Delirium
Delirium
Delirium
PENDAHULUAN
I.1 Latar belakang
Gangguan kognitif pada pasien akan mempengaruhi kemampuan berpikir rasional
seseorang. Respon kognitif yang ditimbulkan berbeda, tergantung pada bagian yang mengalami
gangguan. Perubahan dalam perilaku juga akan terjadi.
Pada kasus delirium akan terjadi gangguan pada proses berpikir,sedangkan pada
demensia akan mengalami respon kognitif yang mal-adaptif.
Untuk mengetahui lebih lanjut masalah yang terjadi pada pasien perlu dikaji lebih
lanjut tentang Gangguan kognitif dan mental organic pada pasien.
Penulisan makalah ini diharapkan mampu memberikan gambaran secara umum
tentang informasi penting pasien dengan gangguan kognitif, sehingga dapat membantu para
praktisi medis dalam penatalaksanaan penyakit gangguan kognitif yang diaplikasikan dalam hal :
- Pengkajian
- Penegakan diagnosa
- Intervensi
- Implementasi
- Evaluasi.
Pemberian informasi yang maksimal dapat membantu pasien untuk menghadapi
masalahnya dan meminimalkan resiko yang akan terjadi.
2. Lobus Temporal
Secara umum berfungsi untuk :
- Diskriminasi bunyi
- Prilaku verbal
- Bicara
3. Lobus Parietal
Berfungsi untuk :
- Diskriminasi waktu
- Fungsi somatik
- Fungsi motorik
4. Lobus Oksipitalis
Berfungsi untuk :
- Diskriminasi visual
- Diskriminasi beberapa aspek memori
5. Sisitim Limbik
Hal ini akan berpengaruh pada fungsi :
- Perhatian
- Flight of idea
- Memori
- Daya ingat
Secara umum apabila terjadi gangguan pada otak, maka seseorang akan
mengalami gejala yang berbeda, sesuai dengan daerah yang terganggu yaitu :
1. Gangguan pada lobus frontalis , akan ditemukan gejala-gejala sebagai berikut :
- Kemampuan memecahkan masalah berkurang
- Hilang rasa sosial dan moral
- Impilsif
- Regresi
2. gangguan pada lobus temporalis akan ditemukan gejala sebagai berikut:
- Amnesia
- Demensia
3. Gangguan pada lobus parietalis dan oksipitalis akan ditemukan gejala gejala yang
hampir sama, tapi secara umum akan terjadi disorientasi
4. Gangguan pada sistim limbik akan menimbulkan gejala yang bervariasi antara lain :
BAB II.
PENGKAJIAN KHUSUS.
II. 1 .Definisi
Gangguan kognitif dapat menyebabkan gangguan perilaku,antara lain dapat berupa
delirium maupun demensia. Pada kasus refrat ini saya akan membahas lebih dalam pada
gangguan kognitif yaitu delirium.
Delirium adalah suatu kondisi yang dikarakterisasi dengan adanya perubahan
kognitif akut (defisit memori,disorientasi,gangguan berbahasa) dan gangguaan pada sistem
kesadaran manusia. Delirium bukanlah suatu penyakit melainkan suatu sindrom dengan
penyebab multipel yang terdiri atas berbagai macam pasangan gejala akibat dari suatu penyakit
dasar. Delirium didefinisikan sebagai disfungsi cerebral yang reversible,akut dan bermanifestasi
klinis pada abnormalitas neuropsikiatri.
Delirium sering salah diintrepretasikan dengan demensia,depresi,mania,
schizophrenia akut, atau akibat usia tua, hal ini dapat terjadi karena gejala dan tanda dari
delirium juga muncul pada demensia,depresi,mania,psikosis dll. Kata “delirium” berasal dari
bahasa latin yang artinya lepas jalur. Sindrom ini pernah dilaporkan pada masa Hippocrates dan
pada tahun 1813 Sutton mendeskripsikan sebagai delirium tremens,kemudian Wernicke
menyebutnya sebagai Encephalopathy Wernicke.3)
II. 2. Patofisiologi
Berdasarkan pada bangkitan, terdapat 3 tipe delirium.3)
1. Delirium hiperaktif : didapatkan pada pasien dengan gejala putus substansi antara lain;
alkohol,amfetamin,lysergic acid diethylamide atau LSD.
2. Delirium hipoaktif : didapatkan pada pasien pada keadaan hepatic encephalopathy dan
hipercapnia.
3. Delirium campuran : pada pasien dengan gangguan tidur, pada siang hari mengantuk tapi
pada malam hari terjadi agitasi dan gangguan sikap.
b. Dopamine
Pada otak,hubungan muncul antara aktivitas kolinergik dan dopaminergik. Pada
delirium muncul aktivitas berlebih dari dopaminergik,pengobatan simptomatis
muncul pada pemberian obat antipsikosis seperti haloperidol dan obat
penghambat dopamine.
c. Neurotransmitter lainnya
Serotonin ; terdapat peningkatan serotonin pada pasien dengan encephalopati
hepatikum.
GABA (Gamma-Aminobutyric acid); pada pasien dengan hepatic
encephalopati,peningkatan inhibitor GABA juga ditemukan. Peningkatan level
ammonia terjadi pada pasien hepatic encephalopati,yang menyebabkan
peningkatan pada asam amino glutamat dan glutamine (kedua asam amino ini
merupakan precursor GABA). Penurunan level GABA pada susunan saraf pusat
juga ditemukan pada pasien yang mengalami gejala putus benzodiazepine dan
alkohol.
d. Mekanisme peradangan/inflamasi
Studi terkini menyatakan bahwa peran sitokin, seperti interleukin-1 dan
interleukin-6,dapat menyebabkan delirium. Mengikuti setelah terjadinya infeksi
yang luas dan paparan toksik,bahan pirogen endogen seperti interleukin-1
dilepaskan dari sel. Trauma kepala dan iskemia, yang sering dihubungkan dengan
delirium,terdapat hubungan respon otak yang dimediasi oleh interleukin-1 dan
interleukin 6.
e. Mekanisme reaksi stress
Stress psikososial dan gangguan tidur mempermudah terjadinya delirium.
f. Mekanisme struktural
Pada pembelajaran terhadap MRI terdapat data yang mendukung hipotesis bahwa
jalur anatomi tertentu memainkan peranan yang lebih penting daripada anatomi
yang lainnya. Formatio reticularis dan jalurnya memainkan peranan penting dari
bangkitan delirium. Jalur tegmentum dorsal diproyeksikan dari formation
retikularis mesensephalon ke tectum dan thalamus adalah struktur yang terlibat
pada delirium.
Kerusakan pada sawar darah otak juga dapat menyebabkan
delirium,mekanismenya karena dapat menyebabkan agen neuro toksik dan sel-sel
peradangan (sitokin) untuk menembus otak.
II. 3. DIAGNOSTIK
Kriteria diagnostik untuk delirium :
a. Gangguan kesadaran
Penurunan kesadaran terhadap lingkungan sekitar ,dengan penurunan kemampuan
untuk fokus,mempertahankan atau mengganti perhatian.
b. Perubahan kognitif ( defisit memori, disorientasi, gangguan berbahasa )
c. Gangguan perkembangan dalam periode waktu yang singkat
d. Bukti dari riwayat penyakit, pemeriksaan fisik atau pemeriksaan laboratorium yang
mengindikasikan bahwa gangguan disebabkan oleh konsekuensi fisiologik langsung
atau akibat kondisi medis yang umum.
Encephalitis, meningitis,sifilis
Endorinopati : hiper/hipoadenokortism,hiper/hipoglikemi,mix-
Udem, hiperparatiroidism.
Shock
Bahaya
1. CT Scan kepala
2. MRI berfungsi untuk mendiagnosa dari stroke,perdarahan, dan lesi structural
Pemeriksaan elektrofisiologi:9)
Digunakan untuk melihat apakah terdapat pneumonia atau CHF ( congestive heart failure).
1. Pungksi lumbal, dilakukan apabila curiga terdapat infeksi susunan saraf pusat
2. Pulse oximetry, dilakukan untuk mendiagnosa hipoksia sebagai penyebab delirium
3. ECG ( elektrokardiogram) dilakukan untuk mendiagnosa iskemia dan arrhythmia sebagai
penyebab delirium.
Prinsip terapi pada pasien dengan delirium yaitu mengobati gejala gejala klinis yang
timbul (medikasi) dan melakukan intervensi personal dan lingkungan terhadap pasien agar
timbul fungsi kognitif yang optimal.
Haloperidol (haldol)
Suatu antipsikosis dengan potensi tinggi. Salah satu antipsikosis efektif untuk delirium.
DOSIS :
Dewasa : gejala ringan ; 0,5-2 mg per oral
Gejala berat ; 3-5 mg per oral
Geriatric ; 0,5- 2 mg per oral
Anak : 3-12 tahun ; 0,05mg/kg bb/hari
6-12 tahun ; 0,15mg/kg bb/hari
Risperidone (risperdal)
Antipsikotik golongan terbaru dengan efek ekstrapiramidal lebih sedikit dibandingkan
dengan haldol. Mengikat reseptor dopamineD2 dengan afinitas 20 kali lebih rendah daripada
5-ht2-reseptor.
DOSIS :
Dewasa : 0,5-2 mg per oral
Geriatric ; 0,5 mg per oral
2. Short acting sedative ( lorazepam )
Digunakan untuk delirium yang diakibatkan oleh gejala putus obat atau alcohol. Tidak
digunakan benzodiazepine karena dapat mendepresi nafas, terutama pada pasien dengan usia
tua,pasien dengan masalah paru.
DOSIS :
Dewasa : 0,5-2 mg per oral/iv/im
Intervensi personal dan lingkungan terhadap pasien delirium juga sangat berguna
untuk membina hubungan yang erat terhadap pasien dengan lingkungan sekitar untuk dapat
berinteraksi serta dapat mempermudah pasien untuk melakukan ADL (activity of daily
living) sendirinya tanpa tergantung orang lain.12)
Intervensi personal yang dapat dilakukan antara lain :13)
a. Kebutuhan Fisiologis
- Prioritas : menjaga keselamatan hidup
- Kebutuhan dasar dengan mengutamakan nutrisi dan cairan
- Jika pasien sangat gelisah perlu :
Pengikatan untuk menjaga therapi, tapi sedapat mungkin harus
dipertimbangkan dan jangan ditinggal sendiri
- Gangguan tidur :
* Kolaborasi pemberian obat tidur
* Gosok punggung apabila pasien mengalami sulit tidur
* Beri susu hangat
* Berbicara lembut
* Libatkan keluarga
* Temani menjelang tidur
* Buat jadwal tetap untuk bangun dan tidur
* Hindari tidur diluar jam tidur
* Mandi sore dengan air hanngat
* Hindari minum yang dapat mencegah tidur seperti : kopi, dll
* Lakukan methode relaksasi seperti : napas dalam
- Disorientasi :
* Ruangan yang terang
* Buat jam, kalender dalam ruangan
*Lakukan kunjungan sesering mungkin
* Orientasikan pada situasi linkumngan
* Beri nama/ petunjuk/ tanda yang jelas pada ruangan/ kamar
* Orientasikan pasien pada barang milik pribadinya ( kamar, tempat tidur,
lemari, photo keluarga, pakaian, sandal ,dll)
*Tempatkan alat-alat yang membantu orientasi massa
*Ikutkan dalam terapi aktifitas kelompok dengan program orientasi
(orang, tempat, waktu).
b. Halusinasi
- Lindungi pasien dan orang lain dari perilaku merusak diri
- Ruangan :
* Hindari dari benda-benda berbahaya
* Barang-barang seminimal mungkin
- Perawatan 1 – 1 dengan pengawasan yang ketat
- Orientasikan pada realita
- Dukungan dan peran serta keluarga
- Maksimalkan rasa aman
- Sikap yang tegas dari pemberi/ pelayanan perawatan (konsisten)
c. Komunikasi
- Pesan jelas
- Sederhana
- Singkat dan beri pilihan terbatas
d. Pendidikan kesehatan
- Mulai saat pasien bertanya tentang yang terjadi pada keadaan
sebelumnya
- Seharusnya perawat harus harus tahu sebelumnya tentang :
* Masalah pasien
* Stressor
* Pengobatan
* Rencana perawatan
* Usaha pencegahan
* Rencana perawatan dirumah
- Penjelasan diulang beberapa kali
- Beri petunjuk lisan dan tertulis
- Libatkan anggota keluarga agar dapat melanjutkan perawatan dirumah
dengan baik sesuai rencana yang telah ditentukan.
BAB III.
KESIMPULAN
Gangguan kognitif pada pasien yang mengalami gangguan jiwa, erat hubungannnya
dengan gangguan mental organik. Hal ini terlihat dari gambaran secara umum perilaku/ gejala
yang timbul akan dipengaruhi pada bagian otak yang mengalami gangguan, misalnya pada lobus
oksipitalis, lobus parietalis, lobus temporalis, lobus frontalis maupun sistim limbik.
Pada delirium gangguan fungsi kognitif harus dapat diidentifikasi dengan gangguan
psikiatri yang lainnya, antara lain dengan demensia ,psikosis, depresi dikarenakan karena pada
delirium dan gangguan psikiatri lainnya terdapat gejala gejala yang hampir mirip.
Dari intervensi yang dilakukan untuk mengatasi masalah pasien , hal utama yang
dilakukan adalah : selalu menerapkan tehnik komunikasi terapeutik. Pendekatan secara individu
dan kelompok, juga keterlibatan keluarga dalam melakukan perawatan sangat penting untuk
mencapai kesembuhan pasien.
Berdasarkan hal diatas masalah dengan gangguan kognitif sangat penting diketahui
apa penyebab terjadinya . Sehingga intervensi yang diberikan tepat dan sesuai untuk mengatasi
masalah pasien. Akhirnya pasien diharapkan dapat seoptimal mungkin untuk memenuhi
kebutuhannya dan terhindar dari kecelakaan yang ,membahayakan keselamatan pasien.
Teknik teknik penatalaksanaan juga diharapkan dapat membantu untuk mendiagnosis
secara tepat dan akurat disamping itu penatalaksanaan yang baik dapat meliputi hasil antara lain,
Pasien dapat mencapai fungsi kognitif yang optimal,Menjaga keselamatan hidup,pemenuhan
kebutuhan bio-psiko-sosial disamping itu diperlukan juga untuk meliibatkan keluarga dalam
menyampaikan Pendidikan kesehatan mental.
DAFTAR PUSTAKA
1. ( Stuart and Sundeen, 1987. Hal.612).
2. Stuart, Gw. and Sundeen S.J (1995). Perbandingan Delirium, Depresi dan
Demensia.St.louis : Mosby year book
3. White S. The neuropathogenesis of delirium. Rev Clin Gerontol. 2002;12:62-67.
4. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
(DSM-IV-TR). 4th ed. Washington, DC: American Psychiatric Association; 2000.
5. American Psychiatric Association. Practice guideline for the treatment of patients with
delirium. Am J Psychiatry. May 1999;156(5 Suppl):1-20. [Medline]
6. Inouye SK, van Dyck CH, Alessi CA, Balkin S, Siegal AP, Horwitz RI. Clarifying
confusion: the confusion assessment method. A new method for the detection of delirium.
Ann Intern Med 1990;113:941-8.
7. www.aafp.org
8. Alagiakrishnan K, Wiens CA. An approach to drug induced delirium in the
elderly. Postgrad Med J. Jul 2004;80(945):388-93. [Medline].
9. Alsop DC, Fearing MA, Johnson K, Sperling R, Fong TG, Inouye SK. The role of
neuroimaging in elucidating delirium pathophysiology. J Gerontol A Biol Sci Med
Sci. Dec 2006;61(12):1287-93. [Medline].
10. Bergeron N, Dubois MJ, Dumont M, Dial S, Skrobik Y. Intensive Care Delirium
Screening Checklist: evaluation of a new screening tool. Intensive Care
Med. 2001;27:859-864.
11. Day JJ, Bayer AJ, McMahon M. Thiamine status, vitamin supplements and postoperative
confusion. Age Ageing. Jan 1988;17(1):29-34. [Medline].
12. Towsend, M.C (1993). Psychiatric Mental Health Nursing : Concept of Care
,Philadelphia, 2nd, Davis Company
13. Wilson, H.S, and Kneils, C.R . (1992). Psychiatric Nursing . California : Addison Wesley
Nursing.
14. www.icudelirium.org