Anda di halaman 1dari 16

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Euthanasia
Euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu eu yang berarti indah, bagus,
terhormat atau gracefully and with dignity dan Thanatos yang berarti mati. Jadi secara
etimologis, euthanasia dapat diartikan sebagai mati dengan baik. Sedangkan secara
harafiah, euthanasia tidak dapat diartikan sebagai pembunuhan atau upaya
menghilangkan nyawa seseorang.
Menurut Philo (50-20 SM), euthanasia berarti mati dengan tenang dan baik,
sedangkan Suetonis penulis Romawi dalam bukunya Vita Caesarum mengatakan bahwa
euthanasia berarti “mati cepat tanpa derita”.
Masalah euthanasia biasanya dikaitkan dengan masalah bunuh diri. Dalam hukum
pidana, masalah bunuh diri yang perlu dibahas adalah apakah seseorang yang mencoba
bunuh diri atau membantu orang lain untuk melakukan bunuh diri itu dapat dipidana,
karena dianggap telah melakukan kejahatan.
Di beberapa Negara seperti Amerika Serikat, seseorang yang gagal melakukan
bunuh diri dapat dipidana. Juga di Israel, perbuatan percobaan bunuh diri merupakan
perbuatan yang dilarang dan diancam pidana. Pernah ada amandemen agar larangan ini
dicabut, tetapi Prof.Amos Shapira berpendapat bahwa dengan konsep perbuatan
percobaan bunuh diri sebagai tindakan yang tidak terlarang, merupakan gerakan kearah
diakuinya „hak untuk mati‟.
Dilihat dari segi agama Samawi, euthanasia dan bunuh diri merupakan perbuatan
yang terlarang. Sebab masalah kehidupan dan kematian seseorang itu berasal dari Sang
Pencipta yaitu Tuhan. Jadi, perbuatan yang menjurus kepada tindakan penghentian hidup
yang berasal dari Tuhan merupakan perbuatan yang bertentangan dengan kehendak
Tuhan, oleh karenanya tidak dibenarkan.
B. Euthanasia Di Indonesia
Apakah hak untuk mati dikenal di Indonesia? Indonesia melalui pasal 344
KUHP jelas tidak mengenal hak untuk mati dengan bantuan orang lain. Banyak orang
berpendapat bahwa hak untuk mati adalah hak azasi manusia, hak yang mengalir dari
“hak untuk menentukan diri sendiri” (the right of self determination/TROS) sehingga
penolakan atas pengakuan terhadap hak atas mati, adalah pelanggaran terhadap hak asasi
manusia yang tidak dapat disimpangi oleh siapapun dan menuntut penghargaan serta
pengertian yang penuh pada pelaksanaannya.
Jika dikaitkan kembali dengan hak asasi manusia, euthanasia tentu melanggar hak
asasi manusia yaitu hak untuk hidup. Dalam salah satu artikelhukumonline Meski Tidak
Secara Tegas Diatur, Euthanasia Tetap Melanggar KUHP, pakar hukum pidana
Universitas Padjadjaran Komariah Emong berpendapat, Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (“KUHP”) mengatur tentang larangan melakukan euthanasia. yakni dalamPasal
344 KUHP yang bunyinya:
“Barang siapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri
yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara
paling lama dua belas tahun.”
Dari ketentuan tersebut, jelas bahwa yang diatur dalam KUHP adalah euthanasia
aktif dan sukarela.Sehingga, menurut Haryadi, dalam praktiknya di Indonesia, Pasal 344
KUHP ini sulit diterapkan untuk menyaring perbuatan euthanasia sebagai tindak pidana,
sebab euthanasia yang sering terjadi di negara ini adalah yang pasif, sedangkan
pengaturan yang ada melarang euthanasia aktif dan sukarela.
Pada sisi lain, Komariah berpendapat, walaupun KUHP tidak secara tegas
menyebutkan kata euthanasia, namun, berdasarkan ketentuan Pasal 344 KUHP
seharusnya dokter menolak melakukan tindakan untuk menghilangkan nyawa, sekalipun
keluarga pasien menghendaki. Menurutnya, secara hukum, norma sosial, agama dan etika
dokter, euthanasia tidak diperbolehkan.
Berkaca dari pengalaman di Belanda, Komariah mengatakan
prosedur euthanasia yang diberlakukan di Belanda tidak sembarangan. Diperlukan
penetapan pengadilan untuk melakukan perbuatan tersebut. Meskipun keluarga pasien
menyatakan kehendaknya untuk melakukaneuthanasia, namun pengadilan bisa saja
menolak membuat penetapan. Dalam sebuah kasus di sekitar 1990 di Belanda, kata
Komariah, seorang keluarga pasien yang ingin melakukan euthanasia sempat ditolak oleh
pengadilan walaupun akhirnya dikabulkan. Untuk itu, menurut Komariah apabila tidak
ada jalan lain, tidak lagi ada harapan hidup dan secara biomedis seseorang terpaksa
dicabut nyawanya melalui euthanasia, harus ada penetapan pengadilan untuk
menjalankan proses tersebut.
Sebab, penetapan pengadilan tersebut akan digunakan agar keluarga atau pihak
yang memohon tidak bisa dipidana. Begitu pula dengan peranan dokter, sehingga dokter
tidak bisa disebut malpraktik. Selain penetapan pengadilan, keterangan dari kejaksaan
juga harus diminta agar di kemudian hari negara tidak menuntut
masalah euthanasia tersebut. Terlepas dari masalah di atas, menurutnya hidup mati
seseorang hanya dapat ditentukan oleh Tuhan.
Di Indonesia, upaya pengajuan permohonan euthanasia ini pernah terjadi di
penghujung 2004, suami Ny. Again mengajukan permohonan euthanasia ke Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan untuk mengakhiri penderitaan istrinya, namun permohonan itu
ditolak oleh pengadilan. Menurut pakar hukum pidana Indriyanto Seno Adji, tindakan
euthanasia harus memenuhi persyaratan medis dan bukan karena alasan sosial ekonomi.
Menurutnya, sifat limitatif ini untuk mencegah agar nantinya pengajuan euthanasia tidak
sewenang-wenang. Lebih jauh simak artikelEuthanasia Dimungkinkan Dengan Syarat
Limitatifdan Permohonan Euthanasia Menimbulkan Pro dan Kontra.
Jadi, euthanasia memang dilarang di Indonesia, terutama untuk euthanasia aktif
dapat dipidana paling lama 12 (dua belas) tahun penjara. Akan tetapi, dalam praktiknya
tidak mudah menjerat pelaku euthanasia pasif yang banyak terjadi.

C. Klasifikasi Euthanasia
Dari penggolongan Euthanasia, yang paling praktis dan mudah dimengerti adalah:
a. Euthanasia aktif
Tindakan secara sengaja dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lain untuk
memperpendek atau mengakhiri hidup pasien. Merupakan tindakan yang dilarang,
kecuali di negara yang telah membolehkannya lewat peraturan perundangan.
b. Euthanasia pasif
Dokter atau tenaga kesehatan lain secara sengaja tidak lagi memberikan bantuan
medis yang dapat memperpanjang hidup pasien, misalnya menghentikan pemberian infus,
makanan lewat sonde, alat bantu nafas, atau menunda operasi.
c. Auto euthanasia
Seorang pasien menolak secara tegas dengan sadar untuk menerima perawatan
medis dan dia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau mengakhiri hidupnya.
Dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil (pernyataan tertulis tangan). Auto
euthanasia pada dasarnya adalah euthanasia pasif atas permintaan.
Karena masih banyak pertentangan mengenai definisi euthanasia, diajukan
berbagai pendapat sebagai berikut:
a. Voluntary euthanasia
Permohonan diajukan pasien karena, misalnya gangguan atau penyakit
jasmani yang dapat mengakibatkan kematian segera yang keadaannya diperburuk
oleh keadaan fisik dan jiwa yang tidak menunjang.
b. Involuntary euthanasia
Keinginan yang diajukan pasien untuk mati tidak dapat dilakukan karena,
misalnya seseorang yang menderita sindroma Tay Sachs. Keputusan atau
keinginan untuk mati berada pada pihak orang tua atau yang bertanggung jawab.
c. Assisted suicide
Tindakan ini bersifat individual dalam keadaan dan alasan tertentu untuk
menghilangkan rasa putus asa dengan bunuh diri.
d. Tindakan langsung menginduksi kematian
Alasan tindakan ini adalah untuk meringankan penderitaan tanpa izin individu
yang bersangkutan dan pihak yang berhak mewakili. Hal ini sebenarnya
pembunuhan, tapi dalam pengertian agak berbeda karena dilakukan atas dasar
belas kasihan. (Billy: 2008)
D. Syarat Dilakukannya Euthanasia
Sampai saat ini, kaidah non hukum yang manapun, baik agama, moral dan
kesopanan menentukan bahwa membantu orang lain mengakhiri hidupnya, meskipun atas
permintaan yang bersangkutan dengan nyata dan sungguhsungguh adalah perbuatan yang
tidak baik. Di Amerika Serikat, euthanasia lebih populer dengan istilah “physician
assisted suicide”. Negara yang telah memberlakukan euthanasia lewat undang-undang
adalah Belanda dan di negara bagian Oregon-Amerika Serikat.
Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu, antara lain:
a. Orang yang ingin diakhiri hidupnya adalah orang yang benar-benar sedang sakit
dan tidak dapat diobati misalnya kanker.
b. Pasien berada dalam keadaan terminal, kemungkinan hidupnya kecil dan tinggal
menunggu kematian.
c. Pasien harus menderita sakit yang amat sangat, sehingga penderitaannya hanya
dapat dikurangi dengan pemberian morfin.
d. Yang boleh melaksanakan bantuan pengakhiran hidup pasien, hanyalah dokter
keluarga yang merawat pasien dan ada dasar penilaian dari dua orang dokter
spesialis yang menentukan dapat tidaknya dilaksanakan euthanasia.
Semua persyaratan itu harus dipenuhi, baru euthanasia dapat dilaksanakan.
Indonesia sebagai negara berasaskan Pancasila, dengan sila pertamanya „Ketuhanan
Yang Maha Esa‟, tidak mungkin menerima tindakan “euthanasia aktif”.
Mengenai “euthanasia pasif” merupakan suatu “daerah kelabu” karena memiliki
nilai bersifat “ambigu” yaitu di satu sisi bisa dianggap sebagai perbuatan amoral, tetapi di
sisi lain dapat dianggap sebagai perbuatan mulia karena dimaksudkan untuk tidak
memperpanjang atau berjalan secara alamiah. (Fadli: 2000)B
E. Aspek- Aspek Dalam Euthanasia
a. Aspek Hukum
Undang-undang yang tertulis dalam KUHP hanya melihat dari sisi dokter
sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap
sebagai pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa
seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang
dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang
dilakukannya euthanasia tersebut, tidak peduli apakah tindakan tersebut atas
permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan
pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum
diketahui pengobatannya. Di lain pihak, hakim dapat menjatuhkan pidana mati
bagi seseorang yang masih segar bugar yang tentunya masih ingin hidup, & tidak
menghendaki kematiannya seperti pasien yang sangat menderita tersebut, tanpa
dijerat pasal-pasal dalam undang-undang dalam KUHP. Apabila diperhatikan
lebih lanjut, pasal 338, 340, & 344 KUHP, ketiganya mengandung makna
larangan untuk membunuh. Pasal 340 KUHP sebagai aturan khususnya, dengan
dimasukkannya unsur “dengan rencana lebih dahulu”, karenanya biasa dikatakan
sebagai pasal pembunuhan yang direncanakan atau pembunuhan berencana.
Masalah euthanasia dapat menyangkut dua aturan hukum, yakni pasal 338 & 344
KUHP. Dalam hal ini terdapat apa yang disebut „concursus idealis‟ yang diatur
dalam pasal 63 KUHP, yang menyebutkan bahwa:
1) Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana, maka yang
dikenakan hanya salah satu diantara aturan-aturan itu, jika berbedabeda yang
dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang paling berat.
2) Jika suatu perbuatan yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum
diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah
yang dikenakan. Pasal 63 (2) KUHP ini mengandung asas „lex specialis
derogat legi generalis‟, yaitu peraturan yang khusus akan mengalahkan
peraturan yang sifatnya umum.
b. Aspek Hak Azazi
Hak azasi manusia (HAM) selalu dikaitkan dengan hak hidup, hak damai
dan sebagainya. Tapi tidak tercantum jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati
sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran HAM, terbukti dari aspek
hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam pelaksanaan
euthanasia. Sebenarnya, dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya,
secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai
untuk menghindarkan diri dari segala ketidaknyamanan atau lebih jelas lagi dari
segala penderitaan yang hebat.
c. Aspek Ilmu Pengetahuan
Ilmu pengetahuan dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya
tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan
pasien. Apabila secara ilmu pengetahuan hampir tidak ada kemungkinan untuk
mendapat kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak
boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya. Segala upaya
yang dilakukan akan sia-sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu
kebohongan, karena di samping tidak membawa kesembuhan, keluarga yang lain
akan terseret dalam habisnya keuangan.
d. Aspek Agama
Kelahiran & kematian merupakan hak prerogatif Tuhan dan bukan hak
manusia sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk
memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Atau dengan kata lain,
meskipun secara lahiriah atau tampak jelas bahwa seseorang menguasai dirinya
sendiri, tapi sebenarnya ia bukan pemilik penuh atas dirinya. Ada aturan-aturan
tertentu yang harus kita patuhi & kita imani sebagai aturan Tuhan.
Jadi, meskipun seseorang memiliki dirinya sendiri, tetapi tetap saja ia
tidak boleh membunuh dirinya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli agama secara
tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Perawat dapat
dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan dengan
memperpendek umur seseorang. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun
dengan penuh penderitaan bahkan kadang-kadang dalam keadaan sekarat dapat
dikategorikan putus asa dan putus asa tidak berkenan di hadapan Tuhan.Tetapi
putusan hakim dalam pidana mati pada seseorang yang segar bugar dan tentunya
sangat tidak ingin mati dan tidak sedang dalam penderitaan apalagi sekarat, tidak
pernah dikaitkan dengan pernyataan agama yang satu ini. Aspek lain dari
pernyataan memperpanjang umur, sebenarnya bila dikaitkan dengan usaha medis
dapat menimbulkan masalah lain. Mengapa orang harus ke rumah sakit untuk
berobat mengatasi penyakitnya. Kalau memang umur berada di tangan Tuhan,
bila memang belum waktunya, ia tidak akan mati. Hal ini dapat diartikan sebagai
upaya memperpanjang umur atau menunda proses kematian. Jadi upaya medis
dapat pula dipermasalahkan sebagai upaya melawan kehendak Tuhan. Pada
kasus-kasus tertentu, hukum agama memang berjalin erat dengan hukum positif.
Sebab di dalam hukum agama juga terdapat dimensi-dimensi etik & moral yang
juga bersifat publik. Misalnya tentang perlindungan terhadap kehidupan, jiwa atau
nyawa. Hal itu jelas merupakan ketentuan yang sangat prinsip dalam agama.
Dalam hukum positif manapun, prinsip itu juga diakomodasi. Oleh sebab itu,
ketika kita melakukan perlindungan terhadap nyawa atau jiwa manusia,
sebenarnya kita juga sedang menegakkan hukum agama, sekalipun wujud
materinya sudah berbentuk hukum positif atau hukum negara. (Ismail: 2005)
F. Pro-Kontra Eutanasia
Muncul kontroversi yang menyangkut isu etika euthanasia (perilaku sengaja dan
sadar mengakhiri hayat seseorang yang menderita penyakit yang tak dapat disembuhkan)
tidak saja santer didiskusikan di kalangan dunia medis, akan tetapi telah merambah
kemana-mana terutama para agama.
Meskipun di dalam hukum agama itu belum ada kejelasan atau ketidakpastian
dalam menentukan apakah euthanasia termasuk jarimah (dosa) atau bukan, akan tetapi
dalam hal euthanasia aktif yang dilakukan hanya berdasar inisiatif dari tenaga medis
sendiri tanpa adanya persetujuan dari pasien. Sekiranya dapat dimasukkan dalam kategori
pembunuhan, dan pelaku dimungkinkan untuk dihukum sesuai dengan hukum yang ada.
Pendapat demikian didasarkan atas pertimbangan karena perbuatan itu telah memenuhi
syarat-syarat untuk dapat dilaksanakan dalam qishash, antara lain:
1. Pembunuhan adalah orang yang baligh,sehat, dan berakal.
2. Ada kesengajaan membunuh.
3. Ikhtiyar (bebas dari paksaan).
4. Pembunuh bukan anggota keluarga korban.
5. Jarimah dilakukan secaralangsung (Ahmad Azar Basyir, 2001:16).

Antara pembunuhan sengaja dengan euthanasia aktif ada suatu perbedaan yang
mendasar, meski secara teknis ada persamaan. Dalam pembunuhan sengaja, terdapat
suatu maksud atau tujuan yang cenderung pada tindak kejahatan.Sedangkan dalam
euthanasia aktif, pengakhiran hidup pasien dilakukan secara sengaja dan terencana.
Namun pembunuhan ini dilakukan atas kehendak dan permintaan pasien atau korban
kepada dokter yang merawat dan maksud atau tujuan yang terdapat didalamnya
cenderung pada suatu pertolongan, yang dalam hal ini menolong meringankan beban
yang diderita oleh pasien.
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kematian, bagi sebagian besar umat manusia itu merupakan suatu hal yang tidak
menyenangkan dan mungkin tidak dikehendaki. Manusia sebagai salah satu ciptaan
Tuhan yang paling sempurna karena dilengkapi dengan akal, pikiran dan rasa. Dengan
menggunakan akal dan pikirannya tersebut manusia mampu menciptakan teknologi untuk
mempermudah dalam hal menjalankan aktifitasnya sehari-hari (Ni Made Puspasutari
Ujianti, dkk., 2013:41), maka dari sinilah manusia terus-menerus berusaha menunda
kematian dengan berbagai cara, termasuk didalamnya temuan sains dan teknologi untuk
menyembuhkan kesehatan manusia, tetapi sebaliknya, dengan adanya penemuan-
penemuan sains dan teknologi tersebut, membawa suatu konsekuensi tertentu kepada
umat manusia seperti euthanasia. Padahal yang diharapkan manusia adalah sains dan
teknologi memfasilitasi kehidupan manusia dengan berbagai kemajuannya. Dalam arti,
pengembangan sains adalah manifestasi keinginan manusia untuk maju dan juga
berkembang menyempurnakan hidupnya, dan untuk memecahkan rahasia alam.
Salah satu pengembangan sains yang membantu dan terkait langsung dengan
kesehatan dan kehidupan manusia adalah teknologi kedokteran. Kehidupan, serta juga
kematian manusia merupakan suatu hal yang mempunyai kedudukan yang tinggi dalam
nilai-nilai moral manapun, hingga setiap perlakuan terhadapnya akan menimbulkan
pertanyaan-pertanyaan dari segi moral. Inilah dasar perkembangan rekayasa genetika dan
bioetika atau bioteknologi sebagai suatu bidang ilmu yang kini dianggap menjadi disiplin
tersendiri di dalam bidang kedokteran.
Kematian, pada umumnya dianggap sebagai suatu hal yang sangat menakutkan,
namun akan dialami oleh setiap orang. Kematian merupakan suatu proses yang tidak
dapat ditunda, namun kebanyakan orang tidak menghendaki bila kematian itu datang
dengan segera. Kebanyakan orang berharap agar kematian tidak muncul dengan tiba-tiba.
Orang bukan hanya saja ngeri menghadapi kematian itu sendiri, namun jauh lebih dari
itu, orang ngeri menghadapi keadaan setelah kematian terjadi. Tidak demikian halnya
dengan orang yang telah putus asa menghadapi hidup karena penyakit yang diderita
sangat menyiksanya. Mereka ingin segera mendapatkan kematian, dimana bagi mereka
kematian bukan saja merupakan hal yang diharapkan, namun juga merupakan suatu hal
yang dicari dan diidamkan. Terlepas daripada siap tidaknya mereka menghadapi
kehidupan setelah kematian, mereka menginginkan kematian segera tiba. Kematian yang
diidamkan oleh pada penderita, sudah barang tentu, adalah kematian yang normal pada
umumnya, jauh dari rasa sakit dan mengerikan. Kematian inilah yang dalam istilah medis
disebut euthanasia yang mana dewasa ini diartikan dengan pembunuhan terhadap pasien
yang tipis harapannya untuk dapat sembuh.
Euthanasia sebenarnya bukanlah suatu persoalan yang baru. Bahkan euthanasia
telah ada sejak dari zaman Yunani purba. Dari Yunanilah euthanasia bergulir dan
berkembang ke beberapa negara di dunia, baik itu di Benua Eropa sendiri, Amerika
maupun di Asia. Euthanasia merupakan suatu persoalan yang cukup dilematik baik di
kalangan dokter, praktisi hukum, maupun kalangan agamawan.
Pro kontra terhadap tindakan euthanasia hingga saat ini masih terus berlangsung
(Akh. Fauzi Aseri,1995:51). Mengingat euthanasia merupakan suatu persoalan yang
rumit dan memerlukan kejelasan dalam kehidupan masyarakat, khususnya bagi
masyarakat. . Secara logika berdasarkan konteks perkembangan ilmu pengetahuan,
euthanasia tidak ada permasalahan karena hal ini merupakan suatu konsekuensi dari
proses penelitian dan juga pengembangan. Demikian juga, dipandang dari sudut
kemanusiaan, euthanasia tampaknya merupakan perbuatan yang harus dipuji yaitu
menolong sesama manusia dalam mengakhiri kesengsaraannya (Amri Amir, 1997:72).
Namun akan timbulah berbagai permasalahan ketika euthanasia didasarkan pada konteks
yang lain seperti hukum dan agama.
Dalam konteks hukum, euthanasia kian menjadi bermasalah karena berkaitan
dengan jiwa atau nyawa seseorang oleh hukum sangat dilindungi keberadaanya.
Sedangkan dalam pandangan agama, euthanasia menjadi bermasalah karena kehidupan
dan kematian adalah berasal dari penciptaNya (Djoko Prakoso dan Djaman Andhi
Nirwanto, 1984:64).
B. Rumusan Masalah
Menurut latar belakang diatas,dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1. Apakah pengertian Eutanasia?
2. Bagaimanan perkembangan Euthanasia di Indonesia?
3. Apakah klasifikasi Eutanasia?
4. Apa saja syarat dilakukannya Euthanasia?
5. Apa saja aspek-aspek dalam Euthanasia?
6. Apa saja Pro-Kontra Euthanasia?

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengertian Eutanasia


2. Untuk mengetahui perkembangan Euthanasia di Indonesia
3. Untuk mengetahui klasifikasi Eutanasia
4. Untuk mengetahui syarat dilakukannya Euthanasia
5. Untuk mengetahui aspek-aspek dalam Euthanasia
6. Untuk mengetahui Pro-Kontra Euthanasia
TREND DAN ISSUE KEPERAWATAN
EUTHANASIA

Dosen Pengajar

Johanna Tuegeh, S.Pd, S.SiT, M.Kes

Disusun Oleh Kelompok 4

1. Yulinda Tamamekeng
2. Cathrina Nongka
3. Geby Ladi
4. Adolf Kawatu
5. Nofriske Israel
6. Andri Tinungki

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MANADO


JURUSAN D-III KEPERAWATAN / TINGKAT 2A
T.A 2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat-NYA sehingga makalah
ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terima kasih, atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun
pikirannya.
Dan harapan kami, semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi kami dan para pembaca. Untuk ke depannya, dapat memperbaiki bentuk maupun menambah
isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, kami yakin masih banyak
kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik
yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Manado, 24 September 2019

Kelompok 2

DAFTAR ISI
Kata Pengantar.............................................................................................................................

Daftar Isi.....................................................................................................................................

BAB 1 : Pendahuluan

A. Latar Belakang................................................................................................................
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................
C. Tujuan Penulisan............................................................................................................
BAB 2 : Pembahasan

A. Pengertian Euthanasia......................................................................................................
B. Euthanasia di Indonesia....................................................................................................
C. Klasifikasi Euthanasia....................................................................................................
D. Syarat dilakukannya Euthanasia.......................................................................................
E. Aspek-aspek dalam Syarat dilakukannya Euthanasia.......................................................
F. Pro-kontra Syarat dilakukannya Euthanasia......................................................................
BAB 3 : Penutup

A. Kesimpulan.....................................................................................................................
B. Saran...............................................................................................................................

Daftar Pustaka

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Euthanasia merupakan menghilangkan nyawa orang atas permintaan dirinya
sendiri. Aturan mengenai masalah ini berbeda- beda di tiap- tiap Negara dan seringkali
berubah seiring dengan perubahan norma- norma budaya. Di beberapa Negara euthanasia
dianggap legal tetapi di Indonesia tindakan euthanasia tetap dilarang karena tidak ada
dasar hukum yang jelas. Sebagaiman tercantum dalam pasal KUHP 338, pasal 340, pasal
344, pasal 355 dan pasal 359. Sehingga pada kasus Ny. T euthanasia tidak dibenarkan.
Euthanasia ini ditentang untuk dilakukan atas dasar etika, agama, moral dan legal dan
juga pandangan bahwa apabila dilegalisir euthanasia dapat disalahgunakan.
 Sebagai perawat berperan dalam memberikan advokasi. serta sebagai counselor
yaitu membela dan melindungi pasien tersebut untuk hidup dan menyelamatkan
jiwanya dari ancaman kematian. Perawat diharapkan mampu memberikan
pengarahan dan penjelasan kepada keluarga pasien bahwa pasien berhak untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal dan tidak melakukan euthanasia.
Menyarankan kepada keluarga untuk mencari alternative jalan keluar dalam hal
mencari sumber biaya yang lain, menjadi jembatan penghubung diantara dokter,
tenaga kesehatan lain dan keluarga sehingga keluarga akan mendapatkan
informasi yang sejelas- jelasnya tentang kondisi pasien, seberapa besar
kemungkinan untuk sembuh dan berapa besar biaya yang telah dan akan
dikeluarkan. Memberikan pertimbangan- pertimbangan yang positif pada keluarga
dalam hal pengambilan keputusan untuk membawa pulang pasien Ny. T atau
dilakukannya euthanasia pasif. Perawat tetap memberikan perawatan pada pasien,
pemenuhan kebutuhan dasar pasien selama perawatan di ICU. Dan membantu
keluarga dalam hal permohonan atau peringanan biaya perawatan Rumah Sakit.
B. Saran
1. Bagi keluarga Keluarga sebaiknya memikirkan kembali keputusan untuk
mengajukan euthanasia. Dan permasalahan biaya agar mencari alternatif
keringanan biaya melalui Jamkesmas, Jamkesda dll.
2. Bagi Petugas (perawat, dokter dan tenaga kesehatan lainnya) Tetap memberikan
perawatan terbaik kepada pasien selama dirawat, memberikan perlindungan
kepada pasien sebagai advokat.
3. Bagi Pemerintah Apabila hukum di Indonesia kelak mau menjadikan persoalan
euthanasia sebagai salah satu materi pembahasan, semoga teap diperhatikan dan
dipertimbangkan sisi nilai etika, social maupun moral.

DAFTAR PUSTAKA
1) https://www.academia.edu/11751628/MAKALAH_EUTHANASIA
2) Billy, N. 2008. Aspek Hukum dalam Pelaksanaan Euthanasia di Indonesia.
Tersedia:http//www.hukum_kesehatan.web.id. diakses tanggal 24 September 2019
3) Fadli, Ahmad. 2000. Euthanasia dalam Medis dan Hukum Indonesia.
Tersedia:Hukum_kesehatan.web.id. teknosehat in biotik dan bio hukum. Diakses tanggal
24 September 2019

Anda mungkin juga menyukai