PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sepeninggal Nabi Muhammad SAW, Islam sudah tersebar di Saentaro Jazirah Arab. Islam saat
itu melakukan ekspansi dibawah kepemimpinan pada masa Khalifah Ar-Rasyidin dan selanjutnya
dilanjutkan oleh Dinasti Umayyah kemudian Dinasti Abbasiyah. Di akhir pemerintahan Dinasti
Abbasiyah, islam semakin terpuruk selama beberapa abad karena serangan dari tentara Mongol
menghancurkan hampir semua buku-buku ilmu pengetahuan pada saat itu.
Di tengah-tengah keterpurukan islam, muncullah tiga kerajaan besar, yaitu Kerajaan Turki
Utsmani di Turki, Kerajaan Syafawiyah di Persia, dan Kerajaan Mughal di India. Pada waktu
kerajaan Turki Ustmani sudah mencapai kejayaannya, kerajaan Syafawi di Persia masih baru
berdiri. Namun pada kenyataannya, kerajaan ini berkembang dengan cepat. Nama Syafawi ini
terus di pertahankan sampai tarekat Syafawiyah menjadi suatu gerakan politik dan menjadi sebuah
kerajaan yang di sebut Kerajaan Syafawiyah.
Dalam perkembangannya, kerajaan Syafawiyah sering berselisih dengan kerajaan Turki
Utsmani.1 Kerajaan Syafawiyah mempunyai perbedaan dari dua kerajaan besar Islam lainnya,
seperti Turki Ustmani dan Mughal. Kerajaan ini menyatakan sebagai penganut Syiah dan dijadikan
sebagai mazhab negara. Oleh karena itu, kerajaan Syafawiyah dianggap sebagai peletak dasar
pertama terbentuknya negara Iran dewasa ini.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang berdirinya Kerajaan Syafawiyah?
2. Bagaimana perkembangan dan masa kejayaan Kerajaan Syafawiyah?
3. Apa penyebab kemunduran dan kehancuran Kerajaan Syafawiyah?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui latar belakang berdirinya Kerajaan Syafawiyah.
2. Untuk mengetahui perkembangan dan masa kejayaan Kerajaan Syafawiyah.
3. Apa penyebab kemunduran dan kehancuran Kerajaan Syafawiyah.
1
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2017), hlm. 138.
BAB II
PEMBAHASAN
2
Prof. Dr. Suyuthi Pulungan, MA. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: AMZAH, 2018), hlm. 285.
3
Ibid, hlm. 285.
4
Prof. Dr. Abd. Rahim Yunus, M.A., Drs. Abu Haif, M.Hum., Sejarah Islam Pertengahan, (Yogyakarta: Ombak, 2013),
hlm. 199.
Pada awalnya gerakan tarekat Safawi bertujuan untuk memerangi orang-orang yang ingkar.
Kemudian memerangi golongan yang mereka sebut ahli bid’ah. Suatu ajaran yang dipegang
secara fanatik biasanya menimbulkan keinginan dikalangan para penganut ajaran itu untuk
berkuasa. Oleh karena itu lama-kelamaan murid-murid tarekat Safawiyah berubah menjadi
tentara yang terorganisir, fanatik dalam kepercayaan, dan menentang setiap orang yang
bermahzab berbeda selain Syi’ah.5
Kecenderungan memasuki dunia politik itu dapat terwujud pada masa kepemimpinan Junaid
(1447-1460 M). safawiyah memperluas gerakannya dengan menambahkan kegiatan politik pada
kegiatan keagamaan. Perluasan wilayah ini menimbulkan konflik antara Juanid dengan Kara
Koyunlu (domba hitam). Dalam konflik tersebut Junaid kalah akhirnya dia diasingkan ke suatu
tempat. Di tempat itu ia dapat perlindungan dari penguasa Diar Bakr, AK Koyunlu (Domba
putih).6
Selama dalam pengasingannya, Junaid tidak tinggal diam ia justru menghimpun kekuatan
untuk kemudian beraliansi secara politik dengan Uzun Hasan. Ia juga berhasil mempersunting
salah seorang saudara sepupu perempuan Uzun Hazan dan memiliki putra bernama Haidar. Pada
tahun 1459 M, Junaid mencoba merebut Ardabil tetapi gagal, setahun kemudian pada tahun 1460
M, Junaid mencoba merebut Sircassia dan pada saat itu pula dia terbunuh pada pertempuran
tersebut.
Sepeninggal Junaid, kedudukannya digantikan oleh putranya Haidar. Ia menjadi pemimpin
Safawiyah pada tahun 1470 M. lalu Haidar menjalin persahabatan dengan AK Koyunlu dengan
jalan menikahi putri Uzun Hazan.7 Dalam rangka persahabatan itu, AK Koyunlu menyerang
Kara Koyunlu untuk membantu dan memenuhi ambisi politik dan militer Safawiyah. Pada tahun
1476 AK Koyunlu berhasil memenangkan pertempuran dengan Kara Koyunlu. Hal itu membuat
gerakan militer Safawiyah yang dipimpin oleh Haidar dipandang sebagai rival politik oleh AK
Koyunlu dalam meraih kekuasaan selanjutnya. Padahal Safawiyah adalah sekutu AK Koyunlu,
tetapi itulah politik. AK Koyunlu berusaha melenyapkan kekuatan militer dan kekuasaan dinasti
Safawiyah. Oleh karena itu, ketika Safawiyah menyerang wilayah Sircassia dan pasukan Sirwan,
5
Prof. Abdurrahman Mas’ud, M.A., Ph.D., Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: AMZAH, 2018), hlm. 187-188.
6
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Depok: PT Raja Grafindo Persada, 2017), hlm. 139.
7
Prof. Dr. Abd. Rahim Yunus, M.A., Drs. Abu Haif, M.Hum., Sejarah Islam Pertengahan, (Yogyakarta: Ombak, 2013),
hlm. 201.
AK Koyunlu mengirim bantuan militer kepada Sirwan, sehingga pasukan Haidar kalah dan
Haidar sendiri terbunuh dalam peperangan itu.
Akan tetapi, Ali, putra dan pengganti Haidar, di desak oleh bala tentaranya untuk menuntut
balas atas kematian ayahnya, terutama terhadap AK Koyunlu. Akan tetapi, pemimpin AK
Koyunlu ketika itu dapat mempenjarakan bersama dua saudaranya (Ibrahim dan Islmail) bersama
ibunya selama empat tahun (1489-1493 M). Mereka dibebaskan oleh Rustam, putra mahkota AK
Koyunlu, dengan syarat mau membantunya memerangi saudara sepupunya, setelah saudara
Rustam dapat dikalahkan Ali bersaudara kembali ke Ardabil.Akan tetapi, tidak lama kemudian
Rustam berbalik memusuhi Ali bersaudara, dan Ali terbunuh dalam serangan ini (1494 M).8
Kepemimpinan gerakan Syafawiyah selanjutnya berada ditangan Ismail, yang saat itu masih
berusia 7 tahun. Selama 5 tahun Ismail beserta pasukannya bermarkas di Gilan, mempersiapkan
kekuatan dan megadakan hubungan dengan para pengikutnya di Azerbaijan, Syuria, dan
Anatolia. Pasukan yang dipersiapkan itu dinamai Qizilbash (baret merah).9
Dibawah pimpinan Ismail, pada tahun 1501 M, pasukan Qizilbash menyerang dan
mengalahkan AK Koyunlu di Sharur dekat Nachchivan.Pasukan ini terus berusaha memasuki
dan menaklukan Tabriz, Ibu kota AK Koyunlu dan berhasil merebut serta mendudukinya. Di
kota ini Ismail memproklamirkan dirinya sebagai Raja pertama Dinasti Syafawiyah. Ia disebut
sebagai Ismail I. Dengan di proklamasikannya Dinasti Syafawiyah sebagai Kerajaan dan
ditetapkan pula Syiah (Syi’ah dua belas) sebagai agama resmi pemerintahan maka merdekalah
Persia dari pengaruh kerajaan Utsmani dan kekuatan asing lainnya.10 Peristiwa inilah yang
menjadi cikal bakal lahirnya kerajaan Syafawiyah yang akan turut memberikan konstribusi
dalam perkembangan kekuasaan Islam.
Silsilah raja-raja Syafawiyah sebelum menjadi kerajaan dan sesudah terbentuknya sistem
kerajaan, yaitu;
8
Prof. Dr. Suyuthi Pulungan, MA. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: AMZAH, 2018), hlm. 289.
9
Prof. Abdurrahman Mas’ud, M.A., Ph.D., Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: AMZAH, 2018), hlm. 187-188
10
Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap Periode Klasik, Pertengahan, dan Modern, (Yogyakarta: DIVA
Press, 2015), hlm. 327.
Safi Al-Din (1252-1334 M)
Ibrahim (1427-1447 M)
Junaid (1447-1460 M)
Haidar (1460-1494)
Tahmasp (1524-1576 M)
Sulaiman (1667-1694 M)
Husain (1694-1722 M)
Tahmasp II (1722-1732 M)
11
Rizem Aizid, Sejarah Peradaban Islam Terlengkap Periode Klasik, Pertengahan, dan Modern, (Yogyakarta: DIVA
Press, 2015), hlm. 328.
2. Mengadakan perjanjian damai dengan Turki Ustmani dengan cara Abbas I berjanji tidak
akan menghina tiga Khalifah pertama dalam Islam (Abu Bakar, Umar, dan Utsman)
dalam khutbah Jum’atnya.
Usaha-usaha tersebut membuat hasil yang baik dan membuat kerajaan Syafawiyah kuat.
Kemudian, Abbas I meluaskan wilayahnya dengan merebut kembali yang telah lepas dari
Syafawiyah maupun mencari daerah baru. Abbas I berhasil menguasai Harrat (1598 M), Marw,
dan Balkh. Kemudian, Abbas I mulai menyerang kerajaan Turki Ustmani dan berhasil menguasai
Tabriz, Shirwani, Ganja, Baghdad, Nachchivan, Erivan, dan Tiflis. Kemudian pada 1622 M,
Abbas I berhasil menguasai kepulauan Hurmuz dan mengubah pelabuhan Gumrun menjadi
pelabuhan Bandar Abbas.12
Pada masa Abbas I inilah Syafawiyah mengalami masa kejayaan yang gemilang. Diantara
bentuk kejayaan sebagai berikut.
1. Bidang Politik
Keadaan politik pada masa Dinasti Safawiyah mulai bangkit kembali setelah Abbas I naik
tahta pada tahun 1587-1629. Ia menata administrasi negara dengan cara yang lebih baik.
Langkah-langkah yang ditempuh olehnya guna memulihkan politik Dinasti Safawiyah ialah
sebagai berikut :
a) Mengadakan pembenahan administrasi dengan cara pengaturan dan pengkontrolan dari pusat.
b) Pemindahan ibokota ke Isfahan.
c) Berusaha menghilangkan dominasi pasukan Qizilbash atas kerajaan Safawiyah dengan cara
membentuk pasukan baru yang anggotanya terdiri atas bangsa Georgia, Armenia dan
Sircassia.
d) Mengadakan perjanjian damai dengan Kerajaan Utsmani.
e) Berjanji tidak akan menghina tiga khalifah dalam khutbah Jum’at.
Reformasi politik yang telah dilakukan oleh Abbas I bisa membuat kerajaan Safawiyah kuat
kembali. Setelah itu, ia mulai memusatkan perhatiannya guna merebut kembali wilayah-wilayah
kekuasaannya yang hilang. Perlu diketahui bahwa kerajaan Safawi dan Turki Utsmani sebelum
abad ke 17 saling bermusuhan dan Safawi mengalami banyak kekalahan. Tetapi, setelah Abbas I
12
Prof. Dr. Suyuthi Pulungan, MA. Sejarah Peradaban Islam. (Jakarta: AMZAH, 2018), hlm. 290-291.
naik tahta Safawiyah berhasil merebut wilayah kekuasaan Turki Utsmani, sehingga menuai
kemenangan.
Menurut Badri Yatim, permusuhan kedua kerajaan dengan aliran agama yang berbeda itu
tidak pernah padam sama sekali. Abbas I mengarahkan serangan-serangannya ke wilayah
Kerajaan Turki Utsmani pada tahun 1602 M, ketika Kerajaan Turki Utsnmani berada di bawah
kepemimpinan Sultan Muhammad III. Pasukan Abbas I menyerang, dan mereka berhasil
menguasai Tabriz, Sirwan, serta Baghdad, sedangkan, Nakh Chivan, Ervan, Ganja dan Taflis
bisa dikuasai.
Pada bulan Maret 1622 M, ia juga sanggup merampas pulau Hurmuz yang telah sekian lama
menjadi pangkalan kekuatan bangsa portugis. Setelah Abbas I, tidak ada lagi raja di Kerajaan
Safawiyah yang kuat. Akibatnya, kerajaan ini bisa dijatuhkan oleh Nadhir Syah.
2. Bidang Ekonomi
Kerajaan Safawiyah pada masa Syah Abbas I mengalami kemajuan di bidang ekonomi,
terutama industri dan perdagangan. Stabilitas politik Kerajaan Safawiyah pada masa Abbas I
ternyata telah memacu perkembangan perekonomian.terlebih setelah kepulauan Hurmuz dikuasai
dan pelabuahan Gumrun diubah menjadi bandar Abbas. Dengan dikuasainya bandar ini maka
salah satu jalur perdagangan laut antara timur dan barat yang biasa diperebutkan oleh Belanda,
Inggris, dan Perancis sepenuhnya menjadi milik Kerajaan Safawiyah.
3. Ilmu Pengetahuan
Dalam sejarah Islam, bangsa Persia dikenal sebagai bangsa yang berperadaban tinggi dan
berjasa dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila
pada masa Kerajaan Safawi tradisi ke ilmuan tinggi terus berlanjut. Ada beberapa ilmuwan yang
selalu hadir di mjelis istana, yaitu Baha Al-Din, Al-Syaerazi (generalis ilmu pengetahuan dan
teknologi), Sadr Al-Din, Al-Saerozi (filsuf), Muhammad Baqir bin Muhammad Damad (teolog,
filsuf, pengamat kehidupan lebah). Dalam bidang ilmu pengetahuan, Kerajaan Safawiyah lebih
mengalami kemajuan daripada Kerajaan Mughal dan Turki Utsmani.
Pada masa Safawiyah, filsafat dan Sains bangkit kembali ke Dunia Islam, khususnya
dikalangan orang-orang Persia yang berminta tinggi dalm perkembangan kebudayaan.
Perkembangan yang baru ini erat kaitannya dengan aliran Syiah yang ditetapkan Dinasti Safawi
sebagai Agama resmi Negara.
Berkembangnya ilmu pengetahuan pada masa Kerajaan Safawiyah terkait doktrin mendasar
bahwa kaum Syiah tidak Taqlid dan pintu Ijtihad selamanya terbuka.mereka berbeda dengan
kaum sunni yang meyakini Ijtihad telah berhenti dan orang-orang harus Taqlid. Sedangkan,
kaum Syiah tetap berpendirian bahwa Mujtahid tidak terputus selamanya.
Menurut Hodgson, ada dua aliran filsafat yang berkembang pada masa Safawi tersebut.
Pertama, aliran filsafat “Perifatetik” sebagaimana yang dikemukakan oleh Aristoteles dan Al-
Farabi. Kedua, aliran filsafat Isyraqi yang dibawa oleh Syahrawardi pada abad XII. Kedua aliran
ini banyak dikembangkan di perguruan Isfahan dan Syiraj. Di bidang filfasat ini muncul
beberapa orang filsuf, di antaranya Muhammad Baqir Damad, yang dianggap guru ketiga
sesudah Aristoteles dan Al-Farabi. Tokoh lainya, Mulla Shadra yang menurut sejarah adalah
seorang dialektikus yang paling cakap di Zamannya.