Anda di halaman 1dari 28

BAB 2

TINJAUAN TEORI

A. Penilaian Kesadaran
Penilaian statis kesadaran ada 2 yaitu penilaian secara kualitatif dan penilaian secara kuantita-tif.
1. Secara Kualitatif
Penilaian kesadaran secara kualitatif antara lain :
a. Kompos mentis
Kompos mentis adalah kesadaran normal, menyadari seluruh asupan dari panca indra
dan bereaksi secara optimal terhadap seluruh rangsangan baik dari luar maupun
dalam. GCS Skor 14-15
b. Somnelen / drowsiness / clouding of consciousness
Mata cenderung menutup, mengantuk, masih dapat dibangunkan dengan perintah,
masih dapat menjawab pertanyaan walau sedikit bingung, tampak gelisah dan
orientasi terhadap sekitarnya menurun. Skor 11-12 : somnolent
c. Stupor / Sopor
Mata tertutup dengan rangsang nyeri atau suara keras baru membuka mata atau
bersuara satu dua kata . Motorik hanya berupa gerakan mengelak terhadap rangsang
nyeri.GCS Skor 8-10 : stupor
d. Soporokoma / Semikoma
Mata tetap tertutup walaupun dirangsang nyeri secara kuat, hanya dapat mengerang
tanpa arti, motorik hanya gerakan primitif.
e. Koma
Dengan rangsang apapun tidak ada reaksi sama sekali, baik dalam hal membuka mata,
bicara maupun reaksi motorik. Skor < 5 : koma ( Harsono , 1996 ).
f. Delirium yaitu tingkat kesadaran yang paling bawah ditandai dengan dicorientasi yang sangat iriatif,
kacau dan salah persepsi terhadap rangsangan sensorik.

2. Secara Kuantitatif
- Dapat menggunakan Skala Coma Glasgow, yang terdiri dari :
a. Respon motorik
b. Respon bicara
c. Pembukaan mata
Ketiga hal di atas masing-masing diberi angka dan dijumlahkan. Penilaian pada
Glasgow Coma Scale
a. Respon motorik
- Nilai 6 : Mampu mengikuti perintah sederhana seperti : mengangkat tangan,
menunjukkan jumlah jari-jari dari angka-angka yang disebutkan oleh pemeriksa,
melepaskan gangguan.
- Nilai 5 : Mampu menunjuk tepat, tempat rangsang nyeri yang diberikan seperti
tekanan pada sternum, cubitan pada M. Trapezius
- Nilai 4 : Fleksi menghindar dari rangsang nyeri yang diberikan , tapi tidak mampu
menunjuk lokasi atau tempat rangsang dengan tangannya.
- Nilai 3 : fleksi abnormal . Bahu aduksi fleksi dan pronasi lengan bawah , fleksi
pergelangan tangan dan tinju mengepal, bila diberi rangsang nyeri ( decorticate
rigidity )
- Nilai 2 : ekstensi abnormal. Bahu aduksi dan rotasi interna, ekstensi lengan
bawah, fleksi pergelangan tangan dan tinju mengepal, bila diberi rangsang nyeri (
decerebrate rigidity )
- Nilai 1 : Sama sekali tidak ada respon
Catatan:
- Rangsang nyeri yang diberikan harus kuat
- Tidak ada trauma spinal, bila hal ini ada
- hasilnya akan selalu negative

b. Respon verbal atau bicara


Respon verbal diperiksa pada saat pasien terjaga (bangun). Pemeriksaan ini
tidak berlaku bila pasien :
1. Dispasia atau apasia
2. Mengalami trauma mulut
3. Dipasang intubasi trakhea (ETT)
- Nilai 5 : pasien orientasi penuh atau baik dan mampu berbicara.orientasi waktu,
tempat , orang, siapa dirinya , berada dimana, tanggal hari.
- Nilai 4 : pasien “confuse” atau tidak orientasi penuh
- Nilai 3 : bisa bicara , kata-kata yang diucapkan jelas dan baik tapi tidak
menyambung dengan apa yang sedang dibicarakan
- Nilai 2 : bisa berbicara tapi tidak dapat ditangkap jelas apa artinya (“ngrenyem”),
suara-suara tidak dapat dikenali makna katanya
- Nilai 1 : tidak bersuara apapun walau diberikan rangsangan nyeri

c. Respon membukanya mata :


Perikasalah rangsang minimum apa yang bias membuka satu atau kedua matanya.
Catatan:
1. Mata tidak dalam keadaan terbalut atau edema
2. kelopak mata.
- Nilai 4 : Mata membuka spontan misalnya sesudah disentuh
- Nilai 3 : Mata baru membuka bila diajak bicara atau dipanggil nama atau
diperintahkan membuka mata
- Nilai 2 : Mata membuka bila dirangsang kuat atau nyeri
- Nilai 1 : Tidak membuka mata walaupaun dirangsang nyeri

3. Penilaian AVPU
Metoda lain adalah menggunakan sistem AVPU, dimana pasien diperiksa
apakah sadar baik (alert), berespon dengan kata-kata (verbal), hanya berespon jika
dirangsang nyeri (pain), atau pasien tidak sadar sehingga tidak berespon baik verbal
maupun diberi rangsang nyeri (unresponsiv) . A (Alert): Korban sadar jika tidak sadar
lanjut ke poin V.
1. V (Verbal): Cobalah memanggil-manggil korban dengan berbicara keras di
telinga korban. Pada tahap ini jangan sertakan dengan menggoyang atau
menyentuh pasien, jika tidak merespon lanjut ke P.
2. P (Pain): Cobalah beri rangsang nyeri pada pasien, yang paling mudah adalah
menekan bagian putih dari kuku tangan di pangkal kuku. Selain itu dapat juga
dengan menekan bagian tengah tulang dada atau sternum dan juga areal di atas
mata.
3. U (Unresponsive): Setelah diberi rangsang nyeri tapi pasien masih tidak bereaksi
maka pasien berada dalam keadaan unresponsive.

D. Penilaian Reflek-Reflek patologis :


1. Reflek Babinsky
Apabila kita menggores bagian lateral telapak kaki dengan suatu benda yang
runcing maka timbullah pergerakan reflektoris yang terdiri atas fleksi kaki dan
jari-jarinya ke daerah plantar
2. Reflek Kremaster
Dilakukan dengan cara menggoreskan kulit dengan benda halus pada bagian
dalam (medial) paha. Reaksi positif normal adalah terjadinya kontrkasi
M.kremaster homolateral yang berakibat tertariknya atau mengerutnya testis.
Menurunnya atau menghilangnya reflek tersebut berarti adanya ganguan traktus
corticulspinal

E. Uji syaraf kranial :


1. NI.N. Olfaktorius : penghiduan diperiksa dengan bau bauhan seperti tembakau,
wangi-wangian, yang diminta agar pasien menyebutkannya dengan mata tertutup
2. N.II. N.Opticus: Diperiksa dengan pemerikasaan fisus pada setiap mata .
digunakan optotipe snalen yang dipasang pada jarak 6 meter dari pasien . fisus
ditentukan dengan kemampuan membaca jelas deretan huruf-huruf yang ada
3. N.III/ Okulomotoris. N.IV/TROKLERIS , N.VI/ ABDUSEN Diperiksa bersama
dengan menilai kemampuan pergerakan bola mata kesegala arah , diameter pupil ,
reflek cahaya dan reflek akomodasi
4. N.V.Trigeminus berfungsi sensorik dan motorik, Sensorik diperiksa pada
permukaan kulit wajah bagian dahi , pipi, dan rahang bawah serta goresan kapas
dan mata tertutup Motorik diperiksa kemampuan menggigitnya, rabalah kedua
tonus muskulusmasketer saat diperintahkan untuk gerak menggigit
5. N.VII/ Fasialis fungsi motorik N.VII diperiksa kemampuan mengangkat alis,
mengerutkan dahi, mencucurkan bibir , tersentum , meringis (memperlihatkan gigi
depan )bersiul , menggembungkan pipi.fungsi sensorik diperiksa rasa pengecapan
pada permukaan lidah yang dijulurkan (gula , garam , asam)
6. N.VIII/ Vestibulo – acusticus Fungsi pendengaran diperiksa dengan tes Rinne ,
Weber , Schwabach dengan garpu tala.
7. N.IX/ Glosofaringeus, N.X/vagus : diperiksa letak ovula di tengah atau deviasi
dan kemampuan menelan pasien
8. N.XI / Assesorius diperiksa dengan kemampuan mengangkat bahu kiri dan kanan
( kontraksi M.trapezius) dan gerakan kepala
9. N.XII/ Hipoglosus diperiksa dengan kemampuan menjulurkan lidah pada posisi
lurus , gerakan lidah mendorong pipi kiri dan kanan dari arah dalam.

B. Pemeriksaan Nadi
Denyut nadi dapat diraba pada arteri besar seperti a. radialis, a. brakhialis, a.
femoralis, a.karotis. Jantung memompa darah dari ventrikel kiri menuju ke sirkulasi
tubuh dan dari ventrikel kanan ke paru. Dari ventrikel kiri darah dipompa ke aorta dan
diteruskan ke arteri di seluruh tubuh. Akibat kontraksi ventrikel dan aliran darah timbulah
gelombang tekanan yang bergerak cepat pada arteri yang dirasakan sebagai denyut nadi.
Dengan menghitung frekuensi denyut nadi dapat diketahui frekuensi denyut jantung
dalam satu menit.
Penghitungan frekuensi nadi biasanya dilakukan dengan cara palpasi a. Radialis
yang terdapat pada daerah pergelangan tangan. Seringkali denyut arteri tersebut dapat
terlihat dengan mudah sehingga membantu kita dalam menentukan letak arteri tersebut.
Selama palpasi nadi kita menentukan frekuensi nadi, irama dan kualitas denyutan.
Denyut nadi dewasa normal memiliki frekuensi 60-100 x/menit, irama teratur/regular
dengan kualitas denyutan kuat angkat/terisi penuh.
Denyut nadi dapat dihitung secara langsung dengan mendengarkan denyut
jantung melalui stetoskop. Besarnya denyut jantung bervariasi tergantung dari usia.
Seorang bayi baru lahir memiliki denyut nadi sekitar 130-150 x /menit, balita 100-120
x/menit, anak-anak 90-110 x/menit, dewasa 60-100 x menit.
Bila frekuensi nadi < 60 x/menit dinamakan bradikardi. Sedangkan bila > 100
x/menit dinamakan takikardi. Irama jantung yang normal (teratur) dinamakan irama sinus
normal. Irama jantung yang bukan irama sinus normal dinamakan aritmia. Pada keadaan
tertentu denyut jantung tidak sampai ke arteri, hal ini disebut defisit nadi (pulsus deficit).

1. Cara Pemeriksaan Nadi


a. Pemeriksaan Nadi Radialis :
 Menjelaskan tindakan yang akan dilakukan pada penderita.
 Penderita dalam posisi duduk atau berbaring, lengan dalam posisi bebas (relaks).
Perhiasan dan jam tangan dilepas.
 Posisi tangan penderita supinasi atau pronasi.
 Periksa denyut nadi pergelangan tangan dengan menggunakan tiga jari yaitu, jari
telunjuk, jari tengah dan jari manis pemeriksa pada sisi fleksor bagian radial tangan
penderita.
 Hitung berapa denyutan dalam satu menit. Perhatikan pula irama dan kualitas
denyutannya. Bandingkan tangan kanan dengan tangan kiri.
 Frekuensi nadi dapat dihitung dengan cara menghitung banyaknya denyutan dalam
30 detik kemudian dikalikan 2 atau banyaknya denyutan dalam 15 detik kemudian
dikalikan 4. Bila irama nadi tidak teratur (aritmia) lakukan penghitungan selama
satu menit.
 Catat hasil tersebut di rekam medik (medical record).

b. Pemeriksaan Nadi Brakhialis:


 Menjelaskan tindakan yang akan dilakukan pada penderita
 Penderita dalam posisi duduk atau berbaring posisi lengan bawah supinasi. Lengan
sedikit ditekuk pada sendi siku
 Raba nadi brakhialis pada sendi siku medial tendon biceps dengan menggunakan
tiga jari yaitu, jari telunjuk, jari tengah dan jari manis pemeriksa
 Hitung berapa denyutan dalam satu menit. Perhatikan pula irama dan kualitas
denyutannya. Bandingkan tangan kanan dengan tangan kiri
 Catat hasil tersebut di rekam medik (medical record)
c. Pemeriksaan Nadi Karotis:
 Menjelaskan tindakan yang akan dilakukan pada penderita
 Penderita dalam posisi berbaring atau duduk sedikit tengadah
 Letakkan tiga jari yaitu, jari telunjuk, jari tengah dan jari manis pemeriksa pada
leher bagian tengah penderita setinggi kartilago tiroid kemudian tarik kedua jari ke
lateral sampai ke tepi medial m. Sternocleiodomastoideus. Raba denyutan nadi
carotis di daerah tersebut
 Hitung berapa denyutan dalam satu menit. Perhatikan pula irama dan kualitas
denyutannya. Bandingkan tangan kanan dengan tangan kiri
 Catat hasil tersebut di rekam medik (medical record)
 Tidak adanya denyutan nadi carotis disertai kesadaran yang menurun maka harus
dicurigai adanya henti jantung

C. Pemeriksaan Kepatenan Jalan Nafas


Setelah ditemukannya korban yang kolaps, tindakan medis pertama harus
dilakukan adalah menilai korban dan menentukan apakah korban tersebut sebenarnya
responsif atau tidak. Namun, sebelum mendekati korban yang kolaps, keamanan
lingkungan harus dinilai sepenuhnya apakah bahaya atau tidak. Keamanan sangat
penting. Sebelum penolong dapat membantu korban yang sakit atau terluka, pastikan
bahwa tempat kejadian aman untuk penolong dan orang yang berada di dekatnya, dan
kumpulkan kesan awal tentang situasi ini. Sebelum penolong mencapai korban, terus
gunakan indera untuk mendapatkan kesan awal tentang penyakit atau cedera dan kenali
apa yang mungkin salah. Informasi yang dikumpulkan membantu menentukan tindakan
langsung penolong. Apakah korban terlihat sakit? Apakah korban sadar atau bergerak?
Carilah tanda-tanda yang mungkin mengindikasikan keadaan darurat yang mengancam
jiwa seperti ketidaksadaran, warna kulit abnormal atau pendarahan yang mengancam
jiwa. Jika ada pendarahan yang mengancam jiwa, gunakan sumber daya yang tersedia
untuk mengendalikan pendarahan termasuk tourniquet jika tersedia dan penolong terlatih.
Begitu korban tercapai, evaluasi tingkat responsif korban. Ini terlihat jelas dari
kesan awal misalnya, korban bisa berbicara dengan penolong, atau korban mungkin
mengeluh, menangis, membuat suara lain atau bergerak. Jika korban responsif, mintalah
persetujuan korban, yakinkan korban dan coba cari tahu apa yang terjadi. Jika korban
tersebut diam dan tidak bergerak, dia mungkin tidak responsif. Untuk memeriksa
responsif, tepuk bahu korban dan berteriak, "Apakah Anda baik-baik saja?" Gunakan
nama orang itu jika penolong mengetahuinya. Berbicara dengan keras. Selain itu,
gunakan AVPU untuk membantu menentukan tingkat kesadaran korban. AVPU terdiri
dari :
 A - Alert/Awas : korban bangun, meskipun mungkin masih dalam keadaan
bingung terhadap apa yang terjadi.
 V - Verbal/Suara : korban merespon terhadap rangsang suara yang diberikan oleh
penolong. Oleh karena itu, penolong harus memberikan rangsang suara yang
nyaring ketika melakukan penilaian pada tahap ini.
 P - Pain/Nyeri: korban merespon terhadap rangsang nyeri yang diberikan oleh
penolong. Rangsang nyeri dapat diberikan melalui penekanan dengan keras di
pangkal kuku atau penekanan dengan menggunakan sendi jari tangan yang
dikepalkan pada tulang sternum/tulang dada. Namun, pastikan bahwa tidak ada
tanda cidera di daerah tersebut sebelum melakukannya.
 U - Unresponsive/tidak respon: korban tidak merespon semua tahapan yang ada di
atas.
Jika korban tidak merespon, inilah saatnya untuk mencari pertolongan sebelum
memulai ventilasi dan kompresi dada. Selain itu, upaya harus dilakukan untuk
mendapatkan defibrilator. Waktu untuk terapi khusus ritme, terutama defibrilasi untuk
takikardia ventrikel atau fibrilasi ventrikel, sangat penting untuk pemulihan korban
dalam serangan jantung
Setelah menilai tingkat kesadaran korban, evaluasi jalan napas korban. Ingat, jika
korban waspada dan berbicara, berarti jalan napas terbuka. Begitu korban tidak responsif,
cari bantuan dan menilai jalan napas korban. Hal ini memerlukan posisi telentang pada
permukaan datar dan keras dengan lengan di sepanjang sisi tubuh, diikuti dengan
membuka saluran napas korban tersebut. Kecuali trauma dapat dieksklusi, setiap gerakan
korban harus memperhitungkan potensi cedera tulang belakang. Korban ditempatkan
telentang, menstabilkan tulang belakang leher dengan mempertahankan kepala, leher, dan
badan dalam garis lurus. Jika karena suatu alasan korban tidak dapat ditempatkan
terlentang, pertimbangkan untuk menggunakan manuver jaw thrust dari posisi lateral
untuk membuka jalan napas. Membuka jalan napas dengan benar adalah langkah kritis
dan berpotensi menyelamatkan nyawa. Penyebab umum penyumbatan jalan nafas pada
korban yang tidak sadar adalah oklusi orofaring oleh lidah dan kelemahan epiglotis.
Dengan hilangnya tonus otot, lidah atau epiglotis dapat dipaksakan kembali ke orofaring
pada inspirasi. Hal ini dapat menciptakan efek katup satu arah di pintu masuk trakea,
yang menyebabkan tersumbatnya obstruksi jalan napas sebagai stridor.
Setelah memposisikan korban, mulut dan orofaring harus diperiksa untuk sekresi
atau benda asing. Jika ada sekresi, dapat dikeluarkan dengan penggunaan isap
orofaringeal. Benda asing dapat dikeluarkan dengan menggunakan finger sweep dan
kemudian dikeluarkan secara manual. Setelah orofaring dibersihkan, dua manuver dasar
untuk membuka jalan napas dapat dicoba untuk meringankan obstruksi jalan napas
bagian atas, yang terdiri dari head tilt-chin lift dan jaw thrust. Manuver ini membantu
membuka jalan napas dengan cara menggeser mandibula dan lidah secara mekanis.
• Manuver Head Tilt-Chin Lift
Head tilt-chin lift biasanya merupakan manuver pertama yang dicoba jika tidak
ada kekhawatiran akan cedera pada tulang belakang servikal. Head tilt dilakukan dengan
ekstensi leher secara lembut, yaitu menempatkan satu tangan di bawah leher korban dan
yang lainnya di dahi lalu membuat kepala dalam posisi ekstensi terhadap leher. Ini harus
menempatkan kepala korban di posisi "sniffing position" dengan hidung mengarah ke
atas. Hal ini dilakukan dengan hati-hati meletakkan tangan, yang telah menopang leher
untuk head tilt, di bawah simfisis mandibula agar tidak menekan jaringan lunak segitiga
submental dan pangkal lidah. Mandibula kemudian diangkat ke depan sampai gigi hampir
tidak menyentuh. Ini mendukung rahang dan membantu memiringkan kepala ke
belakang.
• Manuver Jaw Thrust
Jaw thrust adalah metode paling aman untuk membuka jalan napas jika ada
kemungkinan cedera tulang belakang servikal. Ini membantu mempertahankan tulang
belakang servikal dalam posisi netral selama resusitasi. Penolong yang diposisikan di
kepala korban, meletakkan tangan di sisi wajah korban, menjepit rahang bawah pada
sudutnya, dan mengangkat mandibula ke depan. Siku penolong bisa diletakkan di
permukaan tempat korban berada kemudian mengangkat rahang dan membuka jalan
napas dengan gerakan kepala minimal.

D. Pemeriksaan Pernafasan
Begitu jalan napas dilapangkan, penilaian usaha pernapasan dan pergerakan udara
harus dilakukan. Penolong harus mencari ekspansi dada dan mendengarkan serta
merasakan aliran udara. Tindakan sederhana membuka jalan napas mungkin cukup untuk
mengembalikan respirasi spontan. Namun, jika 7 korban tetap tanpa usaha pernapasan
yang memadai, maka intervensi lebih lanjut diperlukan. Dua napas lambat selama
masing-masing 1 1/2 sampai 2 detik harus diberikan. Pada titik ini, obstruksi benda asing,
seperti yang ditandai oleh kurangnya kenaikan dada atau aliran udara pada ventilasi,
membutuhkan upaya untuk meringankan obstruksi. Pernapasan Agonal dalam korban
yang baru saja mengalami serangan jantung tidak dianggap memadai. Pernapasan agonal
adalah napas yang terisolasi atau terengah-engah yang terjadi tanpa adanya pernapasan
normal pada korban yang tidak sadar. Napas ini bisa terjadi setelah jantung berhenti
berdetak dan dianggap sebagai tanda serangan jantung. Jika korban menunjukkan
pernapasan agonal, perlu dilakukan perawatan korban seolah-olah dia sama sekali tidak
bernapas. Ventilasi tekanan positif intermiten, jika memungkinkan dengan udara yang
diperkaya oksigen, harus dimulai.
a. Teknik Ventilasi
Ada sejumlah teknik untuk melakukan ventilasi termasuk mulut ke mulut,
mulut ke hidung, mulut ke stoma, mulut ke mask. Waktu inspirasi penolongan
dari masing-masing 1 1/2 sampai 2 detik harus diberikan selama 10 sampai 12 per
menit, dengan volume yang cukup untuk membuat dada naik 800-1200 mL di
sebagian besar orang dewasa. Terlalu besar volume atau terlalu cepat kecepatan
aliran inspirasi akan menyebabkan distensi lambung, yang dapat menyebabkan
regurgitasi dan aspirasi. Udara ekspirasi memiliki FiO2 16 sampai 17 persen.
Oksigen tambahan harus diberikan sesegera mungkin.
• Mulut ke Mulut
Dengan jalan napas terbuka, hidung korban harus ditutup dengan
hati-hati dengan jempol dan jari telunjuk penolong. Hal ini untuk
mencegah udara keluar. Setelah menarik napas dalam-dalam, penolong
meletakkan bibirnya di sekitar mulut korban. Penolong perlahan
mengembuskan napas dan berikan waktu yang cukup untuk pernapasan
pasif oleh korban lalu ulangi prosedurnya.
Saat memberi ventilasi, jika dada tidak naik setelah bantuan napas
pertama, buka kembali jalan napas dan coba napas kedua. Jika napas tidak
berhasil, kembalilah langsung ke penekanan dan periksa jalan napas untuk
mendapatkan obstruksi sebelum mencoba ventilasi berikutnya. Jika terjadi
penyumbatan, keluarkan dan coba ventilasi. Dengan ventilasi mulut ke
mulut, korban mendapat konsentrasi oksigen sekitar 16 persen
dibandingkan dengan konsentrasi oksigen ambien udara sekitar 20 persen.
Memberikan ventilasi individual dapat membantu mempertahankan
tingkat konsentrasi oksigen ini. Namun, jika penolong tidak menarik napas
di antara ventilasi, ventilasi kedua mungkin mengandung konsentrasi
oksigen 0 persen dengan konsentrasi tinggi karbon dioksida (CO2).

• Mulut ke Hidung
Terkadang pada trauma maksilaofagus berat, ventilasi dari mulut
ke hidung lebih efektif. Dengan jalan napas terbuka, penolong
mengangkat rahang korban lalu menutup mulutnya. Setelah menarik napas
dalamdalam, penolongan menempatkan bibirnya di sekitar hidung korban
dan perlahan mengembuskan napas.
• Mulut ke Stoma atau Trakeostomi
Setelah laringektomi atau trakeostomi, stoma atau trakeostomi
menjadi jalan napas korban. Seperti teknik sebelumnya, napas diberikan
melalui tabung stoma atau trakeostomi, dan penolongan perlahan
menghembuskan napas.
• Mulut ke Sungkup Muka
Penempatan sungkup muka dengan benar dan aman di wajah
korban adalah penting saat menggunakan sungkup muka untuk ventilasi.
Entah dengan bag atau via mulut ke sungkup muka. Sungkup muka harus
menutupi hidung dan mulut korban. Pastikan untuk menggunakan yang
sesuai dengan ukuran korban dan pastikan menempatkan dan menutup
sungkup muka dengan benar sebelum meniup sungkup muka. Penolong
menempatkan ibu jari pada bagian sungkup muka yang duduk di hidung
korban dan meletakkan jari telunjuk dari tangan yang sama pada bagian
sungkup muka yang duduk di dagu korban. Tiga jari lainnya dari tangan
yang sama kemudian diletakkan di sepanjang pinggiran rahang. Sungkup
muka kemudian bisa ditutup rapat ke wajah korban. Dua tangan dapat
digunakan untuk teknik ini jika tersedia penolong kedua. Ventilasi
kemudian dilakukan melalui sungkup muka.

b. Obstruksi Benda Asing


Penting untuk mengenali dan dapat membantu seseorang dengan
penyumbatan jalan napas dari benda asing. Seseorang yang mengalami kesulitan
akibat jalan nafas yang terganggu kemungkinan akan menggunakan tanda
universal untuk penyumbatan jalan napas, yaitu bagi korban akan memegang
lehernya dengan tangan. Benda asing dapat menyebabkan penyumbatan parsial
atau total. Dengan obstruksi jalan nafas parsial, pertukaran udara bisa memadai
atau tidak memadai. Jika korban bisa berbicara, batuk dan bertukar udara, dia
harus didorong untuk melanjutkan usaha spontan. Bantuan seperti aktivasi sistem
pelayanan medis darurat setempat harus diperoleh. Jika pertukaran udara menjadi
tidak memadai, ditandai dengan bertambahnya sesak napas, lemah dan batuk.
Stridor inspirasi yang memburuk, atau sianosis, intervensi medis langsung harus
dilakukan. Pertukaran udara yang tidak memadai dari salah satu penyumbatan
saluran napas sebagian atau menyeluruh harus ditangani sama. Pada orang yang
tidak sadar, penyumbatan jalan napas akibat aliran udara yang tidak adekuat dan
kenaikan dada yang buruk pada usaha ventilasi.
E. Tindakan Resusitasi Jantung Paru
 Resusitasi jantung paru dengan satu orang penolong :
1. Tiupkan bantuan nafas awal 2 (dua) kali.
2. Jika penderita bernafas dan nadi berdenyut maka posisikan penderita pada
posisi pemulihan.
3. Apabila masih belum terdapat nafas dan nadi, maka lakukan pijatan jantung
sebanyak 15 kali dengan kecepatan pijatan 80-100 kali per menit.
4. Berikan bantuan nafas lagi sebanyak 2 (dua) kali.
5. Lakukan terus 15 kali pijatan jantung dan 2 kali bantuan nafas sampai 4 siklus.
6. Periksa kembali nadi dan nafas penderita, apabila terdapat nadi namun belum
terdapat nafas maka teruskan bantuan nafas 10-12 kali per menit.

 Resusitasi jantung paru 2 (dua) orang penolong :


1. Posisi penolong saling berseberangan.
2. Lakukan bantuan nafas awal sebanyak 2 (dua) kali.
3. Lakukan pijatan jantung luar sebanyak 5 (lima) kali dengan kecepatan pijatan 80-
100 kali per menit.
4. Berikan nafas bantuan sebanyak 1 (satu) kali.
5. Lakukan 5 pijatan jantung dan 1 nafas bantuan sampai 12 siklus
6. Periksa kembali nadi dan nafas penderita, apabila terdapat nadi namun belum
terdapat nafas maka teruskan bantuan nafas 10-12 kali per menit.
Dalam melaksanakan resusitasi jantung paru pun bukan tanpa resiko bagi
penderita, resiko-resiko yang mungkin dialami penderita antara lain : patah tulang
dada/iga, kebocoran paru-paru, perdarahan dalam pada dada/paru-paru, memar paru
dan robekan pada hati/limpa. Maka bagi penolong perlu berhati-hati.

F. Membuka Jalan Nafas; dengan alat (OPA) dan tanpa alat


1. Membuka jalan napas dengan alat (OPA)
OPA (Oro-pharyngeal Airway) atau yang disebut juga guedel adalah alat bantu
alan napas untuk menahan pangkal lidah dari dinding belakang faring. Tujuannya adala
untuk mempertahankan jalan napas dari pasien yang tidak sadar dengan cara menahan
lidah menjauhi dinding posterior dari faring, untuk digunakan sebagai penahan bagi
pasien dengan endotrakeal tube. Indikasi untuk pasien kejang yang akan berkembang
menjadi tonik atau gerakan klonik, pasien tidak sadar, untuk mempertahankan jalan napas
terbuka.
a. Prosedur OPA
 Peralatan :
1. OPA atau Guedel
2. Penekan lidah
3. 1 cm plester

 Langkah - langkah :
1) Cuci tanga
2) Pilihlah ukuran OPA / Guedel yang sesuai dengan pasien. Hal ini
memungkinkan dilakukan dengan mempatkan jalan napas di pipi pasien dengan
bagian datar pada bibir. Ujung dari jalan napas harus pada dagu pasien.
3) Masukkan jalan napas dengan mengikuti salah satu cara dibawah ini :
4) Balik jalan napas sehingga bagian atasnya menghadap ke muka. Mulai untuk
memasukan jalan napas ke mulut. Sebagaimana jalan napas mendekati dinding
posterior faring dekat lidah belakang, putar jalan napas pada posisi yang
seharusnya.
5) Gunakan penekan lidah, gerakkan lidah keluar untuk menghindari terdorong ke
belakang masuk faring posterior. Masukan OPA/Guedel kedalam posisi yang
seharusnya dengan bagian atas menghadap kebawah. Tidak perlu diputar.
6) Jika refleks cegukan pasien terangsang, cabut jalan napas dengan segera dan
masukan kembali
7) Untuk digunakan sebagai penahan, jalan napas dipotong, sehingga hampir
mendekati 2cm keluar dari bagian yang datar (pada pasien dewasa).
8) Fiksasi jalan napas dengan plester dilekatkan di pipi dan melintasi bagian datar
dari jalan napas, pada bibir pasien. Jangan menutupi bagian terbuka dari
jalan napas. Harus berhati-hati untuk menjamin pasien tidak cegukan terhadap
jalan napas ketika direkatkan pada tempatnya. Perekatan dapat mencegah
pasien dari dilokasi jalan napas dan karena itu pasien akan muntah segera ia
sadar kembali.

2. Membuka jalan napas tanpa alat


Tindakan yang dilakukan untuk membebaskan jalan napas dengan tetap
memperhatikan kontrol servikal. Teknik membuka jalan napas tanpa alat yaitu dengan
chin-lift dan jaw-thrust. Tujuannya yaitu untuk menjamin jalan masuknya udara keparu
secara normal sehingga menjamin kecukupan oksigenase tubuh.
 Chin-Lift
Manuver mengangkat dagu. Tujuannya untuk membuka jalan napas.
Prosedur :
1) Letakkan tangan pada dahi pasien/korban
2) Tekan dahi sedikit mengarah ke depan dengan telap tangan penolong
3) Letakkan ujung jari tangan lainnya dibawah bagian ujung tulang rahang
pasien/korban
4) Tengadahkan kepala dan tahan/tekan dahi pasien secara bersamaan sampai
kepala pasien pada posisi ekstensi
 Jaw-thrust
Manuver mendorong rahang. Tujuannya untuk membuka jalan napas
adalah metode yang terpilih untuk digunakan klien dengan cedera kepala atau
cedera leher servikal.
Prosedur :
1) Letakkan kedua siku penolong sejajar dengan posisi pasien
2) Kedua tangan memegang sisi kepala pasien
3) Penolong memegang kedua sisi rahang
4) Kedua tangan penolong menggerakkan rahang ke posisi depan secara
perlahan
5) Pertahankan posisi mulut pasien tetap terbuka

G. Tindakan Mengeluarkan Benda Asing


Manuver yang digunakan untuk menghilangkan obstruksi benda asing
meliputi manuver Heimlich (penekanan pada sub diafragma perut), chest thrust,
dan finger sweep. Sebagai metode tunggal, back blows tidak lagi disarankan
untuk mengatasi obstruksi pada orang dewasa. Pada individu yang sadar, manuver
Heimlich adalah manuver yang direkomendasikan pada kebanyakan orang dewasa
untuk menghilangkan sumbatan jalan nafas dari benda padat. Hal ini tidak
berguna untuk cairan. Pada individu yang tidak sadar yang dicurigai mengalami
aspirasi benda asing, langkah pertama yang direkomendasikan adalah finger
sweep. Jika tidak, pada korban yang tidak sadar urutan yang disarankan adalah
manuver Heimlich hingga lima kali, mulut terbuka dan lakukan finger sweep, lalu
coba ventilasi. Urutan ini dapat diulang sesuai kebutuhan sampai korban pulih
atau bantuan tambahan tiba.
• Manuver Heimlich
Dijelaskan oleh Dr. Heimlich pada tahun 1975. Manuver ini
menciptakan batuk buatan melalui peningkatan diafragma dan mendesak
udara dari paru-paru. Ini dapat diulang beberapa kali. Setiap dorongan
individu harus dilakukan dengan korban berdiri, duduk, atau berbaring,
atau bisa dikelola sendiri. Untuk korban berdiri atau duduk, penolong
berdiri di belakang korban dan meletakkan sisi jempol dari kepalan tangan
ke garis tengah perut korban tepat di atas pusar dan jauh di bawah
prosesus xiphoid. Sambil memegang kepalan tangan dengan tangan yang
lain, penolong menekan kepalan tangan ke perut korban dengan dorongan
cepat ke atas. Hal ini diulang sampai sumbatan keluar atau korban menjadi
tidak sadarkan diri. Untuk korban yang tidak sadar, individu ditempatkan
telentang di permukaan yang keras dengan penolong duduk mengangkang
paha korban. Tumit tangan diposisikan di garis tengah tepat di atas
umbilikus korban, dan tangan kedua ditempatkan tepat di atas yang
pertama. Penolong kemudian memberikan dorongan ke atas yang cepat.
Untuk dorongan yang diberikan sendiri, individu tersebut dapat
menggunakan kepalan tangannya sendiri untuk mengirim dorongan atau
bersandar pada objek yang kokoh. Potensi komplikasi manuver Heimlich
meliputi cedera atau ruptur viscera abdomen atau toraks atau regurgitasi
isi perut.

• Chest Thrust
Manuver ini digunakan terutama jika seseorang mengalami
obesitas atau pada tahap akhir kehamilan dan penolong tidak dapat
menjangkau sekitar perut korban untuk melakukan dorongan perut. Untuk
melakukan dorong dada dengan korban berdiri atau duduk, penolong
berdiri di belakang korban dan meletakkan sisi ibu jari dari kepalan tangan
terhadap sternum korban, menjauhi batas kosta dan prosesus xiphoid.
Sambil memegang kepalan tangan dengan tangan satunya, penolong
menekan kepalan tangan ke dada korban dengan dorongan cepat ke
belakang. Hal ini diulang sampai sumbatan keluar atau korban menjadi
tidak sadarkan diri. Untuk korban yang tidak sadar, individu tersebut
ditempatkan telentang di permukaan yang tegas dengan penolong berlutut
di dekat sisi korban. Tangan diletakkan di posisi yang sama seperti untuk
kompresi dada, yaitu pada sternu bawah dan melakukan dorong dengan
cepat.
• Finger Sweep
Manuver ini hanya digunakan pada korban yang tidak sadar.
Dengan menggunakan ibu jari dan jari lain pada tangan yang sama,
penolong menangkap lidah dan rahang bawah lalu mengangkatnya. Hal ini
dapat menghilangkan penyumbatan sebagian dengan mengangkat lidah
dari belakang tenggorokan. Dengan cara lain, penolong kemudian
memasukkan jari telunjuknya ke bagian belakang tenggorokan dan
menggunakan tindakan pembukaan dalam upaya untuk mengeluarkan
benda asing tersebut secara manual. Hal ini harus dilakukan secara hatihati
agar tidak mendorong benda asing lebih dalam ke tenggorokan

H. Pemasangan Neck collar


1. Pengertian
Pemasangan neck collar adalah memasangn alat neck collar untuk
immobilisasi leher (mempertahankan tulang servikal).

2. Tujuan

1) Mencegah pergerakan tulang serviks yang patah

2) Mencegah bertambahnya kerusakan tulang serviks dan spinal cord

3) Mengurangi rasa sakit

3. Indikasi

1) Pasien cedera kepala disertai dengan penurunan kesadaran

2) Adanya jejas daerah klavikula ke arah cranial

3) Biomekanika trauma yang mendukung

4) Patah tulang leher

4. Persiapan

- Alat

1) Neck collar sesuai ukuran

2) Handscoen

- Pasien

1) Informed consent
2) Berikan penjelasan tentagn tindakan yang akan dilakukan

3) 3. Posisi pasien terlentang dengan posisi leher segaris / anatomi

- Petugas

2 orang

5. Pelaksanaan

1) Petugas menggunakan masker, handscoen

2) Pegang kepala dengan cara satu tangan memegang bagian kanan kepala mulai
dari mandibula ke arah temporal, demikian juga bagian sebelah kiri dengan
tangan yang lain dan cara yang sama

3) Petugas lainnya memasukkan neck collar secara perlahan ke bagian belakang


leher dengan sedikit melewati leher

4) Letakkan bagian Neck collar yang berlekuk tepat pada dagu

5) Rekatkan 2 sisi neck collar satu sama lain

6. Hal-hal yang perlu diperhatikan

1) Catat seluruh tindakan yang dilakukan dan respons pasien

2) Pemasangan jangan terlalu kuat atau terlalu longgar

I. Tindakan Menghentikan Perdarahan (positioning & tourniquet)

1. Definisi
Perdarahan adalah keluarnya darah dari pembuluh darah. Jumlahnya dapat
bermacam-macam, mulai dengan sedikit sampai yang dapat menyebabkan kematian. Luka
robekan pada pembuluh darah besar di leher, tangan dan paha dapat menyebabkan kematian
dalam satu sampai tiga menit. Sedangkan perdarahan dari aorta atau vena cava dapat
menyebabkan kematian dalam 30 detik. Sedangkan menurut dr. Hamidi (2011) perdarahan
adalah peristiwa keluarnya darah dari pembuluh darah karena pembuluh tersebut mengalami
kerusakan. Kerusakan ini bisa disebabkan karena benturan fisik, sayatan, atau pecahnya
pembuluh darah yang tersumbat.

2. Macam-macam Perdarahan
Perdarahan dibagi menjadi dua yaitu:

1. Perdarahan External
Perdarahan external yaitu perdarahan dimana darah keluar dari dalam
tubuh. Perdarahan external dibagi menjadi tiga macam yaitu (Petra & Aryeh,
2012):
a. Perdarahan dari pembuluh kapiler
Tanda-tanda perdarahan dari pembuluh kapiler antara lain:
1) Perdarahannya tidak hebat
2) Darah keluarnya secara perlahan-lahan berupa rembesan
3) Biasanya perdarahan akan berhenti sendiri walaupun tidak diobati
4) Perdarahan mudah dihentikan dengan perawatan luka biasa
5) Darah yang keluar umumnya berwarna merah terang
b. Perdarahan dari pembuluh darah balik (vena)
Tanda-tanda perdarahan dari pembuluh darah vena antara lain:
1) Warna darah umunya merah tua (berupa darah kotor yang akan dicuci dalam paru-
paru, kadar oksigennya sedikit)
2) Pancaran darah tidak begitu hebat jika dibandingkan dengan pancaran darah arteri
3) Perdarahan mudah untuk dihentikan dengan cara menekan dan meninggikan
anggota badan yang luka lebih tinggi dari jantung
c. Perdarahan dari pembuluh darah arteri
Tanda-tanda perdarahan dari pembuluh darah arteri antara lain:
1) Darah yang keluar umumnya berwarna merah muda (merupakan darah bersih
karena habis dicuci didalam paru-paru untuk diedarkan ke seluruh tubuh)
2) Darah keluar secara memancar sesuai irama jantung
3) Biasanya perdarahan sulit untuk dihentikan

2. Perdarahan Internal
Perdarahan internal yaitu perdarahan yang terjadi di dalam rongga dada,
rongga tengkorak dan rongga perut. Dalam hal ini darah tidak tampak mengalir
keluar, tetapi kadang-kadang dapat keluar melalui lubang hidung, telinga, mulut
dan anus. Perdarahan internal dapat diidentifikasi dari tanda-tanda pada korban
sebagai berikut (Hamidi, 2011) :
a. Setelah cidera korban mengalami syok tetapi tidak ada tanda-tanda perdarahan
dari luar
b. Tempat cidera mungkin terlihat memar yang terpola
c. Lubang tubuh mungkin mengeluarkan darah
d. Hemoptysis dan hematemisis kemungkinan menunjukkan adanya perdarahan
di paru-paru atau perdarahan saluran pencernaan.
Perdarahan internal yang terjadi di rongga dada dapat menghambat
pernafasan dan akan mengakibatkan nyeri dada. Perdarahan pada rongga perut
akan menyebabkan kekakuan pada otot abdomen dan nyeri abdomen.
Beberapa penyebab perdarahan internal antara lain (Petra & Aryeh, 2012):
a. Pukulan keras, terbentur hebat.
b. Luka tusuk, kena peluru.
c. Pecahnya pembuluh darah karena suatu penyakit.
d. Robeknya pembuluh darah akibat terkena ujung tulang yang patah.

3. Teknik Menghentikan Perdarahan


Pengendalian perdarahan bisa bermacam-macam tergantung jenis dan
tingkat perdarahannya.
1. Perdarahan External
Secara umum teknik untuk menghentikan perdarahan external antara lain
(Hamidi, 2011) :
a. Dengan penekanan langsung pada lokasi cidera
Teknik ini dilakukan untuk luka kecil yang tidak terlalu parah, misalnya
luka sayatan yang tidak terlalu dalam. Penekanan ini dilakukan dengan kuat pada
daerah pinggir luka. Setelah beberapa saat dengan teknik ini maka sistem
peredaran darah akan menutup luka tersebut.
b. Dengan teknik elevasi
Setelah luka dibalut, maka selanjutnya bisa dilakukan dengan teknik
elevasi yaitu mengangkat bagian yang luka sehingga posisinya lebih tinggi dari
jantung. Apabila darah masih merembes, maka diatas balutan yang pertama bisa
diberi balutan lagi tanpa membuka balutan yang pertama.
c. Dengan teknik tekan pada titik nadi
Penekanan titik nadi ini bertujuan untuk mengurangi aliran darah menuju
bagian yang luka. Pada tubuh manusia terdapat 9 titik nadi yaitu temporal
artery (di kening), facial artery (di belakang rahang), common carotid artery (di
pangkal leher, dekat tulang selangka), femoral artery (di lipatan paha), popliteal
artery (di lipatan lutut), posterior artery (di belakang mata kaki), dan dorsalis
pedis artery (di punggung kaki).
d. Dengan teknik immobilisasi
Teknik ini bertujuan untuk meminimalkan gerakan anggota tubuh yang
luka. Dengan sedikitnya gerakan diharapkan aliran darah ke bagian luka tersebut
dapat menurun.
e. Dengan tourniquet
Tourniquet adalah balutan yang menjepit sehingga aliran darah di
bawahnya terhenti sama sekali. Saat keadaan mendesak di luar rumah sakit
sehelai pita kain yang lebar, pembalut segitiga yang dilipat-lipat, atau sepotong
karet ban sepeda dapat dipergunakan untuk keperluan ini. Teknik hanya
dilakukan untuk menghentikan perdarahan di tangan atau di kaki saja.
Panjang Tourniquet haruslah cukup untuk dua kali melilit bagian yang hendak
dibalut. Tempat yang terbaik untuk memasang Tourniquet lima jari di bawah
ketiak (untuk perdarahan lengan) dan lima jari di bawah lipat paha (untuk
perdarahan di kaki). Teknik ini merupakan pilihan terakhir, dan hanya
diterapkan jika kemungkinan ada amputasi. Bagian lengan atau paha atas diikat
dengan sangat kuat sehingga darah tidak bisa mengalir. Tourniquet dapat
menyebabkan kerusakan yang menetap pada saraf, otot dan pembuluh darah dan
mungkin berakibat hilangnya fungsi dari anggota gerak tersebut. Sebaiknya
teknik ini hanya dilakukan oleh mereka yang pernah mendapatkan pelatihan.
Jika keliru, teknik ini justru akan membahayakan.
Saat penanganan di luar rumah sakit, maka dahi korban yang
mendapatkan tourniquet diberi tanda silang sebagai penanda dan korban harus
segera dibawa ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut. Jika korban tidak
segera mendapatkan penanganan maka bagian yang luka akan dapat membusuk.
Cara melakukan teknik ini adalah sebagai berikut (Petra & Aryeh, 2012) :
1) Buat ikatan di anggota badan yang cedera (sebelum luka) dengan verban
yang lebarnya 4 inci dan buatlah 6 – 8 lapis. Kalau tidak ada verban bisa
pakai bahan yang telah disebutkan diatas tadi. Kemudian buat simpul pada
ikatan tersebut.
2) Selipkan sebatang kayu dibawah ikatan itu.
3) Kencangkan kedudukan kayu itu dengan cara memutarnya.
4) Agar kayu tetap erat dudukannya, ikat ujung yang satunya.
Menurut M. Sholekhudin (2011) dalam Seri P3K perdarahan berat, maka
teknik menghentikan perdarahan saat melakukan pertolongan pertama adalah
sebagai berikut :
a. Pastikan penderita selalu dalam keadaan berbaring. Perdarahan berat tidak
boleh ditangani sementara korban dalam keadaan duduk atau berdiri.
b. Jika mungkin, posisikan kepalanya sedikit lebih rendah daripada badan, atau
angkat bagian tungkai kaki. Posisi ini bisa mengurangi risiko pingsan dengan
cara meningkatkan aliran darah ke otak.
c. Angkat bagian yang berdarah setinggi mungkin dari jantung. Misalnya, jika
yang berdarah bagian betis, letakkan betis tersebut di atas tumpuan, sehingga
posisinya lebih tinggi dari badan.
d. Buang kotoran dari luka, tapi jangan mencoba mencabut benda yang
menancap dalam.
e. Berikan tekanan langsung di atas luka. Gunakan pembalut yang bersih. Jika
tidak ada, gunakan sapu tangan atau potongan kain. Jangan sekali-kali
“memeriksa” perdarahan dengan cara menyingkap pembalut.
f. Jika darah masih terus merembes, kuatkan tekanan. Tambahkan sapu tangan
lagi di atasnya, tanpa perlu membuang sapu tangan pertama. Hal ini
dilakukan karena di dalam darah yang keluar terdapat faktor-faktor
pembekuan.
g. Pertahankan tekanan hingga perdarahan berhenti. Jika telah mampet, balut
luka dengan verban, langsung di atas kain penyerap. Jika tidak ada verban,
gunakan potongan kain biasa. Kemudian segera bawa korban ke rumah sakit.
Elevasi bagian yang luka

Sedangkan menurut Standard Prosedur Operasional (SPO) RS. Siti Khodijah


teknik menghentikan perdarahan untuk unit terkait Intensive Care Unit dan Unit Gawat
Darurat adalah sebagai berikut:
a. Mencuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan
b. Petugas menggunakan alat pelindung diri ( kaca mata safety, masker, handscoen )
c. Perawat I menjalankan tugas:
1) Menekan pembuluh darah proximal dari luka, yang dekat dengan permukaan kulit
dengan menggunakan jari tangan
2) Mengatur posisi dengan cara meninggikan daerah yang luka
d. Perawat II menjalankan tugas:
1) Mengatur posisi pasien
2) Memakai sarung tangan steril
3) Meletakkan kain kasa steril diatas luka, kemudian ditekan dengan ujung-ujung
jari.
4) Meletakkan lagi kain kasa steril diatas kain kasa yang pertama, kemudian tekan
dengan ujung jari bila perdarahan masih berlangsung. Tindakan ini dapat
dilakukan secara berulang sesuai kebutuhan tanpa mengangkat kain kasa yang ada
e. Melakukan balut tekan
1) Meletakkan kain kasa steril diatas luka
2) Memasang verban balut tekan, kemudian letakkan benda keras (verban atau
kayu balut) di atas luka
3) Membalut luka dengan menggunakan verban balut tekan
f. Memasang tourniquet untuk luka dengan perdarahan hebat dan traumatik amputasi
1) Menutup luka ujung tungkai yang putus (amputasi) dengan menggunkan kasin
kasa steril
2) Memasang tourniquet ± 10 cm sebelah proximal luka, kemudian ikatlah
dengan kuat.
3) Tourniquet harus dilonggarkan setiap 15 menit sekali secara periodik
g. Memasang SB Tube
1) Menyiapkan peralatan untuk memasang SB Tube
2) Mengatur posisi pasien
3) Mendampingi dokter selama pemasanagn SB tube
4) Mengobservasi tanda vital pasien
h. Hal–hal yang harus diperhatikan pada pemasangan tourniquet dan SB Tube:
1) Pemasangan tourniquet merupakan tindakan terakhir jika tindakan lainnya
tidak berhasil, hanya dilakukan pada keadaan amputasi atau sebagai “ live
saving “
2) Selama melakukan tindakan perhatikan:
 Kondisi pasien dan tanda vital
 Expresi wajah
 Perkembangan pasien
3) Pemasangan SB tube dilanjutkan dengan pengompresan dan irigasi melalui
selang

3. Perdarahan Internal
Berbeda dengan perdarahan external, penanganan perdarahan internal
pada korban bisa dilakukan dengan cara sebagai berikut (Hamidi, 2011) :
a. Rest
Korban diistirahatkan dan dibuat senyaman mungkin
b. Ice
Bagian yang luka dikompres es hingga darahnya membeku. Darah yang
membeku ini lambat laun akan terdegradasi secara alami melalui sirkulasi dan
metabolisme tubuh.
c. Compression
Bagian yang luka dibalut dengan kuat untuk membantu mempercepat proses
penutupan lubang atau bagian yang rusak pada pembuluh darah
d. Elevation
Kaki dan tangan korban ditinggikan sehingga lebih tinggi dari jantung.
e. Bawa korban ke rumah saki terdekat untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut

3. Hal-hal yang Harus Diperhatikam Perawat


Beberapa hal yang harus diperhatikan oleh perawat saat memberikan pertolongan
dalam menghentikan perdarahan adalah sebagai berikut :
 Jika peristiwa terjadi diluar rumah sakit, maka seorang perawat dalam memberikan
pertolongan pertama sebelum menghentikan perdarahan pastikan dulu kondisinya
aman baik korban, penolong (perawat) maupun lingkungannya. Selain itu tetap
menghubungi ambulance supaya cepat mendapatkan penanganan di rumah sakit
 Memastikan dahulu kondisi Airway, Breathing dan Circulation korban tidak
terganggu
 Perawat harus teliti dan akurat dalam melakukan pengkajian luka dan sumber
perdarahan, apakah perdarahan external ataupun internal
 Jika perdarahan external perawat harus bisa memahami/ mengetahui tipe
perdarahannya, apakah perdarahan arteri, vena atau kapiler
 Perawat bisa menggunting atau melepas pakaian korban yang tebal karena
kemungkinan perdarahan external tidak terlihat (tertutup pakaian tebal)
 Melakukan teknik penghentian perdarahan sesuai dengan jenis perdarahan dan tipe
perdarahannya
 Jika terpaksa dengan pilihan terakhir menggunakan tourniquet maka
pemasangannya dilakukan oleh perawat yang sudah mendapatkan pelatihan dan tiap
15 menit, ikatannya harus dikendurkan selama 30 detik untuk memberi kesempatan
darah mengalir lagi. Tujuannya, mencegah matinya jaringan akibat tidak mendapat
suplai darah.
 Jika ada kotoran pada luka harus dibersihkan dan perawat harus selalu proteksi diri
dengan APD yang ada
 Jika membawa alat-alat lengkap, maka perawat bisa mencoba untuk menjahit
lukanya

DAFTAR PUSTAKA

Mancini Mary E. 1994. Prosedur Keperawatan Darurat. Jakarta: EGC


Hamidi. 2011. Pertolongan Pertama. UPI. URL: file.upi.edu/Direktori/pertolongan_pertama.pdf

Petra & Aryeh. 2012. Basic of Blood Management. New York: Wiley publisher

Solekhudin. 2011. Seri P3K: Perdarahan Berat. Jakarta: Intisari Smart & Inspirasing

Thohir. 2010. Standard Prosedur Operasional (SPO) Menghentikan Perdarahan. Sidoarjo, Jawa
Timur: Rumah Sakit Siti Khodijah

https://www.academia.edu/13455206/Penilaian_Kesadaran
https://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/75044/Ika%20R.%20Sutejo%2C%20Pi
piet%20W_Modul_Ketrampilan%20Klinik%20dasar%20Pemeriksaan%20Fisik%20dan%20BLS
%20%282%29_%28F.K%29.pdf?sequence=1
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/5e25fa3ff7f4d41acb8344b75ef64a0a.pdf
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_pengabdian_dir/09b5c1cf7ba2db097e75d1a8bb79d4df.pdf

Anda mungkin juga menyukai