OLEH :
Anak Agung Sri Partiwi 16.321.2427
1.1.2 Etiologi
Menurut Carpenito (2013) adapun penyebab fraktur antara lain:
1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur
terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang
jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah
bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan,
kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
Menurut (Doenges, 2010) adapun penyebab fraktur antara lain:
1. Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat
ruda paksa misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang
mengakibatkan fraktur.
2. Trauma Tak Langsung
Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang
jauh dari tempat kejadian kekerasan.
3. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana
dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur, seperti :
a. Tumor tulang (jinak atau ganas), yaitu pertumbuhan jaringan
baru yang tidak terkendali atau progresif.
b. Infeksi seperti mosteomyelitis, dapat terjadi sebagai akibat
infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang
progresif, lambat dan sakit nyeri.
c. Rakhitis, suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi
Vitamin D.
d. Stress tulang seperti pada penyakit polio dan orang yang
bertugas di kemiliteran (Kristiyanasari, 2012).
1.1.3 Klasifikasi
Klasifikasi fraktur secara umum :
1. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, ulna, radius
dan cruris dst).
2. Berdasarkan komplit atau ketidak klomplitan fraktur:
a. Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang
atau melalui kedua korteks tulang).
b. Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis
penampang tulang).
3. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak pada tulang yang samaa
4. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih
(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup
ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan
lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera
jaringan lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit
dan jaringan subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan
lunak bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak
yang nyata ddan ancaman sindroma kompartement.
b. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan
antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena
adanya perlukaan kulit. Fraktur terbuka dibedakan menjadi
beberapa grade yaitu :
a. Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1 cm.
b. Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak
yang ekstensif.
c. Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan
jaringan lunak ekstensif.
1.1.4 Patofisiologi
Fraktur gangguan pada tulang pada tulang biasanya disebabkan oleh
trauma gangguan adanya gaya dalam tubuh yaitu stress, gangguan fisik,
gangguan metabolic, patologik. Kemampuan otot mendukung tulang
turun, baik yang terbuka ataupun tertutup. Kerusakan pembuluh darah
akan mengakibatkan perdarahan, maka volume darah menurun. COP
menurun maka terjadi perubahan perfusi jaringan. Hematoma akan
mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi edema local maka
penumpukan di dalam tubuh. Fraktur terbuka atau tertutup akan
mengenai serabut saraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman
nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang dan dapat terjadi neurovaskuler,
neurovaskuler yang menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik
terganggu. Disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak
yang kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi dengan udara
luar dan kerusakan jaringan lunak akan mengakibatkan kerusakan
integritas kulit. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh
trauma gangguan metabolik, patologik yang terjadi itu terbuka atau
tertutup. Pada umumnya pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup
akan dilakukan imobilitas yang bertujuan untuk mempertahankan
fragmen yang telah dihubungkan tetap pada tempatnya sampai sembuh.
Jejas yang ditimbulkan karena adanya fraktur menyebabkan
rupturnya pembuluh darah sekitar yang dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan. Respon dini terhadap kekurangan darah adalah kompensasi
tubuh, sebagai contoh vasokontriksi progresif dari kulit, otot dan
sirkulasi visceral. Karena adanya cedera, respon terhadap berkurangnya
volume darah yang akut adalah peningkatan detak jantung sebagai usaha
untuk menjaga output jantung, pelepasan katekolamin-katekolamin
endogen meningkatkan tahanan pembuluh perifer. Hal ini akan
meningkatkan tekanan darah diastolic dan mengurangi tekanan nadi
(pulse pressure), tetapi hanya sedikit membantu peningkatan perfusi
organ. Hormone-hormon lain yang bersifat vakso aktif juga dilepaskan
kedalam sirkulasi sewaktu terjadinya syok, termasuk histamine,
bradikinin beta-endorpin dan sejumlah besar prostanoid dan sitokin-
sitokin lain. Substansi ini berdampak besar pada mikro-sirkulasi dan
permabilitas pembuluh darah. Pada syok perdarahan yang masih dini,
mekanisme kompensasi sedikit mengatur pengembalian darah (venous
return) dengan cara kontraksi volume darah didalam system vena
sistemik. Cara yang paling efektif untuk memulihkan kardiak pada
tingkat seluler, sel dengan perfusi dan oksidinasi tidak adekuat tidak
mendapat substrat esensial yang sangat diperlukan untuk metabolisme
aerobic normal dan produksi energy. Pada keadaan awal terjadi
kompensasi dengan berpindah ke metabolism anaerobic, hal mana
mengakibatkan pembentukan asam laktat dan berkembangnya asidosis
metabolic. Bila syoknya berkepanjangan dan penyampaian substrat
pembentukan ATP (adenosine triphosphat) tidak memadai, maka
membrane sel tidak dapat lagi mempertahankan integritasnya dan
gradietnya elektrik normal hilang. Pembengkakan reticulum
endoplasmic merupakan tanda ultra structural pertama dari hipoksia
seluler setelah itu tidak lama lagi akan diikuti cedera mitokondrial.
Lisomsom pecah dan melepaskan enzim yang mencernakan struktur
intra seluler. Bila proses ini berjalan terus, terjadilah pembengkakan sel.
Juga terjadi penumpukan itraseluler. Bila proses ini berjalan terus,
terjadilah cedera seluler yang progresif, penambahan edema jaringan
dan kematian sel. Proses ini memperberat dampak kehilangan darah dan
hipoperfusi.
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat
patah dan kedalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut. Jaringan lunak
juga biasanya mengalami kerusakan. Raeksi peradangan biasanya
timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast
berakumulasi sehingga menyebabkan peningkatan aliran darah
ketempat tersebut. Vagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati
dimulai. Ditempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan
berfungsi sebagai jala-jala untuk melakukan aktivitas osteoblas
terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus.
Bukaan fibrin direabsobsi dan sel-sel tulang baru mengalami
remodeling untuk membentuk tulang sejati.
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yang tidak ditangani dapat
menurunkan asupan darah ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan
saraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan
peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dapat berakibat anoksi
jaringan yang mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan
otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen (brunner &
Suddarth, 2014).
1.1.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi Fraktur menurut Brunner & Suddarth (2014) adalah
nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus,
pembengkakan local, dan perubahan warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan
bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan
antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa)
bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran pragmen pada
fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat
maupun teraba) ekstremitas yang bisa diketahui dengan
membandingkan dengan estremitas normal. Ekstremitas tak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melengketnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas ada dibawah tempat
fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lainnya sampai
2,5 – 5 cm (1-2 inci).
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan yang lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan
meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan
menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
g. Osteomyelitis
Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan
korteks tulang dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari luar
tubuh) atau hematogenous (infeksi yang berasal dari dalam
tubuh). Patogen dapat masuk melalui luka fraktur terbuka, luka
tembus, atau selama operasi. Luka tembak, fraktur tulang
panjang, fraktur terbuka yang terlihat tulangnya, luka amputasi
karena trauma dan fraktur-fraktur dengan sindrom kompartemen
atau luka vaskular memiliki risiko osteomyelitis yang lebih
besar.
2. Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union (Penyatuan tertunda)
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi
sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk
menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke
tulang.
b. Non union (tak menyatu)
Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi oleh jaringan fibrosa.
Kadang-kadang dapat terbentuk sendi palsu pada tempat ini.
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan non union adalah tidak
adanya imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan lebar
dari fragmen contohnya patella dan fraktur yang bersifat
patologis.
c. Malunion
Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk
menimbulkan deformitas, angulasi atau pergeseran.
1.1.8 Penatalaksanaan
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi dan
pengembalian fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi (brunner
& suddarth 2014). Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen
tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode untuk mencapai
reduksi fraktur adalah dengan reduksi tertutup, teraksi, dan reduksi
terbuka. Metode yang dipilih untuk mereduksi fraktur bergantung pada
sifat frakturnya.
Mempertahankan dan megembalikan fragmen tulang, dapat
dilakukan dengan reduksi dan mobilisasi. Pantau status neurovaskuler,
latihan isometric, dan memotivasi klien untuk berpartisipasi dalam
memperbaiki kemandirian dan harga diri (brunner & studdarth 2014).
Prinsip penanganan fraktur dikenal dengan 4 R yaitu:
a. Rekognisi adalah menyangkut diagnosis fraktur pada tempat
kejadian dan kemudian dirumah sakit
b. Reduksi adalah usaha dan tindakan memanipulasi fragmen-fragmen
tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak
asalnya.
c. Retensi adalah aturan umum dalam pemasangan gips, yang dipasang
untuk mempertahankan reduksi harus melewati sendi diatas fraktur
dan dibawah fraktur
d. Rehabilitasi adalah pengobatan dan penyembuhan fraktur.
Penatalaksanaan perawatnya adalah sebagai berikut:
a. terlebih dahulu memperhatikan adanya perdarahan, syok dan
penurunan kesadaran, baru periksa patah tulang.
b. Atur posisi tujuannya untuk menimbulkan rasa nyaman, mencegah
komplikasi
c. Pemantauan neurocirculatory yang dilakukan setiap jam secara dini,
dan pemantauan neurocirculatory pada daerah yang cidera adalah:
1. meraba lokasi apakah masih hangat
2. observasi colour
3. menekan pada akar kuku dan perhatikan pengisian kembali
kapiler
4. tanyakan pada pasien mengenai rasa nyeri atau hilang sensasi
pada lokasi cedera
5. meraba lokasi cidera apakah pasien bisa membedakan rasa
sensasi nyeri
6. observasi apakah daerah fraktur bisa digerakkan.
d. Pertahankan kekuatan dan pergerakan
e. Mempertahankan kekuatan kulit
f. Meningkatkan gizi, makanan-makanan yang tinggi serat anjurkan
intake protein 150-300gr/hari
g. Memperhatikan imobilisasi fraktur yang telah direduksi dengan
tujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah dihubungkan
tetap pada tempatnya sampai sembuh.
2.2.5 Evaluasi
1. Nyeri pasien dapat berkurang
2. Tidak terjadi kerusakan integritas kulit
3. Pasien akan menunjukan tingkat mobilitas optimal
4. Cemas pasien dapat berkurang optimal
5. Infeksi tidak terjadi/ terkontrol optimal
DAFTAR PUSTAKA
Deformitas
Kuman mudah masuk
Gng. Fungsi ekstermitas