Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 PERDARAHAN POST PARTUM

Perdarahan pascapersalinan adalah kehilangan darah lebih dari 500 ml melalui


jalan lahir yang terjadi selama atau setelah persalinan kala III. Sebagian besar
perdarahan pada masa nifas (75-80%) adalah akibat adanya atonia uteri. Sebagaimana
kita ketahui bahwa aliran darah uteroplasenta selama masa kehamilan adalah 500-800
ml/menit, sehingga bisa kita bayangkan ketika uterus itu tidak berkontraksi selama
beberapa menit saja, maka akan menyebabkan kehilangan darah yang sangat banyak.
Sedangkan volume darah manusia hanya berkisar 5-6 liter saja.(1)

Dalam persalinan, sukar untuk menentukan jumlah darah akurat karena


tercampur dengan air ketuban dan terserap pada pakaian atau kain alas(1).. Darah
tersebut tercampur dengan cairan amnion atau dengan urin. Darah juga tersebar pada
spons, handuk, dan kain, di dalam ember dan di lantai. Volume darah yang hilang juga
bervariasi akibatnya sesuai dengan kadar hemoglobin ibu. Seseorang ibu dengan kadar
hemoglobin normal akan dapat menyesuaikan diri terhadap kehilangan darah, dan akan
berakibat fatal pada ibu yang menderita anemia.(1,2)

Perdarahan post partum merupakan penyebab utama kematian maternal. Semua


wanita yang usia kehamilannya lebih dari 20 minggu beresiko untuk mengalami
perdarahan post partum. Meskipun angka kematian maternal akibat perdarahan post
partum telah berkurang drastis di negara-negara maju, jumlahnya masih tetap tinggi di
negara lainnya terutama negara berkembang termasuk di Indonesia.(2,3)

Perdarahan pascapersalinan adalah sebab penting kematian ibu, sekitar


seperempat kematian ibu yang disebabkan oleh perdarahan (perdarahan
pascapersalinan, placenta previa, solutio plasenta, kehamilan ektopik, abortus, dan
ruptura uteri). Selain itu, kejadian ini sangat mempengaruhi morbiditas pada masa nifas

1
karena anemia dapat menurunkan daya tahan tubuh. Perdarahan pascapersalinan lebih
sering terjadi pada ibu-ibu di Indonesia dibandingkan dengan ibu-ibu di luar negeri.

Perdarahan pascapersalinan dibagi menjadi perdarahan pascapersalinan primer


dan sekunder.

1. Perdarahan pascapersalinan primer (Early Postpartum Haemorrhage, atau perdarahan


pascapersalinan segera). Perdarahan pascapersalinan primer terjadi dalam 24 jam pertama
setelah bayi lahir. Penyebab utama Perdarahan pascapersalinan primer adalah atonia
uteri, retensio plasenta, sisa plasenta, dan robekan jalan lahir. Terbanyak dalam 2 jam
pertama.

2. Perdarahan pascapersalinan sekunder (Late Postpartum Haemorrhage, atau perdarahan


masa nifas, atau perdarahan pascapersalinan lambat, atau PPP kasep). Pascapersalinan
sekunder terjadi setelah 24 jam setelah persalinan. Penyebab utama Perdarahan
pascapersalinan sekunder adalah robekan jalan lahir dan sisa plasenta. (1-8)

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

Atonia Uteri adalah keadaan tidak adanya kontraksi rahim segera setelah bayi dan
plasenta lahir, yang menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan dari tempat
implantasi plasenta. (1,2,3,)

Gambar 1 : Perdarahan akibat Atonia Uteri

2.2 ANATOMI UTERUS

Uterus terbentuk seperti buah avokad/ pir sedikit gepeng, ke arah antefleksi
(depan belakang). Ukurannya sebesar telur ayam dan mempunyai rongga. Dindingnya
terdiri atas otot-otot polos. Ukuran panjang uterus 7-7,5 cm, lebar sekitar 5,25 cm,

3
tebal 2,5 cm, dan tebal dinding 1,25 cm. Letak uterus dalam keadaan fisiologis adalah
anteversiofleksio (serviks kedepan dan membentuk sudut dengan vagina, demikian
pula korpus uteri ke depan dan membentuk sudut dengan serviks uteri). (4)

Uterus terdiri dari fundus, korpus, dan serviks uteri. Fundus adalah bagian
proksimal uterus. Korpus merupakan bagian terbesar sebagai tempat janin
berkembang, rongganya disebut kavum uteri. Serviks uteri terdiri atas, pars vaginalis
serviks uteri yang dinamakan porsio dan pars supravaginalis serviks uteri yaitu bagian
serviks yang berada diatas vagina. (4)

Saluran yang terdapat pada serviks disebut kanalis servikalis berbentuk sebagai
saluran dengan panjang 2,5 cm. Pintu saluran serviks sebelah dalam disebut ostium
uteri internum dan pintu divagina disebut ostium uteri eksternum. (4)

Secara histologik uterus terdiri atas (dari dalam ke luar), endometrium dikorpus
uteri dan endoserviks di serviks uteri, myometrium (otot- otot polos), dan lapisan
serosa, yakni peritoneum viserale. (4)

Endometrium terdiri atas epitel kubik, kelenjar- kelenjar dan jaringan dengan
banyak pembuluh darah yang berlekuk-lekuk. Endometrium melapisi seluruh kavum
uteri dan mempunyai arti penting dalam siklus haid pada seorang wanita dalam masa
reproduksi. Pada masa haid, endometrium sebagian besar dilepaskan, untuk kemudian
tumbuh lagi pada fase proliferasi dan selanjutnya ke fase sekretorik. (4)

Lapisan otot- otot polos dibagian dalam berbentuk sirkuler, dan dibagian luar
berbentuk logitudinal. Diantara kedua lapisan itu terdapat lapisan otot oblik, berbentuk
anyaman, dan lapisan ini paling penting pada persalinan oleh karena sesudah plasenta
lahir, uterus berkontraksi kuat dan menjepit pembuluh- pembuluh darah yang terbuka.
(4)

Uterus dalam rongga pelviks disokong oleh jaringan ikat dan ligamen yang
menyokongnya, sehingga terfiksasi dengan baik. Adapun Ligamen yang memfiksasi
uterus adalah :

4
1). Ligamentum kardinale sinistrum et dekstrum (Mackenrodt), yakni ligamentum
yang terpenting, mencegah supaya uterus tidak turun, terdiri atas jaringan ikat tebal,
dan berjalan dari serviks dan puncak vagina ke arah lateral dinding pelviks.

2). Ligamentum sakro-uterinum sinistrum et dekstrum, yakni ligamntum yang


menahan uterus supaya tidak banyak bergerak, berjalan dari serviks bagian belakang,
kiri, kanan, kearah os sacrum kiri dan kanan.

3). Ligamentum rotundum sinistrum et dekstrum, yakni ligamentum yang menahan


uterus dalam antefleksi dan berjalan dari sudut fundus uteri kiri dan kanan, ke daerah
inguinal kiri dan kanan. Pada kehamilan kadang- kadang terasa sakit di daerah
ligamentum rotundum menjadi kencang serta mengadakan tarikan pada daerah
inguinal.

). Ligamentum rotundum sinistrum et dekstrum, yakni ligamentum yang meliputi tuba,


berjalan dari uterus ke arah sisi, tidak banyak mengandung jaringan ikat.

5). Ligamentum infundibulo pelvikum, yakni ligamentum yang menahan tuba


falloppii berjalan dari arah infundibulum ke dinding pelvis. (4)

Isthmus adalah bagian uterus antara serviks dan korpus uteri, yang diliputi oleh
peritoneum viserale. Di tempat inilah dinding uterus dibuka saat seksio sesarea
transperitonealis profunda. Dinding belakang uterus seluruhnya diliputi oleh
peritoneum viserale yang membentuk suatu rongga yang disebut kavum Douglasi yang
menonjol jika ada cairan (darah atau asites) atau ada tumor di daerah tersebut.(4)

Vaskularisasi uterus oleh arteria uterine sinistra et dekstra yang terdiri dari
ramus asendens dan ramus desendens. Pembuluh darah ini berasal dari a.iliaka interna
(=a.hipogastrika) yang melalui dasar ligamentum latum, masuk ke dalam uterus di
daerah serviks kira-kira 1,5 dari forniks vagina.(4)

5
2.3 EPIDEMIOLOGI

Atonia uteri merupakan penyebab tersering perdarahan post partum. Sekurang-


kurangnya 2/3 dari semua perdarahan post partum disebabkan oleh atonia uteri. Upaya
penanganan perdarahan postpartum akibat atonia uteri harus dimulai dengan mengenal
ibu yang memiliki kondisi yang berisiko terjadinya atonia uteri. Jika seorang wanita
memiliki salah satu dari kondisi-kondisi yang berisiko tersebut, maka penting bagi
penolong untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya atoni uteri postpartum.
Meskipun demikian, sekitar 20% atoni uteri postpartum dapat terjadi pada ibu tanpa
faktor resiko tersebut.(1-6)

2.4 FAKTOR PREDISPOSISI

Beberapa kondisi yang berisiko terjadinya atonia uteri :


1. Peregangan uterus yang berlebihan karena kehamilan kembar (gemelli),
polihidramnion, atau anak yang terlalu besar (makrosomi) mengakibatkan uterus
tidak mampu berkontraksi segera setelah plasenta lahir.
2. Kelelahan uterus akibat persalinan lama, persalinan buatan, induksi atau
augmentasi persalinan, mengakibatkan uterus tidak mampu berkontraksi segera
setelah plasenta lahir.
3. Kehamilan grande-multipara mengakibatkan uterus berulang kali teregang,
sehingga menurunkan kemampuan berkontraksi uterus segera setelah plasenta
lahir.
4. Ibu dengan keadaan umum yang jelek, anemia, atau menderita penyakit menahun.
5. Mioma uteri mengganggu kontraksi rahim disebabkan mioma yang paling sering
menjadi penyebab perdarahan post partum adalah mioma intra mular, dimana
mioma berada di dalam miometrium sehingga akan menghalangi uterus
berkontraksi.

6
6. Infeksi intrauterine (korioamnionitis), Korioamnionitis adalah infeksi dari korion
saat intrapartum yang potensial akan menjalar pada otot uterus sehingga menjadi
infeksi dan menyebabkan gangguan untuk melakukan kontraksi.
7. Ada riwayat pernah mengalami atonia uteri sebelumnya.(2,3,5)

2.5 PATOFISIOLOGI

Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan


setelah melahirkan. Atonia uteri terjadi karena kegagalan mekanisme ini. Perdarahan
pospartum secara fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut miometrium yang
mengelilingi pembuluh darah yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia
uteri terjadi apabila serabut-serabut miometrium tersebut tidak berkontraksi.(5-8)

2.6 GAMBARAN KLINIS

Atonia uteri ditandai dengan adanya perdarahan masif per vaginam yang
diakibatkan kurangnya tonus miometrium tanpa disertai akibat lainnya.(9) Pada palpasi
uterus ditemukan fundus uterus lembek atau mengembang tanpa adanya kontraksi.(9,10)

Tanda dan gejala atonia uteri adalah:

Perdarahan pervaginam

Perdarahan yang terjadi pada kasus atonia uteri sangat banyak dan darah tidak
merembes. Yang sering terjadi adalah darah keluar disertai gumpalan, hal ini terjadi
karena tromboplastin sudah tidak mampu lagi sebagai anti pembeku darah.

Konsistensi rahim lunak

Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia dan yang membedakan atonia
dengan penyebab perdarahan yang lainnya.

7
Fundus uteri naik

Disebabkan adanya darah yang terperangkap dalam cavum uteri dan


menggumpal

Terdapat tanda-tanda syok

Hipotensi, denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas dingin, gelisah, mual dan
lain-lain. (9,10)

8
2.7 PENATALAKSANAAN

NO Langkah Keterangan

1 Lakukan masase fundus uteri segera Massase merangsang kontraksi uterus.


setelah plasenta dilahirkan selama 15 Sambil melakukan masase sekaligus dapat
detik. dilakukan penilaian kontraksi uterus.

2 Bersihkan kavum uteri dari selaput Selaput ketuban atau gumpalan darah
ketuban dan gumpalan darah. dalam kavum uteri akan dapat menghalangi
kontraksi uterus secara baik.

3 Mulai lakukan kompresi bimanual Sebagian besar atonia uteri akan teratasi
interna. Jika uterus berkontraksi dengan tindakan ini. Jika kompresi
keluarkan tangan setelah 1- 2 menit. bimanual tidak berhasil setelah 5 menit,
Jika uterus tetap tidak berkontraksi diperlukan tindakan lain.
teuskan kompresi bimanual interna
hingga 5 menit.

Minta keluarga untuk melakukan Bila penolong hanya seorang diri, keluarga
kompresi bimanual eksterna. dapat meneruskan proses kompresi
bimanual secara eksternal selama anda
melakukan langkah selanjutnya.

5 Berikan metil ergometrin 0,2 mg Metil ergometrin yang diberikan secara


intramuskular/ intravena intramuskular akan mulai bekerja dalam 5-
7 menit dan menyebabkan kontraksi uterus.
Pemberian intravena bila sudah terpasang
infus sebelumnya. 9
6 Berikan infus cairan larutan ringger Anda telah memberikan oksitosin pada
laktat dan oksitosin 20 unit dalam 500cc waktu penatalaksanaan aktif kala tiga dan
RL metergin intramuskuler. Oksitosin
intravena akan bekerja segera untuk
menyebabkan uterus berkontraksi. Ringger
laktat akan membantu memulihkan volume
cairan yang hilang selama atoni. Jika uterus
wanita belum berkontraksi selama 6
langkah pertama, sangat mungkin bahwa ia
mengalami perdarahan postpartum dan
memerlukan penggantian darah yang
hilang secara cepat.

7 Mulai lagi kompresi bimanual interna Jika atoni tidak teratasi setelah 7 langkah
atau pasang tampon uterovagina. pertama, mungkin ibu mengalami masalah
serius lainnya.

Tampon uterovagina dapat dilakukan


apabila penolong telah terlatih.

Rujuk segera ke rumah sakit.

8 Buat persiapan untuk merujuk segera Atoni bukan merupakan hal yang
sederhana dan memerlukan perawatan
gawat darurat di fasilitas dimana dapat di
fasilitas dimana dapat dilaksanakan bedah
dan pemberian darah.

9 Teruskan cairan intravena hingga ibu Berikan infus 500cc cairan pertama dalam
mencapai tempat rujukan waktu 10 menit. Kemudian ibu
memerlukan cairan tambahan, setidak-
tidaknya 500cc/jam pada jam pertama, dan

10
500cc/jam pada jam-jam berikutnya. Jika
tidak menpunyai cukup persediaan cairan
intravena, berikan cairan 500 cc yang
ketiga tersebut secara perlahan, hingga
cukup untuk sampai di tempat rujukan.
Berikan ibu minum untuk tambahan
rehidrasi.

10 Lakukan laparotomi : pertimbangan Pertimbangan antara lain paritas, kondisi


antara tindakan mempertahankan uterus ibu, jumlah perdarahan.
dengan ligasi arteri uterin/ hipogastrika
dengan histerektomi.(3)

Manajemen Atonia Uteri (1,2,3)

1. Resusitasi

Apabila terjadi perdarahan pospartum banyak, maka penanganan awal yaitu


resusitasi dengan oksigenasi dan pemberian cairan intravena cepat, monitoring tanda-
tanda vital, monitoring jumlah urin, dan monitoring saturasi oksigen. Pemeriksaan
golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk persiapan transfusi darah.

2. Masase dan kompresi bimanual

Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus yang akan
menghentikan perdarahan. Pemijatan fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta
(maksimal 15 detik).

11
 Jika uterus berkontraksi
Evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi perdarahan uterus berlangsung,
periksa apakah perineum / vagina dan serviks mengalami laserasi dan jahit atau rujuk
segera.

 Jika uterus tidak berkontraksi maka :


Bersihkanlah bekuan darah atau selaput ketuban dari vagina dan lubang
serviks. Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong.Lakukan kompresi bimanual
internal (KBI) selama 5 menit.
ó Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan tangan
perlahan-lahan dan pantau kala empat dengan ketat.

Gambar 2 : Kompresi Bimanual Interna

ó Jika uterus tidak berkontraksi, maka : Anjurkan keluarga untuk mulai melakukan
kompresi bimanual eksternal; Keluarkan tangan perlahan-lahan; Berikan
ergometrin 0,2 mg LM (jangan diberikan jika hipertensi); Pasang infus
menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 ml RL + 20 unit
oksitosin. Habiskan 500 ml pertama secepat mungkin; Ulangi KBI.

12
Jika uterus berkontraksi, pantau ibu dengan seksama selama kala
empatJika uterus tidak berkontraksi maka rujuk segera.

3. Uterotonika

Oksitosin merupakan hormon sintetik yang diproduksi oleh lobus posterior


hipofisis. Obat ini menimbulkan kontraksi uterus yang efeknya meningkat seiring dengan
meningkatnya umur kehamilan dan timbulnya reseptor oksitosin. Pada dosis rendah
oksitosin menguatkan kontraksi dan meningkatkan frekuensi, tetapi pada dosis tinggi
dapat menyebabkan tetani. Oksitosin dapat diberikan secara IM atau IV, untuk
perdarahan aktif diberikan lewat infus RL, sebanyak 20 IU, jika sirkulasi kolaps bisa
diberikan oksitosin 10 IU intramiometrikal (IM). Efek samping pemberian oksitosin
sangat sedikit, biasa ditemukan nausea dan vomitus. Jika oksitosin tidak mampu untuk
menghasilkan tonus uterus yang adekuat maka terapi lini kedua harus diberikan. Pilihan
terapi lini kedua bergantung pada efek samping dan kontraindikasi agen uterotonik
tersebut. Methylergonovine (Methergine) adalah agen uteretonik yang efektif namun
memiliki kegunaan terbatas karena dapat memperberat hipertensi pasien yang memang
memiliki riwayat hipertensi sebelumya. (10)

Metilergonovin maleat merupakan golongan ergot alkaloid yang dapat


menyebabkan tetani uteri setelah 5 menit pemberian IM. Dapat diberikan secara IM 0,25
mg, dapat diulang setiap 5 menit sampai dosis maksimum 1,25 mg, dapat juga diberikan
langsung jika diperlukan (IM) atau IV bolus 0,125 mg. Obat ini dikenal dapat
menyebabkan vasospasme perifer dan hipertensi, dapat juga menimbulkan nausea dan
vomitus. Obat ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan hipertensi.

Uterotonika prostaglandin merupakan sintetik analog 15 metil prostaglandin


F2alfa. Dapat diberikan secara intramiometrikal, intraservikal, transvaginal, intravenous,
intramuscular, dan rectal. Pemberian secara IM 0,25 mg, yang dapat diulang setiap 15
menit sampai dosis maksimum 2 mg. Pemberian secara rektal dapat dipakai untuk
mengatasi perdarahan pospartum (5 tablet 200 µg = 1 g). Prostaglandin ini merupakan
uterotonika yang efektif tetapi dapat menimbulkan efek samping prostaglandin seperti:
nausea, vomitus, diare, sakit kepala, hipertensi dan bronkospasme yang disebabkan
13
kontraksi otot halus, bekerja juga pada sistem termoregulasi sentral, sehingga kadang-
kadang menyebabkan muka kemerahan, berkeringat, dan gelisah yang disebabkan
peningkatan basal temperatur, hal ini menyebabkan penurunan saturasi oksigen.
Uterotonika ini tidak boleh diberikan pada pasien dengan kelainan kardiovaskular,
pulmonal, dan disfungsi hepatik. Efek samping serius penggunaannya jarang ditemukan
dan sebagian besar dapat hilang sendiri. Dari beberapa laporan kasus penggunaan
prostaglandin efektif untuk mengatasi perdarahan persisten yang disebabkan atonia uteri
dengan angka kesuksesan 8%-96%. Perdarahan pospartum dini sebagian besar
disebabkan oleh atonia uteri maka perlu dipertimbangkan penggunaan uterotonika ini
untuk mengatasi perdarahan masif.
Agen uterotonik terakhir adalah misoprostol (cytotec) yang merupakan analog
Prostaglandin E1 sintetik. Misoprostol dapat mencegah maupun menangani perdarahan
post partum. Tidak seperti formula prostaglandin lainnya, misoprostol sangat efekif dan
tidak memiliki kontraindikasi terhadap penggunaannya. Beberapa efek samping yang
dapat ditimbulakan misoprostol adalah takikardi dan demam. (10)

Jika atonia uteri disebabkan oleh terapi tokolitik seperti magnesium sulfat dan
nifedipin, yang mencegah masuknya kalsium kedalam sel, maka kalsium glukanoat dapat
diberikan sebagai terapi adjuvan. Dosis 1 gram (1ampul) kalsium glukanoat dapat
meningkatkan tonus uterus dan mengurangi perdarahan akibat atonia uteri. (10)

4. Operatif

 Ligasi arteri uterina

Beberapa penelitian tentang ligasi arteri uterina menghasilkan angka keberhasilan


80-90%. Pada teknik ini dilakukan ligasi arteri uterina yang berjalan disamping uterus
setinggi batas atas segmen bawah rahim. Jika dilakukan SC, ligasi dilakukan 2-3 cm
dibawah irisan segmen bawah rahim. Untuk melakukan ini diperlukan jarum atraumatik
yang besar dan benang absorbable yang sesuai. Arteri dan vena uterina diligasi dengan
melewatkan jarum 2-3 cm medial vasa uterina, masuk ke miometrium keluar di bagian
avaskular ligamentum latum lateral vasa uterina. Saat melakukan ligasi, hindari rusaknya
vasa uterina dan ligasi harus mengenai cabang asenden arteri miometrium, untuk itu

14
penting untuk menyertakan 2-3 cm miometrium. Jahitan kedua dapat dilakukan jika
langkah diatas tidak efektif dan jika terjadi perdarahan pada segmen bawah rahim.
Dengan menyisihkan vesika urinaria, ligasi kedua dilakukan bilateral pada vasa uterina
bagian bawah, 3- cm dibawah ligasi vasa uterina atas. Ligasi ini harus mengenai sebagian
besar cabang arteri uterina pada segmen bawah rahim dan cabang arteri uterina yang
menuju ke servik, jika perdarahan masih terus berlangsung perlu dilakukan bilateral atau
unilateral ligasi vasa ovarian. (11)

 Ligasi arteri Iliaka Interna

Identiffikasi bifurkasiol arteri iliaka, tempat ureter menyilang, untuk


melakukannya harus dilakukan insisi 5-8 cm pada peritoneum lateral paralel dengan
garis ureter. Setelah peritoneum dibuka, ureter ditarik ke medial kemudian dilakukan
ligasi arteri 2,5 cm distal bifurkasio iliaka interna dan eksterna. Klem dilewatkan
dibelakang arteri, dan dengan menggunakan benang non absobable dilakukan dua
ligasi bebas berjarak 1,5-2 cm. Hindari trauma pada vena iliaka interna. Identifikasi
denyut arteri iliaka eksterna dan femoralis harus dilakukan sebelum dan sesudah ligasi.

Risiko ligasi arteri iliaka adalah trauma vena iliaka yang dapat menyebabkan
perdarahan. Dalam melakukan tindakan ini dokter harus mempertimbangkan waktu
dan kondisi pasien. (11)

Gambar 3 : Anatomi arteri Iliaka Interna

15
Gambar 4 : Tempat Ligasi a. Iliaka Interna

 Teknik B-Lynch

Teknik B-Lynch dikenal juga dengan “brace suture”, ditemukan oleh


Christopher B Lynch 1997, sebagai tindakan operatif alternatif untuk mengatasi
perdarahan postpartum. (11)

16
Gambar 5 : Teknik B-Lynch pada penanganan Atonia Uteri

Histerektomi

Histerektomi peripartum merupakan tindakan yang sering dilakukan jika


terjadi perdarahan pospartum masif yang membutuhkan tindakan operatif.
Insidensi mencapai 7-4 per 10.000 kelahiran, dan lebih banyak terjadi pada
persalinan abdominal dibandingkan persalinan pervaginam.(11)

17
Bagan Manajemen Atonia Uteri
Masase fundus uteri segera
sesudah plasenta lahir
(maksimal 15 detik)

Tidak
Ya
Uterus kontraksi…??? Evaluasi Rutin

Tidak
Evaluasi/bersihkan bekuan darah/selpaut ketuban
Kompresi bimanual interna (KBI)  maksimal 5 menit.

-Pertahankan KBI selama 1-2


Ya menit.
Uterus Kontraksi…?? -Keluarkan tangan secara
hati-hati
-Lakukan Pengawasan Kala IV
Tidak

- Ajarkan keluarga melakukan Kompresi


Bimanal Eksterna
- Keluarkan tangan (KBI) secara hati-hati
- Suntukkan Methyl ergometrin 0.2 mg i.m
- Pasang Infus RL + 20 IU Oksitosin, Guyur
- Lakukan lagi KBI

Ya
Uterus Kontraksi..?? Pengawasan Kala IV

Tidak

-Rujuk, siapkan Laparatomi


-Lanjutkan a mencapai tempat rpemberian infuse + 20 IU Oksitosin minimal 500 cc/jam hingga
mencapai tempat rujukan.

18
TINDAKAN OPERATIF

LAPARATOMI

Teknik B-Lynch

Ligasi Arteri Iliaka


Interna

Histerektomi

19
2.8 PROGNOSIS

Prognosis bergantung pada jumlah darah yang hilang (sesuai dengan rasio berat badan
pasien), komplikasi yang terjadi, dan keberhasilan terapi.(3)

2.9 PENCEGAHAN

Untuk mencegah terjadinya perdarahan post partum ialah manajemen aktif kala III. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Cochrane yang membandingkan pasien yang mendapat oksitosin
profilaktik saat kala III dengan pasien yang tidak mendapat oksitosin ternyata terjadi penurunan
rata-rata jumlah darah yang hilang, perdarahan post partum, dan kebutuhan akan oksitosin
tambahan dibandingkan dengan yang tidak mendapatkan oksitosin. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa pemberian oksitosin sebelum pengeluaran plasenta dapat mengurangi
jumlah darah yang hilang dan juga jumlah tranfusi post partum yang dibutuhkan. Beberapa
penelitian lain justru menunjukkan tidak ada pangaruh mengenai waktu pemberian oksitosin.(10)

Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan postpartum
dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi. Manajemen aktif kala III
dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah.
Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya yang cepat, dan tidak
menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti ergometrin. Pemberian
oksitosin paling bermanfaat untuk mencegah atonia uteri. Pada manajemen kala III harus
dilakukan pemberian oksitosin setelah bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5
unit IV bolus atau 10-20 unit per liter IV drip 100-150 cc/jam.Analog sintetik oksitosin, yaitu
karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai uterotonika untuk mencegah dan mengatasi perdarahan
pospartum dini. Karbetosin merupakan obat long-acting dan onset kerjanya cepat. Penelitian di
Canada membandingkan antara pemberian karbetosin bolus IV dengan oksitosin drip pada
pasien yang dilakukan operasi sesar. Karbetosin ternyata lebih efektif dibanding oksitosin.

20
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 KESIMPULAN

Atonia Uteri adalah keadaan lemahnya tonus atau lemahnya kontraksi rahim, yang
menyebabkan uterus tidak mampu menutup perdarahan dari tempat implantasi plasenta setelah
bayi dan plasenta lahir. Sebagaimana kita ketahui bahwa aliran darah uteroplasenta selama masa
kehamilan adalah 500-800 ml/menit, sehingga bisa kita bayangkan ketika uterus itu tidak
berkontraksi selama beberapa menit saja, maka akan menyebabkan kehilangan darah yang sangat
banyak. Sedangkan volume darah manusia hanya berkisar 5-6 liter saja.
Adapun faktor predisposisi, hal-hal yang menyebabkan uterus merenggang lebih dari
kondisi normal seperti pada Polihidramnion, Kehamilan kembar, Makrosomi. Persalinan lama,
Persalinan terlalu cepat, Persalinan dengan induksi atau akselerasi oksitosin, Infeksi intrapartum.
Atonia uteri merupakan penyebab tersering perdarahan post partum. Sekurang-kurangnya 2/3
dari semua perdarahan post partum disebabkan oleh atonia uteri. Upaya penanganan perdarahan
postpartum akibat atonia uteri harus dimulai dengan mengenal ibu yang memiliki kondisi yang
berisiko terjadinya atonia uteri.
Kontraksi uterus merupakan mekanisme utama untuk mengontrol perdarahan setelah
melahirkan. Atonia uteri terjadi karena kegagalan mekanisme ini. Perdarahan pospartum secara
fisiologis dikontrol oleh kontraksi serabut-serabut miometrium yang mengelilingi pembuluh
darah yang memvaskularisasi daerah implantasi plasenta. Atonia uteri terjadi apabila serabut-
serabut miometrium tersebut tidak berkontraksi. Atonia uteri ditandai dengan adanya perdarahan
masif per vaginam() yang diakibatkan kurangnya tonus miometrium tanpa disertai akibat
lainnya.(9) Pada palpasi uterus ditemukan fundus uterus lembek atau mengembang tanpa adanya
kontraksi.() Adapun penanganan Atonia Uteri, terdapat pada bagan 1. Jenis tindakan operatif
utntuk menangani atonia uteri seperti Laparatomi, Teknik B-Lynch, Ligasi arteri Iliaka Interna,
Histerektomi.
Prognosis bergantung pada jumlah darah yang hilang (sesuai dengan rasio berat badan
pasien), komplikasi yang terjadi, dan keberhasilan terapi.(3) Untuk mencegah terjadinya
perdarahan post partum yakni manajemen aktif kala III.

21
Bagan Manajemen Atonia Uteri
Masase fundus uteri segera
sesudah plasenta lahir
(maksimal 15 detik)

Tidak
Ya
Uterus kontraksi…??? Evaluasi Rutin

Tidak
Evaluasi/bersihkan bekuan darah/selpaut ketuban
Kompresi bimanual interna (KBI)  maksimal 5 menit.

-Pertahankan KBI selama 1-2


Ya menit.
Uterus Kontraksi…?? -Keluarkan tangan secara
hati-hati
-Lakukan Pengawasan Kala IV
Tidak

- Ajarkan keluarga melakukan Kompresi


Bimanal Eksterna
- Keluarkan tangan (KBI) secara hati-hati
- Suntukkan Methyl ergometrin 0.2 mg i.m
- Pasang Infus RL + 20 IU Oksitosin, Guyur
- Lakukan lagi KBI

Ya
Uterus Kontraksi..?? Pengawasan Kala IV

Tidak

-Rujuk, siapkan Laparatomi


-Lanjutkan a mencapai tempat rpemberian infuse + 20 IU Oksitosin minimal 500 cc/jam hingga
mencapai tempat rujukan.

22
3.2 SARAN

1. Kepada Pasien (Ibu hamil)


Ibu hamil disarankan untuk berkonsultasi dengan dokter ahli kebidanan, terutama
ibu yang memiliki faktor-faktor predisposisi atau berisiko terjadinya atonia uteri
sebagai upaya penanganan sedini mungkin sehingga komplikasi lanjut yang
menyebabkan kematian dapat dicegah akibat perdarahan postpartum atonia uteri. Jika
seorang wanita memiliki salah satu dari kondisi-kondisi yang berisiko tersebut, maka
penting bagi penolong untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya atoni uteri
postpartum. Meskipun demikian, sekitar 20% atoni uteri postpartum dapat terjadi pada
ibu tanpa faktor resiko tersebut.

2. Kepada penolong ( dokter, bidan, dukun )


Mencegah terjadinya perdarahan post partum yakni manajemen aktif kala III
yaitu, suntikan oksitosin 10 IU/IM,1-2 menit setelah bayi lahir dan pengecekan TFU,
masase uterus, dan penegangan tali pusat terkendali.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Saifuddin, AB. Buku Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal.
Perdarahan Pascapersalinan. Edisi Pertama. Jakarta. Yayasan Bina Pustaka Sarwono.
2002.
2. Smith, JR. Postpartum Hemorraghe. Available at www.emedicine.com
3. Pelatihan Pelayanan Obstetri Emergensi Dasar. Atonia Uteri. Bagian Obstetri dan
Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasnuddin. Makassar.2003
4. Winkjosastro H, Saifuddin AB, Rachimhadhi T. Kontraspesi. In : Ilmu Kandungan.
Edisi Ketiga. Jakarta. Yyasan Bina Pustaka Sarwono. 2002.
5. Pernoll, ML. Uterine atony. In : Benson and Pernoll’s Obstetrics and Gynecology.
Tenth Edition. USA. McGraw-Hill.2001.
6. Reece, EA. Uterine Atony. In: Clinical Obstetrics The fetus and Mother. Third
edition.USA.Blackwell Publishing. 2007
7. Chan, PD. Postpartum Hemorrhage. In : Current Clinical Strategies Gynecology and
Obstetrics.USA. 2004.
8. Cunningham,FG. Obstetrical Hemorrhage. In : Williams Obstetrics. Twenty Second
edition. USA. McGraw-Hill
9. DeCherney, AH. Postpartum hemorrhage and abnormal puerperium. In : Current
Clinical Strategies Gynecology and Obstetrics.Tenth Edition. USA. 2007.
10. Gabbe, SG. Postpartum Hemorrhage. In: Obstetrics Normal and problem pregnancies.
Fifth Edition.Churchill Livingstone.2007
11. B-Lynch, C., Louis G. Keith MD, Andre B. Lalonde MD, etc., 2006, A Textbook Of
Postpartum Hemorrhage, A Comprehensive Guide to Evaluation, Management, and
Surgical Intervention, Sapiens Publishing : Duncow, UK.

24

Anda mungkin juga menyukai