Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Definisi

Hidrosefalus adalah kelainan patologis otak yang mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinal
dengan atau pernah dengan tekanan intrakranial yang meninggi, sehingga terdapat pelebaran ventrikel
(Darsono, 2005:209). Pelebaran ventrikuler ini akibat ketidakseimbangan antara produksi dan absorbsi
cairan serebrospinal. Hidrosefalus selalu bersifat sekunder, sebagai akibat penyakit atau kerusakan otak.
Adanya kelainan-kelainan tersebut menyebabkan kepala menjadi besar serta terjadi pelebaran sutura-
sutura dan ubun-ubun (DeVito EE et al, 2007:328).

I.2. Epidemiologi

Insidensi hidrosefalus antara 0,2-4 setiap 1000 kelahiran. Insidensi hidrosefalus kongenital adalah 0,5-
1,8 pada tiap 1000 kelahiran dan 11 % - 43 % disebabkan oleh stenosis aqueductus serebri. Tidak ada
perbedaan bermakna insidensi untuk kedua jenis kelamin, juga dalam hal perbedaan ras. Hidrosefalus
dapat terjadi pada semua umur. Pada remaja dan dewasa lebih sering disebabkan oleh toksoplasmosis.
Hidrosefalus infantil; 46% adalah akibat abnormalitas perkembangan otak, 50% karena perdarahan
subaraknoid dan meningitis, dan kurang dari 4% akibat tumor fossa posterior (Darsono, 2005:211).

I.3. Etiologi

Hidrosefalus terjadi bila terdapat penyumbatan aliran cairan serebrospinal (CSS) pada salah satu tempat
antara tempat pembentukan CSS dalam sistem ventrikel dan tempat absorbsi dalam ruang subaraknoid.
Akibat penyumbatan, terjadi dilatasi ruangan CSS diatasnya (Allan H. Ropper, 2005). Teoritis
pembentukan CSS yang terlalu banyak dengan kecepatan absorbsi yang abnormal akan menyebabkan
terjadinya hidrosefalus, namun dalam klinik sangat jarang terjadi.

Penyebab penyumbatan aliran CSS yang sering terdapat pada bayi dan anak ialah:

1) Kelainan Bawaan (Kongenital)

a. Stenosis akuaduktus Sylvii

b. Spina bifida dan kranium bifida

c. Sindrom Dandy-Walker

d. Kista araknoid dan anomali pembuluh darah

2) Infeksi
Akibat infeksi dapat timbul perlekatan meningen. Secara patologis terlihat penebalan jaringan piamater
dan arakhnoid sekitar sisterna basalis dan daerah lain. Penyebab lain infeksi adalah toxoplasmosis.

3) Neoplasma

Hidrosefalus oleh obstruksi mekanik yang dapat terjadi di setiap tempat aliran CSS. Pada anak yang
terbanyak menyebabkan penyumbatan ventrikel IV atau akuaduktus Sylvii bagian terakhir biasanya
suatu glioma yang berasal dari serebelum, penyumbatan bagian depan ventrikel III disebabkan
kraniofaringioma.

4) Perdarahan

Perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak, dapat menyebabkan fibrosis leptomeningen
terutama pada daerah basal otak, selain penyumbatan yang terjadi akibat organisasi dari darah itu
sendiri (Allan H. Ropper, 2005:360).

I.4. Patofisiologi dan Patogenesis

CSS yang dibentuk dalam sistem ventrikel oleh pleksus khoroidalis kembali ke dalam peredaran darah
melalui kapiler dalam piamater dan arakhnoid yang meliputi seluruh susunan saraf pusat (SSP). Cairan
likuor serebrospinalis terdapat dalam suatu sistem, yakni sistem internal dan sistem eksternal. Pada
orang dewasa normal jumlah CSS 90-150 ml, anak umur 8-10 tahun 100-140 ml, bayi 40-60 ml, neonatus
20-30 ml dan prematur kecil 10-20 ml. Cairan yang tertimbun dalam ventrikel 500-1500 ml (Darsono,
2005). Aliran CSS normal ialah dari ventrikel lateralis melalui foramen monroe ke ventrikel III, dari
tempat ini melalui saluran yang sempit akuaduktus Sylvii ke ventrikel IV dan melalui foramen Luschka
dan Magendie ke dalam ruang subarakhnoid melalui sisterna magna.

Penutupan sisterna basalis menyebabkan gangguan kecepatan resorbsi CSS oleh sistem kapiler. (DeVito
EE et al, 2007:328)

Hidrosefalus secara teoritis terjadi sebagai akibat dari tiga mekanisme yaitu :

1. Produksi likuor yang berlebihan

2. Peningkatan resistensi aliran likuor

3. Peningkatan tekanan sinus venosa

Konsekuensi tiga mekanisme di atas adalah peningkatan tekanan intrakranial sebagai upaya
mempertahankan keseimbangan sekresi dan absorbsi. Mekanisme terjadinya dilatasi ventrikel cukup
rumit dan berlangsung berbeda-beda tiap saat selama perkembangan hidrosefalus. Dilatasi ini terjadi
sebagai akibat dari :

1. Kompresi sistem serebrovaskuler.

2. Redistribusi dari likuor serebrospinalis atau cairan ekstraseluler

3. Perubahan mekanis dari otak.

4. Efek tekanan denyut likuor serebrospinalis


5. Hilangnya jaringan otak.

6. Pembesaran volume tengkorak karena regangan abnormal sutura kranial.

Produksi likuor yang berlebihan disebabkan tumor pleksus khoroid. Gangguan aliran likuor merupakan
awal dari kebanyakan kasus hidrosefalus. Peningkatan resistensi yang disebabkan gangguan aliran akan
meningkatkan tekanan likuor secara proporsional dalam upaya mempertahankan resorbsi yang
seimbang.

Peningkatan tekanan sinus vena mempunyai dua konsekuensi, yaitu peningkatan tekanan vena kortikal
sehingga menyebabkan volume vaskuler intrakranial bertambah dan peningkatan tekanan intrakranial
sampai batas yang dibutuhkan untuk mempertahankan aliran likuor terhadap tekanan sinus vena yang
relatif tinggi. Konsekuensi klinis dari hipertensi vena ini tergantung dari komplians tengkorak. (Darsono,
2005:212)

I.5. Klasifikasi

Klasifikasi hidrosefalus bergantung pada faktor yang berkaitan dengannya,

berdasarkan :

1. Gambaran klinis, dikenal hidrosefalus manifes (overt hydrocephalus) dan hidrosefalus tersembunyi
(occult hydrocephalus).

2. Waktu pembentukan, dikenal hidrosefalus kongenital dan hidrosefalus akuisita.

3. Proses terbentuknya, dikenal hidrosefalus akut dan hidrosefalus kronik.

4. Sirkulasi CSS, dikenal hidrosefalus komunikans dan hidrosefalus non komunikans.

Hidrosefalus interna menunjukkan adanya dilatasi ventrikel, hidrosefalus eksternal menunjukkan adanya
pelebaran rongga subarakhnoid di atas permukaan korteks. Hidrosefalus obstruktif menjabarkan kasus
yang mengalami obstruksi pada aliran likuor. Berdasarkan gejala, dibagi menjadi hidrosefalus
simptomatik dan asimptomatik. Hidrosefalus arrested menunjukan keadaan dimana faktor-faktor yang
menyebabkan dilatasi ventrikel pada saat tersebut sudah tidak aktif lagi. Hidrosefalus ex-vacuo adalah
sebutan bagi kasus ventrikulomegali yang diakibatkan atrofi otak primer, yang biasanya terdapat pada
orang tua. (Darsono, 2005)

I.6. Manifestasi Klinis


Tanda awal dan gejala hidrosefalus tergantung pada awitan dan derajat ketidakseimbangan kapasitas
produksi dan resorbsi CSS (Darsono, 2005). Gejala-gejala yang menonjol merupakan refleksi adanya
hipertensi intrakranial. Manifestasi klinis dari hidrosefalus pada anak dikelompokkan menjadi dua
golongan, yaitu :

1. Awitan hidrosefalus terjadi pada masa neonatus

Meliputi pembesaran kepala abnormal, gambaran tetap hidrosefalus kongenital dan pada masa bayi.
Lingkaran kepala neonatus biasanya adalah 35-40 cm, dan pertumbuhan ukuran lingkar kepala terbesar
adalah selama tahun pertama kehidupan. Kranium terdistensi dalam semua arah, tetapi terutama pada
daerah frontal. Tampak dorsum nasi lebih besar dari biasa. Fontanella terbuka dan tegang, sutura masih
terbuka bebas. Tulang-tulang kepala menjadi sangat tipis. Vena-vena di sisi samping kepala tampak
melebar dan berkelok. (Peter Paul Rickham, 2003)

2. Awitan hidrosefalus terjadi pada akhir masa kanak-kanak

Pembesaran kepala tidak bermakna, tetapi nyeri kepala sebagai manifestasi hipertensi intrakranial.
Lokasi nyeri kepala tidak khas. Dapat disertai keluhan penglihatan ganda (diplopia) dan jarang diikuti
penurunan visus. Secara umum gejala yang paling umum terjadi pada pasien-pasien hidrosefalus di
bawah usia dua tahun adalah pembesaran abnormal yang progresif dari ukuran kepala. Makrokrania
mengesankan sebagai salah satu tanda bila ukuran lingkar kepala lebih besar dari dua deviasi standar di
atas ukuran normal. Makrokrania biasanya disertai empat gejala hipertensi intrakranial lainnya yaitu:

a. Fontanel anterior yang sangat tegang.

b. Sutura kranium tampak atau teraba melebar.

c. Kulit kepala licin mengkilap dan tampak vena-vena superfisial menonjol.

d. Fenomena ‘matahari tenggelam’ (sunset phenomenon).

Gejala hipertensi intrakranial lebih menonjol pada anak yang lebih besar dibandingkan dengan bayi.
Gejalanya mencakup: nyeri kepala, muntah, gangguan kesadaran, gangguan okulomotor, dan pada
kasus yang telah lanjut ada gejala gangguan batang otak akibat herniasi tonsiler (bradikardia, aritmia
respirasi). (Darsono, 2005:213)

I.7. Diagnosis

Disamping dari pemeriksaan fisik, gambaran klinik yang samar-samar maupun yang khas, kepastian
diagnosis hidrosefalus dapat ditegakkan dengan menggunakan alat-alat radiologik yang canggih. Pada
neonatus, USG cukup bermanfaat untuk anak yang lebih besar, umumnya diperlukan CT scanning. CT
scan dan MRI dapat memastikan diagnosis hidrosefalus dalam waktu yang relatif singkat. CT scan
merupakan cara yang aman dan dapat diandalkan untuk membedakan hidrosefalus dari penyakit lain
yang juga menyebabkan pembesaran kepala abnormal, serta untuk identifikasi tempat obstruksi aliran
CSS. (Darsono, 2005:214)
I.8. Diagnosis Banding

Pembesaran kepala dapat terjadi pada hidrosefalus, makrosefali, tumor otak, abses otak, granuloma
intrakranial, dan hematoma subdural perinatal, hidranensefali. Hal-hal tersebut dijumpai terutama pada
bayi dan anak-anak berumur kurang dari 6 tahun. (Darsono, 2005:215)

I.9. Terapi

Pada dasarnya ada tiga prinsip dalam pengobatan hidrosefalus, yaitu :

a) Mengurangi produksi CSS.

b) Mempengaruhi hubungan antara tempat produksi CSS dengan tempat absorbsi.

c) Pengeluaran likuor (CSS) kedalam organ ekstrakranial. (Darsono, 2005)

Penanganan hidrosefalus juga dapat dibagi menjadi :

1. Penanganan Sementara

Terapi konservatif medikamentosa ditujukan untuk membatasi evolusi hidrosefalus melalui upaya
mengurangi sekresi cairan dari pleksus khoroid atau upaya meningkatkan resorbsinya.

2. Penanganan Alternatif (Selain Shunting)

Misalnya : pengontrolan kasus yang mengalami intoksikasi vitamin A, reseksi radikal lesi massa yang
mengganggu aliran likuor atau perbaikan suatu malformasi. Saat ini cara terbaik untuk melakukan
perforasi dasar ventrikel III adalah dengan teknik bedah endoskopik. (Peter Paul Rickham, 2003)

3. Operasi Pemasangan ‘Pintas’ (Shunting)

Operasi pintas bertujuan membuat saluran baru antara aliran likuor dengan kavitas drainase. Pada anak-
anak lokasi drainase yang terpilih adalah rongga peritoneum. Biasanya cairan serebrospinalis didrainase
dari ventrikel, namun kadang pada hidrosefalus komunikans ada yang didrain ke rongga subarakhnoid
lumbar. Ada dua hal yang perlu diperhatikan pada periode pasca operasi, yaitu: pemeliharaan luka kulit
terhadap kontaminasi infeksi dan pemantauan kelancaran dan fungsi alat shunt yang dipasang. Infeksi
pada shunt meningkatkan resiko akan kerusakan intelektual, lokulasi ventrikel dan bahkan kematian.
(Allan H. Ropper, 2005:360)

I.10. Prognosis

Hidrosefalus yang tidak diterapi akan menimbulkan gejala sisa, gangguan neurologis serta kecerdasan.
Dari kelompok yang tidak diterapi, 50-70% akan meninggal karena penyakitnya sendiri atau akibat
infeksi berulang, atau oleh karena aspirasi pneumonia. Namun bila prosesnya berhenti (arrested
hidrosefalus) sekitar 40% anak akan mencapai kecerdasan yang normal (Allan H. Ropper, 2005). Pada
kelompok yang dioperasi, angka kematian adalah 7%. Setelah operasi sekitar 51% kasus mencapai fungsi
normal dan sekitar 16% mengalami retardasi mental ringan. Adalah penting sekali anak hidrosefalus
mendapat tindak lanjut jangka panjang dengan kelompok multidisipliner. (Darsono, 2005).

AB II

LAPORAN KASUS

II.1. IDENTITAS

Nama : Ahmad Syauqi Ramadhani

Umur : 11 bulan

Jenis kelamin : Laki – laki

BB : 12,5 kilogram

Agama : Islam

Alamat : Jln Platon VI No.16

Tanggal masuk : 20 Agustus 2009

II.2. ANAMNESIS (allo)

Riwayat penyakit

A.Keluhan utama : hidrosefalus

B.Keluhan tambahan : batuk

C.Riwayat penyakit sekarang : pasien datang dibawa oleh orang tuanya ke

poliklinik bedah Rumah Sakit Margono

Soekarjo Purwokerto control post operasi VF Shunt yang pertama pada tanggal 23/06/09. Pasien batuk
sudah seminggu, dan rencana akan dilaksanakan operasi VF Shunt yang kedua pada hari selasa tgl
25/08/09

D. Riwayat penyakit dahulu

- Riwayat penyakit darah tinggi disangkal

- Riwayat penyakit jantung disangkal

- Riwayat penyakit kencing manis disangkal

- Riwayat penyakit asma disangkal


- Riwayat penyakit alergi obat disangkal

- Riwayat operasi VF Shunt (+) dengan diagnosa hidrosephalus

II.3. PEMERIKSAAN FISIK

A. Status Generalis

Keadaan umum : baik

Kesadaran : compos mentis ; GCS E4 V5 M6

Vital sign : Hr 120x/menit

Nadi 100 x/menit

RR 39 x/menit

Suhu 36, 5 derajat celcius

B. Pemeriksaan kepala

Mata : Ca -/-, Si -/-

Telinga : NCH ( - ), discharge ( - )

Mulut : sianosis ( - )

C. Pemeriksaan leher

Tiroid : T.A.K

d. Pemeriksaan dada

Paru : SD.vesikuler , wheezing ( - ) , rhonki ( - )

Jantung : S1>S2.reguler , murmur ( - ) , gallop ( - )

Dinding dada : simetris , destruksi ( - )

e. Pemeriksaan abdomen

Dinding perut : intak

Hepar/lien : T.T.B

Usus : B.U ( + ), Normal


f. Pemeriksaan punggung

Columna vertebra : T.A.K

Ginjal : T.A.K

II.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan Laboratorium tanggal : 20 Agustus 2009

Darah lengkap

Hb : 12,1 gr/dl

Lekosit : 12.450 /ml

Hematokrit : 37 %

Eritrosit : 4,8 juta/ mm³

Trombosit : 407.000/ mm³

MCV : 63,4 fl

MCH : 21,4

MCHC : 33,7 %

Elektrolit

Natrium : 142 mmol/l

Kalium : 4,6 mmol/l

Klorida : 108 mmol/l

Kalsium : 11,1 mmol/l

SGOT/ AST : 32 UI/l

SGPT/ ALT : 85 UI/l

Ureum darah : 8,2 mg/dl

Kreatinin darah : 0,29 mg/dl

II.5. KESIMPULAN KONSUL ANESTESI

- Status fisik ASA II

- Acc. Operasi
III.6. LAPORAN ANESTESI PASIEN

a) Diagnosis pra-bedah : Hidrosefalus

b) Diagnosis post-bedah : Hidrosefalus

c) Jenis pembedahan : VP – Shunt

d) Jenis anestesi : anestesi umum (General Anestesi)

Premedikasi anestesi : Dexametason 5 mg

Induksi : Fentanil 5 µg

Sevofluran 2%

Relaksasi : Roculax 5 mg

Pemeliharaan anestesi : Sevofluran + O2

Analgetik : Antalgin 125 mg

Teknik anestesi : Semi – open

Induksi intravena dengan Fentanil 5 µg dan induksi inhalasi dengan Sevofluran 2%

Intubasi dengan ET no.4 (tanpa cuff) dengan laringoskop blade lengkung no.1 1/2 didahului oleh
pelumpuh otot Roculax 5 mg

Maintenance dengan Sevofluran + O2

Respirasi : Kendali + T-Jackson Rees

Posisi : Supine

Infus : KAEN 1B

Status fisik : ASA II

Induksi mulai : 09.05 WIB

Operasi mulai : 09.20 WIB

Operasi selesai : 10.30 WIB

Berat badan pasien : 12,5 Kg

Durasi operasi : 1 jam 10 menit


Pasien puasa : 4 jam

Terapi cairan

Maintenance = 10 kg I = 4 cc/KgBB/jam

= 4 cc x 10 Kg/jam = 40 cc/jam

= 10 kg II = 2 cc x 2,5 kg/jam = 5 cc/jam +

45cc/jam

Pengganti puasa = puasa x maintenance

= 4 jam x 45 cc/jam

= 180 cc

Stress operasi = 4 cc/KgBB/jam

= 4 cc x 12,5 Kg/jam

= 50 cc/jam

EBV = 80 cc/KgBB

= 80 cc x 12,5

= 1000 cc

ABL = ∆Ht x EBV x 3

100

= (37-30) x 1000 x 3

100

= 210 cc

Jadwal pemberian cairan (lama operasi 1 jam)

Jam I = ½ PP + SO + M

= 90 + 50 + 45

= 185cc

Jam II = ¼ PP + SO + M
= 45 + 50 + 45

= 140cc

Jam III = ¼ PP + SO + M

= 45 + 50 + 45

= 140cc

Jam IV = M + SO

= 45 + 50

= 95cc

Input durante operasi

KAEN IB = ½ x 500 = 250 cc

Total Cairan yang masuk durante operasi = 250 cc

Output durante operasi

Urin Tampung : 50 cc dalam 1 jam

Perdarahan

- Tabung Suction : 100 cc

- Kassa : 30 cc

Total Perdarahan = jam I + urine output + (Perdarahan + Kassa )

= 185 + 50 + 30

= 265 cc
III.7. PENATALAKSANAAN PASCA PEMBEDAHAN

Perawatan bangsal Cempaka

Masuk Tanggal : 20 Agustus 2009

Jam : 12.30 WIB

Airway : Clear, MP I

Breathing : Spontan, SD vesikuler Rh -/- , Wh -/-

Circulation : S1 > S2; Reguler, murmur ( - ), gallop ( - )

Disability : GCS ; E2 V3 M4

Ass : Post operasi VP - Shunting e.c Hidrosefalus

Instruksi post operasi observasi :

• Awasi TNSP

• Kaen 3A : 400 cc / 24 jam

• Obat : Cefotaxim 2 x 15 0 mg

Kaltofren supp : 2 supp 1/5

Infus RL 15 x tetes/menit

Prognosis : Dubia ad Bonam


III.8. PEMANTAUAN ANESTESI

Terlampir

BAB III

PEMBAHASAN

Sebelum dilakukan operasi, pasien diperiksa terlebih dahulu, meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang untuk menentukan ASA dan diputuskan kondisi pasien termasuk ASA II, serta
ditentukan rencana jenis anestesi yang akan dilakukan yaitu general anestesi dengan intubasi.

Setelah dilakukan pemeriksaan tentang keadaan umum pasien diputuskan untuk dilakukan anestesi
umum dengan intubasi, dengan alasan tindakan operasi tersebut dilakukan di regio capitis, termasuk
operasi mayor, sehingga dengan teknik tersebut diharapkan jalan napas dapat dikendalikan dengan baik.

Pertama dilaksanakan premedikasi anestesi dengan bolus Sulfat Atropin 0,1 mg yang berfungsi sebagai
vagolitik dan anti sekresi. Sulfat Atropin bekerja sebagai anti sekresi pada reseptor post neuro-muscular
junction dengan cara melakukan hambatan di reseptor muskarinik secara spesifik sehingga transmisi
asetilkolin pada reseptor tersebut dapat digagalkan. Sulfat Atropin bekerja sebagai vagolitik dengan cara
mengganggu sistem kolinergik pada jantung, tujuannya adalah untuk meningkatkan frekuensi denyut
ventrikel agar curah jantung meningkat.

Selanjutnya induksi dilakukan dengan menggunakan fentanil 5 µg secara intravena serta sevofluran 2%
secara inhalasi. Fentanil 5 g bolus intravena digunakan sebagai analgesi opioid. Setelah suntikan
intravena, ambilan dan distribusi Fentanyl secara kualitatif hampir sama dengan morfin, tetapi sebagian
besar dirusak paru ketika pertama kali melewatinya. Dosis analgesi 1-3 g/kgBB intravena untuk lama
kerja 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk anestesi pembedahan dan bukan untuk pasca
bedah. Sevofluran (ultane) merupakan halogenisasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat
dibandingkan dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan nafas, sehingga
digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan. Efek terhadap kardiovaskular cukup stabil,
jarang menyebabkan aritmia. Sevofluran pada dosis anestetik atau subanestetik menurunkan laju
metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial ini dapat dikurangi dengan teknik anestesi
hiperventilasi, sehingga sevofluran banyak digunakan untuk bedah otak.

Sebelum dilakukan intubasi diberikan pelumpuh otot terlebih dahulu yakni pada kasus ini adalah
Suksinilkolin 5 mg. Pelumpuh otot depolarisasi (nonkompetitif, leptokurase) bekerja seperti asetilkolin,
tetapi dicelah saraf otot tak dirusak oleh kolinesterase, sehingga cukup lama berada dicelah sinaptik,
sehingga terjadilah depolarisasi ditandai oleh fasikulasi yang disusul relaksasi otot lurik. Didalam vena
suksinilkolin dimetabolisir oleh kolinesterase plasma, pseudo-kolinesterase menjadi suksinil-monokolin.

Setelah pelumpuh otot bekerja barulah dilakukan intubasi dengan laringoskop blade lengkung no.1 ½
(sesuai anatomis leher bayi usia 6 bulan) dengan metode chin-lift dan jaw-trust yang berfungsi untuk
meluruskan jalan nafas antara mulut dengan trakea. Setelah jalan nafas dalam keadaan lurus barulah
dimasukkan pipa endotrakeal no.3 ½ tanpa cuff yang mempunyai diameter 3,0-4,0 mm. Digunakan ETT
tanpa cuff karena penampang trakea bayi dan anak kecil berbeda dengan dewasa, penampang
melintang trakea bayi dan anak kecil dibawah usia 5 tahun hampir bulat. Apabila digunakan cuff pada
bayi dapat mengakibatkan trauma selaput lendir trakea yang nantinya dapat menimbulkan edema
disekitarnya, dan apabila terjadi edema akan mengakibatkan spasme laring dan dilanjutkan dengan
apneu.

Setelah ETT terfiksasi dilaksanakan pembedahan yang diikuti dengan rumatan atau yang biasa dikenal
dengan maintenance menggunakan O2 + Sevofluran Vol % ditambah dengan pemberian cairan
parenteral yakni ringer laktat untuk mensubstitusi cairan, baik darah maupun cairan tubuh lainnya, yang
keluar selama pembedahan.

Selesai pembedahan untuk meringankan rasa nyeri pasca pembedahan diberikan Ketoprofen ½ tablet ;
50 mg secara suppositoria melalui anus pasien. Ketoprofen merupakan analgetik non-opioid turunan
asam propionate. Golongan obat non-opioid ini digunakan sebgai tambahan penggunaan opioid dosis
rendah untuk menghindari efek samping opioid yang berupa depresi pernafasan. Golongan analgetik
non-opioid selain bersifat anti inflamasi juga bersifat analgesik, antipiretik, dan anti pembekuan darah.
Mekanisme kerja obat ini adalah dengan menghambat aktivitas enzim siklo-oksigenase, sehingga terjadi
penghambatan sintesis prostaglandin perifer. Prostaglandin dihasilkan oleh fosfolipid dari dinding sel
yang rusak akibat trauma bedah. Prostaglandin sendiri secara langsung tidak menyebabkan nyeri, tetapi
menurunkan respons terhadap inflamasi, sehingga mengurangi nyeri perifer.

Setelah selesai anestesia dan keadaan umum baik, penderita dipindahkan ke ruang pulih. Disini diawasi
seperti di kamar bedah, walaupun kurang intensif dibandingkan dengan pengawasan sebelumnya. Untuk
memindahkan penderita ke ruangan biasa (bangsal) dihitung dulu skornya menurut Lockhart.
BAB IV

KESIMPULAN

Anestesia pada bayi dan anak kecil berbeda dengan anestesia pada orang dewasa, karena mereka
bukanlah orang dewasa dalam bentuk mini. Seperti pada anestesia untuk orang yang dewasa anestesia
anak kecil dan bayi khususnya harus diketahui betul sebelum dapat melahirkan anestesia karena itu
anestesia pediatri seharusnya ditangani oleh dokter spesialis anestesiologi atau dokter yang sudah
berpengalaman

Anda mungkin juga menyukai