Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Hidrosefalus merupakan suatu kondisi dimana meningkatnya tekanan


intrakranial akibat akumulasi cairan serebro spinalis (CSS) pada sistem ventrikel
otak karena tidak seimbangnya produksi, aliran, dan penyerapan cairan
serebrospinal. Hal ini dapat pula disebabkan oleh gangguan hidrodinamik CSS.
( Espay, 2010 )
Prevalensi hydrocephalus di Indonesia mencapai 10 permil pertahun,
sumber lain menyebutkan insiden hidrosefalus di Indonesia berkisar antara 0,2- 4
setiap 1000 kelahiran ( Maliawan, 2008). Insiden hydrosephalus sama pada wanita
dan laki-laki, kecuali pada Bickers-Adams syndrome, X-linked hydrocephalus yang
bermanifestasi pada laki-laki. Insiden hydrocephalus pda kelompok usia
membentuk suatu kurva bimodal dengan dua puncak. Satu puncak terjadi pada
anak-anak yang berhubungan dengan malformasi congenital. Puncak yang lain
terjadi pada dewasa yang berhubungan dengan normal pressure hydrocephalus (
Espay, 2010 )
Hidrosefalus diklasifikasikan menjadi 2 yaitu hidrosefalus obstruktif dan
hidrosefalus komunikan. Hidrosefalus obstruktif terjadi ketika terdapat sumbatan
aliiran CSS di dalam ventrikel sehingga CSS tidak dapat mencapai rongga sub
arachnoid. Sumbatan pada hidrocefalus obstruktif terjadi di foramen ventrikular,
biasanya disebabkan oleh massa intra ventrikular atau extra ventrikular.
Hidrosefalus komunikan terjadi apabaila masih didapatkan komunikasi antara
ventrikel dan sub arachnoid. Hidrosefalus komunikan disebabkan karena produksi
berlebihan CSS ( jarang terjadi ), gangguan absorbsi CSS ( sering ), atau insufisiensi
drainase vena ( jarang terjadi ) ( Sitorus, 2004 ).
Hidrosefalus dapat terjadi sejak lahir ( congenital hydrocephalus ) dan dapat
juga terjadi karena didapat di kemudian hari ( acquired hydrocephalus ).
Congenital hydrocephalus dapat disebabkan karena malformasi brainstem yang
menyebabkan stenosis aquaduct of Sylvius, Dandy-Walker malformation, Arnold-
Chiari malformation tipe 1 dan tipe 2, Agenesis of the foramen of Monro,
Congenital toxoplasmosis, Bickers-Adams syndrome. Acquired hydrocephalus

1
pada bayi dan anak-anak dapat disebabkan karena massa, hemorrhage, infeksi,
peningkatan tekanan sinus venous ( achondroplasia, craniostenoses ), iatrogenik,
idiopatik. Acquired hydrocephalus pada dewasa dapat disebabkan karena
subarachnoid hemorrhage (SAH), idiopatik, tumor, congenital aqueductal
stenosis, meningitis ( Espay, 2010 )
Pada makalah ini kami akan membahas tentang manajemen terapi
hidrosefalus obstruktif. Hidrosefalus tipe obstruktif memiliki insiden sebesar 99%
pada anak ( Loebis, 2009 ). Oleh karena insidennya yang besar maka perlu dibahas
manajemen terapi yang tepat dalam menangani hidrosefalus tipe obstruktif. Terapi
dapat dilakukan dengan medikamentosa maupun dengan pembedahan. Dengan
diketahuinya manajemen terapi yang tepat pada hidrosefalus obstruktif maka
diharapkan dapat dilakukan pencegahan terhadap kerusakan otak lebih lanjut.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Spatium Liqour Cerebrospinalis


Susunan syaraf pusat (SSP) seluruhnya diliputi oleh liquor cerebrospinalis
(LCS). LCS juga mengisi rongga dalam otak, yaitu ventriculus, sehingga mungkin
untuk membedakan spatium liquor cerebrospinalis internum dan externum yang
berhubungan pada regio ventriculus quartus (Sitorus, 2004).

2.1.1. Spatium Liquor Cerebrospinalis Internum


Sistem ventricular terdiri dari empat ventriculares; dua ventriculus lateralis
(I & II) di dalam hemispherii telencephalon, ventriculus tertius pada diencephalon
dan ventriculus quartus pada rombencephalon (pons dan med. oblongata). Kedua
ventriculus lateralis berhubungan dengan ventriculus tertius melalui foramen
interventriculare (Monro) yang terletak di depan thalamus pada masing-masing sisi.
Ventriculus tertius berhubungan dengan ventriculus quartus melalui suatu lubang
kecil, yaitu aquaductus cerebri (aquaductus sylvii). Pleksus choroideus dari
ventrikel lateralis merupakan suatu penjuluran vascular seperti rumbai pada
piamater yang mengandung kapiler arteri choroideus ( De jong, 2004 )

Gambar 1. Spatium Liquor cerebrospinalis Internum (tampak samping/lateral)

3
Ventrikel tertius merupakan suatu celah ventrikel yang sempit di antara dua
paruhan diencephalons. Atapnya dibentuk oleh tela choroidea yang tipis, suatu
lapisan ependim, dan piamater dari suatu pleksus choroideus yang kecil
membentang ke dalam lumen ventrikel ( De jong, 2004 )
Ventriculus quartus membentuk ruang berbentuk kubah di atas fossa
rhomboidea, antara cerebellum dan medulla serta membentang sepanjang recessus
lateralis pada kedua sisi. Masing-masing recessus berakhir pada foramen Luscka,
muara lateral ventriculus quartus. Ventrikel keempat membentang di bawah obeks
ke dalam canalis centralis sumsum tulang belakang ( Sitorus, 2004 )

2.1.2. Spatium Liquor Cerebrospinalis Externum


Spatium liquor cerebrospinalis externum terletak antara dua lapisan
leptomeninx. Di sebelah interna dibatasi oleh piamater dan sebelah externa dibatasi
oleh arachnoidea (spatium subarachnoideum). Spatium ini sempit pada daerah
konveks otak dan di dasar otak membesar hanya pada daerah-daerah tertentu,
tempat terbentuknya liquor cerebrospinalis yaitu cisterna. Sedangkan piamater
melekat erat pada permukaan luar SSP, membran arachnoidea meluas ke sulci,
lekukan, dan fossa sehingga di atas lekukan yang lebih dalam terbentuklah rongga
yang lebih besar, yaitu cisterna subarachnoidea, yang diisi liquor cerebrospinalis.
Rongga yang terbesar adalah cisterna cerebellomedullaris antara cerebellum
dengan medulla oblongata. (Sitorus, 2004).

2.2 Liquor Cerebrospinalis (LCS)


2.2.1 Fungsi
LCS memberikan dukungan mekanik pada otak dan bekerja seperti jaket
pelindung dari air. Cairan ini mengontrol eksitabilitas otak dengan mengatur
komposisi ion, membawa keluar metabolit-metabolit (otak tidak mempunyai
pumbuluh limfe), dan memberikan beberapa perlindungan terhadap perubahan-
perubahan tekanan (volume venosus volume cairan cerebrospinal) ( Saanin, 2004 )

4
2.2.2 Komposisi dan Volume
Cairan cerebrospinal jernih, tidak berwarna dan tidak berbau. Nilai normal
rata-ratanya yang lebih penting diperlihatkan pada tabel 1.
Cairan Penampilan Tekanan Sel (per ul) Protein Lain-lain
mm air
Lumbal Jernih dan 70-180 0-5 15-45 mg/dl Glukosa 50-
tanpa warna 75 mg/dl
Ventrikel Jernih dan 70-19 0-5 (limfosit) 5-15 mg/dl Nitrogen non
tanpa warna protein 10-35
mg/dl. Tes
Kahn dan
wasserman
(VDRL)
negatif

LCS terdapat dalam suatu sistem yang terdiri dari spatium liquor
cerebrospinalis internum dan externum yang saling berhubungan. Hubungan antara
keduanya melalui dua apertura lateral dari ventrikel keempat (foramen Luscka) dan
apetura medial dari ventrikel keempat (foramen Magendie). Volume CSS normal
pada dewasa adalah 120 ml. CSS diproduksi oleh pleksus choroid pada tingkat
0.20-0.35 ml/min; bagian internal (ventricular) dari system menjadi kira-kira
setengah jumlah ini. Antara 400-500 ml cairan cerebrospinal diproduksi dan
direabsorpsi setiap hari ( Saanin, 2004 )

2.2.3. Tekanan
Tekanan rata-rata cairan cerebrospinal yang normal adalah 70-180 mm air,
perubahan yang berkala terjadi menyertai denyutan jantung dan pernapasan.
Takanan meningkat bila terdapat peningkatan pada volume intracranial (misalnya,
pada tumor), volume darah (pada perdarahan), atau volume cairan cerebrospinal
(pada hidrosefalus) karena tengkorak dewasa merupakan suatu kotak yang kaku
dari tulang yang tidak dapat menyesuaikan diri terhadap penambahan volume tanpa
kenaikan tekanan ( Sri, 2006 ).

5
2.2.4. Sirkulasi LCS
LCS dihasilkan oleh pleksus choroideus dan mengalir dari ventriculus
lateralis ke dalam ventriculus tertius, dan dari sini melalui aquaductus sylvii masuk
ke ventriculus quartus. Di sana cairan ini memasuki spatium liquor cerebrospinalis
externum melalui foramen lateralis dan medialis dari ventriculus quartus. Cairan
meninggalkan system ventricular melalui apertura garis tengah dan lateral dari
ventrikel keempat dan memasuki rongga subarachnoid. Dari sini cairan mungkin
mengalir di atas konveksitas otak ke dalam rongga subarachnoid spinal. Sejumlah
kecil direabsorpsi (melalui difusi) ke dalam pembuluh-pembuluh kecil di piamater
atau dinding ventricular, dan sisanya berjalan melalui jonjot arachnoid ke dalam
vena (dari sinus atau vena-vena) di berbagai daerah – kebanyakan di atas
konveksitas superior. Tekanan cairan cerebrospinal minimum harus ada untuk
mempertahankan reabsorpsi. Karena itu, terdapat suatu sirkulasi cairan
cerebrospinal yang terus menerus di dalam dan sekitar otak dengan produksi dan
reabsorpsi dalam keadaan yang seimbang (Sitorus, 2004).

Gambar 2. Sirkulasi Liquor Cerebrospinalis

6
2.3 Hydrocephalus
2.3.1 Definisi
Hydrocephalus merupakan keadaan patologis otak yang mengakibatkan
bertambahnya cairan serebro spinalis (Liquor Cerebrospinalis/LCS) tanpa atau
pernah dengan tekanan intracranial yang meninggi sehingga terdapat pelebaran
ruangan tempat mengalirnya cairan serebro spinal (ventrikel). Pelebaran ventrikel
ini berpotensi menyebabkan kerusakan pada jaringan otak . Hidrosefalus dapat
disebabkan gangguan dari formasi, aliran, penyerapan cerebrospinal ( CSS ).
(Ashish, 2005).

2.3.2 Epidemiologi
Prevalensi hydrocephalus di dunia cukup tinggi, di Amerika sekitar 2 permil
pertahun, sedangkan di Indonesia mencapai 10 permil pertahun, sumber lain
menyebutkan insiden hidrosefalus di Indonesia berkisar antara 0,2- 4 setiap 1000
kelahiran. Insiden hidrosefalus kongenital adalah 0,5- 1,8 pada tiap 1000 kelahiran
dan 11% - 43% disebabkan oleh stenosis aquaductus serebri (Maliawan, 2004).

2.3.3 Patofisiologi
Patofisiologi hidrosefalus dapat dibagi menjadi 3 bentuk1,2:
• Gangguan dari produksi CSS
Gangguan dari produksi CSS merupakan bentuk yang paling jarang dimana
terjadi pada papiloma pleksus choroideus dan karsinoma pleksus Choroideus.
• Gangguan sirkulasi CSS
Bentuk ini merupakan akibat dari obstruksi pada aliran sirkulasi CSS.
Gangguan ini dapat terjadi pada ventrikel atau villi arachnoid. Tumor, perdarahan,
malformasi kongenital (seperti stenosis aquaduktus), dan infeksi yang dapat
menyebabkan obstruksi pada titik manapun di sirkulasinya.
• Gangguan absorpsi CSS
Kondisi ini dapat terjadi pada sindroma vena cava superior dan trombosis
sinus yang dapat mengganggu absorpsi CSS.
Beberapa bentuk hidrosefalus tidak dapat diklasifikasikan secara jelas.
Kelompok ini hidrosefalus tekanan normal dan pseudotumor serebri.

7
2.3.4 Klasifikasi
1. Hidrosefalus Obstruktif (non communicating)
Bila ada obstruksi terhadap aliran CSS melalui sistem ventrikel. Obstruksi dapat
terjadi pada ventrikel lateral, ventrikel 3, aquaductus sylvii, dan ventrikel 4.
Hidrosefalus tipe obstruksi / non komunikans Terjadi bila CSS otak terganggu
(Gangguan di dalam atau pada sistem ventrikel yang mengakibatkan
penyumbatan aliran CSS dalam sistem ventrikel otak) yang kebanyakan
disebabkan oleh kongenital stenosis akuaduktus Sylvius (menyebabkan dilatasi
ventrikel lateralis dan ventrikel III. Ventrikel IV biasanya normal dalam
ukuran dan lokasinya). Yang agak jarang ditemukan sebagai penyebab
hidrosefalus adalah sindrom DandyWalker, Atresia foramen Monro,
malformasi vaskuler atau tumor bawaan. Radang (Eksudat, infeksi meningeal).
Perdarahan/trauma (hematoma subdural). Tumor dalam sistem ventrikel
(tumor intraventrikuler, tumor parasellar, tumor fossa posterior).

2. Communicating Hidrosefalus
Bila tidak ada obstruksi terhadap aliran CSS dalam sistem ventrikel. Penyebab
communicating hydrosefalus yang paling umum adalah infeksi, perdarahan
subarachnoid, carcinomatous meningitis, dan papiloma pleksus choroid ( Yadav,
2009 )

2.3.4 Hidrosefalus Obstruktif


Hidrosefalus obstruktif adalah akumulasi berlebihan CSS di dalam ventrikel
disebabkan obstruksi terhadap aliran CSS yang melalui sistem ventrikel. (Kaye,
2005). Pada hydrosefalus obstruktif, yang terjadi lebih sering daripada jenis yang
lain, cairan cerebrospinal dari ventrikel tidak dapat mencapai rongga subarachnoid
karena terdapat obstruksi pada salah satu atau kedua foramen interventricular,
aquaductus cerebrum atau pada muara keluar dari ventrikel keempat. Hambatan
pada setiap tempat ini dengan cepat menimbulkan dilatasi pada satu atau lebih
ventrikel. Produksi cairan cerebrospinal terus berlanjut dan pada tahap obstruksi
yang akut, mungkin terdapat aliran cerebrospinal transependim. Girus-girus

8
memipih pada bagian dalam tengkorak. Jika tengkorak masih lentur, seperti pada
kebanyakan anak di bawah usia 2 tahun, maka kepala dapat membesar.

Penyebab Hydrocephalus Obstruktif:


(a) Obstruksi ventrikel lateral oleh tumor, misalnya glioma pada basal ganglia,
thalamic glioma
(b) Obstruksi ventrikel ketiga, karena kista koloid dari ventrikel ke-3 atau glioma
dari ventrikel ke-3
(c) Oklusi dari aquaduktus Sylvius (baik Stenosis primer atau sekunder karena
tumor)
(d) Obstruksi ventrikel keempat karena tumor Fosa posterior , misalnya
medulloblastoma, ependymoma, akustik Neuroma ( Fallon, 2010 )

2.3.5 Gejala Klinis Hidrosefalus


2.3.5.1 Hidrocephalus pada bayi
Penyebabnya paling umum kongenital adalah stenosis dari aquaduktus
sylvius. Bentuk hidrosefalus didapat yang paling terjadi sering adalah setelah
perdarahan intrakranial, terutama pada bayi prematur, meningitis, dan karena
tumor. Hydrocephalus dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial akut
tetapi karena tengkorak bayi relatif distensibility maka gejala menjadi tidak terlalu
terlihat (Kaye, 2005).

Klinis utama pada bayi adalah (Kaye, 2005):


• gagal tumbuh kembang
• peningkatan lingkar kepala
• Fontanelle anterior menegang
• suara 'cracked pot' pada perkusi tengkorak
• ketika parah, terjadi penurunan kesadaran, dan muntah
• ‘sun set’ phenomen
• kulit kepala tipis dengan pembuluh melebar (vena ectasy)

2.3.5.2 Hydrocephalus pada Dewasa

9
Pasien dewasa dengan hydrocephalus memiliki gejala (Kaye, 2005) :
• onset akut
• onset kronis.

Onset akut hydrocephalus dewasa


Jenis ini terjadi khususnya pada pasien dengan tumor yang menyebabkan
hydrocephalus obstruktif, walaupun mungkin terjadi dengan penyebab
hydrocephalus dan kerusakan neurologis akut yang cepat dapat terjadi pada pasien
yang telah lama mengalami hidrosefalus kronis (Kaye, 2005).
Gejala klinis utama disebabkan oleh tanda dan gejala peningkatan tekanan
intrakranial antara lain (Kaye, 2005):
• sakit kepala berat
• muntah proyektil
• papilloedema
• Penurunan kesadaran.

Onset kronis hydrocephalus dewasa


Jenis ini terjadi lebih jarang daripada tipe sebelumnya pada pasien dengan
hdrosefalus obstruktif karena tumor. Gejala peningkatan tekanan intrakranial
hanya bertahap progresif dan sering terjadi keterlambatan diagnosis. (Kaye, 2005).

2.3.6 Diagnosis
Diagnosis dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan
pemeriksaan radiologis. Perlu ditanyakan pada anamnesis adalah keluhan utama
pasien, pada anak anak dapat ditanyakan: sejak kapan terjadinya pembesaran
kepala, riwayat kehamilan dan persalinan (apa ibu menderita sakit selama hamil,
meminum obat-obatan, dan apakah ada riwayat trauma dan persalinan yang sulit),
apakah didapatkan kelainan lain seperti spina bifida, dll. Pemeriksaan fisis
dilakukan dengan cara mencari adanya gejala klinis seperti yang telah dijelaskan
diatas. Pemeriksaan radiologis, yang paling penting adalah CT scan atau MRI otak
yang akan menunjukkan adanya ventrikel yang membesar. Jika ventrikel lateral

10
dan ventrikel ke-3 semua sangat melebar, dan ventrikel ke-4 sempit, kemungkinan
halangan adalah pada tingkat aquaduktus Sylvius. CT scan atau MRI akan
membantu menentukan penyebabnya, dengan menentukan adanya tumor yang
menghalangi. Pada hidrosefalus komunikan semua ventrikel membesar (Kaye,
2005). Pada hidrosefalus obstruktif CT scan sering menunjukkan adanya pelebaran
dari ventrikel lateralis dan ventrikel III. Dapat terjadi di atas ventrikel lebih besar
dari occipital horns pada anak yang besar. Ventrikel IV sering ukurannya normal
dan adanya penurunan densitas oleh karena terjadi reabsorpsi transependimal dari
CSS. Dalam bidang sagital MRI sangat membantu dalam menunjukkan stenosis
aquaduktus dan lesi di ventrikel ke-3 menyebabkan hydrocephalus obstruktif
(Kaye, 2005).
Ultrasonography melalui fontanelle anterior yang masih terbuka sangat
berguna dalam menilai ukuran ventrikel pada bayi dan mungkin tidak perlu untuk
CT scan ulang. Dengan USG diharapkan dapat menunjukkan sistem ventrikel yang
melebar. Pendapat lain mengatakan pemeriksaan USG ternyata tidak mempunyai
nilai di dalam menentukan keadaan sistem ventrikel hal ini disebabkan oleh karena
USG tidak dapat menggambarkan anatomi sistem ventrikel secara jelas, (Kaye,
2005).
Plain tengkorak X-ray. Dapat menunjukkan erosi tulang penopang sekitar
tuberculum sellae atau ‘copper beaten appearance’ ke bagian dalam calvarium
(Kaye, 2005). Selain itu pada plain x-ray didapatkan gambaran tulang tipis,
disproporsi kraniofasial, dan sutura melebar.
2.3.7 Diagnosis Banding
Kondisi yang menyerupai hydrocephalus namun bukan karena absorpsi CSF
yang inadekuat antara lain (Greenberg, 2001):
1. Atrofi otak
2. Hydraencephaly
3. Kelainan perkembangan yang menyebabkan pembesaran ventrikel,
misalnya agenesis dari corpus callosum dan septo optic displasia

2.3.8 Pengobatan
Pengobatan hydrocephalus dapat dilakukan antara lain:

11
2.3.8.1 Medikamentosa
Pemakaian terapi medikamentosa ditujukan untuk membatasi evolusi
hidrosefalus melalui upaya mengurangi sekresi cairan dari pleksus khoroid atau
upaya meningkatkan resorpsinya . Pada dasarnya obat-obatan yang diberikan
adalah duretika seperti asetazolamid dan furosemid. Cara ini hanya efektif pada
hidrosefalus tipe non obstruktif dimana terjadi sekresi CSS atau hambatan absorpsi
CSS seperti pada kasus-kasus oklusi sinus, meningitis, atau perdarahan
intraventrikuler pada neonatal (Greenberg, 2001).
Pemberian terapi diuretik dapat diberikan pada bayi prematur dengan
perdarahan pada CSF (selama tidak terjadi hydrocephalus aktif) sambil menunggu
apakah terjadi absorpsi CSF secara normal kembali.Namun hal ini harus tetap
diingat hanya sebagai terapi tambahan saja bukan sebagai terapi definitif. Diuertik
yang diberikan adalah (Greenberg, 2001):
- Acetazolamide: 25mg/kg/hari per oral 2x1, ditingkatkan 25mg/kg/hari
tiap hari sampai 100mg/kg/hari tercapai.
- Furosemide: 1mg/kg/hari per oral

2.3.8.2 Terapi Operasi


Operasi biasanya langsung dikerjakan pada penderita hidrosefalus. Terdapat
2 metode operasi populer yang biasa dilakukan sebagai terapi definitif pada kasus
hidrosephalus yaitu operasi pintas (shunting) dan endoscopic third ventriculostomy
(ETV).

A. Operasi pintas/”Shunting”
Ada 2 macam :
a. Eksternal
CSS dialirkan dari ventrikel ke luar tubuh, dan bersifat hanya sementara.
Misalnya: pungsi lumbal yang berulang-ulang untuk terapi hidrosefalus
tekanan normal.
b. Internal
CSS dialirkan dari ventrikel ke dalam anggota tubuh lain.

12
 Ventrikulo-Sisternal,
CSS dialirkan ke sisterna magna (Thor- Kjeldsen)
 Ventrikulo-Atrial,
Ujung distal kateter dimasukkan ke dalam atrium kanan jantung melalui v.
jugularis interna (dengan thorax x-ray ® ujung distal setinggi 6/7). Prosedur ini
biasanya merupakan pilihan utama bagi pasien yang tidak dapat dipasang distal
abdominal catheters seperti pada pasien dengan multiple operation, baru
mengalami sepsis abdominal, kavum peritoneal yang malabsorptive dan
pseudokista abdominal. Prosedur ini memiliki lebih banyak resiko dan
komplikasi jangka panjang yang serius seperti gagal ginjal, dan great vein
thrombosis. Panduan Fluoroskopik diperlukan untuk mencegah terjadinya
trombosis kateter (short distal catheter) atau cardiac arrhythmias (long distal
catheter).
 Ventrikulo-Sinus,
CSS dialirkan ke sinus sagitalis superior
 Ventrikulo-Bronkhial,
 Ventrikulo-Mediastinal,
 Ventrikulo-Peritoneal,
Terapi definitif hidrosefalus gold standart adalah Ventrikulo-Peritoneal
( VP ) shunting. Kateter ditempatkan ke ventrikel lateral dan dihubungkan
katup subkutan yang dilekatkan ke kateter secara subkutan menuju perut dan
dimasukkan ke dalam rongga peritoneum. Tempat drainase alternatif seperti
atrium, rongga pleura dan saluran kencing sekarang telah sebagian besar
ditinggalkan, kecuali dalam keadaan tertentu. Insisi kecil lengkung dibuat di
daerah parieto-oksipital dan penutup kulit diangkat. Rongga peritoneum
dibuka, baik melintang melalui rektus membelah insisi di hypokondrium kanan
atau melalui sayatan garis tengah. Sebuah burrhole dilakukan, ventrikel lateral
dikanulasi dan kateter ventrikular dimasukkan ke ventrikel lateral sehingga
terletak di ujung tanduk frontal dari ventrikel lateral, anterior ke pleksus
choroid. Penyisipan kateter dengan cara ini meminimalkan komplikasi utama
lain, obstruksi shunt. Sebagai salah satu penyebab utama terhalangnya kateter
ventrikular adalah sumbatan oleh pleksus choroid oleh karena itu, sebaiknya

13
menempatkan tempat masuk dari kateter ke tanduk frontal. Peritoneum kateter
dapat dijahit secara subcutan diantara perut dan tengkorak menggunakan satu
dari sekian banyak perangkat. Setiap kateter digabungkan ke katup, yang
kemudian dijahit pada tempatnya. Setelah memeriksa bahwa sistem berfungsi
dengan baik, kateter peritoneal ditempatkan dalam rongga peritoneal. Ada
banyak sistem shunt dan jenis shunt digunakan, situasi klinis tertentu dan para
ahli bedah saraf mempunyai preferensi sendiri dalam banyak modifikasi
sistem dasar ini menanamkan sebuah ventriculoperitoneal shunt (Kaye, 2005).

1. Konsep VP shunt
Ventriculoperitoneal Shunt adalah prosedur pembedahan yang dilakukan untuk
membebaskan tekanan intrakranial yang diakibatkan oleh terlalu banyaknya
cairan serbrospinal (hidrosefalus). Cairan dialirkan dari ventrikel di otak
menuju rongga peritoneum.
Kondisi ini disebabkan oleh cairan serebrospinal (CSF) berlebih yang membuat
perluasan ruang dalam otak (ventrikel) menjadi sangat cepat, sehingga memicu
tekanan yang tak semestinya. Jika tidak segera ditangani, kondisi ini dapat
berujung pada kerusakan otak.

Cairan serebrospinal adalah komponen yang sangat penting dalam sistem saraf,
karena berfungsi menciptakan bantalan bagi jaringan otak dan menyalurkan zat
gizi ke otak. Cairan ini mengalir di antara tulang belakang dan tengkorak untuk
memastikan bahwa volume darah intrakranial dalam kadar yang tepat. CSF
akan terus diproduksi karena mengalir sepanjang ventrikel, menutrisi
permukaan otak dan sumsum tulang belakang. Kemudian, cairan ini keluar
melalui bagian dasar otak dan diserap ke dalam aliran darah. Namun, karena
kelainan tertentu, aliran dan keseimbangan CSF akan terganggu, sehingga
terjadi penumpukan.

Ventriculoperitoneal shunt adalah pengobatan utama bagi kondisi hidrosefalus,


yang menyerang satu dari 500 anak. Kondisi ini merupakan kondisi bawaan
(kongenital) atau didapat, dan indikasi yang paling nyata adalah pertumbuhan

14
lingkar kepala yang tidak wajar. Biasanya, gejala pada anak disertai dengan
mata juling (strabismus) dan kejang-kejang. Sedangkan pada orang dewasa,
gejala hidrosefalus adalah sakit kepala, mual dan muntah, saraf optik
membengkak, penglihatan kabur atau ganda, mudah marah, lesu, dan
perubahan kemampuan kognitif atau ingatan. Penyebab hidrosefalus belum
diketahui secara pasti.
1.2 Tujuan
1.2.1 Untuk membuat saluran baru antara aliran likuor dengan kavitas
drainase.
1.2.2 Untuk mengalirkan cairan yang diproduksi di dalam otak ke dalam
rongga perut untuk kemudian diserap ke dalam pembuluh darah.

1.3 Indikasi
Ventriculoperitoneal Shunt adalah prosedur pembedahan yang dilakukan untuk
membebaskan tekanan intrakranial yang diakibatkan oleh terlalu banyaknya
cairan serbrospinal (hidrosefalus). Cairan dialirkan dari ventrikel di otak
menuju rongga peritoneum. Sejumlah komplikasi dapat terjadi setelah
pemasangan ventriculoperitoneal shunt untuk manajemen hidrosefalus.
Komplikasi ini termasuk infeksi, blok, subdural hematom, ascites, CSSoma,
obstruksi saluran traktus gastrointestinal, perforasi organ berongga, malfungsi,
atau migrasi dari shunt. Migrasi dapat terjadi pada ventrikel lateralis,
mediastinum, traktus gastrointestinal, dinding abdomen, vagina, dan scrotum.

Infeksi shunt didefinisikan sebagai isolasi organisme dari cairan ventrikuler,


selang shunt, reservoir dan atau kultur darah dengan gejala dan tanda klinis
menunjukkan adanya infeksi atau malfungsi shunt, seperti demam, peritonitis,
meningitis, tanda-tanda infeksi di sepanjang jalur selang shunt, atau gejala
yang tidak spesifik seperti nyeri kepala, muntah, perubahan status mental dan
kejang. Infeksi merupakan komplikasi yang paling ditakutkan pada kelompok
usia muda.

15
Sebagian besar infeksi terjadi dalam 6 bulan setelah prosedur dilakukan.Infeksi
yang terjadi biasanya merupakan bakteri staphylococcus dan propionibacterial.
Infeksi dini terjadi lebih sering pada neonatus dan berhubungan dengan bakteri
yang lebih virulen seperti Escherichia coli. Shunt yang terinfeksi harus
dikeluarkan, CSS harus disterilkan, dan dilakukan pemasangan shunt yang
baru. Terapi shunt yang terinfeksi hanya dengan antibiotik tidak
direkomendasikan karena bakteri dapat di tekan untuk jangka waktu yang lama
dan bakteri kembali saat antibiotik diberhentikan.

Terapi pada infeksi shunt hanya dengan antibiotik tidak direkomendasikan


karena meskipun bakteri dapat ditekan untuk jangka waktu tertentu, namun
bakteri akan kembali berkembang setelah pemberian antibiotik dihentikan.
Pada pasien ini dilakukan eksternisasi selang VP shunt yang berada di
distal,selanjutnya dilakukan pemasangan ekstraventricular drainage, serta
pemberian antibiotik sesuai hasil tes sensitivitas bakteri. Hal ini dilakukan agar
tetap terjadi drainage dari cairan serebrospinal yang belebihan agar tidak terjadi
peningkatan tekanan intrakranial.

Subdural hematom biasanya terjadi pada orang dewasa dan anak-anak dengan
perkembangan kepala yang telah lengkap. Insiden ini dapat dikurang dengan
memperlambat mobilisasi paska operasi. Subdural hematom diterapi dengan
drainase dan mungkin membutuhkan oklusi sementara dari shunt.

1.4 Kontra indikasi


Operasi ventriculoperitoneal shunt merupakan prosedur aman dengan tingkat
keberhasilan tinggi. Namun, sama seperti prosedur bedah pada umumnya, ada
komplikasi dan resiko yang mungkin terjadi. Resiko bedah VP Hunt adalah
infeksi dan pendarahan berat. Sedangkan, komplikasi yang mungkin muncul
adalah reaksi penolakan zat bius, seperti perubahan tingkat tekanan darah dan
kesulitan bernapas.

16
Komplikasi khusus akibat VP shunt termasuk jarang, namun bisa sangat serius.
Komplikasi ini termasuk:
1.4.1 Infeksi implan shunt yang berujung pada infeksi otak
1.4.2 Penggumpalan darah
1.4.3 Pendarahan di dalam otak
1.4.4 Pembengkakan otak
1.4.5 Kerusakan jaringan otak karena VP shunt

Sebaiknya, selalu waspada terhadap gejala-gejala, seperti demam, nyeri perut,


sakit kepala, serta kenaikan denyut jantung dan tekanan darah abnormal, yang
merupakan tanda malfungsi shunt.
Deskripsi
• Prosedur pembedahan ini dilakukan di dalam kamar operasi dengan anastesi
umum selama sekitar 90 menit.
• Rambut dibelakang telinga anak dicukur, lalu dibuat insisi tapal kuda di
belakan telinga dan insisi kecil lainnya di dinding abdomen.
• Lubang kecil dibuat pada tulang kepala, lalu selang kateter dimasukkan ke
dalam ventrikel otak.
• Kateter lain dimasukkan ke bawah kulit melalui insisi di belakang telinga,
menuju ke rongga peritoneum.
• Sebuah katup diletakkan dibawah kulit di belakang telinga yang menempel
pada kedua kateter. Bila terdapat tekanan intrakranial meningkat, maka CSS
akan mengalir melalui katup menuju rongga peritoneum.

17
Penatalaksanaan/ Tindakan
1.5.1 Posisi kepala pasien supine dengan kepala diganjal dengan bantal
bulat (donat).
1.5.2 Posisi sedikit head up (15† - 30†)
1.5.3 Pasang body strapping (doek steril)
1.5.4 Tim operasi melakukan scrubbing, gowning and gloving.
1.5.5 Desinfeksi area operasi
1.5.6 Drapping area operasi
1.5.7 Pasang sterile drapes (opsite)
1.5.8 Pasang kauter bipolar, selang suction + canule suction.
1.5.9 Injeksi dengan adrenalin 1:200000 pada lokasi insisi.
1.5.10 Berikan mess 1 untuk insisi kulit subcutis
1.5.11 Berikan mess 2 untuk insisi fat-galea-otot-periosteum
1.5.12 Rawat pendarahan dengan kauter bipolar, irigasi dengan larutan
NaCl saat bipolar difungsikan, sambil dilakukan suction.
1.5.13 Berikan respatorium untuk menyisihkan periousteum.
1.5.14 Tutup luka insisi kepala sementara dengan kassa basah.
1.5.15 Berikan mess 1 untuk insisi kulit abdomen bagian atas.
1.5.16 Perdalam insisi sampai dengan fasia (sampai kelihatan fasia).
1.5.17 Berikan spaner VP-Shunt untuk memasang ventrikel VP Shunt, dari
kepala-leher-abdomen keluar pada daerah insisi di abdomen.
1.5.18 Ujung mandrin VP-Shunt diikat dengan benang Seide no 1.
1.5.19 Tarik mandrin VP-Shunt ke atas (bagian insisi kepala).
1.5.20 Berikan ventrikel VP-Shunt kemudian diikat dengan benang Seide
NO 1 yang sudah dimasukkan dalam soft tissue ( dibawah fat diatas fasia).
1.5.21 Seide no 1 ditarik ke bagian bawah (insisi pada abdomen) ventrikel
VP-Shunt sudah masuk dan terhubung dari kepala ke abdomen.
1.5.22 Pasang konektor VP-Shunt kemudian di spool dengan NaCl sampai
lancar tidak ada hambatan.
1.5.23 Berikan bor set craniotomi untuk bor hole kemudian rawat
pendarahan
1.5.24 Berikan desector dan klem pean bengkok untuk ambil sisa tulang

18
1.5.25 Berikan kauter bipolar untuk cess dura.
1.5.26 Berikan speed mess untuk insisi dura.
1.5.27 Berikan ventrikel katheter + mandrin dimasukkan ke dalam intra
cerebral sampai keluar cairan (hidrocephalus).
1.5.28 Sambung ventrikel katheter dengan ventrikel VP-Shunt.
1.5.29 Sambungan difiksasi
1.5.30 Tarik ventrikel VP-Shunt ke arah distal (abdomen).
1.5.31 Pastikan aliran cairan pada ventrikel lancar.
1.5.32 Berikan pinset anatomis 2 buah + gunting metzenbaum untuk insisi
peritonium ± 1 cm.
1.5.33 Masukkan ventrikel VP Shunt kedalam peritoneum
1.5.34 Tutup luka insisi
1.5.35 Berikan benang absorbable untuk jahit fasia, fat pada kepala dan
abdomen.
1.5.36 Berikan jahitan benang non-absorbable untuk jahit kulit.
1.5.37 Bersihkan luka dengan kassa basah kemudian keringkan.
1.5.38 Beri sufratul-kassa-hipafic
1.5.39 Bereskan alat.
1.5.40 Operasi selesai
1.6 Pemeriksaan penunjang
1.6.1 Rontgen fotokepala
Dengan prosedur ini dapat diketahui :
Hidrosefalus tipe congenital / infantile, yaitu: ukuran kepala, adanya pelebaran
sutura, tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial kronik berupa imopressio
digitate dan erosi proses susklionidalis posterior. Hidrosefalus tipe
juvenile/adult oleh karena sutura telah menutup maka dari foto rontgen kepala
diharapkan adanya gambaran kenaikan tekanan intrakranial.

1.6.2 Transimulasi
Syarat untuk transimulasi adalah fontanela masih terbuka, pemeriksaan ini
dilakukan dalam ruangan yang gelap setelah pemeriksa beradaptasi selama 3

19
menit .Alat yang dipakai lampu senter yang dilengkapi dengan rubber adaptor.
Pada hidrosefalus, lebar halo dari tepi sinarakan terlihat lebih lebar 1-2 cm.

1.6.3 Lingkaran kepala


Diagnosis hidrosefalus pada bayi dapat dicurigai, jika penambahan lingkar
kepala melampaui satu atau lebih garis-garis kisi pada chart (jarak antara dua
garis kisi 1 cm) dalam kurun waktu 2-4 minggu. Pada anak yang besar
lingkaran kepala dapat normal hal ini disebabkan oleh karena hidrosefalus
terjadi setelah penutupan suturan secara fungsional. Tetapi jika hidrosefalus
telah ada sebelum penutupan suturan kranialis maka penutupan sutura tidak
akan terjadi secara menyeluruh.

1.6.4 Ventrikulografi
Yaitu dengan memasukkan konras berupa O2 murni atau kontras lainnya
dengan alat tertentu menembus melalui fontanela anterior langsung masuk
kedalam ventrikel. Setelah kontras masuk langsung difoto, maka akan terlihat
kontras mengisi ruang ventrikel yang melebar. Pada anak yang besar karena
fontanela telah menutup untuk memasukkan kontras dibuatkan lubang dengan
bor pada cranium bagian frontal atau oksipitalis. Ventrikulografi ini sangat
sulit, dan mempunyai risiko yang tinggi. Di rumahs akit yang telah memiliki
fasilitas CT Scan, prosedur ini telah ditinggalkan.

1.6.5 Ultrasonografi
Dilakukan melalui fontanela anterior yang masih terbuka. Dengan USG
diharapkan dapat menunjukkan system ventrikel yang melebar. Pendapat lain
mengatakan pemeriksaan USG pada penderita hidrosefalus ternyata tidak
mempunyai nilai di dalam menentukan keadaan system ventrikel hal ini
disebabkan oleh karena USG tidak dapat menggambarkan anatomi system
ventrikel secara jelas, seperti halnya pada pemeriksaan CT Scan.

1.6.6 CT Scan kepala

20
Pada hidrosefalus obstruktif CT Scan sering menunjukkan adanya pelebaran
dari ventrikel lateralis dan ventrikel III. Dapat terjadi di atas ventrikel lebih
besar dari occipital horns pada anak yang besar. Ventrikel IV sering ukurannya
normal dan adanya penurunan densitas oleh karena terjadi reabsorpsi
transependimal dari CSS. Pada hidrosefalus komunikans gambaran CT Scan
menunjukkan dilatasi ringan dari semua system ventrikel termasuk ruang
subarakhnoid di proksimal dari daerah sumbatan.

1.6.7 MRI (Magnetic Resonance Imaging)


Untuk mengetahui kondisi patologis otak dan medulla spinalis dengan
menggunakan teknik scaning dengan kekuatan magnet untuk membuat
bayangan struktur tubuh

1.8 Gambar
Posisikan kepala pasien supine dengan 15 – 30 derajat head up, setelah itu
persiapan lain meliputi penggambaran pola, disinfeksi dsb kemudian diincisi
scalp.

Shunt kateter yang telah diukur atau selang khusus disiapkan

21
Setelah di burr hole (melubangi tengkorak dengan bor khusus), pasang pada
area yang telah ditentukan tersebut

Untuk lebih jelasnya kita lihat dalamnya otak sebagai berikut, jadi diletakkan
dimasukkan melalui ventrikel bagian lateral atau luar

Posisi kateter mengenai ventrikel lateral

22
Kateter disipkan/ditelakkan di bawah kulit

Kateter itu diletakkan di bawah peritoneum

23
Pada prinsipnya aliran otak yang diproduksi oleh plexus choroidalis berkisar
400-500 ml per hari, sehingga sumbatan pada aliran tersebut dapat membuat
gangguan pada otak.
2.9.2 Komplikasi Ventriculoperitoneal Shunt
Komplikasi pada bulan pertama mencapai 25-50%, setelah itu,
pertahun 4-5% dan setiap komplikasi berarti harus dilakukan revisi.8
Komplikasi yang utama adalah (Kaye, 2005):
Sejumlah komplikasi dapat terjadi setelah pemasangan ventriculoperitoneal
shunt untuk manajemen hidrosefalus. Komplikasi ini termasuk infeksi, blok,
subdural hematom, ascites, obstruksi saluran traktus gastrointestinal, perforasi
organ berongga, malfungsi, atau migrasi dari shunt. Migrasi dapat terjadi pada
ventrikel lateralis, mediastinum, traktus gastrointestinal, dinding abdomen,
vagina, dan scrotum5,6,7,8,9.

• Infeksi
Infeksi pada shunt adalah komplikasi yang mengakibatkan konsekuensi yang
buruk, khususnya pada pasien yang dependent terhadap shunt. Pencegahan
komplikasi ini dilakukan dengan cara:
a. Teknik steril, termasuk menggunakan teknik 'tidak sentuh' dari shunt dan
menghindari kontak kulit dengan shunt secara total.
b. Profilaksis antibiotik intraoperative. Penggunaan antibiotik profilaksis
intraoperatif terbukti bermanfaat. Meskipun kelanjutan dari antibiotik selama 24-
36 jam pascaoperasi belum terbukti efektif. Shunt yang terinfeksi hampir selalu
perlu dilepas dan diganti dengan shunt yang baru , lebih disukai di posisi yang
berbeda dari sebelumnya dan diberikan antibiotik yang sesuai.
Infeksi shunt didefinisikan sebagai isolasi organisme dari cairan ventrikuler, selang
shunt, reservoir dan atau kultur darah dengan gejala dan tanda klinis menunjukkan
adanya infeksi atau malfungsi shunt, seperti demam, peritonitis, meningitis, tanda-
tanda infeksi di sepanjang jalur selang shunt, atau gejala yang tidak spesifik seperti
nyeri kepala, muntah, perubahan status mental dan kejang1,2,5,6,,9.
Infeksi merupakan komplikasi yang paling ditakutkan pada kelompok usia muda.
Sebagian besar infeksi terjadi dalam 6 bulan setelah prosedur dilakukan. Infeksi

24
yang terjadi biasanya merupakan bakteri staphylococcus dan propionibacterial.
Infeksi dini terjadi lebih sering pada neonatus dan berhubungan dengan bakteri
yang lebih virulen seperti Escherichia coli. Shunt yang terinfeksi harus dikeluarkan,
CSS harus disterilkan, dan dilakukan pemasangan shunt yang baru. Terapi shunt
yang terinfeksi hanya dengan antibiotik tidak direkomendasikan karena bakteri
dapat di tekan untuk jangka waktu yang lama dan bakteri kembali saat antibiotik
diberhentikan1,2,5,6,9.

Terapi pada infeksi shunt hanya dengan antibiotik tidak direkomendasikan


karena meskipun bakteri dapat ditekan untuk jangka waktu tertentu, namun bakteri
akan kembali berkembang setelah pemberian antibiotik dihentikan. Pada pasien ini
dilakukan eksternisasi selang VP shunt yang berada di distal, selanjutnya dilakukan
pemasangan ekstraventricular drainage, serta pemberian antibiotik sesuai hasil tes
sensitivitas bakteri. Hal ini dilakukan agar tetap terjadi drainage dari cairan
serebrospinal yang belebihan agar tidak terjadi peningkatan tekanan
intrakranial9,11,12, 13,14.
Pada anak yang terpasang ventriculoperitoneal shunt, jika anggota keluarga
mencurigai adanya malfungsi dari shunt atau tidak adanya penyebab lain dari
demam, malaise, perubahan perilaku anak, maka diperlukan evaluasi dan perhatian
terhadap shunt yang terpasang pada anak tersebut1,2.
• Obstruksi
Shunt mungkin gagal untuk bekerja memuaskan disebabkan antara lain oleh
sumbatan dari kateter ventrikel, kerusakan atau penyumbatan katup atau
terhalangnya kateter peritoneum.
• Perdarahan intrakranial
Hematom intraserebral terjadi karena lewatnya kateter ventrikel.
Haematoma subdural sangat mungkin terjadi pada pasien dengan hidrosefalus
berat yang lama.

2.9.3 Terapi Komplikasi


• Antibiotik sesual hasil kultur

25
• External Ventricular Drainage
• Mengangkat shunt

B. Endoscopic Third Ventriculostomy (ETV).


Prinsipnya adalah pengaliran CSS dari dasar ventrikel III ke sisterna basalis
yaitu ruang subarakhnoid di belakang sela tursika. Prosedur dari operasi ini antara
lain adalah ventrikel III dibuka melalui daerah khiasma optikum melalui
kraniotomi, dengan bantuan endoskopi. Selanjutnya dibuat lubang sehingga CSS
dari ventrikel III dapat mengalir keluar. Teknik ETV hanya dilakukan pada
hidrosefalus obstruktif (HO) dimana pasien memiliki kapasitas penyerapan CSS
yang normal atau mendekati normal. Para peneliti mendapatkan angka keberhasilan
yang berbeda-beda dari 40 – 100%. Pada penderita HO yang berumur di bawah 2
tahun dengan ETV didapatkan perbaikan klinis 70% dan perbaikan radiologis 63%,
sedangkan yang berumur di atas 2 tahun didapatkan perbaikan klinis 100 % dan
perbaikan radiologis 73%. Pada infantil hidrosefalus keberhasilan mencapai 46%,
sedangkan untuk penderita dengan usia di atas 2 tahun keberhasilannya mencapai
64 – 74%. Jika terjadi kegagalan pada ETV biasanya terjadi 6 bulan setelah operasi.
Jika dilakukan dengan benar, ETV merupakan metode yang aman, simple, dan
pilihan terapi yang efektif dengan komplikasi yang masih dapat diterima (
Maliawan, 2008 ).

Perbandingan VP Shunt dan ETV


Pada kasus hidrosefalus obstruktif terapi medikamentosa tidak dapat
dijadikan pilihan karena Terapi konservatif medikamentosa ditujukan hanya untuk
membatasi evolusi hidrosefalus melalui upaya mengurangi sekresi cairan dari
pleksus khoroid atau upaya meningkatkan resorbsinya dan tidak dapat mengatasi
obstruksi yang menjadi sumber masalah utama yang menjadi penyebab pada
kelainan ini. Untuk Itu perlu dilakukan terapi definitif berupa tindakan operatif
yang bertujuan untuk membuat passway atau jalan pintas untuk mengalirkan CSS

26
dari ventrikel ke bagian tubuh yang lain. Diantara sekian banyak operasi, teknik
ventrikuloperitoneal (VP) shunt dan endoscopic third ventriculostomy (ETV)
adalah yang paling populer. Di dalam pembahasan ini penulis mencoba
membandingkan efektivitas kedua teknik tersebut, sehingga teknik yang lebih
efektif dapat digunakan pada penanggulangan penderita hidrosefalus obstruktif atau
dapat digunakan sebagai gold standard penatalaksanaan hidrosefalus obstruktif.
Terapi definitif hidrosefalus gold standart adalah VP shunting. Prinsip dari
prosedur ini adalah membuat saluran baru antara aliran likuor dengan kavitas
drainase dalam hal ini cavum peritoneal. CSS yang dialirkan secara satu arah
kemudian akan diserap oleh peritoneum dan masuk ke pembuluh darah. Prosedur
ini memiliki banyak komplikasi yang meliputi diskoneksi komponen alat, alat yang
putus, erosi alat ke kulit atau organ perut seperti perforasi colon sigmoid oleh distal
kateter sehingga keluar melalui anus, over shunting, under shunting, buntu di
proksimal atau distal, letak alat tidak pas, perdarahan (haematome) subdural akibat
reduksi CSS yang berlebihan, ascites, kraniostenosis, keadaan CSS yang rendah
dan infeksi. Komplikasi pada bulan pertama mencapai 25-50%, setelah itu,
pertahun 4-5% dan setiap komplikasi berarti harus dilakukan revisi. Setiap VP
shunting memiliki kemungkinan risiko revisi sekitar 3 kali dalam 10 tahun pasca
operasi.
Operasi dengan teknik ETV prinsipnya adalah pengaliran CSS dari dasar
ventrikel III ke sisterna basalis yaitu ruang subarakhnoid di belakang sela tursika.
Pada teknik ETV tidak ada alat yang dipasang, sehingga aliran CSS dibuat hampir
mendekati aliran fisiologis menuju sistem penyerapan pada vili arakhnoid.
Keuntungan teknik ETV lainnya adalah sekali tindakan saja, berarti tidak
memerlukan perawatan lebih lanjut, biaya murah dan sederhana Teknik ETV hanya
dilakukan pada hidrosefalus obstruktif (HO). Di Indonesia masalah utama adalah
harga alat yang relatif mahal apalagi kalau terjadi penggantian waktu revisi, akan
sangat membebani keluarga penderita.
Maliawan pada tahun 2007 mengadakan penelitian yang membandingkan
efektivitas metode VP shunt dengan metode ETV pada kasus hidrosefalus
obstruktif dengan salah satu parameter berupa perbaikan klinis. Pada penelitian ini
luaran klinis diamati dalam kurun waktu setelah operasi, enam bulan pasca-operasi

27
dan untuk mendapatkan gambaran yang jelas juga dilakukan pengamatan saat
praoperasi. Didapatkan bahwa luaran klinis berupa diplopia, sunset phenomena,
membuka mata, spastisitas otot, respon motorik dan verbal paska operasi pada
teknik VP shunting dan ETV tidak memberikan perbedaan yang bermakna. Tidak
demikian halnya dengan luaran klinis enam bulan pasca operasi pada teknik ETV
memberikan luaran klinis yang lebih baik dibandingkan dengan teknik VP shunting
utamanya untuk longterm outcome klinis. Hal ini akibat dari teknik VP shunting
selalu diikuti revisi sebagai konsekuensi dari tidak berfungsinya implan.

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Pada hydrocephalus obsruktif terapi medikamentosa hanya bersifat
penunjang, sehingga perlu dilakukan terapi definitif berupa tindakan operatif,
diantaranya adalah dengan teknik ventrikuloperitoneal (VP) shunt dan endoscopic
third ventriculostomy (ETV). Setiap metode memilki kelebihan dan kelemahan
tersendiri.
Prinsip dari prosedur VP shunt ini adalah membuat saluran baru antara
aliran likuor dengan kavitas drainase yaitu cavum peritoneal. Prosedur ini memiliki
banyak komplikasi dan risiko revisi sekitar 3 kali dalam 10 tahun pasca operasi.

28
Operasi dengan teknik ETV prinsipnya adalah pengaliran CSS dari dasar
ventrikel III ke sisterna basalis. aliran CSS dibuat hampir mendekati aliran
fisiologis. Keuntungan teknik ETV lainnya adalah sekali tindakan saja, biaya murah
dan sederhana Selain itu ETV memberikan luaran klinis yang lebih baik
dibandingkan dengan teknik VP shunting untuk longterm outcome karena tidak
selalu membutuhkan revisi seperti VP shunt. Teknik ETV hanya dilakukan pada
hidrosefalus obstruktif (HO).

DAFTAR PUSTAKA

1. Engelhard III, H.H. Hydrocephalus; 2007, online


(http://emedicine.medscape.com/article/247387-overview, diakses tanggal 31
Oktober 2009)

2. Espay, A.J. Hydrocephalus; 2009, online


(http://emedicine.medscape.com/article/1135286-overview, diakses tanggal 31
Oktober 2009)

29
3. Maliawan, S., Andi Asadul, I., Bakta, M. Teknik Endoscopic Third
Ventriculostomy dibandingkan dengan Ventriculoperitoneal Shunting pada
Hidrosefalus Obstructif: Perbaikan Klinis dan Perubahan Interleukin-1β,
interleukin-6, dan Neural Growth Factor Cairan Serebrospinalis, 2009, online
(http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/udejournal/e_journal_%
20dr%20sri_maliawan.pdf, diakses tanggal 31 Oktober 2009)

4. Thomas Jeferson University. Ventriculoperitoneal Shunt. Thomas Jeferson


University Hospital. 2004.

5. Sarguna, P., Lakshmi, V. Ventriculoperitoneal Shunt Infections. Indian


Jurnal Of Medical Microbiology, Vol. 24, No. 1, p 52-54, 2006.

6. Bryant, M.S., et al. Abdominal complications of ventriculoperitoneal


shunts. Case reports and review of the literature. American Surgeon, Vol 54 (1), p
50-55, 1988.

7. Wu Y., et al. Ventriculoperitoneal shunt complications in California: 1990


to 2000. Neurosurgery, Vol 61(3), p 557-562, 2000.

8. Dean, D.F., Keller, I.B. Cerebrospinal fluid ascites: a Complication of a


Ventriculoperitoneal Shunt. Journal of Neurology, Neurosurgery, and Psychiatry,
Vol. 35, p 474-476, 1972.

9. Kinasha, ADA., Kahamba, JF., Semali, IT. Complications of


Ventriculoperitoneal Shunts in Children in Dar es Salaam. East and Central African
journal of Surgery, Vol. 10 No. 2, p 55-59, 2005.

10. Kaneshiro, N.K. Ventriculoperitoneal Shunt; 2009, online


(http://www.utmedicalcenter.org/encyclopedia/200000.htm, diakses tanggal 31
Oktober 2009)

30
11. Grosfeld, J.L., et al. Intra-Abdominal Complications Following
Ventriculoperitoneal Shunt Procedures. Pediatrics, Vol 54, p 791-796, 1974

12. Oluwole, E., Abiodun, A., Adeyoyin, M. Complete Intraventricular


Migration Of a Ventriculoperitoneal Shunt – Case Report And Brief Literatur
Review. African Journal of Neurological Sciences., vol 26 No. 1 p 69-73. 2007.

13. Matsuoka, H., et al. Transanal prolapse of a Ventriculoperitoneal Shunt


Chateter. Neurol Med Chir, Vol 48, p 526-528, 2008.

14. Dong Jang, H., et al. Anal Extrusion of Distal V-P Shunt Catheter after
Double Perforation of Large Intestine. Jurnal Korean Neurosurgery Society. Vol
42, p 232-234. 2007.

15. Vuyyuru, S., et al. Case report: Anal Extrusion of a ventriculoperitoneal


shunt tube: Endoscopic removal. Journal Pediatric Neurosciences, vol. 4, p 124-
126, 2009.

16. Wilson, C.B., Bertan, V. Perforation of The Bowel, Complication Peritoneal


Shunt for Hydrocephalus – Report of Two Cases. Am. Surg, Vol. 32, p 601-603,
1966

17. Mertol, T., et al. Intra Abdominal Complication of V-P Shunts. Turkish
Neurosurgery , vol 4: p 123-126, 1994.

18. Sells, C.J., Shurtleff, D.B., Loeser, J.D. Gram-Negative Cerebrospinal Fluid
Shunt-Associated Infections. Pediatrics, Vol. 59, p 614-618, 1977.

19. Aly, B., Kamal, H.M. Ventriculo-Peritoneal Shunt Infections in Infants and
Children. Lybian Journal og Medicine, 2009.

31
20. Umeh, O. and L.B. Berkowitz. Infection Caused by Members of The Genus
Klebsiella. Infectious Disease Update. Medical News. Vol. 11 Number 5 May 2004
Pages 28 – 33

21. Chien Ko, W., et al. Community-Acquired Klebsiella pneumoniae


Bacteremia: Global Differences in Clinical Patterns. Emerging Infectious Diseases,
Vol. 8, No. 2, 2002.

22. NANDA. 2012. Nursing Diagnoses: Definition and Classifications 2012-2014.


Philadephia: NANDA International

23. Prince & Wilson. 2006. Patofisiologis. Jakarta: EGC

24. Smeltzer, Suzanne C. 2005. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth, Edisi 8, Volume 3. Jakarta: EGC.

32

Anda mungkin juga menyukai