang penting (yang mendorong ibu minta
pertolongan pengobatan):
o Anak belum dapat berjalan;
o Belum dapat duduk;
o Terlambat bicara;
o Kaki gemetar;
o Gerakan kurang pada sisi badan;
o Mata juling.
Riwayat kehamilan dan persalinan (lihat di atas)
 Pemeriksaan fisik:
o Paralisis spastik (paraparesis, diplegia, kuadriparesis, hemiparesis,
monoparesis);
o Atetosis;
o Koreoatetosis;
o Distonia/atonia;
o Tremor;
o Rigiditas;
o Ataksia;
o Kelainan bahasa;
o Hiperkinesis/hipokinesis.

PENATALAKSANAAN
241

Penderita CP memerlukan tatalaksana terpadu/multi disipliner mengingat masalah yang


dihadapi sangat kompleks, yaitu :
 Gangguan motorik
 Retardasi mental
 Kejang
 Gangguan pendengaran
 Gangguan rasa raba
 Gangguan bahasa dan bicara
 Makan/gizi
 Gangguan mengontrol miksi (ngompol)
 Gangguan konsentrasi
 Gangguan emosi
 Gangguan belajar
Tim diagnostik dan penatalaksanaan CP ini meliputi:
1. Tim Inti:
 Neuropediatri
 Dokter Gigi
 Psikolog
 Perawat
 Fisioterapi (terapi kerja, terapi bicara)
 Pekerja Sosial (pengunjung rumah)
2. Tim Konsultasi:
 Tim Tumbuh Kembang Anak dan Remaja
 Dokter Bedah (Ortopedi)
 Dokter Mata
 Dokter THT
 Psikiater Anak
 Guru SLB (cacat tubuh, tunanetra, tunarungu)
Penatalaksanaan CP meliputi:
A. Medikamentosa, untuk mengatasi spastisitas:
1. Benzodiazepin:
 Usia < 6 bulan tidak direkomendasi
 Usia > 6 bulan: 0,12-0,8 mg/KgBB/hari PO dibagi 6-8 jam (tidak
lebih 10 mg/dosis)
2. Baclofen (Lioresal): 3 x 10 mg PO (dapat dinaikkan sampai 40-80
mg/hari)
3. Dantrolene (Dantrium): dimulai dari 25 mg/hari, dapat dinaikkan sampai
40 mg/hari
4. Haloperidol: 0,03 mg/KgBB/hari PO dosis tunggal (untuk mengurangi
gerakan involusi)
5. Botox:
 Usia < 12 tahun belum direkomendasikan
 Usia > 12 tahun: 1,25-2,5 ml (0,05-0,1 ml tiap 3-4 bulan)
 Apabila belum berhasil dosis berikutnya dinaikkan 2 x/tidak lebih
25 ml perkali atau 200 ml perbulan
242

B. Terapi Perkembangan Fisik (Rehabilitasi Medik)


C. Lain-lain:
1. Pendidikan khusus
2. Penyuluhan psikologis
3. Rekreasi

DAFTAR PUSTAKA
1. Badawi N, Watson L, Petterson B, et al: What constitutes cerebral palsy? Dev Med
Child Neurol 1998 Aug ; 40 (8) : 520-7.
2. Kuban KC, Leviton A: Cerebral palsy. N Engl J Med 1994 Jan 20 ; 330 (3) : 188-95.
3. Matthews DJ, Wilson P: Cerebral palsy. In : Molnar GE, Alexander MA, eds.
Pediatric Rehabilitation. 3rd ed. Pediatric Rehabilitation Philadelphia: Hanley &
Belfus ; 1999 : 192-217.
4. Mayston MJ: People with cerebral palsy : effects of and perspectives for therapy.
Neural Plast 2001 ; 8 (1-2) : 51-69.
5. Ucapan terima kasih kepada: dr. Erny, Sp.A atas bantuan dalam penyusunan pedoman
diagnosis & terapi, Neurologi anak.
243

SINDROMA DOWN
Darto Saharso
Divisi Neuropediatri
Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak – FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya

BATASAN
Nama lainnya adalah Mongolism atau Trisomi 21, yaitu kelainan kromosom berupa
trisomi 21, ditandai dengan gejala khas berupa gangguan mental dan gambaran dismorfik
wajah.

PATOFISIOLOGI
Angka kejadian sindroma down adalah 1 : 800 kelahiran. Dan usia ibu pada saat
hamil merupakan faktor resiko yang penting untuk menentukan kemungkinan bayi
lahir dengan sindroma down, yaitu:
 Usia ibu 35 tahun: 1/385
 Usia ibu 40 tahun: 1/106
 Usia ibu 45 tahun: 1/30
Adanya ekstra kromosom nomor 21 memberikan pengaruh pada banyak sistem organ,
sehingga membentuk spektrum fenotip sindroma down yang luas, antara lain:
1. Adanya kromosom 21q 22.3 menyebabkan:
a. Keterlambatan mental
b. Gambaran wajah khas (Mongolism)
c. Anomali jari tangan
d. Kelainan jantung bawaan
2. Adanya kromosom 21q 22.1-q 22.2 menyebabkan:
a. Kelainan susunan saraf pusat (keterlambatan mental)
b. Kelainan jantung bawaan.

GEJALA KLINIS
 Gangguan pendengaran, penglihatan dan bicara (artikulasi)
 Obesitas
 Keterlambatan motorik, kognitif, bahasa dan kemampuan bersosialisasi
 Perubahan tingkah laku dan kesulitan belajar
Masalah artikulasi, meningkatnya kecemasan (17,6%), autism, ADHD, kelainan obsesif
kompulsif, sindroma tourette dan depresi.

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS


 Anamnesis:
o Riwayat sering menderita ISPA
o Muntah sekunder karena atresia duodenal dan gangguan buang air besar
karena Hirschsprung’s Disease
244

o Kejang (5-10%), pada bayi terbanyak berupa spasme infantil dan pada
anak besar bersifat tonik klonik
 Pemeriksaan fisik:
o Gangguan mental dari sedang sampai dengan berat dengan IQ 20-85
o Hipotoni yang berkurang dengan bertambahnya usia
o Brakisefali, mikrosefali, ubun-ubun melebar dan terlambat menutup
o Fisura palpebra yang miring (slanting), lipatan epikantus bilateral,
gangguan refraksi, strabismus, nistagmus dan katarak kongenital
o Tulang hidung hipoplastik dan flat nasal bridge
o Lidah yang cenderung menjulur, fisura pada lidah, anak bernafas dengan
mulut, berliur, agenesis dan malformasi gigi
o Telinga kecil, over folded helix, gangguan pendengaran (66-89%)
mencapai > 15-20 db.
o Kelainan jantung bawaan (40-50%), berupa aritmia dan palpitasi
o Jari tangan pendek-pendek dan gemuk, form finger line, hiperekstensi
persendingan jari tangan.
 Pemeriksaan laboratorium:
o Studi sitogenetik: Karyotyping penderita dan orang tua penderia (untuk
kepentingan konseling genetik)
o Pemeriksaan lainnya:
 Fluorescence In Situ Hybridization (FISH): digunakan untuk
mendeteksi Trisomi 21 secara cepat, baik pada masa prenatal
maupun masa neonatal.
 Thyroid-stimulating hormone (TSH) and Thyroxine (T4): untuk
menilai fungsi kelenjar tiroid. Dilakukan segera setelah lahir dan
berkala setiap tahun.
 Pemeriksaan radiologi:
X-foto kepala: brakisefali, mikrosefali, hipoplastik tulang-tulang wajah dan sinus
X-foto tangan: hipoplastik tulang falangs tengah
 Pemeriksaan lainnya:
EKG: untuk mendeteksi kemungkinan kelaian jantung bawaan
ABR: untuk menentukan derajad gangguan pendengaran/ketulian
DDST: untuk deteksi dini gangguan tumbuh kembang

DIAGNOSIS BANDING
 Trisomi 18
 Hipotiroid

PENATALAKSANAAN
Tidak ada pengobatan untuk memperbaiki sindroma down. Prinsip pengobatan medis
digunakan untuk memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang usia penderita dengan
cara:
 Pencegahan terhadap infeksi
 Rehabilitasi medis
 Alat bantu pendengaran bila didapatkan gangguan pendengaran
 Pengobatan dan pelatihan perilaku dilakukan jika ada kelainan psikiatri
245

 Hormon tiroid diberikan bila didapatkan tanda-tanda hipotiriod, untuk mencegah


terjadinya deteorisasi intelektual dan memperbaiki kemampuan individual

PROGNOSIS
Kematian biasanya disebabkan kelainan jantung bawaan. Adanya penurunan kadar IgG
menyebabkan penderita rentan terhadap infeksi. Dengan penatalaksaanan multidisiplin
penderita diharapkan dapat mandiri dan tidak tergantung dari orang lain.

DAFTAR PUSTAKA
1. Haddow JE, Palomaki GE, Knight GJ : Prenatal screening for Down’s syndrome with
use of maternal serum markers. N. Engl J Med, 1992 Aug 27; 327 (9) : 588-93.
2. Pueschel, M.ed. New perspective on Down syndrome : Baltimore Paul Broozes,
1987.
3. Holtzen, DM. The molecular genetics of Down syndrome, moelec genetic, M.ed,
1992 ; 2 : 105-20.
4. Ucapan terima kasih kepada : dr. Erny, Sp.A atas bantuan dalam penyusunan
pedoman diagnosis & terapi, Neurologi anak.
246

SINDROMA GUILLAIN-BARRÉ (SGB)


Darto Saharso
Divisi Neuropediatri
Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak – FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya

BATASAN
Sinonimnya: Guillain-Barré Syndrome (GBS) atau Acute Inflammatory Demyelinating
Polyneuropathy (AIDP) atau Acute Febrile Polyneuritis adalah kelemahan motorik yang
progresif dan arefleksi. Sering disertai gangguan sensorik, otonomik dan abnormalitas
batang otak. Timbulnya didahului oleh infeksi virus.

PATOFISIOLOGI
Adanya infeksi virus menyebabkan penurunan kadar supresor sel-T sehingga kadar sel-T,
sel-B dan limfosit meningkat. Kemudian sel limfosit dan makrofag melakukan infiltrasi
ke dalam membran basalis serabut saraf sehingga menimbulkan kerusakan mielin dan
degenerasi Wallerian, yang kemudian menimbulkan inflamasi saraf tepi terutama di
daerah radiks saraf.
Beberapa pemicu patogen terjadinya SGB antara lain: virus Epstein-Barr, virus
sitomegalo, hepatitis, varisela, Mycoplasma pneumonia dan Campylobacter jejuni.
Dugaan bahwa imunitas selular atau humoral berperan dalam kerusakan mielin masih
merupakan kontroversi.
CD4+ helper-inducer T-cell merupakan mediator penting terjadinya SGB. Antigen
spesifik seperti myelin P-2, ganglioside GQ1b, GM1, dan GT1a diduga ikut berperan
dalam proses penyakit.
Ada 2 bentuk SGB, yaitu:
1. Tipe demyelinating
Terjadi demielinisasi segmental saraf tepi yang disebabkan oleh infiltrasi sel-sel
radang
2. Tipe axonal
Terjadi degenerasi akson tanpa proses demielinisasi atau peradangan

GEJALA KLINIS
 Kelumpuhan akut, simetris dan ascending
 Nyeri dan gangguan sensori
 Hipotensi ortostatik
 Pengeluaran keringat abnormal
 Takikardia

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS


 Anamnesis:
o Riwayat infeksi virus 2-4 minggu sebelumnya
o Retensi urin (10-15%)
247

o Nyeri (50%), sehingga anak menjadi rewel dan irritable

 Pemeriksaan fisik:
o Kelemahan otot ascending dan hilangnya refleks fisiologis (Tanda khas
SGB).
o Kelemahan kaki (dropfoot) merupakan gejala pertama. Dan kelemahan ini
dapat mengenai otot-otot pernafasan hingga membutuhkan respirator.
o Instabilitas otonom (26%). Berupa neuropati otonomik yang mengenai
sistim simpatis dan parasimpatis dengan manifestasi klinis berupa
hipotensi ortostatik, disfungsi pupil, pengeluaran keringat abnormal dan
takikardia.
o Ataksia (23%)
o Gangguan saraf kranial (35-50%)
 Pemeriksaan laboratorium:
Cairan Serebro Spinal (CSS): hasil analisa CSS normal dalam 48 jam pertama,
kemudian diikuti kenaikan kadar protein CSS pada minggu II tanpa atau disertai
sedikit kenaikan lekosit (albuminocytologic dissociation).
 Pemeriksaan elektrofisiologi:
EMG dan Nerve Conduction Velocity (NCV):
o Minggu I: terjadi pemanjangan atau hilangnya F-response (88%), prolong
distal latencies (75%), blok pada konduksi (58%) dan penurunan
kecepatan konduksi (50%).
o Minggu II: terjadi penurunan potensial aksi otot (100%), prolong distal
latencies (92%) dan penurunan kecepatan konduksi (84%).
 Pemeriksaan radiologi:
MRI: Sebaiknya MRI dilakukan pada hari ke 13 setelah timbulnya gejala SGB.
Pemeriksaan MRI dengan menggunakan kontras gadolinium memberikan
gambaran peningkatan penyerapan kontras di daerah lumbosakral terutama di
kauda equina. Sensitivitas pemeriksaan ini pada SGB adalah 83%.

DIAGNOSIS BANDING
 Poliomielitis
 Miositis akut
 Lesi medula spinalis

PENATALAKSANAAN
1. Intravenous Imunoglobulin (IVIG) 0,4 g/KgBB/hari IV, selama 5 hari. Perbaikan
klinis mulai tampak setelah hari ke 2-3. Terapi ini dapat menurunkan beratnya
penyakit dan mempersingkat lamanya sakit.
2. Plasmafaresis dilakukan 4-5 kali dalam waktu 7-10 hari (hati-hati dapat terjadi
hiperkalsemia, perdarahan karena kelainan pembekuan darah dan gangguan
otonom).
3. Dexamethasone 0,5 mg/Kg/hari dibagi dalam 3 dosis (kontroversial).
4. Rehabilitasi medis diperlukan pada penderita yang sakit lama.
248

5. Alat bantu pernafasan (respirator): apabila terjadi kelumpuhan pada otot-otot


pernafasan.
249

KOMPLIKASI
 Konstipasi (40%)
 Aritmia (30%)
 Hipertensi (10-30%)
 Pnemoni ortostatik
 Syndrome inapropriate antidiuretic hormone (SIADH) (3%)
 Dekubitus
 Kontraktur

PROGNOSIS
Penderita SGB dapat sembuh sempurna (75-90%) atau sembuh dengan gejala sisa berupa
dropfoot atau tremor postural (25-36%).
Pada SGB tipe aksonal dengan kelumpuhan hebat prognosisnya jelek dengan angka
kematian 1-5% dan kematian biasanya disebabkan karena gagal nafas.
Bila terjadi kekambuhan atau tidak ada perbaikan pada akhir minggu IV maka termasuk
Chronic Inflammantory Demyelinating Polyradiculoneuropathy (CIDP)

DAFTAR PUSTAKA
1. Abd-Allah SA, Jansen PW, Ashwal S ; Intravenous immunoglobulin as therapy for
pediatric Guillain-Barre syndrome. J Child Neurol, 1997 ; 12 : 376-380.
2. Hughes RA. Rees JH : Clinical and epidemiological features of Guillain-Barre
syndrome. J Infect Dis 1997 ; 176 : S92-8.
3. Jones HR : Childhood Guillain-Barre syndrome : clinical presentation, diagnosis and
therapy. J Child Neurol 1996 ; 11 : 4-12.
4. Korinthenberg R, Monting JS : Natural history and treatment effects in Guillain-
Barre syndrome : a multicentre study. Arch Dis Child 1996 ; 74 : 281-7.
5. Prevots DR, Sutter RW : Assessment of Guillain-Barre syndrome mortality and
morbidity in the United States : implications for acute flaccid paralysis surveillance. J
Infect Dis 1997 ; 175 : S151.
6. Ucapan terima kasih kepada : dr. Erny, Sp.A atas bantuan dalam penyusunan
pedoman diagnosis & terapi, Neurologi anak.
250

STATUS EPILEPTIKUS (SE)

Darto Saharso

Divisi Neuropediatri
Bag./SMF Ilmu Kesehatan Anak – FK Unair/RSU Dr. Soetomo Surabaya

BATASAN
Bangkitan kejang yang berlangsung selama 30 menit atau lebih, baik secara terus
menerus atau berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran di antara kejang.

PATOFISIOLOGI
Pada status epileptikus terjadi kegagalan mekanisme normal untuk mencegah kejang.
Kegagalan ini terjadi bila rangsangan bangkitan kejang (Neurotransmiter eksitatori:
glutamat, aspartat dan acetylcholine) melebihi kemampuan hambatan intrinsik (GABA)
atau mekanisme hambatan intrinsik tidak efektif.
Status epileptikus dibagi menjadi 2 fase, yaitu:
1. Fase I (0-30 menit) - mekanisme terkompensasi. Pada fase ini terjadi:
 Pelepasan adrenalin dan noradrenalin
 Peningkatan cerebral blood flow dan metabolisme
 Hipertensi, hiperpireksia
 Hiperventilasi, takikardi, asidosis laktat
2. Fase (> 30 menit) - mekanisme tidak terkompensasi. Pada fase ini terjadi:
 Kegagalan autoregulasi serebral/edema otak
 Depresi pernafasan
 Disritmia jantung, hipotensi
 Hipoglikemia, hiponatremia
 Gagal ginjal, rhabdomyolisis, hipertermia dan DIC

Penyebab terjadinya status epileptikus antara lain infeksi, hipoglikemia, hipoksemia,


trauma, epilepsi, panas, dan tidak diketahui (30%)

GEJALA KLINIS
Tergantung fase kejang (fase I dan II)

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSIS


 Anamnesis:
o Lama kejang, sifat kejang (fokal, umum, tonik/klonik)
o Tingkat kesadaran diantara kejang
o Riwayat kejang sebelumnya, riwayat kejang dalam keluarga
o Panas, trauma kepala
o Riwayat persalinan, tumbuh kembang
o Penyakit yang sedang diderita dan RPD.
 Pemeriksaan fisik: pemeriksaan neurologi lengkap meliputi:
o Tingkat kesadaran
251

o Pupil
o Refleks fisiologis dan patologi
o Ubun-ubun besar
o Tanda-tanda perdarahan
o Lateralisasi.

DIAGNOSIS BANDING
 Reaksi konversi
 Sinkop

PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan penderita dengan status epileptikus adalah sebagai berikut:
1. Tindakan suportif.
Merupakan tindakan awal yang bertujuan menstabilisasi penderita (harus tercapai
dalam 10 menit pertama), yaitu ABC:
 Airway: Bebaskan jalan nafas
 Breathing: Pemberian pernafasan buatan/bantuan nafas
 Circulation: Pertahankan/ perbaiki sirkulasi, bila perlu pemberian infus
atau transfusi jika terjadi renjatan
2. Hentikan kejang secepatnya*.
Dengan memberikan obat anti kejang, dengan urutan pilihan sebagai berikut
(harus tercapai dalam 30 menit pertama):
1. Pilihan I: Golongan Benzodiazepin (Lorazepam, Diazepam)
2. Pilihan II: Phenytoin
3. Pilihan III: Phenobarbital
3. Pemberian obat anti kejang lanjutan*
4. Cari penyebab status epileptikus
5. Penatalaksanaan penyakit dasar
6. Mengatasi penyulit
7. Bila terjadi refrakter status epileptikus atasi dengan*:
 Midazolam, atau
 Barbiturat (thiopental, phenobarbital, pentobarbital) atau
 Inhalasi dengan bahan isoflurane
* Jenis dan dosis obat-obatan yang diberikan dapat dilihat pada Bagan Penatalaksanaan Status
Epileptikus Darto Saharto 2006..

KOMPLIKASI
 Asidosis
 Hipoglikemia
 Hiperkarbia
 Hipertensi pulmonal
 Edema paru
 Hipertermia
 Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)
 Gagal ginjal akut
 Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
252

 Edema otak

PROGNOSIS
Tergantung pada:
 Penyakit dasar
 Kecepatan penanganan kejang
 Komplikasi
Bagan Penatalaksanaan Status Epileptikus Darto Saharso 2006

Anda mungkin juga menyukai