Anda di halaman 1dari 11

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Ilmu fikih merupakan salah satu ilmu yang terus berkembang dan
berbeda dengan ilmu yang lain seperti aqidah, akhlak, Al-Qur`an dan hadis, yang
kesemuanya itu hanya memperdalam dari setiap permasalahan. Lain halnya
dengan ilmu fikih yang tiap saat terus berkembang disesuaikan dengan
kemajuan zaman. Masalah-masalah fikiyah yang ada saat ini beragam macamnya
yang semula pada saat Rasulullah tidak ada dan tidak muncul, sehingga para
ilmuwan fikih (ulama) membuat kesepakatan berupa ijma dan fatwa-fatwa.
Keprihatinan yang dalam akan kita rasakan, jika kita melihat ulah
generasi muda Islam saat ini yang cenderung liar dalam bermain musik atau
bernyanyi.Mungkin mereka berkiblat kepada penyanyi atau kelompok musik
terkenal yang umumnya memang bermental negatif dan tidak berpegang dengan
nilai-nilai Islam. Atau mungkin juga mereka cukup sulit dan jarang mendapatkan
teladan permainan musik dan nyanyian yang Islami di tengah
suasana moderenisasi yang mendominasi kehidupan saat ini. Alhasil, generasi
muda Islam akhirnya cenderung mengikutikepada para pemusik atau penyanyi
yang sering mereka saksikan atau dengar di TV, radio, kaset, VCD, dan berbagai
media lainnya.
Tak dapat diingkari, kondisi memprihatinkan tersebut tercipta karena
sistem kehidupan kita telah menganut paham sekularisme (sebuah ideologi yang
menyatakan bahwa sebuah institusi harus berdiri terpisah dari agama atau
kepercayaan) yang sangat bertentangan dengan Islam. Sekularisme sebenarnya
tidak sekedar terwujud dalam pemisahan agama dari dunia politik, tetapi juga
nampak dalam pemisahan agama dari urusan seni budaya, termasuk seni musik
dan seni vokal (nyanyian).
Kondisi ini harus segera diakhiri dengan jalan mendobrak dan
merobohkan sistem kehidupan sekuler yang ada, lalu di atas reruntuhannya kita
bangun sistem kehidupan Islam, yaitu sebuah sistem kehidupan yang berasaskan
semata pada Aqidah Islamiyah sebagaimana dicontohkan Rasulullah SAW dan
para shahabatnya. Inilah solusi terhadap kondisi kehidupan yang sangat rusak
dan buruk sekarang ini, sebagai akibat penerapan paham sekulerisme yang
kufur. Namun demikian, di tengah perjuangan kita mewujudkan kembali
masyarakat Islami tersebut, bukan berarti kita saat ini tidak berbuat apa-apa dan
hanya berpangku tangan menunggu perubahan. Tidak demikian. Kita tetap wajib
melakukan Islamisasi pada hal-hal yang dapat kita jangkau dan dapat kita
lakukan, seperti halnya bermain musik dan bernyanyi sesuai ketentuan Islam
dalam ruang lingkup kampus kita atau lingkungan kita.

1
Tulisan ini bertujuan menjelaskan secara ringkas hukum musik dan
menyanyi dalam pandangan fiqih Islam. Diharapkan, norma-norma Islami yang
disampaikan dalam makalah ini tidak hanya menjadi bahan perdebatan akademis
atau menjadi wacana semata, tetapi juga menjadi acuan dasar untuk
merumuskan bagaimana bermusik dan bernyanyi dalam perspektif Islam. Selain
itu, tentu saja perumusan tersebut diharapkan akan bermuara pada pengamalan
konkret di lapangan, berupa perilaku Islami yang nyata dalam aktivitas bermain
musik atau melantunkan lagu, minimal di kampus atau lingkungan kita berada.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan hal-hal sebagai berikut :
1. Apa itu musik ?
2. Apakah halal atau haram musik bagi umat Islam ?
3. Mengapa musik diharamkan bagi umat Islam ?
4. Musik seperti apa yang diharamkan dan dihalalkan oleh agama Islam ?
5. Apa saja kategori musik yang dihalalkan dalam Islam ?

1.3 TUJUAN MASALAH


Dari rumusan masalah di atas maka dapat diambil tujuan sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian musik.
2. Untuk mengetahui halal atau haramkah musik bagi umat Islam.
3. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mengharamkan musik.
4. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menghalalkan musik.
5. Untuk mengetahui kategori musik yang dihalalkan bagi umat Islam.

2
BAB 2
PEMBAHASAN MATERI

2.1 PENGERTIAN MUSIK

Karena bernyanyi dan bermain musik adalah bagian dari seni, maka kita
akan meninjau lebih dahulu definisi seni, sebagai proses pendahuluan untuk
memahami fakta (fahmul waqi’) yang menjadi objek penerapan
hukum. Dalam Ensiklopedia Indonesia disebutkan bahwa seni adalah penjelmaan
rasa indah yang terkandung dalam jiwa manusia, yang dilahirkan dengan
perantaraan alat komunikasi ke dalam bentuk yang dapat ditangkap oleh indra
pendengaran (seni suara), indra penglihatan (seni lukis), atau dilahirkan dengan
perantaraan gerak (seni tari dan drama).
Adapun seni musik (instrumental art) adalah seni yang berhubungan
dengan alat-alat musik dan irama yang keluar dari alat-alat musik tersebut. Seni
musik membahas antara lain cara memainkan instrumen musik, cara membuat
not, dan studi bermacam-macam aliran musik. Seni musik ini bentuknya dapat
berdiri sendiri sebagai seni instrumentalia (tanpa vokal) dan dapat juga disatukan
dengan seni vokal. Seni instrumentalia, seperti telah dijelaskan di atas, adalah
seni yang diperdengarkan melalui media alat-alat musik. Sedang seni vokal,
adalah seni yang diungkapkan dengan cara melagukan syair melalui perantaraan
oral (suara saja) tanpa iringan instrumen musik. Seni vokal tersebut dapat
digabungkan dengan alat-alat musik tunggal (gitar, biola, piano, dan lain-lain)
atau dengan alat-alat musik majemuk seperti band, orkes simfoni, karawitan,
dan sebagainya

2.2 HUKUM MELANTUNKAN NYANYIAN


Menyanyi merupakan seni, seni yang diungkapkan atau diekspresikan
melalui suara. Bagi sebagian orang, menyanyi merupakan salah satu cara untuk
mengutarakan perasaan dan ada pula yang menjadikan menyanyi adalah sebuah
pekerjaan untuk menghidupi kehidupannya. Namun menyanyi dalam Islam
terdapat perbedaan pendapat, ada yang menyatakan bahwa menyanyi itu
haram, dan ada pula yang berpendapat bahwa menyanyi itu halal.

3
2.2.1 DALIL YANG MENGHARAMKAN NYANYIAN
1. Berdasarkan firman Allah SWT dalam Q.S. Lukman ayat 6 :

Artinya :
“Dan di antara manusia ada orang yang mempergunakan perkataan yang
tidak berguna (lahwal hadits) untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah tanpa
pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu ejekan. Mereka itu akan
memperoleh adzab yang menghinakan.”
Beberapa ulama menafsirkan maksud lahwal hadits ini sebagai nyanyian, musik
atau lagu, di antaranya al-Hasan, al-Qurthubi, Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud.

2. Hadits Abu Malik Al-Asy’ari ra bahwa Rasulullah SAW bersabda :

“Sesungguhnya akan ada di kalangan umatku golongan yang menghalalkan zina,


sutera, arak, dan alat-alat musik (al-ma’azif).” [HR. Bukhari, Shahih Bukhari,
hadits no. 5590]

3. Hadits Aisyah ra Rasulullah SAW bersabda :


“Sesungguhnya Allah mengharamkan nyanyian-nyanyian (qoynah) dan
menjual belikannya, mempelajarinya atau mendengar-kannya.” Kemudian beliau
membacakan ayat di atas. [HR. Ibnu Abi Dunya dan Ibnu Mardawaih].

4. Hadits dari Ibnu Mas’ud ra, Rasulullah SAW bersabda :


“Nyanyian itu bisa menimbulkan nifaq, seperti air menumbuhkan kembang.” [HR.
Ibnu Abi Dunya dan al-Baihaqi, hadits mauquf].

5. Hadits dari Abu Umamah ra, Rasulullah SAW bersabda :


“Orang yang bernyanyi, maka Allah SWT mengutus padanya dua syaitan yang
menunggangi dua pundaknya dan memukul-mukul tumitnya pada dada si
penyanyi sampai dia berhenti.” [HR. Ibnu Abid Dunya.].

4
6. Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Auf ra bahwa Rasulullah SAWbersabda :
“Sesungguhnya aku dilarang dari suara yang hina dan sesat, yaitu: 1. Alunan
suara nyanyian yang melalaikan dengan iringan seruling syaitan (mazamirus
syaithan). 2. Ratapan seorang ketika mendapat musibah sehingga menampar
wajahnya sendiri dan merobek pakaiannya dengan ratapan syetan (rannatus
syaithan).”

2.2.2 DALIL YANG MENGHALALKAN NYANYIAN


1. Firman Allah SWT dalam Q.S. Al Maidah ayat 87 :

Artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang
baik yang telah Allah halalkan bagi kamu dan janganlah kamu melampaui batas,
sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas.”

2. Hadits dari Nafi’ ra :


Aku berjalan bersama Abdullah Bin Umar ra. Dalam perjalanan kami mendengar
suara seruling, maka dia menutup telinganya dengan telunjuknya terus berjalan
sambil berkata; “Hai Nafi, masihkah kau dengar suara itu?” sampai aku
menjawab tidak. Kemudian dia lepaskan jarinya dan berkata; “Demikianlah yang
dilakukan Rasulullah SAW.” [HR. Ibnu Abid Dunya dan al-Baihaqi].

3. Ruba’i Binti Mu’awwidz Bin Afra berkata:


Nabi SAW mendatangi pesta perkawinanku, lalu beliau duduk di atas dipan
seperti dudukmu denganku, lalu mulailah beberapa orang hamba perempuan
kami memukul gendang dan mereka menyanyi dengan memuji orang yang mati
syahid pada perang Badar. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka berkata :
“Diantara kita ada Nabi SAW yang mengetahui apa yang akan terjadi kemudian.”
Maka Nabi SAW bersabda : “Tinggalkan omongan itu. Teruskanlah apa yang
kamu (nyanyikan) tadi.” [HR. Bukhari, dalam Fâth al-Bârî, juz. III, hal. 113, dari
Aisyah ra]

5
4. Dari Aisyah ra :
Dia pernah menikahkan seorang wanita kepada pemuda Anshar. Tiba-tiba
Rasulullah Saw bersabda:
“Mengapa tidak kalian adakan permainan karena orang Anshar itu suka pada
permainan.” [HR. Bukhari].

5. Dari Abu Hurairah ra :


Sesungguhnya Umar melewati shahabat Hasan sedangkan ia sedang
melantunkan sya’ir di masjid. Maka Umar memicingkan mata tidak setuju. Lalu
Hasan berkata: “Aku pernah bersyi’ir di masjid dan di sana ada orang yang lebih
mulia daripadamu (yaitu Rasulullah Saw)” [HR. Muslim, juz II, hal. 485].

Berdasarkan pemaparan diatas, kita dapat memahami bahwa nyanyian


ada yang diharamkan dan ada yang dihalalkan. Nyanyian haram didasarkan pada
dalil-dalil yang mengharamkan nyanyian, yaitu nyanyian yang disertai dengan
kemaksiatan atau kemunkaran, baik berupa perkataan (qaul), perbuatan (fi’il),
atau sarana (asy-yâ’), misalnya disertai khamr, zina, penampakan
aurat, ikhtilath (campur baur pria–wanita), atau syairnya yang bertentangan
dengan syara’, misalnya mengajak pacaran, mendukung pergaulan bebas,
mempropagandakan sekularisme, liberalisme, nasionalisme, dan
sebagainya. Nyanyian halal didasarkan pada dalil-dalil yang menghalalkan, yaitu
nyanyian yang kriterianya adalah bersih dari unsur kemaksiatan atau
kemunkaran. Misalnya nyanyian yang syairnya memuji sifat-sifat Allah SWT,
mendorong orang meneladani Rasul, mengajak taubat dari judi, mengajak
menuntut ilmu, menceritakan keindahan alam semesta.

2.3 HUKUM MENDENGARKAN NYANYIAN


2.3.1 HUKUM MENDENGARKAN NYANYIAN (SAMA’ AL-GHINA’)
Hukum menyanyi tidak dapat disamakan dengan hukum mendengarkan
nyanyian. Sebab memang ada perbedaan antara melantunkan lagu (at-taghanni
bi al-ghina’) dengan mendengar lagu (sama’ al-ghina’). Hukum melantunkan lagu
termasuk dalam hukum af-‘âl (perbuatan) yang hukum asalnya wajib terikat
dengan hukum syara’ (at-taqayyud bi al-hukm asy-syar’i). Sedangkan
mendengarkan lagu, termasuk dalam hukum af-‘âl jibiliyah, yang hukum asalnya
mubah. Af-‘âl jibiliyyah adalah perbuatan-perbuatan alamiah manusia, yang
muncul dari penciptaan manusia, seperti berjalan, duduk, tidur, menggerakkan
kaki, menggerakkan tangan, makan, minum, melihat, membaui, mendengar, dan
sebagainya. Perbuatan-perbuatan yang tergolong kepada af-‘âl jibiliyyah ini
hukum asalnya adalah mubah, kecuali ada dalil yang mengharamkan.

6
Maka dari itu, melihat perbuatan jibiliyyah hukum asalnya adalah boleh
(ibahah). Jadi, melihat apa saja adalah boleh, apakah melihat gunung, pohon,
batu, kerikil, mobil, dan seterusnya. Masing-masing ini tidak memerlukan dalil
khusus untuk membolehkannya, sebab melihat itu sendiri adalah boleh menurut
syara’. Hanya saja jika ada dalil khusus yang mengaramkan melihat sesuatu,
misalnya melihat aurat wanita, maka pada saat itu melihat hukumnya haram.
Demikian pula mendengar. Perbuatan mendengar termasuk perbuatan
jibiliyyah, sehingga hukum asalnya adalah boleh. Mendengar suara apa saja
boleh, apakah suara gemericik air, suara halilintar, suara binatang, juga suara
manusia termasuk di dalamnya nyanyian. Hanya saja di sini ada sedikit catatan.
Jika suara yang terdengar berisi suatu aktivitas maksiat, maka meskipun
mendengarnya mubah, ada kewajiban amar ma’ruf nahi munkar, dan tidak boleh
mendiamkannya. Misalnya kita mendengar seseorang mengatakan, “Saya akan
membunuh si Fulan !” Membunuh memang haram. Tapi perbuatan kita
mendengar perkataan orang tadi, sebenarnya adalah mubah, tidak haram. Hanya
saja kita berkewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar terhadap orang
tersebut dan kita diharamkan mendiamkannya.
Demikian pula hukum mendengar nyanyian. Sekedar mendengarkan
nyanyian adalah mubah, bagaimanapun juga nyanyian itu. Sebab mendengar
adalah perbuatan jibiliyyah yang hukum asalnya mubah. Tetapi jika isi atau syair
nyanyian itu mengandung kemungkaran, kita tidak dibolehkan berdiam diri dan
wajib melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Nabi SAW bersabda :“Siapa saja di
antara kalian melihat kemungkaran, ubahlah kemungkaran itu dengan tangannya
(kekuatan fisik). Jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya (ucapannya). Jika
tidak mampu, ubahlah dengan hatinya (dengan tidak meridhai). Dan itu adalah
selemah-lemah iman.” [HR. Imam Muslim, an-Nasa’i,Abu Dawud dan Ibnu
Majah].

2.3.2 HUKUM MENDENGAR NYANYIAN SECARA INTERAKTIF


(ISTIMA’ AL-GHINA’)
Penjelasan sebelumnya adalah hukum mendengar nyanyian (sama’ al-
ghina’). Ada hukum lain, yaitu mendengarkan nyanyian secara interaktif (istima’ li
al-ghina’). Dalam bahasa Arab, ada perbedaan antara mendengar (as-sama’)
dengan mendengar-interaktif (istima’). Mendengar nyanyian (sama’ al-ghina’)
adalah sekedar mendengar, tanpa ada interaksi misalnya ikut hadir dalam proses
menyanyinya seseorang. Sedangkan istima’ li al-ghina’, adalah lebih dari sekedar
mendengar, yaitu ada tambahannya berupa interaksi dengan penyanyi, yaitu
duduk bersama sang penyanyi, berada dalam satu forum, berdiam di sana, dan
kemudian mendengarkan nyanyian sang penyanyi. Jadijika mendengar nyanyian
(sama’ al-ghina’) adalah perbuatan jibiliyyah, sedang mendengar-menghadiri
nyanyian (istima’ al-ghina’) bukan perbuatan jibiliyyah.

7
Jika seseorang mendengarkan nyanyian secara interaktif dan nyanyian
serta kondisi yang melingkupinya sama sekali tidak mengandung unsur
kemaksiatan atau kemungkaran, maka orang itu boleh mendengarkan nyanyian
tersebut.
Adapun jika seseorang mendengar nyanyian secara interaktif (istima’ al-
ghina’) dan nyanyiannya adalah nyanyian haram, atau kondisi yang
melingkupinya haram (misalnya ada ikhthilat) karena disertai dengan
kemaksiatan atau kemunkaran, maka aktivitasnya itu adalah haram. Allah SWT
berfirman dalam Q.S. An Nisa ayat 140 :

Artinya :
“Dan sudah turun kepadamu dalam Kitab bahwa apabila kamu mendengar ayat-
ayat Allah [dibacakan], mereka ditolak [oleh mereka] dan diejek, jadi jangan
duduk bersama mereka sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain.
Memang, Anda kemudian akan menjadi seperti mereka. Sesungguhnya Allah
akan mengumpulkan orang-orang munafik dan kafir di Neraka bersama-sama.”

2.4 HUKUM MEMAINKAN ALAT MUSIK


Secara tekstual ada satu jenis alat musik yang dengan jelas diterangkan
kebolehannya dalam hadits, yaitu ad-duff atau al-ghirbal, atau rebana. Sabda
Nabi SAW : “Umumkanlah pernikahan dan tabuhkanlah untuknya rebana
(ghirbal).” [HR. Ibnu Majah]. Adapun selain alat musik ad-duff / al-ghirbal, maka
ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharamkan dan ada pula yang
menghalalkan. Dalam hal ini penulis cenderung kepada pendapat Syaikh
Nashiruddin al-Albani. Menurut Syaikh Nashiruddin al-Albani hadits-hadits yang
mengharamkan alat-alat musik seperti seruling, gendang, dan sejenisnya,
seluruhnya dha’if (lemah, tidak berguna).
Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya Al-Muhalla, juz VI, halaman 59
mengatakan: “Jika belum ada perincian dari Allah SWT maupun Rasul-Nya
tentang sesuatu yang kita perbincangkan di sini [dalam hal ini adalah nyanyian
dan memainkan alat-alat musik], maka telah terbukti bahwa ia halal atau boleh
secara mutlak.”

8
Kesimpulannya, memainkan alat musik apa pun, adalah mubah. Inilah
hukum dasarnya. Kecuali jika ada dalil tertentu yang mengharamkan, maka pada
saat itu suatu alat musik tertentu adalah haram. Jika tidak ada dalil yang
mengharamkan, kembali kepada hukum asalnya, yaitu mubah.

2.5 PEDOMAN UMUM NYANYIAN DAN MUSIK ISLAMI


Setelah menerangkan berbagai hukum di atas, kali ini akan
dijelaskan pedoman umum mengenai nyanyian dan musik yang Islami dalam
bentuk yang lebih rinci dan operasional. Pedoman ini disusun atas di prinsip
dasar, bahwa nyanyian dan musik Islami wajib bersih dari segala unsur
kemaksiatan atau kemungkaran, seperti diuraikan di atas. Setidaknya ada 4
komponen pokok yang harus diislamisasikan, hingga tersuguh sebuah nyanyian
atau alunan musik yang indah (Islami).
1. Musisi/Penyanyi
a. Bertujuan menghibur dan menggairahkan perbuatan baik (khayr / ma’ruf) dan
menghapus kemaksiatan, kemungkaran, dan kezhaliman. Misalnya, mengajak
jihad fisabilillah, mengajak mendirikan masyarakat Islam. Atau menentang judi,
menentang pergaulan bebas, menentang pacaran, menentang kezaliman
penguasa sekuler.
b. Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar (meniru orang kafir dalam masalah yang
bersangkutpaut dengan sifat khas kekufurannya) baik dalam penampilan maupun
dalam berpakaian. Misalnya, mengenakan kalung salib, berpakaian ala pastor
atau bhiksu, dan sejenisnya.
c. Tidak menyalahi ketentuan syara’, seperti wanita tampil menampakkan aurat,
berpakaian ketat dan transparan, bergoyang pinggul, dan sejenisnya. Atau yang
laki-laki memakai pakaian dan/atau asesoris wanita, atau sebaliknya, yang
wanita memakai pakaian dan/atau asesoris pria. Ini semua haram.

2. Instrumen / Alat Musik


Dengan memperhatikan instrumen atau alat musik yang digunakan para
shahabat, maka di antara yang mendekati kesamaan bentuk dan sifat adalah :
a. Memberi kemaslahatan bagi pemain ataupun pendengarnya. Salah satu
bentuknya seperti genderang untuk membangkitkan semangat.
b. Tidak ada unsur tasyabuh bil-kuffar dengan alat musik atau bunyi instrumen
yang biasa dijadikan sarana upacara non muslim.
Dalam hal ini, instrumen yang digunakan sangat relatif tergantung maksud si
pemakainya. Dan perlu diingat, hukum asal alat musik adalah mubah, kecuali
ada dalil yang mengharamkannya.

9
3. Sya’ir / Lirik Lagu
Berisi :
a. Amar ma’ruf (menuntut keadilan, perdamaian, kebenaran dan sebagainya)
dan nahi munkar (menghujat kedzaliman, memberantas kemaksiatan, dan
sebagainya).
b. Memuji Allah, Rasul-Nya dan ciptaan-Nya.
c. Berisi ‘ibrah dan menggugah kesadaran manusia.
d. Tidak menggunakan ungkapan yang dicela oleh agama.
e. Hal-hal mubah yang tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.
Tidak berisi :
a. Amar munkar (mengajak pacaran, dsb) dan nahi ma’ruf (mencela jilbab,dsb).
b. Mencela Allah, Rasul-Nya, al-Qur’an.
c. Berisi “bius” yang menghilangkan kesadaran manusia sebagai hamba Allah.
d. Ungkapan yang tercela menurut syara’ (porno, tak tahu malu, dan sebagainya).
e. Segala hal yang bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam.

4. Waktu Dan Tempat


a. Waktu mendapatkan kebahagiaan (waqtu sururin) seperti pesta pernikahan, hari
raya, kedatangan saudara, mendapatkan rizki, dan sebagainya.
b. Tidak melalaikan atau menyita waktu beribadah (yang wajib).
c. Tidak mengganggu orang lain (baik dari segi waktu maupun tempat).
d. Pria dan wanita wajib ditempatkan terpisah (infishal) tidak boleh ikhtilat (campur
baur).

10
BAB 3
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa menyanyi,
mendengarkan musik, maupun memainkan alat musik merupakan mubah (boleh)
selama hal tersebut tidak berlebihan / tidak melanggar norma agama yang
berlaku di masyarakat, tidak merugikan diri sendiri dan orang lain, dan juga tidak
membuat kita lalai / lupa terhadap kewajiban kepada Allah SWT.

3.2 SARAN
Demikianlah kiranya apa yang dapat penulis sampaikan
mengenai musik dalam pandangan Islam. Semoga pembaca dapat
menerapkannya dalam kehidupannya masing-masing. Namung tentu saja tulisan
ini terlalu sederhana jika dikatakan sempurna. Maka dari itu, dialog dan
kritik sangat diperlukan guna penyempurnaan dan koreksi. Mungkin sebagian
pembaca ada yang berbeda pandangan dalam menentukan status hukum musik
ini dan perbedaan itu sangat penulis hormati.

DAFTAR PUSTAKA

http://konsultasi.wordpress.com/2007/01/18/hukum-menyanyi-dan-musik-dalam-
fiqih-islam/
http://www.anneahira.com/musik-dalam-pandangan-islam.htm
quran.com

11

Anda mungkin juga menyukai