PENDAHULUAN
1
BAB II
PEMBAHASAN
2
bagaimana norma dalam menempatkan diri terhadap lingkungan yang
lebih luas ditetapkan dan diarahkan oleh keluarga.
b. Kematangan Anak
Bersosialisasi memerlukan kematangan fisik dan psikis. Untuk
mampu mempertimbangan dalam proses sosial, memberi dan
menerima pendapat orang lain, memerlukan kematangan intelektual
dan emosional. Di samping itu, kemampuan berbahasa ikut pula
menentukan. Dengan demikian, untuk mampu bersosialisasi dengan
baik diperlukan kematangan fisik sehingga setiap orang fisiknya telah
mampu menjalankan fungsinya dengan baik.
d. Pendidikan
Pendidikan merupakan proses sosialisasi anak yang terarah.
Hakikat pendidikan sebagai proses pengoperasian ilmu yang normatif,
akan memberikan warna kehidupan sosial anak di dalam masyarakat
dan kehidupan mereka di masa yang akan datang. Pendidikan dalam
arti luas harus diartikan bahwa perkembangan anak dipengaruhi oleh
kehidupan keluarga, masyarakat, dan kelembagaan. Penanaman norma
perilaku yang benar secara sengaja diberikan kepada peserta didik
yang belajar di kelembagaan pendidikan (sekolah). Kepada peserta
didik bukan saja dikenalkan kepada norma-norma lingkungan dekat,
tetapi dikenalkan kepada norma kehidupan bangsa(nasional) dan
norma kehidupan antarbangsa. Etik pergaulan membentuk perilaku
kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
3
e. Kapasitas Mental, Emosi, dan Integensi
Kemampuan berpikir banyak mempengaruhi banyak hal, seperti
kemampuan belajar, memecahkan masalah, dan berbahasa. Anak yang
berkemampuan intelektual tinggi akan berkemampuan berbahasa
secara baik. Oleh karena itu kemampuan intelektual tinggi,
kemampuan berbahasa baik, dan pengendalian emosional secara
seimbang sangat menentukan keberhasilan dalam perkembangan sosial
anak. Sikap saling pengertian dan kemampuan memahami orang lain
merupakan modal utama dalam kehidupan sosial dan hal ini akan
dengan mudah dicapai oleh remaja yang berkemampuan intelektual
tinggi.
Pada jenjang ini, kebutuhan remaja telah cukup kompleks, interaksi sosial dan
pergaulan remaja telah cukup luas. Anak mulai memiliki kesanggupan
menyesuaikan diri sendiri (egosentris) kepada sikap yang kooperatif (bekerja
sama) atau sosiosentris (mau memperhatikan kepentingan orang lain). Dalam
penyesuaian diri terhadap lingkungannya, remaja telah mulai memperlihatkan dan
mengenal berbagai norma pergaulan, yang berbeda dengan norma yang berlaku
sebelumnya di dalam keluarganya.
a. Pada masa remaja, anak mulai memperhatikan dan mengenal berbagai norma
pergaulan. Pergaulan sesama teman lawan jenis dirasakan sangat penting,
tetapi cukup sulit, karena di samping harus memperhatikan norma pergaulan
sesama remaja juga terselip pemikiran adanya kebutuhan masa depan untuk
memilih teman hidup.
c. Menurut “Erick Erison” Bahwa masa remaja terjadi masa krisis, masa
pencarian jati diri. Dia berpendapat bahwa penemuan jati diri seseorang
didorong oleh sosiokultural. Sedangkan menurut Freud, Kehidupan sosial
remaja didorong oleh dan berorientasi pada kepentingan seksual.
4
menampilkan pribadinya yang baik. Sebaliknya, apabila kelompoknya itu
menampilkan sikap dan perilaku yang melecehkan nilai – nilai moral maka
sangat dimungkinkan remaja akan melakukan perilaku seperti kelompoknya
tersebut.
Menurut Lindgren (1980) menyangkut variasi yang terjadi, secara fisik maupun
psikologis. Adapun bidang-bidang dari perbedaannya, yaitu :
a. Perbedaan Kognitif
Kemampuan kognitif merupakan kemampuan yang berkaitan dengan
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Setiap orang memiliki presepsi
tentang hasil pengamatan dari suatu objek. Berarti ia menguasai segala
sesuatu yang diketahui, dalam arti pada dirinya terbentuk suatu persepsi, dan
pengetahuan itu diorganisasikan secara sistematik untuk menjadi miliknya.
5
e. Perbedaan Bakat
Bakat merupakan kemampuan khusus yang dibawa sejak lahir.
Kemampuan tersebut akan berkembang dengan baik apabila mendapatkan
rangsangan dan pemupukan secara tepat sebaliknya bakat tidak berkembang
sama, manakala lingkungan tidak memberi kesempatan untuk berkembang,
dalam arti tidak ada rangsangan dan pemupukan yang menyentuhnya.
Teori Erickson ➡ Manusia hidup dalam kesatuan budaya yang utuh. Alam
dan kehidupan masyarakat menyediakan segala hal yg dibutuhkan manusia.
Namun, berdasar dengan minat, kemampuan, dan latar belakang kehidupan nya
maka berkembang kelompok-kelompok sosial yang beraneka ragam.
6
a) Kerumunan
Sekumpulan orang yang berada di suatu tempat,
akan tetapi di antara mereka tidak berhubungan secara
tetap. Pengelompokan manusia seperti itu disebut juga
kolektivitas, yaitu kumpulan manusia pada suatu tempat
dan suatu waktu yang sifatnya sementara.
b) Massa
Ciri-ciri massa adalah orang-orang yang anonim dan
heterogen, tidak terdapat interaksi, tidak mampu bertindak
secara teratur, memiliki sikap yang kurang kritis, dan
mudah dipengaruhi oleh aktor di balik massa tersebut
c) Publik
Ciri-ciri publik antara lain adalah interaksi tidak
langsung melalui media massa, memiliki perhatian yang
sama terhadap suatu isu, dan adanya kecenderungan untuk
berfikir rasional.
2) Nyata
Kelompok nyata, di sisi lain, adalah kelompok sosial yang lebih
terorganisir.
Contohnya :
a) Kelompok Statistik
Kelompok statistik adalah kelompok yang anggota-
anggotanya tidak memiliki kesadaran sosial. Contohnya
antara lain kelompok penduduk usia tertentu di suatu
kecamatan.
b) Kelompok Sosietal
Ciri kelompok sosietal antara lain terbentuk dengan
sendirinya, kemungkinan terhimpun dalam suatu wadah
tertentu, kemungkinan terjadi interaksi, kemungkinan
terjadi kesadaran kelompok, dan kehadirannya konstan.
c) Kelompok Sosial
Terbentuk karena adanya kesamaan, seperti tempat
tinggal atau pekerjaan yang sama dan memiliki anggota
yang berinteraksi dan melakukan komunikasi secara terus
menerus.
d) Kelompok Asosiasi
Kelompok asosiasi merupakan kelompok sosial
yang paling terorganisir, contohnya antara lain lembaga
pendidikan atau kesatuan angkatan bersenjata.
7
b. Berdasarkan hubungan tiap anggota :
1) Kelompok Primer – Informal (Memiliki hubungan)
Salah satu syarat terbentuknya kelompok sosial adalah
adanya interaksi dari beberapa individu. Anggota pada kelompok
ini memiliki hubungan yang erat antara satu dan lain. Tidak ada
keharusan memiliki AD ART ataupun strukturisasi yang jelas.
Hubungan yang terjadi berdasar pada rasa kepercayaan antar
individunya. Contoh dari kelompok sosial primer adalah arisan
keluarga, kelompok keagamaan, dan lain-lain.
2) Kelompok Sekunder – Formal (Kesamaan Kehubungan)
Adalah sekumpulan orang yang berada di suatu tempat,
akan tetapi di antara mereka tidak berhubungan secara tetap.
Pengelompokan manusia seperti itu disebut juga kolektivitas, yaitu
kumpulan manusia pada suatu tempat dan suatu waktu yang
sifatnya sementara.
Perbedaan ini merupakan hal penting yang harus diketahui oleh guru
karena perbedaan ini dapat digunakan oleh guru untuk menentukan metode belajar
yang tepat dalam proses belajar mengajar dikelas. Guru haruslah teliti dalam
mencari dan menemukan perbedaan yang ada pada siswa, terutama perbedaan-
perbedaan yang menonjol. Hal ini dilakukan untuk memudahkan dalam proses
belajar mengajar dan dalam memberikan pelayanan terhadap siswa agar mampu
menemukan dan mengembangkan potensi yang ada dimiliki oleh siswa.
8
lingkungan tetangga terdekat. Keuntungan pendidikan pra sekolah adalah
memberikan pengalaman sosial dibawah bimbingan guru yang terlatih
yang membantu mengembangkan hubungan yang menyenamgkan dan
berusaha agar anak-anak tidak mendapat perlakuan yang mungkin
menyebabkan mereka menghindari hubungan sosial. Pola prilaku dalam
situasi sosial pada masa kanak-kanak awal: kerja sama, persaingan,
kemurahan hati, hasrat akan penerimaan sosial, simpati, empati,
ketergantungan, sikap ramah, sikap tidak mengasingkn diri sendiri,
meniru, prilaku kekuatan.
1) Hubungan dengan orang dewasa
Dengan berkembangnya keinginan terhadap kebebasan, anak-anak
mulai melawan otoritas orang dewasa. Jika mereka telah
memperoleh kepuasaan prilaku kelekatan pada masa kanak-kanak,
mereka akan terus berusaha membina hubungan yang bersahabat
dengan orang dewasa, terutama anggota keluarga.
2) Hubungan dengan anak lain
Sebelum usia 2 tahun anak kecil terlibat dalam permainan seorang
diri atau searah. Sejak umur 3 atau 4 tahun, anak-anak mulai
bermain bersama dengan kelompok, berbicara satu sama lain pada
saat bermain, dan memilih dari anak-anak yang hadir siapa yang
akan dipilih untuk bermain.
3) Bentuk umum perilaku sosial
Landasan yang diletakkan pada masa kanak-kanak awal akan
menentukan cara anak menyesuaikan diri dengan orang lain dan
situasi sosial jika lingkungan merekan semakin meluas dan jika
mereka tidak mempunyai perlindungan dan bimbingan dari orang
tua sejak bayi. Terjadinya peningkatan prilaku sosial akan
tergantung pada tiga hal: Seberapa kuat keinginan untuk diterima
secara sosial Pengetahuan mereka tentang cara memperbaiki
perilaku Kemampuan intelektual yang semakin berkembang dan
memungkinkan pemahaman hubungan antara prilaku mereka
dengan penerimaan sosial.
9
2) Kepekaan yang belebihan
3) Mudah dipengaruhi dan tidak mudah dipengaruhi
4) Persaingan
5) Sikap sportif
6) Tanggung jawab
7) Wawasan sosial
8) Diskriminasi sosial
9) Prasangka
10) Antagonisme jenis kelamin
Remaja yang dalam masa mencari dan ingin menentukan jati dirinya memiliki
sikap yang terlalu tinggi menilai dirinya atau sebaliknyha. Mereka belum
mamahami benar tentang norma-norma sosial yang berlaku didalam kehidupan
bermasyarakat. Keduanya dapat menimbulkan hubungan sosial yang kurang
serasi, karena mereka sukar untuk menerima norma seksual dengan kondisi dalam
kelompok atau masyarakat. Sikap menentang dan sikap canggung dalam
pergaulan akan merugikan kedua belah pihak. Oleh karena itu, diperlukan adanya
upaya pengembangan hubungan sosial remaja yang diawali dari lingkungan
keluarga, sekolah serta lingkungan masyarakat.
a. Lingkungan Keluarga
Orang tua hendaknya mengikuti kedewasaan remaja dengan jalan
memberikan kebebasan terbimbing untuk menghambil keputusan dan
tanggung jawab sendiri. Iklim kehidupan keluarga yang memberikan
kesempatan secara maksimal terhadap pertumbuhan dan perkembangan
anak akan dapat membantu anak memiliki kebiasaan psikologis untuk
mengungkapkan perasaannya. Dengan cara demikian remaja akan merasa
bahwa dirinya dihargai, diterima, dicintai, dan dihormati sebagai manusia
oleh orang tua dan anggota keluarga lainnya. Dalam konteks bimbingan
orang tua terhadap remaja Hoffman (1989) mengemukakan tiga jenis pola
asuh orang tua yaitu:
1) Pola Asuh Bina Kasih (Induction)
Yaitu pola asuh yang diterapkan orang tua dalam mendidik
anaknya dengan senantiasa memberikan penjelasan yang masuk akal
terhadap setiap keputusan dan perlakuan yang diambil oleh anaknya.
2) Pola Asuh Unjuk Kuasa (Power Acsertion)
Yaitu pola asuh yang diterapkan orang tua dalam mendidik
anaknya dengan senantiasa memaksakan kehendaknya untuk dipatuhi oleh
anak meskipun anak tidak dapat menerimanya.
10
3) Pola Asuh Lepas Kasih (Love Withdrawai)
Yaitu pola asuh yang diterapkan orang tua dalam medidik anaknya
dengan cara menarik sementara kasihnya ketika anak tidak menjalankan
apa yang dikehendaki orang tuanya. Akan tetapi jika anak sudah mau
melaksanakan apa yang dikehendaki orang tuanya maka cinta kasihnya itu
akan dikembalikan seperti sedia kala. Dalam konteks pengembangan
kepribadian remaja, termasuk didalamnya perkembangan hubungan sosial,
pola asuh yang disarankan oleh Hoffman (1989) untuk diterapkan adalah
pola asuh bina kasih (induction).
Artinya setiap keputusan yang diambil oleh orang tua tentang anak
remajanya atau setiap pelakuan yang diberikan orang tua terhadap anak
remajanya harus senantiasa disertai dengan penjelasan atau alasan yang
rasional. Dengan cara demikian, remaja akan dapat mengembangkan
pemikirannya untuk kemudian mengambil keputusan mengikuti atau tidak
terhadap keputusan atau perlakuan orang tuanya.
b. Lingkungan Sekolah
Didalam mengembankan hubungan sosial remaja, guru juga harus
mampu mengembangkan proses pendidikan yang bersifat demokratis.
Guru harus berupaya agar pelajaran yang diberikan selalu cukup menarik
minat anak, sebab tidak jarang anak menganggap pelajaran yang diberikan
oleh guru kepadanya tidak bermanfaat. Tugas guru tidak hanya semata-
mata mengajar tetapi juga mendidik. Artinya, selain menyampaikan
pelajaran sebagai upaya mentransfer pengetahuan kepada peserta didik,
juga harus membina para peserta didik menjadi manusia dewasa yang
bertanggung jawab. Dengan demikian, perkembangan hubungan sosial
remaja akan dapat berkembang secara maksimal.
c. Lingkungan Masyarakat
1) Penciptaan kelompok sosial remaja perlu dikembangkan untuk
memberikan rangsang kepada mereka kearah perilaku yang
bermanfaat
2) Perlu sering diadakan kegiatan kerja bakti, bakti karya untuk dapat
mempelajari remaja bersosialisasi sesamanya dan masyarakat.
11
BAB III
3.1 Kasus
Seorang remaja putri duduk di pojok kamar tidur berukuran 2x3 meter.
Telepon genggam di tangannya. Berulang kali, si gadis menengok layar telepon
genggam. Meski, tak ada pesan instan atau panggilan telepon yang masuk.
Sepanjang hari, si gadis menghabiskan banyak waktu dengan memainkan telepon
genggam di dalam rumah. Kebiasaan ini dilakukan sepulang sekolah, dan baru
muncul sejak akhir Juli 2017. Di bulan itu, si gadis mendadak terkenal. Lantaran,
identitasnya viral di dunia maya.Sebut saja si gadis dengan panggilan N. N
merupakan pelaku perundungan (bullying) di Thamrin City, yang menjadi pusat
pemberitaan saat kasus perundungan mencuat Juli lalu. Kasus tersebut ramai jadi
bahan pergunjingan lantaran video bullying N menyebar di dunia maya.
Menurut Y, anaknya jadi pemurung dan lebih banyak diam selepas banyak
warganet dan orang tak dikenal memberi komentar kasar. Ia kasihan, sebab
anaknya jadi kehilangan kesempatan bergaul akibat dihantui rasa takut. Y gelisah.
Ia ingin anaknya kembali ceria seperti sedia kala. Namun apa daya. Anaknya
belum juga mau keluar rumah—selain sekolah. “Saya yang kadang jadi kesel ke
orang-orang,” kata Y.
Psikolog klinis, Kasandra Putranto, menilai sikap pendiam dan murung yang
diperlihatkan N merupakan dampak dari kekerasan. Kondisi ini, kata Kasandra,
terjadi lantaran kekerasan sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Ini
terjadi di seluruh lapisan masyarakat. “Perilaku kekerasan ini tidak terdeteksi,
tidak terpantau dan tidak termonitor dengan baik. Sehingga muncul kasus yang
banyak terjadi di sekelilling kita,” sebut Kasandra.
12
Membully Pembully
Salah satu "teror" yang masih ia ingat adalah umpatan kasar yang tiba-tiba
datang saat ia hendak main ke sebuah tempat. N baru berjalan kurang dari 500
meter, tiba-tiba ada seorang tak dikenal yang menghinanya. “Dikatain gini ‘ini nih
yang bully itu. Sampah dasar’ katanya begitu,” cerita N. Y dan I mengakui
anaknya memang bersalah. Namun, apa yang kini harus diterima N dirasakan
melebihi kewajaran. Sebab sekali lagi, kata mereka, anaknya baru 12 tahun dan
masih punya masa depan.
Di sisi lain, Y, I, dan N, juga tak mau menyalahkan siapa pun dalam kasus ini.
Meski, ia merasa bahwa yang menyebarkan identitasnya adalah akun Instagram
@lambe_turah. Liputan6.com mencoba menghubungi pemegang akun
@lambe_turah. Admin pemegang akun, sempat membalas saat dihubungi. Namun
setelah pertanyaan dilayangkan, pemegang akun tak membalas hingga berita ini
dibuat. Langkah akun @lambe_turah disayangkan Kasandra Putranto. Bagi
Kasandra, tindakan akun tersebut mengumbar identitas pelaku bullying tak
ubahnya kekerasan itu sendiri. Sebab, penyebaran identitas di dunia maya sama
saja dengan menumbuhkan cyber bullying. “Kan berarti, kita menangani
kekerasan dengan kekerasan. Lalu kita harapaan anak ini belajar apa? Kita
berharap anak ini bisa lebih sabar, lebih mampu mengendalikan diri. Bisa?
Enggak bisa,” kata Kasandra.
Munculnya sebuah kasus kekerasan tak bisa dilepaskan dari benih kekerasan
yang tertanam di masyarakat. Perlahan, benih ini menyemai buah berupa tindakan
yang berulang dan bahkan menjadi spiral. Tanpa disadari benih kekerasan ini
muncul dalam profil seseorang.
13
Ihwal profil ini, Kasandra Putranto, menjelaskan ada profil yang berbeda pada
seorang pelaku dan korban kekerasan. Sebagian pelaku kekerasan, kata Kasandra,
umumnya pernah menjadi korban kekerasan dan marah dengan situasinya sebagai
korban. Akibatnya, seseorang yang semula merupakan korban berubah menjadi
pelaku. Sebagian pelaku lain, merupakan orang yang tidak memiliki kapasitas
keterampilan sosial dan emosional yang cukup untuk membuat mereka bisa
mengendalikan emosi. “Mereka ini tidak bisa mengendalikan diri, yang akhirnya
melakukan kekerasan kepada orang lain,” kata Kasandra.
Sementara profil korban, menurut Kasandra, lebih lemah. Profil lemah ini
menjadi lebih tertekan saat mereka menjadi korban. Kasandra menyebut, ada
dampak kekerasan yang akhirnya menempel pada kondisi psikologi korban.
“Biasanya korban kekerasan itu lebih menjadi pendiam. Kemudian reaksi mereka
menjadi lebih lambat,” imbuh Kasandra.
Di luar banyaknya kasus yang terjadi, Kasandra menyebut, ada kesalahan cara
pandang yang selama ini terjadi di masyarakat. Ia menyebut, kesalahan ini
khususnya ada pada orangtua. Orangtua di Indonesia, pada umumnya lebih
menitiktekankan kepedulian pada sisi intelektualitas dibanding sisi psikologis
anak. Padahal, sisi psikologis merupakan sisi penting yang perlu mendapat
perhatian. “Sisi emosional itu penting untuk mengendalikan diri, menahan
dorongan emosi, dan bagaimana bersikap dan bertindak,” kata Kasandra. Inilah
yang selama ini tanpa disadari menjadikan kekerasan bersemayam di seluruh lini
masyarakat. Sebab, kepedulian jadi perkara yang tersisihkan.
Soal sisi psikologis ini diakui I, ibunda N. Meski berasal dari kalangan
ekonomi menengah ke bawah, I mengakui, sisi psikologis kini jadi perhatiannya.
Sebab, Ia tak tega melihat putri sulungnya kini murung dan pendiam. Padahal,
anaknya sosok yang ceria dan aktif di sejumlah kegiatan sekolah saat masih
mengenyam bangku SD.
14
“Saya sebenarnya bosan di rumah. Pengen kayak dulu lagi. Enggak dikata-katain.
Tapi ya gitu, banyak yang umbar aib,” ujar N mengakhiri pembicaraan
Bullying berasal dari kata Bully, yaitu suatu kata yang mengacu pada
pengertian adanya “ancaman” yang dilakukan seseorang terhadap orang lain
(yang umumnya lebih lemah atau “rendah” dari pelaku), yang menimbulkan
gangguan psikis bagi korbannya (korban disebut bully boy atau bully girl) berupa
stress (yang muncul dalam bentuk gangguan fisik atau psikis, atau keduanya;
misalnya susah makan, sakit fisik, ketakutan, rendah diri, depresi, cemas, dan
lainnya). Definisi Bullying menurut PeKA (Peduli Karakter Anak) adalah
penggunaan agresi dengan tujuan untuk menyakiti orang lain baik secara fisik
maupun mental. Bullying dapat berupa tindakan fisik, verbal, emosional dan juga
seksual.
Bully biasanya berlangsung dalam waktu yang lama (tahunan) sehingga sangat
mungkin mempengaruhi korban secara psikis. Sebenarnya selain perasaan-
perasaan di atas, seorang korban Bully juga merasa marah dan kesal dengan
kejadian yang menimpa mereka. Ada juga perasaan marah, malu dan kecewa pada
diri sendiri karena “membiarkan” kejadian tersebut mereka alami. Namun mereka
tak kuasa “menyelesaikan” hal tersebut, termasuk tidak berani untuk melaporkan
pelaku pada orang dewasa karena takut dicap penakut, tukang ngadu, atau bahkan
disalahkan. Dengan penekanan bahwa bully dilakukan oleh anak usia sekolah,
perlu dicatat bahwa salah satu karakteristik anak usia sekolah adalah adanya
egosentrisme (segala sesuatu terpusat pada dirinya) yang masih dominan.
Sehingga ketika suatu kejadian menimpa dirinya, anak masih menganggap bahwa
semua itu adalah karena dirinya.
Dan juga pada kasus ini, remaja perempuan berinisial N asal Thamrin ini juga
mengalami cyberbullying. Cybercrime merupakan bentuk-bentuk kejahatan yang
timbul karena pemanfaatan teknologi Internet, jenis dari kejahatan cybercrime
diantaranta cyberbullying. Cyberbullying merupakan fenomena baru dari
perkembangan teknologi komunikasi. Pada kondisi sekarang, hal tersebut
didefinisikan sebagai perbuatan menyakiti yang disengaja dan di ulang-ulang
melalui penggunaan computer, telepon selular dan peralatan elektronik lainnya
yang dilakukan oleh sekelompok orang atau individu dimana seseorang yang
menjadikorban tidak bisa membela dirinya sendiri. Tujuannya adalah untuk
mempermalukan, mengolok-olok, mengancam, mengintimidasi dalam rangka
menegaskan kekuasaan dan control atas korban tersebut. Bullying selalu saja
berurusan dengan penyalahgunaan kekuatan atau kekuasaan. Bullying tidak
pernah menjadi persoalan konflik pribadi. Bentuk-bentuk dari cyber bullying
antara lain mengirimkan pesan atau komentar-komentar yang mengandung
15
kebencian melalui blog, email atau ym; mengirimkan sms menyeramkan ke onsel
seseorang; membuat postingan dalam blog ditujukan untuk melecehkan atau
menghina seseorang; meretas email seseorang dan mengirimkan email kepada
orang lain dengan menggunakan identitas email tersebut; mengunggah foto atau
video pribadi seseorang.
Berikut ini adalah contoh tindakan yang termasuk kategori bullying; pelaku
baik individual maupun group secara sengaja menyakiti atau mengancam korban
dengan cara:
Menurut Dan Olweus, penulis dari Bullying at School, Bullying Bisa dibagi
menjadi dua bagian besar yaitu :
16
Bullying itu sangat menyakitkan bagi si korban. Tidak seorangpun pantas
menjadi korban bullying. Setiap orang memiliki hak untuk diperlakukan dan
dihargai secara pantas dan wajar. Bullying memiliki dampak yang negatif bagi
perkembangan karakter anak, baik bagi si korban maupun pelaku. Berikut ini
contoh dampak bullying bagi sang korban :
a. Depresi
b. Rendahnya kepercayaan diri / minder
c. Pemalu dan penyendiri
d. Merosotnya prestasi akademik
e. Merasa terisolasi dalam pergaulan
f. Terpikir atau bahkan mencoba untuk bunuh diri.
Karakteristik korban Bully adalah mereka yang tidak mampu melawan atau
mempertahankan dirinya dari tindakan Bully. Bully biasanya muncul di usia
sekolah. Pelaku Bully memiliki karakteristik tertentu. Umumnya mereka adalah
anak-anak yang berani, tidak mudah takut, dan memiliki motif dasar tertentu.
Motif utama yang biasanya ditenggarai terdapat pada pelaku Bully adalah adanya
agresifitas. Padahal, ada motif lain yang juga bisa dimiliki pelaku Bully, yaitu rasa
rendah diri dan kecemasan. Bully menjadi bentuk pertahanan diri (defence
mechanism) yang digunakan pelaku untuk menutupi perasaan rendah diri dan
kecemasannya tersebut. “Keberhasilan” pelaku melakukan tindakan bully bukan
tak mungkin berlanjut ke bentuk kekerasan lainnya, bahkan yang lebih dramatis.
Ada yang menarik dari karakteristik pelaku dan korban Bully. Korban Bully
mungkin memiliki karakteristik yang bukan pemberani, memiliki rasa cemas, rasa
takut, rendah diri, yang kesemuanya itu (masing-masing atau sekaligus) membuat
si anak menjadi korban Bully. Akibat mendapat perlakuan ini, korban pun
mungkin sekali menyimpan dendam atas perlakuan yang ia alami. Selanjutnya,
bukan tak mungkin, korban Bully, menjadi pelaku Bully pada anak lain yang ia
pandang sesuai dengan tujuannya, yaitu untuk mendapat kepuasan dan
membalaskan dendam. Beberapa hal yang dapat dicermati dalam kasus Bullying
adalah :
Tanda-tandanya :
1) Munculnya keluhan atau perubahan perilaku atau emosi anak akibat stres
yang ia hadapi karena mengalami perilaku bullying (anak sebagai korban).
2) Laporan dari guru atau teman atau pengasuh anak mengenai tindakan
bullying yang terjadi pada anak.
17
b. Anak sebagai Pelaku
Tanda-tandanya :
1) Anak bersikap agresif, terutama pada mereka yang lebih muda usianya, atau
lebih kecil atau mereka yang tidak berdaya (binatang, tanaman, mainan).
2) Anak tidak menampilkan emosi negatifnya pada orang yang lebih tua/ lebih
besar badannya/ lebih berkuasa, namun terlihat anak sebenarnya memiliki
perasaan tidak senang.
3) Sesekali anak bersikap agresif yang berbeda ketika bersama anda.
4) Melakukan tindakan agresif yang berbeda ketika tidak bersama anda
(diketahui dari laporan guru, pengasuh, atau teman-teman).
5) Ada laporan dari guru/ pengasuh/ teman-temannya bahwa anak melakukan
tindakan agresif pada mereka yang lebih lemah atau tidak berdaya (no. 1).
6) Anak yang pernah mengalami bully mungkin menjadi pelaku bully.
Pada tahun 2006 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kasus kekerasan pada
anak mencapai Rp 25 juta, dengan berbagai macam bentuk, dari yang ringan
sampai yang berat. Lalu, data BPS tahun 2009 menunjukkan kepolisian mencatat,
dari seluruh laporan kasus kekerasan, 30 persen di antaranya dilakukan oleh anak-
anak, dan dari 30 persen kekerasan yang dilakukan anak-anak, 48 persen terjadi di
lingkungan sekolah dengan motif dan kadar yang bervariasi. Oleh karenanya,
solusi yang bisa dilakukan untuk mencegah dan menangani kasus Bullying ini,
antara lain:
Solusi buat orang tua atau wali orang tua jika anaknya menjadi korban
intimidasi (bullying) di sekolah. Beberapa di antaranya:
b. Pelajari dan Kenali Karakter Anak Kita. Perlu kita sadari, bahwa satu satu
penyebab terjadinya bullying adalah karena ada anak yang memang punya
karakter yang mudah dijadikan korban. Saya sudah sampaikan tadi, salah
satunya adalah sikap “cepat merasa bersalah”, atau penakut, yang dimiliki
anak saya. Dengan mengenali karakter anak kita, kita akan bisa
mengantisipasi berbagai potensi intimidasi yang menimpa anak kita, atau
18
setidaknya lebih cepat menemukan solusi (karena kita menjadi lebih siap
secara mental). Sekedar ilustrasi, anak saya yang kedua, sampai saat ini
(sudah SMA) belum pernah menjadi korban intimidasi seperti yang
dialami oleh kakaknya dulu.
d. Jangan Terlalu Cepat Ikut Campur. Idealnya, masalah antar anak-anak bisa
diselesaikan sendiri oleh mereka, termasuk di dalamnya kasus-kasus
bullying. Oleh karena itu, prioritas pertama memupuk keberanian dan rasa
percaya diri pada anak-anak kita (yang menjadi korban intimidasi). Kalau
anak kita punya kekurangan tertentu, terutama kekurangan fisik, perlu kita
tanamkan sebuah kepercayaan bahwa itu merupakan pemberian Tuhan dan
bukan sesuatu yang memalukan. Kedua, jangan terlalu “termakan” oleh
ledekan teman, karena hukum di dunia ledek-meledek adalah “semakin
kita terpengaruh ledekan teman, semakin senang teman yang meledek itu”.
e. Masuklah di Saat yang Tepat. Jangan lupa, bahwa seringkali anak kita
sendiri (yang menjadi korban intimidasi) tidak senang kalau kita (orang
tuanya) turut campur. Situasinya menjadi paradoksal: Anak kita menderita
karena diintimidasi, tapi dia takut akan lebih menderita lagi kalau orang
tuanya turut campur. Karena para pelaku bullying akan mendapat ‘bahan’
tambahan, yaitu mencap korbannya sebagai “anak mami”, cemen, dan
sebagainya. Oleh karena itu, kita mesti benar-benar mempertimbangkan
saat yang tepat ketika memutuskan untuk ikut campur menyelesaikan
masalah. Ada beberapa indikator: (1) Kasus tertentu tak kunjung
terselesaikan, (2) Kasus yang sama terjadi berulang-ulang, (3) Kalau
kasusnya adalah pemerasan, melibatkan uang dalam jumlah cukup besar,
(4) Ada indikasi bahwa prestasi belajar anak mulai terganggu.
f. Bicaralah dengan Orang yang Tepat. Jika sudah memutuskan untuk ikut
campur dalam menyelesaikan masalah, pertimbangkan masak-masak
apakah akan langsung berbicara dengan pelaku intimidasi, orang tuanya,
atau gurunya. Seperti yang saya ceritakan di atas, kalau saya lebih suka
untuk berbicara langsung dengan anak saya, pelaku intimidasi, dan
sekaligus guru/wali kelasnya dalam satu kesempatan di sekolah. Saya
19
cenderung untuk menghindari berbicara dengan orang tua pelaku
intimidasi, karena khawatir masalahnya jadi melebar kemana mana dan
situasi menjadi sangat emosional.
g. Jangan Ajari Anak Lari dari Masalah. Dalam beberapa kasus yang
diceritakan teman-teman saya, anak-anak kadang merespon intimidasi
yang dialaminya di sekolah dengan minta pindah sekolah. Kalau dituruti,
itu sama saja dengan lari dari masalah. Jadi, sebisa mungkin jangan
dituruti. Kalau ada masalah di sekolah, masalah itu yang mesti
diselesaikan, bukan dengan ‘lari’ ke sekolah lain. Jangan lupa, bahwa
kasus-kasus bullying itu terjadi hampir di semua sekolah.
h. Jangan Larut dalam Emosi. Ada yang bilang, “orang emosi selalu kalah”.
Jadi, usahakan semaksimal mungkin untuk tidak larut dalam emosi, baik
dalam bentuk “menangisi anak kita” (yang menjadi korban) maupun
melabrak teman anak kita atau orang tuanya. Semua langkah yang kita
ambil harus terkendali oleh akal sehat. Karena kalau tidak, masalah bisa
melebar ke mana-mana. Dan kalau masalahnya sudah selesai, atau
dianggap selesai, jangan diungkit-ungkit lagi. Jadikan pelajaran, dan
lupakan saja. Masih banyak persoalan lain yang menunggu.
20
f. Minta bantuan pihak ke tiga (guru atau ahli profesional) untuk menangani
pelaku.
21
Penanganan buat anak yang menjadi pelaku Bullying:
a. Segera ajak anak bicara mengenai apa yang ia lakukan. Jelaskan bahwa
tindakannya merugikan diri dan orang lain. Upayakan bantuan dari tenaga
ahlinya agar masalah tertangani dengan baik dan selesai dengan tuntas.
b. Cari penyebab anak melakukan hal tersebut. Penyebab menjadi penentu
penanganan. Anak yang menjadi pelaku karena rasa rendah diri tentu akan
ditangani secara berbeda dengan pelaku yang disebabkan oleh dendam
karena pernah menjadi korban.Demikian juga bila pelaku disebabkan oleh
agresifitasnya yang berbeda.
c. Posisikan diri untuk menolong anak dan bukan menghakimi anak.
Solusi lain:
Blaming the victim, sebenarnya mirip dengan cerita petani yang menemukan
buah anggur yang ranum di atas pohon. Tapi, pohonnya sangat tinggi. Sementara,
si petani tidak bisa memanjat pohon itu. Lalu si petani mencari bambu untuk
memetiknya. Tapi, dia tidak menemukan bambu panjang yang bisa mencapai
buah anggur. Tak kehabisan akal, si petani melempari anggur dengan batu. Tapi
tidak ada yang kena. Akhirnya, si petani meninggalkannya, sambil bergumam,
”Hmmm, anggur itu pasti rasanya masam.”
22
Khalifah Umar bin Khattab, pernah mengajarkan teknik problem solving
dengan berorientasi kepada penyelesaian akar masalah. Konon suatu hari,
seseorang dilaporkan kepada Sang Khalifah karena telah mencuri. Si pelapor
meminta kepada khalifah untuk menjatuhkan hukuman yang seberat-beratnya
kepada si pencuri. Khalifah Umar bin Khattab tahu bahwa potong tangan
merupakan sanksi bagi si pencuri. Tetapi, beliau ternyata tidak menghukumnya,
setelah tahu bahwa kelaparan dan paceklik menjadi penyebab orang itu mencuri.
Akhirnya si pencuri dibebaskan. Selanjutnya, sebagai khalifah, dia berusaha untuk
membuat program yang mensejahterakan rakyatnya. Hasilnya, pencurian dan
kriminalitas tidak lagi terdengar di kalangan rakyatnya. Karena, kelaparan dan
paceklik, yang menjadi akar masalah, sudah diselesaikannya.
Apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab, perlu ditiru oleh
siapapun yang akan menyelesaikan masalah kekerasan di kalangan pelajar. Umar
bin Khattab tidak langsung menghukum si pencuri. Melalui otaknya yang jenius
serta hatinya yang tenang, beliau menangkap sinyal ketidakberesan di tengah-
tengah masyarakatnya. Demikian juga dalam menghadapi kasus bullying. Tidak
cukup hanya menghukum para pelajar yang melakukannya. Sebab, banyak faktor
yang dapat dihubungkan sebagai akar masalah yang menjadi penyebab terjadinya
bullying. Misalnya, sistem pendidikan yang tidak membebaskan, suasana belajar
yang tidak kondusif, langkanya keteladanan guru dan pelajar senior, pengaruh
negatif media massa, keluarga yang broken home, serta masih banyak faktor
penyebab lainnya.
c. Komunikasi
23
Oleh karena itu, komunikasi sangat penting dalam membangun suasana yang
sejuk dan damai. Komunikasi menjadi semacam muara bagi solusi atas kasus-
kasus kekerasan di kalangan pelajar. Kesediaan semua pihak, terutama orang tua,
guru dan murid, untuk menjalin komunikasi yang positif, terbuka, dan jujur, akan
membuka jalan menuju solusi yang efektif dalam menyelesaikan kasus bullying.
a. Sosialisasi antibullying kepada siswa, guru, orang tua siswa, dan segenap
civitas akademika di sekolah.
b. Penerapan aturan di sekolah yang mengakomodasi aspek antibullying.
c. Membuat aturan antibullying yang disepakati oleh siswa, guru, institusi
sekolah dan semua civitas akademika institusi pendidikan/ sekolah.
d. Penegakan aturan/sanksi/disiplin sesuai kesepakatan institusi sekolah dan
siswa, guru dan sekolah, serta orang tua dan dilaksanakan sesuai dengan
prosedur pemberian sanksi.
e. Membangun komunikasi dan interaksi antarcivitas akademika.
f. Meminta Depdiknas memasukkan muatan kurikulum pendidikan nasional
yang sesuai dengan tahapan perkembangan kognitif anak/siswa agar tidak
terjadi learning difficulties.
g. Pendidikan parenting agar orang tua memiliki pola asuh yang benar.
h. Mendesak Depdiknas memasukkan muatan kurikulum institusi pendidikan
guru yang mengakomodasi antibullying.
i. Muatan media cetak, elektronik, film, dan internet tidak memuat bullying
dan mendesak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengawasi siaran yang
memasukkan unsur bullying.
j. Perlunya kemudahan akses orang tua atau publik, lembaga terkait, ke
institusi pendidikan/sekolah sebagai bentuk pengawasan untuk pencegahan
dan penyelesaian bullying atau dibentuknya pos pengaduan bullying.
24
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
4.2 Saran
Saat ini banya bahaya dalam proses menuju perkembangan sosial yang
umumnya dapat dikendalikan jika diketahui pada saat yang tepat dan jika
dilakukan langkah perbaikan untuk menguranginya sebelum menjadi kebiasaan
dan menimbulkan reputasi yang kurang baik. Karena itu sebaiknya orang tua
benar-benar memperhatikan perkembangan anak sampai ia mampu untuk
membedakan dan memilih mana yang baik dan burukuntuk dirinya (dewasa).
Tetapi tidak dengan bersikap otoriter terhadap anak, supaya anak merasa lebih
nyaman dan tidak takut untuk menceritakan konflik-konflikyang terjadi selama
masa perkembangannya.
25
DAFTAR PUSTAKA
26