3
2. Pemeriksaan Laboratorium tanggal 25/05/2019
Gula Darah
Glukosa Darah Acak 116
Elektrolit
Na 141,9
K 3,02
Cl 101,1
Kolesterol 175
Trigliserida 135
1.7 Prognosis
a. Ad Vitam : dubia et malam
b. Ad functionam : dubia et malam
c. Ad sanationam : dubia et malam
1.8 Follow Up
Tanggal 26/05/2019
S/ Penurunan kesadaran
O/ ku : lemah TD: 150/90 mmHg RR : 20 x/menit
GCS 2-2-3 N : 82 x/menit Tax: 37,1˚ C
K/L : a/i/c/d = -/-/-/-
Tho: cor S1S2 tunggal e/g/m= -/-/-
pulmo Vesikuler +/+ Rhonki -/- Wheezing -/-
Abd: Flat, BU (+), timpani, soepel
Ext: AH +/+/+/+ OE -/-/-/-
5
Inj citicolin 3x500mg
Inj mecobalamin 3x500mg
Po amlodipin 1x10mg
Dx : pasien di rujuk untuk kepentingan CT scan kepala tanpamkontras dan
perawatan lebih lanjut.
6
BAB I
PENDAHULUAN
7
umur di Indonesia. Stroke, bersama-sama dengan hipertensi, penyakit jantung
iskemik dan penyakit jantung lainnya, juga merupakan penyakit tidak menular
utama penyebab kematian di Indonesia.7 Penderita laki-laki lebih banyak daripada
perempuan dan profil usia di bawah 45 tahun sebesar 11,8%, usia 45-64 tahun
54,2%, dan usia di atas 65 tahun sebesar 33,5%.8
Perdarahan intra serebral terhitung sekitar 10 - 15% dari seluruh stroke dan
memiliki tingkat mortalitas lebih tinggi dari infark serebral. Literatur lain
menyatakan hanya 8 – 18% dari stroke keseluruhan yang bersifat hemoragik.
Namun, pengkajian retrospektif terbaru menemukan bahwa 40.9% dari 757 kasus
stroke adalah stroke hemoragik. Namun pendapat menyatakan bahwa peningkatan
presentase mungkin dikarenakan karena peningkatan kualitas pemeriksaan seperti
ketersediaan CT scan, ataupun peningkatan penggunaan terapeutik agen
antiplatelet dan warfarin yang dapat menyebabkan perdarahan.45
Adanya unit stroke telah terbukti dapat menurunkan angka kematian dan
menurunkan derajat kecacatan selain mengurangi waktu perawatan bagi pasien di
rumah sakit.9 Menurut NIHSS (National Institute Health Stroke Scale), perawatan
pada unit stroke menunjukkan perbaikan defisit neurologis yang signifikan
dibandingkan bangsal biasa (10,4% pada unit stroke dan 5,4% pada bangsal
biasa).10
Untuk dapat mendiagnosis dan mendefinisikan tipe stroke bisa cukup sulit
dan tidak akurat bila hanya berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Penggunaan Head CT-Scan sebagai baku emas dalam mendiagnosa stroke perlu
dilakukan. Namun tidak semua penyedia pelayanan kesehatan memiliki Head CT-
Scan.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
9
Setiap 40 detik, 1 orang mengalami stroke, dan setiap 4 detik, 1 orang meninggal
akibat stroke.14
Pada survey tahun 2005, 93% responden mengetahui bahwa rasa kebas pada
sebagian tubuh secara tiba-tiba merupakan salah satu gejala stroke. Hanya 38%
yang menyadari semua gejala stroke dan mencari pertolongan pertama.15 Telah
diketahui bahwa pasien yang tiba di ruang gawat darurat dalam waktu 3 jam sejak
gejala pertama cenderung untuk mempunyai lebih sedikit disabilitas dalam 3
bulan daripada yang menerima pertolongan lebih lambat.16
Di Indonesia, prevalensi stroke meningkat dari 8,3 per 1.000 penduduk
(tahun 2007) menjadi 12,1 per 1.000 penduduk (2013).17 Prevalensi stroke pada
pria sama banyaknya dengan wanita. Prevalensi penyakit stroke pada kelompok
tertinggi pada usia di atas 75 tahun (43,1‰).
10
2.4.1. Faktor Risiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi
Usia, jenis kelamin, ras, etnis, dan keturunan diketahui merupakan pertanda
risiko stroke. Walaupun faktor risiko ini tidak dapat dimodifikasi, apabila
diketahui adanya faktor risiko ini, memungkinkan untuk diidentifikasinya pasien
dengan risiko yang tinggi, sehingga dapat dilakukan terapi yang lebih cepat
terhadap faktor risiko yang dapat dimodifikasi.18
Usia merupakan faktor risiko tunggal yang berperan pada penyakit stroke.
Setiap kenaikan 10 tahun setelah usia 55 tahun, risiko stroke meningkat dua kali
pada pria dan wanita. Insidens stroke ditemukan 1,25 lebih banyak pada pria.18.19
Peningkatan insidens stroke dalam keluarga disebabkan karena beberapa
hal, antara lain, kecenderungan genetik, dan paparan lingkungan atau gaya hidup
yang mirip. Pada penelitian Framingham, menunjukkan bahwa riwayat dari ayah
dan ibu berhubungan dengan peningkatan risiko stroke.18 Risiko stroke juga
meningkat apabila ditemukan saudara derajat satu mempunyai penyakit jantung
koroner atau stroke sebelum usia 55 tahun (laki-laki) atau 65 tahun (wanita).19
Riwayat seseorang pernah mengalami gejala stroke (TIA/Transient ischemic
attack) meningkatkan risiko 10 kali dibandingkan seseorang yang tidak memiliki
riwayat stroke. Riwayat penyakit jantung sebelumnya juga memiliki risiko yang
sama.20
Pada usia tua, salah satu faktor risiko yang paling penting adalah adanya
amiloid angiopati. Amiloid angiopati serebral (CAA) disebabkan karena mutasi
pada protein prekursor amiloid atau gen protein sistatin C yang diturunkan dengan
pola autosomal dominan. Amiloid angiopati sering asimptomatik, tetapi
merupakan penyebab penting terjadinya perdarahan intraserebral lobaris pada
pasien usia tua.21
11
aneurisma, vaskulitis, dan keganasan intrakranial juga merupakan faktor risiko
terjadinya stroke hemoragik.22-25
Hipertensi adalah faktor risiko yang paling kuat dan sering memicu ICH. 18
Lebih dari 12,7 juta penderita stroke juga menderita hipertensi.13 Pada kasus
stroke hemoragik, sekitar 60% kasus ICH menderita hipertensi.26 Risiko ICH
diketahui meningkat berhubungan dengan tingkat tekanan darah sistolik.
Hipertrofi ventrikel kiri juga berhubungan dengan peningkatan stroke hemoragik
sebanyak dua sampai tujuh kali.18
Rendahnya sosioekonomi, penyakit mental, dan stres psikososial juga
merupakan faktor risiko stroke. Sosioekonomi rendah diketahui berhubungan
dengan peningkatan risiko stroke. Depresi, adanya stres hidup kronik, dan
gangguan panik meningkatkan risiko terjadinya stroke. Obat-obatan lain seperti
kontrasepsi oral dan terapi pengganti hormon juga meningkatkan risiko stroke.19
Faktor risiko lainnya, yaitu konsumsi alkohol, diketahui apabila konsumsi alkohol
satu hingga dua gelas per hari dapat menurunkan risiko sebanyak 30%. Namun,
peminum berat dapat merusak miokardium.19
Koagulopati yang menyebabkan perdarahan disebabkan karena kurangnya
faktor pembekuan atau adanya kelainan pada hepar. Koagulopati yang
menyebabkan ICH biasanya terjadi karena penggunaan antikoagulan, antagonist
platelet, dan obat lainnya yang bersifat antikoagulan.27
Tingginya kadar kolesterol total, LDL, dan trigliserida, dan rendahnya kadar
kolesterol HDL meningkatkan risiko stroke. Hal yang sama juga terjadi pada
merokok. Merokok secara pasif merupakan faktor risiko tambahan untuk stroke.
Kurangnya aktivitas fisik akan meningkatkan risiko stroke dan PJK sebanyak
50%.19
12
ruptur aneurisma terjadi setiap tahun (sekitar 5-15%). Rupturnya aneurisma ini
tidak diketahui secara jelas, namun berhubungan dengan hipertensi dan merokok.
Merokok dan hipertensi diketahui menyebabkan defek struktural dengan
menginduksi perubahan endovaskular, terutama di bagian tunika media, yang
menyebabkan kelemahan fokal pada dinding pembuluh darah yang menyebabkan
aneurysmal ballooning pada bifurkasio arteri.28
Lokasi paling sering terjadinya aneurisma serebri pada daerah sekitar arteri
kommunikans anterior dan arteri serebri anterior, pada percabangan dekat arteri
serebri media dan percabangan antara arteri basiler dan arteri serebri posterior.
Terjadinya perdarahan parenkim otak pada aneurisma tersebut merupakan
perdarahan intraserebral.29,30 Perdarahan intraserebral terdiri dari tiga fase, (1)
perdarahan awal, (2) ekspansi hematoma, dan (3) edema perihematom.31
13
Perdarahan awal terjadi karena ruptur arteri serebri yang disebabkan faktor
risiko yang telah disebutkan sebelumnya. Ekspansi hematoma terjadi beberapa
jam setelah gejala awal terjadi dimana terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
Ekspansi ini akan berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam. Ekspansi
hematoma juga akan mengganggu integritas jaringan lokal (cedera otak primer
yang diakibatkan dari efek masa hematom).32,33
14
Gambar 2.2. Patogenesis Perdarahan Intraserebral34
15
Patofisiologi Perdarahan Subarakhnoid
Proses patologis yang terjadi pada PSA adalah terjadi pecahnya darah
arteri secara tiba-tiba yang terjadi pada ruang subarakhnoid atau ke bagian otak.
Pada perdarahan subarakhnoid, perdarahan disebabkan dari aneurisma Berry pada
salah satu arteri pada dasar otak, sekitar sirkulus Willis.34
16
vasokonstriksi akut, agregasi platelet mikrovaskular, dan hilangnya perfusi
mikrovaskular serebri yang menyebabkan penurunan aliran darah otak dan
iskemik serebri.30,34
2.6.1. Anamnesis
Hal yang harus diketahui adalah mengenai onset gejala, apakah gejala
dialami pada saat pasien sedang beraktivitas, bagaimana perjalanan gejala, faktor-
faktor risiko yang ada pada pasien, berapa kali serangan telah dialami oleh
penderita. Apakah serangan disertai nyeri kepala, mual dan muntah.38
Hal lain yang perlu ditanyakan juga adalah apakah pasien mengalami
kesemutan separuh badan, gangguan penglihatan, apakah terjadi penurunan
intelektualitas, dan riwayat pemakaian obat sebelumnya. Riwayat trauma juga
perlu ditanyakan.30,38
17
leher (cedera kepala akibat jatuh saat kejang, bruit karotis, dan tanda distensi vena
jugular pada gagal jantung kongestif.)10
Pemeriksaan neurologis dan skala stroke. Pemeriksaan neurologis
terutama pemeriksaan saraf kranialis, rangsang selaput otak, sistem motorik, sikap
dan cara jalan, refleks koordinasi, sensorik, dan fungsi kognitif. Skala stroke yang
digunakan adalah NIHSS (National Institutes of Heart Stroke Scale). Hipertensi
(tekanan darah sistolik di atas 220 mmHg) biasanya ditemukan pada stroke
hemoragik. Tekanan darah awal yg tinggi berhubungan dengan kerusakan
neurologis dini. Hal yang sama juga berlaku pada demam.10,30
Onset akut defisit neurologis, perubahan kesadaran atau status mental
lebih sering ditemukan pada stroke hemoragik. Hal ini disebabkan karena
peningkatan tekanan intrakranial. Meningismus dapat juga terjadi karena darah
pada ruang subarakhnoid.38
Defisit fokal neurologis
Defisit neurologis yang terjadi tergantung daerah otak yang terlibat. Apabila
terkena pada hemisfer yang kiri, sindroma berikut dapat terjadi: 30
1. Hemiparesis kanan
2. Kehilangan sensorik pada bagian kanan tubuh
3. Kecenderungan melihat pada sebelah kiri
4. Kehilangan lapangan pandang sebelah kanan
5. Afasia
Apabila terjadi pada hemisfer sebelah kanan, terjadi hal sebaliknya dari yang telah
disebutkan di atas.
Apabila perdarahan terjadi pada serebellum, pasien berisiko tinggi terjadi
herniasi dan kompresi batang otak. Herniasi akan menyebabkan penurunan
kesadaran yang cepat dan mengakibatkan apnea dan kematian.30
Tanda lain dari perdarahan pada serebelum atau batang otak dapat berupa
ataxia, vertigo atau tinitus, mual dan muntah, hemiparesis atau quadriparesis,
kehilangan fungsi sensorik sebagian tubuh atau keempat ekstremitas, gangguan
18
sensorik pada separuh tubuh atau keempat ekstremitas, kelemahan orofaringeal
atau disfagia, crossed signs (wajah ipsilateral dan badan kontralateral).30
Sindrome stroke lainnya berhubungan dengan perdarahan intraserebral,
bervariasi mulai dari nyeri kepala ringan sampai gangguan neurologis. Perdarahan
serebri pada onset awal dapat menimbulkan kejang.30
20
kemungkinan AVM, aneurisma atau tumor sebagai penyebab perdarahan
intraserebral.38
Pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan adalah darah lengkap,
elektrolit, kadar ureum, kadar kreatinin, dan glukosa. Kadar kreatinin yang tinggi
berhubungan dengan adanya ekspansi hematom. Kadar glukosa yang tinggi juga
menunjukkan adanya ekspansi hematoma dan prognosis yang lebih buruk.31,40
Pemeriksaan darah lengkap diperlukan untuk menentukan keadaan
hematologi yang mempengaruhi stroke, misalnya anemia atau polisitemia.38,41
Selain itu, kadar gula darah diperiksa untuk mengetahui adanya DM. Tingginya
kadar gula darah berkaitan dengan angka kecacatan dan kematian. Kadar gula
darah diperiksa juga untuk menyingkirkan hipoglikemia yang memberikan
gambaran klinik menyerupai stroke. 38
Pemeriksaan elektrolit serum untuk memeriksa osmolaritas serum yang
berkaitan dengan dehidrasi dan pemberian osmoterapi pada penderita stroke
dengan peningkatan tekanan intrakranial. Faal hemostasis seperti jumlah
trombosit, waktu protrombin, dan tromboplastin (aPTT) diperlukan untuk
pemakaian obat antikoagulan dan trombolitik. 38
22
Kejang lebih sering ditemukan pada stroke iskemik dan terjadi pada 28% stroke
hemoragik.
Pada perdarahan subarakhnoid perdarahan mengiritasi meningens. Hal ini
menyebabkan gejala nyeri kepala hebat yang tiba-tiba dan kaku kuduk. Sering
juga dijumpai adanya kehilangan kesadaran sementara pada saat perdarahan
terjadi. Onset yang terjadi secara tiba-tiba ini yang membedakan perdarahan
subarakhnoid dari nyeri kepala dan kaku kuduk dari meningitis, yang terjadi
dalam beberapa jam. Migren terkadang dapat menyebabkan nyeri kepala hebat
secara tiba-tiba tetapi tanpa kaku kuduk.34
Perdarahan intraserebral pada bagian kapsula interna akan menyebabkan
gangguan berat pada motorik, sensorik, dan gangguan penglihatan pada sisi
kontralateral tubuh (hemiplegia, hemianestesi, dan hemianopia homonim). Pada
pons, kehilangan fungsi motorik dan sensorik pada keempat ekstremitas,
berhubungan dengan gangguan fungsi batang otak. Perdarahan pada pons
merupakan perdarahan dengan tingkat mortalitas yang sangat tinggi. Perdarahan
pada sistem ventrikular, baik berasal dari perdarahan subarakhnoid atau
intraserebral, merupakan pertanda prognosis yang buruk. Apabila terjadi,
perdarahan ini sering menyebabkan kematian dalam waktu beberapa jam setelah
perdarahan.34
2.8. Penatalaksanaan
Setelah evaluasi dan diagnosis pasien, terapi yang dilakukan di ruang
gawat darurat adalah:10
1. Stabilisasi jalan napas
a. Pemantauan terhadap status neurologis, tanda vital, dan saturasi
oksigen dalam 72 jam pertama pada pasien dengan defisit neurologis
yang nyata.
b. Pemberian oksigen pada keadaan saturasi oksigen < 95%. Oksigen
diberikan 2 liter/menit.
23
c. Perbaiki jalan nafas dengan pemasangan pipa orofaring pada pasien
yang tidak sadar. Berikan bantuan ventilasi pada pasien yang
mengalami penurunan kesadaran.
d. Intubasi ETT (Endotracheal Tube) atau LMA (Laryngeal Mask
Airway) diperlukan pada pasen hipoksia (pO2 < 60 mmHg atau pCO2 >
50 mmHg), yang berisiko terjadi aspirasi atau syok.
2. Stabilisasi Hemodinamik
a. Berikan cairan kristaloid atau koloid. Hindari pemberian cairan
hipotonik seperti dekstrosa.
b. Dianjurkan pemasangan CVC (Central Venous Catheter) untuk
memantau kecukupan cairan. Tekanan dijaga 5-12 mmHg.
c. Optimalisasi tekanan darah
d. Bila tekanan darah sistolik < 120 mmHg dan cairan sudah mencukupi,
maka obat-obatan vasopressor dapat diberikan secara titrasi seperti
dopamin dosis sedang/tinggi, norepinefrin atau epinefrin dengan target
tekanan darah sistolik sebesar 140 mmHg.
e. Hipovolemia harus dikoreksi dengan larutan salin normal.
3. Pengendalian Peninggian Tekanan Intrakranial (TIK)
a. Pemantauan ketat terhadap penderita dengan risiko edema serebral
harus dilakukan dengan memperhatikan perburukan gejala dan tanda
neurologis pada hari pertama setelah serangan stroke.
b. Monitor TIK harus dilakukan pada pasien dengan GCS < 9 dan
penderita yang mengalami penurunan kesadran karena penurunan TIK.
Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan CPP > 70 mmHg.
c. Penatalaksanaan untuk menurunkan peningkatan TIK:
- Tinggikan posisi kepala 20-30o
- Posisi pasien hendaklah menghindari tekanan vena jugular
- Hindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
- Hindari hipertermia
- Jaga normovolemia
24
- Osmoterapi atas indikasi sebagai berikut:
o Manitol 0,25-0,50 gram/kgBB, selama > 20 menit, diulangi
setiap 4-6 jam dengan target < 310 mOsm/L.
o Kalau perlu, furosemide dengan dosis inisial 1 mg/kgBB/iv
- Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi dapat
mengurangi naiknya TIK dengan mengurangi naiknya tekanan
intratorakal dan tekanan vena akibat batuk, suction, bucking
ventilator.
- Kortikosteroid tidak direkomendasikan untuk mengatasi edema
otak dan tekanan tinggi intrakranial pada stroke iskemik, dan dapat
diberikan kalau diyakini tidak ada kontraindikasi.
4. Apabila kejang, dapat diberikan diazepam bolus lambat intravena 5-20 mg
dan diikuti pemberian fenitoin loading dose 15-20 mg/kg bolus dengan
kecepatan maksimum 50 mg/menit. Bila kejang belum teratasi, rawat di
ICU.
5. Pada stroke perdarahan intraserebral, pemberian antikonvulsan profilaksis
dapat diberikan selama 1 bulan, kemudian diturunkan, dan dihentikan bila
kejang tidak dijumpai selama pengobatan.
6. Pengendalian suhu tubuh:
a. Setiap pasien demam harus diobati dengan antipiretika dan diatasi
penyebabnya.
b. Berikan asetaminofen 650 mg bila suhu lebih dari 37,5-38,5oC.
c. Pada pasien febris atau berisiko terjadi infeksi, harus dilakukan
kultur dan hapusan (trakea, darah, urin) dan diberikan antibiotik.
Penatalaksanaan pada ruang rawat inap.
1. Cairan diberikan cairan isotonis seperti 0,9% salin untk menjaga euvolemi
dengan kebutuhan cairan 30 ml/kgBB/hari.
2. Nutrisi
a. Nutrisi enteral paling lambat diberikan dalam 48 jam, nutrisi oral
hanya boleh diberikan setelah tes fungsi menelan baik.
25
b. Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran, nutrisi diberikan
melalui pipa nasogastrik.
c. Pada keadaan akut, komposisi kalori 25-30 kkal/kg/hari, dengan
komposisi:
i. Karbohidrat 30-40% dari total kalori
ii. Lemak 20-35% (pada gangguan nafas dapat diberikan lebih
tinggi 35-55%)
iii. Protein 20-30% (pada keadaan stres kebutuhan protein 1,4-
2,0 g/kgBB/hari, pada gangguan fungsi ginjal < 0,8
g/kgBB/hari).
3. Pencegahan dan Komplikasi
a. Mobilisasi untuk mencegah komplikasi subakut malnutrisi,
pneumonia, trombosis vena dalam, emboli, dekubitus perlu
dilakukan
b. Berikan antibiotika sesuai indikasi.
c. Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi
4. Penatalaksanaan medis lain44
a. Pemantauan kadar glukosa darah diperlukan. Hiperglikemia (KGD
> 180 mg/dl) pada stroke akut harus diobati dengan titrasi insulin.
Hipoglikemia berat (<50mg/dL) harus diobati dengan dekstrosa
40% intravena atau infuse glukosa 10-20%.
b. Analgesik dan antimuntah sesuai indikasi
c. Berikan H2 antagonis sesuai indikasi
d. Hati-hati dalam menggerakkan, penyedotan lendir, atau
memandikan pasien karena dapat mempengaruhi TIK.
e. Kandung kemih yg penuh dikosongkan, sebaiknya dengan
kateterisasi intermiten.
26
Pada pasien dengan stroke perdarahan intraserebral akut, apabila TDS >
200 mmHg atau Mean Arterial Pressure (MAP) > 150 mmHg, tekanan darah
diturunkan dengan obat antihipertensi secara kontiniu dengan pemantauan TD
setiap 5 menit.
Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg disertai dengan gejala
dan tanda peningkatan tekanan intracranial, dilakukan pemantauan tekanan
intracranial. Tekanan darah diturunkan dengan menggunakan obat antihipertensi
intravena secara kontinu atau intermiten dengan pemantauan tekanan perfusi
serebral ≥60 mmHg.
Apabila TDS >180 mmHg atau MAP >130 mmHg tanpa disertai gejala
dan tanda peningkatan tekanan intracranial, tekanan darah diturunkan secara hati-
hati dengan menggunakan obat antihipertensi intravena kontinu atau intermitten
dengan pemantauan tekanan darah setiap 15 menit hingga MAP 110 mmHg atau
tekanan darah 160/90 mmHg. Pada studi INTERACT 2010, penurunan TDS
hingga 140 mmHg masih diperbolehkan. Pada pasien stroke perdarahan
intraserebral dengan TDS 150-220 mmHg, penurunan tekanan darah dengan cepat
hingga TDS 140 mmHg cukup aman.
Penanganan nyeri termasuk upaya penting dalam penurunan tekanan darah
pada penderita stroke perdarahan intraserebral. Pemakaian obat antihipertensi
parenteral yang dianjurkan adalah golongan penyekat beta (labetalol dan esmolol),
penyekat kanal kalsium (nikardipin dan diltiazem) intravena.
Pada perdarahan subaraknoid (PSA) aneurismal, tekanan darah harus
dipantau dan dikendalikan bersama pemantauan tekanan perfusi serebral untuk
mencegah resiko terjadinya stroke iskemik sesudah PSA serta perdarahan ulang.
Untuk mencegah terjadinya perdarahan subarakhnoid berulang, pada pasien stroke
perdarahan subarakhnoid akut, tekanan darah diturunkan hingga TDS 140-160
mmHg. Sedangkan TDS 160-180 mmHg sering digunakan sebagai target TDS
dalam mencegah resiko terjadinya vasospasme, namun hal ini bersifat individual,
tergantung pada usia pasien, berat ringannya kemungkinan vasospasme dan
komorbiditas kardiovaskular.
27
Calcium Channel Blocker (nimodipin) telah diakui dalam berbagai
panduan penatalaksanaan PSA karena dapat memperbaiki keluaran fungsional
pasien apabila vasospasme serebral telah terjadi. Pandangan akhir-akhir ini
menyatakan bahwa hal ini terkait dengan efek neuroprotektif dari nimodipin.
Tindakan bedah (ligasi, embolisasi, ekstirpasi, maupun gamma knife) dianjurkan
jika penyebabnya adalah aneurisma atau malformasi arteri-vena (arteriovenous
malformation, AVM).44
Penurunan tekanan darah pada stroke akut dapat dipertimbangkan hingga
lebih rendah dari target di atas pada kondisi tertentu yang mengancam target
organ lainnya, misalnya diseksi aorta, infark miokard akut, edema paru, gagal
ginjal akut dan ensefalopati hipertensif. Target penurunan tersebut adalah 15-25%
pada jam pertama, dan TDS 160/90 mmHg dalam 6 jam pertama. Bahkan, sebuah
review sistematik dan beberapa penelitian multisenter di China menunjukkan
tekanan darah sistolik di atas 140 sampai 150 mmHg dalam 12 jam ICH
meningkatkan risiko sebanyak dua kali terhadap kematian.42,43
Pemakaian obat-obatan neuroprotektor belum menunjukkan hasil yang
efekif, sehingga sampai saat ini belum dianjurkan. Namun, citicolin sampai saat
ini masih memberikan manfaat pada stroke akut. Penggunaan citicolin pada stroke
iskemik akut dengan dosis 2x1000 mg intravena 3 hari dan dilanjutkan dengan
oral 2x1000 mg selama 3 minggu dilakukan dalam penelitian ICTUS
(International Citicholin Trial in Acute Stroke).10
Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume hematoma >30
mL, perdarahan intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan keadaan klinis
cenderung memburuk. Bila terdapat gagal jantung, tekanan darah harus segera
diturunkan dengan labetalol iv 10 mg (pemberian dalam 2 menit) sampai 20 mg
(pemberian dalam 10 menit) maksimum 300 mg; enalapril iv 0,625-1.25 mg per 6
jam; kaptopril 3 kali 6,25-25 mg per oral.44
2.9 Komplikasi dan Prognosis Stroke Hemoragik
Peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi adalah komplikasi yang
paling ditakutkan pada perdarahan intraserebral. Perburukan edem serebri sering
28
mengakibatkan deteoriasi pada 24-48 jam pertama. Perdarahan awal juga
berhubungan dengan deteorisasi neurologis, dan perluasan dari hematoma tersebut
adalah penyebab paling sering deteorisasi neurologis dalam 3 jam pertama. Pada
pasien yang dalam keadaan waspada, 25% akan mengalami penurunan kesadaran
dalam 24 jam pertama. Kejang setelah stroke dapat muncul. Selain dari hal-hal
yang telah disebutkan diatas, stroke sendiri adalah penyebab utama dari disabilitas
permanen.45
Prognosis bervariasi bergantung pada tingkap keparahan stroke dan lokasi
serta ukuran dari perdarahan. Skor dari Skala Koma Glasgow yang rendah
berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk dan mortalitas yang lebih tinggi.
Apabila terdapat volume darah yang besar dan pertumbuhan dari volume
hematoma, prognosis biasanya buruk dan outcome fungsionalnya juga sangat
buruk dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Adanya darah dalam ventrikel bisa
meningkatkan resiko kematian dua kali lipat. Pasien yang menggunakan
antikoagulasi oral yang berhubungan dengan perdarahan intraserebral juga
memiliki outcome fungsional yang buruk dan tingkat mortilitas yang tinggi.45
30