Anda di halaman 1dari 3

BAB II

TELAAH PUSTAKA

2.1. Definisi Problem Based Learning (PBL)


PBL adalah metode belajar yang menggunakan masalah sebagai langkah awal dalam
mengumpulkan dan mengintegrasikan pengetahuan baru (Suradijono, 2004). Menurut Boud dan
Felleti (1991, dalam Saptono, 2003) menyatakan bahwa “Problem Based Learning is a way of
constructing and teaching course using problem as a stimulus and focus on student activity”.
H.S. Barrows (1982), sebagai pakar PBL menyatakan bahwa definisi PBL adalah sebuah metode
pembelajaran yang didasarkan pada prinsip bahwa masalah (problem) dapat digunakan sebagai
titik awal untuk mendapatkan atau mengintegrasikan ilmu (knowledge) baru. Dengan demikian,
masalah yang ada digunakan sebagai sarana agar anak didik dapat belajar sesuatu yang dapat
menyokong keilmuannya.
PBL adalah proses pembelajaran yang titik awal pembelajaran berdasarkan masalah dalam
kehidupan nyata lalu dari masalah ini mahasiswa dirangsang untuk mempelajari masalah
berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka punyai sebelumnya (prior
knowledge) sehingga dari prior knowledge ini akan terbentuk pengetahuan dan pengalaman
baru. Diskusi dengan menggunakan kelompok kecil merupakan poin utama dalam penerapan
PBL.
PBL merupakan satu proses pembelajaran di mana masalah merupakan pemandu utama ke arah
pembelajaran tersebut. Boud dan Tamblyn (1980) mendefinisikan PBL sebagai …the learning
which result from the process of working towards the understanding of, or resolution of, a
problem.
Menurut Duch (1995), PBL adalah metode pendidikan yang medorong siswa untuk mengenal
cara belajar dan bekerja sama dalam kelompok untuk mencari penyelesaian masalah-masalah di
dunia nyata. Simulasi masalah digunakan untuk mengaktifkan keingintahuan siswa sebelum
mulai mempelajari suatu subyek. PBL menyiapkan siswa untuk berpikir secara kritis dan
analitis, serta mampu untuk mendapatkan dan menggunakan secara tepat sumber-sumber
pembelajaran.
Margetson (1991) pula menganggap PBL sebagai konsep pengetahuan, pemahaman dan
pendidikan secara mendalam berbeda daripada kebanyakan konsep yang terletak di bawah
pembelajaran berasaskan mata kemahasiswaan. Dengan menggunakan pendekatan PBL ini,
mahasiswa akan bekerja secara kooperatif dalam kumpulan untuk menyelesaikan masalah
sebenarnya dan yang paling penting membina kemahiran untuk menjadi mahasiswa yang boleh
belajar secara sendiri (Hamizer, dkk, 2003).
Mahasiswa akan membina kebolehan berpikir secara kritis secara kontinu berkaitan dengan ide
yang dihasilkan serta apa yang akan dilakukan dengan maklumat yang diterima. (Gallagher,
1997). Di dalam melaksanakan proses pembelajaran PBL ini, Bridges (1992) dan Charlin (1998)
telah menggariskan beberapa ciri-ciri utama yang perlu ada di dalamnya seperti berikut:
1.Pembelajaran berpusat atau bermula dengan masalah.
2.Masalah yang digunakan merupakan masalah dunia sebenarnya yang mungkin akan dihadapi
oleh mahasiswa dalam kerja profesional mereka di masa depan.
3.Pengetahuan yang diharapkan dicapai oleh mahasiswa semasa proses pembelajaran disusun
berdasarkan masalah.
4.Para mahasiswa bertanggung jawab terhadap proses pembelajaran mereka sendiri.
5.Mahasiswa akan bersifat aktif dengan pemrosesan maklumat.
6.Pengetahuan sedia ada akan diaktifkan serta menyokong pembangunan pengetahuan yang
baru.
7.Pengetahuan akan diperoleh dalam konteks yang bermakna.
8.Mahasiswa berpeluang untuk meningkatkan serta mengorganisasikan pengetahuan.
9.Kebanyakan pembelajaran berlaku dalam kumpulan kecil dibanding menerusi kaidah
perkuliahan.

2.2. Metode PBL


Alder dan Milne (1997:195) mendefinisikan PBL dengan metode yang berfokus kepada
identifikasi permasalahan serta penyusunan kerangka analisis dan pemecahan. Metode ini
dilakukan dengan membentuk kelompok-kelompok kecil, banyak kerja sama dan interaksi,
mendiskusikan hal-hal yang tidak atau kurang dipahami serta berbagi peran untuk melaksanakan
tugas dan saling melaporkan.
Menurut Peterson (2004), metode PBL ini memberikan mahasiswa permasalahan yang tidak
terstruktur dengan baik dan pemecahan masalah yang tidak satu saja karena berfokus pada
pembelajaran sendiri (self-learning) serta sangat jauh dari penjelasan yang langsung ke inti atau
penjelasan yang langsung diberikan oleh pengajar.
Milne dan McConnell (2001:64-65) memberikan gambaran proses ideal dari PBL yang terlihat
dalam tabel di bawah ini:
Tabel 2.1. Proses Ideal Metode PBL
Proses
Tujuan
Hasil
Pengajar memulai sesi awal PBL dengan presentasi permasalahan yang akan dihadapi oleh
mahasiswa.
Mahasiswa terstimulus untuk berusaha menyelesaikan permasalahan di lapangan yang nantinya
bisa saja menjadi situasi nyata tempat mereka bekerja.

Belajar sesuai konteksnya


akan diingat lebih lama dan dipahami lebih mudah.
Konteksnya relevan sehingga akan lebih memotivasi.
Mahasiswa mengorganisasikan
apa yang telah mereka pahami tentang permasalahan dan mencoba mengidentifikasi
hal-hal terkait.
Apa yang diketahui?
Mahasiswa berlatih mengobservasi. Mereka ditantang untuk memahami situasi berdasarkan
pengetahuan dan pengalaman yang ada.
Belajar secara terus-menerus mengarah kepada kebiasaan. Penstimulusan pengetahuan yang ada
akan memfasilitasi integrasi pengetahuan baru.
Selama diskusi, mahasiswa mengajukan pertanyaan tentang hal-hal yang tidak mereka pahami
(Apa yang ingin diketahui?)

Mahasiswa terdorong untuk mengidentifikasi apa yang tidak mereka ketahui atau pahami. Ini
melengkapi dasar mereka dalam menghadapi tantangan belajar selanjutnya.
Belajar akan lebih baik jika mahasiswa bisa mengajukan pertanyaan dan mencari jawabannya
sendiri.
Sebelum akhir sesi pertama, pengajar mendampingi mahasiswa untuk fokus terhadap pertanyaan
yang dianggap penting. Mahasiswa menentukan cara membagi tanggung jawab untuk
menyelidiki pertanyaan (Apa yang akan dilakukan? Apa yang harus dilakukan sebagian dari
kita? Siapa yang melakukan apa?)

Mahasiswa bisa memahami hal yang terjadi secara lengkap dan belajar menggunakan
interrelating ide serta pengetahuan dari bermacam disiplin. Kerja tim dan rasa kebersamaan juga
akan berkembang.
Integrasi dari belajar membantu untuk menggabungkan pemahaman. Kerja tim dan keahlian
manajemen akan terbangun.
Setelah periode self-study, sesi kedua dilakukan. Pada awal sesi ini mahasiswa
diharapkan dapat membagi pengetahuan baru yang mereka peroleh.
Mahasiswa berlatih menukarinformasi dari bermacamsumber. Mereka membagipemahaman baru
denganmempresentasikan sertamenanyakannya.

Mahasiswa belajar cara untuk mendapatkan informasi dari bermacam sumber. Mahasiswa
belajar bagaimana untuk mempresentasikan informasi dan bagaimana bertanya.
Pengetahuan baru dan Pemahaman diaplikasikan pada permasalahan. Mahasiswa menguji
validitas dari pendekatan awal dan menyaringnya. Mahasiswa mungkin membutuhkan
penguraian solusi walaupun tidak selamanya itu penting.

Mahasiswa belajar mengaplikasikan pengetahuan baru terhadap permasalahan semula


ataupermasalahan yang akan terjadi nantinya.

Mahasiswa berlatih mentransfer pengetahuan dalam konteks nyata.

2.3. Kurikulum PBL


Pada saat ini beberapa program studi di beberapa perguruan tinggi menerapkan kurikulum
(PBL), berbeda dengan kurikulum yang dikenal selama ini yang disebut dengan kurikulum
konvensional. Kurikulum PBL bersifat sentral atau tidak lagi bersifat departemental. Perbedaan
pokok antara keduanya terletak pada aspek integrasi disiplin ilmu, struktur unit ranah, dan ciri-
ciri tiap disiplin ilmu (Supeno Djanali, 2005).
Terdapat dua jenis kurikulum PBL, yaitu hybrid PBL (hPBL) dan PBL curriculum (PBLc).
Hybrid PBL bersifat sederhana, tidak serumit PBLc. Kurikulum PBL mengubah dan
menstransformasikan seluruh kurikulum konvensional menjadi sistem blok melalui pemetaan
kurikulum dan tujuan belajar yang terintegrasi. Pada hPBL, hanya sebagian dari kurikulum
konvensional yang diubah dan ditransformasikan ke sistem blok. Dalam pelaksanaan hPBL
digunakan strategi SPICES (student centered, problem-based learning, community oriented,
early clinical exposure, self directed learning) dengan tetap memperhatikan adanya pengulangan
materi yang bersifat spiral atau helix. Model hPBL seperti ini tidak mengganggu kurikulum
konvensional yang ada (Harsono, 2005).
Setelah melalui proses ini, kurikulum yang telah tersusun perlu melalui beberapa tahap validasi
sebelum dilaksanakan. Komisi yang dapat melakukan validasi antara lain Komisi
Pengkajian Kurikulum yang dapat dibentuk di tingkat jurusan atau fakultas, atau sebagai
salah satu komisi dalam senat fakultas.

Anda mungkin juga menyukai