Anda di halaman 1dari 8

Diabetes Mellitus (DM) merupakan suatu penyakit kronik akibat pankreas tidak menghasilkan

cukup insulin atau tubuh tidak dapat memanfaatkan insulin yang diprodukasi secara efektif,
dan menimbulkan konsentrasi glukosa dalam meningkat (American Diabetes Association,
2009). Diabetes melitus (DM) adalah sekumpulan gangguan metabolik yang ditandai
adanya peningkatan kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat rusaknya sekresi insulin, kerja
insulin, atau keduanya (Brunner & Suddart 2013, hlm.211). Diabetes melitus adalah
merupakan suatu penyakit metabolik dengan karakteristik peningkatan kadar gula darah
(hiperglikemia) yang terjadi karena adanya gangguan pada sekresi insulin, kerja insulin
maupun kedua duanya (American Diabetes Association, 2013).

Pravalensi dan insidensi penderita DM tipe 2 meningkat secara signifikan dari tahun ke
tahun,penyakit ini menjadi sebuah ancaman kesehatan global (PERKENI, 2015).Studi
populasi Diabetes Mellitus tipe 2 di berbagai negara melaporkan bahwa jumlah penderita
DM di dunia telah mencapai 425 juta jiwa, dimana p revalensi diabetes cenderung lebih tinggi
pada pria (221 juta jiwa)dibanding wanita (204 juta jiwa). Angka kematian akibat dari DM
yang dilaporkan adalah sebesar 4 juta jiwa, diprediksi jumlah penderita DM Pada tahun 2045
mengalami peningkatan yang mencapai 629 juta jiwa. Amerika Serikat menempati urutan
ke tiga dunia dengan pravalensi penderita diabetes melitus 30,2 juta jiwa. Tahun 2045
diperkirakan terjadi peningkatan 35,6 juta jiwa. Di Asia timur negara cina menempati posisi
tertinggi pertama dunia dengan jumlah penderita diabetes melitus sebanyak 114,4 juta
jiwa. Pada tahun 2045 diperkirakan meningkat 134,3 juta jiwa (IDF, 2017). Indonesia
menempati urutan ke 6 sebagai negara dengan jumlah penderita DM terbanyak didunia
setelah China, India, United States, Brazil dan Mexico. Berdasarkan area geografis,
sebaran penderita DM terbanyak adalah diwilayah DI Yogyakarta sebanyak 2,6%, disusul
oleh DKI Jakarta 2,5%, dan Sulawesi Utara sebanyak 2,4% (Riset Kesehatan Dasar, 2013).

Angka kejadian DM di Indonesia dari tahun ke tahun meningkat. Berdasarkan data


International Diabetes Fondation (IDF, 2012), prevalensi nasional diabetes di Indonesia
adalah 4,8 % dan meningkat menjadi 5,85% pada tahun 2014 (IDF, 2014). Prevalensi
diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di Jawa Tengah (2,6%), DKI Jakarta
(2,5%), Sulawesi Utara (2,4%) dan Kalimantan Timur (2,3%) sedangkan Yogyakarta
sebanyak 1,6 % (Riskesdas, 2013).

Pengelolaan DM merupakan hal yang paling penting mengingat penyakit ini diderita seumur
hidup. Oleh karena itu, upaya untuk mencegah dan memperlambat terjadinya komplikasi
perlu dilakukan, yaitu melalui upaya pengendalian kadar gula darah (Perkeni, 2011).
Perawatan berkelanjutan serta penanganan mandiri bagi penderita diabetes merupakan hal
yang penting. Upaya peningkatan pengetahuan penderita tentang penyakit dan perbaikan
perilaku dikembangkan untuk mendukung perbaikan kualitas hidup penderita (Nathan, 2005).
Penanganan konservatif DM menurut perkeni (2011) adalah adanya pendidikan kesehatan,
perencanaan makan, latihan jasmani, intervensi farmakologi/pengobatan dan monitor kadar
gula darah. Kelima hal tersebut merupakan satu kesatuan penanganan klien dengan DM.
Pengendalian diabetes melitus melalai peran maupun kolaborasi tim, mempunyai tujuan
untuk menurunkan insiden, mencegah resiko penyakit dan komplikasi lainnya, serta
mempertahankan kadar gula darah dalam rentang normal bagi klien diabetes melitus.
Pengendalian ini dengan menggunakan terapi farmakologi dan non farmakologi (Smeltzer et
al, 2007).Terapi farmakologi sebagai terapi standar dari diabetes melitus, berdasarkan
American Association Of Clinical Endocrinologists and American College Of Endocrinology-
clincal Practice Guidelines For Developing a Diabetes Mellitus Comprehensive Care Plan
(2015) sebagai evidence based guidline untuk diabetes melitus. Terapi ini terdiri dari
pemberian obat Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) misalnya sulfonilurea dan
glinid, penambah sensitivitas terhadap insulin misalnya metformin dan tiazolidindion,
penghambat glukoneogenesis misalnya metformin, dan penghambat absorpsi glukosa
misalnya penghambat glukosidase alfa.

Pengendalian kadar glukosa darah dapatberupa pemberian obat antihiperglikemia oral (OHO)
maupun obat antihiperglikemia suntik, terapi ini diberikan tergantung pada tingkat keparahan
penyakit yang diderita pasien. Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan
makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terdapat beberapa terapi komplementer yang
telah terbukti dalam mengendalikan kadar gula darah seperti refleksi (PERKENI, 2015).

Roohallah dan Fatemeh (2010) melakukan penelitian tentang kombinasi terapi antara
akupresur, hipnoterapi dan Transcendental Meditation versus Placebo pada pasien dengan
diabetes tipe II didapatkan hasil bahwa akupresur dengan menggunakan kombinasi hipnoterapi
dan transcendental Meditation dapat menurunkan kadar gula darah dibandingkan dengan
placebo. Nakamura et al (2014) mengatakan dalam penelitianya mengenai efek akupresur
bisa menstimulus konsentrasi gula darah yang dilakukan dengan hewan uji yaitu mencit
bahwasanya didapatkan hasil signifikan menurunkan kadar gula darah.

Penelitian-penelitian terapi komplementer, intervensi dengan terapi akupresur menjadi


pilihan yang disarankan diantara terapi komplementer lainnya, karena bersifat sederhana dan
mudah diterapkan bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan secara mandiri. Selain
itu, akupresur adalah tindakan yang dapat dilakukan oleh perawat dan merupakan salah
satu tindakan yang telah diakui sebagai salah satu tindakan keperawatan dalam Nursing
Intervention Classification (Dochterment & Bulecheck, 2004). Bahkan menurut Dupler
(2005), akupresur merupakan suatu terapi yang efektif baik untuk mencegah maupun untuk
terapi. Selain itu, tehnik akupresur mudah dipelajari dan dapat diberikan dengan cepat, biaya
murah dan efektif untuk mengatasi berbagai gejala.Prevalensi diabetes melitus tipe 2 semakin
meningkat, sehingga membuat tindakan untuk pengelolaan penyakit hendaknya dilakukan
dengan cermat untuk mencegah maupun memperlambat terjadinya komplikasi. Apalagi
mengingat bahwa penyakit diabetes melitus merupakan penyakit yang akan diderita seumur
hidup
Tujuan penelitian

Pengaruh terapi akupresur terhadap kadar gula darah pada pasien diabetes mellitus tipe II

Judul Jurnal Pengaruh terapi akupresur terhadap kadar gula darah


pada pasien diabetes mellitus tipe II di poliklinik
penyakit dalam rs tk ii dr. soedjono magelang

Peneliti 1. Robiul Fitri Masithoh


2. Helwiyah Ropi
3. Titis Kurniawan

Populasi seluruh pasien DM tipe 2 di poliklinik RS Tk II


dr. Soedjono Magelang yang berjumlah 412 klien
Desain Penelitian kuantitatif dengan desain quasi
eksperimen dan pendekatan PretestPosttest with
Control Group Design
Intrumen Penelitian Lembar data ini terdiri dari 6 pertanyaan yaitu nama,
usia, jenis kelamin, pernah tidaknya dilakukan
terapi akupresur, status gizi, pola aktivitas, lama
riwayat menderita diabetes melitus.
alat pengukur gula darah pada klien DM
tipe II secara mandiri Easy Touch GU
dengan merk Acrilyc
Uji Statistik Hasil uji Wilcoxon diperoleh nilai p= 0,000
( p-value <0.05 )

Peneliti telah mendapatkan 52 sampel selama pengumpulan


Problem
data pada 12 Mei hingga 12 Juni 2016. Setiap hari Senin,
Selasa, Rabu, Kamis,dan Jumat di Poliklinik Penyakit Dalam
RS Tk II dr. Soedjono Magelang
terdapat dua kelompok dalam penelitian ini adalah kelompok
Intervensi
intervensi dan kelompok kontrol. Pengukuran gula darah
dilakukan sebelum dan setelah dilakukan intervesi yaitu
terapi akupresur pada kelompok intervensi, serta sebelum dan
setelah istirahat pada kelompok kontrol (tanpa pemberian
intervensi). Selanjutkan dicari perbedaan penurunan rata-rata
kadar gula darah antara kelompok intervensi dan kelompok
control
Junal :
Comparasi

Program terdiri dari kebersihan terapis dan responden,


mengoleskan oil massage pada area yang akan dilakukan
akupresur, pemberian akupresur pada titik ST-36 (zusanli)
dan titik SP-6 (Sanyinjiao) selama 10 menit pada bagian
kiri dan kanan responden. Terapi diberikan sebanyak 6 kali
(2 kali dalam 1 minggu dilakukan selama 3 minggu).peneliti
mengukur glukosa darah sewaktu pasien sebelum dilakukan
akupresur pada minggu pertama, data ini digunakan sebagai
pretest. Kemudian dilakukan pengukuran glukosa darah
responden setelah 3 minggu pemberian terapi akupresur, data ini
digunakan sebagai posttest

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, kesimpulan


Outcame
dalam penelitian ini bahwa terapi akupresur yang dilakukan
terapi standar berpengaruh terhadap kadar gula darah
(menurunkan) pada pasien DM Tipe II di Poliklinik Penyakit
Dalam RS Tk II dr. Soedjono Magelan
1. TINJAUAN TEORI
Diabetes Melitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai kelainan metabolik
akibat gangguan hormonal, yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada
mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah, disertai lesi membran basalis dalam
pemeriksaan dengan mikroskop elektron (Mansjoer, 2000:580). Diabetes Melitus
yaitu suatu gangguan metabolik kronik yang tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat
dikontrol yang dikarakteristikkan dengan hiperglikemia karena defisiensi atau
ketidakadekuatan penggunaan insulin (Engram, 1999:532). Ulkus adalah kehilangan
jaringan kulit yang dalam dengan tendensi penyembuhan yang buruk (Ramali,
2000:368)

2. KONSEP PENYAKIT

Insulin adalah hormon yang dibentuk sel beta langerhans yang berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan karbohidrat bagi sel dalam bentuk insulin yang berfungsi terhadap transparan
glukosa, asam amino, asam lemak, di samping itu insulin juga berperan mengaktifkan
enzim sehingga meningkatkan metabolisme intra sel. Bermacam-macam penyebab
Diabetes Melitus yang berbeda akhirnya akan mengarah ke insufisiensi insulin.
Metabolisme karbohidrat yang terganggu akan menyebabkan kelaparan dalam sel hormone
counter regulator seperti flukagon, epineprin, non epineprin growth hormon dan kortisel
akan dikeluarkan oleh tubuh. Menurunnya proses glikogenesis menyebabkan produksi
glukosa dari glikogen meningkat dan glikogenesis akan menurun yaitu pembentukan
glukosa dari non karbohidrat seperti asam amino, hal ini akan menyebabkan penurunan
pemecahan lemak menjadi keton untuk memberi alternatif sumber energi. Kekurangan
insulin akan menyebabkan glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel. Menyebabkan sel
mengalami kelaparan. Sel sebagai keadaan krisis dengan mengeluarkan hormon counter
regulator untuk tetap memenuhi kebutuhan energi dengan menggunakan sumber energi
lain seperti lemak. Akibat tingginya kadar glukosa darah menimbulkan tiga gejala utama
poliuria, polidipsi, polifagia. Karena glukosa yang masuk ke tubulus tinggi maka glukosa
melampaui ambang ginjal dan glukosa akan dibuang bersama urin dan menyebabkan
dehidrasi ruang ekstra sel dan cairan intra sel akan keluar dan menimbulkan mekanisme
haus. Polifagia terjadi karena glikogen tidak sampai sel akan mengalami starvasi atau
kelaparan dan muncul tanda lapar (Brunner and Suddart).

E. Klasifikasi

Diabetes Tipe I

1. Hiperglikemia puasa

2. Glukosuria, deuresis osmotic, poliuria, poliphagia, polidipsi

3. Gejala lain termasuk keletihan dan kelelahan

4. Ketoasidosis diabetic menyebabkan tanda dan gejala: nyeri abdomen,

mual, muntah, hiperventilasi, koma, kematian

Diabetes Tipe II

1. Lambat ( selama tahunan )

2. Gejala – gejala seringkali ringan dan dapat mencakup keletihan, mudah tersinggung, poliuria,
polidipsi, poliphagia, luka pada kulit yang sembuhnya lambat, infeksi vaginal, atau penglihatan
kabur ( jika kadar glukosa sangat tinggi ), ( Brunner and Suddart, 2000).

3. KONSEP INTERVENSI

Intervensi Diabetes Melitus dengan menggunakan terapi farmakologi dan non farmakologi
(Smeltzer et al, 2007).
Terapi farmakologi sebagai terapi standar dari diabetes melitus, berdasarkan American
Association Of Clinical Endocrinologists and American College Of Endocrinology-clincal
Practice Guidelines For Developing a Diabetes Mellitus Comprehensive Care Plan (2015)
sebagai evidence based guidline untuk diabetes melitus. Terapi ini terdiri dari pemberian
obat Pemicu sekresi insulin (insulin secretagogue) misalnya sulfonilurea dan glinid,
penambah sensitivitas terhadap insulin misalnya metformin dan tiazolidindion,
penghambat glukoneogenesis misalnya metformin, dan penghambat absorpsi glukosa
misalnya penghambat glukosidase alfa dan Insulin. Terapi komplementer yaitu intervensi
dengan terapi akupresur.

BAB IV

ANALISA PENERAPAN EBN DI RUANGAN

S Terapi akupresur dapat dijadikan sebagai tindakan mandiri keperawatan non


Farmakologi untuk menurunkan kadar gula darah pasien DM

W Pasien DM lebih kepada penanganan secara Farmakologi yaitu pemberian obat


diabetes

O Bisa dilakukan terapi akupresur dengan menekan pada satu titik menggunakan
satu jari

T Penanganan secara Framakologi lebih diinginkan pasien

BAB V
PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan dari utaian diatas bahwa dapat disimpulkan bahwa terapi akupresur
berpengaruh dalam menurunkan kadar gula darah pasien DM

B. SARAN

Bagi tenaga kesehatan sebagai masukan dalam tindakan keperawatan mandiri dalam
menangani kadar gula darah pasien sehingga dapat mengurangi komplikasi lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai