Anda di halaman 1dari 15

Modul 5

Skenario 5.

Pengobatan Menahun Bu Ani

Buk Ani merasakan nyeri pada sendi beberapa tahun ini. Menurut dokter, nyeri pada
persendian merupakan gejala utama dari penyakit rematik. Karena itu fokus penanganan pasien
rematik adalah pengontrolan rasa nyeri serta pengurangan kerusakan sendi, dengan terapi
farmakologi dan non farmakologi. Syaratnya obat harus aman dan dapat diberikan kepada
pasien, dan sudah melalui berbagai rangkaian uji praklinik pada binatang dan uji klinik pada
manusia. Dari segi ekonomi obat-obatan ini juga tidak memberatkan pasien.
Obat rematik termasuk dalam obat keras dan harus dikonsumsi dalam jangka panjang,
bahkan seumur hidup. Karena itu Bu Ani diharapkan tidak sembarangan mengonsumsi obat
rematik karena efek sampingnya. Dokter harus melakukan monitoring efek samping obat
(MESO) pada pasiennya. Menurut dokter yang menangani Buk Ani, secara umum mekanisme
obat rematik bekerja dengan tiga cara, yakni analgetik (pain killer), meredakan radang, dan ada
pula yang bekerja memodifikasi perjalanan penyakit.
Ibu Ani merasa takut mengonsumsi obat dalam jangka panjang, karena berdampak pada
tubuh. Misalnya saja merusak ginjal, hati, menekan aktifitas sumsum tulang, dan sebagainya.
Dokter yang memeriksa Ibu Ani waktu kontrol penyakitnya berkata: “Obat pereda nyeri saja jika
sering-sering dikonsumsi pasti menimbulkan efek samping."
Oleh karena itu, setiap dua atau tiga bulan sekali Bu Ani harus kontrol ke dokter untuk
memonitor kesehatan secara umum, dan kapan perlu dapat dilakukan TDM (Therapeutic Drug
Monitoring). Biasanya dokter akan meminta Bu Ani untuk melakukan cek darah di laboratorium.
Meski dikonsumsi jangka panjang, namun obat rematik sekali-sekali bisa dihentikan. "Rematik
memang tidak bisa disembuhkan, tapi bukan berarti penyakitnya tidak bisa mereda atau mencapai
fase remisi. Jika penyakitnya reda, obatnya boleh dihentikan. Karena itu penting untuk berobat
teratur sehingga bisa dicapai remisi.
Bagaimana anda menjelaskan apa yang terjadi pada Ibu Ani?

Terminologi :
1. Penyakit reumatik : penyakit autoimun yang ditandai dengan terdapatnya peradangan paa
sinovitis erosif simetrik yang mengenai jaringan persendian
2. Uji praklinik : uji yang dilakukan pada hewan coba untuk menilai keamanan serta profil
farmakodinamik dari produk atau obat yang diuji
3. Uji klinik : uji yang dilakukan untuk memastikan efektivitas, keamanan, dan gambaran
efek samping yang sering timbul pada manusia akibat pemberian suatu obat.
4. Efek samping : Setiap respon obat yang merugikan akibat penggunaan obat dengan dosis
atau takaran normal
5. Monitoring efek samping obat (MESO) : aktivitas tentang deteksi, penilaian
(assessment), pemahaman dan pencegahan efek samping atau masalah lainnya terkait
dengan penggunaan obat
6. Analgetik : obat yang digunakan untuk meredakan rasa nyeri
7. TDM (Therapeutic Drug Monitoring) : Suatu proses yang mencakup kegiatan untuk
memastikan terapi obat yang aman, efektif, dan rasional bagi pasien Mengukur dosis
suatu obat yang dapat dipertahankan konsentrasinya secara konstan di sirkulasi darah.

Pertanyaan :
1. Bagaimana proses uji praklinis dan uji klinis suatu obat ?
Uji praklinis :
Suatu senyawa yang baru ditemukan (hasil isolasi maupun sintesis) terlebih dulu diuji
dengan serangkaian uji farmakologik pada organ terpisah maupun pada hewan (uji
praklinik). Bila ditemukan suatu aktivitas farmakologik yang mungkin bermanfaat, maka
senyawa yang lolos penyaringan ini akan diteliti lebih lanjut. Sebelum calon obat baru ini
dapat dicobakan pada manusia, dibutuhkan waktu beberapa tahun untuk meneliti sifat
farmakodinamik, farmakokinetik, dan efek toksiknya pada hewan coba. Dalam studi
farmakokinetik ini tercakup juga pengembangan teknik analisis untuk mengukur kadar
senyawa tersebut dan metabolitnya dalam cairan biologik. Semuanya ini diperlukan
untuk memperkirakan dosis efektif dan memperkecil risiko penelitian pada manusia.

Studi toksikologi pada hewan umumnya dilakukan dalam 3 tahap, masing-masing pada 2-
3 spesies hewan coba.
1. Penelitian toksisitas akut bertujuan mencari besarnya dosis tunggal yang
membunuh 50% dari sekelompok hewan coba (LD50). pada tahap ini sekaligus
diamati gejala toksik dan perubahan patologik organ pada hewan yang
bersangkutan.
2. Penelitian toksisitas jangka panjang, bertujuan meneliti elek toksik pada hewan
coba setelah pemberian obat ini secara teratur dalam jangka panjang dan dengan
cara pemberian sepertl pada pasien nantinya. Lama pemberian bergantung pada
lama pemakaian nantinya pada penderita
3. Penelitian toksisitas khusus meliputi penelitian terhadap sistem reproduksi
termasuk teratogenisitas, uji karsinogenisitas dan mutagenisitas, serta uji
ketergantungan. . Walaupun uji farmakologi-toksikologik pada hewan ini
memberikan data yang berharga, ramalan tepat mengenai efeknya pada manusia
belum dapat dibuat karena spesies yang berbeda tentu berbeda pula jalur dan
kecepatan metabolisme, kecepatan ekskresi, sensilivitas reseptor, anatomi, atau
lisiologinya. Satu-satunya jalan untuk memastikan efek obat pada manusia, baik
efek lerapi maupun efek nonterapi, ialah memberikannya pada manusia dalam uji
klinik.

Uji Klinik :
Pada dasarnya uji klinik memastikan efektivitas, keamanan, dan gambaran efek samping
yang sering timbul pada manusia akibat pemberian suatu obat. Uji klinik ini terdiri dari
uji fase I sampai lV.
1. Fase 1
Fase ini merupakan pengujian suatu obat baru untuk pertama kalinya pada
manusia. Yang diteliti di sini ialah keamanan obat, bukan efektivitasnya, maka
biasanya dilakukan pada sukarelawan sehat. Tujuan pertama fase ini ialah
menentukan besarnya dosis tunggal yang dapat diterima, artinya yang tidak
menimbulkan efek samping serius. Dosis oral yang diberikan pertama kali pada
manusia biasanya 1/50 x dosis minimal yang menimbulkan efek pada hewan.

Pada fase ini diteliti juga sifat farmakodinamik dan farmakokinetiknya pada
manusia. Hasil penelitian farmakokinetik ini digunakan untuk meningkatkan
ketepatan pemilihan dosis pada penelitian selanjutnya. Selain itu, hasil ini
diperbandingkan dengan hasil uji serupa pada hewan coba sehingga diketahui
pada spesies hewan mana obat tersebut mengalami proses tarmakokinetik seperti
pada manusia, Bila spesies ini dapat ditemukan, maka dilakukan penelitian
toksisitas jangka panjang pada hewan tersebut.
2. Fase 2
Pada fase ini obat dicobakan untuk pertama kalinya pada sekelompok kecil
penderita yang kelak akan diobati dengan calon obat. Tujuannya ialah melihat
apakah efek farmakologik yang tampak pada fase I berguna atau tidak untuk
pengobatan.

Pada fase ll awal, pengujian efek terapi obat dikerjakan secara terbuka karena
masih merupakan penelitian eksploratif. Pada tahap ini biasanya belum dapat
diambil kesimpulan yang mantap mengenai efek obat yang bersangkutan karena
terdapat berbagai laktor yang mempengaruhi hasil pengobatan, misalnya
perjalanan klinik penyakit, keparahannya, efek plasebo.

Untuk membuktikan bahwa suatu obat berkhasiat, perlu dilakukan uji klinik
komparatif yang membandingkannya dengan plasebo; atau bila penggunaan
plasebo tidak memenuhi syarat etik, obat dibandingkan dengan obat standar yang
telah dikenal. lni dilakukan pada akhir fase ll atau awal fase lll, tergantung dari
siapa yang melakukan, seleksi penderita, dan monitoring penderitanya. Untuk
menjamin validitas uji klinik komparatif ini, alokasi penderita harus acak dan
pemberian obat dilakukan secara tersamar ganda. lni disebut uii klinik acak
tersamar ganda berpembanding.

Pada fase ll ini tercakup juga penelitian dosis efek untuk menetapkan dosis
optimal yang akan digunakan selanjutnya, serta penelitian lebih lanjut mengenai
eliminasi obat, terutama metabolismenya.
3. Fase 3
Uji klinik fase lll dilakukan untuk memastikan bahwa suatu obat baru benar benar
berkhasiat (sama dengan penelitian pada akhir fase ll) dan untuk mengetahui
kedudukannya dibandingkan dengan obat standar. Penelitian ini sekaligus akan
menjawab pertanyaan-pertanyaan tentang (1) efeknya bila digunakan secara
luas dan diberikan oleh para dokter yang 'kurang ahli'; (2) efek samping lain
yang belum terlihat pada fase ll: (3) dan dampak penggunaannya pada
penderita yang tidak diseleksi secara ketat.

Uji klinik fase lll dilakukan pada sejumlah besar penderita yang tidak terseleksi
ketat dan dikerjakan oleh orang-orang yang tidak terlalu ahli, sehingga
menyerupai keadaan sebenarnya dalam penggunaan sehari-hari di masyarakat.
Bila hasil uji klinik fase lll menunjukkan bahwa obat baru ini cukup aman dan
efektif, maka obat dapat diizinkan untuk dipasarkan
4. Fase 4
Fase ini sering disebut post marketing drug surveillance karena merupakan
pengamatan terhadap obat yang telah dlpasarkan. Fase ini bertujuan menentukan
pola penggunaan obat di masyarakat serta pola efektivitas dan keamanannya pada
penggunaan yang sebenarnya. Pada fase ini kepatuhan penderita makan obat
merupakan masalah.

Penelitian fase lV merupakan survei epidemiologik menyangkut efek samping


maupun efektivitas obat. Pada fase lV ini dapat diamati (1) efek samping yang
frekuensinya rendah atau yang timbul setelah pemakaian obat bertahun-tahun
lamanya, (2) efektivitas obat pada penderita berpenyakit berat atau berpenyakit
ganda, penderita anak atau usia lanjut, atau setelah penggunaan berulangkali
dalam jangka panjang, dan (3) masalah penggunaan berlebihan, penyalahgunaan,
dan lain-lain. Studi fase lV dapat juga berupa uji klinik jangka panjang dalam
skala besar untuk menentukan efek obat terhadap morbiditas dan mortalitas
sehingga datanya menentukan status obat yang bersangkutan dalam terapi.

2. Mengapa dokter harus memikirkan biaya obat dalam pemilihan obat ke pasien ?
Farmakoekonomi merupakan multidisiplin ilmu yang mencakup ilmu ekonomi
dan kesehatan yang bertujuan meningkatkan taraf kesehatan dengan meningkatkan
efektivitas perawatan kesehatan. Pemahaman tentang konsep farmakoekonomi sangat
dibutuhkan oleh banyak pihak seperti industri farmasi, farmasi klinik, pembuat kebijakan.
Pemahaman mengenai farmakoekonomi dapat membantu apoteker membandingkan input
(biaya untuk produk dan layanan farmasi) dan output (hasil pengobatan). Analisis
farmakoekonomi memungkinkan apoteker untuk membuat keputusan penting tentang
penentuan formularium, manajemen penyakit, dan penilaian pengobatan(2).
Farmakoekonomi juga dapat menbantu pembuat kebijakan dan penyedia pelayanan
kesehatan dalam membuat keputusan dan mengevaluasi keterjangkauan dan akses
pengunaan obat yang rasional. Kunci utama dari kajian farmakoekonomi adalah efisiensi
dengan berbagai strategi yang dapat dilakukan untuk mendapatkan manfaat semaksimal
mungkin dengan sumber daya yang digunakan. Terdapat empat jenis utama analisis
farmakoekonomi yaitu Cost Effectiveness Analysis (CEA); Cost Minimization Analysis
(CMA); Cost Utility Analysis (CUA) dan Cost Benefit Analysis (CBA (3).

a. CEA
CEA merupakan suatu analisis yang digunakan untuk memilih dan menilai
suatu program kesehatan atau pengobatan yang terbaik dari beberapa pilihan
pengobatan yang memiliki tujuan pengobatan yang sama

b. CMA
CMA merupakan analisis yang dilakukan dengan membandingkan biaya yang
dibutuhkan oleh dua atau lebih program kesehatan atau pengobatan yang
bertujuan untuk mengetahui dan mengidentifikasi pengobatan dengan biaya
paling rendah dengan outcome yang sama(15).
c. CUA
CUA merupakan suatu metode analisis dalam farmakoekonomi yang
membandingkan biaya pengobatan dengan kualitas hidup yang didapat dari
pengobatan yang diberikan.

d. CBA
CBA merupakan analisis farmakoekonomi yang membandingkan manfaat
yang diberikan dari suatu pengobatan dengan biaya yang harus dikeluarkan
dalam pemberian pengobatan.
3. Mengapa efek samping suatu obat bisa terjadi ?
Interaksi obat yang tidak dikehendaki (ADIs)
mempunyai implikasi klinis jika:
(1) obat indeks memiliki batas keamanan sempit;
(2) mula kerja (onset of action) obat cepat, terjadi dalam waktu 24 jam;
(3) dampak ADIs bersifat serius atau berpotensi fatal dan mengancam kehidupan;
(4) indeks dan obat presipitan lazim digunakan dalam praktek klinik secara bersamaan
dalam kombinasi.

Banyak faktor berperan dalam terjadinya ADIs yang bermakna secara klinik, antara lain
faktor usia, faktor penyakit, genetik, dan penggunaan obat-obat preskripsi bersama-sama
beberapa obat-obat OTC sekaligus. Usia lanjut lebih rentan mengalami interaksi obat.
Pada penderita diabetes melitus usia lanjut yang disertai menurunnya fungsi ginjal,
pemberian penghambat ACE (misal: kaptopril) bersama diuretik hemat kalium (misal:
spironolakton, amilorid, triamteren) menyebabkan terjadinya hyperkalemia yang
mengancam kehidupan.

Beberapa penyakit seperti penyakit hati kronik dan kongesti hati menyebabkan
penghambatan metabolisme obatobat tertentu yang dimetabolisme di hati (misalnya
simetidin) sehingga toksisitasnya dapat meningkat. Pemberian relaksans otot bersama
aminoglikosida pada penderita miopati, hipokalemia, atau disfungsi ginjal, dapat
menyebabkan efek relaksans otot meningkat dan kelemahan otot meningkat.
Polimorfisme adalah salah satu faktor genetik yang berperan dalam interaksi obat.
Pemberian fenitoin bersama INH pada kelompok polimorfisme asetilator lambat dapat
menyebabkan toksisitas fenitoin meningkat. Obat obat OTC seperti antasida, NSAID dan
rokok yang banyak digunakan secara luas dapat berinteraksi dengan banyak sekali obat-
obat lain.

Faktor risiko terjadinya adverse drug interaction :


1. Berhubungan dengan pasien
 Usia : sering pada usia muda
 Jenis kelamin : sering pada wanita
 Genetic
 Atopi
 AIDS
2. Berhubungan dengan obat
 Makromolekul : molekul obat yang besar dapat dianggap sebagai antigen komplit,
misalnya insulin
 Bivalensi : kemampuan untuk berikatan dengan beberapa reseptor
 Hapten
 Rute pemberian : lebih sering mengalami efek samping pada cara pemberian lokal
atau topical, jarang pada pemeberian secara parenteral dan paling jarang pada
penggunaan secara oral. Namun pemberian secara intravena akan dapat
menimbulkan reaksi yang lebih berat.
 Dosis
 Lama terapi
3. Faktor pendukung
 Beta bloker : penggunaan obat beta bloker akan mengurangi respon penderita
terhadap adrenalin yang diberikan untuk menangani anafilaksis.
 Asma : asma akan memperberat penanganan apabila terjadi reaksi anafilaksis,
karena konstriksi bronkus yang terjadi dapat disebabkan oleh asmanya sendiri
maupun akibat reaksi dengan obat yang diberikan
 Kehamilan : efek teratogenic yang mengenai janin.

4. Mengapa dokter harus memonitor efek samping obat ? dan bagaimana cara melaporkan
efek samping obat ?
Pengawalan dan pemantauan aspek keamanan obat pasca pemasaran dilakukan untuk
mengetahui efektifitas (efectiveness) dan keamanan penggunaan obat pada kondisi
kehidupan nyata atau praktik klinik yang sebenarnya. Banyak bukti menunjukkan bahwa
sebenarnya efek samping obat (ESO) dapat dicegah, dengan pengetahuan yang
bertambah, yang diperoleh dari kegiatan pemantauan aspek keamanan obat pasca
pemasaran (atau yang sekarang lebih dikenal dengan istilah Farmakovigilans)

MESO oleh tenaga kesehatan di Indonesia masih bersifat sukarela (voluntary reporting)
dengan menggunakan formulir pelaporan ESO berwarna kuning, yang dikenal sebagai
Form Kuning (Lampiran 1). Monitoring tersebut dilakukan terhadap seluruh obat beredar
dan digunakan dalam pelayanan kesehatan di Indonesia.

Aktifitas monitoring ESO dan juga pelaporannya oleh sejawat tenaga kesehatan sebagai
healthcare provider merupakan suatu tool yang dapat digunakan untuk mendeteksi
kemungkinan terjadinya ESO yang serius dan jarang terjadi (rare).

Siapa yang melaporkan?


Tenaga kesehatan, dapat meliputi:
 dokter,
 dokter spesialis,
 dokter gigi,
 apoteker,
 bidan,
 perawat,
 tenaga kesehatan lain.

Apa yang perlu dilaporkan?


Setiap kejadian yang dicurigai sebagai efek samping obat perlu dilaporkan, baik efek
samping yang belum diketahui hubungan kausalnya (KTD/AE) maupun yang sudah pasti
merupakan suatu ESO (ADR).

Bagaimana cara melapor dan informasi apa saja yang harus dilaporkan?
Informasi KTD atau ESO yang hendak dilaporkan diisikan ke dalam formulir pelaporan
ESO/ formulir kuning yang tersedia. Dalam penyiapan pelaporan KTD atau ESO, sejawat
tenaga kesehatan dapat menggali informasi dari pasien atau keluarga pasien. Untuk
melengkapi informasi lain yang dibutuhkan dalam pelaporan dapat diperoleh dari catatan
medis pasien.

5. Apa saja dampak mengonsumsi obat dalam jangka waktu yang lama (jangka panjang)
selain yang disebutkan di atas?
Jawab:

Efek samping ringan yang mungkin muncul setelah penggunaan obat nyeri untuk
sementara adalah mual, muntah, sakit perut. sakit kepala, rasa kantuk atau disorientasi
(linglung, bingung), hingga masalah pencernaan seperti diare atau sembelit. NSAID juga
dapat menyebabkan lengan dan kaki membengkak.

Dilanjutkan terus, terlalu sering minum obat pereda nyeri dalam jangka panjang
dapat membuat tubuh menjadi kebal terhadap efek obat. Obat tidak lagi bekerja efektif
untuk mengatasi rasa sakit yang muncul, sehingga perlu dosis yang lebih tinggi agar obat
tetap memberikan efek. Lama kelamaan, kondisi kebal obat dapat membuat pasien
menjadi ketergantungan obat. Selain itu, penggunaan obat penghilang rasa sakit dalam
waktu lama dapat menyebabkan luka (ulkus) pada lambung maupun usus halus yang bisa
mengakibatkan perdarahan dalam dan terjadinya infeksi pada rongga perut (peritonitis).
Konsumsi obat antinyeri yang berkelanjutan meski tidak perlu-perlu amat juga
dapat menyebabkan kerusakan hati dan gagal ginjal akibat efek obat yang merusak fungsi
ginjal.

Ibuprofen, aspirin, dan NSAID lainnya juga dapat menyebabkan peningkatan


tekanan darah. Efek obat pereda nyeri dapat mengganggu kerja otot polos dinding
pembuluh sehingga menghambat kemampuan pembuluh darah untuk mengerut dan
melonggar. Kondisi ini dapat meningkatkan risiko terjadinya sumbatan pada pembuluh
darah yang sering disebut aterosklerosis. Dalam jangka panjang, aterosklerosis dapat
menyebabkan penyakit jantung koroner hingga serangan jantung dan stroke apabila tidak
ditangani dengan tepat. Yang lebih parah, ketergantungan obat lambat laun dapat
mendorong penggunanya jatuh ke fase overdosis yang bisa berakibat fatal.

6. Mengapa Ibu Ani harus melakukan General Check Up setiap dua atau tiga bulan sekali?
Jawab:
Medical checkup adalah pemeriksaan kesehatan yang bertujuan untuk mengetahui
status kesehatan pasien, bukan untuk mendiagnosis gejala atau mengobati penyakit.
Medical checkup mencakup serangkaian wawancara dan pemeriksaan kesehatan. Jenis-
jenis dan lingkup pemeriksaan kesehatan dalam medical checkup bervariasi, tergantung
keperluan dan permintaannya. Pada umumnya medical checkup bertujuan untuk
mendeteksi secara dini bila ada masalah kesehatan tersembunyi yang belum
menunjukkan gejala, terutama penyakit-penyakit kardiovaskular, penyakit ginjal,
penyakit liver dan diabetes mellitus. Selain mendeteksi dini penyakit, medical checkup
juga menentukan tingkat kebugaran dan kesehatan umum.

Medical Check Up juga di sebut dengan General check Up Indikasi Medical Check
Up Walau tidak diwajibkan, medical check up telah menjadi pemeriksaan kesehatan
rutin. Pasien dapat berkonsultasi kepada dokter kapan saja dan tidak perlu menunggu
sampai timbulnya penyakit atau menurunnya kondisi kesehatan. Medical check up secara
rutin dapat meningkatkan peluang untuk tetap sehat dan memiliki usia yang lebih
panjang.
Berikut ini adalah tujuan medical check up secara rutin ke dokter:

 Mengetahui kondisi kesehatan terkini guna mempersiapkan bentuk penanganan secara


dini jika ditemukan adanya penyakit atau gangguan kesehatan.
 Mengetahui risiko-risiko penyakit yang mungkin bisa muncul di kemudian hari.
 Mendorong pasien untuk beralih ke gaya hidup sehat.

Peringatan:
Berikut ini adalah sejumlah hal yang harus diperhatikan sebelum melakukan
medical check up. Di antaranya adalah:

 Informasikan kepada dokter apabila sedang menjalani pola makan atau diet tertentu.
 Informasikan kepada dokter mengenai obat-obatan, termasuk suplemen dan produk
herba, yang sedang dikonsumsi.
 Informasikan kepada dokter mengenai perubahan yang terjadi pada tubuh, misalnya
munculnya benjolan.
 Beri tahu dokter apabila sedang mengalami pusing, kelelahan, gangguan buang air kecil
atau besar, perubahan siklus menstruasi, depresi, atau kecemasan.

Sebelum Medical Check Up


Ada beberapa hal yang perlu dipersiapkan sebelum medical check up. Pasien disarankan
untuk membawa data medis penting, seperti foto Rontgen atau hasil dari pemeriksaan
kesehatan yang sebelumnya pernah dilakukan. Tanyakan juga kepada dokter atau
paramedis mengenai perlunya puasa sebelum melakukan pemeriksaan.
Sebelum rangkaian pemeriksaan dilakukan, akan diberikan kuesioner yang berisi
pertanyaan-pertanyaan yang mengacu pada kondisi kesehatan saat ini dan yang
terdahulu. Berikan daftar obat, suplemen, atau herba yang sedang dikonsumsi. Tiap
melakukan medical check up, usahakan untuk selalu didampingi oleh keluarga atau
kerabat dekat.

Prosedur Medical Check Up


Bentuk-bentuk tes dalam medical check up sangat bervariasi. Tes akan disesuaikan
dengan usia, jenis kelamin, dan kondisi kesehatan pasien. Pemeriksaan kesehatan secara
menyeluruh meliputi:

 Pemeriksaan riwayat kesehatan


Pada tahap awal medical check up, pasien akan ditanyakan mengenai sejumlah keluhan
kesehatan yang dialami. Dokter juga akan mengajukan beberapa pertanyaan mengenai
gaya hidup, seperti pola makan, intensitas olahraga, kebiasaan merokok, atau konsumsi
minuman beralkohol.

 Pemeriksaan tanda vital

Tanda-tanda vital yang diperiksa, di antaranya meliputi:


- Frekuensi denyut jantung. Denyut jantung normal adalah 60-100 kali per menit.
- Frekuensi pernapasan. Pernapasan normal berkisar antara 12-20 kali per menit.
- Suhu tubuh. Suhu badan normal rata-rata berkisar antara 36-37 derajat Celcius.
- Tekanan darah. Tekanan darah yang dikatakan normal adalah 90/60 mmHg sampai di
bawah 120/80 mmHg.

 Pemeriksaan fisik

Sebelum pemeriksaan fisik, dokter akan meminta untuk melepaskan pakaian dan
aksesoris yang menempel pada tubuh, termasuk rias wajah yang digunakan. Beri tahu
dokter bila merasa tidak nyaman untuk melepas pakaian. Pemeriksaan fisik akan dimulai
dari mengukur berat badan dan tinggi badan, untuk mengetahui bila terdapat kekurangan
atau kelebihan berat badan.
Selanjutnya dokter akan memeriksa secara teliti seluruh bagian tubuh mulai dari kepala
sampai dengan kaki. Orang yang diperiksa dapat diminta berdiri, duduk, atau tidur
terlentang sesuai area yang akan diperiksa. Mulai dari melihat apakah ada kelainan pada
kulit, menekan dan mengetuk bagian tubuh tertentu. Bila terdapat rasa nyeri saat
penekanan atau pengetukan, informasikan kepada dokter. Pada wanita, pemeriksaan
payudara akan dilakukan dengan melihat dan menekan area payudara, dengan
sebelumnya meminta ijin. Dokter juga akan memeriksa daerah lipatan seperti ketiak atau
lipat paha untuk mendeteksi kemungkinan benjolan yang timbul di daerah tersebut.
Dokter akan menggunakan alat bantu seperti otoskop untuk memeriksa keadaan telinga
dan stetoskop untuk mendengar bunyi jantung, paru-paru, dan saluran pencernaan.
Beberapa pemeriksaan seperti pemeriksaan kekuatan otot, memerlukan kerja sama orang
yang diperiksa untuk melakukan gerakan sesuai dengan yang diperintahkan dokter.
Jangan ragu untuk bertanya kepada dokter mengenai instruksi yang diperintahkan, bila
kurang mengerti.
Pada pemeriksaan fisik, termasuk juga pemeriksaan kelamin. Pada laki-laki akan
diperiksa penis dan testis, untuk melihat adanya infeksi, peradangan, perubahan ukuran,
dan benjolan yang mungkin timbul. Untuk memeriksa prostat, dokter akan melakukan
pemeriksaan colok dubur untuk meraba ada tidaknya pembesaran ukuran dari kelenjar
prostat. Sedangkan pada wanita, akan diperiksa area vagina, vulva, dan serviks.
 Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan dengan sampel darah, urin, dan tinja untuk
melihat jumlah sel darah, zat kimia yang menjadi penanda fungsi organ, kolesterol, gula
darah, serta kelainan pada urine dan tinja, baik secara penampilan fisik, kimia yang
terkandung, maupun secara mikroskopik menggunakan bantuan mikroskop. Tergantung
dari tujuan medical check up, terkadang juga dilakukan pemeriksaan terhadap penanda
tumor dalam tubuh.
Pemeriksaan pencitraan
Pemeriksaan pencitraan seperti USG dan foto Rontgen digunakan untuk melihat kondisi
organ seperti paru-paru, hati, pankreas, ginjal, limpa, dan kandung kemih, serta prostat
pada pria dan rahim pada wanita. Pada wanita, pemeriksaan foto Rontgen payudara
(mammografi) atau USG mammae (payudara) akan dilakukan untuk mendeteksi adanya
tumor payudara.
Pemeriksaan rekam jantung
Pemeriksaan rekam jantung atau elektrokardiografi (EKG) merupakan tes untuk
merekam aktivitas listrik jantung dengan menggunakan elektroda-elektroda kecil yang
ditempelkan di kulit dada, lengan, dan tungkai. Pemeriksaan EKG dapat dilakukan
dalam posisi tiduran atau saat melakukan aktivitas, seperti berlari di atas
mesin treadmill.
Paps smear
Paps smear disarankan untuk wanita yang memasuki usia 21 tahun dan sudah pernah
berhubungan seksual, setiap 3 tahun sekali guna mendeteksi kanker serviks. Setelah usia
30 tahun, wanita dianjurkan untuk melakukan paps smear setiap 5 tahun sekali,
sedangkan setelah usia 65 tahun, tidak perlu melakukan pemeriksaan paps smear, bila
tidak timbul keluhan.

Setelah Medical Check Up


Bila ditemukan kelainan pada hasil medical check up, akan dianjurkan untuk melakukan
evaluasi lebih lanjut terhadap kelainan tersebut. Dokter juga akan menyarankan untuk
menerapkan pola hidup sehat, baik ditemukan kelainan atau tidak, seperti:
 Mengonsumsi makanan sehat. Perbanyak porsi sayuran dan buah-buahan, serta
batasi konsumsi makanan berlemak.
 Rutin berolahraga. Sediakan waktu untuk berolahraga setidaknya 150 menit per
minggu, misalnya dengan berjalan kaki, untuk menurunkan risiko penyakit
jantung, diabetes, dan kanker.
 Berhenti merokok.

Seiring bertambahnya usia seseorang, maka disarankan untuk melakukan pemeriksaan


kesehatan secara rutin guna mencegah potensi berbagai penyakit atau gangguan
kesehatan. Medical check up disarankan bagi orang dewasa (di atas 18 tahun) dengan
frekuensi 5 tahun sekali sampai usia 40 tahun. Bagi yang berusia di atas 40 tahun,
disarankan untuk melakukan medical check up dengan frekuensi setiap 1-3 tahun sekali.

Risiko Medical Check Up


Tiap pemeriksaan dalam medical check up memiliki kegunaan dan manfaat, sekaligus
efek samping. Salah satunya adalah pemeriksaan foto Rontgen yang dapat membuat
tubuh terpapar radiasi, meskipun dalam jumlah yang sangat kecil. Oleh karena itu,
dokter akan menilai keuntungan dan kerugian dari tiap bentuk pemeriksaan medical
check up yang akan dilakukan.

7. Kapan perlu dapat dilakukan TDM (Therapeutic Drug Monitoring)?

Jawab:

TDM atau Pemantauan terapi obat (PTO) adalah suatu proses yang mencakup
kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif, dan rasional bagi pasien.
Kegiatan tersebut mencakup pengkajian pilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respon
terapi, reaksi obat yang tidak dikehendaki (ROTD), serta rekomenasi atau alternatif
terapi. PTO harus dilakukan secara berkesinambungan dan dievaluasi secara teratur pada
periode tertentu agar keberhasilan ataupun kegagalan terapi dapat diketahui. PTO
merupakan bagian dari tugas pokok dan fungsi pelayanan kefarmasian RS dalam
Permenkes 1197/2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit.
Kondisi pasien yang perlu dilakukan PTO antara lain:
1. Pasien yang masuk rumah sakit dengan multi penyakit sehingga
menerima polifarmasi.
2. Pasien kanker yang menerima terapi sitostatika.
3. Pasien dengan gangguan fungsi organ terutama hati dan ginjal.
4. Pasien geriatri dan pediatri.
5. Pasien hamil dan menyusui.
6. Pasien dengan perawatan intensif.
7. Pasien yang menerima regimen yang kompleks: Polifarmasi, Variasi rute
pemberian , Variasi aturan pakai, Cara pemberian khusus (contoh:
inhalasi, Drip intravena (bukan bolus), dsb.
Adapun pasien dikatakan menerima obat dengan risiko tinggi, yaitu bila menerima:
– obat dengan indeks terapi sempit (contoh: Digoksin, fenitoin),
– Obat yang bersifat nefrotoksik (contoh: gentamisin) dan hepatotoksik (contoh:
OAT),
– Sitostatika (contoh: metotreksat),
– Antikoagulan (contoh: warfarin, heparin),
– Obat yang sering menimbulkan ROTD (contoh: metoklopramid, AINS),
– Obat kardiovaskular (contoh: nitrogliserin
Metode pelaksanaan PTO adalah dengan menggunakan kerangka S-O-A-P sebagai
berikut.
S: Subjective
– Data subyektif adalah gejala yang dikeluhkan oleh pasien.
– Contoh : pusing, mual, nyeri, sesak nafas.
O : Objective
– Data obyektif adalah tanda/gejala yang terukur oleh tenaga kesehatan. Tanda
tanda obyektif mencakup tanda vital (tekanan darah, suhu tubuh, denyut nadi,
kecepatan pernafasan), hasil pemeriksaan laboratorium dan diagnostik.
A : Assessment
– Berdasarkan data subyektif dan obyektif dilakukan analisis terkait obat.
P : Plans
– Setelah dilakukan SOA maka langkah berikutnya adalah menyusun rencana
yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah.

Setelah data terkumpul, perlu dilakukan analisis untuk identifikasi adanya masalah
terkait obat (Hepler dan Strand). Masalah yang dapat ditemukan antara lain
sebagai berikut.
1. Ada indikasi tetapi tidak di terapi :Pasien yang diagnosisnya telah
ditegakkan dan membutuhkan terapi obat tetapi tidak diresepkan. Perlu
diperhatikan bahwa tidak semua keluhan/gejala klinik harus diterapi
dengan obat.
2. Pemberian obat tanpa indikasi ,pasien mendapatkan obat yang tidak
diperlukan.
3. Pemilihan obat yang tidak tepat. Pasien mendapatkan obat yang bukan
pilihan terbaik untuk kondisinya (bukan merupakan pilihan pertama, obat
yang tidak cost effective, kontra indikasi

4. Dosis terlalu tinggi


5. Dosis terlalu rendah
6. Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD)
7. Interaksi obat
Dalam PTO, petugas perlu memahami jenis-jenis efek samping obat sebagai
berikut. Efek samping yang dapat diperkirakan:

 Aksi farmakologik yang berlebihan


 Respons karena penghentian obat
 Efek samping yang tidak berupa efek farmakologik utama
Efek samping yang tidak dapat diperkirakan:

 Reaksi alergi
 Reaksi karena faktor genetik
 Reaksi idiosinkratik

Anda mungkin juga menyukai