Anda di halaman 1dari 8

LO & WO WEEK 4

RHINOSINUSITIS

1. Anatomi dan sinus hidung


a. Anatomi
b. Sinus Paranasal
- Berasal dari unvaginasi mukosa rongga hidung dan dibentuk dari
usia fetus 3-4 bulan
- Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat lahir
- Sinus etmoid anterior berkembang dari sinus frontal pada anak <
8 th
- Pneumatisasi dari sinus sphenoid pada usia 8-10 th dan berasal
dari posterior rongga hidung
- Sinus akan mencapai ukuran maksimal pada usia 15-18 th

1) Sinus Maksila
- Sinus terbesar, saat lahir volume 8-6 ml, mencapai ukuran maksimal 15ml saat dewasa
- Berbentuk pyramid
 dinding anterior sinus  permukaan fasial os maksila, disebut fossa kanina
 dinding posterior  permukaan infra-temporal maksila
 dinding medial  dinding lateral rongga hidung
 dinding superior  pros. alveolaris dan palatum
- Gambaran klinis
a. Dasar sinus maksila berdekatan dengan gigi rahang atas, premolar (P1,2), molar (M1,2), gigi taring, M3, dan akar-
akar gigi dapat menonjol ke dalam sinus  infeksi gigi geligi  sinusitis
b. Sinusitis maksila  komplikasi orbita
c. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase tergantung dari gerakan silia dan harus
melewati infundibulum (bagian dari etmoid anterior) sempit. Kalau ada pembengkakan karena inflamasi atau alergi
 menghalangi drainase sinus maksila  sinusitis
2) Sinus Frontal
- Berasal dari sel resesus frontal atau sel infundibulume etmoid
- Mulai muncul sejak 4 bulan fetus, berkembang pada usia 8-10 th, dan maksimal sebelum usia 20 th
- Ukuran : T 2,8 cm, L 2,4 cm, D 2 cm. bersekat-sekat, tepi berlekuk-lekuk
- Gambaran radiologi apabila menunjukkan tidak ada septum & lekuk pada dinding  infeksi
- Drainase melalui ostium frontal di resesus frontal yg berhubungan dg infundibulum etmoid
3) Sinus Etmoid
- Paling bervariasi dan penting, karena fokus infeksi bagi sinus lainnya
- Bentuk pyramid dengan dasar dibagian posterior. ukuran P 4-5cm, T 2,4 cm, L 0,5 cm anterior 1,5 cm posterior
- Terbagi atas 2 :
 Sinus etmoid anterior : muara di meatus medius, sel kecil dan banyak, letaknya di lempeng yg menghubungkan konka
media posterior dan dinding lateral.
 Bagian sempit disebut resesus frontal yg berhubungan dg sinus frontal
 sel etmoid terbesar disebut bula etmoid
 ada infundibulum, muaranya sinus maksila
 Sinus etmoid posterior : muara di meatus superior, sel besar dan lebih sedikit, letaknya di lamina basalis posterior
- Atap etmoid : fovea etmoidalis berbatasan dg lamina kribrosa
- Dinding lateral sinus : lamina papiresia yg sangat tipis dan membatasi sinus dr rongga orbita
- Belakang sinus posterior berbatasan dg sinus sfenoid
4) Sinus Sfenoid
- Terletak dalam os. Sphenoid, belakang etmoid posterior
- T 2cm, D 2,3cm, L 1,7cm. Vol 5-7,5 cm
- Superior : fossa serebri media dan kelenjar hipofisa
- Inferior : atap nasofaring
- Lateral : berbatasan dg sinus kavernosus dan a.karotis interna
- Posterior : fossa serebri posterior di daerah pons
2. Mekanisme terjadinya hdiung mampet atau tersumbat
Terjadi karena aliran udara terhambat, bisa disebabkan oleh rongga hidung menyempit akibat :
- Proses inflamasi vasodilatasi
- Sekresi mukus berlebih
- Kelainan struktur anatomi yg mempersempit infeksi
- Infeksi
PATOFISIOLOGI :
Alergen diinhalasi & partikel alergen tertumpuk di mukosa hidungyang kemudian berdifusi pada jaringan hidung

Sel Antigen Presenting Cell akan menangkap alergen yangmenempel tersebut

Antigen akan bergabung dengan HLA kelas II membentuk suatukompleks molekul MHC

Kompleks molekul ini akan dipresentasikan terhadap sel T helper (Th 0)

Th 0 akan diaktifkan oleh sitokin yang dilepaskan oleh APC menjadi Th 1 dan Th 2

Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4, IL5, IL9, IL10, IL 13 dan lainnya IL4 dan IL3 dapat diikat reseptornya di
permukaan sel limfosit B, sehingga sel B menjadi aktif dan memproduksi IgE

IgE yang bersikulasi dalam darah ini akan terikat dengan sel mastdan basofil ( sel mediator)

Adanya IgE yang terikat ini menyebabkan teraktifasinya kedua seltersebut
Respon reaksi terbagi atas 2 fase :
1) Fase cepat 2) Fase lambat
Terjadi dalam beberapa menit, dapat berlangsung sejak Terjadi setelah 4-8 jam setelah fase cepat. Reaksi disebabkanoleh mediator
kontakdengan alergen sampai 1 jam yang dihasilkan oleh fase cepat bereaksiterhadap sel endotel postkapiler yang
setelahnya.Mediator yang berperan: histamin, tiptase, menghasilkan suatu Vaskular Cell Adhesion Molecule (VCAM)
leukotrien, prostaglandin(PGD2) dan bradikinin

Mediator-mediator menyebabkan keluarnya plasma dan VCAM menyebabkan sel leukosit spt eosinofil menempel padasel endotel
pembuluhdarah & dilatasi dari anastomosis arterio ↓
venula hidung Faktor kemotaktik spt IL5 menyebabkan infiltrasi sel-seleosinofil, sel mast,
↓ limfosit, basofil, neutrofil dan makrofag ke dalam mukosa hidung
Edema , berkumpulnya darah pada kavernosus sinusoid ↓
dengangejala klinis berupa hidung tersumbat dan oklusi Sel-sel ini kemudian menjadi teraktivasi dan menghasilkanmediator lain spt
dari saluran hidung Eosinophilic Cationic Protein (ECP), eosinophilic deprived protein (EDP), major
↓ basic protein
Rangsangan terhadap kelenjar mukosa dan sel ↓
gobletmenyebabkan hipersekresi dan permebilitas Gejala hiperraktifitas dan hiperresponsif hidung
kapiler meningkat sehingga terjadi rinore ↓
Gejala klinis yang ditimbulkan pada fase ini lebih didominasi oleh sumbatan
hidung

3. Defense mechanism dari hidung


Pertahanan mekanik Pertahanan fagositik
 Filtrasi dan impaksi mengeluarkan partikel  Alveolar macrophages
 Bersin, batuk dan bronchospasm  Fagositosis partikel, organisme dan debris
 Epitel barrier dan mucus limit particle penetration  Aktivitas microbicidan dan tumoricidal
 Mucociliary escalator transport  Degradasi partikel organik
Pertahanan imun spesifik
 Imunitas humoral
 Cell-mediated immunity

1. Air-conditioning  Udara yang masuk ke saluran respirasi memiliki suhu dan kelembaban yang beragam. Mukosa
hidung, nasal turbinates, oropharynx dan nasopharynx memiliki suplai darah yang banyak. Ketika melewati daerah ini
maka udara akan dihangatkan sesuai suhu tubuh dan dilembabkan.
2. Olfaction  Reseptor bau terletak di posterior nasal cavity. Orang dapat membaui sebagai usaha untuk mendeteksi
gas yang berbahaya sehingga tidak dibawa ke paru-paru.
3. Filtration & removal
 Filtrasi udara yang diinspirasi  Udara masuk ke hidung akan difiltrasi oleh nasal hair, akan menyaring partikel >10-
15μm. Partikel >10μm akan dibuang dengan cara bertabrakan dengan area perrmukaan yang luas dari nasal septum
dan turbinates (prespitasi turbulen). Ketika udara diinspirasi udara akan berubah arah secara tiba tiba karna
membentur penyekat. Massa pertikel > dari massa udara sehingga udara terus maju sedangkan partikel membentur
dan akan terperangkap oleh mukus. Partikel berukuran 2-5μm akan tersedimentasi di jalur respiratori dan
terperangkap mukus.Partikel 0.1-0.5μm kebanyakan tetap dalam bentuk aerosol dan 80% akan di ekshalasi.

- Didalam mukosa itu apa aja selain ada mucin


- Mekanisme bersin
Refleks ini berlangsung pada saluran hidung, bukan pada saluran pernafasan bagian bawah. Rangsangan awal yang
menimbulkan refleks bersin adalah iritasi dalam saluran hidung.
Mekanisme refleks bersin :

Rangsangan reseptor dari benda asing yg masuk melalui rongga hidung 


mengirim signal ke Nervus trigeminus  Medula oblongata  Inspirasi udara 
epiglotis tertutup,udara banyak dalam paru-paru  otot perut dan diafragma
berkontraksi# frekuensi dalam paru ↑  epiglotis terbuka  uvula ditekan 
udara dan benda asing di rongga hidung keluar bersama dengan tercetusnya
bersin

- Mekanisme batuk
Stimulus (reflex, volunteer , benda asing dll)

Impuls aferen N.vagus ke medulla merangsang untuk terjadinya
Inspirasi dalam dan cepat

Epiglotis (rimaglotidis) dan pita suara tertutup



Udara terperangkap di paru-paru

Otot expirasi kontraksi secara kuat

Tekanan di paru-paru meningkat secara cepat sekitar 100mmHg atau lebih > P atm

Udara di paru terkompresi

Bronkus dan trakea menjadi kolaps

Epiglottis dan pitasuara terbuka

Strong expiration untuk mengeliminasi mucus maupun benda asing keluar

4. Rinosinusitis atau sinusitis


Rinosinusitis (termasuk polip hidung) didefinisikan sebagai :
- inflamasi hidung dan sinus paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung
tersumbat/obstruksi/kongesti atau pilek (sekret hidung anterior/posterior):
± nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
± penurunan/ hilangnya penghidudan
salah satu dari temuan nasoendoskopi:
- polip dan/ ATAU
- sekret mukopurulen dari meatus medius dan/ ATAU
- edema/ obstruksi mukosa di meatus mediusdan/ ATAU
gambaran tomografi komputer:
- perubahan mukosa di kompleks osteomeatal dan/atau sinus
Rhinosinusitis Akut Rhinosinusitis Kronik
Diagnosis Gejala kurang dari 12 minggu: Gejala lebih dari 12 minggu
Onset tiba-tiba dari dua atau lebih gejala, salah satunya Terdapat dua atau lebih gejala, salah satunya harus
termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ kongestiatau pilek berupa hidung tersumbat/ obstruksi/ kongestiatau pilek
(sekret hidung anterior/ posterior): (sekret hidung anterior/ posterior):
- ±nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah - ±nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah
- ±penurunan/ hilangnya penghidu - ± penurunan/ hilangnya penghidu
 dengan interval bebas gejala bila terjadi rekurensi  dengan validasi per-telepon atau anamnesis
 dengan validasi per-telepon atau anamnesis tentang tentang gejala alergi, ingus seperti air, hidung
gejala alergi, seperti bersin, ingus encer seperti air, gatal, mata gataldan berair, jika positif ada,
hidung gatal dan mata gatal serta berair. seharusnya dilakukan pemeriksaan alergi. (Foto
Common cold/ rinosinusitis viral akut didefinisikan sebagai: polos sinus paranasal/tomografi komputer tidak
- Lamanya gejala < 10 hari direkomendasikan)
Rinosinusitis non-viral akut didefinisikan sebagai:
- Perburukan gejala setelah 5 hari atau gejala menetap
setelah 10 hari dengan lama sakit < 12 minggu
Pemeriksaan Pemeriksaan Pemeriksaan
- hidung (edema, hiperemis, pus) Nasoendoskopi – tidak terlihat adanya polip di meatus
- pemeriksaan mulut (post nasal drip) medius, jika diperlukan setelah pemberian
- singkirkan infeksi gigi dekongestan.(Definisi ini menerima bahwa terdapat
- Pemeriksaan THT termasuk Nasoendoskopi spektrum dari rinosinusitis kronik termasuk perubahan
Pencitraan polipoid padasinus dan/ atau meatus medius tetapi
(Foto polos sinus paranasal tidak direkomendasikan) menyingkirkan penyakit polipoid yang terdapat pada rongga
Tomografi komputer juga tidak direkomendasikan, kecuali hidunguntuk menghindari tumpang tindih).
terdapat: - melakukan evaluasi diagnosis dan penatalaksanaan dari
- penyakit sangat berat pelayanan kesehatan primer
- pasien imunokompromais (penurunan imunitas) - mengisi kuesioner untuk alergi, jika positif dilakukan tes
- tanda komplikasi alergi bila belum dilakukan
Penatalaksanaan

SINUSITIS DENTOGEN
- Infeksi gigi rahang atas yg menyebar dan menginfeksi langsung ke sinus, terutama sinus maksilaris karena dasarnya adalah
pros alveolaris tempat gigi rahang atas
- Gejala klinis:
Anamnesa
 Hidung tersumbat disertai nyeri atau rasa tekanan pada muka dan ingus purulen seringkali turun ke tenggorokan
(post nasal drip)
 Disertai demam dan lesu
 Terdapat refer pain  ke gigi dan telinga
 LOKASI NYERI :
 Nyeri di pipi  sinusitis maksila, nyeri diantara/belakang bola mata  sinusitis etmoid, nyeri dahi/seluruh kepala
 sinusitis frontal; nyeri vertex,oksipital,belakang bola mata, dan daerah mastoid  sinusitis etmoid
 Gejala lain : sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, PND menyebabkan batuk dan sesak pd anak
Pemeriksaan
 Ada pus di meatus media (pada sinusitis maksila dan etmoid anterior, dan frontal) ATAU di meatus superior (sinusitis
etmoid posterior dan sphenoid)
 Rinosinusitis akut  mukosa edema dan hiperemis. Anak  hiperemis dan edema di kantus medius
Penunjang
 Foto polos posisi Waters, PA, lateral menilai sinus frontal dan maksila  sinus terlihat ada perselubungan, batas
udara-cairan atau penebalan mukosa
 CT scan (gold) 
 Transiluminasi  sinus terinfeksi akan jd gelap
 Sinuskopi
Terapi
 Antibiotic dan dekongestan utk sinusitis akut  menghilangkan infeksi, pembengkakn mukosa, dan membuka
sumbatan ostium sinus. Obat : amoksisilin, kalau resisten kasih amoksisilin-klavulanat/sefalosporin gen II selama 10-
14 hari
 Bedah terapi  FEES dengan indikasi : sinusitis kronik dan tidak membaik setelah terapi, sinusitis kronik disertai kista
atau kelainan ireversibel, polip ekstensif, komplikasi sinusitis dan jamur
KOMPLIKASI
 Kelainan orbita  sinus paranasal berdekatan dg orbita, sering adl sinus etmoid, frontal, maksila. Penyebaran melalui
tromboflebitis dan perkontinuitatum
Gejala : edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal, abses orbita, thrombosis sinus kavernosus
 Kelainan intracranial  meningitis, abses ekstradural, subdural, abses otak
 Osteomielitis dan abses subperiostal  sinusitis frontal dan pd anak. Fistula oroantral atau pada pipi
 Kelainan paru  sinobronkitis karena asma bronchial
 Sinusitis jamur  pemakaian antibiotic, spesies Aspergillus dan Candida, dengan predisposisi DM, neutropenia, AIDS
Gejala :
- Kavum nasi  mukosa warna biru-kehitaman dan mukosa konka/septum yg nekrotik
- Penatalaksanaan  debridement, pembedahan, anti jamur sistemik, pengobatan kontrol penyakit asal
Rhinoskopi Anterior dan Posterior
Rinoskopi anterior adalah pemeriksaan rongga hidung dari depan dengan memakai spekulum hidung. Di belakang vestibulum
dapat dilihat bagian dalam hidung. Saluran udara harus bebasdan kurang lebih sama pada kedua sisi. Pada kedua dinding lateral
dapat dilihat konka inferior. Hal-hal yang harus diperhatikan pada rinoskopi anterior ialah :

- Mukosa Dalam keadaan normal, mukosa berwarna merah muda. Pada radang berwarna merah, sedangkan pada alergi
akan tampak pucat atau kebiru-biruan (livid).
- Septum. Biasanya terletak di tengah dan lurus. Diperhatikan apakah ada deviasi, krista, spina, perforasi, hematoma, abses
dan lain-lain
- Konka  Diperhatikan apakah konka besarnya normal (eutrofi, hipertrofi, hipotrofi atau atrofi).
- Sekret  Bila ditemukan sekret pada rongga hidung, harus diperhatikan banyaknya, sifatnya (serous, mukoid,
mukopurulen, purulen atau bercampur darah) dan lokalisasinya (meatus inferior medius, atau superior). Lokasi sekret ini
penting artinya, sehubungan dengan letak ostium sinus-sinus paranasal dan dengan demikian dapat menunjukkan dari
mana sekret tersebut berasal. Krusta yang banyak ditemukan pada rhinitis atrofi.
- Massa Massa yang sering ditemukan di dalam rongga hidung adalah polip dan tumor. Pada anak dapat ditemukan benda
asing.

Rhinoskopi posterior adalah pemeriksaan ronnga hidung dari belakang, dengan menggunakan kaca nasofaring. Dengan
mengubah-ubah posisi kaca, kita dapat melihatkoana, ujung posterior septum, ujung posterior konka, sekret yang mengalir dari
hidung ke nasofaring (post nasal drip), torus tubarius, dan ostium tuba.

CT SCAN
Imaging Findings
1) acute sinusitis : include an air-fluid level, mucosal thickening, and
complete opacification of the sinus. Blood in the sinus due to recent
trauma may mimic an air-fluid level in the sinus, but it is easily
distinguished by density measurements
2) chronic sinusitis : the ethmoid sinus is commonly involved. Findings 
include mucosal thickening, complete opacification, bone remodeling and
thickening due to osteitis, and polyposis.
 Mucoceles often occur in patients with chronic pansinusitis and
nasal polyposis. The pathogenesis involves accumulation of
mucoid secretions behind an obstructed paranasal sinus ostium,
with expansion of the sinus cavity and thinning of the sinus walls.
The frontal sinuses account for about 60% of cases; ethmoid
sinuses, 30%; and maxillary sinuses, 10%
 Frontal sinus mucoceles may present with decreased visual acuity, visual field defect, proptosis, and
intractable headaches.
 Expansion of the left frontal sinus indicated by low-attenuating soft tissues with thinning of the walls but no
erosion.
 Peripheral mucosal thickening, gas-fluid level, gas bubbles within the fluid and obstruction of the
ostiomeatal complexes are recognized findings.
 Rhinitis, often associated with sinusitis, is often characterized by thickening of the turbinates with
obliteration of the surrounding air channels. This should not be confused with the normal nasal cycle.
3) Acute, invasive fungal sinusitis : involve aggressive bone erosion with extension of disease into the adjacent soft
tissues. Intrasinus high-attenuating areas may not be present in acute, invasive fungal sinusitis. This condition may be
associated with orbital, intracranial, and cheek soft-tissue invasion.
4) Sinus mycetom : a focal area of increased attenuation that is usually centered within a diseased sinus.

INDIKASI NEUREKTOMI
1. Rhinitis Vasomotor kronis  Rhinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya infeksi,
alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid), dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-
bloker, aspirin, klorpromazin dan obat topikal hidung dekongestan). Penyebab pasti kelainan ini tidak diketahui, namun
diduga kuat disebabkan oleh ketidakseimbangan aktivitas persarafan dari simpatis dan parasimpatis di rongga hidung yang
berujung pada meningkatnya perangsangan kelenjar mucus dan sel-sel goblet (Knipping et.al, 2012; Broide, 2010).

2. Rhinitis Intrinsik  Rhinitis intrinsik adalah suatu kondisi non infektif dan non alergik yang memberikan gejala khas berupa
hidung tersumbat, rinorea dan hiposmia. Kondisi ini disebabkan oleh : 1) ketidakseimbangan aktivitas saraf otonom, 2)
hiperreaktivitas jalan nafas atas, 3) reaksi alergi pada alergen yang belum diketahui, 4) gangguan pada fungsi reseptor beta
(Scadding et.al, 2008).
3. Sindrom “Crocodile tears”  Kondisi medis ini dikenal juga dengan sindrom air mata buaya atau sindrom Bogorad yaitu
kondisi keluarnya air mata tanpa disengaja ketika makan atau minum (berliur). Kondisi ini terjadi ketika serabut saraf yang
menginervasi kelenjar liur rusak dan mengalami regenerasi abnormal menuju kepada kelenjar lakrimal (sinkinesis) yang
biasanya terjadi selama masa penyembuhan Bell's palsy. Serat eferen dari nukleus salivarius superior nampak bersambungan
dengan kelenjar lakrimal melalui nervus petrosus superior menyebabkan perangsangan abnormal pada kelenjar lakrimal
(Renee, 2013; Balasubramanian et.al, 2014).

Pada dasarnya, indikasi neurektomi vidianus diutamakan untuk pasien dengan rhinitis kronis persisten yang gejala-gejalanya
tidak berkurang atau terus kambuh meski telah diberikan pengobatan jangka panjang sehingga kualitas hidup pasien terganggu
secara nyata (Scadding et.al, 2008).

Jenis-jenis neurektomi vidianus :


1. Neurektomi Vidianus Trans-septal  Langkah pertama yaitu dengan melakukan reseksi submukosa pada septum
nasal melalui identifikasi rostrum sphenoidalis. Pada area ini, bagian mukoperiosteum di angkat dari korpus sfenoid
sisi anterior dan inferior. Pelepasan dari bagian mukoperiosteum dimulai dari sisi lateral menuju ke sisi medial
lempeng pterigoideus. Pelepasan bagian mukoperikondrium diperluas sampai ke lempeng perpendikular tulang
palatina. Foramen sphenopalatina dapat terlihat dan teridentifikasi selanjutnya nervus vidianus di kauterisasi secara
brutal karena nervus inilah yang keluar dari foramen tersebut (Balasubramanian et.al, 2014).
2. Neurektomi Vidianus Trans-palatal  Prosedur ini dilakukan dibawah pengaruh biusan umum dengan menggunakan
untubasi orotrakheal. Sebuah penahan mulut Boyle Davis digunakan untuk mempertahankan mulut tetap terbuka.
Teknik sayatan yang digunakan pada palatum durum adalah melengkung. Dimulai dari pertengahan palatum sekitar 2
cm anterior sampai posterior dari ujung tulang palatum durum. Selanjutnya sayatan bergerak secara lateral dan
posterior menuju ke gigi molar terakhir. Sayatan kemudian di perdalam sampai ke tulang. Pendalaman ini dilakukan
kecuali di bagian lateral dari sayatan agar tidak merusak pembuluh darah besar di tulang palatina. Lapisan
mukoperiosteal di pisahkan dari tulang sampai aponeurosis palatum terlihat jelas (Balasubramanian et.al, 2014).

Perdarahan diatasi menggunakan tampon yang dibasahi adrenalin. Kauterisasi sebisa mungkin tidak
digunakan karena tingginya risiko fistel palatum. Palatum mole disayat dari ujung posterior palatum durum kemudian
nasofaring dapat dimasuki. Mukosa disepanjang saluran diinfiltrasi dengan 1:10.000 adrenalin agar mencegah
perdarahan dari daerah ini. Sayatan berbentuk L dilakukan di daerah ini dengan arah postero-anterior. Bagian yang
paling pendek dari sayatan di lokasikan pada dinding posterior dan lateral nasofaring (Balasubramanian et.al, 2014).
Pelepasan mukosa pada area ini memperlihatkan lempeng pterigoideus medial hingga persambungannya
dengan dasar oksiput. Persambungan ini penting secara antomis dan pembedahan karena foramen lacerum yang
berisi arteri carotis yang terletak di lateral dan posterior dari lokasi ini. Tulang yang ada di medial lempeng
pterigoideus dikikir dan sebagian tulangnya dibiarkan pada persambungan dasar oksiput dengan lempeng
pterigoideus supaya mencegah kerusakan arteri carotis interna yang ada di foramen lacerum. Kanalis pterigoideus
nampak sebagai tulang gading didalam tulang pipih. Kanal tersebut biasanya sedalam 2-3 mm. Kanal kemudian di
buka, nervus diangkat, dipotong dan dikauterisasi. Luka sayatan pada palatum durum ditutup per lapisan (Nomura
et.al, 2011; Balasubramanian et.al, 2014).

3. Neurektomi Vidianus Trans-nasal Endoskopis Prosedur ini dilakukan menggunakan penglihatan endoskopis. Pasien
dibaringkan terlentang dengan kepala sedikit di tinggikan. Mukosa hidung dan konka dikecilkan menggunakan
tampon yang dibasahi dengan 4% xylocaine dicampur dengan 1:10,000 adrenaline. Sebuah retractor diselipkan
dibawah konka media dan membuat robekan dari medial. Langkah ini penting karena dapat memperluas jangkauan
ke meatus media. Spekulum hidung dimasukan dari anterior sampai ujung posterior dari konka media terlihat.
Sekitar 0.25 cc dari 2% xylocaine dicampur dengan 1:100.000 adrenaline diinjeksikan pada submukosa
dinding nasal lateral. Pemucatan pada daerah tersebut menandakan bahwa infiltrasi sudah adekuat (Balasubramanian
et.al, 2014). Sebuah suction melengkung digunakan untuk meraba dinding nasal lateral, dibelakang uncinatus dan
diatas pintu masuk konka inferior tujuannya adalah untuk mengidentifikasi bagian membran lunak pada fontanel
posterior maksila. Ketika menggerakkan suction menuju ke posterior fontanel, tulang keras di ujung anterior tulang
palatina dapat di identifikasi. Sayatan berbentuk C dibuat menggunakan pisau ukuran 15 pada persambungan antara
fontanel posterior dengan tulang palatina. Sayatan dimulai tepat dibawah bagian horizontal pada dasar lamella dan
berakhir tepat di atas pintu masuk konka inferior pada dinding nasal lateral. Perlu di perhatikan : Sayatan tidak boleh
memanjang hingga mencapai sinus maksilaris melalui fontanela posterior. Sebuah katup posterior diambil dari
jaringan mukoperiosteal pasien menggunakan elevator Freer. Selama pemisahan 3-4 mm, sekat di angkat seluas
panjangnya sayatan. Pada langkah ini, sayatan hanya diangkat sepertiga bawah sayatan, misalnya hanya diatas pintu
masuk konka inferior. Pemisahan ini dilanjutkan di bagian posterior sampai permukaan anterior dari sinus sfenoid
tercapai. Setelah itu proses pemisahan berlanjut terus sampai puncak ethmoidalis dan arteri sfenopalatina terlihat.
Tepi posterior dari foramen sfenopalatina diperlebar kemudian dimasukkan elevator Freer.

Anda mungkin juga menyukai