ILUSTRASI KASUS
1.2 Anamnesis
Diambil secara : Alloanamnesis dengan Ibu pasien
Tgl : 09 September 2019
Jam : 19.30 WIB
Tempat : IGD
a. Keluhan Utama
Tidak memiliki anus sejak lahir, feses keluar lewat penis
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Kab. Bekasi dibawa oleh orang tuanya dengan
keluhan tidak memiliki anus sejak dilahirkan 2 hari SMRS.Pasien lahir normal, cukup
bulan dan ditolong oleh bidan dengan berat lahir 2800 gr dan panjang badan 45 cm. Saat
dilahirkan bidan langsung memberitahu keluarga bahwa pasien tidak memiliki anus,
namun orang tua pasien baru membawa pasien keesokan harinya ke RSUD untuk
ditangani lebih lanjut. Pasca lahir orang tua mengatakan pasien belum BAB, dan keluar
kotoran melalui alat kelamin. Pasien saat ini rewel, dan muntah jika mengkonsumsi ASI.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Selama masa kehamilan ibu pasien menyangkal pernah mengkonsumsi obat-obatan
tertentu, tidak pernah mengalami trauma, dan rutin kontrol ke Bidan.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Dalam keluarga pasien tidak ada pernah mengalami keluhan yang sama dengan pasien
Abdomen :
Inspeksi : datar, tampak kembung dan membesar
Palpasi : Distensi (+), defans muscular (-), hepar dan lien tidak
teraba, LP : 36 cm
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) terdengar lemah
Ekstremitas : akral hangat (+) edema (-)
Hematologi
Hb 13,5 g/dl 15.0 – 24,6
Ht 37 % 50 – 82
Leukosit 12.7 Ribu/ul 5.0 – 10. 0
Trombosit 334 Ribu/ul 150 – 450
Glukosa sewaktu
Glukosa darah sewaktu 77 mg/dl 30 – 60
Kalium 3.1 mmol/L 3,5 – 5,0
Klorida 111 mmol/L 95 – 108
1.5 Resume
Bayi laki-laki, 3 hari datang dengan keluhan tidak memiliki anus sejak dilahirkan 21
jam SMRS.Pasien lahir normal, cukup bulan dan ditolong oleh bidan dengan berat lahir
2800 gr dan panjang badan 45 cm. Sejak lahir belum BAB sama sekali, keluar BAB
lewat kelamin (+) , pasien rewel, dan muntah jika mengkonsumsi ASI. Selama hamil ibu
pasien tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan tertentu, tidak pernah mengalami trauma,
tidak pernah mengalami sakit berat. Dalam keluarga pasien tidak ada yang pernah
mengalami keluhan yang sama dengan pasien.
Pada hasil pemeriksaan fisik didapatkan semua masih dalam batas normal, kecuali pada
abdomen distensi (+), LP 36 cm, regio anus didapatkan dari inspeksi: tidak tampak anus.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium semuanya relatif dalam batas normal.
1.9 Penatalaksanaan
- OGT
- Inj. Paracetamol 4 x 30 mg
- IVFD N5 120 cc / Kg Bb / 24 Jam
- Ceftriaxone 1 x 150 mg
- Rencana Penatalaksanaan Kolostomi
1.10 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam
FOLLOW UP
11 September 2019
S: Bayi usia 5 hari, Post operasi kolostomy
O:
Keadaan Umum : Sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Tekanan Darah : -
Frekuensi Nadi :125x/menit
Frekuensi Nafas : 45x/menit
Suhu : 36,4˚C
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung dan
tidak langsung (+)
Hidung : secret (-)
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thorax : Cor Bunyi jantung I-II, murmur (-), gallop (-)
Pulmo Vesikuler (+), ronkhi (-), wheezing (-)
Abdomen : Bising usus (+), Distensi (↓), Kolostomi (+)
Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), CRT <3 detik
Hematologi rutin
10.30 Rujukan
Hb 10,6 g/dL ↓ 15 -24.7 g/dl
Hct 29% 50-82%
Leu 8,2 10^3/μL 5.5-15.5 10^3/ μL
Trb 51 10^3/μL ↓ 150-450 10^3/μL
Eri 3,10 10^6/μL 4.0 - 6.8 10^6/μL
Hemostasis
PT 14,4 detik 10.3 – 12.9
APTT 70.7 detik 25.8 – 33.7
Elektrolit
Natrium 137 mmol/L 136 -146 mmol/L
Kalium 2.7 mmol/L 3.5 – 5.0 mmol/L
Klorida 111 mmol/L 98-106 mmol/l
Kimia Darah
GDS Stix 149 mg/dL 30 – 60 mg/dL
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Atresia Ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforate meliputi
anus, rectum atau keduanya. Atresia ini atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi
membran yang memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang
tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus
namun tidak berhubungan langsung dengan rectum, atresia ani merupakan kelainan bawaan
(kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus.1,2
Atresia Ani adalah suatu kelainan congenital dimana menetapnya membrane anus
sehingga anus tertutup. Defek ini tidak selalu total; kadangkala sebuah lubang sempit masih
memungkinkan keluarnya isi usus. Bila penutupannya total anus tampak sebagai lekukan kulit
perineum; keadaan ini seringkali disertai atresia rectum bagian bawah.3
Atresia berasal dari bahasa Yunani artinya tidak ada, trepis artinya nutrisi atau makanan.
Dalam istilah kedokteran atresia itu sendiri adalah keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang
badan normal atau organ tubular secara kongenital disebut juga clausura. Dengan kata lain tidak
adanya lubang di tempat yang seharusnya berlubang atau buntunya saluran atau rongga tubuh,
hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak lahir atau terjadi kemudian karena proses penyakit yang
mengenai saluran itu. Atresia dapat terjadi pada seluruh saluran tubuh, misalnya atresia ani.
Atresia ani yaitu tidak berlubangnya dubur. Atresia ani memiliki nama lain yaitu anus
imperforata. Jika atresia terjadi maka hampir selalu memerlukan tindakan operasi untuk
membuat saluran seperti keadaan normalnya.2
2.2 Embriologi
Secara embriologi, saluran pencernaan berasal dari foregut, midgut dan hindgut. Foregut
akan membentuk faring, sistem pernafasan bagian bawah, esofagus, lambung sebagian
duodenum, hati dan sistem bilier serta pankreas. Midgut membentuk usus halus, sebagian
duodenum, sekum, appendik, kolon asenden sampai pertengahan kolon transversum. Hindgut
meluas dari midgut hingga ke membrana kloaka, membrana ini tersusun dari endoderm kloaka,
dan ektoderm dari protoderm atau analpit. Usus terbentuk mulai minggu keempat disebut sebagai
primitif gut. Kegagalan perkembangan yang lengkap dari septum urorektalis menghasilkan
anomali letak tinggi atau supra levator. Sedangkan anomali letak rendah atau infra levator
berasal dari defek perkembangan proktoderm dan lipatan genital. Pada anomali letak tinggi, otot
levator ani perkembangannya tidak normal. Sedangkan otot sfingter eksternus dan internus dapat
tidak ada atau rudimenter.
2.3 Anatomi
Bagian usus besar yang terakhir dinamakan rektum dan terbentang dari kolon sigmoid
sampai anus (muara ke bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dari rektum dinamakan kanalis ani
dan dilindungi oleh sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum dan kanalis ani sekitar
5,9 inci (15 cm). Sekum dan bagian kolon transversum maupun banyak kolon sigmoideum
seluruhnya di dalam peritoneum,sedangkan sepertiga bawah rektum di bawah peritoneum dan
sepertiga atas ekstra peritoneum di atas permukaan posteriornya. Bagian asendens dan desendens
kolon ditutup oleh peritoneum hanya pada permukaan anterior.3
Kanalis analis berasal dari proktoderm yang merupakan invaginasi ectoderm, sedangkan
rectum berasal dari endoderm. Karena perbedaan asal anus dan rectum ini maka perdarahan,
persarafan, serta penyaliran vena dan limfenya berbeda juga, demikian pula epitel yang
menutupinya.
Rektum memiliki empat lapisan morfologik seperti juga bagian usus lainnya.Rectum
dilapisi oleh mukosa glanduler usus sedangkan kanalis analis oleh anoderm yang merupakan
lanjutan epitel berlapis gepeng kulit luar. Tidak ada yang disebut mukosa anus. Daerah batas
rectum dan kanalis analis ditandai dengan perubahan jenis epitel. Kanalis analis dan kulit luar di
sekitarnya kaya akan persarafan sensoris somatik dan peka terhadap rangsangan nyeri ,
sedangkan mukosa rektum mempunyai persarafan autonom dan tidak peka terhadap nyeri. Nyeri
bukanlah gejala awal pengidap karsinoma rektum, sementara fissura anus nyeri sekali. Darah
vena di atas garis anorektum mengalir melalui sistem orta, sedangkan yang berasal dari anus
dialirkan ke sistem kava melalui cabang v. Iliaka. Distribusi ini menjadi penting dalam upaya
memahami cara penebaran keganasan dan infeksi. Sistem limfa sepanjang pembuluh
hemoroidales superior ke arah kelenjar limfa paraorta melalui kelenjar limfa paraorta melalui
kelenjar limfa iliaka interna, sedangkan limfa yang berasal dari kanalis analis mengalir kearah
kelenjar inguinal.
Kanalis analis berukuran panjang kurang lebih 3 cm. Sumbunya mengarah ke
ventrokranial yaitu kearah umbilikus dan membentuk sudut yang nyata ke dorsal dengan rektum
dalam keadaan istirahat. Batas atas kanalis anus disebut garis anorektum, garis mukokutan, linea
pektinata atau linea dentata. Di daerah ini terdapat kripta anus dan muara kelenjar anus antara
kolumna rektum. Infeksi yang terjadi disini dapat menimbulkan abses anorektum yang dapt
membentuk fistel. Lekukan antar sfingter sirkuler dapat diraba di dalam kanalis analis sewaktu
melakukan colok dubur.dan menunjukkan batas antara sfingter intern dan sfingter ekstern (garis
hilton)
Cincin sfingtern anus melingkari kanalis analis dan terdiri dari sfingter intern dan sfingter
ekstern. Sisi posterior dan lateral cincin ini terbentuk dari fusi sfingter intern, otot longitudinal,
bagian tengah dari otot levator (puborektalis) dan komponen m. Sfingter eksternus. M. Sfingter
internus terdiri atas serabut otot polos, sedangkan m. Sfingter eksternus terdiri atas serabut otot
lurik.
Gambar 1. Rektum dan anus
Perdarahan arteri
Arteri hemoroidales superior adalah kelanjutan langsung a. Mesenterika inferior. Arteri
ini membagi diri menjadi dua cabang utama: kiri dan kanan.Arteri hemoroidales medialis
merupakan percabangan anterir a.iliaka interna , sedangkan a. Hemoroidales inferior adalah
cabang a. Pudenda interna. Anastomises antara arkade pembuluh inferior dan superior
merupakan sirkulasi kolateral yang mempunyai makna penting pada tindak bedah atau sumbatan
aterosklerotik di daerah percabangan aorta dan a. Iliaka. Anastomises tersebut ke pembuluh
kolateral hemoroid inferior dapat memjamin perdarahan di kedua ekstremitas bawah. Perdarahan
di pleksus hemoroidales merupakan kolateral luas dan kaya sekali darah.
Perdarahan vena
Pembuluh vena kolon berjalan paralel dengan arterinya. Aliran darah vena disalurkan dari
Vena hemoridalis superior berasal dari pleksus hemoroidalis internus dan berjalan ke arah
kranial ke dalam v. Mesenterika inferior dan seterusnya melalui v. Lienalis ke vena porta. Vena
ini tidak berkatup sehingga tekanan rongga perut menentukan tekanan di dalamnya. V.
Hemoroidalis inferior mengalirkan darah ke dalam v. Pudenda interna dan kedalam v. Iliaka
interna dan vena kava. Pada batas rektum dan anus terdapat banyak kolateral arteri dan vena
melalui perdaran hemoroidal antara sistem pembuluh saluran cerna dan sistem arteri dan vena
iliaka
Aliran darah vena disalurkan melalui v.mesenterika superior untuk kolon asendens dan
kolon transversum, dan melalui v.mesenterika inferior untuk kolon desendens, sigmoid dan
rektum. Keduanya bermuara ke dalam v.porta, tetapi v.mesenterika inferior melalui v.lienalis.
Aliran vena dari kanalis analis menuju ke v.kava inferior. Oleh karena itu, anak sebar yang
berasal dari keganasan rektum dan anus dapat ditemukan di paru, sedangkan yang berasal dari
kolon ditemukan di hati.
Persarafan
Persarafan rektum terdiri atas sistem simpatik dan sistem parasimpatik. Serabut simpatik
berasal dari pleksus mesenterikus inferior dan dari sistem parasakral yang terbentuk dari
ganglion simpatis lumbal ruas kedua, ketiga, dan keempat. Unsur simpatis pleksus ini menuju
kearah struktur genital dan serabut otot polos yang mengendalikan emisi air mani dan ejakulasi.
Persarafan parasimpatik (nervi erigantes) berasal dari saraf sakral kedua, ketiga dan keempat.
Serabut saraf ini menuju ke jaringan erektil penis dan klitoris serta mengendalikan ereksi dengan
cara mengatur aliran darah kedalam jaringan ini. Oleh karena itu, cedera saraf yang terjadi pada
waktu operasi radikal panggul serta ekstirpasi radikal rektum atau uterus dapat menyebabkan
gangguan fungsi vesika urinaria dan gangguan fungsi seksual. Otot volunter, yaitu levator ani,
koksigeus dan sfingter eksternus, dilayani oleh saraf dari segmen sakralis keempat.
2.4 Epidemiologi
Angka kejadian rata-rata malformasi anorektal di seluruh dunia adalah 1 dalam 5000
kelahiran.Secara umum, atresia ani lebih banyak ditemukan pada laki-laki daripada perempuan.
Fistula rektouretra merupakan kelainan yang paling banyak ditemui pada bayi laki-laki, diikuti
oleh fistula perineal. Sedangkan pada bayi perempuan, jenis atresia ani yang paling banyak
ditemui adalah atresia ani diikuti fistula rektovestibular dan fistula perineal.
Hasil penelitian Boocock dan Donna di Manchester menunjukkan bahwa atresia ani letak
rendah lebih banyak ditemukan dibandingkan atresia letak tinggi.
2.5 Etiologi
Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah komponen
genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko malformasi meningkat pada bayi yang
memiliki saudara dengan kelainan atresia ani yakni 1 dalam 100 kelahiran, dibandingkan dengan
populasi umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran. Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan
antara atresia ani dengan pasien dengan trisomi 21 (Down's syndrome). Kedua hal tersebut
menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-macam gen yang berbeda dapat menyebabkan
atresia ani atau dengan kata lain etiologi atresia ani bersifat multigenik.5
2.6 Patofisiologi
2.7 Klasifikasi.
Menurut klasifikasi Wingspread (1984) yang dikutip Hamami, atresia ani dibagi 2
golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin. Pada laki – laki golongan I dibagi
menjadi 5 kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresia rektum, perineum datar, fistel tidak ada dan
pada invertogram: udara > 1 cm dari kulit. Golongan II pada laki – laki dibagi 5 kelainan yaitu
kelainan fistel perineum, membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada. dan pada invertogram:
udara < 1 cm dari kulit. Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi 6 kelainan yaitu
kelainan kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rektum, fistel tidak ada dan pada
invertogram: udara > 1 cm dari kulit. Golongan II pada perempuan dibagi 4 kelainan yaitu
kelainan fistel perineum, stenosis anus, fistel tidak ada. dan pada invertogram: udara < 1 cm dari
kulit.7
Gejala yang menunjukan terjadinya atresia ani terjadi dalam waktu 24-48 jam.
Gejala itu dapat berupa :
1. Perut kembung.
2. Muntah.
3. Tidak bisa buang air besar.
4. Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat dilihat sampai dimana
terdapat penyumbatan.10
Atresia ani sangat bervariasi, mulai dari atresia ani letak rendah dimana rectum berada
pada lokasi yang normal tapi terlalu sempit sehingga feses bayi tidak dapat melaluinya,
malformasi anorektal intermedia dimana ujung darirektum dekat ke uretra dan malformasi
anorektal letak tinggi dimana anus sama sekali tidak ada.9
Sebagian besar bayi dengan atresia ani memiliki satu atau lebih abnormalitas yang
mengenai sistem lain. Insidennya berkisar antara 50% - 60%. Makin tinggi letak abnormalitas
berhubungan dengan malformasi yang lebih sering. Kebanyakan dari kelainan itu ditemukan
secara kebetulan, akan tetapi beberapa diantaranya dapat mengancam nyawa seperti kelainan
kardiovaskuler.10
Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan malformasi anorektal
adalah
1. Kelainan kardiovaskuler.
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis kelainan yang paling banyak
ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus arteriosus, diikuti oleh tetralogi of fallot dan
vebtrikular septal defect.
2. Kelainan gastrointestinal.
Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%), obstruksi duodenum (1%-
2%).
3. Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.
Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan lumbosakral seperti
hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan hemisacrum. Sedangkan kelainan spinal yang
sering ditemukan adalah myelomeningocele, meningocele, dan teratoma intraspinal.
4. Kelainan traktus genitourinarius.
Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada atresia ani.
Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan urogeital dengan atresia ani letak tinggi
antara 50 % sampai 60%, dengan atresia ani letak rendah 15% sampai 20%. Kelainan tersebut
dapat berdiri sendiri ataupun muncul bersamaan sebagai VATER (Vertebrae, Anorectal,
Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan VACTERL (Vertebrae, Anorectal,
Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal and Limb abnormality).10
2.9 Diagnosa
2.10 penatalaksanaan.
Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani letak tinggi harus
dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu lalu penanganan atresia ani
menggunakan prosedur abdominoperineal pullthrough, tapi metode ini banyak menimbulkan
inkontinen feses dan prolaps mukosa usus yang lebih tinggi. Pena dan Defries pada tahun 1982
memperkenalkan metode operasi dengan pendekatan postero sagital anorektoplasti, yaitu dengan
cara membelah muskulus sfingter eksternus dan muskulus levator ani untuk memudahkan
mobilisasi kantong rektum dan pemotongan fistel10.
Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara jangka panjang,
meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk kosmetik serta antisipasi trauma psikis. Untuk
menangani secara tepat, harus ditentukankan ketinggian akhiran rektum yang dapat ditentukan
dengan berbagai cara antara lain dengan pemeriksaan fisik, radiologis dan USG. Komplikasi
yang terjadi pasca operasi banyak disebabkan oleh karena kegagalan menentukan letak
kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, serta
ketrampilan operator yang kurang serta perawatan post operasi yang buruk. Dari berbagai
klasifikasi penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak ketinggian akhiran rektum dan ada
tidaknya fistula.
Menurut Leape (1987) yang dikutip oleh Faradilla menganjurkan pada :
a. Atresia ani letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau TCD dahulu, setelah
6 –12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif (PSARP).
b. Atresia ani letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya dilakukan tes
provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot sfingter ani ekternus.
c. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion.
d. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan Pena dimana dikerjakan
minimal PSARP tanpa kolostomi.10.
Pena secara tegas menjelaskan bahwa pada atresia ani letak tinggi dan intermediet
dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi dan diversi. Operasi definitif setelah 4 – 8
minggu. Saat ini teknik yang paling banyak dipakai adalah posterosagital anorektoplasti,
baikminimal, limited atau full postero sagital anorektoplasti11.
Neonatus perempuan perlu pemeriksaan khusus, karena seringnya ditemukan vital ke
vetibulum atau vagina (80-90%). Golongan I Pada fistel vagina, mekonium tampak keluar dari
vagina. Evakuasi feces menjadi tidaklancar sehingga sebaiknya dilakukan kolostomi. Pada fistel
vestibulum, muara fistel terdapat divulva. Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita
hanya minum susu. Evakuasi mulai terhambat saat penderita mulai makan makanan padat.
Kolostomi dapat direncanakan bila penderita dalam keadaan optimal. Bila terdapat kloaka maka
tidak ada pemisahan antara traktus urinarius, traktus genetalis dan jalan cerna. Evakuasi feses
umumnya tidak sempurna sehingga perlu cepat dilakukan kolostomi. Pada atresia rektum, anus
tampak normal tetapi pada pemerikasaan colok dubur, jari tidak dapat masuk lebih dari 1-2 cm.
Tidak ada evakuasi mekonium sehingga perlu segera dilakukan kolostomi. Bila tidak ada fistel,
dibuat invertogram. Jika udara > 1 cm dari kulit perlu segera dilakukan kolostomi. Golongan II.
Lubang fistel perineum biasanya terdapat diantara vulva dan tempat letak anus normal, tetapi
tanda timah anus yang buntu ada di posteriornya. Kelainan ini umumnya menimbulkan obstipasi.
Pada stenosis anus, lubang anus terletak di tempat yang seharusnya, tetapi sangat sempit.
Evakuasi feses tidal lancar sehingga biasanya harus segera dilakukan terapi definitif. Bila tidak
ada fistel dan pada invertogram udara < 1 cm dari kulit. Dapat segera dilakukan pembedahan
definitif. Dalam hal ini evakuasi tidak ada, sehingga perlu segera dilakukan kolostomi7.
Yang harus diperhatikan ialah adanya fitel atau kenormalan bentuk perineum dan tidak
adanya butir mekonium di urine. Dari kedua hal tadi pada anak laki dapat dibuat kelompok
dengan atau tanpa fistel urin dan fistel perineum. Golongan I. Jika ada fistel urin, tampak
mekonium keluar dari orifisium eksternum uretra, mungkin terdapat fistel ke uretra maupun ke
vesika urinaria. Cara praktis menentukan letak fistel adalah dengan memasang kateter urin. Bila
kateter terpasang dan urin jernih, berarti fistel terletak uretra karena fistel tertutup kateter. Bila
dengan kateter urin mengandung mekonuim maka fistel ke vesikaurinaria. Bila evakuasi feses
tidak lancar, penderita memerlukan kolostomi segera. Pada atresia rektum tindakannya sama
pada perempuan ; harus dibuat kolostomi. Jika fistel tidak ada dan udara > 1 cm dari kulit pada
invertogram, maka perlu segera dilakukan kolostomi. Golongan II. Fistel perineum sama dengan
pada wanita ; lubangnya terdapat anterior dari letak anusnormal. Pada membran anal biasanya
tampak bayangan mekonium di bawah selaput. Bila evakuasi feses tidak ada sebaiknya
dilakukan terapi definit secepat mungkin. Pada stenosis anus, sama dengan wanita, tindakan
definitive harus dilakukan. Bila tidak ada fistel dan udara < 1cm dari kulit pada invertogram,
perlu juga segera dilakukan pertolongan bedah7.
2.11 Prognosis
Prognosis bergantung dari fungsi klinis. Dengan khusus dinilai pengendalian defekasi,
pencemaran pakaian dalam. Sensibilitas rektum dan kekuatan kontraksi otot sfingter pada colok
dubur. Fungsi kontineia tidak hanya bergantung pada kekuatan sfingter atau ensibilitasnya, tetapi
juga bergantung pada usia serta kooperasi dan keadaan mental penderita .
Hasil operasi atresia ani meningkat dengan signifikan sejak ditemukannya metode
PSARP7.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsuhidajat R, Wim de Jong. Kelainan Bawaan. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed3. Jakarta :
EGC, 2004 : 667-670
2. Mulholland, Michael W, Lillemoe, Keith D. Anorectal Malformation in: Greenfield's
Surgery: Scintific Principles and Practice, 4th Edition. New York: Mc-Graw Hill.2006
3. Sabiston, David C. Buku Ajar Bedah bagian 2. Jakarta : EGC 1994: 262
4. Carpenito, Lynda Juall. Buku Saku Diagnosa Kedokteran Klinis, Edisi 6. Jakarta : EGC.
2000
5. Levitt M, Pena A. Anorectal Malformation. Orphanet Journal of Rare Diseases 2007,
2:33. http://www.ojrd.com/content/2/1/33 [diakses 25 September 2013]
6. Nelson, G Rosen, MD. Pediatric Imperforate Anus. 25 januari 2010 (diakses tanggal 25
september 2019). Available from: http://emedicine.medscape.com/article/929904-
overview.
7. Hamami A.H, Pieter J, Riwanto I, Tjambolang T, Ahmadsyah I. 2004. Buku Ajar Ilmu
Bedah. Editor Peter J. Ed 2. Jakarta : EGC
8. FK UII. Atresia Ani. Fakultas Kedokteran Unversitas Islam Indonesia, 2006. [diakses
tanggal 25 September 2013] Prince A Sylvia, (1995). (patofisiologi). Clinical Concept.
Alih bahasa : Peter Anugrah EGC. Jakarta.