Anda di halaman 1dari 33

SUSUNAN SARAF

PENDAHULUAN

Cedera medula spinalis merupakan salah satu penyebab utama disabilitas neurologis akibat
trauma.Insiden cedera medula spinalis di dunia diperkirakan 40 kasus per juta setiap tahunnya (menurut
Sekhon dan Fehlings, 2001; National SCI Statistical Center, 2004). Angka insiden di Amerika Serikat
kurang lebih 11.000 kasus baru setiap tahunnya dan 4000 kasus yang tidak dapat bertahan sewaktu
mencapai rumah sakit.4

Cedera kolumna vertebralis, dengan atau tanpa defisit neurologis, harus selalu di-cari dan
disingkirkan pada penderita dengan cedera multipel. Daerah servikal merupakan segmen vertebra yang
sering terjadi cedera akibat kecelakaan kendaraan, khususnya mereka yang tidak memakai alat pengaman
bahu dan sabuk pengaman.6 Level cedera yang paling sering adalah C4, C5 (tersering), dan C6,
sedangkan level untuk paraplegi adalah thoracolumbar junction (T12). 5

Trauma dapat mencederai segala bagian dari kolumna spinalis, namunsehubungan dengan sifat
anatomis-fisiologis masing-masing segmen vertebra, maka ada bagian tertentu yang mempunyai risiko
lebih tinggi daripada yang lain terhadap salah satu tipe cedera spinal. Sebagai contoh antara lain leher
yang bersifat lebih mobil dan merupakan penggabung antar dua bagian tubuh yang besar cenderung
terlibat pada sebagian besar cedera spinal tertutup.

Penyakit medula spinalis dapat terjadi akibat berbagai macam proses patologi ter-masuk trauma.
Tanpa memandang patogenesisnya, yang dapat menyebabkan kerusakan yang signifikan pada fungsi
motorik, sensorik atau otonom 7.Defisit neurologis pada cedera spinal dapat terjadi karena memar
(kontusio) atau kompresi (fraktur, dislokasi, luksasi, hematom) sehingga menyebabkan gangguan yang
permanen; atau dapat juga hanya karena edema temporer (komosio) yang menimbulkan gangguan
sementara dan kemudian pulih.10

Angka mortalitas trauma medula spinalis diperkirakan 48% dalam 24 jam pertama, dan lebih
kurang 80% meninggal ditempat kejadian, ini disebabkan vertebra servikalis yang memiliki resiko trauma
yang paling besar, dengan level tersering C5, diikuti C4, C6 , dan kemudian T12, L1 dan T10. 10

Cedera medula spinalis akut tulang belakang merupakan penyebab yang palingsering dari
kecacatan dan kelemahan setelah trauma, karena alasan ini, evaluasi dan pengobatan pada cedera
tulang belakang, spinal cord dan nerve roots memerlukan pendekatan yang terintegrasi. Diagnosa

1
dini, preservasi fungsi spinal cord dan pemeliharaan aligment dan stabilitas merupakan kunci
keberhasilan manajemen.

A. Anatomi Vertebra
Tulang belakang atau vertebra adalah tulang tak beraturan yang membentuk punggung
yang mudah digerakkan. terdapat 33 tulang punggung pada manusia, 7 tulang cervical, 12 tulang
thorax (thoraks atau dada), 5 tulang lumbal, 5 tulang sacral, dan 4 tulang membentuk tulang ekor
(coccyx). Sebuah tulang punggung terdiri atas dua bagian yakni bagian anterior yang terdiri dari
badan tulang atau corpus vertebrae, dan bagian posterior yang terdiri dari arcus vertebrae.

Gambar 1. Tulang belakang

Medula spinalis mulai dari akhir medulla oblongata di foramen magnum sampai konus
medullaris di level Tulang Belakang L1-L2. Medulla Spinalis berlanjut menjadi Kauda Equina (di
Bokong) yang lebih tahan terhadap cedera.

Medula spinalis diperdarahi oleh 2 susunan arteri yang mempunyai hubungan istemewa,
yaitu arteri spinalis dan arteri radikularis. Arteri spinalis dibagi menjadi arteri spinalis anterior
dan posterior yang berasal dari arteri vertebralis, sedangkan arteri radikularis dibagi menjadi
arteri radikularis posterior dan anterior yang dikenal juga ramus vertebromedularis arteria
interkostalis. Medula Spinalis disuplai oleh arteri spinalis anterior dan arteri spinalis posterior.
Nervus spinalis/akar nervus yang berasal dari medula spinalis melewati suatu lubang di vertebra
yang disebut foramen dan membawa informasi dari medula spinalis sampai ke bagian tubuh dan
dari tubuh ke otak.

Ada 31 pasang nervus spinalis dan dibagi dalam empat kelompok nervus spinalis, yaitu :

2
a. nervus servikal : berperan dalam pergerakan dan perabaan pada lengan, leher, dan anggota
tubuh bagian atas

b. nervus thorak : mempersarafi tubuh dan perut

c. nervus lumbal dan nervus sakral : mempersarafi tungkai, kandung kencing, usus dan genitalia.

Gambar 2. Hubungan nervus spinalis dengan vertebra

B. Fisiologi Sistem Saraf

Susunan neuromuskular terdiri dari Upper motor neuron (UMN) dan lower motor neuron
(LMN). Upper motor neurons (UMN) merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang
menyalurkan impuls dan area motorik di korteks motorik cerebrum sampai inti-inti motorik di
saraf kranial di batang otak sampai cornu anterior medulla spinalis. Berdasarkan perbedaan
anatomik dan fisiologik kelompok UMN dibagi dalam susunan piramidal dan susunan
ekstrapiramidal. Susunan piramidal terdiri dari traktus kortikospinal dan traktus kortikobulbar.
Traktus kortikobulbar fungsinya untuk geraakan-gerakan otot kepala dan leher, sedangkan traktus
kortikospinal fungsinya untuk gerakan-gerakan otot tubuh dan anggota gerak. Sedangkan lower
motor neuron (LMN), yang merupakan kumpulan saraf-saraf motorik yang berasal dari cornu
anterior medulla spinalis sampai ke efektor dilanjutkan ke berbagai otot dalam tubuh seseorang.

3
Dari otak medula spinalis turun ke bawah kira-kira ditengah punggung dan dilindungi
oleh cairan jernih yaitu cairan serebrospinal. Medula spinalis terdiri dari berjuta-juta saraf yang
mentransmisikan informasi elektrik dari dan ke ekstremitas, badan, oragan-organ tubuh dan
kembali ke otak. Otak dan medula spinalis merupakan sistem saraf pusat dan yang mehubungkan
saraf-saraf medula spinalis ke tubuh adalah sistem saraf perifer. Medula spinalis terdiri atas
traktus ascenden (yang membawa informasi di tubuh menuju ke otak seperti rangsang raba, suhu,
nyeri dan gerak posisi) dan traktus descenden (yang membawa informasi dari otak ke anggota
gerak dan mengontrol fungsi tubuh).

Motorneuron dengan aksonnya merupakan satu-satunya saluran bagi impuls motorik


yang dapat menggerakkan serabut otot. Bilamana terjadi kerusakan pada motorneuron, maka
serabut otot yang tergabung dalam unit motoriknya tidak dapat berkontraksi, kendatipun impuls
motorik masih dapat disampaikan oleh sistem pyramidal dan ekstrapiramidal kepada tujuannya.

 UMN dibagi menjadi 2 sistem, yaitu:

1. Sistem Piramidal

•Mulai dari sel-sel neuron di lapisan V koreks precentralis (area 4 Brodmann)

•Neuron-neuron tersebut tertata di daerah gyrus precentralis yang mengatur gerakan


tubuh tertentu → penataan somatotropik

4
•Serabut-serabut eferen berupa akson-akson neuron di girus precentralis turun ke neuron-
neuronyang menyusun inti saraf otak motorik, terbagi menjadi 2:

 Di brain stem melalui traktus kortikobulbarisFungsi: gerakan otot-otot kepala serta


leher

 Di kornu anterior medula spinalis melalui traktus kortikospinalismempersarafisel-sel


motorik batang otak secara bilateral, kecuali nervus VII dan XII Fungsi: menyalurkan
impuls motorik untuk gerakan-gerakan tangkas otot-otot tubuh dan anggota gerak.

Kelainan traktus piramidalis setinggi :

Hemisfer : Hemiparese tipikal(gangguan ekstremitas sesisi dengan nervus


cranialis dan kontralateral terhadap lesi).

Batang otak : Hemiparesis alternans(gangguan ekstremitas kontralateral


terhadap lesi dan nervus cranialisnya).

Medulla spinalis : Tetra/Paraparese

2. Sistem Ekstrapiramidal

Dimulai dari serebral korteks, basal ganglia, subkortikal nukleus secara tidak langsung ke
spinal cord  melalui multisynap conection

Inti-inti yang menyusun ekstrapyramidal:

1.Korteks motorik tambahan (area 4s, 6, 8).

2.Ganglia basalis (Nucleus kaudatus, Putamen, Globus pallidus, substansia nigra),


Korpus subtalamikum (Luysii), Nucleus ventrolateralis Talami.

3.Nucleus ruber & substansia retikularis batang otak.

4.Cerebellum

Berfungsi untuk gerak otot dasar /gerak tonic, pembagian tonus secara harmonis,
mengendalikan aktifitas piramidal.

Gangguan pada ekstrapiramidal : Kekakuan, rigiditas, ataksia, tremor, balismus, khorea,


atetose.

LMN

5
Merupakan neuron-neuron yang menyalurkan impuls motoric pada bagian perjalanan
terakhir (dari kornuanterior medulla spinalis) ke sel otot skeletal (final common pathway
motoric impuls).

LMN dibagi menjadi:

 α-motoneuron  besar, akson tebal, menyalurkan impuls ke serabut otot ekstrafusal


 γ-motoneuron  kecil, akson halus, menyalurkan impuls ke serabut otot
intrafusal
 Tiap motorneuron menjulurkan 1 akson yang bercabang-cabang dan tiap cabangnya
mensarafi seutas serabut otot. Otot untuk gerakan tangkas terdiri dari banyak unit
motoric yang kecil-kecil, sedangkan otot untuk gerakan sederhana terdiri dari kesatuan
motoric besar berjumlah sedikit.
 Pola impuls motoric dari lintasan pyramidal menyalurkan impuls ke system output
striatal extrapyramidal, fungsinya untuk menggalakkan/menghambat α-γ-motoneuron.
Bila hubungan antara UMN dan LMN diputus, motoneuron masih bisa menggerakkan
otot, akan tetapi gerakannya tidak sesuai dan cenderung reflektorik, massif. Namun
bila motoneuronnya yang rusak, impuls tetap disampaikan, namun otot yang
terhubungan tidak bisa digerakkan sehingga menimbulkan atrofi otot.

C. GANGGUAN MEDULLA SPINALIS


 Cedera Traumatik

6
 Terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti yang diakibatkan oleh kecelakaan
kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak medula spinalis.
 Hagen dkk (2009) mendefinisikan cedera medula spinalis traumatik sebagai lesi
traumatik pada medula spinalis dengan beragam defisit motorik dan sensorik atau
paralisis.
 Sesuai dengan American Board of Physical Medicine and Rehabilitation Examination
Outline for Spinal Cord Injury Medicine, cedera medula spinalis traumatik mencakup
fraktur, dislokasi dan kontusio dari kolum vertebra.
 Cedera Non Traumatik
 Terjadi ketika kondisi kesehatan seperti penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan
kerusakan pada medula spinalis, atau kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang
bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal.
 Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup penyakit motor neuron, myelopati
spondilotik, penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler,
kondisi toksik dan metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan
Ada dua tipe lesi, yaitu :
 Lesi komplit
Menyebabkan kehilangan kontrol fungsi motorik dan sensorik secara total dari bagian dibawah
lesi. Penyembuhan jauh lebih kecil dibandingkan lesi inkomplit.
 Lesi Inkomplit
Menyebabkan terjadi kelumpuhan otot ringan (parese) dan atau mungkin kerusakan sensorik.
Sindrom sumsum tulang belakang inkomplit meliputi the anterior cord syndrome, the Brown-
Séquard syndrome, dan the central cord syndrome. Sindrom lainnya meliputi the conus
medullaris syndrome, the cauda equina syndrome, dan spinal cord concussion.
 Sindroma korda anterior
Terjadi akibat gaya fleksi dan rotasi pada vertebra menyebabkan dislokasi ke anterior atau
akibat fraktur kompresi dari corpus vertebra dengan penonjolan tulang ke kanalis
vertebra.
 Sindroma korda sentralis
Biasanya dijumpai pada orang tua dengan spondilosis servikal. Cedera hiperekstensi
menyebabkan kompresi medula spinalis antara osteofit ireguler dari corpus vertebra di
anterior dengan ligamentum flavum yang menebal di posterior.
 Sindroma korda posterior
Sindroma ini umumnya dijumpai pada hiperekstensi dengan fraktur pada elemen
posterior dari vertebra.
 Sindroma Brown-sequard
Secara klasik terjadi akibat cedera tusukan tetapi juga sering dijumpai pada fraktur massa
lateral dari vertebra. Tanda dari sindroma ini sesuai dengan hemiseksi dari medula
spinalis.
 Conus medullaris syndrome
Adalah trauma vertebra sakral dengan atau tanpa keterlibatan saraf lumbal. Sindrom ini
ditandai arefleksia pada kandung kemih, pencernaan. Hilangnya fungsi motorik dan
sensorik pada ekstremitas bawah bervariasi.
 Cauda equina syndrome
Melibatkan trauma saraf lumbosakral dan ditandai arefleksia pada pencernaan dan /atau
kandung kemih, dengan hilangnya fungsi motorik dan sensorik ekstremitas bawah yang
bervariasi. Trauma ini biasanya disebabkan oleh herniasi diskus lumbal sentral.

7
D. Parese
Parese adalah kelemahan/kelumpuhan parsial yang ringan/tidak lengkap atau suatu
kondisi yang ditandai oleh hilangnya atau gangguan fungsi motorik pada suatu bagian tubuh
akibat lesi pada mekanisme saraf atau otot. Kelemahan adalah hilangnya sebagian fungsi otot
untuk satu atau lebih kelompok otot yang dapat menyebabkan gangguan mobilitas bagian yang
terkena. Parese pada anggota gerak dibagi mejadi 4 macam, yaitu :
 Monoparese adalah kelemahan pada satu ekstremitas atas atau ekstremitas bawah.
 Paraparese adalah kelemahan pada kedua ekstremitas bawah.
 Hemiparese adalah kelemahan pada satu sisi tubuh yaitu satu ekstremitas atas dan satu
ekstremitas bawah pada sisi yang sama.
 Tetraparese adalah kelemahan pada keempat ekstremitas.

E. Tetraparese
Tetraparese juga diistilahkan juga sebagai quadriparese, yang keduanya merupakan
parese dari keempat ekstremitas. ”tetra” dari bahasa yunani sedangkan “quadra” dari bahasa latin.
Tetraparese adalah kelumpuhan/kelemahan yang disebabkan oleh penyakit atau trauma pada
manusia yang menyebabkan hilangnya sebagian fungsi motorik pada keempat anggota gerak,
dengan kelumpuhan/kelemahan lengan lebih atau sama hebatnya dibandingkan dengan tungkai.
Hal ini diakibatkan oleh adanya kerusakan otak, kerusakan tulang belakang pada tingkat tertinggi
(khususnya pada vertebra cervikalis), kerusakan sistem saraf perifer, kerusakan neuromuscular

8
atau penyakit otot. Kerusakan diketahui karena adanya lesi yang menyebabkan hilangnya fungsi
motorik pada keempat anggota gerak, yaitu lengan dan tungkai. Penyebab khas pada kerusakan
ini adalah trauma (seperti tabrakan mobil, jatuh atau sport injury) atau karena penyakit (seperti
mielitis transversal, polio, atau spina bifida).
Pada tetraparese kadang terjadi kerusakan atau kehilangan kemampuan dalam
mengontrol sistem pencernaan, fungsi seksual, pengosongan saluran kemih dan rektum, sistem
pernafasan atau fungsi otonom. Selanjutnya, dapat terjadi penurunan/kehilangan fungsi sensorik.
adapun manifestasinya seperti kekakuan, penurunan sensorik, dan nyeri neuropatik. Walaupun
pada tetraparese itu terjadi kelumpuhan pada keempat anggota gerak tapi terkadang tungkai dan
lengan masih dapat digunakan atau jari-jari tangan yang tidak dapat memegang kuat suatu benda
tapi jari-jari tersebut masih bisa digerakkan, atau tidak bisa menggerakkan tangan tapi lengannya
masih bisa digerakkan. Hal ini semua tergantung dari luas tidaknya kerusakan.

F. Etiologi
Penyebab umum dari tetraparase, yaitu :
- Complete/incomplete transection of cord with fracture
- Prolapsed disc
- Cord contusion-central cord syndrome, anterior cordsyndrome
- Guillain-Barre Syndrome (post infective polyneuropathy)
- Transverse myelitis Acute myelitis
- Anterior spinal artery occlusion
- Spinal cord compression
- Haemorrhage into syringomyelic cavaty
- Poliomyelitis

G. Epidemiologi
Tetraparese salah satunya disebabkan karena adanya cedera pada medula spinalis.
menurut Pusat Data Nasional Cedera Medula Spinalis (The National Spinal Cord Injury Data
Research Centre) memperkirakan ada 10.000 kasus baru cedera medula spinalis setiap tahunnya
di Amerika Serikat. Angka insidensi paralisis komplet akibat kecelakaan diperkirakan 20 per
100.000 penduduk, dengan angka tetraparese 200.000 per tahunnya. Kecelakaan kendaraan
bermotor merupakan penyebab utama cedera medula spinalis.
Cedera medula spinalis dapat dibagi menjadi komplet dan in komplet berdasarkan
ada/tidaknya fungsi yang dipertahankan di bawah lesi. Pembagian ini penting untuk meramalkan
prognosis dan penanganan selanjutnya.. Data di Amerika Serikat menunjukkan urutan frekuensi
disabilitas neurologis karena cedera medula spinalis traumatika sbb : (1) tetraparese inkomplet
(29,5%), (2)paraparese komplet (27,3%), (3) paraparese inkomplet (21,3%), dan (4) tetraparese
komplet (18,5%).

H. Klasifikasi Tetraparese
Pembagian tetraparese berdasarkan kerusakan topisnya
a. Tetrapares spastik
Tetraparese spastik terjadi karena kerusakan yang mengenai upper motor neuron (UMN),
sehingga menyebabkan peningkatan tonus otot atau hipertoni.
b. Tetraparese flaksid
Tetraparese flaksid terjadi karena kerusakan yang mengenai lower motor neuron (LMN),
sehingga menyebabkan penurunan tonus atot atau hipotoni.

9
I. Patofisiologi Tetraparese
Tetraparese dapat disebabkan karena kerusakan Upper Motor Neuron (UMN) atau
kerusakan Lower Motor Neuron (LMN). Kelumpuhan/kelemahan yang terjadi pada kerusakan
Upper Motor Neuron (UMN) disebabkan karena adanya lesi di medula spinalis. Kerusakannya
bisa dalam bentuk jaringan scar, atau kerusakan karena tekanan dari vertebra atau diskus
intervetebralis. Hal ini berbeda dengan lesi pada LMN yang berpengaruh pada serabut saraf yang
berjalan dari horn anterior medula spinalis sampai ke otot.
Pada columna vertebralis terdapat nervus spinalis, yaitu nervus servikal, thorakal, lumbal,
dan sakral. Kelumpuhan berpengaruh pada nervus spinalis dari servikal dan lumbosakral dapat
menyebabkan kelemahan/kelumpuhan pada keempat anggota gerak. Wilayah ini penting, jika
terjadi kerusakan pada daerah ini maka akan berpengaruh pada otot, organ, dan sensorik yang
dipersarafinya.
Ada dua tipe lesi, yaitu lesi komplit dan inkomplit. Lesi komplit dapat menyebabkan
kehilangan kontrol otot dan sensorik secara total dari bagian dibawah lesi, sedangkan lesi
inkomplit mungkin hanya terjadi kelumpuhan otot ringan (parese) dan atau mungkin kerusakan
sensorik. Lesi pada UMN dapat menyebabkan parese spastic sedangkan lesi pada LMN
menyebabkan parese flacsid.
 Lesi di Mid- or upper cervical cord
Tiap lesi di medula spinalis yang merusak daerah jaras kortikospinal lateral menimbulkan
kelumpuhan Upper Motor Neuron (UMN) pada otot-otot bagian tubuh yang terletak di bawah
tingkat lesi. Lesi transversal medula spinalis pada tingkat servikal, misalnya C5 mengakibatkan
kelumpuhan Upper Motor Neuron (UMN) pada otot-otot tubuh yang berada dibawah C5, yaitu
sebagian otot-otot kedua lengan yang berasal yang berasal dari miotom C6 sampai miotomC8,
lalu otot-otot thoraks dan abdomen serta segenap otot kedua tungkai yang mengakibatkan
kelumpuhan parsial dan defisit neurologi yang tidak masif di seluruh tubuh. Lesi yang terletak di
medula spinalis tersebut maka akan menyebabkan kelemahan/kelumpuhan keempat anggota
gerak yang disebut tetraparese spastik.

 Lesi di Low cervical cord


Lesi transversal yang merusak segmen C5 ke bawah itu tidak saja memutuskan jaras
kortikospinal lateral, melainkan ikut memotong segenap lintasan asendens dan desendens lain.

10
Disamping itu kelompok motoneuron yang berada didalam segmen C5 kebawah ikut rusak. Ini
berarti bahwa pada tingkat lesi kelumpuhan itu bersifat Lower Motor Neuron (LMN) dan
dibawah tingkat lesi bersifat Upper Motor Neuron (UMN). Dibawah ini kelumpuhan Lower
Motor Neuron (LMN) akan diuraikan menurut komponen-komponen Lower Motor Neuron
(LMN)
Motoneuron-motoneuron berkelompok di kornu anterius dan dapat mengalami gangguan
secara selektif atau terlibat dalam satu lesi bersama dengan bangunan disekitarnya, sehingga di
dalam klinik dikenal sindrom lesi di kornu anterius, sindrom lesi yang selektif merusak
motoneuron dan jaras kortikospinal,sindrom lesi yang merusak motoneuron dan funikulus
anterolateralis dan sindrom lesi di substantia grisea sentralis . Lesi ini biasanya disebabkan karena
adanya infeksi, misalnya poliomielitis. Pada umumnya motoneuron-motoneuron yang rusak
didaerah intumesensia servikal dan lumbalis sehingga kelumpuhan LMN adalah anggota gerak
Kerusakan pada radiks ventralis (dan dorsalis) yang reversibel dan menyeluruh dapat terjadi.
Kerusakan itu merupakan perwujudan reaksi imunopatologik. walaupun segenap radiks
(ventralis/dorsalis) terkena, namun yang berada di intumesensia servikalis dan lumbosakralis
paling berat mengalami kerusakan. Karena daerah ini yang mengurus anggota gerak atas dan
bawah. Pada umumnya bermula dibagian distal tungkai kemudian bergerak ke bagian
proksimalnya. Kelumpuhannya meluas ke bagian tubuh atas, terutama otot-otot kedua lengan.
Kelainan fungsional sistem saraf tepi dapat disebabkan kelainan pada saraf di sumsum tulang
belakang atau kelainan sepanjang saraf tepi sendiri. Salah satu penyakit dengan lesi utama pada
neuron saraf perifer adalah polineuropati.
Lesi di otot dapat berupa kerusakan struktural pada serabut otot atau selnya yang
disebabkan infeksi, intoksikasi eksogen/endogen, dan degenerasi herediter. Karena serabut otot
rusak, kontraktilitasnya hilang dan otot tidak dapat melakukan tugasnya. Penyakit di otot bisa
berupa miopati dan distrofi, dapat menyebabkan kelemahan di keempat anggota gerak biasanya
bagian proksimal lebih lemah dibanding distalnya. Pada penderita distrofia musculorum enzim
kreatinin fosfokinase dalam jumlah yang besar, sebelum terdapat manifestasi dinikadar enzim ini
di dalam serum sudah jelas meningkat. akan tetapi mengapa enzim ini dapat beredar didalam
darah tepi masih belum diketahui. Di samping kelainan pada sistem enzim, secara klinis juga
dapat ditentukan kelaian morfologik pda otot. jauh sebelum tenaga otot berkurang sudah terlihat
banyak sel lemak (liposit) menyusup diantara sel-sel serabut otot. Ketika kelemahan otot menjadi
nyata, terdapat pembengkakan dan nekrosis-nekrosis serabut otot. Seluruh endoplasma serabut
otot ternyata menjadi lemak. Otot-otot yang terkena ada yang membesar dan sebagian mengecil.
Pembesaran tersebut bukan karena bertambahnya jumlah serabut otot melainkan karena
degenerasi lemak. Kelemahan otot (atrofi otot) dapat kita jumpai pada beberapa penyakit.

J. Tetraparese dapat dijumpai pada beberapa keadaan

a. Sindrom Guillain Barre (SGB)

Adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang mengenai radiks spinalis
dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang biasanya timbul setelah
suatu infeksi. Manifestasi klinis utama dari SGB adalah suatu kelumpuhan yang simetris
tipe lower motor neuron dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka.

11
Akibat suatu infeksi atau keadaan tertentu yang mendahului SGB akan timbul
autoantibodi atau imunitas seluler terhadap jaringan sistim saraf-saraf perifer. Infeksi-
infeksi meningokokus, infeksi virus, sifilis ataupun trauma pada medula spinalis, dapat
menimbulkan perlekatan-perlekatan selaput araknoid. Di negara-negara tropik
penyebabnya adalah infeksi tuberkulosis. Pada tempat-tempat tertentu perlekatan pasca
infeksi itu dapat menjirat radiks ventralis (sekaligus radiks dorsalis). Karena tidak
segenap radiks ventralis terkena jiratan, namun kebanyakan pada yang berkelompokan
saja, maka radiks-radiks yang diinstrumensia servikalis dan lumbosakralis saja yang
paling umum dilanda proses perlekatan pasca infeksi. Oleh karena itu kelumpuhan LMN
paling sering dijumpai pada otot-otot anggota gerak, kelompok otot-otot di sekitar
persendian bahu dan pinggul. Kelumpuhan tersebut bergandengan dengan adanya
defisitsensorik pada kedua tungkai atau otot-otot anggota gerak.

Secara patologis ditemukan degenerasi mielin dengan edema yang dapat atau
tanpa disertai infiltrasi sel. Infiltrasi terdiri atas sel mononuklear. Sel-sel infiltrat terutama
terdiri dari sel limfosit berukuran kecil, sedang dan tampak pula, makrofag, serta sel
polimorfonuklear pada permulaan penyakit. Setelah itu muncul sel plasma dan sel mast.
Serabut saraf mengalami degenerasi segmental dan aksonal. Lesi ini bisa terbatas pada
segmen proksimal dan radiks spinalis atau tersebar sepanjang saraf perifer. Predileksi
pada radiks spinalis diduga karena kurang efektifnya permeabilitas antara darah dan saraf
pada daerah tersebut

Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower


motor neuron. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas
bawah kemudian menyebar secara asenden ke badan, anggota gerak atas dan saraf
kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak,
kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis.

Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia.
Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal,
tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal

b. Mielitis transversa
Dapat menyebabkan satu sampai dua segmen medula spinalis rusak sekaligus,
infeksi dapat langsung terjadi melalui emboli septik, luka terbuka ditulang belakang,
penjalaran osteomielitis atau perluasan proses meningitispiogenik. Istilah mielitis tidak
hanya digunakan jika medula spinalis mengalami peradangan, namun juga jika lesinya
mengalami peradangan dan disebabkan oleh proses patologik yang mempunyai hubungan
dengan infeksi. Adakalanya reaksi imunologik timbul di medula spinalis setelah beberapa
minggu sembuh dari penyakit viral. Pada saat itu sarang-sarang reaksi imunopatologik
yang berukuran kecil tersebar secara difus sepanjang medula spinalis. Serabut-serabut
asenden dan desenden panjang dapat terputus oleh salah satu lesi yang tersebar luas,
sehinggadapat menimbulkan kelumpuhan parsial dan defisit sensorik yang tidak masif di
seluruh tubuh atau yang dikenal dengan istilah tetraparese.
c. Poliomielitis

12
adalah peradangan pada daerah medula spinalis yang mengenai substantia grisea.
Jika lesi mengenai medula spinalis setinggi servikal atas maka dapat menyebabkan
kelemahan pada anggota gerak atas dan bawah.
Pada umumnya kelompok motoneuron di segmen-segmen intumesensia servikal
dan lumbalis merupakan substrat tujuan viral. Tahap kelumpuhan bermula pada akhir
tahap nyeri muskular. Anggota gerak yang dilanda kelumpuhan LMN adalah ekstremitas.

d. Polineuropati

adalah kelainan fungsi yang berkesinambungan pada beberapa saraf perifer di


seluruh tubuh. Penyebab karena infeksi bisa menyebabkan polineuropati, kadang karena
racun yang dihasilkan oleh beberapabakteri (misalnya pada difteri) atau karena reaksi
autoimun, bahan racun bisa melukai saraf perifer dan menyebabkan polineuropati atau
mononeuropati (lebih jarang), kanker bisa menyebabkan polineuropati dengan menyusup
langsung ke dalam saraf atau menekan saraf atau melepaskan bahan racun, kekurangn
gizi dan kelainan metabolik juga bisa menyebabkan polineuropati.

Kekurangan vitamin B bisa mengenai saraf perifer di seluruh tubuh, penyakit


yang bisa menyebabkan polineuropati kronik (menahun) adalah diabetes, gagal ginjal dan
kekurangan gizi (malnutrisi) yang berat. Polineuropati kronik cenderung berkembang
secara lambat (sampai beberapa bulan atau tahun) dan biasanya dimulai di kaki (kadang
di tangan).

Kelainan pada saraf perifer dijumpai sebagai berikut : tiga sampai empat hari
pertama pembengkakan dan menjadi irreguler dari selubung myelin. Hari ke lima terjadi
desintegrasi myelin dan pembengkakan aksis silinder. Pada hari ke sembilan timbul
limfosit, hari ke sebelas timbul fagosit dan pada hari ketiga belas proliferasi Schwan sel.
Kesemutan, mati rasa, nyeri terbakar dan ketidakmampuan untuk merasakan getaran atau
posisi lengan, tungkai dan sendi merupakan gejala utama dari polineuropati kronik.
Nyeri seringkali bertambah buruk di malam hari dan bisa timbul jika menyentuh daerah
yang peka atau karena perubahan suhu. Ketidakmampuan untuk merasakan posisi sendi
menyebabkan ketidakstabilan ketika berdiri dan berjalan. Pada akhirnya akan terjadi
kelemahan otot dan atrofi (penyusutan otot). Kelumpuhan biasanya timbul sesudah tidak
ada panas,kelumpuhan otot biasanya bilateral dan simetris dengan tipe "lower motor
neuron”dengan penyebaran kelumpuhan yang bersifat ascending yaitu mulai
dariekstrimitas bawah yang menjalar ke ekstrimitas atas, tetapi bisa pula descending yaitu
mulai dari ekstrimitas atas yang turun ke ekstrimitas bawah .

e. Miastenia Grafis

Miastenia grafis adalah penyakit neuromuskular yang menyebabkan otot skelet


menjadi lemah dan lekas lelah. Kelelahan/kelemahan ini disebabkan karena sirkulasi
antibodi yang memblok acetylcholine receptors pada post sinaptik neuromuscular
junction, stimulasi penghambatan ini berpengaruh pada. neurotransmiter asetilkolin.
Manifestasi klinisnya dapat berupa kelemahan pada otot yang mengatur pergerakan mata,

13
kelemahan otot pada lengan dan tungkai, perubahan ekspresi wajah, disfagia, dan
disartria

f. Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)

Penyakit Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS) adalah suatu kelainan yang


progresif dari sistem saraf yang banyak terjadi pada orang dewasa dengan penyakit
motoneuron. Kondisi tersebut menyebabkan degenerasi saraf motorik bagian atas (brain)
dan saraf motorik bagian bawah (spinal cord) dengan kombinasi tanda upper motor
neuron (UMN) dan lower motor neuron (LMN).

Penurunan kualitas saraf ini, menyebabkan kelemahan pada otot dan dapat
berakhir pada kematian Proses degenerasi hanya menyerang pada neuron motorik, yaitu
sel-sel saraf yang mengatur pergerakkan otot. Akibat kelemahan itu, kemampuan tubuh
untuk mengatur gerakan otot yang disadari akan hilang secara perlahan-lahan. Misalnya,
memegang, menjentik, menggaruk, dan sebagainya. Namun penyakit ini tidak
mempengaruhi saraf sensoris (perasa) dan fungsi mental. Meskipun penyebab pasti ALS
belum diketahui, teori yang dikenal saat ini menyatakan neurotransmiter glutamat (suatu
zat kimia yang menghantarkan impuls atau sinyal ke sel-sel saraf) kemungkinan
memegang peranan sebagai penyebab matinya sel-sel saraf motorik. Zat-zat kimia
lainnya, seperti molekul radikal bebas dan kalsium kemungkinan juga ikut terlibat.
Penyakit ALS mengakibatkan sistem neuromuscular tidak berfungsi karena kedua saraf
motorik penderita ALS telah rusak. Seiring berjalannya waktu, penyakit ALS
menyebabkan saraf–saraf motorik yang berada di otak dan batang tubuh mengecil, dan
pada akhirnya menghilang. Akibatnya, otot – otot tubuh tidak lagi mendapat sinyal untuk
bergerak. Karena otot yang berada dalam tubuh kehilangan pemasok nutrisinya, sehingga
otot–otot yang menjadi lebih kecil dan melemah. Saraf-saraf di dalam sistem
neuromuscular yang memberi nutrisi ke otot-otot tersebut terlokalisir, sehingga
menyebabkan tumbuhnya jaringan yang rusak mengantikan saraf–saraf yang normal.

K. Skala Kerusakan Berdasarkan American Spinal Injury Association (ASIA)

14
L. Tatalaksana Cedera Medulla Spinalis

1. Penatalaksanaan Pra-Rumah Sakit


Penatalaksanaan TMS dimulai segera setelah terjadinya trauma. Berbagai studi
memperlihatkan pentingnya penatalaksanaan prarumah sakit dalam menentukan prognosis
pemulihan neurologis pasien TMS.
Evaluasi
Fase evaluasi meliputi observasi primer dan sekunder. Observasi primer terdiri atas:
A: Airway maintenance dengan kontrol pada vertebra spinal
B: Breathing dan ventilasi
C: Circulation dengan kontrol perdarahan
D: Disabilitas (status neurologis)
E: Exposure/environmental control
Klasifikasi trauma medula spinalis komplet atau inkomplet serta level trauma dapat diketahui
melalui pemeriksaan motorik dan sensorik. Pemeriksaan motorik dilakukan secara cepat
dengan meminta pasien menggenggam tangan pemeriksa dan melakukan dorsofleksi. Fungsi
autonom dinilai dengan melihat ada tidaknya retensi urin, priapismus,atau hilang tidaknya
tonus sfi ngter ani. Temperatur kulit yang hangat dan adanya flushing menunjukkan hilangnya
tonus vaskuler simpatis di bawah level trauma.
2. Penatalaksanaan Gawat Darurat
a. Stabilisasi vertebra
Instabilitas vertebra berisiko merusak saraf. Vertebra servikal dapat diimobilisasi sementara
menggunakan hard cervical collar dan meletakkan bantal pasir pada kedua sisi kepala. Bila
terdapat abnormalitas struktur vertebra, tujuan penatalaksanaan adalah realignment dan
fiksasi segmen bersangkuta.n Indikasi operasi meliputi fraktur tidak stabil, fraktur yang tidak
dapat direduksi dengan traksi, gross spinal misalignment, kompresi medula spinalis pada
trauma inkomplet, penurunan status neurologis, dan instabilitas menetap pada manajemen
konservatif.
b. Medikamentosa
Selain faktor mekanik yang merusak fungsi medula spinalis, perfusi jaringan dan oksigenasi
juga mempengaruhi luasnya kerusakan akibat stres mekanik. Proses lain yang terjadi di
daerah trauma dapat berupa edema, perdarahan, degenerasi akson, demielinisasi, juga dapat
mengubah bioenergetik seluler. Pada tingkat seluler, terjadi peningkatan kadar asam amino
eksitatorik, glutamat, produksi radikal bebas, opioid endogen serta habisnya cadangan
ATPyang pada akhirnya menyebabkan kematian sel. Bertambahnya pemahaman fisiologi

15
trauma medula spinalis akan menambah pilihan terapi farmakologi. Terapi farmakologi,
seperti kortikosteroid, 21-amino steroid, antagonis reseptor opioid, gangliosida,
thyrotropinreleasing hormone (TRH), antioksidan, kalsium, termasuk golongan
imunomodulator, sedang diteliti; semuanya memberikan hasil baik namun sampai saat ini
baru kortikosteroid yang secara klinis bermakna.
c. Terapi kerusakan primer
Trauma medula spinalis paling sering menimbulkan syok neurogenik yang berhubungan
dengan beratnya trauma dan level kerusakan yang terjadi. Pada awalnya, akan terjadi
peningkatan tekanan darah, detak jantung serta nadi, dan kadar katekolamin yang tinggi,
diikuti oleh hipotensi serta bradikardia. Terapi lebih ditujukan untuk mencegah hipoperfusi
sistemik yang akan memperparah kerusakan medula spinalis, menggunakan vasopresor;
namun, penggunaan vasopresor ini harus diimbangi dengan pemantauan status cairan karena
penggunaan vasopresor yang berlebihan justru akan membuat vasokonstriksi perifer yang
akan menurunkan aliran darah ke perifer.
d. Terapi kerusakan sekunder
Merupakan sasaran terapi berikutnya karena hal ini akan memperburuk keluaran (outcome)
apabila tidak dilakukan intervensi farmakologis yang tepat mengingat patofisiologi yang
sangat variatif.
Kortikosteroid
Steroid berfungsi menstabilkan membran, menghambat oksidasi lipid, mensupresi edema
vasogenik dengan memperbaiki sawar darah medula spinalis, menghambat pelepasan
endorfin dari hipofisis, dan menghambat respons radang. Penggunaannya dimulai tahun 1960
sebagai antiinflamasi dan antiedema. Metilprednisolon menjadi pilihan dibanding steroid lain
karena kadar antioksidannya, dapat menembus membran sel saraf lebih cepat, lebih efektif
menetralkan faktor komplemen yang beredar, inhibisi peroksidasi lipid, prevensi iskemia
pascatrauma, inhibisi degradasi neurofi lamen, menetralkan penumpukan ion kalsium, serta
inhibisi prostaglandin dan tromboksan. Studi NASCIS I (The National Acute Spinal Cord
Injury Study) menyarankan dosis tinggi sebesar 30 mg/kgBB sebagai pencegahan peroksidasi
lipid, diberikan sesegera mungkin setelah trauma karena distribusi metilprednisolon akan
terhalang oleh kerusakan pembuluh darah medula spinalis pada mekanisme kerusakan
sekunder. Penelitian NASCIS II membandingkan metilprednisolon dosis30 mg/kgBB bolus
IV selama 15 menit dilanjutkan dengan 5,4mg/kgBB/jam secarainfus selama 23 jam
berikutnya dengan nalokson (antireseptor opioid) 5,4 mg/kgBB bolus IV, dilanjutkan dengan
4 mg/kgBB/ jam secara infus selama 23 jam. Hasilnya, metilprednisolon lebih baik dan dapat

16
digunakan sampai jeda 8 jam pascatrauma. Pada NASCIS III, metilprednisolon dosis yang
sama diberikan secara infus sampai 48 jam ternyata memberikan keluaran lebih baik
dibanding pemberian 24 jam. Selain itu, dicoba pula tirilazad mesilat (TM), yakni inhibitor
peroksidasi lipid nonglukokortikoid, dan ternyata tidak lebih baik dibanding
metilprednisolon. Terapi ini masih kontroversial; studi terbaru mengatakan belum ada studi
kelas 1 dan 2 yang mendasari terapi ini, serta ditemukan efek samping berupa perdarahan
lambung, infeksi, sepsis, meningkatkan lama perawatan di intensive care unit (ICU), dan
kematian.

DAFTAR PUSTAKA

Snell, Richard, Clinical Neuroanatomy for Medical Student, 5thEdition, Saunders Elsevier, 2005.

Ditunno JF, et.al., Spinal Shock Revisited; a four-phase model. Spinal Cord. 2004; 42;383-95

Mardjono M, dkk, Neurologi Klinis Dasar.1988. Jakarta : Dian Rakyat.

Huff, J.S. 2010.Spinal Cord Neoplasma. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/779872-


print

17
Syndrome Guillane Barre

1. DEFINISI
Sindrom Guillan Bare adalah suatu polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering
terjadi setelah 1 sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, GBS merupakan suatu sindroma
klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun
dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis.

2. ETIOLOGI

18
Etiologi GBS sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih
menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/ penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya
dengan terjadinya GBS, antara lain:
1. Infeksi
2. Vaksinasi
3. Pembedahan
4. Penyakit sistematik:
a) keganasan
b) systemic lupus erythematosus
c) tiroiditis
d) penyakit Addison
5. Kehamilan atau dalam masa nifas
GBS sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus GBS yang
berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi
timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal.
Telah diketahui bahwa infeksi salmonela tiposa dapat menyebabkan GBS.Kemungkinan timbulnya
sindrom Guillain-Barre pada demam tifoid perlu lebih diketahui dan disadari, khususnya di Indonesia di
mana demam tifoid masih merupakan penyakit menular yang besar.

Tabel 1.jenis - jenis infeksi yang sering menjadi penyebab GBS

19
3. PATOGENESIS
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya
demielinisasi akut pada GBS masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan
bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunologi.
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada
sindroma ini adalah:
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated immunity) terhadap
agen infeksious pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pembuluh darah saraf tepi
yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada GBS dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral
yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.

4.1 Teori-teori Imun


Faktor humoral (antibodi terhadap gangliosid) - respon seluler (aktivasi makrofag). Berbagai
laporan melaporkan adanya antibodi terhadap glikolipid, termasuk GM1, GQ1b, berbagai gangliosid lain,
seluruh komponen membran akson Histologi saraf tepi menunjukkan infiltrasi monosit perivaskuler
endoneurial dan demielinasi multifocal. Saraf-saraf tepi dapat terkena dari radiks sampai akhiran saraf
distal (poliradikuloneuropati)

4.2 Peran imunitas seluler

20
Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting disamping peran
makrofag.Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami
pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran.
Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limposit T
(CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus,
allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen
presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu
limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2),
gamma interferon serta alfa TNF. Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh
aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit
T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein
myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen.

4.3 Patologi
Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi.Dengan
mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada
hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke
lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel
schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara
progresif, sehingga pada hari ke enam puluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur.
Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit yang
ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural.Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi
segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin
disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan
dan akson.

21
Gambar 1. Sistem imunopathologi saraf pada SGB

Klasifikasi
Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:
1. Radang polineuropati demyelinasi akut (AIDP), yang merupakan jenis GBS
yang paling banyak ditemukan, dan sering disinonimkan dengan GBS. Disebabkan oleh respon
autoimun yang menyerang membrane sel Schwann.

2. Sindroma Miller Fisher (MFS), merupakan varian GBS yang jarang terjadi
dan bermanifestasi sebagai paralisis desendens, berlawanan dengan jenis GBS yang biasa terjadi.
Umumnya mengenai otot-otot okuler pertama kali dan terdapat trias gejala, yakni oftalmoplegia,
ataksia, dan arefleksia. Terdapat antibodi Anti-GQ1bdalam 90% kasus.

22
3. Neuropati aksonal motorik akut (AMAN) atau sindroma paralitik Cina, menyerang
nodus motorik Ranvier dan sering terjadi di Cina dan Meksiko. Hal inidisebabkan oleh respon
autoimun yang menyerang aksoplasma saraf perifer. Penyakit ini musiman dan penyembuhan dapat
berlangsung dengan cepat. Didapati antibodi Anti-GD1a, sementara antibodi Anti-GD3 lebih sering
ditemukan pada AMAN.

4. Neuropati aksonal sensorimotor akut (AMSAN), mirip dengan AMAN, juga menyerang
aksoplasma saraf perifer, namun juga menyerang saraf sensorik dengan kerusakan akson yang
berat. Penyembuhan lambat dan sering tidak sempurna.

5. Neuropati panautonomik akut, merupakan varian GBS yang paling jarang.


Dihubungkan dengan angka kematian yang tinggi, akibat keterlibatan kardiovaskular dan disritmia.

6. Ensefalitis batang otak Bickerstaff ’s (BBE), ditandai oleh onset akut oftalmoplegia,
ataksia, gangguan kesadaran, hiperefleksia atau refleks Babinski (menurut Bickerstaff, 1957; Al-
Din et al.,1982). Perjalanan penyakit dapat monofasik ataupun diikuti fase remisi dan relaps. Lesi
luas dan ireguler terutama pada batang otak, seperti pons, midbrain, dan medulla. Meskipun
gejalanya berat, namun prognosis BBE cukup baik.

Gambar 2.Skema
klasifikasi SGB

Gejala klinis dan kriteria diagnose


Gangguan autonom terlihat pada lebih dari 50%, gangguan otonomik biasanya bermanifestasi
sebagai takikardia tetapi bisa menjadi gangguan yang lebih serius yaitu disfungsi saraf otonom.termasuk
aritmia, hipotensi, hipertensi, dan dismotilitas Gastrointestinal.

23
Kriteria diagnosa yang umum dipakai adalah criteria dari National Institute of Neurological and
Communicative Disorder and Stroke (NINCDS), yaitu:
I. Ciri-ciri yang perlu untuk diagnosis:
 Terjadinya kelemahan yang progresif
 Hiporefleksi
II. Ciri-ciri yang secara kuat menyokong diagnosis GBS
a. Ciri-ciri klinis:
 Progresifitas: gejala kelemahan motorik berlangsung cepat, maksimal dalam 4 minggu, 50%
mencapai puncak dalam 2 minggu, 80% dalam 3 minggu, dan 90% dalam 4 minggu.
 Relatif simetris
 Gejala gangguan sensibilitas ringan
 Gejala saraf kranial ± 50% terjadi parese N VII dan sering bilateral. Saraf otak lain dapat
terkena khususnya yang mempersarafi lidah dan otot-otot menelan, kadang < 5% kasus
neuropati dimulai dari otot ekstraokuler atau saraf otak lain
 Pemulihan: dimulai 2-4 minggu setelah progresifitas berhenti, dapat memanjang sampai
beberapa bulan.
 Disfungsi otonom. Takikardi dan aritmia, hipotensi postural, hipertensi dan gejala vasomotor.
 Tidak ada demam saat onset gejala neurologis
b. Ciri-ciri kelainan cairan serebrospinal yang kuat menyokong diagnosa:
 Protein CSS. Meningkat setekah gejala 1 minggu atau terjadi peningkatan pada LP serial
 Jumlah sel CSS < 10 MN/mm3
 Varian:
- Tidak ada peningkatan protein CSS setelah 1 minggu gejala
- Jumlah sel CSS: 11-50 MN/mm3
c. Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosa:
Perlambatan konduksi saraf bahkan blok pada 80% kasus.Biasanya kecepatan hantar kurang 60% dari
normal.
Diagnosa GBS terutama ditegakkan secara klinis.BGS ditandai dengan timbulnya suatu kelumpuhan akut
yang disertai hilangnya refleks-refleks tendon dan didahului parestesi dua atau tiga minggu setelah
mengalami demam disertai disosiasi sitoalbumin pada likuor dan gangguan sensorik dan motorik perifer. 2

Tabel 2.Gejala klinis GBS

24
4. KRITERIA DIAGNOSTIK
Kelemahan ascenden dan simetris.Anggota gerak bawah terjadi lebih dulu dari anggota gerak atas.
Kelemahan otot proksimal lebih dulu terjadi dari otot distal, kelemahan otot trunkal ,bulbar dan otot
pernafasan juga terjadi. 2
Kelemahan terjadi akut dan progresif bisa ringan sampai tetraplegi dan gangguan nafas.Penyebaran
hiporefleksia menjadi gambaran utama, pasien GBS biasanya berkembang dari kelemahan nervus cranial,
seringkali kelemahan nervus fasial atau faringeal.Kelemahan diaframa sampai nervus phrenicus sudah
biasa. Sepertiga pasien GBS inap membutuhkan ventilator mekanik karena kelemahan otot respirasi atau
orofaringeal.5
1. Puncak defisit dicapai 4 minggu
2. Recovery biasanya dimulai 2-4minggu
3. Gangguan sensorik biasanya ringan bisa parasthesi, baal atau sensasi sejenis
4. Gangguan Nn cranialis: facial drop, diplopia disartria, disfagia (N. VII, VI, III, V, IX, dan X)
5. Banyak pasien mengeluh nyeri punggung dan tungkai

Menurut Maria Belladonna terdapat beberapa tanda abnormalitas


a. Abnormalitas motorik (kelemahan)
Mengikuti gejala sensorik, khas: mulai dari tungkai, ascenden ke lengan - 10% dimulai dengan
kelemahan lengan - Walaupun jarang, kelemahan bisa dimulai dari wajah (cervical-pharyngeal-brachial)

25
Kelemahan wajah terjadi pada setidaknya 50% pasien dan biasanya bilateral - Refleks: hilang / pada
sebagian besar kasus
b. Abnormalitas sensorik
Klasik : parestesi terjadi 1-2 hari sebelum kelemahan, glove & stocking sensation, simetris, tak jelas
batasnya - Nyeri bisa berupa mialgia otot panggul, nyeri radikuler, manifes sebagai sensasi terbakar,
kesemutan, tersetrum - Ataksia sensorik krn proprioseptif terganggu - Variasi : parestesi wajah & trunkus
c. Disfungsi Otonom
1) Hipertensi - Hipotensi - Sinus takikardi / bradikardi
2) Aritmia jantung - Ileus - Refleks vagal
3) Retensi urine

Gambar 3.fase perjalan


klinis

Fase-fase serangan GBS Maria Belladonna


1. Fase Prodromal
Fase sebelum gejala klinis muncul
2. Fase Laten
a. Waktu antara timbul infeksi/ prodromal yang
b. mendahuluinya sampai timbulnya gejala klinis.
c. Lama : 1 – 28 hari, rata-rata 9 hari
3. Fase Progresif
a. Fase defisit neurologis (+)
b. Beberapa hari - 4 mgg, jarang > 8 mgg.
c. Dimulai dari onset (mulai tjd kelumpuhan yg

26
d. bertambah berat sampai maksimal
e. Perburukan > 8 minggu disebut› chronic inflammatory-demyelinating polyradiculoneuropathy
(CIDP)
4. Fase Plateau
a. Kelumpuhan telah maksimal dan menetap.
b. Fase pendek :2 hr, >> 3 mg, jrg > 7 mg
5. Fase Penyembuhan
a. Fase perbaikan kelumpuhan motorik
b. beberapa bulan

5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. LCS
- Disosiasi sitoalbumin
Pada fase akut terjadi peningkatan protein LCS > 0,55 g/l, tanpa peningkatan dari sel < 10
limposit/mm3 - Hitung jenis pada panel metabolik tidak begitu bernilai.5 Peningkatan titer dari
agent seperti CMV, EBV, membantu menegakkan etiologi.
a. Antibodi glicolipid
b. Antibodi GMI

2. EMG
a. Gambaran poliradikuloneuropati
b. Test Elektrodiagnostik dilakukan untuk mendukung klinis bahwa paralisis motorik akut disebabkan
oleh neuropati perifer.
c. Pada EMG kecepatan hantar saraf melambat dan respon F dan H abnormal.
3. Ro: CT atau MRI
Untuk mengeksklusi diagnosis lain seperti mielopati.

6. DIAGNOSIS DIFERENSIAL
Kelainan batang otak :
a. Trombosis arteri basilaris dengan infark batang otak.
b. Ensefalomielitis batang otak
Kelainan medulla spinalis :
a. Mielitis transversa

27
b. Mielopati nekrotik akut
c. Kompresi neoplasma pada medulla spinalis servikal / foramen magnum
d. Mielopati akut lain
Kelainan sel kornu anterior :
a. Poliomielitis
b. Rabies
c. Tetanus
Poliradikulopati :
a. Difteri
b. Paralisis Tick
c. Logam berat : arsen, timbal, thallium, emas
d. Keracunan organofosfat
e. Heksakarbon (neuropati penghirup lem)
f. Perhexiline
g. Obat-obatan : vincristine, disulfiram, nitrofurantoin
h. Critical illness polyneuropathy

Kelainan transmisi neuromuskuler :


a. Myastenia gravis
b. Botulismus
c. Hipermagnesemi
d. Paralisis yang diinduksi antibiotika
e. Bisa gigitan ular
Miopati :
a. Polimiositis
b. Miopati akut lain, misalnya akibat induksi obat
Abnormalitas metabolik :
a. Hipokalemi
b. Hipermagnesemia
c. Hipofosfatemia
Lain-lain :
a. Histeri
b. Malingering

28
7. KOMPLIKASI
1. Paralisis menetap
2. Gagal nafas
3. Hipotensi
4. Tromboembolisme
5. Pneumonia
6. Aritmia Jantung
7. Ileus
8. Aspirasi
9. Retensi urin
10. Problem psikiatrik
GBS dapat berdampak pada kinerja dan kehidupan pribadi pasien dalam jangka waktu yang lama, dapat
sampai 3 sampai 6 tahun setelah onset penyakit. Kesembuhan biasanya berlangsung perlahan dan dapat
berlangsung bertahun-tahun.Baik pasien maupun keluarga pasien harus diberitahu tentang keadaan pasien
yang sebenarnya untuk mencegah ekspektasi yang berlebihan atau pesimistik.Kesembuhan pasien
berlangsung selama tahun – tahun pertama, terutama enam bulan pertama, tetapi pada sebagian besar
pasien dapat sembuh sempurna pada tahun kedua atau setelahnya.
Kecacatan yang permanen terlihat pada 20% - 30% pasien dewasa.tetapi lebih sedikit pada anak-
anak.Disabilitas yang lama pada dewasa lebih umum pada axonal GBS dan GBS yang berbahaya,
misalnya pada pasien dengan ventilator.
Gangguan fungsi otonomik yang serius dan fatal termasuk aritmia dan hipertensi ekstrim atau hipotensi
terjadi kurang lebih 20% dari pasien dengan GBS.gangguan lain yang signifikan adalah ileus dinamik,
hipontremia, dan defisiensi dari fungsi mukosa bronchial. 7

8. TERAPI
- Tidak ada drug of choice
- Roboransia saraf parenteral.
Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendiri.Pengobatan secara umum bersifat
simtomatik.Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu
perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap
harus diberikan.Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat
penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi).

29
1. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak
bermanfaat untuk terapi SGB.

2. Plasmaparesis
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar.
Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih
cepat, penggunaan alat bantunafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan
dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari.Plasmaparesis lebih bermanfaat
bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama).

3. Pengobatan imunosupresan
a. Imunoglobulin IV
Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena
efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan
dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh.

b. Obat sitotoksik
Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:
 6 merkaptopurin (6-MP)
 azathioprine
 cyclophosphamid
Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala.

c. Supportif:
Profilaksis DVT (heparin s.c)

d. Analgesik
Analgesic ringan atau OAINS mungkin dapat digunakan untuk meringankan nyeri ringan, namun
tidak untuk nyeri yang sangat,penelitian random control trial mendukung penggunaan gabapentin
atau carbamazepine pada ruang ICU pada perawatan SGB fase akut. Analgesic narkotik dapat
digunakan untuk nyeri dalam, namun harus melakukan monitor secara hati-hati kepada
efeksamping denervasi otonomik.terapi ajuvan dengan tricyclic antidepressant , tramadol,

30
gabapentin, carbamazepine, atau mexilitene dapat ditambahkan untuk penatalaksanaan nyeri
neuropatik jangka panjang.
Pengobatan fase akut termasuk program penguatan isometric, isotonic, isokinetic, dan manual serta
latihan secara progresif. Rehabilitasi harus difokuskan untuk posisi limbus, posture, orthotics,dan nutrisi
yang sesuai.

9. PEMULIHAN

1. 80% pasien pulih dalam waktu 6 bulan


2. 15% pulih sempurna
3. 65% pulih dengan defisit neurologis ringan yg tak pengaruhi ADL
4. 5-10% mengalami kelamahan motorik menetap
5. Pada pasien dengan kelemahan motorik menetap, pemulihan dapat berlangsung >2 tahun
6. Mortalitas: 3-5%
7. Relaps: 2-10%
8. Perburukan: 6% menjadi CIDP (Chronic Inflammatory Demyelinating Polyradiculoneuropathy)

10. PROGNOSIS

Faktor yang
mempengaruhi
buruknya
prognostik :
1. Penurunan hebat
amplitudo
potensial aksi berbagai otot
2. Umur tua
3. Kebutuhan dukungan ventilator
4. Perjalanan penyakit progresif & berat

31
Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian kecil penderita dapat
meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan
bila dengan keadaan antara lain:
a. pada pemeriksaan NCV- EMG relatif normal
b. mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset
c. progresifitas penyakit lambat dan pendek
d. pada penderita berusia 30-60 tahun

32
DAFTAR PUSTAKA

1. Japardi, Iskandar. Dr. 2002. Sindroma Guillain-Barre. Bagian Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara
2. Guillain-Barre Syndrome, an overview for the Layperson, 9th ed. Guillain-Barre Syndrome Foundation
International. 2000.
3. Teguh, Dwi. Patofisiologi guillain barre syndrome diakses melalui
http://www.scribd.com/doc/56064409/Patofisiologi-Guillain-Barre-Syndrome
4. Radinal, dkk. 2012. Guillain Barre Syndrome. Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas
Hasanudin diakses melalui http://www.scribd.com/doc/81353857/Guillain-Barre-Syndrome

33

Anda mungkin juga menyukai