PENGENDALIAN HAYATI
“Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Pengendalian Hayati”
2020
BAB I
PENDAHULUAN
Dalam usaha untuk meningkatkan produktivitas hasil komoditas di bidang pertanian para
petani dihadapkan oleh berbagai kendala. Mulai dari serangan hama, kekurangan modal usaha,
fluktuasi harga, pemilikan tanah yang sempit, penguasaan teknologi yang masih minim dan
sejumlah masalah sosial-ekonomi-budaya lainnya.
Penulis akan mencoba fokus untuk memaparkan kendala biologis dalam produksi pertanian,
yaitu serangan hama tanaman. Serangan hama tanaman merupakan salah satu kendala yang
sangat meresahkan para petani. Ketika jumlah populasi serangan hama melampaui ambang
ekonomi hama, hal ini akan mampu menyebabkan penurunan produksi pertanian yang pada
akhirnya dapat menimbulkan kerugian ekonomi bagi petani. Serangan hama tersebut dapat
terjadi pada berbagai komoditas baik itu komoditas pangan, holtikultura maupun perkebunan.
Keberadaan hama disuatu daerah sangat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan sekitarnya seperti
cuaca, faktor geografis serta tindakan manusia, sehingga jenis hama, dominansi, intensitas dan
luas serangannya berbeda antar daerah satu dengan yang lain.
Sejak dahulu untuk mengatasi kendala biologis tersebut (serangan hama tanaman) selalu
diusahakan dengan berbagai cara, antara lain dengan meracuni organisme pengganggu tersebut
dengan racun-racun yang berasal dari tumbuhan, seperti nikotin, piretrin, rotenon, dll. Kemudian,
setelah beberapa dekade berselang ditemukannya senyawa kimia sintetik untuk dijadikan sebagai
pemberantas serangan hama tanaman dan selanjutkya dikenal sebagai pestisida. Pestisida ini
berasal dari bahasa inggris “pesticides”: “pest” berarti hama dan “cide” berarti membunuh. Jadi,
pestisida dapat diartikan sebagai pembunuh hama. (Oka, 2005: 3).
Pestisida kimia yang semakin lama semakin populer tersebut alih-alih memberikan lebih
banyak dampak positif bagi manusia, malahan menciptakan kerugian bagi lingkungan: ledakan
hama, degradasi kualitas lingkungan, resistensi hama, keracunan pada manusia akibat residu
pestisida yang terkandung dalam produk pertanian, dlsb.
Dampak-dampak negatif dari penggunaan pestisida kimia yang secara berlebihan tersebut
membuat para ahli hama dan lingkungan (ekolog) di dunia memiliki kewajiban untuk
memikirkan secara serius berbagai alternatif jalan keluar untuk menanggulangi masalah serangan
hama tersebut sekaligus meminimalkan pelbagai dampak negatif pestisida terhadap lingkungan.
Lalu, untuk mengatasi masalah tersebut dikembangkanlah konsep Pengendalian Hama Terpadu
(PHT).
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) bukanlah merupakan tujuan, melainkan suatu
teknologi pengendalian hama yang memanfaatkan berbagai cabang ilmu dalam satu ramuan yang
saling mempekuat satu sama lain. Salah satu ilmu yang menjadi dasar Pengendalian Hama
Terpadu (PHT) dalam implementasinya ialah bebragai aspek ekologi, jadi dapat dikatakan bahwa
PHT adalah ekologi praktis (applied ecology) yang diarahkan untuk mengendalikan populasi
hama. (Oka, 2005: 4-5).
Di dalam PHT terdapat berbagai komponen dan taktik pengendalian, seperti
pengendalian hayati, autocidal control (serangga mandul), kultur teknis, fisis-mekanis, varietas
lahan, pengendaian dengan menggunakan senyawa kimia semio, dll.
Fokus pembahasan dalam tulisan ini adalah implementasi pengendalian hayati
dan autocidal control sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas hasil pertanian. Dalam
tulisan ini penulis akan mengacu pada sejumlah penelitian dalam beberapa jurnal ilmiah.
Sebagian besar jurnal yang akan diacu dalam tulisan ini berasal dari jurnal luar negeri —dan
berbahasa inggris— dan sebagai pelengkap penulis akan mengacu pula pada jurnal dalam negeri.
1.3 Tujuan
Sebagai syarat untuk memenuhi tugas yang diberikan dosen Pengendalian Hayati kepada
para mahasiswa.
Untuk Mempelajari Faktor-faktor yang mempengaruhi kelebihan Pengendalian Hayati
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengendalian Hayati
Secara historis, pengendalian hayati adalah strategi yang diusulkan setengah abad yang
lalu dalam sebuah simposium yang diadakan di Berkeley pada tahun 1965 berjudul: Ecology of
soilborne plant pathogens; prelude to biological control (Baker and Snyder, 1965).[2]
Pengendalian hayati membedakan dirinya dari semua bentuk lain pengendalian hama
dengan bertindak dengan cara yang tergantung kepadatan, yaitu: musuh alami peningkatan
intensitas dan menghancurkan porsi yang lebih besar dari populasi sebagai kepadatan yang
populasinya meningkat, dan sebaliknya (De Bach dan Rosen, 1991).
Dalam arti ekologi yang ketat, diterapkannya pengendalian hayati dapat sebagai sebuah
dianggap strategi untuk memulihkan fungsional keanekaragaman hayati dalam agroekosistem
dengan menambahkan, melalui teknik biokontrol secara klasik dan/atau augmentatif,
“menghilangkan” serangga entomophagous atau dengan meningkatkan secara alami predator dan
parasitoid cincin melalui konservasi dan pengelolaan habitat (Altieri, 1994).[3]
Yang diusulkan oleh pendukung awal dan praktisi, pengendalian biologis adalah menjadi
strategi mandiri, di mana petani mengandalkan untuk pengendalian hama pada layanan ekologi
disediakan oleh restorasi keanekaragaman hayati secara fungsional, sehingga menghindari
ketergantungan pada pestisida mahal.[4]
Menurut Waterhouse dan Norris (1987)[5], “… given the important agricultural and
economic need for environmentally friendly pest control, and with adequate testing
demonstrating the specificity of biocontrol agents on the pest species, biological control should
be considered an important part of an integrated pest management strategy.” Mengingat
pentingnya pertanian dan kebutuhan ekonomi untuk pengendalian hama yang ramah lingkungan,
dan dengan pengujian yang memadai menunjukkan kekhususan biokontrol agen pada spesies
hama, pengendalian biologis harus dianggap sebagai bagian penting dari strategi pengelolaan
(pengendalian) hama terpadu (PHT).
PENGERTIAN
2. P. DeBach (1964) lebih lanjut memperbaiki istilah pengendalian hayati dan membedakan
antara “pengendalian alami” dari “pengendalian hayati”.
3. van den Bosch et al. (1982) memodifikasi sebagian istilah-istilah tersebut di atas menurut dua
pengertian:
a. Pengendalian hayati terapan ialah manipulasi musuh alami oleh manusia untuk
pengendalian hama.
b. Pengendalian hayati alami ialah pengendalian hama oleh musuh alaminya
yang terjadi tanpa intervensi manusia.
Pengendalian hayati terapan dapat dipecah lagi menjadi tiga kategori pokok yaitu:
Pengendalian hayati ini memanfaatkan beberapa spesies tertentu untuk mengendalikan hama-
hama yang menyerang komoditas tanaman. Spesies tersebut mewakili sejumlah hewan
invertebrata, yaitu serangga, tungau, dan nematoda. Spesies-spesies yang mewakili tumbuhan
tingkat rendah, e.g. jamur, bakteri, dan virus. Ular, kodok, ikan, dan burung mewakili golongan
vertebrata. Pemanfaatan ini dimungkinkan karena adanya interaksi antara dua spesies atas
keuntungan yang satu karena memangsa dan yang lainnya merugikan karena dimakan. Secara
sederhana, musuh-musuh alam tersebut dapat digolongkan sebagai berikut (van den Bosch et al.,
1985):
Predator,
Parasitoid,
Patogen serangga (jamur, bakteri, virus, nematoda),
Kebanyakan serangga hama tanaman diserang oleh lebih dari satu msuh alamnya. Bahkan,
beberapa di antaranya diserang oleh lebih dari 100 spesies musuh alam. Musuh-musuh alam
yang mewakili dunia serangga dapat digolongkan menjadi dua, yaitu predator dan parasitoid.
Sebelum kita melihat distingsi antara predator dan parasitoid, kita akan mencoba memahami
pengertian dari predator dan parasitoid itu sendiri.
Secara sederhana, predator adalah binatang atau serangga yang memangsa binatang atau
serangga lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Predator biasanya hidup bebas dengan
memangsa binatang atau serangga lain. Beberapa jenis predator,
misalnya: Calpodes rufitarsis dan C. saphyrinus (Coleoptera: Carabidae) sebagai predator ulat
penggulung daun Palagium sp., Harmonia octamaculata (Coleoptera: Coccinellidae) sebagai
predator kutu Jassidae dan Aphididae, Conocephalus longipennis (Orthoptera: Tettigonidae)
sebagai predator telur dan larva penggerek batang padi dan walang sangit, dlsb.
Parasitoid ialah istilah yang sering digunakan dalam entomologi pertanian. Secara sederhana
definisi dari parasitoid ialah serangga yang mem-parasit serangga lainnya. Parasitoid ialah sifat
yang mencirikan perilaku makan yang beraneka ragam antara yang benar-benar bersifat parasit
dan predator (Knutsen dan Berg, 1966, dalam Askew, 1971).
Menurut Askew (1971), parasitoid pada awalnya memakan seperti parasit dan hidup
menyesuaikan diri dalam hubungan fisik yang sangat erat dengan inangnya dan hanya setelah ia
menyadap semua makanan yang diperlukannya dari tubuh inang, akhirnya inang tersebut mati.
Contoh parasitoid sebagai agen pengendali hayati yang biasa digunakan dan dapat dikatakan
sukses untuk mengendalikan hama utama jagung adalah Trichogramma sp., Beauveria
bassiana, Metharizium anisopliae, dan Pteromalus sp.[6]
2.3 Prinsip-prinsip Pengendalian Hayati
Ada dua prinsip pengendalian hayati, yaitu 1) mengimpor musuh-musuh alam (agen
pengendali hayati) dari luar negeri/ daerah lain untuk dilepaskan ke daerah wabah dan 2)
meningkatkan efektivitas musuh-musuh alam (agen pengendali hayati) yang telah ada di daerah
wabah tersebut, yaitu dengan melepaskan secara periodik, augmentasi, inundasi atau manipulasi
(Waterhouse dan Norris, 1987).[7]
Ada dua pendekatan untuk poin mengimpor musuh-musuh alam dari luar negeri/daerah
untuk dimanfaatkan di dalam negeri/daerah lain (lihat poin pertama; 1), yaitu pengendalian
hayati klasik dan pengendalian asosiasi baru.
Pengendalian yang pertama ialah menggunakan kembali musuh-musuh alam terhadap hama di
suatu daerah baru yang sebelumnya musuh-musuh alam tersebut sudah berasosiasi dengan hama
itu di daerah asalnya. Pengendalian hayati klasik melibatkan pengenalan musuh alami dari pusat
asal serangga herbivora yang telah menjadi hama eksotis di tempat lain (van Driesche dan
Bellows, 1996).[8]
Pendekatan yang kedua adalah pengendalian asosiasi baru, yaitu dengan mengimpor musuh-
musuh alam untuk mengendalikan hama sasaran di suatu daerah yang sebelumnya antara
keduanya belum pernah berasosiasi, tetapi musuh-musuh alam tersebut menyerang spesies-
spesies hama yang masih dekat dengan hama sasaran tadi di tempat asalnya (Pimentel, 1963).
Lalu, kita akan membahas mengenai poin kedua (2) di atas, yakni meningkatkan efektivitas
musuh-musuh alam yang telah ada di daerah wabah tersebut. Menurut Waterhouse dan Norris
(1987), terdapat empat cara dalam meningkatkan keaktifan agen pengendali hayati:
1. Melepaskan secara periodik. Agen pengendali hayati yang dilepaskan terdahulu hanya
efektif dalam jangka waktu terbatas dan belum/tidak menetap di daerah itu.
2. Augmentation (menambahkan secara berkala). Penambahan dan pengembangbiakan
serta pelepasan agen pengendali hayati untuk meningkatkan pengaruhnya ketika agen
tersebut kurang/tidak efektif di musim tertentu.
Pada bagian ini penulis akan mencoba memaparkan kelebihan dan kekurangan dari teknik
pengendalian hayati. Dimulai dengan memaparkan kelebihan dan kemudian kekurangan dari
teknik pengendalian tersebut.
Kelebihan atau keuntungan dari pengendalian hayati ialah tidak mencemari lingkungan seperti
dengan menggunakan perstisida —yang dalam penggunaan ekstrem bahkan akan menimbulkan
ketidakseimbangan ekosistem. Biaya yang harus dikeluarkan pun sanga tmurah dibandingkan
dengan ongkos pemakaian pestisida. Meskipun tingkat keberhasilan: kegagalan kira-kira
berbanding 1:10; namun keberhasilan yang (hanya) sekali tersebut dapat menghemat biaya
pengendalian sampai jutaan US dollar (De Bach, 1979). Keuntungan lain ialah untuk
mengendalikan hama tertentu yang menggabungkan taktik pengendali hayati dengan insektisida
diharuskan memilih formulasi-formulasi dan saat aplikasinya yang relatif aman bagi musuh-
musuh alam tersebut. Ini, secara autopoiesis (meminjam istilah F. Varela dan H. Maturana), akan
meminimalkan pencemaran lingkungan yang lebih luas. Dan akhirnya, teknik ini juga akan
berdampak positif dalam usaha melestarikan agroekosistem.
2.4.2 Kekurangan Pengendalian Hayati
Pengendalian hayati pun membawa beberapaa risiko tertentu. Sulit memastikan aspek
keberhasilannya. Seperti yang telah dipaparkan diatas: risiko kegagalannya lebih besar
dibandingkan keberhasilannya. Bila harus mengimpornya dari luar negeri, akan memerlukan
prosedur Perundang-Undangan Karantina yang rumit, antara lain untuk mencegah terbawanya
hiperparasit yang akan berpotensi menurunkan efektivitasnya di tempat yang baru.
Demikian pula bila mengimpor agen pengendali mikroba yang mungkin berpotensi menjadi
penyakit serangga-serangga yang berguna seperti lebah. Pengendalian hayati juga memerlukan
waktu untuk menunjukkan keberhasilannya. Umumnya setelah 3-5 tahun baru dapat dipastikan
aspek keberhasilannya.
1. Keunggulan
Tingkat keberhasilan pengendalian hama yang tinggi dengan biaya yang rendah dalam
periode waktu yang lama.
Agens pengendalian hayati aktif mencari inang atau mangsanya, tumbuh dan
berkembang mengikuti dinamika populasi inang atau mangsanya.
Pengendalian hayati tidak berpengaruh negatif terhadap manusia dan lingkungan.
Beberapa tipe agens pengendalian hayati dapat digunakan sebagai insektisida hayati.
Umumnya spesies hama tidak mampu berkembang menjadi resisten terhadap agens
pengendalian hayati.
Penelitian awal untuk mencari pemecahan masalah hama dengan pengendalian hayati
memerlukan staf teknis dan pakar yang banyak, biaya yang tinggi, waktu yang lama.
Hasil pengendalian hayati antara lain turunnya populasi hama sasaran tidak dapat dilihat
dengan segera.
- Pengendalian Alami
Dalam proses Pengendalian Alami (PA) musuh alami menekan populasi jasad pengganggu
tanpa campur tangan manusia, dan semua terjadi menurut hukum alam yang sempurna. Musuh
Alami (MA) itu sendiri dalam proses tersebut merupakan faktor hayati yang berinteraksi dengan
jasad pengganggu, yang juga dipengaruhi oleh faktor non hayati. Maksudnya, kecuali menekan
populasi jasad pengganggu dalam kegiatannya MA tersebut juga dipengaruhi oleh faktor non
hayati. Dengan sifatnya yang tergantung pada inang atau mangsanya, maka sekaligus kehidupan
musuh alami itu juga dipengaruhi oleh jasad pengganggu yang bersangkutan (Huffaker et.al;
1976), terutama parasit (oid) (Dout et.al; 1976) dan patogen (Weiser et.al; 1976). Jika faktor non
hayati lebih kuat pengaruhnya, mungkin baik MA maupun jasad pengganggunya sama-sama
tertekan. Hal itu antara lain akibat penyimpangan iklim misalnya hujan yang amat lebat,
kekeringan atau penurunan dan kenaikan suhu yang terjadi secara tiba-tiba. Karena sifat
ketergantungan MA terhadap inang atau mangsanya, maka keberadaan inang yang dibutuhkan
bagi pertumbuhan dan perkembangbiakan MA adalah mutlak. Dengan kata lain, untuk,
kesinambungan MA selalu dibutuhkan ketersediaan jasad pengganggu yang bersangkutan. Ini
berarti, untuk kelestarian MA, maka populasi jasad pengganggu tidak boleh mencapai nol, atau
tidak ada jasad pengganggu yang tersisa. Dengan lain perkataan kita tidak boleh memusnahkan
sesuatu jasad pengganggu, agar keseimbangan hayati dan alami dapat dilestarikan. Komposisi
musuh alami yang menekan populasi jasad pengganggu di suatu tempat biasanya merupakan
Kompleks Musuh Alami yang membentuk Komunitas khsus. Jika Keevolusi yakni evolusi
bersama antara jasad pengganggu dan musuh alami lainnya telah berjalan demikian lanjut, maka
komunitas yang terdiri dari jasad pengganggu dan musuh alaminya berada dalam keseimbangan
hayati, dan dengan lingkungan non hayati terjadi keseimbangan alami. Kondisi inilah yang
seharusnya selalu dipertahankan, sesuai dengan prinsip keanekaragaman hayati dalam suatu
ekosistem.
- Pengendalian Hayati
Agak berbeda dengan pengendalian alami, maka pengendalian hayati merupakan proses
penekanan populasi jasad pengganggu dengan campurtangan manusia. Pengertian ini sesuai
dengan definisi yang dikemukakan oleh Smith di muka yang tersirat dalam istilah memanfaatkan
atau menggunakan. Dalam hal ini yang dimanfaatkan atau digunakan yakni MA sedangkan yang
menggunakan atau memanfaatkan adalah manusia. Jadi jelas ada campurtangan manusia dalam
setiap upaya PH. Dalam berbagai pustaka antara lain yang dikemukakan oleh Simmonds (1970)
dan juga Bosch et al. (1982) yang menyitir difinisi yang dikemukakan oleh Debach (1964),
bahwa PH adalah “Kegiatan parasit, pemangsa dan patogen dalam menekan kepadatan populasi
suatu jenis organisme lain pada suatu tingkat rata-rata yang lebih rendah dibanding dalam
kondisi yang terjadi ketika mereka tidak ada (absen)”. Berdasarkan definisi itu timbulah istilah
yang menyamakan pengendalian alami sebagai “Pengendalian hayati yang terjadi secara alami
(Naturally Biological Control (NBC)”. Istilah NBC masih perlu ditelaah karena sepintas lalu
memang logis, tetapi kalau diperhatikan lebih dalam sesungguhnya tersirat makna yang kurang
logis, sehingga rancu. Penulis tidak sependapat dengan istilah terakhir untuk memberi makna
pada pengendalian alami dengan NBC, karena hal itu akan merancukan pengertian. Kerancuan
itu terjadi karena istilah NBC tidak dipilahkan antara proses yang terjadi di alam tanpa campur
tangan manusia dan proses yang terjadi dengan campur tangan manusia. Kita harus konsisten
dengan kata pemanfaatan atau penggunaan (the use) yang maknanya ada sesuatu atau seseorang
yang menggunakan. Dalam hal ini yang menggunakan musuh alami adalah manusia. Dengan
demikian kita dapat membedakan secara tegas antara pengendalian alami dan hayati berdasarkan
pemahaman ada tidaknya campur tangan manusia sebagai pihak yang menggunakan musuh
alami sebagai agens pengendalian hayati.
Penulis menduga bahwa istilah NBC muncul, karena mungkin dulu ada penulis yang
belum memasukan komponen manusia dalam ekosistem. Kini hampir dalam tiap pemaparan
ekosistem, komponen manusian telah dimasukan dalam ekosistem. Oleh karena itu istilah
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) disempurnakan menjadi Pengelolaan Hama Terpadu (juga
disingkat PHT), karena keberadaan komponen manusia sebagai pengelola ekosistem dinilai
penting.
· Penggunaan pestisida
· Tidak dapat digunakan untuk mengendalikan hama baru karena inangnya spesifik
· Perlu waktu tertentu dalam aplikasinya (utamanya jenis jamur,bacteri & virus)
· Inang tersedia
Sebagai konsekuensi penggunaan istilah dengan pengertian baku yang jelas, antara
pengertian Musuh Alami dan Agensia Pengendali Hayati (APH) yang dialih bahasakan dari
Biological Control Agents (BCA) perlu dibedakan. Di forum nasional, khususnya Pusat
Karantina Tumbuhan (PUSKARA) kini menggunakan istilah “Agensia Hayati” sebagai alih
bahasa dari Biotic agents, termasuk di dalamnya BCA sehingga dalam kegiatan rapat dinas yang
diadakan setahun sekali ada Komisi Agensia Hayati, karena dalam tugasnya juga mengurusi
jasad hidup lain yang tidak termasuk MA. Adapun makna Agensia Pengendali Hayati adalah
Musuh Alami yang sudah atau sedang digunakan sebagai sarana (agens) untuk Pengendalian
Hayati. Berdasarkan cara kerja atau sifatnya musuh alami dapat dikelompokan menjadi 3
kelompok yaitu Predator, Parasitoid dan Patogen. Patogen antara lain berasal dari kelompok
Virus, Bakteri, Cendawan dan Nematoda.
1. Predator
Predator adalah adalah hewan / binatang yang memangsa hama. Pada umumnya serangga
predator pra dewasa dan dewasa hidup dalam habitat yang sama. Telur-telur predator akan
diletakan didekat mangsanya atau didalam habitat mangsanya.
Burung Hantu, Anjing, ular; dan sebagainya Sebagai predator / pemangsa hama tikus.
2. Parasitoid
Parasitoid adalah serangga yang memarasit atau hidup dan berkembang dengan menumpang
serangga lain (inang)
3. Patogen
Patogen adalah jasad renik (mikroorganisme : Cendawan bakteri, virus, Nematoda =)
yang menyebabkan infeksi dan menimbulkan penyakit pada Organisme Pengganggu Tanaman
(OPT).Beauveria bassiana, adalah cendawan entomopatogen untuk wereng batang coklat,
Walang sangit, Ulat Grayak, kutu kebul, Aphis ,dsb. Metarizium sp adalah cendawan
entomopatogen untuk mengendalikan hama wereng batang coklat, kutu kebul Uret, Kumbang
Kelapa, Kutu Bubuk Kopi dsb. Apabila yang terserang / mengintervensi aktifitas patogen
penyebab penyakit tanaman baik fase parasitik maupun saprofitik disebut agens antagonis
1. Trichoderma sp dan Gliocladium sp adalah cendawan antagonis untuk penyakit tular tanah
(Fusarium oxisporum, Pythium sp, Sclerotium sp, Antraknosa sp.).
Agak berbeda dengan Pengendalian Alami, maka Pengendalian Hayati merupakan proses
penekanan populasi jasad pengganggu dengan campur tangan manusia. Dalam hal ini yang
dimanfaatkan yakni musuh alamii sedangkan yang memanfaatkan adalah manusia jadi jelas ada
campur tangan manusia.
1) Pengendalian hayati dalam arti sempit (entomologist) diartikan sebagai “Kegiatan parasit,
Pemangsa (Predator) dan Patogen dalam menekan kepadatan populasi organisme lain supaya
senantiasa berada pada suatu tingkat yang lebih rendah .
2) Pengendalian Hayati dalam arti luas : mencakup manipulasi genetic, antibiotik dan obat-
obatan,: tanaman yang resisten, binatang/hewan yang resisten terhadap patogen, parasit dan
predator.
3) Pengendalian hayati penyakit tumbuhan yaitu kegiatan yang dapat mengurangi kepadatan
inokulum atau menekan aktifitas patogen/parasit dalam menimbulkan penyakit, baik dalam
kondisi dorman atau aktif yang dilakukan oleh salah satu atau lebih organisme, dan terlaksana
secara alami atau melalui manipulasi lingkungan, inang (tumbuhan), agens antagonis atau
melalui introduksi masal dari satu atau lebih agens antagonis.
Oleh karena itu seseorang yang akan bekerja dengan agens pengendali hayati, ia juga harus
memiliki pengetahuan mengenai patogen tumbuhan dan factor lingkungan baik biotic maupun
abiotik yang mempengaruhinya antara lain : persaingan hidup, parasitisme, antibiosis dll. Hal
tersebut perlu diketahui agar dapat melakukan manipulasi yang lebih menguntungkan agens
hayati dan atau lebih merugikan inangnya dalam hal ini adalah patogen tumbuhan.
Keberhasilan pengendlaian hayati antara lain dipengaruhi oleh ketepatan dan pemilihan species
yang digunakan untuk mengendalikan Hama Penyakit sehingga perlu diperhatikan hal-hal
sebagai berikut :
Dikenal 3 strategi yang dikemukakan Cook (1991) untuk pengendalian hayati, yaitu :
Sistim pertahanan yang eksklusif, (daun/akar berasosiasi dengan mikro Organisme yang dapat
menjadi benteng pertahanan dari infeksi hama)
Sistim pertahanan sendiri (diperoleh secara keturunan atau lewat Varietas Unggul Tahan Hama)
Pengetahuan khusus mengenai biologi musuh alami seperti predator dan parasitoid sangat
mutlak diuperlukan sebagai dasar dalam mempertinggi efisiensi musuh alami baik saat dipelihara
secara massal di laboratorium atau peranannya di lapangan.
Berikut ini adalah langkah-langkah yang perlu dilalui dalam memproduksi agens hayati
sehingga dapat dikomersialkan
3) Uji Keamanan (aman bagi pengguna, lingkungan termasuk organisme non sasaran), pakar
bersama petani atau cukup uji laboratorium.
8) Potensi pasar.
a) Konservasi
Menurut Rukmana. dan sugandi, ( 2002). Musuh alami mempunyai andil yang sangat
besar dalam pembangunan pertanian berwawasan lingkungan karena daya kendali terhadap
hama cukup tinggi dan tidak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Agar upaya
ini dapat berlangsung dan berkesinambungan secara terus-menerus musuh alami perlu dijaga
kelestariaanya. Melindungi dan mempertinggi populasi musuh alami yang dapat digunakan
sebagai pengendali hama yang ada dialam baik sebagai parasitoid, predator maupun patogen.
Tujuannya adalah menghindari tindakan-tindakan yang dapat mengganggu kelestarian
populasi musuh alami misalnya dengan memakai sistem tanam yang lebih beraneka ragam,
menanam dan melestarikan tanaman berbunga sebagai makanan dari musuh alami, menekan
pemakaian pestisida yang berlebihan, melestarikan tanman liar yang mendukung inang
alternatif parasitoid atau mangsa alternatif predator.
b) Introduksi
Menambah atau memasukan populasi musuh alami yang digunakan dalam jumlah
banyak( perbanyakan di laboratorium) untuk pengendali baik sebagai parasitoid, predator
maupun patogen. Teknik introduksi atau importasi musuh alami seringkali disebut sebagai
praktek klasik pengendalian hayati. Hal ini disebabkan karena sejak diketahui sebagian besar
usaha pengendalian hayati menggunakan teknik introduksi. Keberhasilan teknik introduksi
misalnya pada : introduksi kumbang Vedalia, Rodolia carnidalis dari benua Australia yang
menyerang perkebunan jeruk dikalifornia untuk mengendalikan hama kutu perisai Icerya
purchasi.
Keberhasilan ini kemudian dicobakan pada hama-hama lain dan banyak juga yang
berhasil baik secara lengkap, subtansial maupun parsial.
Menurut Untung ( 2006 ) ada beberapa langkah klasik yang dapat ditempuh untuk
melakukan introduksi musuh alami pada suatu tempat. Langkahlangkah dapat dilakukan
dengan urutan sebagai berikut :
c) Augmentasi
Teknik Augmentasi adalah upaya peningkatan jumlah dan pengaruh musuh alami yang
sebelunya telah berfungsi di ekosistem tersebut, baik dengan cara pelepasan sejumlah tambahan
baru maupun dengan cara memodifikasi ekosistem sedemikian rupa sehingga jumlah dan
kemamgusan musuh alami dapat ditingkatkan. Pelepasan secara augmentasi ini akan berhasil bila
dilakukan secara periodik. Ada 3 cara pelepasan pereodik ádalah sebagai berikut:
1) Pelepasan Inokulatif. Pelepasan musuh alami dilakukan satu kali dalam satu musim
atau dalam satu tahun dengan tujuan musuh alami dapat mengadakan kolonisasi dan
menyebarluas secara alami sehingga dapat menjaga keseimbangan.
2) Pelepasan Suplemen. Pelepasan dilakukan setelah kegiatan sampling diketahui
populasi hama mulai meninggalkan populasi musuh alaminya. Tujuannya adalah
untuk membantu musuh alami yang sudah ada agar kembali berfungsi dan dapat
mengendalikan populasi hama.
Pelepasan ini diharapkan agar individu-individu musuh alami yang dilepas secara
sekaligus dapat menurunkan populasi hama secara cepat terutama setelah ratusan ribu
atau jutaan individu parasitoid atau predator dilepaskan. Ada 2 cara Augmentasi :
Pelepasan inundatif parasitoid sering disebut penggunaan Insektisida biologi karena
musuh alami diharapkan dapat bekerja secepat insektisida kimia dalam penurunan
populasi hama, memanipulasi atau memodifikasi ekosistem : Sehingga ekosistem tersebut
lebih mendorong peningkatan populasi dan efektifitas serta efisiensi musuh alami.
Sesuai dengan konsep dasar Pengendalian Hama Terpadu ( PHT ), pengendalian hayati
memegang peranan yang sangat penting karena pengendalian ini sangat menentukan semua
usaha teknik pengendalian yang lain secara bersamaan ditujukan untuk mempertahankan dan
memperkuat berfungsi dari musuh alami sehingga populasi hama tetap berada dibawah
ambang ekonomi. Pengendalian hama terpadu (PHT) adalah pengendalian hama yang
memiliki dasar ekologis dan menyadarkan diri pada faktor-faktor mortalitas alami seperti
musuh alami dan cuaca serta mencari teknik pengendalian yang mendatangkan gangguan
sekecil mungkin terhadap faktor-faktor tesebut. PHT menggunakan pestisida hanya setelah
adanya pemantauan populasi hama yang sistemis dan pemamtauan musuh alami menunjukan
diperlukannya penggunaan pestisida. Secara ideal program pengendalian hama terpadu,
mempertimbangkan semua kegiatan pengendalian hama yang ada. Dalam PHT musuh alami,
cara-cara bercocok tanam, varietas tanaman, agensia mikrobia, memanipulasi genetik,
senyawa kimia tertentu ( seperti sex attraktan/penarik serangga kelamin tertentu ) dan
pestisida menjadi faktor tergabung dalam proses pengendalian hama.
Prinsip dasar PHT bukan bertujuan atau cara pengendalian melainkan suatu metode
ilmiah untuk mengendalikan hama (OPT) agar secara ekonomis tidak merugikan, dan untuk
mempertahankan kelestarian lingkungan. Untuk mencapai Sasaran atau tujuan dari PHT
yaitu : Produktivitas pertanian mantap tinggi, kesejahteraan petani meningkat, populasi hama
atau kerusakan yang ditimbulkannya secara ekonomis tidak merugikan, kualitas dan
keseimbangan lingkungan terpelihara.
Selain sasaran dan tujuan, yang tidak kalah penting adalah adanya Strategi PHT. Strategi
Pengendalian Hama Terpadu yaitu dengan cara : Memadukan semua teknik atau metode
pengendalian hama secara optimal baik secara ekologis maupun secara ekonomis,
pengendalian hama ( OPT ) lebih menekankan pada : cara-cara nonkimiawi ( budidaya
tanaman sehat dan pemanfaatan musuh alami). Penggunaan pesticida selektif pada saat
populasi hama mencapai ambang ekonomi atau abang pengendali hama OPT Selain PHt
ekologi ada juga teknologi PHT dengan cara : Pengelolaan ekosistem dengan cara bercocok
tanam, penggunaan varietas yang tahan hama OPT, pengendalian secara fisik atau mekanik,
Pengendalian secara genetik (jantan mandul), penggunaan pestisida secara selektif,
penggunaan OPT dengan peraturan atau karantina.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adnan, A.M. dkk. 2005. Peranan Pengendali Hayati Dalam Pengendalian Hama Jagung di
Alabouvette, Claude et al. 2006. Biological control of plant diseases: the European situation.
Altieri, M.A. et al. 1997. Biological Control and Agricultural Modernization: Towards
Cowie, R.H. 2001. Can Snails Ever be Effective and Safe Biocontrol Agents?. International
Flint L. M dan Van den Bosch. R, (2000). Pengendalian Hama Terpadu, Sebuah Pengantar.
Gould, Fred and Paul Schliekelman. 2004. Population Genetics of Autocidal Control and Strain
Thresher, Ronald E. 2007. Genetic Options for The Control of Invasive Vertebrate Pests:
Prospects and Constraints. J. Managing Vertebrate Invasive Species. Hal. 317- 331.
Lih. Altieri, M.A. et al. 1997. Biological Control and Agricultural Modernization: Towards
Kanisius.Yogyakarta.