Artikel NAPZA
Artikel NAPZA
Penyalahgunaan NAPZA adalah suatu pola perilaku di mana seseorang menggunakan obat-
obatan golongan narkotika, psikotoprika, dan zat aditif yang tidak sesuai fungsinya.
Penyalahgunaan NAPZA umumnya terjadi karena adanya rasa ingin tahu yang tinggi, yang
kemudian menjadi kebiasaan. Selain itu, penyalahgunaan NAPZA pada diri seseorang juga
bisa dipicu oleh masalah dalam hidupnya atau berteman dengan pecandu NAPZA.
Opioid, seperti morfin dan heroin yang sebenarnya adalah obat penahan rasa sakit,
namun digunakan untuk menciptakan rasa kesenangan.
Penanganan penyalahgunaan NAPZA, terutama yang sudah mencapai fase kecanduan, akan
lebih baik dilakukan segera. Dengan mengajukan rehabilitasi atas kemauan dan kehendak
sendiri, pasien yang telah mengalami kecanduan NAPZA tidak akan terjerat tindak pidana.
Selain rasa ingin tahu yang tinggi dan menderita gangguan mental, terdapat pula beberapa
faktor lain yang dapat meningkatkan risiko seseorang melakukan penyalahgunaan NAPZA,
antara lain:
Ketika penyalahgunaan NAPZA tidak dihentikan dan terjadi terus-menerus, hal itu dapat
menyebabkan kecanduan. Pada fase ini, gejala yang dirasakan dapat berupa:
Seiringnya berjalannya waktu, dosis yang digunakan akan dirasa kurang dan
muncul keinginan untuk meningkatkannya.
Melakukan apa pun untuk mendapatkan atau membeli NAPZA, bahkan hingga
menjual barang pribadi.
Banyak waktu tersita untuk membeli, menggunakan, hingga memulihkan diri dari
efek NAPZA.
Ketika penderita telah mencapai fase kecanduan dan mencoba untuk menghentikan
penggunaan, dia akan mengalami gejala putus obat atau sakau. Gejala putus obat itu sendiri
dapat berbeda-beda pada tiap orang, tergantung keparahaan dan jenis NAPZA yang
digunakan. Apabila NAPZA yang digunakan adalah heroin dan morfin (opioid), maka
gejalanya dapat berupa:
Hidung tersumbat.
Gelisah.
Keringat berlebih.
Sulit tidur.
Sering menguap.
Nyeri otot.
Setelah satu hari atau lebih, gejala putus obat dapat memburuk. Beberapa gejala yang dapat
dialami adalah:
Diare.
Kram perut.
Sering merinding.
Jantung berdebar.
Penglihatan kabur/buram.
Sedangkan apabila NAPZA yang disalahgunakan adalah kokain, maka gejala putus obat
yang dirasakan dapat berbeda. Beberapa di antaranya adalah:
Depresi.
Gelisah.
Fase kecanduan terhadap penyalahgunaan NAPZA yang terus dibiarkan, bahkan dosisnya
yang terus meningkat, berpotensi menyebabkan kematian akibat
overdosis. Overdosis ditandai dengan munculnya gejala berupa:
Kesulitan bernapas.
Mengantuk.
Nyeri dada.
Penurunan kesadaran.
Diagnosis penyalahgunaan NAPZA, terutama jika sudah mencapai fase kecanduan akan
melibatkan psikiater. Kriteria yang ada pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorder (DSM-5) digunakan psikiater sebagai salah satu dasar diagnosis.
Diagnosis juga dapat menggunakan serangkaian tes, seperti tes urine atau darah. Selain
untuk mendeteksi zat yang terkandung di tubuh, tes-tes tersebut juga digunakan untuk
memeriksa kondisi kesehatan pasien secara menyeluruh.
Tata Laksana
Melepaskan diri dari kecanduan NAPZA bukanlah perkara mudah. Pasien harus
memantapkan niat dan memperkuat usaha dalam memperoleh hasil yang diinginkan.
Terbuka dengan keluarga dan kerabat sangat dianjurkan guna mempermudah proses
penanganan yang akan dilakukan.
Penanganan kecanduan akibat penyalahgunaan NAPZA pada dasarnya dapat berbeda pada
tiap orang, tergantung kondisi dan NAPZA yang disalahgunakan. Perilaku ini harus segera
mendapatkan penanganan. Jika tidak, dapat membahayakan kesehatan bahkan berpotensi
menyebabkan kematian.
Rehabilitasi merupakan upaya yang dilakukan untuk menangani kecanduan NAPZA. Pasien
dapat mengajukan rehabilitasi pada Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) yang tersebar
di banyak daerah, terdiri dari rumah sakit, puskesmas, hingga lembaga khusus rehabilitasi.
Dengan mengajukan rehabilitasi atas kemauan dan kehendak sendiri, sesuai dengan pasal
55 ayat (2) UU No. 35 tahun 2009 tentang narkotika, pasien tidak akan terjerat tindak
pidana.
Terapi perilaku kognitif. Pada tahap ini, pasien akan dibantu psikolog atau
pskiater berpengalaman. Terapis terlebih dahulu akan melakukan pemeriksaan
kondisi guna menentukan tipe terapi yang sesuai. Beberapa tujuan
dilakukannya terapi perilaku kognitif, antara lain adalah untuk mencari cara
mengatasi keinginan menggunakan obat disaat kambuh, dan membuat strategi
untuk menghindari dan mencegah kambuhnya keinginan menggunakan obat.
Bina lanjut. Tahap ini memungkinkan pasien ikut serta dalam kegiatan yang sesuai
dengan minat. Pasien bahkan dapat kembali ke sekolah atau tempat kerja, namun
tetap dalam pengawasan terapis.
Dukungan dari keluarga dan kerabat sangatlah berpengaruh. Pasien dianjurkan untuk
bersikap terbuka kepada mereka, dan jangan ragu untuk menyampaikan apa yang ingin
dikeluhkan. Hal tersebut dapat membantu pasien dalam mempercepat proses pemulihan.