Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana Konsep HIV AIDS ?
2. Bagaimana Stigma Dan Diskriminasi ?
3. Bagaimana Provider Initiative Test and Counseling (PITC) ?
4. Bagaimana Valuntary Counseling Testing (VCT) ?
5. Bagaimana Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi (PPI) ?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Mengetahui Konsep HIV AIDS
2. Mengetahui Stigma Dan Diskriminasi
3. Mengetahui Provider Initiative Test and Counseling (PITC)
4. Mengetahui Valuntary Counseling Testing (VCT)
5. Mengetahui Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi (PPI)

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep HIV AIDS


A. Sejarah HIV AIDS
Kasus AIDS pertama kali ditemukan oleh Gottlieb di Amerika
Serikat pada tahun 1983 dan virusnya ditemukan Luc Montagneir pada
tahun 1983, AIDS pertama kali dilaporkan pada tanggal 5 Juni 1981,
Ketika Centers for Disease Control and Prevention Amerika Serikat
mencatat adanya Pneumonia Pneumosistis (sekarang masih diklasifikasi
sebagao PCP tetapi diketahui disebabkan oleh Peneuocystis ) pada lima
laki-laki homoseksual di Los Angeles.
Penyakit AIDs dewasa ini telah terjangkit hamper setiap dunia,
termasuk diantaranya di Indonesia, Hingga November 1996 diperkirakan
telah terdapat sebanyak 8.400.000 Kasus didunia yang terdiri dari 6,7 juta
dewasa dan 1,7 anak-anak. Di Indonesia berdasarkan data yang
bersumber dari direktorat Jendral P2M dan PLP Departemen Kesehatan
RI semapai dengan Mei 1998 jumlah penderita HIV/AIDS sebanayak
685 orang yang dilaporkan oleh 23 Provinsi di Indonesia, pada penyakit
ini berlaku teori “Gunung Es” dimana penderita yang kelihatan hanya
sebagian kecil dari yang semestinya. Untuk itu WHO menegestimasikan
bahwa 1 penderita yang terinfeksi telah terdapat kurang lebih 100-200
penderita HIV yang belum diketahui.
B. Defenisi HIV AIDS
1. Virus HIV
HIV 9 (Human Immunodeficiency Virus ) adalah virus yang
dapat menyebabkan AIDS. HIV termasuk keluarga virus yaitu virus
yang memasukan materi genetiknya ke dalam sel tuan rumah ketika
melakukan cara infeks dengan cara berbeda (retro), yaitu dari RNA
menjadi DNA, yang kemudian menyatu dalam DNA sel tuan rumah,
membentuk pro virus dan kemudian melakukan replikasi.

3
Virus HIV ini dapat menyebabkan AIDS dengan cara
menyebabkan sel darah putih yang bernama sel CD4 sehingga dapat
merusak system kekebalan tubuh manusia yang pada akhirnya tidak
dapat bertahan dari gangguan penyakit walaupun yang sangat ringan
sekalipun.
Virus HIV menyerang sel CD4 dan merubahnya menjadi
tempat berkembang biak virus HIV baru kemudian merusaknya
sehingga tidak dapat digunakan lagi. Sel darah putih sangat
diperlukan untuk system kekebalan tubuh. Tanpa kekebalan tubuh
maka ketika diserang penyakit maka tubuh kita tidak memiliki
pelindung. Dampaknya adalah kita dapat meninggal.
2. Penyakit AIDS
AIDS (Acquirid immune Deficiency Syndrome) merupakan
dampak atau efek dari perkembangan biakan virus HIV dalam tubuh
manusia. Virus HIV membutuhkan waktu untuk menyebakan
sindrom AIDS yang mematikan dan sangat berbahaya. Penyakit
AIDS disebabkan oleh melemahnya atau menghilangnya system
kekebalan tubuh yang tadinya dimiliki karena sel CD4 pada sel darah
putih yang banyak dirusak oleh Virus HIV.
Ketika kita terkena Virus HIV kita tidak langsung terkena
AIDS. untuk menjadi AIDS dibutuhkan waktu yang lama, yakni
beberapa tahun untuk menjadi AIDS yang mematikan. Saat ini tidak
ada obat, serum maupun vaksin yang dapat menyembuhkan manusia
dari virus HIV penyekit AIDS.
Bahaya AIDS, Orang yang telah mengidap virus AIDS akan
menjadi pembawa dan penular AIDS selama hidupnya, walaupun
tidak merasa sakit dan tampak sehat. AIDS juga dikatakan penyakit
yang berbahaya karena sampai saat ini belum ada obat atau vaksin
yang bisa mencegah virus AIDS. Selain itu orang yang terinfeksi
virus AIDS akan merasakan tekanan mental dan penderitaan batin
sebagian besar orang yang disekitarnya akan mengucilkan atau

4
menjauhinya. Dan penderita itu akan bertambah lagi akibat tingginya
biaya pengobatan. Bahaya AIDS yang lain adalah menurunya system
kekebalan tubuh, sehingga serangan penyakit yang biasannya tidak
berbahaya pun akan menyebabkan sakit atau bahkan meninggal.
Secata etiologi HIV yang dahulu disebut virus limfotrofik sel-T
manusia tipe III (HLTV-III) atau virus limfadenopati (LAV), adalah
suatu retrovirus manusia sitopatik dari family lentivirus, Retrovirus
mengubah asam ribonukleatnya (RNA) menjadi asam
deoksiribonukleat (DNA) setelah masuk kedalam sel pejamu. HIV-1
dan HIV-2 adalah lentivirus sitopatik, dengan virus HIV-1 menjadi
penyebab utama AIDS diseluruh dunia.
C. Penyebab Dan Gejala Terserang Virus HIV AIDS
HIV tidak ditularkan atau disebarkan melalui hubungan sosial yang
biasa seperti jabatan tangan, bersentuhan, berciuman biasa, berpelukan,
pengunaan peralatan makan dan minum, gigitan nyamuk, kolam renang,
pengunaan kamar mandi WC/jamban yang sama atau tinggal serumah
bersama orang dengan HIV/AIDS (odha). Odha yaitu pengidap
HIV/AIDS, Sedangkan OHIDA (orang hidup dengan HIV atau
AIDS),yakni keluarga (anak, istri, suami, ayah, ibu) atau teman pengidap
HIV/AIDS
Lebih dari 80 % infeksi HIV diderita oleh kelompok usia produktif
terutama laki-laki, tetapi proporsi penderita HIV perempuan cenderung
meningkat. Infeksi pada bayi dan anak, 90% terjadi dari ibu pengidap
HIV. Hingga beberapa tahun, seorang pengidap HIV tidak menunjukkan
gejala-gejala klinis tertural HIV. Namun demikian orang tersebut dapat
menularkan kepda orang lain, setelah itu, AIDS maulai berkembang dan
menunjukkan tanda-tanda dan gejala.
Tanda-tanda klinis pada penderita AIDS
1. Berat badan menurun lebih dari 10% dalam sebulan
2. Diare Kronis yang berlangsung lebih dari 1 bulan
3. Demam berkepanjangan lebih dari 1 buan

5
4. Penurunan kesadaran dan gangguan gangguan neurologis
5. Dimensia/HIV ensefalopati
Gejala Minor
1. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
2. Dermatitis generalisata yang gatal
3. Adanya Herpes zoster multisegmental dan berulang
4. Infeksi jamur berulang pada alat kelamin wanita.
HIV/AIDS dapat menyerang siapa saja. Namun pada kelompok
rawan mempunyai resiko besar tertular HIV penyeb AIDS, yaitu :
1. Orang yang berperilaku seksual dengan berganti-ganti pasangan
tanpa mengunakan kondom
2. Pengunaan narkoba suntik yang menggunakan jarum suntik secara
bersama-sama
3. Pasanagan seksual penguna narkoba suntik
4. Bayi yang ibunya positif HIV.
Adapun tanda dan gejala yang tampak pada penderita penyakit
HIV/AIDS dianataranya
1. Sluran pernapasan. Penderita mengalami sesak nafas pendek, henti
nafas sejenak, batuk, nyeri dada dan demam seperti terserang infeksi
virus lainnya (Pneumonia). Tidak jarang diagnosa pada stadium awal
penyakit HIv/AIDS sebagai TBC
2. Saluran pencernaan ; penderita penyakit AIDS menampakan tanda
dan gejala seperti hilangnya nafsu makan, mual dan muntah, kerap
mengalami penyakit jamur pada rongga mulut dan kerongkongan,
serta mengalami diare yang kronik
3. Berat badan tubuh. Penderia mengalami hal yang disebut juga
wasting sindrom, yaitu kehilangan berat badan tubuh sampai 10 %
dibawah normal karena gangguan pada system protein dan energy
didalam tubuh seperti yang dikenal sebagai malnutrisi termasuk juga
karena gangguan absorbs/penyerapan makanan pada system

6
pencernaan yang mengakibatkan diare kronik, kondisi letih dan
lemah kurang bertenaga
4. System persarafan. Terjadinya gangguan pada prsyarafan central
yang mengakibatkan kurang ingatan, sakit kepala, susah
berkosentrasi, sering tampak bingung dan respon anggota gerak
melambat. Pada system persyarafan ujung (Peripheral) dan
menimbulkan nyeri dan kesemutan pada telapak tangan dan kaki,
reflex tendon yang kurang, selalu mengalami tensi darah rendah dan
impoten
5. System integument (jaringan kulit). Penderita mengalami serangan
virus cacar air ( herpes simplex) atau cacar api ( herpes zoster) dan
berbagai macam penyakit kulit yang lain yang menimbulkan rasa
nyeri pada jaringan kulit
6. Saluran kemih dan reproduksi pada wanita. Penderita sering kali
mengalami penyakit jamur pada vagina , hal ini sebagai tanda awal
terinfeksi virus HIV, luka pada saluran kemih, menderita penyakit
syipilis dan dibandingkan pria maka wanita lebih banyak yang
mengalami perandangan rongga (tulang) pelvic dikenal sebagai
istilah “pelvic inflammatory disease (PID)” dan mengalami masa
haid yang tdak teratur (abnormal).
D. Cara Penularan
1. Hubungan seksual, baik secara vaginal ataupun anal dengan seorang
pengidap. Ini adalah cara yang paling umum terjadi, lebih mudah
terjadi penularan bila terdapat lesi penyakit kelamin dengan ulkus
atau peradangan jaringan seperti herpes genitalis, sifilis, gonorea,
klamidia, kakroid. Resiko pada seks ana; lebih besar dibadingkan
seks vagina dan resiko juga lebih besar pada yang reseptive dari pada
insertive.
2. Kontak langsung dengan darah / produk darah / jarum suntik
a) Transfusi darah yang tercemar HIV.

7
b) Pemakaian jarum suntik tida steril / pemakaian bersama jarum
suntik dan sempritnya pada para pecandu narkoba suntik
c) Penularan lewat kecelakaan tertusuk jarum pada petugas
kesehatan.
3. Secara vertical dari ibu hamil pengidap HIV kepada bayinya, dimana
ibu yang positif HIV memberikan ASI kebayinnya.
E. Penyebaran Virus HIV Dalam Tubuh
Virus masuk kedalam sel kemudai berkembang biak dan pada
akhirnya meghancurkan sel serta melepaskan pertikel virus yang baru.
Partikel virus yang baru kemudian menginfeksi limfosit lainnya dan
menghancurkannya. Virus menempel pada limfosit yang memiliki satu
reseptor protein yang disebut CD4, yang terdapat di selaput bagian luar,
sel-sel yang memiliki reseptor biasanya, disebut sel CD4+ atau disebut
Limfosit T penolong. Limfosit T penolong berfungsi mengaktifkan dan
mengatur sel-sel lain pada system kekebalan tubuh. (mis : lomfosit B,
makrofag dan limfosit T stitostik), yang kesemuanya membantu
menghancurkan sel-sel ganas dan organisme asing.
Seseorang yang terinfeksi HIV akan kehilangan limfosit T
penolong melalui 3 tahap selama beberapa bulan atau tahun :
1. Seseorang yang sehat memiliki limfosit CD4 sebanyak 800-1300
sel/mL darah. Pada beberapa bulan pertama setelah terinfeksi HIV
sejumlah sel menurun sebanyak 40-50%. Selama ini penderita
biasanya menularkan HIV kepada orang lain karena banyak partikel
virus yang terdapat dalam luar darah. Meskipun tubuh berusaha
melawan virus, tetapi tubub tidak mampu meredakan infeksi
2. Sekitar 6 bulan, jumlah partikel virus dalam darah mencapai kadar
yang stabil, yang berlainan pada setiap penderita. Perusakan sel
CD4+ dan penularan penyakit kepada orang lain terus berlanjut.
3. 1-2 Tahun sebelum terjadinya AIDS, jumlah limfosit CD4+ biasanya
menurun drastic, jika kadarnya turun hingga 200 sel/MI darah, maka
penderita menjadi retan terhadap infeksi.

8
F. Pemeriksaan Laboratorium
Terdapat dua uji yang khas digunakan untuk mendeteksi antibody
terhadap HIV.
1. Enzymelinked immunosorbent assay (ELISA), bereaksi terhadap
adanya antibody dalam serum dengan memperlihatkan warna yang
lebih jelas apabila terdeteksi antibody virus dalam jumlah yang
besar. Karena hasil positif palsu dapat menimbulkan dampak
psikologis yang besar.
2. Western Blot, uji lebih kecil kemungkinan memberikan hasil positif
palsu atau negative palsu

2.2 Stigma Dan Diskriminasi


A. Pengertian Stigma dan Diskriminasi
Stigma adalah suatu proses dinamis yang terbangun dari suatu
persepsi yang telah ada sebelumnya yang menimbulkan suatu
pelanggaran terhadap sikap, kepercayaan dan nilai.
Menurut Castro dan Farmer (2005), stigma ini dapat mendorong
seseorang untuk mempunyai prasangka pemikiran, perilaku, dan atau
tindakan oleh pihak pemerintah, masyarakat, pemberi kerja, penyedia
pelayanan kesehatan, teman sekerja, para teman, dan keluarga-keluarga.
Menurut Erving Goffman dalam jurnal (Kharis,2016), Stigma
adalah segala bentuk atribut fisik dan sosial yang mengurangi identitas
sosial seseorang. Mendiskualifikasi orang itu dari penerimaan seseorang.
Sedangkan menurut kamus Bahasa Indonesia stigma adalah ciri negatif
yang menempel pada pribadi seseorang karena pegaruh lingkungannya.
Maman et al (2009) mengartikan diskriminasi sebagai aksi-aksi
spesifik yang didasarkan pada berbagai stereotip negatif ini yakni aksi-
aksi yang dimaksudkan untuk mendiskredit dan merugikan orang.
Pengertian lain tentang diskriminasi dikemukakan oleh Busza (1999)
bahwa diskriminasi adalah perbuatan atau perlakuan berdasarkan stigma
dan ditujukan kepada pihak yang terstigmatisasi (Busza, 1999). Menurut
UNAIDS, diskriminasi terhadap penderita HIV digambarkan selalu

9
mengikuti stigma dan merupakan perlakuan yang tidak adil terhadap
individu karena status HIV mereka, baik itu status sebenarnya maupun
hanya persepsi saja. Dalam (Paryati,2012)
B. Bentuk-bentuk stigma dan diskriminasi
Beberapa bentuk stigma eksternal dan diskriminasi antara lain :
1. Menjauhi ODHA atau tidak meginginkan untuk menggunakan
peralatan yang sama.
2. Penolakan oleh keluarga, teman atau masyarakat terhadap ODHA.
3. Peradilan moral berupa sikap yang menyalahkan ODHA karena
penyakitnya dan menganggapnya sebagai orang yang tidak bermoral.
4. Stigma terhadap orang-orang yang terkait dengan ODHA, misalnya
keluarga dan teman dekatnya.
5. Keengganan untuk melibatkan ODHA dalam suatu kelompok atau
organisasi.
6. Diskriminasi yaitu penghilangan kesempatan untuk ODHA seperti
ditolak bekerja, penolakan dalam pelayanan kesehatan bahkan
perlakuan yang berbeda pada ODHA oleh petugas kesehatan.
7. Pelecehan terhadap ODHA baik lisan maupun fisik.
8. Pengorbanan, misalnya anak-anak yang terinfeksi HIV atau anak-
anak yang orang tuanya meninggal karena AIDS.
9. Pelanggaran hak asasi manusia, seperti pembukaan status HIV
seseorang pada orang lain tanpa seijin penderita, dan melakukan tes
HIV tanpa adanya informed consent (Dalam Jurnal (Priati,2012).
C. Faktor-faktor yang mempengaruhi stigma terhadap orang dengan HIV
AIDS:
1. HIV-AIDS adalah penyakit mematikan
2. HIV-AIDS adalah penyakit karena perbuatan melanggar susila,
kotor, tidak bertanggung jawab
3. Orang dengan HIV-AIDS dengan sengaja menularkan penyakitnya
4. Kurangnya pengetahuan yang benar tentang cara penularan HIV
(kemenkes, 2012)

10
D. Stigma dan diskriminasi di masyarakat
Stigma masyarakat merupakan perasaan bahwa seseorang atau
kelompok merasa mereka lebih unggul dari yang lain dan menyebabkan
seseorang atau kelompok lain dikucilkan secara sosial yang pada
akhirnya mengarah kepada terjadinya ketimpangan sosial. Stigma
masyarakat terhadap ODHA dipengaruhi beberapa anggapan seperti,
penyakit yang tidak dapat dicegah atau dikendalikan, penyakit akibat dari
“orang yang tidak bermoral”, dan penyakit yang mudah menular kepada
orang lain. Stigma ini mencerminkan bias kelas sosial yang mendalam.
Penyakit ini sering dikaitkan dengan kemiskinan dan menjadi
pembenaran untuk ketidakadilan sosial. ODHA sering diberi label
sebagai 'yang lain'. Ia adalah ras yang lain, manusia yang lain, atau
kelompok yang lain. Tak pelak lokus menyalahkan juga terkait dengan
masalah ideologi, politik dan sosial tertentu.
Stigma dari masyarakat tercermin dari persepsi perlakuan negatif
berupa penghindaran, penghinaan, penolakan dalam pergaulan sosial, dan
kehilangan pekerjaan.10 Perlakuan negatif muncul dari ketakutan
tertular, dimana seseorang merasa tidak nyaman pada saat kontak
langsung dengan ODHA maupun dengan benda-benda yang digunakan
oleh ODHA. Dalam Jurnal (Irfan,2017)
E. Stigma dan diskriminasi dalam pelayanan kesehatan
Stigma dan dikriminasi merupakan permasalahan serius yang
dikenal sebagai utama dalam upaya pencegahan, perawatan, dan
pengobatan pasien HIV/AIDS. Menururt Ogden and Nyblade (2005),
stigma diyakini terlalu sensitif untuk diatasi secara bermakna. Stigma
terkait HIV dan AIDS jauh lebih bervariasi dan spesifik konteks daripada
yang dibayangkan. Stigma merupakan fenomena sosial yang kompleks
yang melibatkan interaksi antara faktor sosial dan ekonomi serta
masalah-masalah psikososial dari individu yang terkena.
Sementara itu, menurut Li et al. (2007) stigma terkait HIV dalam
pelayanan kesehatan dapat menghambat ODHA dalam proses mencari

11
perawatan jika sebelumnya pernah mengalami perlakuan yang tidak
diharapkan atau kerahasiaan status HIV tidak dihormati. Munculnya
stigma pada ODHA di pelayanan kesehatan sangat erat kaitannya dengan
sikap dan perilaku yang diperlihatkan oleh petugas kesehatan dalam
memberikan pelayanan kesehatan, baik itu perawat, dokter, atau petugas
kesehatan lainnya.
Petugas kesehatan sebagai anggota masyarakat umum dapat
memiliki pandangan stigma terhadap ODHA yang sama sebagaimana
yang dipegang oleh masyarakat umum. Stigma dan sikap diskriminatif
pada ODHA terkait dengan infeksi yang sebenarnya serta perilaku yang
diyakini telah menyebabkan infeksi Feyissa, Abebe, Girma, and Woldie
(2012) mengungkapkan bahwa sebagian besar petugas kesehatan yang
terlibat dalam penelitiannya, melakukan tindakan pencegahan ekstra dan
mengalami perasaan ketakutan penularan HIV dalam pekerjaannya. Studi
dari berbagai belahan dunia mengungkapkan ada tiga penyebab utama
stigma terkait HIV di fasilitas kesehatan yaiyu kurangnya kesadaran
petugas kesehatan tentang stigma dan dampaknya, ketakutan untuk
berinteraksi akibat dari pengetahuan yang tidak lengkap tentang
penularan HIV, dan keterkaitannya HIV dengan perilaku tidak bermoral.
Stigma dan diskriminasi HIV/AIDS pada fasilitas kesehatan
kesehatan menjadi hambatan dalam kemajuan upaya pencegahan epidemi
HIV dan bahkan dapat menurunkan intervensi untuk mereduksi
penyebaran infeksi HIV. Oleh karena itu, pengukuran stigma terkait HIV
di antara petugas kesehatan menjadi hal yang sangat penting, sehingga
pemegang kebijakan dan pimpinan fasilitas kesehatan dapat membuat
pertimbangan khusus dalam perumusan strategi untuk mengatasi sikap
petugas kesehatan dan bias potensial yang ditimbulkannya. Dalam jurnal
(Angga, 2019)
Terjadinya stigma dan diskriminasi kepada ODHA oleh petugas
kesehatan, dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain :

12
1. Pengetahuan tentang HIV/AIDS
Pengetahuan tentang HIV/AIDS sangat mempengaruhi bagaimana
individu tersebut akan bersikap terhadap penderita HIV/AIDS
(Bradley, 2009). Stigma dan diskriminasi terhadap ODHA muncul
berkaitan dengan ketidaktahuan tentang mekanisme penularan HIV,
perkiraan risiko tertular yang berlebihan melalui kontak biasa dan
sikap negatif terhadap kelompok social yang tidak proporsional yang
dipengaruhi oleh epidemi HIV/AIDS ini (Herek, 2002). Chase dan
Aggleton (2001) mengatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya
stigma adalah misinformasi mengenai bagaimana HIV
ditransmimisikan (Chase and Aggleton, 2001).
2. Persepsi tentang ODHA
Herek, dkk pada tahun 2002 mengungkapkan hasil penelitiannya di
Amerika Serikat bahwa sekitar 40 sampai 50% masyarakat percaya
bahwa HIV dapat ditularkan melalui percikan bersin atau batuk,
minum dari gelas yang sama, dan pemakaian toilet umum, sedangkan
20% percaya bahwa ciuman pipi bisa menularkan HIV (Herek et al,
2002). Persepsi terhadap pengidap HIV atau penderita AIDS akan
sangat mempengaruhi bagaimana orang tersebut akan bersikap dan
berperilaku terhadap ODHA. Persepsi terhadap ODHA berkaitan
dengan nilai-nilai seperti rasa malu, sikap menyalahkan dan
menghakimi yang berhubungan dengan penyakit AIDS tersebut.
Cock, dkk tahun 2002 menyatakan bahwa stigma dan diskriminasi
terhadap ODHA berhubungan dengan persepsi tentang rasa malu
(shame) dan menyalahkan (blame) yang berhubungan dengan
penyakit AIDS tersebut (Cock, 2002).
3. Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
munculnya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. Mahendra pada
tahun 2006 menyatakan bahwa jenis tenaga kesehatan sesuai dengan

13
latar belakang pendidikannya mempengaruhi skor stigma dan
diskriminasi terhadap ODHA (Mahendra et al, 2006).
4. Lama Bekerja
Lama kerja atau lama tugas seorang tenaga kesehatan untuk
melakukan jenis pekerjaan tertentu dinyatakan dalam lamanya waktu
dalam melaksanakan tugas tersebut. Pengembangan perilaku dan sikap
tenaga kesehatan dalam pengambilan keputusan dan perilaku
pelayanan kesehatan dibutuhkan pengalaman kerja sehingga dapat
menimbulkan kepercayaan diri yang tinggi (Suganda, 1997).
5. Umur
Umur secara alamiah mempunyai pengaruh terhadap kinerja fisik
dan perilaku seseorang. Bertambahnya umur seseorang mempengaruhi
proses terbentuknya motivasi sehingga factor umur diperkirakan
berpengaruh terhadap kinerja dan perilaku seseorang (Suganda, 1997).
6. Pelatihan
Sebuah intervensi pelatihan yang diberikan kepada dokter gigi
menghasilkan peningkatan pengetahuan tentang HIV/AIDS dan
meningkatkan keinginan petugas untuk memberikan pelayanan
kesehatan (Gerbert, 1988). Pelatihan kepada tenaga kesehatan tentang
HIV/AIDS menghasilkan tidak hanya peningkatan pengetahuan
tentang HIV/AIDS tetapi juga peningkatan sikap yang lebih baik
terhadap ODHA (Wu Z et al, 2002).
7. Jenis Kelamin
Gibson menyatakan bahwa jenis kelamin merupakan salah satu
variabel individu yang dapat mempengaruhi kinerja (Gibson, 1996).
Penelitian tentang kinerja di rumah sakit dan klinik di Amerika Serikat
menemukan bahwa dokter wanita kurang melakukan konsultasi dan
menghabiskan waktu lebih sedikit dalam melakukan praktek dan
kontak langsung dengan pasien dari pada dokter pria. Dokter wanita
diketahui bekerja lebih sedikit per minggu dibandingkan dokter pria,
namun demikian produktifitas total dalam melakukan pelayanan

14
pasien secara langsung tidak lebih sedikit dari dokter pria. Dokter
wanita menghabiskan total waktu bekerja mereka dalam melakukan
pelayanan pasien secara langsung dan melakukan pemeriksaan lebih
banyak pasien dibandingkan dari dokter pria (Herek et al, 2002).
8. Dukungan Institusi
Faktor kelembagaan atau institusi pelayanan kesehatan seperti
rumah sakit, puskesmas dan klinik mempengaruhi adanya stigma dan
diskriminasi terhadap ODHA, antara lain hal-hal yang terkait
penetapan kebijakan, SOP (Standart Operational Procedure),
penyediaan sarana, fasilitas, bahan dan alat-alat perlindungan diri
dalam penanganan pasien HIV/AIDS. Studi tentang pengaruh faktor
lembaga atau institusi memang masih jarang dilakukan padahal
sebenarnya hal ini sangat penting untuk mengintervensi secara legal
terhadap adanya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA oleh
petugas kesehatan (Li li et al, 2007). Sesuai dengan protokol UNAIDS
untuk Identification of Discrimination against People Living with HIV
dan hasil beberapa studi di Asia Pasifik mengungkapkan bahwa
masalah stigma dan diskriminasi lebih banyak nampak dalam praktek-
praktek yang tidak mempunyai kebijakan atau peraturan tertulis dalam
penangan pasien HIV/AIDS (UNAIDS, 2000).
9. Kepatuhan terhadap agama
Agama mempunyai peran dalam membentuk konsep seseorang
tentang sehat dan sakit. Konsep ini sangat dipengaruhi oleh
keyakinannya tentang peran Tuhan dalam menentukan nasib
seseorang, termasuk didalamnya adalah dalam hal sehat dan sakit
(Chin, 2005). Dalam jurnal (Paryati,2012)

2.3 Provider Initiative Test and Counseling (PITC)


A. PITC
Indonesia menargetkan 3 zero (new infection, death related aids
and discrimination) sejalan dengan target UNAIDS di tahun 2020 untuk

15
mencapai 90 (diagnosed) – 90 (on treatment) – 90 (virally supressed).
VCT tidak akan mampu mencapai 90% orang dengan HIV
dites/terdiagnosa dan mengetahui hasilnya, mengingat prinsip sukarela
lebih lambat mendorong seseorang untuk bersedia tes dan lebih banyak
diterapkan pada populasi kunci. Pada populasi khusus, PITC menjadi
pilihan untuk menemukan sebanyak mungkin orang yang telah terinfeksi
HIV melalui identifikasi penyakit/keadaan terkait HIV dan di inisiasi
oleh petugas medis. PITC memperluas tes dan memfasilitasi pasien HIV
untuk mendapatkan perawatan, dukungan dan pengobatan (PDP).
B. Tujuan PITC
Mengevaluasi input, proses dan output layanan PITC dalam
meningkatkan jumlah orang di populasi khusus yang dites HIV dan
mengetahui hasilnya.
C. Menyiapkan Layanan PITC
1. Menyediakan tim layanan di puskesmas yang terdiri dari dokter,
perawat, bidan, laboran dan petugas RR yang telah dilatih.
2. Membentuk jejaring kerja dengan poliumum, KIA, IGD, posyandu,
puskel dan perkesmas.
3. Sosialisasi keberadaan layanan pada pemangku kepentingan
(pejabatkecamatan/kelurahan, PKK, kader kesehatan, warga peduli
aids) yang ada di wilayah kerja puskesmas.
D. Sasaran Layanan PITC
1. Bumil dan anak dengan malnutrisi yang tidak sembuh dengan terapi
yang adekuat.
2. Pasien dengan penyakit terkait HIV, utamanya IMS, TB, Hepatitis,
diarekronik yang berkunjung kepuskesmas atau berada di wilayah
kerja puskesmas yang mendapat pelayanan di posyandu atau
kunjungan rumah.
3. Pasien yang saat anamnese didapati faktor risiko HIV
E. Pelayanan PITC
1. Layanan dilaksanakan oleh tim PITC

16
2. Layanan berisi pemberian informasi tentang HIV, penawaran tes, tes
HIV, penyampaian hasil tes dan konseling serta rujukanke PDP
(perawatan, dukungan dan pengobatan) jika hasil HIV positif
3. Tes HIV dilakukan dengan pendekatan optional out, pasien boleh
menolak.
4. Jika pasien menolak, akan ditawarkan lagi pada kunjungan
berikutnya.
5. Kesediaan tes tetap bersifat sukarela dan disertai informed consent,
bukan mandatory.
6. Layanan one service one day
7. Hasil tes harus disampaikan kepasien. Jika hasil tes HIV positif tetapi
pasien tidak menerima hasil karena berbagai sebab, maka tidak
dilaporkan sebagai pasien HIV positif.
8. Pada ibu hamil, include dalam ANC (10 T), tetapi bumil tetap diberi
informasi bahwa diantara tes darah yang akan dilakukan adalah tes
HIV. Bumil boleh menolak tes HIV dan akan ditawarkan kembali
pada ANC berikutnya.
9. Pada anak dan pasien yang tidak sadar, persetujuan tes dilakukan oleh
orangtua/keluarga pasien
10. Jika pasien telah ditawarkan tes hingga 3 kali dan tetap menolak,
pasien dirujuk kekonselor ahli di Klinik VCT.
11. Integrasi layanan PITC bersama layanan IVA dan IMS dalamsatu kali
pemeriksaan.
2.4 Valuntary Counseling Testing (VCT)
A. Definisi Voluntary Counseling Testing (VCT)
VCT kepanjangan dari Voluntary Counseling Testing, yaitu:
V (Voluntary) : Klien melakukan tes HIV secara sukarela, tanpa ada
paksaan
C (Counseling) : Konselor membantu klien siap tes/ memilih tidak tes
dan siap menerima hasil tes

17
T (Testing) : Tes darah untuk mengetahui status HIV klien (positif atau
negative) HIV.
VCT adalah suatu pembinaan dua arah atau dialog yang
berlangsung tak terputus antara konselor dan kliennya dengan tujuan
untuk mencegah penularan HIV, memberikan dukungan moral,
informasi, serta dukungan lainnya kepda ODHA, keluarga dan
lingkungannya.
Layanan test HIV dan konseling ini disebut sebagai VCT
(Voluntary Counseling and Testing). Tes HIV biasanya berupa tes darah
untuk memastikan adanya antibodi HIV di dalam sampel darah. Tes HIV
bersifat sukarela dan rahasia. Sebelum melakukan tes HIV, akan
dilakukan konseling untuk mengetahui tingkat risiko infeksi dari perilaku
selama ini dan bagaimana nantinya harus bersikap setelah mengetahui
hasil tes HIV. Untuk tes cepat dapat juga digunakan tes usapan selaput
lendir mulut (Oraquick).
Jadi, VCT adalah konseling tes HIV sebagai upaya untuk
memberikan dukungan secara psikologis dan emosional yang dapat
dilakukan melalui dialog personal antara sesorang ‘konselor’ dan seorang
‘klien’ atau antara seorang konselor bersama klien dan pasangan (couple
counceling).
VCT (Voluntary Counselling and Testing ) diartikan sebagai
Konseling dan Tes Sukarela (KTS) HIV. Konseling HIV dan AIDS
merupakan komunikasi bersifat rahasia antara klien dan konselor yang
bertujuan untuk meningkatkan kemampuan menghadapi stres dan
mengambil keputusan berkaitan HIV dan AIDS.
VCT terdiri dari tiga tahapan, yaitu :
1. Konseling sebelum testing HIV
2. Testing HIV
3. Konseling setelah testing HIV

18
Proses konseleing termasuk evaluasi resiko personal peneluran
HIV, fasilitas pencegahan perilaku dan evaluasi penyesuain diri ketika
klien memperoleh hasil tes HIV positif.
Testing HIV adalah pengambilan darah untuk pemeriksaan HIV
yang dapat dilakukan dirumah sakit, klinik, labolatorium dan lembaga
swadaya masyarakat yang menyediakan pelayanan VCT.
1. Syarat tes HIV (VCT) pada klien adalah:
a. Tes harus dilaksanakan dengan sepengetahuan dan dengan izin
dari pasien.
b. Pasien harus paham mengetahui HIV/AIDS sebelum tes
dilaksanakan.
c. Konseling duberikan pada pasien sebelum tes untuk membantu
pasien membuat pertimbangan yang bijaksana sebelum
memutuskan: mau dites atau tidak.
d. Tes HIV harus dirahasiakan oleh dokter dan konselor. Hasilnnya
tidak boleh dibocorkan kepada orang lain kecuali oleh pasien.
e. Seteah tes, konseling harus diberikan lagi agar pasien dapat
memahami hasil tes dan untuk membantu pasien mennyusun
rencana sert tes dan untuk membantu pasien mennyusun rencana
serta langkah-langkah selanjutnya sesuai hasil tes.
2. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dlam konselig VCT:
a. Pasien akan mendapatkan pengetahuan mengenai HIV dan
AIDS.
b. Pasien bisa menceritakan permasalahan yang dihadapi.
c. Konselor akan membantu untuk mencari jalan keluar atau
membantu menentukan keputusan, dalam hal ini tentang
HIV/AIDS.
d. Konseling sifatnya menjelaskan pilihan pasien.
e. Orang yang memberikan konseling tidak boleh memaksakan
kehendak atau nilai-nilai pribadi pada pasien.
f. Dalam konseling, kerahasiaan pasien harus dijunjung tinggi.

19
g. Jika konselor atau dokter harus mendiskusikan permaslahan
pasien ke konselor atau doker lain, sifatnya adalah pembahsan
kasus dan bukan tentang pribadi pasien.
3. Konseling dalam VCT ini dimaksudkan memberikan informasi
factual dan dukungan kepada ODHA dan keluarganya,karena itu
diperlukan materi-materi yaitu (Depkes,2003):
a. Kebutuhan primer untuk mencegah infeksi dan infeksi ulang.
b. Informasi dasar tentang infeksi HIV dan penyakit terkait dan
cara penularan.
c. Penilaian tingkat risiko infeksi HIV.
d. Mengkaji kemungkinan sumber infeksi klien.
e. Informasi khusus untuk menurunkan risiko dengan perubahan
perilaku berisiko.
B. Waktu di lakukan VCT
VCT perlu dilakukan bila seseorang merasa kawatir atau takut akan
tertular HIV dikerenakan:
1. Perilaku beresiko dengan berganti-ganti pasangan seks tanpa
menggunakan kondom.
2. Pernah tertular IMS atau penyakit kelamin lebih dari dua kali.
3. Menggunkan jarum suntik secra bergantian atau tidak steril.
4. Pernah menrima trnfusi darah tanpa melalui proses
pemeriksaan(screening).
C. Tujuan VCT
VCT mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Upaya pencegahan HIV/AIDS;
2. Upaya untuk mengurangi kegelisahan, meningkatkan
persepsi/pengetahuan mereka tentang faktor-faktor risiko penyebab
seseorang terinfeksi HIV;
3. Upaya pengembangan perubahan prilaku, sehingga secara dini
mengarahkan mereka menuju ke program pelayanan dan dukungan

20
termasuk akses terapi antiretroviral, serta membantu mengurangi
stigma dalam masyarakat
Sedangkan menurut KPAN (Komisi Penanggulangan AIDS
Nasional), VCT bertujuan untuk membantu setiap orang agar
mendapatkan akses kesemua layanan informasi, edukasi, terapi atau
dukungan psiko sosial, sehingga kebutuhan akan informasi akurat dan
tepat dan dicapai. Sehingga proses berfikir, perasaan dan prilaku dapat di
arahkan keperilaku yang lebih sehat yaitu melalui:
1. Penyediaan dukungan psikologis, seperti dukungan yang terkait
dengan kesejahteraan emosi psikologis, sosial dan spiritual ODHA.
2. Pencegahan peneluran HIV dengan menyediakan informasi
mengenai perilaku beresiko dan membantu dalam pengembangan
keterampilan pribadi yang diperlukan untuk perubahan perilaku dan
negosiasi praktik yang lebih aman.
3. Memastikan efektifitas rujukan kesehatan,terapi dan perawatan
melalui pemecahan masalah kepatuhan berobat.
D. Alasan DiLakukan VCT
1. Karena merupakan pintu masuk (entry point) ke seluruh layanan
HIV/AIDS (akses ke berbagai pelayanan);
2. Karena VCT menjadi salah satu bentuk dukungan, baik yang hasil
testnya positif/negative, dengan berfokus pada dukungan atas
kebutuhan klien seperti perubahan prilaku, dukungan mental,
pemahaman factual dan terkini atas HIV/AIDS, dukungan terapi ARV
& perawatan (CST);
3. Karena dengan VCT dapat mengurangi stigma & diskriminasi di
masyarakat;
4. Karena VCT mencangkup pendekatan menyeluruh baik kesehatan
fisik maupun mental;
5. Karena dengan VCT dapat pemberdayaan ODHA melalui training,
KDS (meningkatkan kwalitas hidup ODHA).

21
E. Fungsi VCT
1. Pencegahan HIV.
2. Dengan VCT diperoleh pendejatan pencegahan penyakit yaitu dengan
mempromosikan perubahan perilaku seksual untuk menurunkan
penularan HIV.Menawarkan untuk mencari tahu status HIV dan
perencanaan hidup bagi yang terkena HIV,juga pencegahan pada
keluarganya.
3. Pintu masuk menuju terapi dan perawatan
4. Dengan interfensi yang amandan efektif untuk pencegahan peneluran
HIV ibu-anak.Membantu untuk konseling kepatuhan berobat agar
rutinitas pemakaian obat terjaga dan mencegah terjadinya resistensi
obat.
5. VCT dilakukan sebagai penghormatan atas hak asasi manusia dari sisi
kesehtan masyarakat,kerena infeksi HIV mempunyai dampak serius
bagi kesehatan dan kesejahteraan masyarakat dalam jangka panjang.

2.5 Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi (PPI)


A. Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi (PPI) di Masyarakat
Tujuan
Untuk mencegah terjadinya penularan terutama bagi orang yang belum
tertular dan membantu orang yang telah terinfeksi untuk tidak menularkan
kepada orang lain atau pasangan.
Panduan pelaksanaan
1. Pada pengendalian HIV, upaya pencegahan meliputi beberapa aspek yaitu
penyebaran informasi, promosi pengunaan kondom, skrining darah pada
darah donor, pengendalian IMS yang adekuat, penemuan kasus HIV dan
pemberian ARV sedini mungkin, pencegahan penularan dari ibu ke anak,
pengurangan dampak buruk, sirkumsisi, pencegahan dan pengendalian
infeksi di faskes dan profilaksis pasca pajanan untuk kasus pemerkosaan
dan kecelakaan kerja.
2. Penyebaran informasi tidak menggunakan gambar atau foto yang

22
menyebabkan ketakutan, stigma, dan diskriminasi.
3. Penyebaran informasi perlu menekankan manfaat tes HIV dan
pengobatan ARV.
4. Penyebaran informasi perlu di sesuaikan dengan budaya dan bahasa atau
kebiasaan masyarakat setempat.

B. Pencegahan Dan Pengendalian Infeksi (PPI) di Faskes


Tujuan
Untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman dari infeksi di faskes.
Panduan pelaksanaan
1. Pada prinsipnya PPI pada HIV sama dengan kegiatan PPI pada umumnya
2. Infeksi pada pajanan okupasional di layanan kesehatan dapat dicegah
dengan mentaati praktek pencegahan dan pengendalian infeksi yang
standar.
a) Kebersihan tangan
b) Alat Pelindung Diri (APD)
c) Etika batuk /kebersihan pernafasan
d) Penempatan pasien
e) Pengelolaan alat kesehatan bekas pakai
f) Pengeloalaan lingkungan
g) Pengelolaan linen
h) Praktik penyuntikan yang aman
i) Praktik pencegahan infeksi untuk prosedur lumbal punksi
j) Perlindungan dan kesehatan karyawan dengan melaksanakan
tatalaksanan pasca pajanan

C. Tatalaksana Pasca Pajanan HIV


Tujuan
Untuk mencegah terjadinya infeksi HIV pada pajanan okupasional dan non-
okupasional

23
Panduan pelaksanaan
1. Cuci segera setelah terjadinya pajanan dan lakukan tindakan darurat
pada tempat pajanan
2. Telaah pajanan
a) Cara pajanan
b) Bahan pajanan
c) Status infeksi sumber pajanan
d) Kerentanan
3. Tentukan terapi profilaksis pasca-pajanan (PPP) yang di butuhkan
4. Pencatatan
5. Tes HIV atau anti HBs segera setelah terjadinya pajajan
6. Tindak lanjut
a) Evaluasi laboratorium
b) Follow-up dan dukungan psikososial

Telaah Pajanan untuk HIV

Status Infeksi Sumber Pajanan

Jenis HIV Stadium HIV Tidak HIV


Pajanan 1, HIV Stadium 2 diketahui negativ
Asimtomatis HIV (mis, pasien e
atau diketahui Simtomatis, meninggal &
viral load AIDS, tidak dapat
rendah (y.i. serokonvers dilakukan tes
<1500) i akut, atau darah)
diketahui
viral load
tinggi

24
Perlukaan kulit

Kurang Dianjurkan Dianjurkan Umumnya Tidak


berat obat ARV obat ARV Tidak perlu perlu
(y.i. jarum untuk PPP untuk PPP obat ARV, PPP
buntu, luka pertimbangka
di n ARV untuk
permukaan PPP bila
) sumber
berisiko

Lebih Dianjurkan Dianjurkan Umumnya Tidak


berat obat ARV obat ARV Tidak perlu perlu
(y.i. jarum untuk PPP untuk PPP obat ARV, PPP
besar pertimbangka
berlubang, n ARV untuk
luka tusuk PPP bila
dalam, sumber
nampak berisiko*
darah pada
alat, atau
jarum
bekas
dipakai
pada arteri
atau vena)

Pajanan pada lapisan mukosa atau pajanan pada luka di kulit

25
Pajanan Pertimbangka Dianjurkan Umumnya Tidak
dalam n obat ARV obat ARV Tidak perlu perlu
jumlah untuk PPP untuk PPP obat ARV, PPP
sedikit pertimbangka
n ARV untuk
PPP bila
sumber
berisiko

Pajanan Dianjurkan Dianjurkan Umumnya Tidak


dalam obat ARV obat ARV Tidak perlu perlu
jumlah untuk PPP untuk PPP obat ARV, PPP
banyak pertimbangka
(y.i. n ARV untuk
tumpahan PPP bila
banyak sumber
darah) berisiko*

Keterangan:
1. Pernyataan “Pertimbangkan ARV untuk PPP” menunjukkan bahwa ARV
untuk PPP merupakan pilihan tidak mutlak dan harus diputuskan secara
individual tergantung dari orang yang terpajan dan keahlian dokternya.
Namun, pertimbangkanlah pengobatan ARV untuk PPP bila ditemukan faktor
risiko pada sumber pajanan, atau bila terjadi di daerah dengan risiko tinggi
HIV.
2. Bila diberikan PPP dan diterima, dan sumber pajanan kemudian diketahui
HIV negatif, maka PPP harus dihentikan.
3. Pada pajanan kulit, tindak lanjut hanya diperlukan bila ada tanda-tanda kulit
yang tidak utuh (seperti, dermatitis, abrasi atau luka)

26
Tatalaksana Pajanan
Setiap pajanan dicatat dan dilaporkan kepada yang berwenang yaitu atasan
langsung dan Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI) atau Kesehatan
dan Keselamatan Kerja (K3). Laporan tersebut sangat penting untuk menentukan
langkah berikutnya. Memulai PPP sebaiknya secepatnya (< 4 jam) dan tidak lebih
dari 72 jam. Setelah 72 jam tidak dianjurkan karena tidak efektif.

Bahan yang memberikan risiko penularan infeksi adalah:


1. Darah
2. Cairan bercampur darah yang kasat mata
3. Cairan yang potensial terinfeksi, yaitu: semen, vagina, serebrospinal, sinovia,
pleura, peritoneal, perikardial, amnion
4. Virus yang terkonsentrasi

Penilaian status infeksi sumber pajanan terhadap penyakit yang menular melalui
darah yang dapat dicegah, dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium bila
memungkinkan. Penyakit tersebut adalah:
1. HbsAg untuk Hepatitis B
2. Anti HCV untuk Hepatitis C
3. Anti HIV untuk HIV
4. Untuk sumber yang tidak diketahui, pertimbangkan adanya faktor risiko yang
tinggi atas ketiga infeksi di atas

Langkah dasar tatalaksana klinis PPP HIV pada kasus pemerkosaan :


1. Menenangkan dan memberikan bantuan psikologis pada korban
2. Melakukan pemeriksaan visum untuk laporan kepada kepolisian
3. Melakukan tes kehamilan
4. Pemeriksaan IMS termasuk sifilis jika memungkinkan
5. Memberikan obat IMS setidaknya untuk GO, klamidia dan sifilis
6. Memberikan obat pencegah kehamilan dengan obat after morning pill
7. Memberikan ARV untuk PPP HIV

27
Pemberian obat ARV untuk PPP
Dosis pertama PPP harus selalu ditawarkan secepat mungkin setelah pajanan
dalam waktu tidak lebih dari 3 kali 24 jam, dan jika perlu, tanpa menunggu
konseling dan tes HIV atau hasil tes dari sumber pajanan. Strategi ini sering
digunakan jika yang memberikan perawatan awal adalah bukan ahlinya, tetapi
selanjutnya dirujuk kepada dokter ahli dalam waktu singkat.
Langkah selanjutnya setelah dosis awal diberikan, adalah agar akses terhadap
keseluruhan pasokan obat PPP selama 28 hari dipermudah.
Tindak lanjut
Setiap tatalaksana pajanan berisiko harus selalu dilakukan tindak lanjut, terlebih
pada yang mendapatkan PPP seperti halnya pemberian terapi ARV pada
umumnya. Tindakan yang diperlukan meliputi:
1. Evaluasi laboratorium, termasuk tes HIV pada saat terpajan dan 6 minggu, 3
bulan, dan 6 bulan setelahnya; tes HbsAg bagi yang terpajan dengan risiko
Hepatitis B
2. Pencatatan
3. Follow-up dan dukungan, termasuk tindak lanjut klinis atas gejala infeksi
HIV, Hepatitis B, efek samping obat PPP, konseling berkelanjutan untuk
kepatuhan terapi ARV, dsb.

Panduan Obat ARV untuk PPP

Orang yang terpajan Paduan ARV

Remaja dan dewasa Pilihan TDF + 3TC (FTC) +


LPV/r

Alternatif TDF + 3TC (FTC) +


EFV ATAU
AZT + 3TC + LPV/r

28
Anak (< 10 tahun) Pilihan AZT + 3TC + LPV/r

Alternatif TDF + 3TC (FTC) +


LPV/r
Dapat menggunakan
EFV/NVP untuk
NNRTI

Dosis obat ARV untuk PPP HIV bagi Orang Dewasa dan Remaja

Nama obat ARV Dosis

Tenofovir (TDF) 300mg sekali sehari

Lamivudin (3TC) 150 dua kali sehari atau 300mg sekali


sehari

Emtricitabin (FTC) 200mg sekali sehari

Zidovudin (AZT) 300mg dua kali sehari

Lopinavir/ritonavir (LPV/r) 200mg/50mg dua kali sehari

29
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

30
DAFTAR PUSTAKA

Widoyono, 2005. Penyakit Tropis :epidomologi, penularan, pencegahan, dam


pemberantasannya, Jakarta : Erlangga Medical Series

Muhajjar, 2007. Pendidikan Jasmani Olahraga dan kesehatan, Bandung ; Erlangga

Djuanda, adhi. 2007. Ilmu Penyakit dan Kelamin, Jakarta: Balai Penerbit FKUI

Mandal,dkk.2008. Penyakit Infeksi. Jakarta: Erlangga Medical Series

Angga Wilandika. 2019. Jurnal. Penilaian stigma petugas kesehatan pada orang
dengan HIV AIDS (ODHA) pada salah satu puskesmas di bandung.
Sekolah Tinggi Kesehatan, Bandung, Jawa Barat
Irfan, Ardani, dkk. 2017. Jurnal. Stigma terhadap orang dengan HIV AIDS
(ODHA) sebagai hambatan pencarian pengobatan: studi kasus pada
pecandu narkoba suntik di Jakarta. Pusat Penelitian dan Pengembangan
Humaniora dan Menejemen Kesehatan, Jakarta.
Priyanti, Tri, dkk. 2012, Jurnal. Factor-Faktor yang Mempengaruhi Stigma dan
Diskriminasi Kepada ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) oleh Petugas
Kesehatan: Kajian Literatur. Fakultas Kedokteran, Universitas
Padjajaran Bandung.
Kemenkes Ri.2012. Buku Pedoman Penghapusan Stigma dan Diskriminasi Bagi
Pengelola Program , Petugas Layanan Kesehatan dan Kader. Jakarta:
Direktorat Pengendalian Penyakit dan penyehatan lingkungan.
Sudarni, Sitti. 2018. Jurnal. Provider Initiative Test and Counseling (PITC)
Sebagai Upaya Perluasan tes HIV pada Populasi khusus (Studi kasus Di
Kota Kendari, Sultra). Dikes Prov Sultra..

Katiandagho, Desmon. 2015. EPIDEMIOLOGI HIV-AIDS. In Media : Bogor

Nursalam, dkk.2007. Asuhan Keperwatan pada Pasien Terinfeksi


HIV/AIDS. Salemba Medika :

31
Kemenkes RI. 2016 Petunjuk teknis program pengendalian HIV/AIDS dan PIMS
Fasilitas Kesehatan Tingkat pertama. Jakarta:direktorat jendral
pencegahan dan penularan penyakit

32

Anda mungkin juga menyukai