Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sel darah putih (leukosit) adalah sel lain yang terdapat di dalam darah. Sel
darah putih umumnya berperan dalam mempertahankan tubuh terhadap penyusupan
benda asing yang selalu dipandang mempunyai kemungkinan untuk mendatangkan
bahaya bagi kelangsungan hidup individu. Leukosit ini merupakan sel darah yang
mengkhususkan diri, tercermin dari asal usulnya, yaitu sel-sel akar (stem cells) yang
terus menerus membelah di dalam sumsum tulang (Sadikin, 2001).

Pada leukemia, sel-sel darah putih mengamuk. Tiba-tiba jauh terlalu banyak
sel-sel darah muda dan belum matang yang dihasilkan. Bila sel-sel yang belum matang
itu menumpuk, tidak ada tempat lagi bagi sel-sel dewasa. Baik sel darah putih maupun
sel darah merah dan juga bagi lempeng-lempeng darah. Kalau di tubuh tinggal sel-sel
yang belum matang, semuanya menjadi kacau. Tiba-tiba luka-luka yang kita alami
berdarah lebih lama sebab tidak ada lagi lempeng-lempeng guna menambal bagian-
bagian yang luka. Kita akan kelihatan pucat dan akan merasa capek sebab sel-sel darah
merah tidak lagi dapat membawa zat asam ke semua pelosok tubuh. Bekteri, virus dan
jamur tanpa halangan bisa masuk ke dalam darah. Sebab, sel-sel darah putih tidak dapat
mencegahnya lagi. Dalam keadaan begitu, kita benar-benar sakit (Lestari, 2012).

Leukemia adalah kanker dari salah satu jenis sel darah putih di sumsum
tulang, yang menyebabkan proliferasi salah satu jenis sel darah putih dengan
menyingkirkan jenis sel lain (Corwin, 2009). Leukemia merupakan keganasan yang
sering dijumpai tetapi hanya merupakan sebagian kecil dari kanker secara keseluruhan.
Leukemia adalah neoplasma ganas sel asal hematopoietik, timbul di sumsum tulang,
yang menyebar ke daerah sirkulasi atau organ lain. Diklasifikasikan berdasarkan tipe sel
yang terlibat (mieloid versus limfoid) dan tingkat maturitas sel leukemia.

Di beberapa negara akhir-akhir ini kasus –kasus leukemia ditemukan makin


banyak, tetapi ada yang melaporkan bahwa mortalitasnya makin menurun. Leukemia
banyak ditemukan pada dua kelompok umur, yaitu antara 3-4 tahun dan antara 70-80
tahun, tetapi lebih banyak pada golongan tua (Nasar dkk, 2010). Untuk itu sebagai

1
seseorang yang bergelut di bidang kesehatan sudah sepatutnya kita mengetahui lebih
jauh tentang seperti apa penyakit leukemia. Selanjutnya dalam makalah ini akan
dipaparkan lebih jelas tentang leukemia.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud leukemia ?
2. Apa saja etiologi leukemia ?
3. Bagaimana patofisiologi leukemia ?
4. Apa saja gejala klinis dari leukemia ?
5. Bagaimana diagnosis leukemia ?
6. Apa saja terapi yang diberikan pada leukemia ?
7. Bagaimana pencegahan leukemia ?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan leukemia.
2. Untuk mengetahui apa saja etiologi leukemia.
3. Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi leukemia.
4. Untuk mengetahui apa saja gejala klinis leukemia.
5. Untuk mengetahui bagaimana diagnosis leukemia.
6. Untuk mengetahui apa saja terpai yang diberikan pada leukemia.
7. Untuk mengetahui bagaimana pencegahan leukemia.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Defenisi Leukemia
Leukemia; dalam bahasa Yunani leukos λευκός, "putih"; aima αίμα, "darah"),
atau lebih dikenal sebagai kanker darah merupakan penyakit dalam klasifikasi kanker
(istilah medis: neoplasma) pada darah atau sumsum tulang yang ditandai oleh
perbanyakan secara tak normal atau transformasi maligna dari sel-sel pembentuk darah
di sumsum tulang dan jaringan limfoid, umumnya terjadi pada leukosit (sel darah putih).
Leukemia, mula-mula dijelaskan oleh Virchow pada tahun 1847 sebagai “darah
putih”, adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan diferensiasi dan proliferasi sel
induk hematopoietik yang secara maligna melakukan transformasi, yang menyebabkan
penekanan dan penggantian unsur sumsum yang normal (Greer dkk, 1999).
Leukemia merupakan penyakit akibat terjadinya proliferasi (pertumbuhan sel
imatur) sel leukosit yang abnormal dan ganas, serta sering disertai adanya leukosit dalam
jumlah yang berlebihan, yang dapat menyebabkan terjadinya anemia trombositopenia
(Hidayat, 2006).
Leukemia adalah tumor ganas sel hemopoietik sumsum tulang, bersifat sistemik
dan cenderung mengenai darah tepi (Nasar dkk, 2010).
Dari pengertian di atas dapat saya simpulkan bahwa leukemia adalah tumor
ganas sel hemopoietik sumsum tulang yang terjadi akibat proliferasi (pertumbuhan sel
imatur) sel leukosit, yang akhirnya berkembang dengan menyingkirkan jenis sel lain,
menyebabkan penekanan dan penggantian unsur sumsum tulang yang normal.
Berdasarkan tipe sel yang terlibat maka leukemia dapat diklasifikasikan menjadi
dua. Ketika leukemia memengaruhi limfosit atau sel limfoid, maka disebut leukemia
limfositik. Ketika leukemia memengaruhi sel mieloid seperti neutrofil, basofil, dan
eosinofil, maka disebut leukemia mielositik. Klasifikasi berdasarkan maturasi sel dibagi
dua, yaitu akut dan kronis. Jadi, klasifikasi leukemia secara umum yaitu sebagai berikut
(Handayani & Haribowo, 2012) :
1. Leukemia mielositik akut (LMA) merupakan leukemia yang mengenai sel stem
hematopoetik yang kelak berdiferensiasi ke semua sel mieloid. LMA merupakan
leukemia nonlimfositik yang paling sering terjadi.

3
2. Leukemia limfositik akut (LLA) merupakan suatu proliferasi ganas dari limfoblast.
Terjadi karena proliferasi tidak terkontrol dari limfoblast dari limfoid stem sel.
3. Leukemia mielositik kronis (LMK) merupakan suatu penyakit mieloproliferatif yang
ditandai dengan produksi berlebihan seri granulosit yang relatif matang. LMK
merupakan leukemia kronis dengan gejala yang timbul perlahan-lahan dan sel
leukemianya berasal dari transformasi sel induk mieloid.
4. Leukemia limfositik kronis (LLK) merupakan suatu proliferasi ganas limfoblast.
B. Etiologi Leukemia
Penyebab leukemia belum diketahui secara pasti, namun diketahui beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi frekuensi leukemia, seperti:
1. Radiasi
Radiasi dapat meningkatkan frekuensi LMA dan LMA. Tidak ada laporan mengenai
hubungan antara radiasi dengan LLK. Beberapa laporan yang mendukung:
a. Para pegawai radiologi lebih sering menderita leukemia.
b. Penderita dengan radioterapi lebih sering menderita leukemia.
b. Leukemia ditemukan pada korban hidup kejadian bom atom Hiroshima dan Nagasaki,
Jepang (Wikipedia).
2. Faktor leukemogenik
Terdapat beberapa zat kimia yang telah diidentifikasi dapat memengaruhi frekuensi
leukemia:
a. Racun lingkungan seperti benzena.
b. Bahan kimia industri seperti insektisida.
c. Obat untuk kemoterapi (Wikipedia).
3. Epidemiologi
Di Afrika, 10-20% penderita LMA memiliki kloroma di sekitar orbita mata. Di
Kenya, Tiongkok, dan India, LMK mengenai penderita berumur 20-40 tahun Pada orang
Asia Timur dan India Timur jarang ditemui LLK (Wikipedia).
4. Herediter
Insidensi leukemia akut pada anak-anak penderita sindrom down adalah 20 kali lebih
banyak dari pada normal. Kelainan pada kromosom 21 dapat menyebabkan leukemia
akut. Insidensi leukemia akut juga meningkat pada penderita kelainan kongenital dengan
aneuloidi, misalnya agranulositosis kongenital, sindrom Ellia van Greveld, penyakit
seliak, sindrom Bloom, anemia fanconi, sindrom klenefelter, dan sindrom trisomi D
(Handayani & Hariwibowo, 2012).

4
5. Virus
Virus dapat menyebabkan leukemia seperti retrovirus, virus leukemia feline, HTLV-1
pada dewasa (Wikipedia). Ada beberapa hasil penelitian yang mendukung teori virus
sebagai penyebab leukemia, yaitu enzyme reverse transcriptase ditemukan dalam darah
manusia. Seperti diketahui enzim ini ditemukan di dalam virus onkogenik seperti
retrovirus tipe C, yaitu jenis virus RNA yang menyebabkan leukemia pada binatang.
Enzim tersebut menyebabkan virus yang bersangkutan membentuk badan genetik yang
kemudian bergabung dengan genom yang terinfeksi (Handayani & Hariwibowo, 2012).
C. Patofisiologi Leukemia
Pada keadaan normal, sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan tubuh
terhadap infeksi. Sel ini secara normal berkembang sesuai perintah, dapat dikontrol
sesuai dengan kebutuhan tubuh. Leukemia meningkatkan produksi sel darah putih pada
sumsum tulang yang lebih dari normal. Mereka terlihat berbeda dengan sel darah normal
dan tidak berfungsi seperti biasanya. Sel leukemi memblok produksi sel darah normal,
merusak kemampuan tubuh terhadap infeksi. Sel leukemi juga merusak produksi sel
darah lain pada sumsum tulang termasuk sel darah merah dimana sel tersebut berfungsi
untuk menyuplai oksigen pada jaringan.
Analisis sitogenik menghasilkan banyak pengetahuan mengenai aberasi
kromosomal yang terdapat pada pasien dengan leukemia. Perubahan kromosom dapat
meliputi perubahan angka, yang menambahkan atau menghilangkan seluruh kromosom,
atau perubahan struktur termasuk translokasi (penyusunan kembali), delesi, inversi dan
insersi. Pada kondisi ini, dua kromosom atau lebih mengubah bahan genetik, dengan
perkembangan gen yang berubah dianggap menyebabkan mulainya proliferasi sel
abnormal.
Leukemia terjadi jika proses pematangan dari stem sel menjadi sel darah putih
mengalami gangguan dan menghasilkan perubahan ke arah keganasan. Perubahan
tersebut seringkali melibatkan penyusunan kembali bagian dari kromosom (bahan
genetik sel yang kompleks). Translokasi kromosom mengganggu pengendalian normal
dari pembelahan sel, sehingga sel membelah tidak terkendali dan menjadi ganas. Pada
akhirnya sel-sel ini menguasai sumsum tulang dan menggantikan tempat dari sel-sel
yang menghasilkan sel-sel darah yang normal. Kanker ini juga bisa menyusup ke dalam
organ lainnya termasuk hati, limpa, kelenjar getah bening, ginjal, dan otak (Jurnal
Universitas Sumatera Urara).

5
Proses patofisiologi leukemia akut dimulai dari transformasi ganas sel induk
hematologis atau turunannya. Prliferasi ganas sel induk ini menghasilkan sel leukemia
dan mengakibatkan hal-hal berikut:
1. Penekanan hematopoiesis normal, sehngga terjadi bone marrow failure.
2. Infiltrasi sel leukemia ke dalam organ, sehingga menimbulkan organomegali.
3. Katabolisme sel meningkat, sehingga terjadi keadaan hiperkatabolik (Handayani &
Hariwibowo, 2012).
D. Gejala Klinis Leukemia
Leukemia akut memperlihatkan gejala klinis yang mencolok. Leukemia kronis
berkembang secara lambat dan mungkin hanya memperlihatkan sedikit gejala sampai
stadium lanjut.
1. Kepucatan dan rasa lelah akibat anemia.
2. Infeksi berulang akibat penurunan sel darah putih.
3. Perdarahan dan memar akibat trombositopenia dan gangguan koagulasi.
4. Nyeri tulang akibat penumpukan sel di sumsum tulang, yang menyebabkan
peningkatan tekanan dan kematian sel. Tidak seperti nyeri yang semakin meningkat,
nyeri tulang berhubungan dengan leukemia biasanya progresif.
5. Penurunan berat badan karena berkurangnya nafsu makan dan peningkatan kansumsi
kalori oleh sel-sel neoplastik.
6. Limfadenopati, splenomegali, dan hepatomegali akibat infiltrasi sel leukemik ke
organ-organ limfoid dapat terjadi.
7. Gejala sistem saraf pusat dapat terjadi (Corwin, 2009).
Manifestasi leukemia akut merupakan akibat dari komplikasi yang terjadi pada
neoplasma hematopoetik secara umum. Namun setiap leukemia akut memiliki ciri
khasnya masing-masing. Secara garis besar, leukemia akut memiliki 3 tanda utama yaitu:
1. Jumlah sel di perifer yang sangat tinggi, sehingga menyebabkan terjadinya infiltrasi
jaringan atau leukostasis.
2. Penggantian elemen sumsum tulang normal yang dapat menghasilkan komplikasi
sebagai akibat dari anemia, trombositopenia, dan leukopenia.
3. Pengeluaran faktor faali yang mengakibatkan komplikasi yang signifikan
(Wikipedia).
E. Diagnosis Leukemia
Untuk menegakkan dignosis leukemia pemeriksaan diagnostik yang dapat
dilakukan sebegai berikut:

6
1. Darah lengkap  menunjukkan adanya penurunan hemoglobin, hematokrit, jumlah
sel darah merah dan trombosit. Jumlah sel darah putih meningkat pada leukemia
kronis, tetapi juga dapat turun, normal, atau tinggi pada leukemia akut.
2. Aspirasi sumsum tulang dan biopsi memberikan data diagnostik definitif.
3. Asam urat serum meningkat karena pelepasan oksipurin setelah keluar masuknya
sel–sel leukemia cepat dan penggunaan obat sitotoksik.
4. Sinar X dada  untuk mengetahui luasnya penyakit.
5. Profil kimia, EKG, dan kultur spesimen  untuk menyingkirkan masalah atau
penyakit lain yang timbul (Handayani & Hariwibowo, 2012).
Karakteristik hasil evaluasi diagnostik berdasarkan klasifikasi leukemia,
sebagai barikut (Handayani & Hariwibowo, 2012):
1. Leukemia mielositik akut
a. Pada hitung sel darah menunjukkan adanya penurunan, baik eritrosit maupun
trombosit; jumlah leukosit total bisa rendah; dan normal atau tinggi.
b. Pada pemeriksaan sumsum tulang menunjukkan kelebihan sel blast yang matur.
2. Leukemia limfositik akut
a. Pemeriksaan darah tepi yang didapatkan, sebagai berikut:
1) Ditemukan sel muda limfoblast.
2) Leukositosis (60%).
3) Kadang-kadang leukopenia (25%).
4) Jumlah leukosit neutrofil sering kali rendah.
5) Kadar hemoglobin dan trombosit rendah.
b. Pemeriksaan sumsum tulang  biasanya menunjukkan sel blast yang dominan.
3. Leukemia mielositik kronis
a. Pada pemeriksaan darah tepi didapatkan leukositosis berat 20.000-50.000,
pergeseran ke kiri pada hitung jenis dan trmbositopenia nilai fosfatase alkali
netrofil selalu rendah dan anemia yang mula-mula ringan menjadi progresif pada
fase lanjut, sehingga bersifat normokromik normositer.
b. Pada pemeriksaan sumsum tulang didapatkan keadaan hiperseluler dengan
peningkatan megakariosit dan aktivitas granulopoiesis.
c. Pada pemeriksaan sitogenik dijumpai adanya kromosom philadelphia (Ph 1).
d. Kenaikan kadar vitamin B12 dalam darah.
e. Kadar asam urat meningkat.
4. Leukemia limfositik kronis

7
a. Pemeriksaan darah tepi, menunjukkan adanya limfositosis 30.000-300.000/mm3,
anemia normositer normokromik, dan trombositopenia.
b. Pemeriksaan sumsum tulang, adanya infiltrasi “small well differentiated
lymphocyte” difus, dengan limfosit 25%-95% dari sel sumsum tulang.
c. Pemeriksaan immunophenotyping, pemeriksaan ini penting untuk membedakan
jenis leukemia kronis seri limfoid.
F. Terapi Leukemia
Berdasarkan buku saku patofisiologi yang ditulis oleh Elizabeth J. Corwin, terapi
yang dapat dilakukan sebagai berikut:
1. Kemoterapi dengan banyak obat.
2. Antibiotik untuk mencegah infeksi.
3. Transfusi sel darah merah dan trombosit untuk mengatasi anemia dan mencegah
pendarahan.
4. pencangkokan sumsum tulang dapat berhasil mengobati penyakit. Produk darah dan
antibiotik spektrum luas diberikan selama prosedur transplantasi sumsum tulang
untuk melawan dan mencegah infeksi.
5. Imunoterapi, termasuk dengan interferon dan sitokin lain, digunakan untuk
memperbaiki hasil.
6. Terapi untuk leukemia kronis mingkin lebih konsevatif.
7. Terapi yang dijelaskan di atas dapat menimbulkan gejala, yaitu peningkatan depresi
sumsum tulang lebih lanjut, mual, dan muntah. Mual dan muntah dapat dikendalikan
atau diturunkan dengan intervensi farmakologik dan perilaku.
8. Antosianin (zat kimia yang diketahui bersifat antioksidan dan melindungi hati) yang
diisolasi dari tanaman Hibiscus Sabdariffa tengah diteliti sebagai agenskemopreventif
dengan cara menyebabkan apoptosis (mematikan) sel kanker pada sel leukemia
promielositik leukemia.
Adapun terapi yang dilakukan berdasarkan klasifikasi leukemia, sebagai
berikut (Handayani & Hariwibowo, 2012):
1. Leukemia mielositik akut
a. Kemoterapi merupakan bentuk terapi utama dan pada beberapa kasus dapat
menghasilkan perbaikan yang berlangsung sampai setahun lebih. Obat yang
biasanya digunakan meliputi daunorubicin, hydrochloride (cerubidine),
cytarabine (cytosar-U), dan mercaptopurine (purinethol).
b. Pemberian produk darah dan penanganan infeksi dengan segera.

8
c. Transplantasi sumsum tulang.
2. Leukemia limfositik akut
Bentuk terapi utama dalam penanganan masalah LLA adalah kemoterapi.
Kemoterapi untuk LLA yang paling mendasar adalah panduan obat
a. Induksi remisi
Obat yang digunakan terdiria atas:
1) Vincristine (VCR)  1,5 mg/m2/minggu secara IV.
2) Prednison (Pred)  6 mg/m2/hari secara oral.
3) L. Asparaginase (L. asp)  10.000 U/ m2.
4) Daunorubicin (DNR)  25 mg/m2/minggu-4 minggu.
b. Terapi post-remisi
1) Terapi untuk Sancatury phase (membasmi sel leukemia yang bersembunyi
dalam SSP dan testis)
2) Terapi intensifikasi/konsolidasi: pemberian regimen non-cross resistant
terhadap regimen induksi remisi.
3) Terapi pemeliharaan (maintanance ): umumnya digunakan 6 mercaptopurine
(6 MP) per oral, diberikan selama 2-3 tahun dengan diselingi terapi kosolidasi.
3. Leukemia mielositik kronis
Terapi LMK bergantung pada fase penyakit, yaitu:
a. Fase kronis
1) Busulphan (myeleran)  dosis 0,1-0,2 mg/kg BB/hari terapi dimulai jika
leukosit naik menjadi 50.000/mm3.
2) Hidroksiurea  dosis dititrasi dari 500-2.000 mg, kemudian diberikan dosis
pemeliharaan untuk mencapai leukosit 10.000-15.000/mm3.
3) Interferon alfa  biasanya diberikan setelah jumlah leukosit terkontrol oleh
hidroksiurea.
b. Fase akselerasi
Sama dengan terapi leukemia akut, tetapi respon sangat rendah.
c. Transplantasi sumsum tulang
Memberikan harapan penyembuhan jangka panjang, terutama untuk penderita
yang berusia kurang dari 40 tahun. Penanganan yang umum diberikan adalah
allorgenic peripheral blood stem cell transplantation.
d. Terapi dengan memakai prinsip biologi molekuler

9
Obat batu imatinib mesylate (Gleevec) yang dapat menekan aktivitas tyrosine
kinase, sehingga menekan proliferasi sel mieloid.
4. Leukemia limfositik kronis
Pengobatan sebaiknya tidak diberikan kepada klien-klien tanpa gejala, karena
tidak memperpanjang hidup. Hal yang perlu diobati adalah klien yang menunjukkan
progresivitas limfadenopati atau splenomegali, anemia, trombositopenia, atau gejala
akibat desakan tumor. Obat-obatan yang dapat diberikan adalah sebagai berikut:
a. Klorambusil 0,1-0,3 mg/kg BB/hari per oral.
b. Kortikosteroid sebaiknya baru diberikan bila terdapat AIHA atau trombositopenia
atau demam tanpa sebab infeksi.
c. Radioterapi dengan menggunakan sinar X kadang-kadang menguntungkan bila
ada keluhan pendesakan karena pembengkakan kelenjer getah bening setempat.
G. Pencegahan Leukemia
Berdasarkan Jurnal Universitas Sumetera Utara , pencegahan yang dapat dilakukan
sebagai berikut:
1. Pencegahan Primer
Pencegahan primer meliputi segala kegiatan yang dapat menghentikan
kejadian suatu penyakit atau gangguan sebelum hal itu terjadi.
a. Pengendalian terhadap pemaparan sinar radioaktif
Pencegahan ini ditujukan kepada petugas radiologi dan pasien yang
penatalaksanaan medisnya menggunakan radiasi. Untuk petugas radiologi dapat
dilakukan dengan menggunakan baju khusus anti radiasi, mengurangi paparan
terhadap radiasi, dan pergantian atau rotasi kerja. Untuk pasien dapat dilakukan
dengan memberikan pelayanan diagnostik radiologi serendah mungkin sesuai
kebutuhan klinis.
b. Pengendalian terhadap pemaparan lingkungan kimia
Pencegahan ini dilakukan pada pekerja yang sering terpapar dengan benzene
dan zat aditif serta senyawa lainnya. Dapat dilakukan dengan memberikan
pengetahuan atau informasi mengenai bahan-bahan karsinogen agar pekerja dapat
bekerja dengan hati-hati. Hindari paparan langsung terhadap zat-zat kimia
tersebut.
c. Mengurangi frekuensi merokok
Pencegahan ini ditujukan kepada kelompok perokok berat agar dapat berhenti
atau mengurangi merokok. Satu dari empat kasus LMA disebabkan oleh

10
merokok. Dapat dilakukan dengan memberikan penyuluhan tentang bahaya
merokok yang bisa menyebabkan kanker termasuk leukemia (LMA).
d. Pemeriksaan Kesehatan Pranikah
Pencegahan ini lebih ditujukan pada pasangan yang akan menikah.
Pemeriksaan ini memastikan status kesehatan masing-masing calon mempelai.
Apabila masing-masing pasangan atau salah satu dari pasangan tersebut
mempunyai riwayat keluarga yang menderita sindrom Down atau kelainan gen
lainnya, dianjurkan untuk konsultasi dengan ahli hematologi. Jadi pasangan
tersebut dapat memutuskan untuk tetap menikah atau tidak.
2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menghentikan perkembangan penyakit
atau cedera menuju suatu perkembangan ke arah kerusakan atau ketidakmampuan.
Dapat dilakukan dengan cara mendeteksi penyakit secara dini dan pengobatan yang
cepat dan tepat.
a. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik untuk jenis LLA yaitu ditemukan splenomegali (86%),
hepatomegali, limfadenopati, nyeri tekan tulang dada, ekimosis, dan perdarahan
retina. Pada penderita LMA ditemukan hipertrofi gusi yang mudah berdarah.
Kadang-kadang ada gangguan penglihatan yang disebabkan adanya perdarahan
fundus oculi. Pada penderita leukemia jenis LLK ditemukan hepatosplenomegali
dan limfadenopati. Anemia, gejala-gejala hipermetabolisme (penurunan berat
badan, berkeringat) menunjukkan penyakitnya sudah berlanjut. Pada LGK/LMK
hampir selalu ditemukan splenomegali, yaitu pada 90% kasus. Selain itu Juga
didapatkan nyeri tekan pada tulang dada dan hepatomegali. Kadang-kadang
terdapat purpura, perdarahan retina, panas, pembesaran kelenjar getah bening dan
kadang-kadang priapismus.
b. Pemeriksaan PenunjanG
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah tepi dan
pemeriksaan sumsum tulang.
1) Pemeriksaan darah tepi
Pada penderita leukemia jenis LLA ditemukan leukositosis (60%) dan kadang-
kadang leukopenia (25%).48 Pada penderita LMA ditemukan penurunan eritrosit
dan trombosit. Pada penderita LLK ditemukan limfositosis lebih dari

11
50.000/mm3, sedangkan pada penderita LGK/LMK ditemukan leukositosis lebih
dari 50.000/mm3.
2) Pemeriksaan sumsum tulang
Hasil pemeriksaan sumsum tulang pada penderita leukemia akut ditemukan
keadaan hiperselular. Hampir semua sel sumsum tulang diganti sel leukemia
(blast), terdapat perubahan tiba-tiba dari sel muda (blast) ke sel yang matang
tanpa sel antara (leukemic gap). Jumlah blast minimal 30% dari sel berinti
dalam sumsum tulang. Pada penderita LLK ditemukan adanya infiltrasi merata
oleh limfosit kecil yaitu lebih dari 40% dari total sel yang berinti. Kurang lebih
95% pasien LLK disebabkan oleh peningkatan limfosit B. Sedangkan pada
penderita LGK/LMK ditemukan keadaan hiperselular dengan peningkatan jumlah
megakariosit dan aktivitas granulopoeisis. Jumlah granulosit lebih dari
30.000/mm3.

12
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
Leukemia adalah tumor ganas sel hemopoietik sumsum tulang yang terjadi akibat
proliferasi (pertumbuhan sel imatur) sel leukosit, yang akhirnya berkembang dengan
menyingkirkan jenis sel lain, menyebabkan penekanan dan penggantian unsur sumsum tulang
yang normal. Berdasarkan tipe sel yang terlibat maka leukemia dapat diklasifikasikan
menjadi dua. Ketika leukemia memengaruhi limfosit atau sel limfoid, maka disebut leukemia
limfositik. Ketika leukemia memengaruhi sel mieloid seperti neutrofil, basofil, dan eosinofil,
maka disebut leukemia mielositik. Klasifikasi berdasarkan maturasi sel dibagi dua, yaitu akut
dan kronis.
Saran:
Demikian yang dapat saya paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan
dalam makalah ini,tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, Karena
terbatasnya pengetahuan. Penulis banyak berharap para pembaca memberikan kritik dan
saran yang bersifat membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan untuk
penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna dan
bermanfaat bagi penulis dan pada khususnya juga para pembaca.

13
DAFTAR PUSTAKA

Sadikin, Mohammad. 2001. Biokimia Darah. Jakarta: Widya Medika.


Lestari, Dewi. 2012. Deteksi Penyakit Anak & Pengobatannya. Jakarta: Tugu Publisher.
Corwin, J. Elizabeth. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Handayani & Ariwibowo. 2012. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Hamatologi. Jakarta: Salemba Medika.
Price & Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Nasar, I made dkk. 2010. Buku Ajar: Patologi II (Khusus). Jakarta: Sagung Seto.
Wikipedia Bahasa Indonesia. 2015. Leukemia. Diakses tanggal 24 November 2015.
Jurnal Keperawatan Universitas Sumatera Utara. Diakses tanggal 24 November 2015.
Robbins, dkk. 1999. Buku Saku Dasar Patologi Penyakit. Jakarta: EGC

14

Anda mungkin juga menyukai