Anda di halaman 1dari 21

BAB I

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Demam tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada
saluran pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih
disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan
kesadaran.
Menurut WHO, demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang
diakibatkan oleh bakteri Salmonella typhi. Menurut Depkes RI (2007) demam
tipoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi yang
ditularkan melalui makanan yang tercemar oleh tinja dan urine penderita.

B. Epidemiologi
Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi sistemik yang
menjadi masalah dunia. Tidak hanya di negara-negara tropis, namun di negara-
negara subtropis pun prevalensi demam tifoid cukup tinggi, terlebih di negara
berkembang. WHO mencatat pada sekitar 15-30 juta penduduk dunia
menderita demam tifoid setiap tahun, dengan angka kematian mencapai
600.000, dan 90% dari angka kematian tersebut terdapat di negara-negara Asia.
Di Indonesia, demam tifoid merupakan penyakit endemik dengan
angka kejadian masih tinggi dan merupakan salah satu ancaman internasional
di era globalisasi. Penyakit ini berkaitan dengan kesehatan lingkungan dan
sanitasi yang kurang memadai. Pada tahun 2008, angka kesakitan tifoid di
Indonesia dilaporkan sebesar 81,7 per 100.000 penduduk, dengan sebaran
menurut kelompok umur 0,0/100.000 penduduk (0–1 tahun), 148,7/100.000
penduduk (2–4 tahun), 180,3/100.000 (5-15 tahun), dan 51,2/100.000 (≥16
tahun). Angka ini menunjukkan bahwa penderita terbanyak adalah pada
kelompok usia 2-15 tahun.
Hasil telaah kasus di rumah sakit besar di Indonesia menunjukkan
adanya kecenderungan peningkatan jumlah kasus tifoid dari tahun ke tahun
dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dan kematian diperkirakan

1
sekitar 0,6–5%.4 Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2007, prevalensi demam tifoid di Indonesia mencapai 1,7%. Distribusi
prevalensi tertinggi adalah pada usia 5–14 tahun (1,9%), usia 1–4 tahun (1,6%),
usia 15–24 tahun (1,5%) dan usia <1 tahun (0,8%).

C. Etiologi
Salmonella merupakan genus dari famili Enterobacteriaceae.
Salmonella berbentuk batang, gram (-), anaerob fakultatif, tidak berkapsul dan
hampir selalu motil dengan menggunakan flagela peritrikosa, yang
menimbulkan dua atau lebih bentuk antigen H. S. typhi secara taksonomi
dikenal sebagai Salmonella enterica, subspesies enterica. Selain antigen H, ada
2 polisakarida antigen permukaan yang membantu mengkarakteristikan S.
enterica. Antigen yang pertama yaitu antigen O somatik dan antigen Vi
(virulen) kapsular yang berhubungan dengan resistensi terhadap lisis yang
dimediasi oleh komplemen dan resistensi terhadap aktivasi komplemen oleh
jalur yang lain atau melindungi antigen O terhadap fagositosis. Walaupun
patogen kuat, kuman ini tidak bersifat piogenik, namun bersifat menekan
pembentukan sel polimorfonuklear dan eosinofil. Etiologi lainnya yaitu
Salmonella paratyphi A, B, C. Jika penyebabnya adalah S. paratyphi, gejalanya
lebih ringan dibanding dengan yang disebabkan oleh S. typhi.
Bakteri ini berbentuk batang, Gram-negatif, tidak membentuk spora,
berkapsul dan mempunyai flagela. Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa
minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini
dapat mati dengan pemanasan (suhu 66oC) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi,
pendidihan dan klorinasi.

Gambar 1. Struktur antigenik Salmonellae

2
Gambar 2. Mikroskopik Bakteri Salmonella Typhi

Sumber infeksi S. typhi umumnya manusia, baik orang sakit maupun


orang sehat yang dapat menjadi pembawa kuman. Ada dua sumber penularan
S. Typhi, yaitu pasien dengan demam tifoid dan yang lebih sering carrier. Di
daerah endemik transmisi terjadi melalui air yang tercemar. Makanan tercemar
oleh carrier merupakan sumber penularan yang paling sering di daerah non
endemik. Carrier adalah orang yang sembuh dari demam tifoid dan masih terus
mengekskresi S.typhi dalam tinja dan air kemih selama lebih dari satu tahun.
Karier menahun umumnya berusia > 50 tahun, lebih sering pada perempuan,
dan sering menderita batu empedu. S. typhi sering berdiam di batu empedu,
bahkan di bagian dalam batu, dan secara intermiten mencapai lumen usus dan
diekskresikan ke feses, sehingga mengkontaminasi air atau makanan.
Disfungsi kandung empedu merupakan predisposisi untuk terjadinya carrier.
Kuman-kuman S.typhi berada di dalam kandung empedu atau dalam dinding
kandung empedu yang mengandung jaringan ikat, akibat radang menahun.
Infeksi umumnya disebarkan melalui jalur fekal-oral dan berhubungan
dengan higienis dan sanitasi yang buruk yaitu melalui makanan yang
terkontaminasi kuman yang berasal dari tinja, kemih atau pus yang positif.
Kontaminasi pada susu sangat berbahaya karena bakteri dapat berkembang
biak dalam media ini. Penyebaran umumnya terjadi melalui air atau kontak
langsung. Oleh karena itu pencegahan harus diusahakan melalui perbaikan
sanitasi lingkungan, kebiasaan makanan, proyek MCK (Mandi, Cuci, Kakus),
dan pendidikan kesehatan di puskesmas dan posyandu.

3
D. Patofisiologi
Demam tifoid disebabkan oleh masuknya kuman Salmonella typhi (S.
typhi) dan Salmonella paratyphi (S. paratyphi) kedalam tubuh manusia, melalui
makanan dan minuman yang terkontaminasi kuman tersebut. Sebagian kuman
dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk kedalam usus dan
selanjutnya berkembang biak. Usus yang terserang umumnya ileum terminal /
distal, tetapi terkadang bagian lain usus halus dan kolon proksimal juga dapat
terinfeksi (Minggu 1).
Bila respon imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka
kuman akan menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propria. Di
lamina propria kuman akan berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit
terutama oleh sel makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam
makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque peyeri di ileum distal dan
kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika, selanjutnya melalui duktus
toraksikus kuman yang terdapat didalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi
darah (bakteremia asimptomatik) dan menyebar keseluruh organ
retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak diluar sel atau
ruang sinosoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah lagi
mengakibatkan bakteremia kedua kalinya. Pada masa ini, terjadilah gejala-
gejala infeksi sistemik.
Di dalam hati, kuman berkembang dan selanjutnya masuk kedalam
empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara
intermitten kedalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses
dan sebagian masuk lagi kedalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses
yang sama terulang kembali, dan karena makrofag telah teraktivasi dan
hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella melepaskan endotoksin
yang meningkatkan siklik adenosin monofosfat dan air kedalam lumen
intestinal, Endotoksin Salmonella sangat berperan pada patogenesis demam
tifoid, karena menbantu terjadinya proses inflamasi sistemik seperti demam,
malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, ganguan mental
dan gangguan koagulasi.

4
Didalam plaque peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasia jaringan (S. Typhi intra makrofag menginduksi reaksi
hipersensitifitas tipe lambat, hiperplasia jaringan, dan nekrosis organ) yang
terjadi pada minggu pertama infeksi. Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque peyeri yang sedang mangalami
nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel manonuklear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini akan berkembang hingga ke lapisan otot,
serosa, dan akhirnya dapat mengakibatkan perforasi. Hati membesar karena
infiltrasi sel-sel limfosit dan sel mononuklear lainnya serta nekrosis fokal.
Demikian juga proses ini terjadi pada jaringan retikuloenditelial lain seperti
limpa dan kelenjar mesentrika. Kelainan- kelainan patologis yang sama juga
dapat ditemukan pada organ tubuh lain seperti tulang, usus, ginjal, jantung,
empedu mengalir ke dalam usus, sehingga menjadi karier intestinal.
Demikian juga ginjal dapat mengandung basil dalam waktu lama
sehingga juga menjadi karier (urinary carier). Adapun tempat-tempat yang
menyimpan basil ini, memungkinkan penderita mengalami kekambuhan
(relaps).

5
Patomekanisme munculnya gejala klinis pada demam tifoid :

1. Demam, disebabkan karena peningkatan set point pada pusat


thermoregulator di hipotalamus. Endotoksin dapat secara langsung
mempengaruhi termoregulasi di hipotalamus, dan juga dapat merangsang
pelepasan pirogen endogen, yang pada akhirnya juga mempengaruhi
termoregulasi di hipotalamus.
2. Mialgia, sakit kepala dan nyeri abdominal. Merupakan respon dari
termoregulator, dimana terjadi pengaktifan saraf simpatis sehingga terjadi
vasokonstriksi dan pengalihan aliran darah dari tempat-tempat seperti otot
lurik, saluran cerna, kulit dan lainnya menjadi kurang begitu penting.
3. Hepatomegali dan splenomegali. Karena pada tempat ini terjadi proliferasi
salmonella, juga terjadi infiltrasi limfosit, sel plasma dan sel mononuklear.
4. Bradikardia relatif, terjadi karena pengaruh endotoksin terhadap kerja
miokardium.
Faktor-faktor yang menentukan virulensi salmonella : antigen permukaan
kapsuler Vi yang menyebabkan C3 tidak dapat terikat pada permukaan bakteri
sehingga fagositosis terganggu. Endotoksin, suatu komponen lipopolisakarida
dari dinding bakteri, menyebabkan prolonged fever dan gejala-gejala toksik
dari demam tifoid, walaupun ada pendapat yang menyatakan bahwa gejala-
gejala ini disebabkan oleh sitokin yang dihasilkan leukosit terhadap rangsangan
endotoksin.

6
Kelainan patologik terutama terjadi di usus halus, terutama di ileum
bagian distal. Pada minggu pertama penyakit terjadi hiperplasia plaque peyeri,
disusul minggu kedua terjadi nekrosis, dan dalam minggu ketiga terjadi ulserasi
plaque peyeri dan selanjutnya dalam minggu keempat terjadi penyembuhan
ulkus dengan meninggalkan sikatriks. Ulkus dapat menyebabkan perdarahan
bahkan sampai perforasi usus.

Hepar membesar dengan infiltrasi limfosit, sel plasma dan sel


mononuklear, serta nekrosis fokal. RES menunjukkan hiperplasia dan kelenjar-
kelenjar mesentrial dan limpa membesar.

Jaringan retikuloendotelial lain juga mengalami perubahan. Kelenjar


limfe mesenterial penuh fagosit sehingga kelenjar membesar dan melunak.
Limpa biasanya juga membesar dan melunak. Hati menunjukkan proliferasi sel
polimorfonuklear dan mengalami nekrosis fokal. Jaringan sistem lain hampir
selalu terlibat. Kandung empedu selalu terinfeksi dan bakteri hidup dalam
empedu. Sesudah sembuh, empedu penderita dapat tetap mengandung bakteri
dan penderita menjadi pembawa kuman.

Sel ginjal mengalami pembengkakan keruh yang mengandung koloni


bakteri. Itu sebabnya pada minggu pertama ditemukan kumannya dalam air
kemih. Bila sembuh, penderita menjadi pembawa kuman yang menularkan
lewat kemihnya. Parotitis dan orkitis kadang ditemukan, sedangkan bronkititis
hampir selalu ada dan kadang terjadi pneumonia. Selain disebabkan oleh basil

7
tifus, pneumonia pada typhoid abdominalis lebih sering terjadi sekunder oleh
infeksi pneumokokus.

Otot jantung membengkak dan menjadi lunak serta memberikan


gambaran miokarditis. Biasanya tekanan darah turun dengan nadi lambat
(bradikardia relatif) akibat miokarditis tersebut. Vena sering mengalami
trombosis terutama v. femoralis, v. safena dan sinus di otak. Otot lurik dapat
mengalami degenerasi Zenker berupa hilangnya striae transversales disertai
pembengkakan otot. Otot yang sering terserang adalah otot diafragma,
m.rektus abdomis dan otot paha. Hal ini yang mendasari kelemahan otot pada
penderita. Toksin di otot dapat juga menyebabkan ruptura spontan disertai
perdarahan lokal. Infeksi sekunder kemudian menyebabkan abses di otot
bersangkutan.

Tulang dapat menunjukkan lesi supuratif berupa abses. Osteomielitis


itu dapat berlangsung sampai bertahun-tahun. Yang paling sering terkena
adalah tibia, sternum, iga dan ruas tulang belakang. Pada demam tifoid sering
didapat gambaran piogenik disertai adanya basil tifus yang dapat hidup di
darah. Infeksi di sumsum tulang ditunjukkan dengan gambaran leukopenia
disertai hilangnya sel polimorfonuklear dan eosinofil dan bertambahnya sel
mononuklear.4

E. Manifestasi Klinis
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa inkubasi
terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari.
1. Minggu pertama
Keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya, seperti
demam dengan pola intermitten dan kenaikan suhu step-ladder, nyeri kepala,
anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya
didapatkan suhu badan yang meningkat
2. Minggu kedua
Minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam
continue, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung, mungkin
dapat disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat

8
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Rutin
Pemeriksaan apus darah tepi penderita memperlihatkan anemia
normokromik, leukopenia dengan hilangnya sel eosinofil dan penurunan jumlah
sel polimorfonuklear. Pada sebagian besar pasien, jumlah sel darah putih
normal, walaupun jumlah tersebut rendah jika dikaitkan dengan tingkat demam.
Leukopenia (<2000 sel per mikroliter) dapat terjadi tetapi jarang sekali. Pada
kejadian perforasi usus atau penyulit piogenik, leukositosis sekunder dapat
terjadi. Albuminuria terjadi pada fase demam. Uji benzidin pada tinja biasanya
positif pada minggu ketiga dan keempat. Kultur Salmonella typhi dari darah
pada minggu pertama positif pada 90% penderita, sedangkan pada akhir minggu
ketiga positif pada 50% penderita. Terkadang pembiakan tetap positif sehingga
ia menjadi pembawa kuman. Pembawa kuman lebih banyak pada orang dewasa
daripada anak dan pria lebih banyak daripada wanita.
Pada akhir minggu kedua dan ketiga pembiakan darah menjadi positif
untuk basil usus. Ini menunjukkan adanya ulserasi di ileum. Jika terjadi
perforasi yang diikuti peritonitis terdapat toksemia basil aerob (E. coli) dan basil
anaerob (B. fragilis). Titer aglutinin O dan H (reaksi Widal) biasanya sejajar
dengan grafik demam dan memuncak pada minggu ketiga. Interpretasinya
kadang sulit karena ada imunitas silang dengan kuman salmonela lain atau

9
karena titer yang tetap meninggi setelah diimunisasi. Antibodi H dapat
ditemukan bahkan pada titer yang lebih tinggi, tetapi karena reaksi silangnya
yang luas maka sulit untuk ditafsirkan. Peninggian antibodi empat kali lipat
pada sediaan berpasangan adalah kriteria yang baik tetapi sedikit kegunaannya
pada pasien yang sakit akut dan dapat menjadi tidak bermanfaat akibat
pengobatan antimikroba yang dini. Semakin dini sediaan awal diambil, maka
semakin mungkin ditemukan peningkatan yang nyata. Antibodi Vi secara khas
meningkat kemudian, setelah 3 sampai 4 minggu sakit, dan kurang berguna
pada diagnosis dini infeksi.
1. Leukosit
Pemeriksaan jumlah leukosit tidak berguna untuk demam tifoid karena
kebanyakan pada demam tifoid ditemukan jumlah leukosit dalam batas-
batas normal. Pada demam tifoid tidak ditemukan adanya leukopenia, tetapi
kadang-kadang dapat ditemukan leukositosis.
2. SGOT dan SGPT.
SGOT dan SGPT dapat meningkat, tetapi dapat kembali normal setelah
demam tifoid sembuh, sehingga tidak memerlukan pengobatan.

2. Kultur Darah
Hasil biakan darah positif memastikan demam tifoid, akan tetapi hasil negatif
tidak menyingkirkan demam tifoid, karena mungkin disebabkan beberapa hal
sepert berikut:
1) Telah mendapat terapi antibiotik. Bila pasien sebelum dilakukan kultur
darah telah mendapat antibiotik, pertumbuhan kuman dalam media biakan
terhambat dan hasil mungkin negatif.
2) Volume darah yang kurang (diperlukan kurang lebih 5cc darah). Bila darah
yang dibiakan terlalu sedikit, hasil akan negatif. Darah yang diambil
sebaiknya secara beside langsung dimasukkan ke dalam media cairan
empedu untuk pertumbuhan kuman.
3) Riwayat vaksinasi. Vaksinasi di masa lampau menimbulkan antibodi dalam
darah pasien. Antibodi (aglutinin) ini dapat menekan bakteremia hingga
biakan darah dapat negatif

10
4) Waktu pengambilan darah setelah minggu pertama, pada saat aglutinin
semakin meningkat.
5) Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan
pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah
positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan
positif 10-50% pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun
pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat
sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang
dipakai. Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-
15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine
positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode
baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif
didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan
penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama
bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau
dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif
sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu
dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum
dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara
luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu penelitian
pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan
duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang.
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan
media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang
sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan
waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai
sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang
dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi
bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode
diagnosis baku dalam pelayanan penderita.1

11
3. Pemeriksaan Serologi
a. Uji Widal.
Uji Widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antibodi (aglutinin)
dan antigen yang bertujuan untuk menentukan adanya antibodi, yaitu
aglutinin dalam serum pasien yang disangka menderita demam tifoid.
Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi Salmonella yang
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Akibat infeksi oleh Salmonella
typhi, maka di dalam tubuh pasien membuat antibodi (aglutinin), yaitu :
1) Aglutinin O
Aglutinin O adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen
O yang berasal dari tubuh kuman.
2) Aglutinin H
Aglutinin H adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen
H yang berasal dari flagela kuman.
3) Aglutinin Vi
Aglutinin Vi adalah antibodi yang dibuat karena rangsangan dari antigen
Vi yang berasal dari simpai kuman.
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
ditentukan titernya untuk diagnosis. Makin tinggi titernya, makin besar
kemungkinan pasien menderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer
Uji Widal akan meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang
paling sedikit 5 hari. Pembentukan aglutinin terjadi pada akhir minggu
pertama demam, kemudian meningkat secara cepat dan mencapai puncak
pada minggu keempat, dan tetap tinggi selama beberapa minggu. Pada fase
akut mula-mula timbul aglutinin O, kemudian diikuti oleh aglutinin H, pada
orang yang sembuh aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan,
sedangkan agglutinin H menetap lebih lama antara 9-12 bulan. Oleh karena
itu uji widal bukan untuk menetukan kesembuhan penyakit.

Interprestasi Uji Widal, yaitu :

a) Makin tinggi titernya, maka makin besar kemungkinan pasien menderita


demam tifoid.

12
b) Tidak ada konsensus mengenai tingginya titer Uji Widal yang
mempunyai nilai diagnostik pasti untuk demam tifoid.
c) Uji Widal positif atau negatif dengan titer rendah tidak menyingkirkan
diagnosis demam tifoid.
d) Uji Widal positif dapat disebabkan oleh septikemia karena Salmonella
lain.
e) Uji Widal bukan pemeriksaan laboratorium untuk menentukan
kesembuhan pasien, karena pada seseorang yang telah sembuh dari
demam tifoid, aglutinin akan tetap berada dalam darah untuk waktu yang
lama.
f) Uji Widal tidak dapat menentukan spesies Salmonella sebagai penyebab
demam tifoid, karena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung
antigen O dan H yang sama, sehingga dapat menimbulkan reaksi
aglutinasi yang sama.
b. Tubex TF (IgM antigen O9 Salmonella typhi)
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif
yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan
partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas
ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat untuk
diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi antibodi IgM dan tidak
mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
Tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas lebih baik daripada
Uji Widal. Dari penelitian mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan
spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan
spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan ideal, dapat
digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan
sederhana, terutama di negara berkembang.

G. Diagnosis Banding
Pada tahap diagnosis klinis ini, menurut Konas PETRI 2010 beberapa penyakit
dapat menjadi diagnosis banding demam tifoid, diantaranya :
1. Abses dalam

13
2. Sepsis Gram negatif
3. Leptospirosis
4. Tuberculosis
5. Malaria
6. Demam Dengue/DBD
7. Influenza
8. Meningoensephalitis
9. Endokarditis

H. Penatalaksanaan
1. Non-medikamentosa
a. Tirah baring
Pasien harus tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas
demam atau kurang lebih selama 14 hari. Maksud tirah baring adalah untuk
mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi usus.
Mobilisasi pasien dilakukan secara bertahap, sesuai dengan pulihnya
kekuatan pasien. Bila klinis berat penderita harus istirahat total. Bila terjadi
penurunan kesadaran maka posisi tidur pasien harus diubah-ubah pada
waktu tertentu untuk mencegah komplikasi pneumonia hipostatik dan
dekubitus. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan, karena kadang-
kadang terjadi obstipasi dan retensi air kemih. Hindari pemasangan kateter
urine tetap, bila tidak ada indikasi.
b. Nutrisi
1) Cairan
Penderita harus mendapatkan cairan yang cukup, baik secara oral
maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit
berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan.
Dosis airan parenteral adalah sesuai dengan kebutuhan harian (tetesan
rumatan). Bila ada komplikasi, dosis cairan disesuaikan dengan
kebutuhan. Cairan harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.

14
2) Diet
Pasien demam tifoid diberi bubur saring, kemudian bubur kasar,
dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian
bubur saring tersebut dimaksudkan untuk menghindari komplikasi
perdarahan usus atau perforasi usus; karena ada pendapat, bahwa usus
perlu diistirahatkan. Banyak pasien tidak menyukai bubur saring, karena
tidak sesuai dengan selera mereka. Karena mereka hanya makan sedikit,
keadaan umum dan gizi pasien semakin mundur dan masa penyembuhan
menjadi lama. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian
makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk-pauk rendah selulosa
(pantang sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman pada
pasien demam tifoid. Karena ada juga pasien demam tifoid yang takut
makan nasi, maka selain macam/bentuk makanan yang diinginkan,
terserah pada pasien sendiri apakah mau makan bubur saring, bubur
kasar, atau nasi dengan lauk-pauk rendah selulosa.
Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya
rendah selulose (rendah serat) untuk mencegah komplikasi, perdarahan
dan perforasi. Diet cair, bubur lunak (tim) dan nasi biasa bila keadaan
penderita baik. Tapi bila penderita dengan klinis berat sebaiknya dimulai
dengan bubur atau diet cair selanjutnya dirubah secara bertahap sampai
padat sesuai dengan tingkat kesembuhan penderita. Penderita dengan
kesadaran menurun diberi diet secara enteral melalui pipa lambung. Diet
parenteral di pertimbangkan bila ada tanda-tanda komplikasi perdarahan
dan atau perforasi.

15
2. Medikamentosa
Antibiotik

Tabel 1. Pilihan Antibiotika menurut Konas PETRI 2010

Tabel 2. Pilihan Antibiotika pada Kondisi Khusus menurut Konas PETRI 2010

16
Tabel 3. Pemilihan Antimikrobal pada Demam Tifoid Menurut WHO 2011

I. Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :
1. Komplikasi Intestinal
a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja dengan
benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat disertai nyeri
perut dengan tanda – tanda renjatan.
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi pada
bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis hanya dapat
ditemukan bila terdapat udara dirongga peritoneum yaitu pekak hati
menghilang dan terdapat udara diantara hati dan diafragma pada foto
rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan tegak.
c) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi usus.
Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding abdomen
tegang, dan nyeri tekan.

2. Komplikasi ekstra-intestinal
a) Bronkitis dan bronkopneumonia

17
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan
disebabkan oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi sekunder
dan dapat timbul pada awal sakit atau fase akut lanjut. Komplikasi lain
yang terjadi adalah abses paru, efusi, dan empiema.
b) Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhir minggu kedua
dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi kolesistitis
maka penderita cenderung untuk menjadi seorang karier.
c) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa
kesadaran menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi,
pemeriksaan otak dalam batas normal. Bila disertai kejang – kejang maka
biasanya prognosisnya jelek dan bila sembuh sering diikuti oleh gejala
sesuai dengan lokasi yang terkena.
d) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering didapatkan
pada neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan gejala klinis tidak
jelas sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata peyebabnya adalah
Salmonella havana dan Salmonella oranemburg.
e) Miokarditis
Insidensnya terutama pada umur 7 tahun keatas serta sering terjadi pada
minggu kedua dan ketiga. Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain :
sinus takikardi, depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok
tingkat I, aritmia, supraventrikular takikardi.
f) Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi
melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis maupun
pilonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid. Proteinuria
transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat
bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sidrom nefrotik mempunyai
prognosis yang buruk.

18
g) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala penyakit
demam tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella typhi di sekretnya.
Karier temporer- ekskresi S.typhi pada feces selama tiga bulan. Hal ini
tampak pada 10% pasien konvalesen. Relapse terjadi pada 5-10% pasien
biasanya 2-3 minggu setelah demam mengalami resolusi dan pada isolasi
organisme memiliki bentuk sensivitas yang sama seperti semula. Faktor
predisposisi menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan, pada
kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis. Pasien dengan traktus
urinarius yang abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin
memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama.1,2

J. Pencegahan
1. Cuci tangan
Cuci tangan dengan teratur meruapakan cara terbaik untuk mengendalikan
demam tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan anda dengan air
(diutamakan air mengalir) dan sabun terutama sebelum makan atau
mempersiapkan makanan atau setelah menggunakan toilet. Bawalah
pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak tersedia air.
2. Hindari minum air yang tidak dimasak
Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah endemik
tifoid. Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka seluruh bagian
luar botol atau kaleng sebelum anda membukanya. Minum tanpa
menambahkan es di dalamnya. Gunakan air minum kemasan untuk
menyikat gigi dan usahakan tidak menelan air di pancuran kamar mandi.
3. Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah
Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak
daripada yang telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut. Untuk menghindari makanan mentah
yang tercemar, cucilah buah dan sayuran tersebut dengan air yang mengalir.
Perhatikan apakah buah dan sayuran tersebut masih segar atau tidak. Buah
dan sayuran mentah yang tidak segar sebaiknya tidak disajikan. Apabila

19
tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci, pilihlah buah yang dapat
dikupas.
4. Pilih makanan yang masih panas
Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu ruang.
Yang terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan sampai suhu
57°C beberapa menit dan secara merata dapat membunuh kuman
Salmonella typhi. Walaupun tidak ada jaminan makanan yang disajikan di
restoran itu aman, hindari membeli makanan dari penjual di jalanan yang
lebih mungkin terkontaminasi.
5. Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi
Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan
mencegah dan mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang aman,
perbaikan sanitasi, dan perawatan medis yang cukup, mungkin sulit untuk
dicapai. Untuk alasan itu, beberapa ahli percaya bahwa vaksinasi terhadap
populasi berisiko tinggi merupakan cara terbaik untuk mengendalikan
demam tifoid.
 Vaksin polisakarida (ViCPS)
Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella.
Mempunyai daya proteksi 60-70 % pada orang dewasa dan anak di atas 5
tahun selama 3 tahun. Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL yang
berisi 25 mikrogram antigen Vi dalam buffer fenol isotonik. Vaksin
diberikan secara intramuskular dan diperlukan pengulangan (booster) setiap
3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan pada keadaan hipersensitif, hamil,
menyusui, sedang demam, dan anak kecil 2 tahun.

K. Prognosis
Gejala biasanya membaik dalam waktu 2 sampai 4 minggu pengobatan.
Hasilnya akan baik dengan pengobatan lebih awal, tetapi akan menjadi lebih buruk
apabila timbulnya komplikasi. Gejala dapat kembali jika pengobatan ini tidak
sepenuhnya sembuh dari infeksi.

20
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 3rd ed. Jakarta: Interna
Publishing; 2009; 1774-8.
2. Kapita Selekta Kedokteran. 4th ed. Jakarta: Media Aesculapius; 2014; 828-32.
3. Kamus Saku Kedokteran Dorland. 28th ed. Jakarta: EGC; 2011; 1126.
4. World Health Organization. Typhoid vaccines: WHO position paper – March
2018. Wkly Epidemiol Rec. Wkly Epidemol Rec. 2018;93(13):153-72.
(http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/272272/WER9313.pdf
?ua=1)
5. Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, et al. current trends in the management of
typhoid fever. Med. J. ArMed. Forces India. 2003;59(2):130–135. [PMC free
article] [PubMed] [Google Scholar]

6. Bhutta ZA. Current concepts in the diagnosis and treatment of typhoid


fever. BMJ. 2006;333(7558):78–82. [PMC free article] [PubMed] [Google

Scholar].

21

Anda mungkin juga menyukai