Anda di halaman 1dari 33

LAPORAN KASUS

GIGITAN ULAR (SNAKE BITE)

Penyusun :

dr. Siti Sofi Hadiyana

Dokter Pendamping :

dr. Yuliati

PROGRAM DOKTER INTERNSIP INDONESIA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KAB BATANG

JAWA TENGAH

2018-2019

1
BORANG PORTOFOLIO
Nama Peserta : dr. Siti Sofi Hadiyana
Nama Wahana : RSUD Batang
Topik : Snake Bite
Tanggal Kasus : 06 Februari 2019
Nama Pasien : Tn. A No.RM : 4083xx
Tanggal Presentasi : Nama Pendamping : dr. Yuliati

Tempat Presentasi : RSUD Batang


Obyektif Presentasi
√Keilmuan Ketrampilan Penyegaran √Tinjauan Pustaka
Masalah
√Diagnostik √Manajemen Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja √Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi : Seorang Perempuan 55 tahun dengan Snake Bite
Tujuan : Diagnosis, Manajemen
Bahasan √ Tinjauan Pustaka Riset √Kasus Audit
Cara Pembahasan Diskusi √Presentasi & Diskusi Email Pos
Data Pasien Nama : Tn. A No. Reg 4083XX
Nama Klinik : IGD

2
BAB I

LAPORAN KASUS

IDENTITAS

Nama : Tn. A

Umur : 57 Tahun

Jenis Kelamin : Laki-laki

No. CM : 4083xx

Agama : Islam

Status : Kawin

Pekerjaan : Kuli Bangunan

Alamat : Warungasem, Batang

Pendidikan : SD

Suku Bangsa : Jawa

Masuk RS : 06 Februari 2019

A. ANAMNESIS
Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 06 Februari 2019 pukul 19.45 WIB di IGD

Keluhan Utama :
Digigit ular
Riwayat Penyakit Sekarang:
1 jam sebelum masuk Rumah Sakit penderita digigit ular berwarna hijau
saat sedang mengambil buah di kebun belakang rumah. Lokasi gigitan di ibu jari
kaki kiri. Terasa nyeri dan panas di tempat gigitan sampai punggung kaki kiri,
bengkak (+) sampai punggung kaki kiri. Mual (-), muntah (-), perdarahan di
tempat gigitan (-) , berdebar-debar (-), gringgingen (-), lemah anggota tubuh (-),
kencing berwarna merah atau hitam (-), gusi berdarah (-), pendarahan konjungtiva
(-), kemudian os dibawa ke RSUD Kalisari.

3
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat Hipertensi : Disangkal
Riwayat DM : Disangkal
Riwayat Alergi : Disangkal
Riwayat keluhan serupa : Disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :

Riwayat Hipertensi : Disangkal


Riwayat DM : Disangkal
Riwayat keluhan serupa : Disangkal

Riwayat Sosial, Ekonomi dan Kebiasaan :

Pasien bekerja sebagai kuli bangunan. Pasien selalu menggunakan alas kaki namun
terbuka sandal seperti sandal jepit. Pasien tinggal bersama istri dan dua anaknya.
Pasien memiliki asuransi kesehatan BPJS PBI.

B. ANAMNESIS SISTEM
1. Sistem serebrospinal: pusing (-), kejang (-) demam (-)
2. Sistem kardiovaskuler: berdebar debar (-), sesak nafas (-) nyeri dada (-)
3. Sistem respirasi: Batuk (-) pilek (-)
4. Sistem gastrointestinal: Bab lancar, mual -, muntah -
5. Sistem muskuloskeletal: lemah ekstremitas (-) nyeri otot (-)
6. Sistem integumen: pucat (-), nyeri (+)
7. Sistem urogenital: Bak lancar, nyeri berkemih (-) nyeri pinggang (-)

C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum: tampak sakit ringan,
Kesadaran: compos mentis.
Tanda vital :
- Tekanan darah : 160/80
- HR (Nadi) : 88x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
- RR (Laju Nafas) :16x/menit
- Suhu : 36,5oC
Status Internus

4
- Kepala : mesocephale, rambut hitam
- Wajah : pucat (-), kuning (-)
- Mata : sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-), pupil isokor
- Hidung : epistaksis (-/-), discharge (-), septum deviasi (-)
nafas cuping hidung(-)
- Telinga : discharge (-/-)
- Bibir : sianosis (-),sariawan (-), kering (-)
- Tenggorokan : faring hiperemis (-), pembesaran tonsil (-)
- Leher : simetris, pembesaran kelenjar limfe (-)
- Thoraks : dalam batas normal
- Abdomen : dalam batas normal
- Ekstremitas : Superior Inferior
Akral hangat (+/+) (+/+)
Edema (-/-) (-/-)
Sianosis (-/-) (-/-)
Ptekie (-/-) (-/-)

D. STATUS LOKALIS
Lokasi : Regio dorsum pedis dextra
UKK : Tampak gigitan pada ibu jari kaki kiri dan udem pada punggung
kaki kiri, nyeri (+), warna sesuai kulit sekitar, teraba hangat (+)
E. HASIL LABORATORIUM
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Hematologi
Leukosit 16.40 4-10.50
Eritrosit 4.63 4-5.3
Hemoglobin 11.5 11.9-15.5
Trombosit 380 150-450
Diff count
Neutrofil 67.9 42-74
Limfosit 24.7 17-45
Monosit 7 5-12
Eosinofil 3.1 1-7

5
Basofil 0.6 0-1
Kimia klinik
Glukosa sewaktu 82 <140
Ureum 32 10-50
Creatinin 0.8 0.6-1.0

F. DIAGNOSA BANDING
- Snake Bite
- Insect Bite
G. DIAGNOSA KERJA
- Snake Bite
H. PENATALAKSANAAN
1. Non medikamentosa
Menjaga kebersihan lingkungan, memakai alas kaki tertutup saat melakukan
kegiatan di kebun
2. Medikamentosa
 Infus Ringer Laktat 20 tpm
 Injeksi ATS
 Injeksi Dexamethason 5mg/8 jam
 Injeksi Ceftriaxon 1 gr/24 jam
 Imobilisasi

6
I. FOLLOW UP

Tanggal Pemeriksaan Terapi

07/8/2019 S : kaki bengkak dan nyeri Infus Ringer Laktat 20 tpm

O : CM, gizi baik Injeksi Dexamethason 5mg/8


jam
TV :
Injeksi Ceftriaxon 1 gr/24 jam
TD : 130/70
Imobilisasi
HR = 82 x/menit

RR = 20 x/menit

S = 36.1oC (per axiler)

08/8/2019 S : kaki bengkak dan nyeri mulai Infus Ringer Laktat 20 tpm
berkurang
Injeksi Dexamethason 5mg/8
O : CM, gizi baik jam
TV : Injeksi Ceftriaxon 1 gr/24 jam

TD : 120/70 mmhg Imobilisasi

HR = 90 x/menit

RR = 20 x/menit

S = 37oC (per axiler)

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Gigitan ular adalah cedera yang disebabkan oleh gigitan dari ular baik
ular berbisa ataupun tidak berbisa.Akibat dari gigitan ular tersebut dapat menyebabkan
kondisi medis yang bervariasi, yaitu:
a. Kerusakan jaringan secara umum, akibat dari taring ular
b. Perdarahan serius bila melukai pembuluh darah besar
c. Infeksi akibat bakteri sekunder atau patogen lainnya dan peradangan
d. Pada gigitan ular berbisa, gigitan dapat menyebabkan envenomisasi

B. JENIS ULAR DAN CARA MENGIDENTIFIKASINYA


Ular berbisa kebanyakan termasuk dalam famili Colubridae, tetapi pada umumnya
bisa yang dihasilkannya bersifat lemah. Contoh ular yang termasuk famili ini adalah ular
sapi (Zaocys carinatus), ular tali (Dendrelaphis pictus), ular tikus atau ular jali (Ptyas
korros), dan ular serasah (Sibynophis geminatus). Ular berbisa kuat yang terdapat di
Indonesia biasanya masuk dalam famili Elapidae, Hydropiidae, atau Viperidae. Elapidae
memiliki taring pendek dan tegak permanen. Beberapa contoh anggota famili ini adalah
ular cabai (Maticora intestinalis), ular weling (Bungarus candidus), ular sendok (Naja
sumatrana), dan ular king kobra (Ophiophagus hannah). Viperidae memiliki taring
panjang yang secara normal dapat dilipat ke bagian rahang atas, tetapi dapat ditegakkan
bila sedang menyerang mangsanya. Ada dua subfamili pada Viperidae, yaitu Viperinae
dan Crotalinae. Crotalinae memiliki organ untuk mendeteksi mangsa berdarah panas (pit
organ), yang terletak di antara lubang hidung dan mata.
Beberapa contoh Viperidae adalah ular bandotan (Vipera russelli), ular tanah
(Calloselasma rhodostoma), dan ular bangkai laut (Trimeresurus albolabris)5

8
Gambar 1. Jenis ular Cobra(kiri) dan viper(kanan) yang banyak terdapat di Indonesia
(Sumber : Poisonus Snake in Indonesia, 2010)

Gambar 2. Gigitan ular dan Bisa

Tabel 1. Perbedaan Ular Berbisa dan Ular Tidak Berbisa


Tidak berbisa Berbisa

Bentuk Kepala Bulat Elips, segitiga

Gigi Taring Gigi Kecil 2 gigi taring besar

Bekas Gigitan Lengkung seperti U Terdiri dari 2 titik

Warna Warna-warni Gelap

9
C. BISA ULAR
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa
dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah
yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan
bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian
bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi
tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas
enzimatik5.
a. Komposisi Bisa Ular
Bisa ular mengandung lebih dari 20 unsur penyusun, sebagian besar adalah protein,
termasuk enzim dan racun polipeptida. Berikut beberapa unsur bisa ular yang memiliki
efek klinis2 :
a. Enzim prokoagulan (Viperidae) dapat menstimulasi pembekuan darah namun
dapat pula menyebabkan darah tidak dapat berkoagulasi. Bisa dari ular Russel
mengandung beberapa prokoagulan yang berbeda dan mengaktivasi langkah
berbeda dari kaskade pembekuan darah. Akibatnya adalah terbentuknya fibrin di
aliran darah. Sebagian besar dapat dipecah secara langsung oleh sistem fibrinolitik
tubuh. Segera, dan terkadang antara 30 menit setelah gigitan, tingkat faktor
pembekuan darah menjadi sangan rendah (koagulopati konsumtif) sehingga darah
tidak dapat membeku.
b. Haemorrhagins (zinc metalloproteinase) dapat merusak endotel yang meliputi
pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan sistemik spontan (spontaneous
systemic haemorrhage).
c. Racun sitolitik atau nekrotik – mencerna hidrolase (enzim proteolitik dan
fosfolipase A) racun polipentida dan faktor lainnya yang meningkatkan
permeabilitas membran sel dan menyebabkan pembengkakan setempat. Racun ini
juga dapat menghancurkan membran sel dan jaringan.
d. Phospholipase A2 haemolitik and myolitik – ennzim ini dapat menghancurkan
membran sel, endotel, otot lurik, syaraf serta sel darah merah.
e. Phospolipase A2 Neurotoxin pre-synaptik (Elapidae dan beberapa Viperidae) –
merupakan phospholipases A2 yang merusak ujung syaraf, pada awalnya
melepaskan transmiter asetilkolin lalu meningkatkan pelepasannya.

10
f. Post-synaptic neurotoxins (Elapidae) –polipeptida ini bersaing dengan asetilkolin
untuk mendapat reseptor di neuromuscular junction dan menyebabkan paralisis
yang mirip seperti paralisis kuraonium2

Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-
ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase.
Enzim ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf,
menyebabkan hemolisis atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis.
Hialuronidase merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun6.
b. Sifat Bisa Ular
Berdasarkan sifatnya pada tubuh mangsa, bisa ular dapat dibedakan menjadi bisa
hemotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi jantung dan sistem pembuluh darah; bisa
neurotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi sistem saraf dan otak; dan bisa sitotoksik,
yaitu bisa yang hanya bekerja pada lokasi gigitan.
a. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematotoksik)
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan
merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan
stroma lecethine (dinding sel darah merah), sehinggga sel darah merah menjadi
hancur dan larut (hemolysis) dan keluar menembus pembuluh-pembuluh darah,
mengakibatkan timbulnya perdarahan pada selaput mukosa (lendir) pada mulut,
hidung, tenggorokan, dan lain-lain.
b. Bisa ular yang bersifat racun terhadap saraf (neurotoksik)
Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar
luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati dengan
tanda-tanda kulit sekitar luka tampak kebiruan dan hitam (nekrotik). Penyebaran
dan peracunan selanjut nya mempengaruhi susunan saraf pusat dengan jalan
melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf pernapasan dan jantung.
Penyebaran bisa ular ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe4.

C. PATOFISIOLOGI GIGITAN ULAR BERBISA

Bisa ular diproduksi dan disimpan dalam sepasang kelenjar yang berada di bawah
mata. Bisa dikeluarkan dari taring berongga yang terletak di rahang atasnya. Taring ular
dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattlesnake besar. Dosis bisa ular tiap gigitan

11
bergantung pada waktu yang terlewati sejak gigitan pertama, derajat ancaman yang
diterima ular, serta ukuran mangsanya. Lubang hidung merespon terhadap emisi panas dari
mangsa, yang dapat memungkinkan ular untuk mengubah jumlah bisa yang dikeluarkan.
Bisa biasanya berupa cairan. Protein enzimatik pada bisa menyalurkan bahan-
bahan penghancurnya. Protease, kolagenase, dan arginin ester hidrolase telah diidentifikasi
pada bisa pit viper. Efek lokal dari bisa ular merupakan penanda potensial untuk kerusakan
sistemik dari fungsi sistem organ. Salah satu efeknya adalah perdarahan lokal, koagulopati
biasanya tidak terjadi saat venomasi. Efek lainnya, berupa edema lokal, meningkatkan
kebocoran kapiler dan cairan interstitial di paru-paru.
Mekanisme pulmoner dapat berubah secara signifikan. Efek akhirnya berupa
kematian sel yang dapat meningkatkan konsentrasi asam laktat sekunder terhadap
perubahan status volume dan membutuhkan peningkatan minute ventilasi. Efek blokade
neuromuskuler dapat menyebabkan perburukan pergerakan diafragma. Gagal jantung
dapat disebabkan oleh asidosis dan hipotensi. Myonekrosis disebabkan oleh myoglobinuria
dan gangguan ginjal7.

D. TANDA DAN GEJALA GIGITAN ULAR BERDASARKAN JENIS ULAR


Gigitan Elapidae
(misalnya : ular kobra, ular weling, ular sendok, ular anang, ular cabai, coral snake,
mambas, kraits)
1. Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut, kaku
pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut.
2. Gambaran sakit yang berat, melepuh, dan kulit rusak
3. Setelah digigit ular
a. 15 menit : muncul gejala sistemik
b. 10 jam : paralisis otot-otot wajah, bibir, lidah, tenggorokan, sehingga sukar
berbicara, susah menelan, otot lemas, ptosis, sakit kepala, kulit dingin, muntah,
pandangan kabur, parestesia di sekitar mulut. Kematian dapat terjadi dalam 24 jam

Gigitan Viporidae/Crotalidae
(misalnya ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo)
1. Gejala lokal timbul dalam 15 menit, setelah beberapa jam berupa bengkak di dekat
gigitan yang menyebar ke seluruh anggota tubuh.
2. Gejala sistemik muncul setelah 5 menit atau setelah beberapa jam

12
3. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam waktu
2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.

Gigitan Hydropiridae
(misalnya ular laut)
1. Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
2. Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh,
dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobinuria yang ditandai
dengan urin berwarna coklat gelap (penting untuk diagnosis), kerusakan ginjal,
serta henti jantung

E. ORANG-ORANG YANG MEMILIKI RESIKO LEBIH BESAR UNTUK


TERKENA GIGITAN ULAR
Korban gigitan ular terutama adalah petani, pekerja perkebunan, nelayan, pawang
ular, pemburu, dan penangkap ular. Kebanyakan gigitan ular terjadi ketika orang tidak
mengenakan alas kaki atau hanya memakai sandal dan menginjak ular secara tidak
sengaja. Gigitan ular juga dapat terjadi pada penghuni rumah, ketika ular memasuki rumah
untuk mencari mangsa berupa ular lain, cicak, katak, atau tikus5.

F. DIAGNOSA KLINIK
A. Anamnesis
Anamnesis yang tepat seputar gigitan ular serta progresifitas gejala dan
tanda baik lokal dan sistemik merupakan hal yang sangat penting.
Empat pertanyaan awal yang bermanfaat :
1. Pada bagian tubuh mana anda terkena gigitan ular?
Dokter dapat melihat secara cepat bukti bahwa pasien telah digigit ular
(misalnya, adanya bekas taring) serta asal dan perluasan tanda envenomasi
lokal.
2. Kapan dan pada saat apa anda terkena gigitan ular?
Perkiraan tingkat keparahan envenomasi bergantung pada berapa lama waktu
berlalu sejak pasien terkena gigitan ular. Apabila pasien tiba di rumah sakit
segera setelah terkena gigitan ular, bisa didapatkan sebagian kecil tanda dan
gejala walaupun sejumlah besar bisa ular telah diinjeksikan. Bila pasien digigit
ular saat sedang tidur, kemungkinan ular yang menggigit adalah Kraits (ular

13
berbisa), bila di daerah persawahan, kemungkinan oleh ular kobra atau russel
viper (ular berbisa), bila terjadi saat memetik buah, pit viper hijau (ular berbisa),
bila terjadi saat berenang atau saat menyebrang sungai, kobra (air tawar), ular
laut (laut atau air payau).
3. Perlakuan terhadap ular yang telah menggigit anda?
Ular yang telah menggigit pasien seringkali langsung dibunuh dan dijauhkan
dari pasien. Apabila ular yang telah menggigit berhasil ditemukan, sebaiknya
ular tersebut dibawa bersama pasien saat datang ke rumah sakit, untuk
memudahkan identifikasi apakah ular tersebut berbisa atau tidak. Apabila
spesies terbukti tidak berbahaya (atau bukan ular sama sekali) pasien dapat
segera ditenangkan dan dipulangkan dari rumah sakit.
4. Apa yang anda rasakan saat ini?
Pertanyaan ini dapat membawa dokter pada analisis sistem tubuh yang terlibat.
Gejala gigitan ular yang biasa terjadi di awal adalah muntah. Pasien yang
mengalami trombositopenia atau mengalami gangguan pembekuan darah akan
mengalami perdarahan dari luka yang telah terjdi lama. Pasien sebaiknya
ditanyakan produksi urin serta warna urin sejak terkena gigitan ular. Pasien yang
mengeluhkan kantuk, kelopak mata yang serasa terjatuh, pandangan kabur atau
ganda, kemungkinan menandakan telah beredarnya neurotoksin.
B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan Tanda Vital harus selalu dilakukan. Kemudian dicari tanda
bekas gigitan oleh ular berbisa. Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit
menginjeksikan bisa pada korbannya. Orang yang digigit ular, meskipun tidak
ada bisa yang diinjeksikan ke tubuhnya dapat menjadi panik, nafas menjadi
cepat, tangan dan kaki menjadi kaku, dan kepala menjadi pening. Gejala dan
tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi sesuai spesies ular yang menggigit dan
banyaknya bisa yang diinjeksikan pada korban. Gejala dan tanda-tanda tersebut
antara lain adalah tanda gigitan taring (fang marks), nyeri lokal, pendarahan
lokal, memar, pembengkakan kelenjar getah bening, radang, melepuh, infeksi
lokal, dan nekrosis jaringan (terutama akibat gigitan ular dari famili Viperidae).
Tanda dan Gejala Lokal pada daerah gigitan:
a. Tanda gigitan taring (fang marks)
b. Nyeri lokal
c. Perdarahan lokal

14
d. Kemerahan
e. Limfangitis
f. Pembesaran kelenjar limfe
g. Inflamasi (bengkak, merah, panas)
h. Melepuh
i. Infeksi lokal, terbentuk abses
j. Nekrosis

Tanda dan gejala sistemik2 :


a) Umum (general)
Mual, muntah, nyeri perut, lemah, mengantuk, lemas.
b) Kardiovaskuler (viperidae)
Gangguan penglihatan, pusing, pingsan, syok, hipotensi, aritmia jantung, edema
paru, edema konjunctiva (chemosis)
c) Perdarahan dan gangguan pembekuan darah (Viperidae)
Perdarahan yang berasal dari luka yang baru saja terjadi (termasuk perdarahan
yang terus-menerus dari bekas gigitan (fang marks) dan dari luka yang telah
menyembuh sebagian (oldrus-mene partly-healed wounds), perdarahan sistemik

15
spontan – dari gusi, epistaksis, perdarahan intrakranial (meningism, berasal dari
perdarahan subdura, dengan tanda lateralisasi dan atau koma oleh perdarahan
cerebral), hemoptisis, perdarahan perrektal (melena), hematuria, perdarahan
pervaginam, perdarahan antepartum pada wanita hamil, perdarahan mukosa
(misalnya konjunctiva), kulit (petekie, purpura, perdarahan diskoid, ekimosis),
serta perdarahan retina.
d) Neurologis (Elapidae, Russel viper)
Mengantuk, parestesia, abnormalitas pengecapan dan pembauan, ptosis,
oftalmoplegia eksternal, paralisis otot wajah dan otot lainnya yang dipersarafi
nervus kranialis, suara sengau atau afonia, regurgitasi cairan melaui hidung,
kesulitan untuk menelan sekret, paralisis otot pernafasan dan flasid generalisata.
e) Destruksi otot Skeletal ( sea snake, beberapa spesies kraits, Bungarus niger and B.
candidus, western Russell’s viper Daboia russelii)
Nyeri seluruh tubuh, kaku dan nyeri pada otot, trismus, myoglobinuria,
hiperkalemia, henti jantung, gagal ginjal akut.
f) Sistem Perkemihan
Nyeri punggung bawah, hematuria, hemoglobinuria, myoglobinuria,
oligouria/anuria, tanda dan gejala uremia ( pernapasan asidosis, hiccups, mual,
nyeri pleura, dan lain-lain)
g) Gejala endokrin
Insufisiensi hipofisis/kelenjar adrenal yang disebabkan infark hipofisis anterior.
Pada fase akut : syok, hipoglikemia. Fase kronik (beberapa bulan hingga tahun
setelah gigitan) : kelemahan, kehilangan rambut seksual sekunder, kehilangan
libido, amenorea, atrofi testis, hipotiroidism

G. PENATALAKSANAAN
1) Pertolongan pertama
Tujuan dari pertolongan pertama ini adalah untuk mengurangi penyerapan racun
(bisa ular), bantuan hidup dasar, dan mencegah komplikasi lebih lanjut. Hal-hal yang
harus dilakukan antara lain :
a. Tenangkan korban, karena panik akan membuat racun lebih cepat terserap
b. Imobilisasi ekstremitas yang terkena gigitan dengan bidai atau ikat dengan kain
(untuk memperlambat penyerapan racun)

16
c. Gunakan balut yang kuat, hal tersebut akan mengurangi penyerapan racun yang
bersifat neurotoksin, namun jangan gunakan pada gigitan yang menyebabkan
nekrosis
d. Jangan melakukan intervensi apapun pada luka, termasuk menginsisi, kompres
dengan es, ataupun pemberian obat apapun
e. Tidak direkomendasikan untuk mengikat arteri (pembuluh darah di proksimal lesi)
f. Selalu utamakan keselamatan diri. Jangan mencoba membunuh ular yang
menggigit. Bila sudah mati, bawa ular ke RS untuk identifikasi 3

2) Perawatan di Rumah Sakit :


Hal-hal yang harus dilakukan di RS antara lain :
1) Lakukan pemeriksaan klinis secara cepat dan resusitasi termasuk ABC (airway,
breathing, circulation), penilaian kesadaran, dan monitoring tanda vital
2) Buat akses intravena, beri oksigen dan resusitasi lain jika diperlukan
3) Lakukan anamnesa yang meliputi bagian tubuh mana yang tergigit, waktu
terjadinya gigitan dan jenis ular
4) Lakukan pemeriksaan fisik :
- Bagian yang digigit untuk mencari bekas gigitan (fang marks), walaupun
terkadang bekas tersebut tidak tampak, bengkak ataupun nekrosis
- Palpasi arteri di distal lesi (untuk mengetahui ada tidaknya kompartemen
sindrom)
- Cari tanda-tanda perdarahan (gusi berdarah, perdarahan konjungtiva,
perdarahan di tempat gigitan)

17
- Cari tanda-tanda neurotoksisitas seperti ptosis, oftalmoplegi, paralisis
bulbar, hingga paralisis dari otot-otot pernapasan
- Khusus untuk ular laut terdapat tanda rigiditas pada otot
- Pemeriksaan urin untuk mioglobinuri
5) Lakukan pemeriksaan darah yang meliputi pemeriksaan darah rutin, tes fungsi
ginjal, PPT/PTTK, tes golongan darah dan cross match
6) Anamnesa ulang mengenai riwayat imunisasi, beri anti tetanus toksoid jika
merupakan indikasi
7) Rawat inap paling tidak selama 24 jam (kecuali jika ular yang menggigit adalah
jenis ular yang tidak berbisa)
3) Terapi Dengan Anti Venom
Satu satunya terapi spesifik terhadap bisa ular adalah dengan anti venom.
Pemberian seawal mungkin akan memberikan hasil yang lebih baik. Terapi ini
dapat diberikan jika tanda tanda penyebaran bisa secara sistemik ada. Untuk efek
lokal, anti venom biasanya tidak efektif jika diberikan lebih dari 1 jam.
Indikasi pemberian anti venom antara lain :
a) Abnormalitas hemostatik, misalnya perdarahan sistemik spontan dan
trombositopeni (<100000)
b) Neurotoksisitas
c) Gangguang kardiovaskuler (hipotensi atau syok)
d) Rhabdomiolisis generalisata (rasa nyeri pada otot)
e) Gagal ginjal akut
f) Efek lokal yang signifikan, seperti misalnya pembengkakan lokal lebih dari
setengah besar ekstremitas yang terkena, nekrosis atau hematom yang luas, atau
bengkak yang membesar dengan cepat
g) Temuan laboratorium seperti anemia, trombositopeni, leukositosis, peningkatan
enzim hepar, hiperkalemia, dan mioglobinuri
Pilihan Anti Venom:
a. Jika jenis ular diketahui, usahakan pemberian anti venom yang spesifik
(monovalen) karena akan lebih efektif dan efek samping yang lebih sedikit
b. Jika jenis ular tidak diketahui, manifestasi klinis mungkin dapat digunakan
untuk memperkirakan jenis ular :
- Pembengkakan lokal dengan tanda kelainan neurologis = ular kobra/elapidae

18
- Pembengkakan lokal yang ekstensif dengan perdarahan = ular tanah/
viperidae
c. Anti venom polivalen jika belum jelas
Dosis Dan Cara Pemberian
Jumlah pemberian biasanya berdasar empirik. Rekomendasi pemberian dari pabrik
yang ada biasanya berdasarkan uji pada binatang
a. Ulang pemberian anti venom hingga tanda tandanya hilang
b. Pemberian melalui rute intra vena. Larutkan anti venom pada cairan isotonic (5-10
ml/kgBB, pada anak yang lebih besar atau orang dewasa larutkan dalam 500 ml) dan infus
seluruhnya dalam 1 jam
c. Infus dapat dihentikan bila gejala menghilang walaupun dosis yang direkomendasikan
belum habis
d. Jangan lakukan uji sensitivitas
e. Jangan lakukan injeksi di tempat lesi
f. Persiapkan adrenalin, kortikosteroid, antihistamin, dan peralatan resusitasi jika terjadi
reaksi alergi
g. Dosis pertama sebanyak 2 vial @5 ml dalam NaCl atau Dextrose 5% dapat diberikan
sebagai infus dengan kecepatan 40-80 tetes per menit, lalu diulang setiap 6 jam. Apabila
diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak berkurang atau bertambah) antiserum dapat
diberikan setiap 24 jam sampai maksimal (80-100 ml). Antiserum yang tidak diencerkan
dapat diberikan langsusng sebagai suntikan intravena dengan sangat perlahan-lahan. Dosis
untuk anak-anak sama atau lebih besar daripada dosis untuk dewasa. Cara lain adalah
dengan menyuntikkan 2,5 ml secara infiltrasi di sekitar luka dan 2,5 ml diinjeksikan secara
intramuskuler atau intravena. Pada kasus berat dapat diberikan dosis yang lebih tinggi.
Penderita harus diamati selama 24 jam untuk reaksi anafilaktik
Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada
bagian luka. Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001):
 Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, jika
derajat meningkat maka diberikan SABU
 Derajat II: 3-4 vial SABU
 Derajat III: 5-15 vial SABU
 Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU
Pedoman terapi SABU menurut Schwartz dan Way (Depkes, 2001):

19
Derajat Venerasi Luka gigit Nyeri Ukuran zona edema/ Gejala sistemik
eritemato kulit (cm)

0 0 + +/- < 3 cm/ 12 > 0

I +/- + + 3 – 12 cm/ 12 jam 0

II + + +++ >12-25 cm/ 12 jam Neurotoksik, mual,


pusing, syok

III ++ + +++ >25 cm/ 12 jam ++


Syok, petekia, ekimosis

IV +++ + +++ < ekstremitas ++


Gangguan faal ginjal,
koma, perdarahan
Pedoman terapi SABU menurut Luck :
 Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit
 Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann antivenom
 Jika koagulopati tidak membak (fibrinogen tidak meningkat, waktu pembekuan
darah tetap memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi pemeriksaan darah pada
1 dan 3 jam berikutnya, dst.
 Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan menurun)
maka monitor ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah untuk memonitor
perbaikkannya. Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk mendeteksi kemungkinan
koagulopati berulang. Perhatian untuk penderita dengan gigitan Viperidae untuk
tidak menjalani operasi minimal 2 minggu setelah gigitan
 Terapi suportif lainnya pada keadaan :
 Gangguan koagulopati berat: beri plasma fresh-frizen (dan antivenin)
 Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen darah, fibrinogen, vitamin K,
tranfusi trombosit
 Hipotensi: beri infus cairan kristaloid
 Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat
 Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau anggota badan
 Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi
 Gangguan neurologik: beri Neostigmin (asetilkolinesterase), diawali dengan sulfas
atropin
 Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan

20
 Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari penggunaan obat
– obatan narkotik depresan
 Pemberian antibiotika spektrum luas. Kaman terbanyak yang dijumpai adalah
P.aerugenosa, Proteus,sp, Clostridium sp, B.fragilis
4) Reaksi Anti Venom
Terdapat 3 tipe reaksi terhadap pemberian anti venom yang mungkin terjadi :
a. Reaksi anafilaktik tipe cepat
- Terjadi 10-180 menit setelah pemberian anti venom
- Gejala meliputi : gatal, urtikaria, nausea, muntah, dan palpitasi hingga reaksi
anafilaktik yang berat seperti hipotensi, bronkospasme dan udema laring
- Jika terjadi hal seperti itu, hentikan pemberian anti venom, berikan adrenalin IM
(0,01 ml/kgBB), antihistamin (misal klorfeniramin 0,2 mg/kg), dan cairan
resusitasi
- Jika reaksinya ringan, pemberian anti venom dapat dilanjutkan namun dengan
dosis dan kecepatan yang lebih rendah
b. Reaksi pirogenik
- Terjadi 1-2 jam setelah pemberian, dikarenakan endotoksin dalam anti venom
- Gejala meliputi demam, kaku, muntah, takikardia dan hipotensi
- Tatalaksana seperti pada kasus diatas
- Bila demam dapat diberikan parasetamol
c. Reaksi tipe lambat
- Terjadi kurang lebih seminggu kemudian
- Gejala serum like illness : demam, atralgia, limfadenopati
- Atasi dengan pemberian antihistamin (klorfeniramin 0,2 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 5 dosis
- Jika berat, beri prednisolon oral (0,7-1 mg/kgBB/hari) selam 5-7 hari
5) Terapi Supportif
a. Bersihkan luka dengan antiseptik
b. Analgesik
c. Antibiotik bila luka terkontaminasi atau nekrosis
d. Pemberian Anti Tetanus
e. Awasi kejadian kompartemen syndrome—nyeri, bengkak, perabaan distal
dingin, dan paresis
f. Buang jaringan nekrosis

21
g. Atasi keadaan gagal ginjal akuT
6) Kesalahan Dalam Penatalaksanaan
a) Memberikan anti venom pada semua kasus gigitan ular
Tidak semua gigitan ular membutuhkan anti venom, kira-kira 30% dari
gigitan ular kobra, dan 50% karena ular tanah tidak memerlukan anti
venom. Selain mahal, anti venom dapat menyebabkan reaksi anafilaktik
yang serius pada pasien. Sebaiknya anti venom hanya diberikan pada pasien
dimana manfaatnya lebih besar dari pada resikonya
b) Menunda memberikan anti venom
Anti bisa ular harus diberikan sesegera mungkin, bahkan pada pusat
pelayanan kesehatan tingkat pertama sebelum dirujuk ke fasilitas kesehatan
yang lebih lengkap
c) Pemberian anti venom polivalen pada semua jenis gigitan ular
Anti bisa ular yang polivalen tidak dapat mencakup semua jenis ular. Selalu
perhatikan label dari pabrik saat hendak menggunakan
d) Pemberian terapi pendahuluan dengan kortikosteroid atau antihistamin
Terapi ini diberikan pada meraka yang mendapat terapi anti bisa ular,
karena gigitan ular tidak menyebabkan reaksi alergi.
7) Monitoring
Keadaan umum dan vital sign, tanda envenomasi (keracunan) bisa ular,
pemeriksaan penunjang. Untuk kasus gigitan kering (bisa tidak diinjeksikan)
dari ular viper, observasi di Instalasi gawat Darurat selama 8-10 jam, dilanjutkan
observasi di ruangan.
Pasien dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat membutuhkan
perawatan khusus di ICU untuk pemberian produk-produk darah, menyediakan
monitoring yang invasif, dan memastikan proteksi jalan nafas.
Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama 24 jam.
Evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan
sindroma kompartemen.

22
DIAGRAM PENANGANAN GIGITAN ULAR
PASIEN DG RIWAYAT
GIGITAN ULAR

PERTOLONGAN PERTAMA:
- TENANGKAN PASIEN
- IMMOBILISASI DAERAH GIGITAN
- TRANSPOR PASIEN KE RS
YA
TIDAK
YA
TIDAK
ULAR DIBAWA KE RS
TIDAK
TERDAPAT TANDA ULAR DAPAT
TIDAK ENVENOMASI TERIDENTIFIKASI
YA
(KERACUNAN)
RAWAT Insisi cross bila memenuhi
kriteria ULAR DITETAPKAN
OBSERVASI* DI RS YA TIDAK BERBISA
SELAMA 24 JAM TIDAK
YA RAWAT
TERDAPAT TANDA ENVENOMASI TENANGKAN KORBAN, BERI
TERDAPAT TANDA DIAGNOSTIK DARI ((KERACUNAN) SERUM ANTITETANUS,
ENVENOMASI (KERACUNAN) ULAR PULANGKAN KORBAN
YA TIDAK
YANG UMUM BERADA DI AREA YA
GEOGRAFIS YANG SAMA TANDA MEMENUHI RAWAT
KRITERIA PEMBERIAN OBSERVASI* DI RS
TIDAK ANTIBISA SELAMA 24 JAM
TANDA MEMENUHI YA
KRITERIA PEMBERIAN
ANTIBISA1
TERSEDIA ANTIBISA
MONOSPESIFIK / TIDAK
TIDAK YA POLISPESIFIK
RAWAT
YA RAWAT
OBSERVASI* DI RS BERIKAN ANTIBISA
SELAMA 24 JAM POLISPESIFIK UNTUK BERIKAN ANTIBISA TERAPI
SPESIES ULAR YANG MONOSPESIFIK / KONSERVATIF**
BERADA DI AREA POLISPESIFIK
GEOGRAFIS YANG
SAMA

LIHAT RESPON2

RAWAT RAWAT
TIDAK TANDA ENVENOMASI YA
OBSERVASI* DI RS ULANGI DOSIS INISIASI
SISTEMIK MENETAP RAWAT
ANTIBISA (MAX 80-100 ml)

Disadur dari WHO Guidelines for The Clinical TIDAK ADA PERBAIKAN : ADA PERBAIKAN :
Management of Snake Bite in The South East RUJUK SEGERA OBSERVASI* DI RS
Asia Region 2005

23
KETERANGAN SKEMA

CROSS INSISI
Setelah tergigit Bisa yang dapat terbuang

3 menit 90%

15-30 menit 50%

1 jam 1%

TANDA ENVENOMASI (KERACUNAN) GIGITAN ULAR BERBISA

LOKAL ( pada bekas gigitan) Sistemik

a. Tanda gigitan taring (fang Umum (general) : mual, muntah, nyeri perut,
marks) lemah, mengantuk, lemas.
b. Nyeri lokal
Kelainan hemostatik : perdarahan spontan
c. Perdarahan lokal
(klinis), koagulopati, atau trombositopenia.
d. Kemerahan
e. Limfangitis Gejala neurotoksik : ptosis, oftalmoplegia
f. Pembesaran kelenjar limfe eksternal, paralisis, dan lainnya.
g. Inflamasi (bengkak, merah,
Kelainan kardiovaskuler : hipotensi, syok,
panas)
arritmia (klinis), kelainan EKG.
h. Melepuh
i. Infeksi lokal, terbentuk abses Cidera ginjal akut (gagal ginjal) :
j. Nekrosis oligouria/anuria (klinis), peningkatan
kreatinin/urea urin (hasil laboratorium).
Hemoglobinuria/mioglobinuria : urin coklat
gelap (klinis), dipstik urin atau bukti lain akan
adanya hemolisis intravaskuler atatu
rabdomiolisis generalisata (nyeri otot,
hiperkalemia) (klinis, hasil laboratorium). Serta
adanya bukti laboratorium lainnya terhadap
tanda venerasi.

24
1KRITERIA PEMBERIAN SERUM ANTI BISA ULAR

DERAJAT PARRISH

Derajat Venerasi Luka gigit Nyeri Udem/eritema Tanda sistemik


0 0 + +/- <3cm/12 jam 0
I +/- + + <3cm/12 jam 0
II + + +++ >12cm- +. Neurotoksik,
25cm/12jam mual, pusing, syok
III ++ + +++ >25cm/12jam ++,syok,
petekie,ekimosis
IV ++ + +++ Pada satu ++, gangguan faal
+ ekstremitas ginjal, koma,
secara perdarahan
menyeluruh

PEMBERIAN SABU (SERUM ANTI BISA ULAR)

Derajat parrish SABU (serum antibisa ular)

0-1 Tidak perlu

2 5-20 cc

3-4 40-100 cc

CARA PEMBERIAN SERUM ANTIBISA ULAR

Dosis pertama sebanyak 2 vial @5 ml sebagai larutan 2% dalam NaCl dapat diberikan
sebagai infus dengan kecepatan 40-80 tetes per menit, lalu diulang setiap 6 jam. Apabila
diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak berkurang atau bertambah) antiserum dapat
diberikan setiap 24 jam sampai maksimal (80-100 ml). antiserum yang tidak diencerkan
dapat diberikan langsusng sebagai suntikan intravena dengan sangat perlahan-lahan. Dosis
untuk anak-anak sama atau lebih besar daripada dosis untuk dewasa.Cara lain adalah
denga menyuntikkan 2,5 ml secara infiltrasi di sekitar luka, 2,5 ml diinjeksikan secara
intramuskuler atau intravena. Pada kasus berat dapat diberikan dosis yang lebih tinggi.
Penderita harus diamati selama 24 jam untuk reaksi anafilaktik

25
CARA PENYUNTIKAN SERUM ANTIBISA ULAR
injeksi 0,2 ml serum encerkan
1: 10 (subkutan)

Amati 30 menit

Reaksi hipersensitivitas (+) Reaksi hipersensitivitas (-)

Injeksi adrenalin 1:1000 Injeksi serum yang tidak


diencerkan 0,2 ml (subkutan)

Amati 30 menit

Reaksi hipersensitivitas (+) Reaksi hipersensitivitas (-)

Serum jangan diberikan suntikkan serum dalam dosis


penuh secara perlahan-lahan

KETERANGAN :
Reaksi Hipersensitivitas (anafilaktik) dini : pucat, kepala pusing, perasaan panas, Amati respon terhadap
batuk-batuk, kenaikan suhu, mual atau muntah-muntah, pembengkakan lidah serum antibisa ular
atau bibir, denyut nadi cepat, tekanan darah menurun, gatal-gatal, rasa tidak
nyaman di perut, sesak nafas, kesadaran menurun atau kejang

(Disadur dari Serum Anti Bisa Ular Biofarma, Bandung)

KRITERIA PENGULANGAN DOSIS INISIASI ANTI BISA ULAR :


a. koagulopati menetap atau berulang setelah 6 jamatau perdarahan setelah 1-2
jam, terdapat perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler setelah 1-2
jam.
b. Bila darah tetap tidak koagulasi, 6 jam setlah pemberian dosis awal antibisa,
dosis yang sama harus diulang. Hal ini berdasarkan observasi bahwa, bila dosis
besar antibisa diberikan ( lebih dari cukup untuk menetralisasi enzim pro koagulan
bisa ular) diberikan pada awal, waktu yang dibutuhkan oleh hepar untuk
memperbaiki tingkat koagulasi fibrinogen dan faktor pembekuan lainnya adalah 3-
9 jam.

26
c. Pada pasien yang tetap mengalami perdarahan cepat, dosis antibisa harus
diulang antara 1-2 jam.
Pada kasus perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler, dosis awal
antibisa harus diulang setelah 1-2 jam dan perawatan pendukung harus dipertimbangkan

2 RESPON TERHADAP PEMBERIAN ANTIBISA ULAR


a. Umum : pasien merasa lebih baik, mual, muntah dan nyeri secara keseluruhan
dapat hilang secara cepat.
b. Perdarahan sistemik spontan (misalnya dari gusi) : biasanya terhenti pada 15-30
menit.
c. Koagulasi darah : biasanya terhenti dalam 3-9 jam. Perdarahan dari luka yang
menyembuh sebagian terhenti lebih cepat
d. Pada pasien syok : tekanan darah dapat meningkat antara 30-60 menit pertama dan
aritmia seperti sinus bradikardi dapat teratasi
e. Pada pasien dengan neurotoksisitas tipe post sinaps (gigitan ular kobra) akan
membaik dalam 30 menit setelah pemberian antibisa, namun biasanya
membutuhkan waktu bebeerapa jam. Pada keracunan tipe pre sinaps (Kraits dan
ular laut) tidak tampak respon.
f. Hemolisis aktif dan rhabdomyolisis menurun dalam beberapa jam dan warna urin
akan kembali ke warna normal.

* OBSERVASI
 Keadaan umum dan vital sign, tanda envenomasi (keracunan) bisa ular,
pemeriksaan penunjang,
Untuk kasus gigitan kering (bisa tidak diinjeksikan) dari ular viper, observasi di
Instalasi gawat Darurat selama 8-10 jam, dilanjutkan observasi di ruangan
 Pasien dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat membutuhkan perawatan
khusus di ICU untuk pemberian produk-produk darah, menyediakan monitoring
yang invasif, dan memastikan proteksi jalan nafas.
 Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama 24 jam.
 Evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan sindroma
kompartemen.
- Ukur tekanan kompartemen setiap 30-120 menit.

27
- Fasciotomi diindikasikan untuk tekanan yang lebih dari 30-40 mmHg.
Tergantung dari derajat keparahan gigitan, pemeriksaan darah lebih lanjut mungkin
dibutuhkan, seperti waktu pembekuan darah, jumlah trombosit, dan level
fibrinogen

** PERAWATAN KONSERVATIF
1. Bed rest
2. Perawatan luka dengan iodine, hibitane
3. Akses intravena (cairan dan obat-obatan)
4. Pemberian obat-obatan sedatif (Diazepam, Promethazine)
5. Pemberian obat-obatan analgesik (ASA, Paracetamol, Ibuprofen, Indomethacin,
Petidine)
6. Pemerian Antibiotika profilaksis (PPF, Amoxicillin, Ampicillin, Gentamicin)
7. Pemberian toxoid Tetanus
8. Pemberian Steroid (Hidrocortison, Dexamethasone)

28
H. KOMPLIKASI GIGITAN ULAR
Sindrom kompartemen adalah komplikasi tersering dari gigitan ular pit viper.
Komplikasi luka lokal dapat meliputi infeksi dan hilangnya kulit. Komplikasi
kardiovaskuler, komplikasi hematologis, dan kolaps paru dapat terjadi. Jarang terjadi
kematian. Anak-anak mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadinya kematian atau
komplikasi serius karena ukuran tubuh mereka yang lebih kecil. Perpanjangan blokade
neuromuskuler timbul dari envenomasi ularkoral.
Komplikasi yang terkait dengan antivenin termasuk reaksi hipersensitivitas tipe
cepat (anafilaksis, tipe I) dan tipe lambat (serum sickness, tipe III). Anafilaksis terjadi
dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE), berkaitan dengan degranulasi sel mast yang dapat
berakibat laryngospasme, vasodilatasi, dan kebocoran kapiler. Kematian umumnya pada
korban tanpa intervensi farmakologis. Serum sickness dengan gejala demam, sakit kepala,
bersin, pembengkakan kelenjar lymph, dan penurunan daya tahan, muncul 1 – 2 minggu
setelah pemberian antivenin. Presipitasi dari kompleks antigen-immunoglobulin G (IgG)
pada kulit, sendi, dan ginjal bertanggung jawab atas timbulnya arthralgia, urtikaria, dan
glomerulonephritis (jarang). Biasanya lebih dari 8 vial antivenin harus diberikan pada
sindrom ini. Terapi suportif terdiri dari antihistamin dan steroid7.

I. PROGNOSIS GIGITAN ULAR


Meskipun kebanyakan korban gigitan ular berbisa dapat tertolong dengan baik,
memprediksi prognosis pada tiap kasus individu dapat menjadi sulit. Disamping fakta
bahwa mungkin terdapat sebanyak 8000 kasus gigitan ular berbisa, terdapat kurang dari 10
kematian, dan kebanyakan dari kasus fatal ini tidak mencari pertolongan karena suatu
alasan dan lain hal. Jarang terjadi untuk seseorang meninggal sebelum mencapai
perawatan medis di AS. Kebanyakan ular tidak berbisa jika menggigit. Jika tergigit oleh
ular tidak berbisa, korban akan pulih. Komplikasi yang mungkin dari gigitan ular tak
berbisa meliputi gigi yang tertahan pada luka gigitan atau infeksi luka (termasuk tetanus).
Ular tidak membawa atau mentransmisikan rabies6.
Tidak semua gigitan oleh ular berbisa menghasilkan racun berbisa. Pada lebih dari
20% gigitan oleh rattlesnake dan moccasin, sebagai contoh, tidak ada bisa yang disuntikan.
Hal ini disebut gigitan kering yang bahkan lebih umum pada gigitan yang diakibatkan oleh
elapid. Gigitan kering (tanpa injeksi bisa ular) memiliki komplikasi yang sama dengan
gigitan ular tidak berbisa. Seorang korban yang masih sangat muda, tua, atau memiliki
penyakit sistemik lain sebagian besar tidak mampu mentoleransi jumlah injeksi bisa yang

29
sama dengan orang dewasa yang sehat. Ketersediaan perawatan medis darurat dan, yang
paling penting, antibisa ular, dapat mempengaruhi bagaimana keadaan korban.
Efek bisa yang serius dapat tertunda untuk beberapa jam. Seorang korban yang awalnya
terlihat baik kondisinya dapat menjadi sangat kesakitan. Seluruh korban yang tergigit oleh
ular berbisa harus segera mendapat perawatan medis tanpa harus ditunda-tunda6.

J. PENCEGAHAN GIGITAN ULAR2


a. Mengenali ular lokal di daerah masing-masing, mengetahui tempat tinggal dan
tempat persembunyian yang disukai ular, mengetahui waktu dan cuaca dimana
ular akan lebih aktif, terutama gigitan ular setelah hujan, saat banjir, saat panen,
serta malam hari
b. Gunakan sepatu atau bots dan celana panjang, khususnya saat berjalan di malam
hari atau semak-semak
c. Gunakan cahaya (lampu senter, obor) saat berjalan di malam hari
d. Hindari ular sejauh mungkin, termasuk pertunjukan penjinak ular. Jangan pernah
menyentuh, mengancam, atau menyerang ular dan jangan pernah menjebak dan
memojokkan ular dalam tempat tertutup
e. Bila memungkinkan, hindari tidur di tanah
f. Jauhkan anak-anak dari daerah yang diketahui rawan ular
g. Hindari atau lakukan dengan saat hati-hati saat menangani ular mati, atau ular
yang terlihat mati
h. Hindari reruntuhan, sampah, gundukan anai-anai, atau hewan domestik yang dekat
dengan hunian manusia, karena dapat menarik ular
i. Memeriksa rumah secara berkala untuk ular, dan bila mungkin, hindari jenis
konstruksi rumah yang memungkinkan ular untuk bersembunyi (misalnya dinding
jerami dan tanah liat yang memiliki celah dan ruang yang lebar, ruang tidak
tertutup pada lantai)
j. Untuk mencegah gigitan ular laut, nelayan sebaiknya menghindari menyentuh ular
laut yang tertangkap jala dan terpancing. Kepala dan ekor ular tidak mudah
dibedakan. Terdapat resiko tergigit pada mereka yang mandi dan mencuci pakaian
pada air yang keruh pada muara, hulu sungai dan pesisir pantai.

30
BAB III

PEMBAHASAN

Pada kasus ini seorang laki-laki berusia 57 tahun yang digigit ular malam hari, saat
sedang mengambil buah di kebun belakang rumah dan mengenakan sandal yang terbuka.
Lokasi gigitan adalah pada ibu jari kaki kiri pasien. Hal ini kemungkinan terjadi karena
korban tidak sengaja menginjak ular tersebut, sehingga ular tersebut berusaha
mempertahankan diri dengan menggigit ibu jari korban.
Pada kasus gigitan ular penting untuk mengetahui apakah ular tersebut berbisa atau
tidak berbisa. Gigitan ular berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa. Berdasarkan
teori yang telah dijelaskan sebelumnya, untuk membedakan apakah ular berbisa atau tidak
diketahui berdasarkan jenis ular, gambaran luka gigitan, serta gambaran klinis dari korban
gigitan ular. Pada kasus ini, diketahui bahwa korban tidak tahu jenis, corak, hanya
mengetahui warna ular yang menggigitnya, sehingga untuk menentukan ular tersebut
berbisa atau tidak didapatkan berdasarkan gambaran bekas gigitan serta gejala klinis yang
dialami pasien.
Segera setelah ular menggigit akan muncul gejala dan tanda pada daerah gigitan
berupa tanda gigitan taring (fang marks), nyeri lokal, perdarahan lokal, kemerahan,
limfangitis, pembesaran kelenjar limfe, inflamasi (bengkak, merah, panas), melepuh,
infeksi lokal, terbentuk abses,serta nekrosis. Pada korban, didapatkan tanda dan gejala
lokal berupa rasa nyeri pada daearah gigitan (ibu jari kaki kiri) yang dirasa terus-menerus.
Nyeri seperti ditusuk-tusuk dan menjalar hingga ke punggung kaki kiri pasien. Kaki pasien
juga terasa panas, baal (kesemutan) dan membengkak, bekas gigitan tidak berdarah. Tidak
didapatkan tanda dan gejala sistemik. Pada pemeriksaan fisik kepala, leher, thorax, dan
abdomen, tidak didapatkan kelainan. Pada ekstremitas, didapatkan luka gigitan pada ibu
jari kaki kiri pasien. Gambaran luka yaitu berbentuk dua buah titik pada ibu jari kaki kiri
dan disekitar luka pada punggung kaki kiri terjadi edema serta perubahan warna kulit
merah-keunguan disertai nyeri pada penekanan.
Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan ular berbisa adalah menghalangi/
memperlambat absorbsi bisa ular, menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam
sirkulasi darah, serta mengatasi efek lokal dan sistemik. Metode pertolongan pertama yang
dilakukan adalah menenangkan korban yang cemas; imobilisasi (membuat tidak bergerak)
bagian tubuh yang tergigit dengan cara mengikat atau menyangga dengan kayu agar tidak
terjadi kontraksi otot, karena pergerakan atau kontraksi otot dapat meningkatkan

31
penyerapan bisa ke dalam aliran darah dan getah bening; pertimbangkan pressure-
immobilisation pada gigitan Elapidae; hindari gangguan terhadap luka gigitan karena dapat
meningkatkan penyerapan bisa dan menimbulkan pendarahan lokal.
Selama perawatan di rumah sakit, pada pasien ini diberikan terapi berupa antinyeri
serta antibiotika. Pemberian antibiotika pada korban gigitan ular dapat diberikan, tapi
umumnya bermanfaat hanya pada kasus gigitan ular yang berat. Walaupun demikian,
pemberian antibiotik spektrum luas tetap direkomendasikan disamping itu untuk mencegah
infeksi sekunder dari luka setelah dilakukan insisi. Antibiotika yang dapat diberikan
seperti amoksisilin dan golongan cefalosporin ditambah dosis tunggal gentamisin dan
metronidazol.

32
DAFTAR PUSTAKA

1) Gold, Barry S.,Richard C. Dart.Robert Barish. 2002. Review Article : Current


Concept Bites Of Venomous Snakes. N Engl J Med, Vol. 347, No. 5·August 1, 2002
2) WHO. 2005. Guidelines for The Clinical Management of Snake Bite in The South
East Asia Region.
3) Kasturiratne A, Wickremasinghe AR, de Silva N, Gunawardena NK, Pathmeswaran
A, et al. 2008. The Global Burden of Snakebite: A Literature Analysis and Modelling
Based on Regional Estimates of Envenoming and Deaths. PLoS Med 5(11): e218.
doi:10.1371/journal.pmed.0050218
4) SMF Bedah RSUD DR. R.M. Djoelham Binjai. 2000. Gigitan Hewan. Availabke
from : www.scribd.com/doc/81272637/Gigitan-Hewan
5) Sentra Informasi Keracunan Nasional Badan POM, 2012. Penatalaksanaan
Keracunan Akibat Gigitan Ular Berbisa. Available from : www.pom.id
6) Hafid, Abdul, dkk., 1997. Bab 2 : Luka, Trauma, Syok, Bencana : Gigitan Ular. Buku
Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC : Jakarta. Hal. 99-100
7) Daley, Brian James MD. 2010. Snake bite : patophysiology. Available from :
http://emedicine.medscape.com/article/168828-overview#a0104
8) Emedicine Health. 2005. Snakebite. available from :
http://www.emedicinehealth.com/snakebite/article_em.htm#Snakebite
9) Depkes. 2001. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen POM
Depkes RI. Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit.
10) Wangoda R., Watmon B. Kisige M. 2002. Snakebite Management : Experience From
Gulu Regional Hospital Uganda.

33

Anda mungkin juga menyukai