Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN REFERAT

MENINGITIS TYPHOSA

Diajukan kepada Yth :


dr. Suharno, Sp. PD

Disusun oleh :
Qonita Wachidah G1A211076

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2012
BAB I
PENDAHULUAN

Demam tifoid sampai saat ini masih merupakan permasalahan kesehatan


penting di banyak negara berkembang. Penyakit ini disebabkan oelh infeksi
bakteri S. typhi dan S. paratyphi yang ditularkan secara fekal-oral. Tingginya
angka morbiditas dan mortalitas demam tifoid menggerakkan berbagai pihak
untuk menyelesaikan masalah ini (Aryani, 2006). Secara global, diperkirakan 17
juta orang mengidap penyakit ini tiap tahunnya. Di Indonesia diperkirakan insiden
demam typhoid adalah 300 – 810 kasus per 100.000 penduduk pertahun, dengan
angka kematian 2%. Demam typhoid merupakan salah satu dari penyakit infeksi
terpenting. Penyakit ini di seluruh daerah di provinsi ini merupakan penyakit
infeksi terbanyak keempat yang dilaporkan dari seluruh 24 kabupaten. Di
Sulawesi Selatan dilaporkan demam typhoid melebihi 2500/100.000 penduduk
(Nurhayati, 2009).
Salah satu komplikasi dari demam tifoid adalah meningitis. Meningitis
karena Salmonella typhi terutama menyerang bayi dan anak. Walaupun banyak
spesies dari Salmonella yang telah diisolasi dari cairan serebrospinal seperti S.
Paratyphi, S. Typhimurium, S. panama, Salmonella typhi merupakan satu-satunya
bakteri yang sangat jarang ditemukan dan diduga kuat sebagai penyebab
meningitis purulenta. Dalam banyak kasus bakteremia karena Salmonella typhi
terjadi sebagai komplikasi selama menderita demam tifoid, di mana demam dan
gejala-gejala gastrointestinal merupakan gambaran utama (Chanmugam et al.,
1978).
Meningitis typhosa merupakan penyakit yang dapat ditemui di negara
berkembang, terutama di negara-negara tropis, sesuai dengan persebaran demam
tifoid di seluruh dunia. Walaupun kasusnya sangat jarang, namun penting bagi
petugas kesehatan untuk mengetahui dan meningkatkan kewaspadaan terhadap
penyakit ini. Alasan yang paling mendasarinya adalah karena Indonesia
merupakan negara tropis yang merupakan daerah endemik untuk demam tifoid,
sehingga kemungkinan terjadinya komplikasi berupa meningitis juga cukup besar.
Selain itu, pada berbagai kasus meningitis yang sering ditemui, Salmonella typhi
biasanya tidak dipertimbangkan sebagai penyebabnya, sehingga yang seringkali
terjadi adalah salah pemberian regimen terapi awal, sehingga kasus-kasus
resistensi Salmonella typhi terhadap berbagai jenis antibiotik juga semakin
meluas.

Gambar 1. Persebaran Demam Typhoid di Seluruh Dunia


(Sutiono et al., n.d.)
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka kelompok kami mencoba untuk
mengangkat meningitis typhosa sebagai topik bahasan dalam referat blok Tropical
Medicine. Dalam referat ini akan dipaparkan berbagai hal tentang meningitis
typhosa, meliputi etiologi, epidemiologi, faktor risiko, patogenesis, patofisiologi,
manifestasi klinis, penegakan diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan,
komplikasi, hingga prognosisnya. Terakhir akan dipaparkan juga masalah-
masalah yang terjadi terkait dengan meningitis typhosa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Meningitis bacterial dalah suatu peradangan pada selaput otak,
ditandai dengan peningkatan jumlah sel polimorfonuklear dalam cairan
serebrospinal dan terbukti adanya bakteri penyebab infeksi dalam cairan
serebrospinal (Mansjoer, 2000).
Meningitis typhosa adalah infeksi selaput otak yang disebabkan oleh
kuman Salmonella typhi yang menyebar melalui darah (Rampengan dan
Laurentz, 1997).

2.2 ETIOLOGI
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhosa yang
merupakan kuman negatif, motil dan tidak menghasilkan spora (Boettner &
Carrizosa, 1951).
Adapun penyebab lain meningitis typhosa yang menyebabkan gejala
klinis sering tidak jelas adalah Salmonella Havana, Salmonella oranienberg
dan Eberthella typhosa. Berdasarkan beberapa spesies di atas, Salmonella
typhosa merupakan penyebab meningitis typhosa yang paling sering ditemui
dibandingkan dengan spesies lainnya (Rampengan & Laurentz, 1997).
Salmonella typhosa dapat hidup baik sekali pada suhu tubuh manusia
maupun suhu yang lebih rendah sedikit serta mati pada suhu 70o C maupun
oleh antiseptik. Sampai saat ini diketahui bahwa kuman ini hanya menyerang
manusia.
Salmonella typhosa mempunyai 3 macam antigen, yaitu:
1. Antigen O = Ohne Hauch = Somatik antigen (tidak menyebar)
2. Antigen H = Hauch (menyebar), terdapat flagella dan bersifat termolabil
3. Antigen V1 = Kapsul, merupakan kapsul yang meliputi tubuh kuman dan
melindungi O antigen terhadap fagositosis.
Ketiga jenis antigen tersebut di dalam tubuh manusia akan menimbulkan
pembentukan tiga macam antibodi yang lazim disebut aglutinin
(Rampengan & Laurentz, 1997).

2.3 EPIDEMIOLOGI
Saat ini, penyakit ini terutama ditemukan di negara sedang
berkembang dengan kepadatan penduduk tinggi, serta kesehatan lingkungan
tidak memenuhi syarat. Meningitis oleh karena Salmonella typhosa atau
spesies yang lain lebih sering didapatkan pada neonatus maupun bayi
dibandingkan pada anak, dengan gejala klinis sering tidak jelas sehingga
diagnosis sering terlambat (Rampengan & Laurentz, 1997).
Boettner dan Carrizosa melaporkan bahwa terjadi 1 kasus meningitis
dari 360 pasien penderita demam tifoid yang diteliti atau sebesar 0,28%,
sedangkan di Rumah Sakit Infeksi Tropis Asuncion yang telah menangani
278 kasus demam tifoid sejak 1945, ada 2 kasus meningitis typhosa yang
dilaporkan atau sebesar 0,71% (Boettner & Carrizosa, 1951).
Meningitis typhosa di Indonesia tidak dapat ditemukan setiap tahun
karena kasusnya juga sangat jarang (Agung, n.d.)

2.4 FAKTOR RISIKO


Meningitis oleh karena Salmonella typhi lebih sering didapatkan pada
neonatus/bayi dibandingkan dengan anak dan merupakan komplikasi
ekstraintestinal dari demam typhoid. Tipe meningitis ini merupakan
komplikasi dari demam tifoid yang jarang ditemui. Gejala klinisnya tidak
jelas sehingga diagnosis sering terlambat (Muasar, 2007).
Penularan demam tifoid hampir selalu terjadi melalui makanan dan
minuman yang terkontaminasi. Sampai saat ini, penyakit tersebut masih
merupakan masalah kesehatan, hal ini disebabkan oleh karena:
1. Kesehatan lingkungan yang kurang memadai.
2. Penyediaan air minum yang tidak memenuhi syarat.
3. Tingkat sosial ekonomi.
4. Tingkat pendidikan masyarakat (Rampengan & Laurentz, 1997).
Sedangkan faktor risiko yang menyebabkan timbulnya meningitis
pada demam tifoid adalah:
1. Gejala klinis pada meningitis typhosa sering tidak jelas.
2. Keterlambatan diagnosis meningitis typhosa.
3. Keterlambatan pencegahan komplikasi demam typhoid.

Gambar 2. Komplikasi demam tifoid

2.5 PATOGENESIS
Selain dari adanya invasi bakteri, virus, jamur maupun protozoa, poin
d’entry kuman juga bisa melalui trauma tajam, prosedur operasi, dan abses
otak yang pecah, penyebab lainnya adalah rinorhea atau otorhea pada fraktur
basis crania yang memungkinkan kontaknya cairan cerebrospinal dengan
lingkungan luar. Patogenesis meningitis typhosa kemudian dapat dijelaskan
sebagai berikut (Tunkel & Scheld, 1993):

Gambar 3. Patogenesis meningitis bakterial

Setelah barrier mukosa terlewati, bakteri dapat langsung masuk ke


dalam aliran darah, namun untuk dapat menginvasi SSP bakteri harus dapat
mengalahkan system pertahanan tubuh host. Sampai saat ini mekanisme pasti
bagaimana bakteri dapat mengakses sistem saraf pusat masih belum
sepenuhnya diketahui. Lokasi pasti invasi bakteri di sistem saraf pusat juga
belum jelas. Namun penelitian eksperimental pada tikus menunjukkn bahwa
saat bakteremia terjadi, terdapat inflamasi fokal non spesifik di atas lamina
cribriformis yang memfasilitasi invasi SSP melalui lokasi tersebut. Penelitian
lebih lanjut pada tikus dan primata muda menunjukkan bahwa bakteri
memasuki cairan serebrospinal melalui plexus choroideus di mana aliran
darahnya sangat tinggi. Laju aliran darah yang tidak biasa tersebut mungkin
disebabkan oleh kemampuan bakteri untuk merilis lipopolisakarida (LPS)
dalam keadaan tertentu, atau karena bakteri yang masuk ke daerah ini lebih
banyak dibandingkan daerah lainnya di sistem saraf pusat (Tunkel & Scheld,
1993).
Setelah bakteri menginvasi spatium subarachnoideum, bakteremia
sekunder segera terjadi sebagai akibat proses supuratif lokal pada SSP. Proses
ini menyebabkan semakin mudahnya bakteri pathogen untuk keluar masuk
cairan serebrospinal secara terus-menerus. Proses inflamasi yang kemudian
terjadi akan meningkatkan permeabilitas bllod brain barrier (BBB).
Peningkatan ini dapat terjadi pada tingkat epitel plexus choroideus, endotel
microvasculer cerebri, ataupun keduanya.Peningkatan permeabilitas BBB
secara signifikan diikuti oleh ketiadaan leukosit di akhir proses penyakit,
walaupun kehadiran leukosit makin meningkatkan perubahan permeabilitas
BBB. Pada hari ke 18 setelah inokulasi, perubahan permeabilits BBB akan
berbanding lurus dengan konsentrasi bakteri dalam CSS (Tunkel & Scheld,
1993).
Sekali bakteri melakukan penetrasi ke dalam spatium
subarachnoideum, mekanisme pertahanan tubuh host tidak akan adekuat
untuk mengontrol infeksi. Kadar complement dalam CSS akan berada dalam
konsentrasi sangat rendah atau bahkan tidak ada sama sekali.Inflamasi
meningens hanya menyebabkan peningkatan komplemen CSS dalam jumlah
kecil. Akibatnya, proses opsonisasi bakteri akan tidak terjadi atau sangat
jarang terdeteksi pada pasien dengan meningitis (Tunkel & Scheld, 1993).

2.6 PATOFISIOLOGI
Patofisiologi dari meningitis oleh karena bakteri secara umum adalah
sebagai berikut (Gomersall, 2010):
Gambar 4. Patofisiologi meningitis bakterial

2.7 MANIFESTASI KLINIS


Meningitis oleh karena Salmonella typhosa atau spesies salmonella
yang lain lebih sering didapatkan pada neonatus maupun bayi dibandingkan
pada anak, dengan gejala klinis sering tidak jelas dan tidak spesifik sehingga
diagnosis sering terlambat (Rampengan & Laurentz, 1993).
Tidak ada satu pun gambaran klinis yang patognomonik untuk
meningitis bacterial. Meningitis pada bayi baru lahir dan premature memiliki
gambaran klinis sangat kabur dan tidak khas. Demam hanya terjadi pada
setengah kasus Biasanya pasien tampak lemah dan malas, tidak mau minum,
muntah-muntah, kesadaran menurun, ubun-ubun besar tegang dan mebonjol,
leher lemas, respirasi tida teratur, kadang-kadang disertai ikterus jika sepsis.
Bila di dapatkan sepsis pada bayi baru lahir, harus dicurigai adanya
meningitis.Pada bayi berumur 3 bulan – 2 tahun terdapat demam, muntah,
gelisah, kejang berulang. High pitched cry (pada bayi), ubun-ubun tegang dan
membonjol. Pada anak dengan demam terus-menerus yang tidak dapat
diterangkan penyebabnya perlu dicurigai adanya meningitis (Mansjoer,
2000).

Gambar 5. Anak dengan meningitis typhoid

Pada anak yang lebih besar meningitis kadang-kadang memberikan


gambaran klasik. Terdapat demam, menggigil, muntah dan nyeri kepala.
Kadamg-kadang gejala pertama adalah kejang, gelisah, gangguan tingkah
laku. Penurunan kesadaran dapat terjadi. Tanda klinis yang biasa didapat
adalah kaku kuduk, tanda brudzinski, dan Kernig. Saraf cranial yang sering
mengalami kelainan adalah N VI, VII dan IV. Bila terdapat thrombosis
vascular dapat timbul kejang dan hemiparesis (Mansjoer, 2000).
Gejala klinis yang mungkin muncul antara lain (Rampengan &
Laurentz, 1993):
1. Bayi tidak mau menetek
2. Kejang
3. Letargi
4. Sianosis
5. Demam
6. Diare
7. Kelaian neurologis seperti: episthotonus, fontanella cembung, refleks
grasp menurun, refleks menghisap menurun.
8. Tanda meningeal positif. Namun biasanya pada anak, tanda ini tidak
menonjol, jika tanda ini dtemukan, biasanya menunjukkan penyakit dalam
keadaan yg memberat (Nevius et al., 1980).

Gambar 6. Episthotonus dan postur rigid:


tanda iritasi meningens dan peningkatan tekanan intracranial (WHO, 2005)

2.8 PENEGAKAN DIAGNOSIS


1. Anamnesis
Umumnya anamnesis diperoleh dengan alloanamnesis karena
pasien yang terdiri atas bayi dan anak biasanya belum dapat mengeluhkan
gejala yang ada. Meningitis pada bayi baru lahir dan prematur memiliki
gambaran klinis sangat kabur dan tidak khas. Adapun gambaran yang ada
berupa demam yang hanya terjadi pada setengah kasus, tampak lemah dan
malas, tidak mau minum, serta muntah-muntah. Pada bayi yang berusia
lebih besar (usia 3 bulan-2 tahun), ditemui gejala yang sama dengan usia
lebih muda namun ditambah dengan adanya riwayat kejang berulang. Pada
anak besar meningitis kadang memberi gambaran klasik ditambah dengan
adanya keluhan nyeri kepala (Mansjoer, 2000).
2. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum pasien biasanya kurang baik. Dari pemeriksaan
fisik ditemukan takikardi, takipneu, dan kenaikan suhu tubuh. Temuan
lainnya meliputi adanya kaku kuduk dan Kernig’s sign yang positif, yang
mengindikasikan adanya iritasi meninges (Kaundiya et al., 1979).
Untuk bayi baru lahir, pemeriksaan fisik memberikan hasil adanya
kesadarn yang menurun, ubun-ubun besar yang tegng dan menonjol, leher
lemas respirasi tidak teratur, serta kadang ditemui ikterus jika sudah terjadi
sepsis. Bayi yang berusia 3 bulan-2 tahun akan tampak gelisah dan sering
muncul tangisan yang disebut high-pitched cry. Pada anak yang lebih
besar akan ditemui gangguan tingkah laku, penurunan kesadaran, kaku
kuduk, tanda Brudzinski, dan tanda Kernig. Saraf cranial yang sering
mengalami kelainan adalah N VI, VII dan IV. Bila terdapat thrombosis
vascular dapat timbul kejang dan hemiparesis (Mansjoer, 2000).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Bakteriologis
Kausa meningitis dapat diketahui dari pemeriksaan cairan
serebrospinal yang dapat diambil dari pungsi lumbal, sebagai berikut
(Baron, 1995):
Tabel 1. Hasil temuan LCS dari pungsi lumbal

Karakteristik Normal Meningitis


Tekanan awal 50-180 mmHg Meningkat
Warna Jernih Keruh-purulen (bakteri)
Jernih-santokrom (TB)
Jernih (virus)

Hitung sel 0-5 sel leukosit/ Meningkat


mm3
Protein 20-45 mg/ Dl Meningkat
Glukosa 40-70 mg/ dL Normal (virus)
Menurun (bakteri)
Mikroorganism Tidak ada Tidak ada (virus)
e Ada (bakteri)

Pewarnaan gram cairan serebrospiinal berguna untuk menentukan


terapi awal. Kultur dan uji resistensi dilakukan untuuk menentukkan
terapi yang tepat. Pada meningitis typhosa dari hasil pemeriksaan LCS
ditemukan bakteri Salmonella typhi (Mansjoer, 2000).
b. Pemeriksaan Seroimmunologi
Lakukan pungsi lumbal pada setiap pasien dengan kecurigaan
meningitis. Meskipun hasilnya normal, observasi pasien dengan ketat
sampai keadaannya kembali normal. Pungsi lumbal dapat diulang
setelah 8 jam bila diperlukan. Selama fase akut sel yang domina adalah
PMN sampai sekitar 95%. Dengan perjalanan penyakit ada kenaikan
bertahap limfosit dan sel mononuclear. Selain itu, terdapat kenaikan
kadar protein sampai diatas 75 % dan penurunan kadar glukosa sampai
dibawah 20%. Pengobatan antibiotik sebelumnya dapat mengacaukan
gambaran cairan serebrospinal (Mansjoer, 2000).
c. Radiologi
Pemeriksaan dengan CT-Scan kepala dilakukan atas indikasi berikut:
1) Kejang parsial, kompleks, atau berkepanjangan pada anak di
bawah umur 5 tahun
2) Demam berkepanjangan pada anak berusia lebih dari 5 tahun,
namun nilai diagnostiknya kurang.
Temuan abnormal terdapat pada 47% kasus yang diteliti dalam
periode 5 tahun, sedangkan 53% sisanya menampilkan gambaran
yang normal atau hanya menunjukkan dilatasi system ventrikel
yang tidak spesifik. Umumnya hasil yang abnormal ditemukan
pada pasien yang memiliki kelainan kejang kompleks, temuan
tersebut meliputi efusi subdural dan hydrocephalus. Dari sini dapat
kita simpulkan bahwa CT-Scan kepala merupakan salah satu alat
yang akurat untuk mendiagnostik komplikasi intracranial
meningitis bacterial, namun ketepatan penggunaannya harus
diperhatikan karena terbatasnya aplikasi terapi untuk anak dengan
komplikasi meningitis bacterial (Daoud et al., n.d.).

2.9 DIAGNOSIS BANDING


1. Meningitis Tuberkulosis
2. Secara umum tanda dan gejala meningitis tuberculosis dan meningitis
thyposa sama. Perbedaan kedua penyakit tersebut dapat dilihat dari hasil
pemeriksaan penunjang, yaitu dari pemeriksaan LCS yang akan diperoleh
bakteri penyebabnya. Pada meningitis tuberculosis ditemukan
Mycobacterium tuberculosa dan pada meningitis thyposa ditemukan
Salmonella typhi (Mansjoer, 2000).
3. Ensefalitis
Gejala dari ensefalitis juga hampir sama dengan meningitis thyposa, yang
membedakan adalah pada pemeriksaan fisik ensefafalitis tidak ditemukan
tanda brudzinski, tanda kernig dan kaku kuduk yang merupakan ciri khas
dari gejala meningitis. Gejala ensefalitis berupa gelisah, iritabel,
screaming attack, perubahan perilaku, gangguan kesadaran, dan kejang.
Ensefalitis juga disertai tanda neurologis fokal berupa afasia, hemiparesis,
hemiplegia, ataksia, dan paralisis saraf otak, yang berat ringannya
tergantung pada distribusi dan luas lesi pada neuron berbeda dengan
meningitis, di mana biasanya yang ada adalah tanda-tanda rangsang
meningeal, namun tanda tersebut juga dapat muncul bila peradangan telah
mencapai meningen (Mansjoer, 2000).
2.10 PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan meningitis typhosa meliputi 3 hal yaitu:
1. Istirahat dan perawatan
Istirahat yang berupa tirah baring dan perawatan profesional bertujuan
untuk mencegah komplikasi. Perawatan untuk meningitis typhosa adalah
sebagai berikut:
a. Pada waktu kejang:
1) Longgarkan pakaian, bila perlu dibuka
2) Hisap lendir
3) Kosongkan lambung untuk menghindari muntah dan aspirasi
4) Hindarkan penderita dari rudapaksa (misalnya jatuh)
b. Bila penderita tidak sadar lama:
1) Beri makanan melalui sonde
2) Cegah dekubitus dan pnemonia ortostatik dengan merubah posisi
penderita sesering mungkin, minimal ke kiri dan ke kanan setiap 6
jam
3) Cegah kekeringan kornea dengan boorwater/salep antibiotika
c. Bila mengalami inkontinensia urin lakukan pemasangan kateter
d. Bila mengalami inkontinensia alvi lakukan lavement
e. Pemantauan ketat:
1) Tekanan darah
2) Pernafasan
3) Nadi
4) Produksi air kemih
5) Faal hemostasis untuk mengetahui secara dini ada DIC
f. Fisioterapi dan rehabilitasi.
2. Diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif)
Diet dan terapi penunjang merupakan hal yang cukup penting dalam
proses penyembuhan penyakit, karena makanan yang kurang akan
menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan
proses penyembuhan akan menjadi lama. Terapi juga meliputi pemberian
cairan intravena, koreksi gangguan asam-basa dan elektrolit, serta
mengatasi kejang (Mansjoer, 2000).
Penderita diberi makan diet yang terdiri dari bubur saring, kemudian bubur
kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan penderita.
Beberapa peneliti menganjurkan makanan padat dini yang wajar sesuai
dengan keadaan penderita. Makanan disesuaikan baik kebutuhan kalori,
protein, elektrolit, vitamin maupun mineralnya serta diusahakan makan
yang rendah/bebas selulose, menghindari makanan yang iritatif. Pada
penderita gangguan kesadaran maka pemasukan makanan harus lebih di
perhatikan. Anak dengan panas tinggi pada meningitis typhosa umumnya
tidak mau makan karena ada diare sehingga dapat terjadi kekurangan
cairan (dehidrasi) dan elektrolit. Usahakan cairan yang masuk harus
banyak. Panas yang tinggi juga dapat menyebabkan anak kejang (Rezeki,
2008).
3. Pemberian medikamentosa
1) Penanganan untuk meningitis meliputi (Bell & Mc. Cornick,
1984):
a. Obat anti infeksi:
2) Meningitis bakterial et causa S.typhii, umur <2 bulan :
a) Cephalosporin Generasi ke 3, atau
b) Kombinasi Ampicilin 150-200 mg (400 mg)/KgBB/hari IV
dibagi dalam 4-6 kali dosis sehari dan Chloramphenicol 50
mg/KgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis
3) Meningitis bakterial et causa S.typhii, umur >2 bulan:
a) Kombinasi Ampicilin 150-200 mg (400 mg)/KgBB/hari IV
dibagi dalam 4-6 kali dosis sehari dan Chloramphenicol 50
mg/KgBB/hari IV dibagi dalam 4 dosis, atau
b) Sefalosporin Generasi ke 3
c) Dexamethasone dosis awal 0,5 mg/KgBB IV dilanjutkan
dengan dosis rumatan 0,5 mg/KgBB IV dibagi dalam 3 dosis,
selama 3 hari. Diberikan 30 menit sebelum pemberian
antibiotika
b. Pengobatan simptomatis
1) Menghentikan kejang:
a) Diazepam 0,2-0,5 mg/KgBB/dosis IV atau 0,4-0,6
mg/KgBB/dosis REKTAL SUPPOSITORIA, kemudian
dilanjutkan dengan:
b) Phenytoin 5 mg/KgBB/hari IV/PO dibagi dalam 3 dosis atau
c) Phenobarbital 5-7 mg/Kg/hari IM/PO dibagi dalam 3 dosis
2) Menurunkan panas:
a) Antipiretika: Paracetamol 10 mg/KgBB/dosis PO
atau Ibuprofen 5-10 mg/KgBB/dosis PO diberikan 3-4 kali
sehari
b) Kompres air hangat/biasa
c. Pengobatan suportif
1) Cairan intravena
2) Oksigen. Usahakan agar konsentrasi O2 berkisar antara 30-50%.

2.11 KOMPLIKASI
Komplikasi dari meningitis typhosa meliputi (Rampengan &
Laurentz, 1997):
1. Efusi subdural
2. Ventrikulitis
3. Hidrosefalus

2.12 PROGNOSIS
Meningitis purulenta yang disebabkan oleh Eberthella typhosa, baik
yang merupakan perkembangan dari demam tifoid meupun yang merupakan
lokasi infeksi pertama (meningo-typhus) hampir selalu memiliki prognosis
yang buruk, berbeda dengan meningismus atau meningitis aseptic yang juga
merupakan perkembangan lanjut dari demam tifoid. Dalam kedua kasus
terakhir prognosisnya lebih baik (Boettner & Carrizosa, 1951).
BAB III
PEMBAHASAN

Saat ini di dunia diestimasikan bahwa sekitar 35 juta kasus dan 500.000
kematian terjadi tiap tahunnya oleh karena infeksi Salmonella typhi. Insidensi
bakteremia, sepsis, dan meningitis yang tinggi sebagai komplikasi dari infeksi
Salmonella sebagain nesar terjadi pada bayi berumur kurang dari satu tahun.
Salmonella meningitis sangat jarang terjadi di Negara maju, namun merupakan
salah satu penyebab meningitis yang utama di Negara berkembang. Dalam salah
satu laporan disebutkan bahwa ditemukan Salmonella typhi pada 5,9% pasien dari
seluruh kasus meningitis bacterial, yang merupakan gambaran umum dari seluruh
kasus yang pernah dilaporkan. Salmonella meningitis dihubungkan dengan
mortalitas dan morbiditas pada neonates (Abuekteish et al., 1996). West et al
menemukan beberapa komplikasi neurologis akut Salmonella meningitis yaitu
ventrikulitis, empiema subdural, hydrocephalus. Namun infeksi fokal intracranial
karena salmonella sangat jarang ditemukan (West et al., 1977). Walaupun ada
beberapa kasus meningitis karena infeksi spesies Salmonella pada bayi baru lahir
yang dilaporkan, namun pada anak yang sudah lebih besar Salmonella meningitis
sangat jarang ditemukan. Sampai tahun 1979, tidak ada laporan kasus meningitis
typhosa dalam berbagai literature ilmiah di India, namun setelahnya terdapat satu
kasus yang dilaporkan pada anak berusia 11 tahun (Kaundiya et al., 1979).
Ada beberapa alasan yang menyebabkan tingginya tingkat mortalitas dan
kelainan neurologis, salah satunya karena morfologi bakteri salmonella typhi itu
sendiri. Salmonella merupakan mikro organism intraseluler fakultatf, oleh karena
itu terapi farmakologi yang tidak adekuat dapat berpengaruh pada progresivitas
penyakit. Selain itu, beberapa spesies Salmonella dilaporkan telah resisten
terhadap Chloramphenicol, Ampicillin, Cephalosporin dan Cotrimoxazole.
Resistensi tersebut sebagian disebabkan oleh adanya plasmid dengan BM 40,0 kb-
95,0 kb, akibatnya terjadilah kuman Salmonella yang multiresisten obat (Damono,
1997). Pola resistensi yang hampir selalu sama di berbagai kasus menyebabkan
sulitnya pilihan jenis antibiotik yang tepat untuk terapi awal. Beberapa penelitian
terbaru menyarankan penggunaan Cephalosporin generasi ketiga pada infeksi
Salmonella CNS yang multiresisten (Abuekteish et al., 1996). Diagnosis dini dan
pemilihan terapi yang optimal agak sulit dilakukan pada kasus infeksi atipikal
yang jarang ditemukan, terutama karena agent penyebabnya sering tidak
dipertimbangkan saat menentukan diagnosis banding. Oleh karena itu sangat
penting untuk melaporkan kasus-kasus meningitis typhosa (Kaundiya et al.,
1979).
Dapat kita simpulkan bahwa meningitis typhosa sampai saat ini tetap
merupakan suatu penyakit serius dengan tingkat kematian dan prevalensi
kerusakan neurologis yang tinggi, terutama pada bayi. Di negara-negara
berkembang di mana infeksi Salmonella typhi ditemukan dalam persentase yang
signifikan pada meningitis pada bayi, terapi antibiotik awalan yang tepat dan telah
terbukti secara empirik harus ditetapkan untuk mengatasi masalah ini.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 KESIMPULAN
1. Kasus meningitis karena S. typhi dan E. typhi sangat jarang ditemukan
di dunia, biasanya hanya ditemukan di negara-negara berkembang
2. Meningitis typhosa merupakan salah satu komplikasi demam typhoid
yang cukup serius karena tingkat mortalitas dan masalah neurologis
yang ditimbulkannya
3. Diagnosis dini dan pemilihan terapi inisial yang tepat masih sulit untuk
dilakukan karena pola resistensi kuman dan kasusnya yang sangat
jarang.

4.2 SARAN
1. Dikembangkannya penelitian lebih lanjut tentang regimen terapi yang
tepat untuk meningitis typhosa
2. Setiap tenaga kesehatan memiliki pengetahuan dan dapat memberikan
edukasi terhadap pasien mengenai meningitis typhosa serta memiliki
awareness terhadap meningitis typhosa, terutama pada bayi dan anak-
anak
3. Dilakukannya deteksi dini terhadap meningitis typhosa secara optimal
sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan secara adekuat dan usaha
untuk meminimalisir komplikasi.
DAFTAR PUSTAKA

Abuekteish, F., Daoud, A.S., Massadeh, H. & Rawashdeh, M., 1996. Salmonella
typhi meningitis in infants. Indian Pediatrics Journal, 33, pp.1037-39.
Anon., 2010. [Online] Available at: HYPERLINK "http://www.pediatric.com"
http://www.pediatric.com [Accessed 15 September 2010].
Aryani, L.D., 2006. Pengaruh Pemberian Ekstrak Umbi Ginura Recumbens
terhadap Jumlah Kuman Kultur Hepar pada Mencit yang diinfeksi S.
typhimurium. Skripsi. Semarang: FK Undip.
Baron, D.N., 1995. Kapita Selekta Patologi Klinik. Jakarta: EGC.
Bell, W. & Mc. Cornick, W., 1984. Neurologic Infections in Children.
Philadelphia: WB Saunders Co.
Boettner, C.M.R. & Carrizosa, A., 1951. Typhoid Meningitis. Sothern Medical
Journal, 44(3), p.199.
Chanmugam, D., Machado, V. & Mihindukulasuriya, J., 1978. Primary
Salmonella typhi meningitis in adult. British Medical Journal, p.152.
Damono, J., 1997. [Online] Available at: HYPERLINK
http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jkpkbppk-gdl-
s2-1997-djoko-54-salmonella [Accessed 17 September 2010].
Daoud, A.s., Omari, H., Al-Sheyyab, M. & Abuekteish, F., n.d. Indication and
Benefit of Computed Tomography in CHildren Bacterial Meningitis.
Journal of Tropical Pediatrics, 44(3), pp.167-68.
Gomersall, C., 2010. Department of Anaesthesia & Intensive Care. [Online]
Available at: HYPERLINK "http://www.aic.cuhk.edu.hk/web8/TB-
meningitis.htm" http://www.aic.cuhk.edu.hk/web8/TB-meningitis.htm
[Accessed 17 September 2010].
Kaundiya, D.V., Mukhedkar, D.R., Hayatnagarkar, N.P. & Patil, S.D., 1979.
Acute Bacterial Meningitis Due to Salmonella typhi, phage type A. Indian
Journal of Pediatrics, 46(4), pp.139-42.
Mansjoer, A., 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius
FKUI.
Baron, D.N., 1995. Kapita Selekta Patologi Klinik. Jakarta: EGC.
Muasar, S., 2007. [Online] Available at: HYPERLINK
"www.diglib.unimus.ac.id" www.diglib.unimus.ac.id [Accessed 5
September 2010].
Nevius, P., Controni, G. & Rodriguez, W.J., 1980. Meningitis in Typhoid Fever:
Unusual Complication. Southern Medical Journal, 73(2).
Nurhayati, Y., 2009. Asuhan Keperawatan pada An.N dengan Demam Typhoid di
Bangsal Melati RSUD dr. Moewardi Surakarta. Skripsi. Surakarta:
Fakultas Ilmu Kesehatan Unmuh.
Pradhana, D., 2009. [Online] Available at: HYPERLINK
"http://www.docstoc.com" http://www.docstoc.com [Accessed 17
September 2010].
Rampengan, T.H. & Laurentz, I.R., 1993. Penyakit Infeksi Topik pada Anak.
Jakarta: EGC.
Rampengan, T.H. & Laurentz, I.R., 1997. Penyakit InfeksiTtropik pada Anak.
Jakarta: EGC.
Rezeki, S., 2008. [Online] Available at: HYPERLINK
http://medicastore.com/artikel/238/Demam_Tifoid_pada_Anak_Apa_yang
_Perlu_Diketahui.html [Accessed 17 September 2010].
Sutiono, A.B., Suwa, H. & Ohta, T., n.d. Multi Agent Based Simulation for
Typhoid Fever with Complications:An Epidemic Analysis. Paper. Tokyo.
Tunkel, A.R. & Scheld, W.M., 1993. Pathogenesis and pathophisiology of
Bacterial Meningitis. Clinical Microbiology Reviews, 6(2), p.119.
West, S.E., Goodkin, R. & Kaplan, A., 1977. Neonatal Salmonella Meningitis
complicated by cerebral abcesses. West Journal Medicine, 127, pp.142-45.
WHO, 2005. [Online] Available at: HYPERLINK
http://helid.desastres.net/en/d/Js13431e/10.3.html [Accessed 17 September
2010].

Anda mungkin juga menyukai