Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP ASUHAN

KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN DIAGNOSA MEDIS


FRAKTUR

OLEH :
Anak Agung Sri Partiwi 16.321.2427

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2019
1.1 Konsep Dasar Teori
1.1.1 Pengertian
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan
tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa
(Sjamsuhidajat, 2010).
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh.
Kebanyakan fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan
yang berlebihan pada tulang, baik berupa trauma langsung dan trauma
tidak langsung (Sjamsuhidajat & Jong, 2010).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang
biasanya disertai dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot,
rupture tendon, kerusakan pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh
dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadinya fraktur jika tulang
dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari yang dapat
diabsorbsinya (Smeltzer, 2013).
Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat penyusun simpulkan,
Fraktur adalah patah tulang yang diakibatkan tekanan atau benturan
yang keras yang tulang.

1.1.2 Etiologi
Menurut Carpenito (2013) adapun penyebab fraktur antara lain:
1. Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur
terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
2. Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang
jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah
bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
3. Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan,
kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
Menurut (Doenges, 2010) adapun penyebab fraktur antara lain:
1. Trauma Langsung
Yaitu fraktur terjadi di tempat dimana bagian tersebut mendapat
ruda paksa misalnya benturan atau pukulan pada anterbrachi yang
mengakibatkan fraktur.
2. Trauma Tak Langsung
Yaitu suatu trauma yang menyebabkan patah tulang ditempat yang
jauh dari tempat kejadian kekerasan.
3. Fraktur Patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana
dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur, seperti :
a. Tumor tulang (jinak atau ganas), yaitu pertumbuhan jaringan
baru yang tidak terkendali atau progresif.
b. Infeksi seperti mosteomyelitis, dapat terjadi sebagai akibat
infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang
progresif, lambat dan sakit nyeri.
c. Rakhitis, suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi
Vitamin D.
d. Stress tulang seperti pada penyakit polio dan orang yang
bertugas di kemiliteran (Kristiyanasari, 2012).
1.1.3 Klasifikasi
Klasifikasi fraktur secara umum :
1. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, ulna, radius
dan cruris dst).
2. Berdasarkan komplit atau ketidak klomplitan fraktur:
a. Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang
atau melalui kedua korteks tulang).
b. Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis
penampang tulang).
3. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan.
b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
c. Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak pada tulang yang samaa
4. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
a. Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih
(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup
ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan
lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera
jaringan lunak sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit
dan jaringan subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan
lunak bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak
yang nyata ddan ancaman sindroma kompartement.
b. Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan
antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena
adanya perlukaan kulit. Fraktur terbuka dibedakan menjadi
beberapa grade yaitu :
a. Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1 cm.
b. Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak
yang ekstensif.
c. Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan
jaringan lunak ekstensif.
1.1.4 Patofisiologi
Fraktur gangguan pada tulang pada tulang biasanya disebabkan oleh
trauma gangguan adanya gaya dalam tubuh yaitu stress, gangguan fisik,
gangguan metabolic, patologik. Kemampuan otot mendukung tulang
turun, baik yang terbuka ataupun tertutup. Kerusakan pembuluh darah
akan mengakibatkan perdarahan, maka volume darah menurun. COP
menurun maka terjadi perubahan perfusi jaringan. Hematoma akan
mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi edema local maka
penumpukan di dalam tubuh. Fraktur terbuka atau tertutup akan
mengenai serabut saraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman
nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang dan dapat terjadi neurovaskuler,
neurovaskuler yang menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik
terganggu. Disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak
yang kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi dengan udara
luar dan kerusakan jaringan lunak akan mengakibatkan kerusakan
integritas kulit. Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh
trauma gangguan metabolik, patologik yang terjadi itu terbuka atau
tertutup. Pada umumnya pada pasien fraktur terbuka maupun tertutup
akan dilakukan imobilitas yang bertujuan untuk mempertahankan
fragmen yang telah dihubungkan tetap pada tempatnya sampai sembuh.
Jejas yang ditimbulkan karena adanya fraktur menyebabkan
rupturnya pembuluh darah sekitar yang dapat menyebabkan terjadinya
perdarahan. Respon dini terhadap kekurangan darah adalah kompensasi
tubuh, sebagai contoh vasokontriksi progresif dari kulit, otot dan
sirkulasi visceral. Karena adanya cedera, respon terhadap berkurangnya
volume darah yang akut adalah peningkatan detak jantung sebagai usaha
untuk menjaga output jantung, pelepasan katekolamin-katekolamin
endogen meningkatkan tahanan pembuluh perifer. Hal ini akan
meningkatkan tekanan darah diastolic dan mengurangi tekanan nadi
(pulse pressure), tetapi hanya sedikit membantu peningkatan perfusi
organ. Hormone-hormon lain yang bersifat vakso aktif juga dilepaskan
kedalam sirkulasi sewaktu terjadinya syok, termasuk histamine,
bradikinin beta-endorpin dan sejumlah besar prostanoid dan sitokin-
sitokin lain. Substansi ini berdampak besar pada mikro-sirkulasi dan
permabilitas pembuluh darah. Pada syok perdarahan yang masih dini,
mekanisme kompensasi sedikit mengatur pengembalian darah (venous
return) dengan cara kontraksi volume darah didalam system vena
sistemik. Cara yang paling efektif untuk memulihkan kardiak pada
tingkat seluler, sel dengan perfusi dan oksidinasi tidak adekuat tidak
mendapat substrat esensial yang sangat diperlukan untuk metabolisme
aerobic normal dan produksi energy. Pada keadaan awal terjadi
kompensasi dengan berpindah ke metabolism anaerobic, hal mana
mengakibatkan pembentukan asam laktat dan berkembangnya asidosis
metabolic. Bila syoknya berkepanjangan dan penyampaian substrat
pembentukan ATP (adenosine triphosphat) tidak memadai, maka
membrane sel tidak dapat lagi mempertahankan integritasnya dan
gradietnya elektrik normal hilang. Pembengkakan reticulum
endoplasmic merupakan tanda ultra structural pertama dari hipoksia
seluler setelah itu tidak lama lagi akan diikuti cedera mitokondrial.
Lisomsom pecah dan melepaskan enzim yang mencernakan struktur
intra seluler. Bila proses ini berjalan terus, terjadilah pembengkakan sel.
Juga terjadi penumpukan itraseluler. Bila proses ini berjalan terus,
terjadilah cedera seluler yang progresif, penambahan edema jaringan
dan kematian sel. Proses ini memperberat dampak kehilangan darah dan
hipoperfusi.
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi disekitar tempat
patah dan kedalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut. Jaringan lunak
juga biasanya mengalami kerusakan. Raeksi peradangan biasanya
timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast
berakumulasi sehingga menyebabkan peningkatan aliran darah
ketempat tersebut. Vagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati
dimulai. Ditempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan
berfungsi sebagai jala-jala untuk melakukan aktivitas osteoblas
terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus.
Bukaan fibrin direabsobsi dan sel-sel tulang baru mengalami
remodeling untuk membentuk tulang sejati.
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang
berkaitan dengan pembengkakan yang tidak ditangani dapat
menurunkan asupan darah ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan
saraf perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan
peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dapat berakibat anoksi
jaringan yang mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan
otot. Komplikasi ini dinamakan sindrom kompartemen (brunner &
Suddarth, 2014).
1.1.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi Fraktur menurut Brunner & Suddarth (2014) adalah
nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus,
pembengkakan local, dan perubahan warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
diimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan
bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan
antar fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa)
bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran pragmen pada
fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat
maupun teraba) ekstremitas yang bisa diketahui dengan
membandingkan dengan estremitas normal. Ekstremitas tak dapat
berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada
integritas tulang tempat melengketnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas ada dibawah tempat
fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lainnya sampai
2,5 – 5 cm (1-2 inci).
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan yang lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai
akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur.

1.1.6 Pemeriksaan Penunjang


Menurut (Doengoes, 2010) pemeriksaan diagnostic fraktur diantaranya:
1. Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi atau luasnya fraktur
2. Scan tulang, tonogramm, scan-CT/MRI : memperlihatkan fraktur,
juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan
lunak.
3. Arteriogram : dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
4. Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi)
atau meurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur/organ jauh pada
trauma multiple). Peningkatan jumlah SDP adalah respon stress
normal setelah trauma.
5. Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk kliren
ginjal.
6. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
tranfusi multiple, atau cedera hati.
1.1.7 Komplikasi
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Artery
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya
nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang
lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh
tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit,
tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Komplikasi ini terjadi saat peningkatan tekanan jaringan dalam
ruang tertutup di otot, yang sering berhubungan dengan
akumulasi cairan sehingga menyebabkan hambatan aliran darah
yang berat dan berikutnya menyebabkan kerusakan pada otot.
Gejala-gejalanya mencakup rasa sakit karena ketidak
seimbangan pada luka, rasa sakit yang berhubungan dengan
tekanan yang berlebihan pada kompartemen, rasa sakit dengan
perenggangan pasif pada otot yang terlibat, dan paresthesia.
Komplikasi ini terjadi lebih sering pada fraktur tulang kering
(tibia) dan tulang hasta (radius atau ulna).

c. Fat Embolism Syndrom


Merupakan keadaan pulmonari akut dan dapat menyebabkan
kondisi fatal. Hal ini terjadi ketika gelembung – gelembung
lemak terlepas dari sumsum tulang dan mengelilingi jaringan
yang rusak. Gelombang lemak ini akan melewati sirkulasi dan
dapat menyebabkan oklusi pada pembuluh – pembuluh darah
pulmonary yang menyebabkan sukar bernafas. Gejala dari
sindrom emboli lemak mencakup dyspnea, perubahan dalam
status mental (gaduh, gelisah, marah, bingung, stupor),
tachycardia, demam, ruam kulit ptechie.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial)
dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur
terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam
pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang
rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang
dan diawali dengan adanya Volkman’s Ischemia. Nekrosis
avaskular dapat terjadi saat suplai darah ke tulang kurang baik.
Hal ini paling sering mengenai fraktur intrascapular femur (yaitu
kepala dan leher), saat kepala femur berputar atau keluar dari
sendi dan menghalangi suplai darah. Karena nekrosis avaskular
mencakup proses yang terjadi dalam periode waktu yang lama,
pasien mungkin tidak akan merasakan gejalanya sampai dia
keluar dari rumah sakit. Oleh karena itu, edukasi pada pasien
merupakan hal yang penting. Perawat harus menyuruh pasien
supaya melaporkan nyeri yang bersifat intermiten atau nyeri
yang menetap pada saat menahan beban.

f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan
meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan
menurunnya oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur.
g. Osteomyelitis
Adalah infeksi dari jaringan tulang yang mencakup sumsum dan
korteks tulang dapat berupa exogenous (infeksi masuk dari luar
tubuh) atau hematogenous (infeksi yang berasal dari dalam
tubuh). Patogen dapat masuk melalui luka fraktur terbuka, luka
tembus, atau selama operasi. Luka tembak, fraktur tulang
panjang, fraktur terbuka yang terlihat tulangnya, luka amputasi
karena trauma dan fraktur-fraktur dengan sindrom kompartemen
atau luka vaskular memiliki risiko osteomyelitis yang lebih
besar.
2. Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union (Penyatuan tertunda)
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi
sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk
menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke
tulang.
b. Non union (tak menyatu)
Penyatuan tulang tidak terjadi, cacat diisi oleh jaringan fibrosa.
Kadang-kadang dapat terbentuk sendi palsu pada tempat ini.
Faktor-faktor yang dapat menyebabkan non union adalah tidak
adanya imobilisasi, interposisi jaringan lunak, pemisahan lebar
dari fragmen contohnya patella dan fraktur yang bersifat
patologis.
c. Malunion
Kelainan penyatuan tulang karena penyerasian yang buruk
menimbulkan deformitas, angulasi atau pergeseran.
1.1.8 Penatalaksanaan
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi dan
pengembalian fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi (brunner
& suddarth 2014). Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen
tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis. Metode untuk mencapai
reduksi fraktur adalah dengan reduksi tertutup, teraksi, dan reduksi
terbuka. Metode yang dipilih untuk mereduksi fraktur bergantung pada
sifat frakturnya.
Mempertahankan dan megembalikan fragmen tulang, dapat
dilakukan dengan reduksi dan mobilisasi. Pantau status neurovaskuler,
latihan isometric, dan memotivasi klien untuk berpartisipasi dalam
memperbaiki kemandirian dan harga diri (brunner & studdarth 2014).
Prinsip penanganan fraktur dikenal dengan 4 R yaitu:
a. Rekognisi adalah menyangkut diagnosis fraktur pada tempat
kejadian dan kemudian dirumah sakit
b. Reduksi adalah usaha dan tindakan memanipulasi fragmen-fragmen
tulang yang patah sedapat mungkin untuk kembali seperti letak
asalnya.
c. Retensi adalah aturan umum dalam pemasangan gips, yang dipasang
untuk mempertahankan reduksi harus melewati sendi diatas fraktur
dan dibawah fraktur
d. Rehabilitasi adalah pengobatan dan penyembuhan fraktur.
Penatalaksanaan perawatnya adalah sebagai berikut:
a. terlebih dahulu memperhatikan adanya perdarahan, syok dan
penurunan kesadaran, baru periksa patah tulang.
b. Atur posisi tujuannya untuk menimbulkan rasa nyaman, mencegah
komplikasi
c. Pemantauan neurocirculatory yang dilakukan setiap jam secara dini,
dan pemantauan neurocirculatory pada daerah yang cidera adalah:
1. meraba lokasi apakah masih hangat
2. observasi colour
3. menekan pada akar kuku dan perhatikan pengisian kembali
kapiler
4. tanyakan pada pasien mengenai rasa nyeri atau hilang sensasi
pada lokasi cedera
5. meraba lokasi cidera apakah pasien bisa membedakan rasa
sensasi nyeri
6. observasi apakah daerah fraktur bisa digerakkan.
d. Pertahankan kekuatan dan pergerakan
e. Mempertahankan kekuatan kulit
f. Meningkatkan gizi, makanan-makanan yang tinggi serat anjurkan
intake protein 150-300gr/hari
g. Memperhatikan imobilisasi fraktur yang telah direduksi dengan
tujuan untuk mempertahankan fragmen yang telah dihubungkan
tetap pada tempatnya sampai sembuh.

2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Pasien Fraktur


2.2.1 Pengkajian
1. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor
presipitasi nyeri, Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk,
Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya, Time: berapa lama nyeri
berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang
hari.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien.
Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya
bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena.
Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa
diketahui luka kecelakaan yang lain.
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang
menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain
itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko terjadinya
osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes,
osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang
yang cenderung diturunkan secara genetik.
Riwayat Psikososial
6. Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya
dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam
masyarakat.
7. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan
pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk
membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga
meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang
dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol
yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan
olahraga atau tidak.
b) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk
membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi
klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal
dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama
kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang
merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada
lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan
mobilitas klien.
c) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi,
tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna
serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi
uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua
pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
d) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal
ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga,
pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur
(Doengos, 2010).
e) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak
dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk
aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk
pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang
lain.
f) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat.
Karena klien harus menjalani rawat inap.
g) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya
yang salah (gangguan body image).
h) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga
pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa
nyeri akibat fraktur.
i) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan
seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta
rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status
perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya.
j) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme
koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
k) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan
karena nyeri dan keterbatasan gerak klien
8. Pemeriksaan Fisik
a) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda,
seperti:
b) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
c) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan
pada kasus fraktur biasanya akut.
d) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.

2.2.2 Diagnosa Yang Mungkin Muncul


1. Nyeri Akut berhubungan dengan spasme otot, gerakan fragmen tulang,
edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi.
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, kerusakan
sirkulasi, penurunan sensasi di buktikan oleh terdapatnya luka/ulserasi,
turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotis.
3. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka
neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)
4. Ansietas berhubungan dengan akan dilakukannya tindakan operasi
5. Risiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan
primer (kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi
tulang)
2.2.3 Rencana Keperawatan

No Diangnosa Tujuan dan kriteria hasil Intervensi Rasional


Keperawatan
1. Nyeri Akut Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Lakukan pengkajian nyeri 1. Untuk mengetahui lokasi,
berhubungan selama …x24 jam diharapkan nyeri secara komprehensif termasuk karakteristik, durasi,
dengan spasme pasien dapat teratasi dengan kriteria hasil lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan
otot, gerakan : frekuensi, kualitas dan faktor faktor pencetus nyeri
fragmen tulang, 1. Mampu mengontrol nyeri (tahu presipitasi 2. Untuk mengetahui respon
edema, cedera penyebab nyeri, mampu 2. Observasi reaksi nonverbal dari nonverbal dari nyeri
jaringan lunak, menggunakan tehnik nonfarmakologi ketidaknyamanan 3. Agar pasien mampu
pemasangan traksi. untuk mengurangi nyeri, mencari 3. Ajarkan tentang teknik non mengurangi nyeri tnapa
bantuan) farmakologi (relaksasi, distrasi, obat
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dll) untuk mengatasi nyeri 4. Agar pasien dapat
dengan menggunakan manajemen 4. Evaluasi keefektifan kontrol mengevaluasi nyeri yang
nyeri nyeri dirasakan
3. Mampu mengenali nyeri (skala, 5. Tingkatkan istirahat 5. Untuk minimalisir nyeri
intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) 6. Kolaborasikan dengan dokter agar berkurang
jika ada keluhan dan tindakan
4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri tidak berhasil dan 6. Untuk mengurangi nyeri
nyeri berkurang pemberian obat analgetik pasien
5. Tanda vital dalam rentang normal
2. Kerusakan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Observasi kulit akan adanya 1. Untuk mengetahui adanya
integritas kulit selama …x24 jam diharapkan tidak kemerahan tanda iritasi yang melebar.
berhubungan terjadi kerusakan integritas kulit dengan 2. Hindari kerutan pada tempat 2. Menjaga timbulnya lesi
dengan tekanan, kriteria hasil : tidur baru.
kerusakan 1. Integritas kulit yang baik bisa 3. Jaga kebersihan kulit agar 3. Untuk mencegah adanya
sirkulasi, dipertahankan tetap bersih dan kering kuman yang dapat
penurunan sensasi 2. Melaporkan adanya gangguan 4. Mobilisasi pasien (ubah menyebabkan luka pada
di buktikan oleh sensasi atau nyeri pada daerah posisi pasien) setiap dua jam kulit.
terdapatnya kulit yang mengalami gangguan sekali 4. Mencegah terjadinya
luka/ulserasi, 3. Menunjukkan pemahaman dalam 5. Anjurkan pasien untuk decubitus.
turgor kulit buruk, proses perbaikan kulit dan menggunakan pakaian yang 5. Untuk memperkecil
terdapat jaringan mencegah terjadinya sedera longgar kemungkinan terjadinya
nekrotis. berulang 6. Kolaborasi dengan dokter luka pada kulit.
4. Mampu melindungi kulit dan dalam pemberian antibiotik 6. Untuk pengobatan infeksi.
mempertahankan kelembaban
kulit dan perawatan alami
3. Gangguan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Observasi kemampuan pasien 1. Mengetahui sejauh mana
mobilitas fisik selama …x24 jam diharapkan pasien akan dalam melakukan mobilisasi tingkat mobilisasi
berhubungan menunjukan tingkat mobilitas optimal 2. Bantu pasien untuk 2. Membantu meningkatkan
dengan kerusakan dengan kriteria hasil : menggunakan tongkat saat kekuatan dan ketahanan
rangka 1. Klien meningkat dalam aktivitas berjalan dan cegah terhadap otot
neuromuskuler, fisik cedera 3. Mampu melakukan
nyeri, terapi 2. Mengerti tujuan dari peningkatan tindakan secara mandiri
3. Ajarkan pasien atau tenaga
restriktif mobilitas dan termotivasi untuk
kesehatan lain tentangteknik
(imobilisasi) 3. Memverbalisasikan perasaan meningkatkan mobilitas
ambulasi
dalam meningkatkan kekuatan 4. Agar pasien
4. Latih pasien dalam
dan kemampuan berpindah mampumelakukan
pemenuhan kebutuhan ADL
4. Memperagakan penggunaan alat aktivitas secara mandiri.
secara mandiri sesuai
Bantu untuk mobilisasi (walker) 5. Mampu melakukan
kemampuan
aktivitas secara mandiri
5. Berikan alat bantu jika pasien
guna meningkatkan
memerlukan
mobilitas
6. Ajarkan pasien bagaimana 6. Meningkatkan
merubah posisi dan berikan kesejahteraan fisologis
bantuan jika diperlukan dam psikologis
7. Kolaborasi dengan fisioterapi 7. Meningkatkan mobilitas
tentang rencana ambulasi pasiensesuai kondisi
sesuai dengankebutuhan. pasien
4. Ansietas Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Mendengarkan penyebab 1. Klien dapat
berhubungan selama …x24 jam diharapkan cemas kecemasan klien dengan mengungkapkan penyebab
dengan akan pasien dapat berkurang optimal dengan penuh perhatian kecemasannya sehingga
dilakukannya kriteria hasil : 2. Observasi tanda verbal dan perawat dapat menentukan
tindakan operasi 1. Klien mampu mengidentifikasi non verbal dari kecemasan tingkat kecemasan klien
dan mengungkapkan gejala cemas klien dan menentukan intervensi
2. Mengidentifikasi,mengungkapkan 3. Menganjurkan keluarga untuk klien selanjutnya.
dan menunjukkan tehnik untuk untuk tetap mendampingi 2. mengobservasi tanda
mengontrol cemas klien verbal dan non verbal dari
3. Vital sign dalam batas normal 4. Mengurangi atau kecemasan klien dapat
4. Postur tubuh, ekspresi menghilangkan rangsangan mengetahui tingkat
wajah,bahasa tubuh dan tingkat yang menyebabkan kecemasan yang klien
kecemasan pada klien alami.
aktivitas menunjukkan 3. Dukungan keluarga dapat
berkurangnya kecemasan memperkuat mekanisme
koping klien sehingga
tingkat ansietasnya
berkurang
4. Pengurangan atau
penghilangan rangsang
penyebab kecemasan dapat
meningkatkan ketenangan
pada klien dan mengurangi
tingkat kecemasannya
5. Risiko infeksi Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Observasi tanda-tanda vital 1. mengidentifikasi tanda-
berhubungan selama …x24 jam diharapkan infeksi 2. Lakukan perawatan luka tanda peradangan terutama
dengan tidak terjadi/ terkontrol optimal dengan dengan tehnik aseptik. bila suhu tubuh meningkat
ketidakadekuatan kriteria hasil : 3. Lakukan perawatan terhadap 2. mengendalikan
pertahanan primer 1. Klien bebas dari tanda dan gejala prosedur inpasif seperti penyebaran
(kerusakan kulit, infeksi infuse, kateter, drainase luka, mikroorganisme pathogen
taruma jaringan 2. Mendeskripsikan proses dll. 3. untuk mengurangi resiko
lunak, prosedur penularan penyakit, faktor yang infeksi nosokomial
invasif/traksi mempengaruhi penularan serta 4. Jika di temukan tanda infeksi 4. penurunan Hb dan
tulang) penatalaksanaanya kolaborasi untuk pemeriksaan peningkatan jumlah
3. Menunjukkan kemampuan untuk darah, seperti Hb dan leukosit dari normal bias
mencegah timbulnya infeksi leukosit. terjadi akibat terjadinya
4. Jumlah leukosit dalam batas 5. Kolaborasi untuk pemberian proses infeksi
normal antibiotic. 5. antibiotic mencegah
5. Menunjukkan perilaku hidup perkembangan
sehat mikroorganisme pathogen
2.2.4 Implementasi
Implementasi sesuaikan dengan rencana keperawatan

2.2.5 Evaluasi
1. Nyeri pasien dapat berkurang
2. Tidak terjadi kerusakan integritas kulit
3. Pasien akan menunjukan tingkat mobilitas optimal
4. Cemas pasien dapat berkurang optimal
5. Infeksi tidak terjadi/ terkontrol optimal
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth, 2014. Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta :


EGC.
Doengoes, M.E., 2010, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta
Carpenito, L. J. (2013). Diagnosa Keperawatan : Aplikasi pada Praktek
Klinik (Terjemahan). Edisi 6. Jakarta: EGC
Sjamsuhidajat & de jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah.Jakarta: EGC
Sjamsuhidajat, R. dkk. (2010), Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 3. Jakarta:
EGC
Smeltzer, S.C., 2013, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC,
Jakarta.
PATHWAY

Trauma langsung Trauma tidak langsung Kondisi patologis

Ansietas Pembedaha Fraktur


n

Diskontinuitas tulang Pergeseran fragmen tulang Nyeri akut

Perubahan jaringan sekitar

Pergeseran fragmen tulang Laserasi kulit Kerusakan integritas kulit

Deformitas
Kuman mudah masuk
Gng. Fungsi ekstermitas

Gangguan mobilitas fisik Resiko infeksi

Anda mungkin juga menyukai