Anda di halaman 1dari 4

Studi Kasus terkait Geopolitik Indonesia.

Pulau kecil yang tenang dan indah tiba-tiba menjadi hiruk pikuk suara gemuruh kapal-kapal
keruk. Kapal tersebut dengan serakahnya menyedot pasir, benda mati dan seluruh mahkluk hidup
yang ada di dalamnya. Semua diangkut ke kapal tongkang yang sudah menunggu ‘lapar’.
Inilah gambaran nyata sebagian kecil warga negara Indonesia yang sedang melakukan eksploitasi
tanah airnya demi kepentingan pribadi.
Mereka tidak mempedulikan dampak kerusakan lingkungan yang diakibatkannya. Biota laut
beserta isinya hancur-lebur. Ekosistem laut rusak menjadi bencana yang siap mengintai
masyarakat sekitar yang tak berdosa.
Dampak langsung dari kerusakan ini paling dirasakan oleh masyarakat pesisir yang kebanyakan
sebagai nelayan. Kegundahan mereka sudah terlihat sejak kedatangan kapal-kapal keruk ke
wilayah tangkapan ikan.
Hasil ikan yang diperoleh menjadi berkurang. Hal ini disebabkan seluruh isi laut disedot tanpa
pandang bulu. Tidak hanya pasir yang diangkat, tetapi telur-telur, anak ikan, terumbu karang,
serta biota lainnya juga ikut musnah.
Dampak jangka panjang yang ditimbulkan dari kegiatan penambangan pasir adalah hilangnya
pulau-pulau kecil. Hal tersebut bisa mengubah sistem perairan laut di Indonesia. Salah satu pulau
kecil dari ribuan pulau yang hampir tenggelam adalah Pulau Nipah. Pulau tak berpenghuni di
Provinisi Kepulauan Riau itu sangat penting perannya. Karena pulau tersebut merupakan tanda
dari batas kontinen negara Indonesia dengan Singapura.
Bayangkan jika pulau itu benar-benar tenggelam atau hilang, yang diuntungkan adalah
Singapura. Mereka dapat mengklaim bahwa luas wilayah negaranya bertambah. Direktur Pusat
Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim Muhamad Karim mengatakan,
penambangan pasir laut di sekitar perairan Kepulauan Riau telah berlangsung sejak 1970-an.
Penambangan tersebut sebagian besar untuk memenuhi permintaan negara tetangga, Singapura.
Karim menjelaskan, aktivitas penambangan pasir laut memiliki banyak dampak negatif.
Kerusakan yang muncul salah satunya adalah perubahan morfologi dasar laut menjadi tidak
beraturan. Perubahan itu secara langsung mengganggu kehidupan biota laut dan lingkungan di
dalamnya, seperti ekosistem dan abrasi.
Menyangkut problem penambangan ilegal atau pencurian pasir, menurut Karim, bagi negara
kegiatan penambangan pasir ilegal akan membawa kerugian yang cukup besar. Negara akan
kehilangan pendapatan dari devisa, pajak, dan cukai. Hukum tidak pernah mampu menjangkau
kegiatan ilegal/pencurian pasir. “Beberapa kasus seperti penangkapan kapal pengeruk Queen of
Nederland dan Geopotek berbendera Belanda tidak pernah sampai ke proses hukum,” kata
Karim.
Menurut Karim, volume eksploitasi yang tidak terkendali juga menyebabkan suplai pasir di pasar
menjadi besar. Posisi Singapura sebagai satu-satunya pembeli telah membentuk pasar pasir Riau
menjadi pasar monopsoni. Suplai pasir yang besar membuat harga pasir jatuh. Di sisi lain,
Singapura mampu menekan harga pasir.
Karim menilai, persoalan penambangan ilegal muncul karena tumpang tindihnya perizinan.
Sebagian perusahaan penambangan menggunakan izin pemerintah daerah, seperti Gubernur atau
Bupati. Ada pula yang menggunakan izin Kementerian Pertambangan dan Energi.
Kegiatan penambangan pasir laut, kata Karim, yang paling urgent membawa masalah besar bagi
masyarakat, khususnya nelayan di kepulauan Riau. Pengerukan pasir secara besar-besaran
berpengaruh langsung atas ketersediaan sumber daya ikan, sehingga aktivitas ekonomi di sektor
perikanan semakin terancam.
“Penyedotan pasir telah menghancurkan ekosistem pantai, terutama hilangnya pitoplankton dan
zooplankton sebagai makanan ikan dan juvenil ikan. Hal ini akan berpengaruh buruk bagi
industri perikanan yang selanjutnya akan memukul pendapatan masyarakat pesisir, khususnya
nelayan, terutama nelayan tradisional,” kata Karim.
Secara geopolitik, papar Karim, penambangan pasir untuk wilayah negara lain memunculkan
kasus baru dikemudian hari. Yaitu, persoalan batas laut antara Indonesia dengan Singapura.
Penambahan luas wilayah darat secara otomatis akan menambah klaim wilayah mereka.
“Penambahan wilayah tersebut terarah ke selatan atau wilayah Indonesia. Maka wilayah laut
Indonesia secara otomatis akan berkurang. Dengan kata lain negara Singapura melakukan
ekspansi teritotial secara tidak langsung terhadap wilayah laut Indonesia. Perluasan wilayah
Singapura tampak dari luas wilayah 633 kilometer persegi pada 1991, pada 2001 menjadi 760
km2 atau bertambah 20 persen.
“Mengingat persoalan itu, untuk meminimalkan problem yang timbul diperlukan pelarangan
tegas terhadap penambangan pasir laut. Terlebih, dari berbagai riset yang pernah dikerjakan. Di
negara lain tidak ada yang mendukung penambangan pasir berskala besar,” katanya.
Karim menilai, besarnya dampak negatif penambangan pasir laut, disebabkan tidak ada
perencanaan yang baik dan terkendali. Keadaan ini semakin memperlihatkan kecenderungan
destruktif menyusul pemberlakuan otonomi daerah yang tidak dibarengi penyiapan kelembagaan
dan pengaturan kewenangan yang jelas.
“Jika sebelum berlakunya UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah hanya
terdapat kurang dari 10 perusahaan yang memperoleh izin menambang pasir laut di sekitar
perairan Riau. Namun sekarang berkembang hingga mencapai 200 perusahaan. Sebagian besar
izin pertambangan baru tersebut diberikan oleh pemerintah daerah, baik provinsi maupun
kabupaten,” terangnya.
Laju perkembangan perizinan tersebut, bukan saja semakin menekan keseimbangan ekosistem
laut, tetapi juga telah menyebabkan jatuhnya harga pasir lantaran melonjaknya volume produksi
dengan pembeli satu-satunya, Singapura. Kasus serupa juga tidak tertutup kemungkinan terjadi
di tempat lain di seluruh perairan Indonesia.
Hal yang sama juga disoroti Direktur Eksekutif Walhi Berry Nahdian Furqon. Menurut Berry,
dampak jangka pendek dari pengerukan pasir laut adalah perubahan bentang alam. Hilangnya
sejumlah pulau kecil menyebabkan ekosistem laut yang sudah tertata rapi menjadi rusak.
“Dalam proses penambangan tingkat kekeruhan air sangat tinggi. Ini tidak bisa ditoleransi.
Terumbu karang tercemar, kematian biota laut di dalamnya pun tak bisa dihindari. Hanya
beberapa jenis biota yang bisa bertahan,” ujarnya.
Berry mengatakan, yang paling ditakutkan adalah kehancuran permanen. “Tidak mudah
mengembalikan eksistem laut seperti semula. Butuh waktu lama untuk mengembalikan semua
kerusakan,” terang pria yang dikaruniai dua anak tersebut.
Berry melanjutkan, pengerukan pasir laut juga menyebabkan abrasi pantai. Wilayah Indonesia
terus berkurang menyusul masuknya air laut ke daratan.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Berry mengimbau para penegak hukum dan pemberi
perizinanan memberantas, serta menindak tegas pelaku penambangan pasir. “Jangan mudah
memberi perizinan. Sebaiknya kaji dulu dampak lingkungan yang akan terjadi ke depan,”
tegasnya.
Namun letak geostrategis juga bisa menjadi kerugian, contohnya sebagai berikut :

Kerugian di bidang Ekonomi :


- Ekplorasi besar-besaran.
- Persaingan global.
- Negara lain mudah meniru produk Indonesia.
- Bertambahnya pengangguran karena jumlah produksi berkurang.
- Timbulnya prilaku konsumtif.

Kerugian di bidang Transportasi :


- Timbulnya masalah kemacetan.
- Krisis bahan bakar.
- Pemborosan energi.
- Polusi dan pencemaran akibat kegiatan transportasi.

Kerugian di bidang Komunikasi :


- Masuknya budaya asing yang bersifat negatif.
- Interaksi individu secara langsung mulai berkurang.
- Penyadapan rahasia negara.
- Pemborosan untuk biaya komunikasi.

Anda mungkin juga menyukai