KONSEP KEPERAWATAN
2. Etiologi
Isolasi social menarik diri sering disebabkan oleh karena kuranganya
rasa percaya pada orang lain, perasaan panic, regrasi ke tahap perkembangan
sebelumnya, waham, sukar berinnteraksi dimasa lampau, perkembangan ego
yang lemah serta represi rasa takut. Menurut Stuart & Sudeen, Isolasi social
disebabkan oleh gangguan konsep diri rendah. (Azizah, L.A. Zainuri, I. Akbar,
2016)
a. Faktor Predisposisi (Azizah, L.A. Zainuri, I. Akbar, 2016)
a) Faktor Perkembangan
Kemampuan membina hubungan yang sehat tergntung dari pengalaman
selama proses tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui
individu dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak
terpenuhi akan menghambat perkembangan selanjutnya, kurang
1
stimulasi kasih sayang, perhatian dan kehangatan dari ibu (pengasuh)
pada bayi akan memberi rasa tidak aman yang dapat menghambat
terbentuknya rasa percaya.
b) Faktor Biologi
Genetik adalah salah satu factor pendukung gangguan jiwa, factor
genetic dapat menunjang terhadap respon social maladaptive ada bukti
terdahulu tentang terlibatnya neurotransmitter dalam perkembangan
gangguan ini namun tahap masih diperlukan penilitian lebih lanjut.
c) Faktor Sosial Budaya
Faktor social budaya dapat menjadi factor pendukung terjadinya
gangguan dalam membina hubungan dengan orang lain, misalnya
anggota keluarga yang tidak produktif, diasingkan dari orang lain.
d) Faktor Komunikasi dalam Keluarga
Pola komunikasi dalam keluarga dapat mengantarkan seseorang dalam
gangguan berhubungan bila keluarga bila keluarga hanya
mengkomunikasikan hal- hal yang negative akan mendorong anak
mengembangkan harga diri rendah.
b. Faktor Prespitasi
Stressor pencetus pada umumnya mencakup kejadian kehidupan yang
penuh stress seperti kehilangan yang mempengaruhi individu untuk
berhubugan dengan orang lain dan menyebabkan ansietas. (Azizah, L.A.
Zainuri, I. Akbar, 2016)
2
b) Faktor Origin (Sumber Prespitasi)
Demikian juga dengan factor sumber prespitasi, baik internal maupun
eksternal yang berdampak pada psikososial seseorang. Hal ini karena
manusia bersifat unik.
c) Faktor Timing
Setiap stressor yang berdampang pada trauma psikologis sesorang yang
berimplikasi pada gangguan jiwa sangat di tentukan oleh kapan
terjadinya stressor, berapa lama dan frekuensi stressor.
d) Faktor Number (Banyaknya Stressor)
Demikian juga dengan stressor yang berimplikasi pada kondisi
gangguan jiwa sangat di tentukan oleh banyaknya stressor pda kurun
wktu tertentu. Misalnya, baru saja suami meninggal, seminggu
kemudian anak mengalami cacat permanen karena kecelakaan lalu
lintas, lalu sebulan kemudian ibu kena PHK dari tempat kerjanya.
e) Apparaisal of Stressor (Cara Menilai Predisposisi dan Prespitasi)
1. Faktor Kognitif: Berhubungan dengan tingkat pendidikan, luasnya
pengetahuan dan pengalaman.
2. Faktor Afektif: berhubungan dengan tipe kepribadian sesorang.
Tipe kepribadian introvert bersifat: Tertutp, suka memikirkan diri
sendiri, tidak terpengaruh pujian, banyak fantasi, tidak tahan kritik,
mudah tersinggung, menahan ekspresi emosinya, sukar bergaul,
sukar dimengerti orang lain, suka membesarkan kesalahnya dan
suka kritik diri sendiri. Tipe extrovert: Terbuka, licah dalam
pergaulan, riang, ramah, mudah berhubungan dengan orang lain,
melihat realitas dan keharusan, kebal terhadap kritik, ekspresi
emosinya spontan, tidak begitu merasakan kegagalan, dan tidak
banyak mengkritik diri sendiri. Tipe kepribadian ambivert dimana
sesorang memiliki dua tipe kepribadian dasar tersebut sehingga
sulit menggolongkan dalam salah satu tipe.
f) Faktor Physiological
3
Kondisi fisik sperti status nutrisi, status kesehatan fisik, factor kecacatan
atau kesempurnaan fisik sangat berpengaruh bagi penilaian sesorang
terhadap stressor predisposisi dan presipitasi.
g) Faktor Behavioral
Pada dasarnya perilaku seseorang turt mempengruhi niai, keyakinan,
sikap dan keputusannya. Oleh karena itu, factor perilaku turt berperan
pada sesorang dalam menilai factor predisposisi dan presipitasi yang
dihadapinya. Misalnya, seorang peminum alcohol, dalam keadaan
mabuk akan lebih emosional dalam mengadapi stressor. Demikian juga
dengan prokok atau penjudi, dalam menilai stressor berbeda dengan
seseorang yang taat beribadah.
h) Faktor Sosial
Manusia merupakan mahluk social yang hidupnya saling bergantung
pada satu dengan lainnya. Menurt Luh Ketut Suryani (2005), kehidupan
koktif atau kebersamaan berperan dalam pengambilan keputusan, adopsi
nilai, pembelajaran, pertukaran pengalaman dan penyelenggraaan
ritualitas. Dengan demikian, dapat di asumsikan bahwa factor
kolektifitas atau kebersamaan berpengaruh terhadap cara menili sressor
predisposisi dan presipitasi. (Azizah, L.A. Zainuri, I. Akbar, 2016)
4
b) Tidak mengikuti kegiatan
c) Banyak berdiam diri di kamar
d) Klien menyindiri dan tidak mau berinterkasi dengan orang yang
terdekat
e) Klien tampak sedih, ekspresi datr dan dangkal
f) Kontak mata kurang
g) Kurang spontan
h) Apatis (acuh terhadap lingkungan)
i) Ekspresi wajah kurang berseri
j) Tidak merawat diri dan tidak memperhatikan kebersihan diri
k) Mengisolasi diri
l) Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungannya
m) Masukan minuman dan makan terganggua
n) Retensi urine dan feses
o) Aktivias menurun
p) Krang energy (tenaga)
q) Rendah diri
r) Postur tubuh berubah
5
jenis kelamin yang menyangkal tidak mampu mandiri dengan
tidak diinginkan, mampu dan keterbatasan
bentuk fisik kurang menghadapi menyelesaikan kemampuan
menawan kenyataan dan tugas, bekerja, individu untuk
menyebabkan menarik diri dari bergaul, mengatasi.
keluarga lingkungan. Terlau sekolah, Ansietas terjadi
mengeluarkan tingginya self ideal menyebabkan akibat berpisah
komentar-komentar dan tidak mampu ketergantungan dengan orang
negative, menerima realitas pada orang tua, terdekat, hilang
merendahkan, dengan rasa syukur rendahnya pekerjaan atau
menyalahkan anak ketahanan orang yang
terhadap dicintai.
berbagai
kegagalan
Isolasi Sosial
6
5. Patofisiologi (Azizah, L.A. Zainuri, I. Akbar, 2016)
ISOLASI SOSIAL
6. Rentang Respon
7
Terdapat dua respon yang dapat terjadi pada isolasi sosial, yakni :
a. Respon Adaptif
Merupakan suatu respons yang masih dapat diterima oleh norma-norma
social dan kebudayaan secara umum yang berlaku dengan kata lain individu
tersebut masih dalam batas normal ketika menyelesaikan masalah. (Azizah,
L.A. Zainuri, I. Akbar, 2016)
a) Menyendiri (Solitude)
Merupakan respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa
yang telah terjadi di lingkungan sosialnya (instropeksi).
b) Otonomi
Merupakan kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan
ide, pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial.
c) Bekerjasama
Merupakan kemampuan individu yang saling membutuhkan satu sama
lain serta mampu memberi dan menerima.
d) Interdependen
Merupakan saling ketergantungan antara individu dengan orang lain
dalam membina hubungan interpersonal. (Azizah, L.A. Zainuri, I.
Akbar, 2016)
b. Respon Maladaptif
Merupakan suatu respon yang menyimpang dari norma sosial dan
kehidupan disuatu tempat, perilaku respon maladaptif, yakni meliputi:
(Azizah, L.A. Zainuri, I. Akbar, 2016)
a) Menarik diri
Merupakan keadaan dimana seseorang yang mengalami kesulitan dalam
membina hubungan secara terbuka dengan orang lain.
b) Ketergantungan
Merupakan keadaan dimana seseorang gagal mengembangkan rasa
percaya dirinya sehingga tergantung dengan orang lain.
c) Manipulasi
Merupakan hubungan sosial yang terdapat pada individu yang
menganggap orang lain sebagai objek dan berorientasi pada diri sendiri
8
atau pada tujuan, bukan berorienrasi pada orang lain. Individu tidak
dapat membina hubungan sosial secara mendalam.
d) Curiga
Merupakan keadaan dimana seseorang gagal mengembangkan rasa
percaya diri terhadap orang lain.
e) Impulsif
Ketidakmampuan merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar dari
pengalaman, tidak dapat diandalkan, mempunyai penilaian yang buruk
dan cenderung memaksa kehendak.
f) Narkisisme
Harga diri yang rapuh, secara terus menerus berusaha mendapatkan
penghargaan dan pujian, memiliki sikap egosentris, pencemburu, dan
marah jika orang lain tidak mendukung. (Azizah, L.A. Zainuri, I. Akbar,
2016)
7. Mekanisme Koping
8. Perilaku
Perilaku yang biasa muncul pada klien gangguan hubungan social adalah
sebagai berikut: (Badar, 2016)
Gangguan Perilaku
Hubungan Sosial
Menarik Diri 1. Kurang spontan
2. Apatis (acuh terhadap lingkungan)
3. Ekspresi wajah kurang berseri
4. Tidak merawat diri dan tidak memerhatikan
kebersihan diri
9
5. Tidak ada atau kurang komunikasi verbal
6. Mengisolasi diri
7. Tidak peduli dengan keadaan lingkungan
sekitarnya
8. Intake makanan dan minuman terganggu
9. Retensi urine da feses
10. Aktivitas menurun
11. Tidak betenaga
12. Berbaring dengan sikap atau posisi janin
Curiga 1. Tidak mampu memercayai orang lain
2. Bermusuhan (Hostilty)
3. Mengisolasi diri dalam lingkungan sosial
Manipulasi 1. Mengekspresikan perasaan tidak langsung pada
tujuan
2. Kurang asertif
3. Sangat tergantung pada orang lain
9. Penatalaksanaan
10
2. Benar Obat
Tenaga kesehatan harus memastiakan bahwa obat tersebut adalah
terapi medis yang benar untuk pasien. Jangan ragu-ragu untuk bertanya:
apakah ini obat yang diresepkan? Apakah resep obat dibaca dengan
lengkap? Mengapa pasien mendapatkan obat ini? Apakah obat ini sesuai
dengan kondisi pasien? Apakah pasien memiliki alergi makanan atau
obat?
Periksa pula tanggal kedaluwarsa dan kembalikan ke apotek jika obat
tersebut telah kedaluarsa. Jika sebuah obat yang telah kedaluwarsa
diberikan pada pasien, efek yang timbul dapat tak terduga.
Periksalah lebel obat setidaknya tiga kali sebelum memberikan obat
tersebut. Periksalah pertama kali ketika obat tersebut diambil dari tempat
penyimpanannya kemudian, periksalah kembali lebel obat sebelum
mengeluarkan obat tersebut dari kemasan. Terakhir, periksa kembali
label obat setelah mengeluarkan obat sebelum membuang kemasan obat
tersebut. (Kamienski. Keogh, 2015)
3. Benar Dosis
Dosis obat yang diberikan harus berdasarkan pedoman yang
direkomendasikan tenaga kesehatan harus memiliki gambaran akan dosis
obat sebelum melakukan penghitungan dosisnya. Jika dosis obat hasil
penghitungan selisih terlalu banyak dari dosis yang diperkirakan,
tanyakanlah pada apoteker atau tenaga kesehatan lainnya. Terkadang,
penghitungan dosis obat harus diperiksa oleh dua orang apa bila
perhitungan dosis obat tersebut rumit atau apabila obat tersebut
berpotensi menimbulkan bahaya jika dosis yang diberikan terlalu banyak
atau terlalu sedikit. Obat yang dibungkus dan diberi lebel atau sudah
ditakar untuk dosis yang tepat lebih dikuasai dan dapat meminimalkan
terjadinya kesalahan. Tenaga kesehatan juga harus memastikan bahwa
sistem pengukuran yang digunakan sudah tepat, ketika menghitung dosis
obat (lihat bab 5 prinsip-prinsip pemberian obat). (Kamienski. Keogh,
2015)
11
4. Benar Waktu
Apakah sekarang adalah waktu yang benar untuk memberikan obat
pada pasien? Waktu pemberian obat telah ditulis secara spesifik pada
resep obat dan mungkin akan diberi setengah jam sebelum atau sesudah
waktu yang tertulis di resep obat tersebut, bergantung pada
kebijaksanaan rumah sakit atau fasilitas kesehatan yang bersangkutan.
Seberapa sering obat diberikan bergantung pada waktu paruh obat.
Waktu paruh obat adalah waktu yang dibutuhkan oleh setengah dari
jumlah awal obat/zat lain untuk dieliminasi dari tubuh. Obat dengan
waktu paruh yang pendek harus diberikan lebih sering dibandingkan
dengan obat yang memiliki waktu paruh yang panjang untuk
mempertahankan tingkat efek terapeutik obat dalam plasma.
Periksalah apakah pasien dijadwalkan untuk diagnosis atau prosedur
lainnya yang mungkin mengganggu waktu pemberian obat. Periksalah
apakah pasien harus meminum obat bahkan jika mereka dijadwalkan
untuk puasa (NPO)
Tenaga kesehatan juga harus memastikan bahwa obat yang diberikan
bersamaan dengan waktu makan, sementara obat lain diberikan pada
waktu tertentu sebelum atau sesudah makan. Jika memungkinkan, jadwal
pemberian obat disesuaikan dengan gaya hidup pasien, yang mungkin
berbeda dari jadwal yang normal. Sebagai contoh, pemberian digoksin
dijadwalkan pukul 10 pagi sesuai kebijakan rumah sakit, tapi pasien
boleh meminumnya pada pukul berapa saja di pagi hari. Hal ini menjadi
sangat penting begitu keluar dari rumah sakit dan melanjutkan terapi di
rumah. (Kamienski. Keogh, 2015)
5. Benar Jalur Pemberian Obat
Tenaga kesehatan harus menentukan jalur yang tepat ketika memberikan
obat agar tubuh pasien dapat menyerapnya dengan baik. Berikut adalah
jalur pemberian obat yang umum diterapkan :
1) Obat (melalui mulut): cairan, eliksir, larutan, pil, tablet, dan kapsul
2) Sublingual (bawah lidah): pil, tablet, dan kapsul
3) Topikal (dioleskan di kulit): krim, salep, dan plester
12
4) Dihirup (semprot acrosol): cairan
5) Diteteskan pelan-pelan (pada hidung, mata, telinga): cairan, krim,
dan salep
6) Disisipkan (melalui rektum, vagina): supositoria
7) Intradermal (bahwa kulit): injeksi
8) Subkutan (bahwa kulit): injeksi
9) Intramuskuler (di otot): injeksi
10) Intravena (dalam pembuluh darah): injeksi
11) Selang nasogastrik dan gastrostomi: cairan
12) Transdermal: plester
Pastikan bahwa pasien mampu menelan jika jalur pemberian obat
adalah melalui dan tetaplah bersama pasien sehingga obat berhasil
ditelan. Salutenterik atau obat lepas lambat tidak boleh digerus.
Pemberian obat melalui intravena harus sangat hati-hati karena obat
dapat sangat cepat diserap oleh tubuh. Oleh sebab itu, tenaga kesehatan
harus mengetahui efek teraupeutik obat, efek samping, efek samping
yang timbul saat pertama kali obat diberikan, dan berapa lama kerja obat.
Obat apa pun yang diberikan melalui intravena, tenaga kesehatan harus
berhati-hati
Memberikan obat pada diri sendiri (self-administration of
medication) adalah tindakan yang umum dilakukan oleh pasien di rumah
maupun di tempat kerja. Metode tersebut juga sering diterapkan pada tata
layanan kesehatan akut dan perawatan jangka panjang. Pada tata cara
tersebut, perawat memberikan obat pada pasien beserta intruksinya yang
diletakkan di samping tempat tidur. Kemudian, pasien akan minum obat
tersebut sesuai intruksi yang diberikan dan memberi tahu perawat ketika
obat tersebut sudah dikomsumsi. Hal ini akan membantu pasien untuk
mengelola pengobatan untuk diri sendiri dan menyiapkan diri untuk
nantinya melanjutkan pengobatan tersebut di rumah. Metode tersebut
seing digunakan untuk pasien kanker dan ibu hamil
Analgesik yang dikontrol pasien atau patient controlled anaalgesia
(PCA) adalah metode yang umum digunakan untuk memberikan anti
13
nyeri melalui intravena. Hal ini akan didiskusikan lebih lanjut pada bab
berikutnya. (Kamienski. Keogh, 2015)
6. Benar Dokumentasi
Setelah obat itu di berikan kita harus mendokumentasikan dosis, rute,
waktu dan oleh siapa obat itu di berikan, dan jika pasien menolak
pemberian obat maka harus di dokumentasikan juga alasan pasien
menolak pemberian obat. (Kamienski. Keogh, 2015)
b. Farmakokinetik Obat
a) Klopromazin
1. Indikasi:
Penanganan gangguan psikotik, seperti skizofrenia, fase mania pada
ganggua bipolar (sampai litium kerja lambat menimbulkan efek),
psikosis reaktif singkat, dan gangguan skizoafektif. Selain itu juga
untuk penanganan ansietas dan agitasi: cegukan yang sulit di atasi:
porfria intermiten akut; anak hiperaktif yang menunjukan aktivitas
motorik yang berlebihan; masalah perilaku berat pada anak yang
dikaitkan dengan perilaku hipereksitasi atau menyerang. Agens di
tunjukan untuk penanganan mual dan muntah berat; sedasi pra dan
pasca bedah; serta tetanus (pengobatan penunjang). (Keliat, B. D.
Pawirowiyono, 2017)
2. Kontraindikasi
Pasien hipersentivitas (dapat terjadi sensivitas silang pada gangguan
kelompok fenotiazin). Jangan digunakan jika terjadi SSP; jika
terdapat diskrasia darah; pada penyakit Parkinson; atau pada pasien
insufiensi ginjal, hati, atau jantung. Keamanan dalam kehamilan dan
laktasi belum dibuktikan. (Keliat, B. D. Pawirowiyono, 2017)
3. Efek Samping
Efek samping yang sering di timbulkan oleh obat-obatan psikotik
seperti: mengantuk, tremor, mata melihat ke atas, kaku otot, otot
bahu tertarik sebelah, hipersalivasi, pergeraka otot tak terkendali.
(Yosep, I, H. Sutini, 2016)
14
4. Cara Kerja Obat
Sampai saat ini masih belum di ketahui bagaimana cara kerja obat-
obatan antipsikotik yang memperbaiki manifestasi skizofrenia. Obat-
obatan anti psikotik tipikal menghambat reseptor dopamine,
mencegah stimulus pascainap oleh dopamine. Selain itu obat-obatan
tersebut juga dapat menekan RAS, menghambat stimulus yang
masuk ke otak, dan memiliki efek antikolinergik, antihistamin, dan
penyekat B adrenergic, yang semuanya berkaitan dengan
penghambatan sisi reseptor dopamine dan serotonin. (Yosep, I, H.
Sutini, 2016)
5. Yang Di Pengaruhi Obat
Obat psikotropik adalah obat yang mempengaruhi fungsi psikis,
kelakuan atau pengalam. Ia bekerja menekan system saraf pusat dan
anti psikoikn di sampung itu juga anti emetic, local anestetik,
pemblok. (Mutschler, 2018)
6. Dosis
75-150 mg – 3x/hari (Mutschler, 2018)
b) Trifluoperazin
1. Indikasi
Penganganan manifestasi gangguan psikotik serta penanganan
ansietas sedang hingga berat pada pasien nonpsikotik. (Sutejo, 2017)
2. Kontraindikasi
Pasien hipersentivitas (dapat terjadi sensivitas silang pada gangguan
kelompok fenotiazin). Jangan digunakan jika terjadi SSP; jika
terdapat diskrasia darah; pada penyakit Parkinson; atau pada pasien
insufiensi ginjal, hati, atau jantung. Keamanan dalam kehamilan dan
laktasi belum dibuktikan. (Sutejo, 2017)
3. Efek Samping
Efek samping yang sering di timbulkan oleh obat-obatan psikotik
seperti: mengantuk, tremor, mata melihat ke atas, kaku otot, otot
bahu tertarik sebelah, hipersalivasi, pergeraka otot tak terkendali.
(Yosep, I, H. Sutini, 2016)
15
4. Cara Kerja Obat
Sampai saat ini masih belum di ketahui bagaimana cara kerja obat-
obatan antipsikotik yang memperbaiki manifestasi skizofrenia. Obat-
obatan anti psikotik tipikal menghambat reseptor dopamine,
mencegah stimulus pascainap oleh dopamine. Selain itu obat-obatan
tersebut juga dapat menekan RAS, menghambat stimulus yang
masuk ke otak, dan memiliki efek antikolinergik, antihistamin, dan
penyekat B adrenergic, yang semuanya berkaitan dengan
penghambatan sisi reseptor dopamine dan serotonin. (Yosep, I, H.
Sutini, 2016)
5. Yang Dipengaruhi Obat
Obat psikotropik adalah obat yang mempengaruhi fungsi psikis,
kelakuan atau pengalam. Ia bekerja menekan system saraf pusat dan
anti psikoikn di sampung itu juga anti emetic, local anestetik,
pemblok. (Mutschler, 2018)
6. Dosis
20-60 mg 3x/hari (Mutschler, 2018)
c) Haloperidol
1. Indikasi
Penatalaksanaan psikosis kronik dan akut; pengendalian tik dan
pengucapan vocal pada gangguan Tourette; penanganan gejala
demensia pada lanjut usia (lansia); pengendalian hiperaktivitas dana
masalah perilaku berat pada anak-anak. Penggunaan penelitian;
antiemetic (dosis lebih sedikit dari pengendalian perilaku psikotik)
serta pengendaliam situasi psikiatrik akut. (Sutejo, 2017)
2. Kontraindikasi
Pasien hipersentivitas (dapat terjadi sensivitas silang pada gangguan
kelompok fenotiazin). Jangan digunakan jika terjadi SSP; jika
terdapat diskrasia darah; pada penyakit Parkinson; atau pada pasien
insufiensi ginjal, hati, atau jantung. Keamanan dalam kehamilan dan
laktasi belum dibuktikan. (Sutejo, 2017)
3. Efek Samping
16
Efek samping yang sering di timbulkan oleh obat-obatan psikotik
seperti: mengantuk, tremor, mata melihat ke atas, kaku otot, otot
bahu tertarik sebelah, hipersalivasi, pergeraka otot tak terkendali.
(Yosep, I, H. Sutini, 2016)
4. Cara Kerja Obat
Sampai saat ini masih belum di ketahui bagaimana cara kerja obat-
obatan antipsikotik yang memperbaiki manifestasi skizofrenia. Obat-
obatan anti psikotik tipikal menghambat reseptor dopamine,
mencegah stimulus pascainap oleh dopamine. Selain itu obat-obatan
tersebut juga dapat menekan RAS, menghambat stimulus yang
masuk ke otak, dan memiliki efek antikolinergik, antihistamin, dan
penyekat B adrenergic, yang semuanya berkaitan dengan
penghambatan sisi reseptor dopamine dan serotonin. (Yosep, I, H.
Sutini, 2016).
17
mempermudah proses asuhan keperawatan jika sudah terjalin rasa saling
percaya klien terhadap perawat, terapi individual untuk TUK 1,2,3,4,5.
(Azizah, L.A. Zainuri, I. Akbar, 2016)
b) Terapi Kognitif
Karena klien mempunyai persepsi dan pemikiran yang negative/salah,
diperlukan terapi kognitif untuk merubah hal tersebut. Sehingga,
diharapkan dengan terapi kognitif persepsi dan pemikiran klien yang
negative berubah menjadi positif/baik, klien juga mampu
mempertimbangkan stressor, mengidentifikasi pola berfikir, persepsi dan
keyakinan yang tidak baik, Terapi kognitif untuk TUK 2,3 (Azizah, L.A.
Zainuri, I. Akbar, 2016)
c) Terapi Kelompok
Karena klien cenderung menarik diri dan tidak bersosialisasi, diperlukan
terapi kelompok agar klien dapat berinteraksi dengan orang lain seperti
sebelum klien mengalami gangguan dapat bersosialisasi. Perawat dapat
berinteraksi dengan sekelompok klien secara teratur, membantu anggota
kelompok meningkatkan kesadaran diri meningkatkan hubungan
interpersonal, dan menubah perilaku maladaptive menjadi adaptif. Terapi
kelompok untuk TUK 1,3,4,5,6. (Azizah, L.A. Zainuri, I. Akbar, 2016)
18
B. PROSES KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Data Fokus
Hubungan Social:
19
Tanda dan gejala isolasi social yang dapat melalui observasi.
20
d. Pohon Masalah Isolasi Sosial (Azizah, L.A. Zainuri, I. Akbar, 2016)
Harga Diri Rendah - (Causa)
2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Keliat mengatakan bahwa setelah dilakukan pengkajian, maka dirumuskanlah
masalah keperawatan yaitu isolasi social (sekaligus menjadi diagnose
keperawatan). (Keliat, A, B. Akemat, 2019)
3. INTERVENSI KEPERAWATAN
21
4) Buat kontrak asuhan: apa yang perawat akan lakukan bersama
pasien, berapa lama akan dikerjakan, dan tempat pelaksanaan
kegiatan
5) Jelaskan bahwa perawat akan merahasiakan informasi yang
diperoleh untuk kepentingan terapi
6) Tunjukkan sikap empati terhadap pasien setiap saat
7) Penuhi kebutuhan dasar pasien jika mungkin
b) Membantu Pasien Mengenal Penyebab Isolasi Sosial Dengan
Cara:
1) Tanyakan pendapat pasien tentang kebiasaan berinteraksi
dengan orang lain
2) Tanyakan penyebab pasien tidak ingin berinteksi dengan
orang lain
c) Bantu pasien untuk mengenal manfaat berhubungan dengan
orang lain dengan cara mendiskusikan manfaat jika pasien
memilki banyak teman
d) Membantu pasien mengenal kerugian tidak berhubungan dengan
cara sebagai berikut :
1) Diskusikan pasien jika pasien hanya mengurung diri dan
tidak bergaul dengan orang lain
2) Jelaskan pengaruh isolasi sosial terhadap kesehatan fisik
pasien
e) Membantu pasien untuk berinteraksi dengan orang lain secara
bertahap (Keliat, A, B. Akemat, 2019)
22
a. Memberikan kesempatan pasien mempraktikan cara berinteraksi dengan
orang lain yang dilakukan di hadapan Anda
b. Mulailah bantu pasien berinteraksi dengan satu orang (pasien,perawat atau
keluarga)
c. Jika pasien sudah menunjukkan kemajuan, tingkatkan jumlah interaksi
dengan dua, tiga, empat orang dan seterusnya
d. Berilah pujian untuk setiap kemajuan interaksi yang telah dilakukan oleh
pasien
e. Dengarkan ekspresi perasaan pasien setelah berinteraksi dengan orang lain.
Mungkin pasien akan mengungkapkan keberhasilan atau kegagalannya.
Berilah dorongan terus menerus agar pasien tetap semangat meningkatkan
interaksinya (Keliat, A, B. Akemat, 2019)
NNN NO Pasien Keluarga
SPIP SPIK
3 Kerugian tidak punya teman dan tidak Jelaskan cara merawat isolasi social
bercakap-cakap
4 Latih cara berkenalan dengan pasien Latih dua cara merawat berkenalan,
dan perawat atau tamu berbicara saat melakukan kegiatan
harian
SPIIP SPIIK
23
1 Evaluasi kegiatan berkenalan (berapa Evaluasi kegiatan keluarga dalam
orang). Beri pujian merawat/melatih pasien berkenalan
dan berbicara saat melakukan
kegiatan harian Beri pujian
2 Latihan cara berbicara saat melakukan Jelaskan kegiatan rumah tangga yang
harian (latihan 2 kegiatan) dapat melibatkan pasien berbicara
(makan, sholat bersama) di rumah
SPIIIP SPIIIK
SPIVP SPIVK
24
bicara saat melakukan empat kegiatan merawat/melatih pasien berkenalan,
harian. Beri pujian berbicara saat melakukan kegiatan
harian/RT, berbelanja. Beri pujian
25
4. Implementasi Keperawatan
Merupakan insiatif dan rencana tindakan untuk tujuan yang spesifik. Tahap
pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan di susun dan ditunjukan pada
nursing orders untuk membantu klen mencapai tujuan yang diharapkan. Oleh
karena itu rencana tindakan yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi
factor-faktor yang memengaruhi masalah kesehatan klien. (Febriana, D, 2017).
a. Pasien
b. Keluarga
26
SP III Keluarga :Menjelaskan cara melatih pasien melakukan kegiatan
social seperti berbelanja meminta sesuatu dll, melatih keluarga mengajak
pasien belanja saat besuk
5. Evaluasi
Perencanaan evaluasi memuat criteria keberhasilan proses dan keberhasilan
intervensi. Keberhasilan proses dapat dilihat dengan jalan membandingkan
antara proses dengan pedoman/rencana proses tersebut. Sedangkan keberhasilan
tindakan dapat dilihat dengan membandingkan antara tingkat kemandirian
pasien dalam kehidupan sehari-hari dan tingkat kemajuan kesehatan pasien
dengan tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya. Metode penulisan evaluasi
keperawatan dalam progress notes/catatan perkembangan pasien dapat dilakukan
dengan pendekatan SOAP: (Febriana, D, 2017)
a. S (Subjective) : adalah informasi berupa ungkapan yang didapat dari
klien setelah tindakan diberikan
b. O (Objective) : adalah hasil yang di dapat berupa pengamatan, penilaian,
pengukuran yang dilakukan oleh perawat setelah tindakan dilakukan
c. A (Analysis) : Isolasi Sosial (+)
d. P (Planing) : latihan cara berkenalan sebanyak 3 kali (Febriana, D,
2017)
27
6. Yang Diharapkan Untuk Pasien dan Keluarga
a. Pasien
Pasien mampu bercakap-cakap dengan orang lan, pasien mampu bekerja
sama dengan orang lain serta menyampaikan dan membicarakan masalah
pribadinya dengan orang lain. (Keliat, A, B. Akemat, 2019)
b. Keluarga
Keluarga dapat merawat pasien degan masalah isolasi social langsung
dihadapan pasien. (Azizah, L.A. Zainuri, I. Akbar, 2016)
Terapi aktifitas yang cocok untuk klien isolasi social yaitu terapi aktivitas
kelompok sosialisasi (TAKS). Hal tersebut dikarenakan klien sering menyendiri
(menghindar dari orang lain), komunikasi berkurang (bicara apabila
ditanya,jawaban singkat), berdiam diri di kamar dalam posisi meringkuk, tidak
melakukan kegiatan sehari-hari, wajah tampak sedih dan sering menunduk yang
menunjukkan bahwa klien mengalami masalah dalam hubungan social ( isolasi
social). Oleh karena itu terapi aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) cocok
untuk memfasilitasi kemampuan klien dengan masala hubungan social agar
klien dapat bersosialisasi kembali dengan orang lain maupun lingkungannya
serta dapat meningkatkan hubungan interpersonal dan kelompok. Terapi
aktivitas kelompok sosialisasi (TAKS) dilakukan dalam 7 sesi dengan indikasi
klien menarik diri yang sudah sampai pada tahap mampu berinteraksi dalam
kelompok kecil dan sehat secara fisik (Azizah, L.A. Zainuri, I. Akbar, 2016)
a. Sesi 1: kemampuan memperkenalkan diri
b. Sesi 2: kemampuan berkenalan
c. Sesi 3: kemampuan bercakap-cakap
d. Sesi 4: kemampuan bercakap-cakap topik tertentu
e. Sesi 5: kemampuan bercakap-cakap masalah pribadi
f. Sesi 6: kemampuan bekerjasama
g. Sesi 7: evaluasi kemampuan sosialisasi
(Keliat, B. D. Pawirowiyono, 2017)
28
DAFTAR PUSTAKA
Azizah, L.A. Zainuri, I. Akbar, A. (2016) Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa -
Teori dan Aplikasi Praktik Klinik. 1st edn. Yogyakarta: Indomedia Pustaka.
Badar (2016) Asuhan Keperawatan Profesional Jiwa Pada Pasien Dengan Masalah
Utama ‘Isolasi Sosial’. Bogor: Penerbit In Media.
Sutejo (2017) Keperawatan Kesehatan Jiwa - Prinsip dan Praktik Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta: PT Pustaka Baru.
Yosep, I, H. Sutini, T. (2016) Buku Ajar Keperawatan Jiwa. 7th edn. Bandung: PT
Refika Aditama.
29