Oleh:
Kulsum Febri Dwi Safitri
P17212159066
OLEH
KULSUM FEBRI DWI SAFITRI
P17212195066
Mahasiswa
Pembimbing Institusi
Pembimbing Klinik
...............................................
…...................................
LEMBAR PENGESAHAN
OLEH
KULSUM FEBRI DWI SAFITRI
P17212195066
Mahasiswa
Pembimbing Institusi
Pembimbing Klinik
...............................................
…...................................
I. DEFINISI
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya
disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer, Arif, et al, 2000). Sedangkan menurut Linda
Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Documentation menyebutkan bahwa
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang
datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. Pernyataan ini sama yang
diterangkan dalam buku Luckman and Sorensen’s Medical Surgical Nursing Suatu
keadaan diskontinuitas jaringan struktural pada tulang (Price 1985). Fraktur adalah
terputusnya kontinuitas tulang atau tulang rawan (Purnawan junadi 1982).
IV. ETIOLOGI
1. Trauma langsung/ direct trauma, yaitu apabila fraktur terjadi di tempat dimana
bagian tersebut mendapat ruda paksa (misalnya benturan, pukulan yang
mengakibatkan patah tulang).
2. Trauma yang tak langsung/ indirect trauma, misalnya penderita jatuh dengan lengan
dalam keadaan ekstensi dapat terjadi fraktur pada pegelangan tangan.
3. Trauma ringan pun dapat menyebabkan terjadinya fraktur bila tulang itu sendiri
rapuh/ ada “underlying disesase” dan hal ini disebut dengan fraktur patologis.
V. PATOFISIOLOGI
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan (Apley, A. Graham, 1993). Tapi apabila tekanan eksternal
yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada
tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang (Carpnito,
Lynda Juall, 1995). Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf
dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak.
Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga
medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah.
Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang
ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah
putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang
nantinya (Black, J.M, et al, 1993)
X. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
A. Pemeriksaan Radiologi
1. X-Ray
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi
keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP
atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan
(khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena
adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar
indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan
permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray: Bayangan jaringan lunak. Tipis
tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga
rotasi. Trobukulasi ada tidaknya rare fraction. Sela sendi serta bentuknya
arsitektur sendi.
2. Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain
tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur
yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga
mengalaminya.
3. Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh
darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
4. Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda
paksa.
5. Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara
transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
B. Pemeriksaan Laboratorium
1. Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
2. Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan
kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
3. Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase
(LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada
tahap penyembuhan tulang.
C. Pemeriksaan lain-lain
1. Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas:
didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.
2. Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan
pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
3. Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang
diakibatkan fraktur.
4. Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek
karena trauma yang berlebihan.
5. Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi
pada tulang.
6. MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
A. PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksaanannya pada fraktur ada dua jenis yaitu konservatif dan operatif.
Kriteria untuk menentukan pengobatan dapat dilakukan secara konservatif atau operatif
selamanya tidak absolut.
Sebagai pedoman dapat di kemukakan sebagai berikut:
A.Cara konservatif:
1. Anak-anak dan remaja, dimana masih ada pertumbuhan tulang panjang.
2. Adanya infeksi atau diperkirakan dapat terjadi infeksi.
3. Jenis fraktur tidak cocok untuk pemasangan fiksasi internal.
4. Ada kontraindikasi untuk di lakukan operasi.
Pengobatan konservatif dapat dilakukan dengan:
- Pemasangan Gips.
- Pemasangan traksi (skin traksi dan skeletal traksi). Beban maksimal untuk skin
traksi adalah 5 Kg.
B. Cara operatif di lakukan apabila:
1. Bila reposisi mengalami kegagalan.
2. Pada orang tua dan lemah (imobilisasi akibat yang lebih buruk).
3. Fraktur multipel pada ekstrimitas bawah.
4. Fraktur patologik.
5. Penderita yang memerluka imobilisasi cepat.
Pengobatan operatif:
- Reposisi.
- Fiksasi.
Atau yang lazim di sebut juga dengan tindakan ORIF (“Open Reduction Internal
Fixation”)
Pada prinsipnya penangganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi dan
pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.
- Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulangpada kesejajarannya dan
rotasi anatomis. Metode dalam reduksi adalah reduksi tertutup, traksi dan
reduksi terbuka, yang masing-masing di pilih bergantung sifat fraktur
Reduksi tertutup dilakukan untuk mengembalikan fragmen tulang ke posisinya
(ujung-ujung saling behubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
Traksi, dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi.
Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi.
Reduksi terbuka , dengan pendekatan pembedahan, fragmen tulang direduksi.
Alat fiksasi internal dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku atau batangan
logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam
posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi.
- Imobilisai fraktur, setelah fraktur di reduksi fragmen tulang harus di imobilisasi
atau di pertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Immobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksternal atau inernal.
Fiksasi eksternal meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinui, pin dan
teknik gips atau fiksator eksternal. Fiksasi internal dapat dilakukan implan
logam yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Pada
fraktur femur imobilisasi di butuhkan sesuai lokasi fraktur yaitu intrakapsuler
24 minggu, intra trokhanterik 10-12 minggu, batang 18 minggu dan supra
kondiler 12-15 minggu.
- Mempertahankan dan mengembalikan fungsi, segala upaya diarahkan pada
penyembuhan tulang dan jaringan lunak, yaitu ;
Mempertahankan reduksi dan imobilisasi
Meninggikan untuk meminimalkan pembengkakan
Memantau status neurologi.
Mengontrol kecemasan dan nyeri
Latihan isometrik dan setting otot
Berpartisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari
Kembali keaktivitas secara bertahap.
Definisi
Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan actual atau
fungsional, dengan onset mendadak atau lambat Dari berintensitas ringan hingga berat
yang berlangsung kurang dari 3 bulan :
Penyebab
1. Agen pencedera fisiologi ( mis,inflamasi, iskemia, neoplasma )
2. Agen pencedera kimiawi ( mis,terbakar, bahan kimia irita)
3. Agen pecendera fisik (Pisah asbes amputasi ngangkat kayu ,terbakar, terpotong ,
mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan
Subjektif Objektif
1. Mengeluh nyeri 1. Tampak meringis
2. Bersikap protektif (mis waspada posisi
Menghindari nyeri )
3. Gelisah
4. Frekuensi nadi meningkat
5. Sulit tidur
Subjektif Objektif
1. Tekanan darah meningkat
( tidak tersedia ) 2. Pola nafas berubah
3. Nafsu makan berubah
4. Proses berfikir terganggu
5. Menarik diri
6. Berfokus pada diri sendiri
7. Diaforesis
Keterangan
*) pengkajian nyeri dapat menggunakan instrument skala nyeri, seperti :
- FLACC Behavioral Pai Scale untuk usia kurang dari 3 tahun
- Baker Wongg FACES Scale untuk usia 3 – 7 tahun
- Visual analogue scale atau numeric rating scale untuk usia di atas 7 tahun
2.2.3 LUARAN/OUTCOME
Nyeri Akut
Luaran Utama : Tingkat Nyeri
Luaran Tambahan : Fungsi gastrointestinal
Kontrol nyeri
Mobilitas fisik
Penyembuhan luka
Perfusi miokard
Perfusi perifer
Pola tidur
Status kenyamanan
Tingkat cidera
Tingkat Nyeri
Definisi
Pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual
atau fungsional, denganonset mendadak atau lambat dan berintensitas ringan hingga
berat dan konstan
Ekspektasi Menurun
Kriteria Hasil
Cukup
Cukup Meningka
Menurun Sedang Meningka
menurun t
t
Kemampuan menuntaskan 1 2 3 4 5
aktifitas
Cukup Cukup
Meningkat Sedang Menurun
meningkat Menurun
Keluhan nyeri 1 2 3 4 5
Meringis 1 2 3 4 5
Sikap protektif 1 2 3 4 5
Gelisah 1 2 3 4 5
Kesulitan Tidur 1 2 3 4 5
Menarik diri 1 2 3 4 5
Berfokus pada diri sendiri 1 2 3 4 5
Diaphoresis 1 2 3 4 5
Perasaan depresi (tertekan) 1 2 3 4 5
Perasaan takut mengalami 1 2 3 4 5
cedera berulang
Anoreksia 1 2 3 4 5
Perineum terasa tertekan 1 2 3 4 5
Uterus teraba membulat 1 2 3 4 5
Ketengan otot 1 2 3 4 5
Pupil dilatasi 1 2 3 4 5
Muntah 1 2 3 4 5
Mual 1 2 3 4 5
Frekuensi nadi 1 2 3 4 5
Pola napas 1 2 3 4 5
Tekanan darah 1 2 3 4 5
Proses berfikir 1 2 3 4 5
Focus 1 2 3 4 5
Fungsi berkemih 1 2 3 4 5
Perilaku 1 2 3 4 5
Nafsu makan 1 2 3 4 5
Pola tidur 1 2 3 4 5
Kontrol Nyeri
Definisi
Tindakan untuk meredakan pengalam sensorik atau emosional yang tidak menyenangkan
akibat kerusakan jaringan
Ekspektasi Meningkat
Kriteria Hasil
Cukup Cukup
Menurun Sedang Meningkat
menurun Meningkat
Melaporkan nyeri
terkontrol
1 2 3 4 5
Kemampuan mengenali
1 2 3 4 5
onset nyeri
Kemampuan mengenali
1 2 3 4 5
penyebab nyeri
kemampuan
1 2 3 4 5
menggunakan
tehnik non-
1 2 3 4 5
farmakologis
Dukungan orang terdekat
Cukup Cukup
Meningkat Sedang Menurun
Meningkat Menurun
Keluhan nyeri 1 2 3 4 5
Penggunaan analgesic 1 2 3 4 5
2.2.4 INTERVENSI
Intervensi Utama
Manejemen nyeri Pemberian
analgesic
Interval pendukung
Aromaterapi Pemberian Obat Oral
Dukungan Hipnosis Diri Pemberian Obat Intervena
Dukungan Pengukapan Kebutuhan Pemberian Obat Tropika
Edukasi Efek Samping Obat Pengaturan Posisi
Edukasi manajemen Nyeri Perawatan Amputasi
Edukasi Proses Penyakit Perawatan Kenyaanan
Edukasi Tehnik Napas Tehnik Distraksi
Kompres Dingin Tehnik Imajinasi Terbimbing
Kompres Panas Terapi Akupresur
Konsultasi Terapi Akupuntur
Latihan Pernafasan Terapi Bantuan Hewan
Manajemen Efek Samping Obat Terap Humor
Manajemen Kenyaman lingkungan Terapi Murattal
Manajemen Medikasi Terapi Musik
Manajemen Sedasi Terapi Pemijatan
Manajemen Terap Radiasi Terapi Relaksasi
Pemantuan Nyeri Terapi Sentuhan
Pemberian Obat Transcufaneous Electrical Nerve
Pemberian Obat Intravena Stimulation ( TENS )
Manajemen Nyeri
Definisi
Mengidentifikasi dan mengelola pengalaman sensorik atau emosional yang berkaitan
dengan kerusakan jaringan atau fungsional dengan onset mendadak atau terlambat dan
berimtensitas ringan hingga berat dan konstan.
Tindakan
Observasi
- Indetifikasi lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, intensitas nyeri
- Indetifikasi skala nyeri
- Indetifikasirespon nyeri non verbal
- Indetifikasi identivikasi factor yang memperberat dan meper ringan nyeri
- Indetifikasi pengaruh budaya terhadap respon nyeri
- Indetifikasi pengaruh nyeri terhadapkualitas hidup
- Monitor keberhasilan terapi komplementer yang sudah diberikan
- Monitor efek samping penggunaan analgentik
Terapeutik
- Berikan teknik non farmakologis untuk mengurangi rasa nyeri (mis TENS, hipnosis,
akkupressure, terapi musik, dll)
- Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
- Fasilitasi istirahat tidur
- Pertimbangkan jenis dan sumber nyeri dalam pemilihan strategi meredakan nyeri
Edukasi
- Jelaskan penyebab, periode, dan pemicu nyeri
- Jelaskan strategi meredakan nyeri
- Anjurkan memonitor nyeri secara mandiri
- Anjurkan menggunakan analgetik secara tepat
- Ajarkan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian analgetik jika perlu
DAFTAR PUSTAKA
Apley, A. Graham , Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Widya Medika, Jakarta,
1995.
Black, J.M, et al, Luckman and Sorensen’s Medikal Nursing : A Nursing Process
Approach, 4 th Edition, W.B. Saunder Company, 1995.
Brunner & Suddart, 2002, Keperawatan Medical Bedah, Edisi 8, EGC, Jakarta
Carpenito, Lynda Juall, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, EGC, Jakarta,
1999.
Henderson, M.A, Ilmu Bedah untuk Perawat, Yayasan Essentia Medika, Yogyakarta, 1992.
Mansjoer, Arif, et al, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid II, Medika Aesculapius FKUI,
Jakarta, 2000.
Price, Evelyn C, Anatomi dan Fisiologi Untuk Paramedis, Gramedia, Jakarta 1997.