Anda di halaman 1dari 5

PEMBAHASAN

2.1. Kegiatan-kegiatan yang mengancam DAS

a) Perencanaan bentuk penggunaan lahan dan praktek pengelolaan yang tidak sesuai
b) Pertambahan jumlah penduduk baik secara alami maupun buatan
c) Kemiskinan dan kemerosotan ekonomi akibat keterbatasan sumber daya manusia,
sumber alam dan mata pencaharian.
d) Kelembagaan yang ada kurang mendukung pelayanan kepada para petani di hulu /hutan
e) Kebijakan perlindungan dan peraturan legislatip, tidak membatasi kepemilikan atau
penggunaan lahan
f) Ketidakpastian penggunaan hak atas tanah secara defakto pada lahan hutan.

2.2. Usaha-usaha terhadap perlindungan DAS

1. Tidak membuang sampah di sungai. Kebiasaan masyarakat membuang sampah di


sungai harus benar-benar dihentikan. Selain dapat mencemari sungai, sampah yang
dibuang ke sungai juga dapat membuat hewan-hewan yang hidup di sungai mati.
2. Tidak buang air kotor di sungai. Kebiasaan buang air kecil atau besar di sungai harus
dihentikan, karena dapat menimbulkan bibit penyakit.
3. Tidak membuang limbah rumah tangga dan industri ke sungai. Memang, sungai
dianggap sebagai tempat paling mudah untuk membuang limbah cair dari rumah
tangga maupun industri. Tapi perlu diingat bahwa limbah tersebut mengandung
bahan-bahan kimia yang dapat mencemari air sungai. Untuk itu, limbah yang ingin
dibuang ke sungai harus melalui proses tertentu sehingga aman dan tidak mencemari
air sungai.
4. Melestarikan hutan di hulu sungai. Pohon-pohon yang ada di sekitar hulu sungai
sebaiknya tidak digunduli atau ditebangi secara sembarangan agar tidak
menimbulkan erosi tanah. Erosi dapat mengakibatkan tanah, pasir dan benda-benda
lain dapat terbawa aliran air sehingga membuat sungai menjadi dangkal.

2.3. Restorasi Daerah Aliran Sungai dan Ligkungannya


1. Disadari bahwa pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) masih menghadapi tantangan
berat yang ditunjukkan oleh adanya beberapa fakta, yaitu: (1) semakin meningkatnya
jumlah DAS kritis dan lahan terdegradasi, (2) meningkatnya bencana hidrometeorologi
(banjir, tanah longsor, kekeringan), (3) meningkatnya angka kemiskinan dan
kesenjangan sosial ekonomi, dan (4) rendahnya partisipasi serta prilaku masyarakat
yang tidak peduli dengan lingkungan. Selain itu, perubahan iklim diyakini sebagai salah
satu determinan semakin meningkatnya jumlah DAS kritis. Perubahan rerata curah
hujan, suhu udara di daratan, heat trap di lautan, serta meningkatnya frekuensi cuaca
ekstrim dapat mempengaruhi siklus hidrologi, perubahan pola evapotranspirasi,
distribusi curah hujan dan neraca air suatu DAS baik secara spasial maupun temporal.
2. Perubahan demografi, sosial ekonomi dan aktivitas manusia yang semakin meningkat
membuat pengelolaan DAS ke depan menghadapi tantangan yang semakin berat dan
kompleks. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa kebijakan dan implementasi pengelolaan
DAS serta perubahan iklim selama ini masih bersifat parsial, sektoral, tiap pihak masih
bekerja sendiri-sendiri, serta tidak mempertimbangkan permasalahan DAS secara
keseluruhan. Selain itu, pengelolaan DAS cenderung “tidak melakukan apaapa” untuk
meningkatkan daya dukung dan kesehatan DAS. Konsekuensinya, keberhasilan dari
upaya sektoral ini hanya bersifat sporadis dan dalam waktu sementara karena
permasalahan kerusakan DAS belum teratasi secara menyeluruh. Oleh karena itu,
restorasi DAS perlu dilakukan sebagai suatu upaya untuk memulihkan kondisi atau
mengembalikan fungsi ekosistem DAS yang rusak atau mengalami gangguan agar pulih
kembali mendekati kondisi aslinya atau lebih baik lagi.
3. Penilaian karakteristik DAS dan evaluasi kesehatan DAS perlu dilakukan sebelum
kegiatan restorasi DAS untuk mengetahui karakteristik dan menilai tingkat kerusakan
atau tingkat kerentanan suatu DAS terhadap degradasi berdasarkan kondisi biofisik
lahan seperti tingkat erosi, kesesuaian antara tingkat kemampuan penggunaan lahan dan
arahan fungsi lahan, penggunaan lahan aktual (existing land use), kondisi tata air
maupun sosial ekonomi. Dengan demikian, diharapkan upaya-upaya yang dilakukan
untuk memperbaiki kerusakan ekosistem DAS menjadi lebih terarah dan tepat sasaran
mengingat bahwa setiap DAS kritis membutuhkan penanganan yang berbeda. Dalam
hal ini, kegiatan restorasi DAS dapat ditujukan sebagai upaya pencegahan (prevention)
masalah, perbaikan (repair) ataupun peningkatan kondisi 2 (improvement), baik pada
badan sungai, koridor sungai maupun wilayah hulu sungai. Berdasarkan hasil
penelitian, perlu dipertimbangkan untuk memasukkan koefisien resesi aliran dasar
(baseflow) sebagai salah satu variabel dalam menilai kondisi tata air mengingat trend
dari koefisien tersebut sejalan dengan trend dari variabel-variabel lahan seperti
penutupan lahan dan karakteristik DAS.
4. Disadari bahwa merestorasi DAS tidaklah mudah, restorasi DAS membutuhkan peran
aktif dan partisipasi masyarakat, sinergisitas antar instansi dan pemerintah pusat/daerah
serta dukungan dari sektor swasta/perusahaan dan institusi pendidikan. Peran aktif
masyarakat ini telah ditunjukkan diberbagai bentuk kegiatan seperti rehabilitasi hutan
dan lahan, pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya air, agroforestri dan hutan rakyat,
baik untuk tujuan pelestarian maupun untuk tujuan peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Oleh karena itu, peran aktif dan partisipasi ini perlu lebih didorong dan
diberi ruang oleh pemerintah, baik melalui pembinaan, fasilitasi maupun penghargaan
agar masyarakat dapat menjadi penggerak dari restorasi itu sendiri. Selain itu, restorasi
DAS juga membutuhkan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) termasuk
kearifan lokal, keseriusan parapihak, keterpaduan antar lembaga maupun antar disiplin
ilmu pengetahuan, terutama pada tahap perencanaan (planning), pelaksanaan
(implementation) serta monitoring dan evaluasi (monitoring and evaluation) DAS.
5. Pada aras kebijakan dan kelembagaan diperlukan suatu kebijakan dan regulasi yang
saling terkoneksi secara terpadu dan saling menguatkan serta tatanan kelembagaan yang
mapan untuk menggerakkan restorasi DAS. Pada aras implementasi, sudah cukup
tersedia paket teknologi untuk evaluasi kesehatan DAS, perlindungan dan pemanfaatan
DAS, penanggulangan bencana DAS dan perubahan iklim.
6. Teknologi konservasi tanah dan air harus diterapkan secara tepat dalam pengelolaan
sumberdaya lahan dan air, sehingga laju erosi dan sedimentasi dapat dikurangi dan
dikendalikan. Aplikasi teknik konservasi tanah dan air tersebut dapat berupa teras gulud
dan teras bangku di lahan pertanian, pembangunan dam penahan (DPn) dan dam
pengendali (DPi) di alur sungai, aplikasi tanaman tanggul angin untuk mengendalikan
erosi pasir, pengkayaan jenis di kawasan perlindungan setempat (KPS) untuk menjerap
sedimen di kawasan hutan produksi, agroforestri, serta penghijauan (gerhan) untuk
memperbaiki tutupan lahan. Kegiatan restorasi DAS dengan penanaman pohon perlu
didukung dengan pengadaan benih unggul yang sesuai dengan karakteristik setempat,
diterima oleh masyarakat, bernilai ekonomis/komersial serta adaptif terhadap
perubahan iklim, sebagai contoh adalah pulai darat, pulai gading, sengon, Araucaria,
dan jamblang. Selain bermanfaat secara ekonomis, tanaman rehabilitasi juga berfungsi
sebagai upaya mitigasi bahaya tsunami di wilayah pesisir pantai, serta meningkatkan
kelimpahan jenis makro fauna tanah yang dapat menyuburkan tanah.
7. Pola agroforestri dapat digunakan sebagai salah satu alternatif penggunaan lahan pada
daerah hulu yang dapat memberikan manfaat ekonomis bagi masyarakat sekaligus
memberikan manfaat perlindungan bagi ekosistem hulu DAS. Namun demikian,
kegiatan rehabilitasi dalam rangka restorasi ini seyogyanya memperhatikan kelas
kemampuan penggunaan lahan dan kesesuaian jenis. Teknologi penginderaan jauh (PJ)
dan sistem informasi geografis (SIG) dapat dimanfaatkan untuk mengetahui kelas
kemampuan penggunaan lahan dan kesesuaian jenis, serta sebaran
penutupan/penggunaan lahan maupun lahan kritis 3 secara time series, sehingga sangat
bermanfaat untuk kegiatan monitoring perubahan luasan tutupan/penggunaan lahan,
lahan kritis dan kesesuaian pemanfaatan ruang suatu DAS. Untuk mendukung itu, telah
tersedia berbagai citra penginderaan jauh dengan resolusi spasial dan temporal yang
dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Citra Landsat dan TRMM (Tropical Rainfall
Measuring Mission) merupakan contoh citra satelit yang dapat diakses secara gratis
sebagai sumber data dalam restorasi DAS.
8. Perubahan iklim telah meningkatkan kerentanan dan memperparah kerusakan DAS,
sehingga diperlukan suatu strategi pengelolaan DAS yang bersifat terpadu serta adaptif
terhadap perubahan iklim. Strategi ini mengacu pada kegiatan: (1) pengelolaan lahan,
(2) pengelolaan tata air, (3) sosial ekonomi budaya, dan (4) kelembagaan, yang
diformulasikan ke dalam bentuk atau langkah untuk menghadapi perubahan iklim,
yaitu: (1) strategi antisipasi, (2) strategi mitigasi, dan (3) strategi adaptasi dengan
mempertimbangkan peran para pemangku kepentingan.
9. Dalam restorasi DAS, perubahan iklim dengan cuaca ekstrimnya diperkirakan dapat
meningkatkan frekuensi terjadinya bencana hidrometeorologi, seperti banjir, tanah
longsor dan kekeringan. Oleh karena itu, perlu adanya tindakan adaptasi terhadap
kemungkinan terjadinya banjir dan tanah longsor pada bulanbulan dengan curah hujan
tinggi. Usaha adaptasi tersebut dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara, yaitu: (1) adaptasi
infrastruktur dengan menyiapkan dan memelihara volume saluran air dengan batas
maksimal yang mengikuti deviasi curah hujan maksimal, (2) adaptasi manajemen
melalui efisiensi penggunaan air serta meningkatkan kapasitas infiltrasi tanah melalui
tindakan-tindakan konservasi tanah dan air secara vegetatif, seperti penanaman jenis-
jenis tanaman yang toleran terhadap kekurangan air, dan (3) adaptasi operasional yang
dapat dilakukan dengan perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan program yang
sudah berjalan supaya maksimal, yang bertujuan untuk mengatasi banjir pada puncak
curah hujan tinggi.
10. Untuk mencari dan mewujudkan keterpaduan, restorasi DAS membutuhkan aksi
bersama para pihak, partisipasi aktif semua komponen, sinergisitas antar institusi,
penegakan aturan, komunikasi, koneksi regulasi, dukungan IPTEK, pembiayaan,
kelembagaan, dan penyatuan kepentingan bersama bahwa pengelolaan DAS yang
terpadu dan berkelanjutan merupakan tanggung jawab bersama. Kearifan lokal dan
kearifan institusi dapat menggerakkan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam
memperbaiki dan merehabilitasi sumberdaya lahan dan air. Oleh karena itu, dalam
rangka restorasi DAS perlu digali dan ditemukenali kembali nilai-nilai kebersamaan,
kesadaran lingkungan, rasa kesetiakawanan, dan spirit bahwa sumberdaya alam DAS
adalah “milik dan tangung jawab bersama”.
11. Perlu diwujudkan internalisasi restorasi DAS dalam rencana pembangunan daerah dan
nasional yang dapat diacu oleh semua pihak. Selain itu, diperlukan pula suatu bentuk
kegiatan terpadu yang konkrit di lapangan yang bisa dimulai dengan skala kecil dalam
rangka memperbaiki (restorasi) kondisi DAS yang telah mengalami kerusakan yang
dilakukan oleh semua pihak. Contoh implementasi restorasi DAS ini diharapkan dapat
menjadi inspirasi, lesson learnt, dan pemicu restorasi DAS yang lebih baik ke depan
yang berkelanjutan, terstruktur, sistematis dan masif.
12. Setiap pemangku kepentingan (stakeholders) harus menyadari bahwa upaya
pengelolaan dan restorasi DAS hanya akan berhasil jika DAS tersebut dipandang
sebagai satu kesatuan ekosistem yang utuh dengan 4 pendekatan keterpaduan baik
secara sektoral pembangunan maupun dari aspek kewilayahan, yang dikenal dengan
pendekatan terpadu multipihak, multisektor, komprehensif, berkelanjutan, dan
berwawasan lingkungan. Pendekatan “one river, one plan and one integrated
management” yang meliputi kegiatan-kegiatan pengelolaan DAS, pengelolaan
kuantitas dan kualitas air, pengendalian banjir, pengelolaan lingkungan DAS, dan
pengelolaan infrastruktur sumberdaya air sudah seharusnya dipahami dan dilaksanakan
oleh semua pihak dengan mempertimbangkan tantangan perubahan iklim ke depan.

Anda mungkin juga menyukai