Penyusun :
Dokter Pendamping :
dr. Yuliati
JAWA TENGAH
2018-2019
1
BORANG PORTOFOLIO
Nama Peserta : dr. Siti Sofi Hadiyana
Nama Wahana : RSUD Batang
Topik : Snake Bite
Tanggal Kasus : 06 Februari 2019
Nama Pasien : Tn. A No.RM : 4083xx
Tanggal Presentasi : Nama Pendamping : dr. Yuliati
2
BAB I
LAPORAN KASUS
IDENTITAS
Nama : Tn. A
Umur : 57 Tahun
No. CM : 4083xx
Agama : Islam
Status : Kawin
Pendidikan : SD
A. ANAMNESIS
Autoanamnesis dilakukan pada tanggal 06 Februari 2019 pukul 19.45 WIB di IGD
Keluhan Utama :
Digigit ular
Riwayat Penyakit Sekarang:
1 jam sebelum masuk Rumah Sakit penderita digigit ular berwarna hijau
saat sedang mengambil buah di kebun belakang rumah. Lokasi gigitan di ibu jari
kaki kiri. Terasa nyeri dan panas di tempat gigitan sampai punggung kaki kiri,
bengkak (+) sampai punggung kaki kiri. Mual (-), muntah (-), perdarahan di
tempat gigitan (-) , berdebar-debar (-), gringgingen (-), lemah anggota tubuh (-),
kencing berwarna merah atau hitam (-), gusi berdarah (-), pendarahan konjungtiva
(-), kemudian os dibawa ke RSUD Kalisari.
3
Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat Hipertensi : Disangkal
Riwayat DM : Disangkal
Riwayat Alergi : Disangkal
Riwayat keluhan serupa : Disangkal
Pasien bekerja sebagai kuli bangunan. Pasien selalu menggunakan alas kaki namun
terbuka sandal seperti sandal jepit. Pasien tinggal bersama istri dan dua anaknya.
Pasien memiliki asuransi kesehatan BPJS PBI.
B. ANAMNESIS SISTEM
1. Sistem serebrospinal: pusing (-), kejang (-) demam (-)
2. Sistem kardiovaskuler: berdebar debar (-), sesak nafas (-) nyeri dada (-)
3. Sistem respirasi: Batuk (-) pilek (-)
4. Sistem gastrointestinal: Bab lancar, mual -, muntah -
5. Sistem muskuloskeletal: lemah ekstremitas (-) nyeri otot (-)
6. Sistem integumen: pucat (-), nyeri (+)
7. Sistem urogenital: Bak lancar, nyeri berkemih (-) nyeri pinggang (-)
C. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum: tampak sakit ringan,
Kesadaran: compos mentis.
Tanda vital :
- Tekanan darah : 160/80
- HR (Nadi) : 88x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
- RR (Laju Nafas) :16x/menit
- Suhu : 36,5oC
Status Internus
4
- Kepala : mesocephale, rambut hitam
- Wajah : pucat (-), kuning (-)
- Mata : sklera ikterik (-/-), konjungtiva anemis (-/-), pupil isokor
- Hidung : epistaksis (-/-), discharge (-), septum deviasi (-)
nafas cuping hidung(-)
- Telinga : discharge (-/-)
- Bibir : sianosis (-),sariawan (-), kering (-)
- Tenggorokan : faring hiperemis (-), pembesaran tonsil (-)
- Leher : simetris, pembesaran kelenjar limfe (-)
- Thoraks : dalam batas normal
- Abdomen : dalam batas normal
- Ekstremitas : Superior Inferior
Akral hangat (+/+) (+/+)
Edema (-/-) (-/-)
Sianosis (-/-) (-/-)
Ptekie (-/-) (-/-)
D. STATUS LOKALIS
Lokasi : Regio dorsum pedis dextra
UKK : Tampak gigitan pada ibu jari kaki kiri dan udem pada punggung
kaki kiri, nyeri (+), warna sesuai kulit sekitar, teraba hangat (+)
E. HASIL LABORATORIUM
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Hematologi
Leukosit 16.40 4-10.50
Eritrosit 4.63 4-5.3
Hemoglobin 11.5 11.9-15.5
Trombosit 380 150-450
Diff count
Neutrofil 67.9 42-74
Limfosit 24.7 17-45
Monosit 7 5-12
Eosinofil 3.1 1-7
5
Basofil 0.6 0-1
Kimia klinik
Glukosa sewaktu 82 <140
Ureum 32 10-50
Creatinin 0.8 0.6-1.0
F. DIAGNOSA BANDING
- Snake Bite
- Insect Bite
G. DIAGNOSA KERJA
- Snake Bite
H. PENATALAKSANAAN
1. Non medikamentosa
Menjaga kebersihan lingkungan, memakai alas kaki tertutup saat melakukan
kegiatan di kebun
2. Medikamentosa
Infus Ringer Laktat 20 tpm
Injeksi ATS
Injeksi Dexamethason 5mg/8 jam
Injeksi Ceftriaxon 1 gr/24 jam
Imobilisasi
6
I. FOLLOW UP
RR = 20 x/menit
08/8/2019 S : kaki bengkak dan nyeri mulai Infus Ringer Laktat 20 tpm
berkurang
Injeksi Dexamethason 5mg/8
O : CM, gizi baik jam
TV : Injeksi Ceftriaxon 1 gr/24 jam
HR = 90 x/menit
RR = 20 x/menit
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Gigitan ular adalah cedera yang disebabkan oleh gigitan dari ular baik
ular berbisa ataupun tidak berbisa.Akibat dari gigitan ular tersebut dapat menyebabkan
kondisi medis yang bervariasi, yaitu:
a. Kerusakan jaringan secara umum, akibat dari taring ular
b. Perdarahan serius bila melukai pembuluh darah besar
c. Infeksi akibat bakteri sekunder atau patogen lainnya dan peradangan
d. Pada gigitan ular berbisa, gigitan dapat menyebabkan envenomisasi
8
Gambar 1. Jenis ular Cobra(kiri) dan viper(kanan) yang banyak terdapat di Indonesia
(Sumber : Poisonus Snake in Indonesia, 2010)
9
C. BISA ULAR
Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa
dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah
yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan
bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian
bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi
tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang memiliki aktivitas
enzimatik5.
a. Komposisi Bisa Ular
Bisa ular mengandung lebih dari 20 unsur penyusun, sebagian besar adalah protein,
termasuk enzim dan racun polipeptida. Berikut beberapa unsur bisa ular yang memiliki
efek klinis2 :
a. Enzim prokoagulan (Viperidae) dapat menstimulasi pembekuan darah namun
dapat pula menyebabkan darah tidak dapat berkoagulasi. Bisa dari ular Russel
mengandung beberapa prokoagulan yang berbeda dan mengaktivasi langkah
berbeda dari kaskade pembekuan darah. Akibatnya adalah terbentuknya fibrin di
aliran darah. Sebagian besar dapat dipecah secara langsung oleh sistem fibrinolitik
tubuh. Segera, dan terkadang antara 30 menit setelah gigitan, tingkat faktor
pembekuan darah menjadi sangan rendah (koagulopati konsumtif) sehingga darah
tidak dapat membeku.
b. Haemorrhagins (zinc metalloproteinase) dapat merusak endotel yang meliputi
pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan sistemik spontan (spontaneous
systemic haemorrhage).
c. Racun sitolitik atau nekrotik – mencerna hidrolase (enzim proteolitik dan
fosfolipase A) racun polipentida dan faktor lainnya yang meningkatkan
permeabilitas membran sel dan menyebabkan pembengkakan setempat. Racun ini
juga dapat menghancurkan membran sel dan jaringan.
d. Phospholipase A2 haemolitik and myolitik – ennzim ini dapat menghancurkan
membran sel, endotel, otot lurik, syaraf serta sel darah merah.
e. Phospolipase A2 Neurotoxin pre-synaptik (Elapidae dan beberapa Viperidae) –
merupakan phospholipases A2 yang merusak ujung syaraf, pada awalnya
melepaskan transmiter asetilkolin lalu meningkatkan pelepasannya.
10
f. Post-synaptic neurotoxins (Elapidae) –polipeptida ini bersaing dengan asetilkolin
untuk mendapat reseptor di neuromuscular junction dan menyebabkan paralisis
yang mirip seperti paralisis kuraonium2
Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-
ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase.
Enzim ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf,
menyebabkan hemolisis atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis.
Hialuronidase merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan penyebaran racun6.
b. Sifat Bisa Ular
Berdasarkan sifatnya pada tubuh mangsa, bisa ular dapat dibedakan menjadi bisa
hemotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi jantung dan sistem pembuluh darah; bisa
neurotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi sistem saraf dan otak; dan bisa sitotoksik,
yaitu bisa yang hanya bekerja pada lokasi gigitan.
a. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah (hematotoksik)
Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa ular yang menyerang dan
merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah dengan jalan menghancurkan
stroma lecethine (dinding sel darah merah), sehinggga sel darah merah menjadi
hancur dan larut (hemolysis) dan keluar menembus pembuluh-pembuluh darah,
mengakibatkan timbulnya perdarahan pada selaput mukosa (lendir) pada mulut,
hidung, tenggorokan, dan lain-lain.
b. Bisa ular yang bersifat racun terhadap saraf (neurotoksik)
Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel saraf sekitar
luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf tersebut mati dengan
tanda-tanda kulit sekitar luka tampak kebiruan dan hitam (nekrotik). Penyebaran
dan peracunan selanjut nya mempengaruhi susunan saraf pusat dengan jalan
melumpuhkan susunan saraf pusat, seperti saraf pernapasan dan jantung.
Penyebaran bisa ular ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe4.
Bisa ular diproduksi dan disimpan dalam sepasang kelenjar yang berada di bawah
mata. Bisa dikeluarkan dari taring berongga yang terletak di rahang atasnya. Taring ular
dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattlesnake besar. Dosis bisa ular tiap gigitan
11
bergantung pada waktu yang terlewati sejak gigitan pertama, derajat ancaman yang
diterima ular, serta ukuran mangsanya. Lubang hidung merespon terhadap emisi panas dari
mangsa, yang dapat memungkinkan ular untuk mengubah jumlah bisa yang dikeluarkan.
Bisa biasanya berupa cairan. Protein enzimatik pada bisa menyalurkan bahan-
bahan penghancurnya. Protease, kolagenase, dan arginin ester hidrolase telah diidentifikasi
pada bisa pit viper. Efek lokal dari bisa ular merupakan penanda potensial untuk kerusakan
sistemik dari fungsi sistem organ. Salah satu efeknya adalah perdarahan lokal, koagulopati
biasanya tidak terjadi saat venomasi. Efek lainnya, berupa edema lokal, meningkatkan
kebocoran kapiler dan cairan interstitial di paru-paru.
Mekanisme pulmoner dapat berubah secara signifikan. Efek akhirnya berupa
kematian sel yang dapat meningkatkan konsentrasi asam laktat sekunder terhadap
perubahan status volume dan membutuhkan peningkatan minute ventilasi. Efek blokade
neuromuskuler dapat menyebabkan perburukan pergerakan diafragma. Gagal jantung
dapat disebabkan oleh asidosis dan hipotensi. Myonekrosis disebabkan oleh myoglobinuria
dan gangguan ginjal7.
Gigitan Viporidae/Crotalidae
(misalnya ular tanah, ular hijau, ular bandotan puspo)
1. Gejala lokal timbul dalam 15 menit, setelah beberapa jam berupa bengkak di dekat
gigitan yang menyebar ke seluruh anggota tubuh.
2. Gejala sistemik muncul setelah 5 menit atau setelah beberapa jam
12
3. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakan di atas siku dan lutut dalam waktu
2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.
Gigitan Hydropiridae
(misalnya ular laut)
1. Segera timbul sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat, dan muntah.
2. Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri menyeluruh,
dilatasi pupil, spasme otot rahang, paralisis otot, mioglobinuria yang ditandai
dengan urin berwarna coklat gelap (penting untuk diagnosis), kerusakan ginjal,
serta henti jantung
F. DIAGNOSA KLINIK
A. Anamnesis
Anamnesis yang tepat seputar gigitan ular serta progresifitas gejala dan
tanda baik lokal dan sistemik merupakan hal yang sangat penting.
Empat pertanyaan awal yang bermanfaat :
1. Pada bagian tubuh mana anda terkena gigitan ular?
Dokter dapat melihat secara cepat bukti bahwa pasien telah digigit ular
(misalnya, adanya bekas taring) serta asal dan perluasan tanda envenomasi
lokal.
2. Kapan dan pada saat apa anda terkena gigitan ular?
Perkiraan tingkat keparahan envenomasi bergantung pada berapa lama waktu
berlalu sejak pasien terkena gigitan ular. Apabila pasien tiba di rumah sakit
segera setelah terkena gigitan ular, bisa didapatkan sebagian kecil tanda dan
gejala walaupun sejumlah besar bisa ular telah diinjeksikan. Bila pasien digigit
ular saat sedang tidur, kemungkinan ular yang menggigit adalah Kraits (ular
13
berbisa), bila di daerah persawahan, kemungkinan oleh ular kobra atau russel
viper (ular berbisa), bila terjadi saat memetik buah, pit viper hijau (ular berbisa),
bila terjadi saat berenang atau saat menyebrang sungai, kobra (air tawar), ular
laut (laut atau air payau).
3. Perlakuan terhadap ular yang telah menggigit anda?
Ular yang telah menggigit pasien seringkali langsung dibunuh dan dijauhkan
dari pasien. Apabila ular yang telah menggigit berhasil ditemukan, sebaiknya
ular tersebut dibawa bersama pasien saat datang ke rumah sakit, untuk
memudahkan identifikasi apakah ular tersebut berbisa atau tidak. Apabila
spesies terbukti tidak berbahaya (atau bukan ular sama sekali) pasien dapat
segera ditenangkan dan dipulangkan dari rumah sakit.
4. Apa yang anda rasakan saat ini?
Pertanyaan ini dapat membawa dokter pada analisis sistem tubuh yang terlibat.
Gejala gigitan ular yang biasa terjadi di awal adalah muntah. Pasien yang
mengalami trombositopenia atau mengalami gangguan pembekuan darah akan
mengalami perdarahan dari luka yang telah terjdi lama. Pasien sebaiknya
ditanyakan produksi urin serta warna urin sejak terkena gigitan ular. Pasien yang
mengeluhkan kantuk, kelopak mata yang serasa terjatuh, pandangan kabur atau
ganda, kemungkinan menandakan telah beredarnya neurotoksin.
B. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan Tanda Vital harus selalu dilakukan. Kemudian dicari tanda
bekas gigitan oleh ular berbisa. Tidak semua ular berbisa pada waktu menggigit
menginjeksikan bisa pada korbannya. Orang yang digigit ular, meskipun tidak
ada bisa yang diinjeksikan ke tubuhnya dapat menjadi panik, nafas menjadi
cepat, tangan dan kaki menjadi kaku, dan kepala menjadi pening. Gejala dan
tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi sesuai spesies ular yang menggigit dan
banyaknya bisa yang diinjeksikan pada korban. Gejala dan tanda-tanda tersebut
antara lain adalah tanda gigitan taring (fang marks), nyeri lokal, pendarahan
lokal, memar, pembengkakan kelenjar getah bening, radang, melepuh, infeksi
lokal, dan nekrosis jaringan (terutama akibat gigitan ular dari famili Viperidae).
Tanda dan Gejala Lokal pada daerah gigitan:
a. Tanda gigitan taring (fang marks)
b. Nyeri lokal
c. Perdarahan lokal
14
d. Kemerahan
e. Limfangitis
f. Pembesaran kelenjar limfe
g. Inflamasi (bengkak, merah, panas)
h. Melepuh
i. Infeksi lokal, terbentuk abses
j. Nekrosis
15
spontan – dari gusi, epistaksis, perdarahan intrakranial (meningism, berasal dari
perdarahan subdura, dengan tanda lateralisasi dan atau koma oleh perdarahan
cerebral), hemoptisis, perdarahan perrektal (melena), hematuria, perdarahan
pervaginam, perdarahan antepartum pada wanita hamil, perdarahan mukosa
(misalnya konjunctiva), kulit (petekie, purpura, perdarahan diskoid, ekimosis),
serta perdarahan retina.
d) Neurologis (Elapidae, Russel viper)
Mengantuk, parestesia, abnormalitas pengecapan dan pembauan, ptosis,
oftalmoplegia eksternal, paralisis otot wajah dan otot lainnya yang dipersarafi
nervus kranialis, suara sengau atau afonia, regurgitasi cairan melaui hidung,
kesulitan untuk menelan sekret, paralisis otot pernafasan dan flasid generalisata.
e) Destruksi otot Skeletal ( sea snake, beberapa spesies kraits, Bungarus niger and B.
candidus, western Russell’s viper Daboia russelii)
Nyeri seluruh tubuh, kaku dan nyeri pada otot, trismus, myoglobinuria,
hiperkalemia, henti jantung, gagal ginjal akut.
f) Sistem Perkemihan
Nyeri punggung bawah, hematuria, hemoglobinuria, myoglobinuria,
oligouria/anuria, tanda dan gejala uremia ( pernapasan asidosis, hiccups, mual,
nyeri pleura, dan lain-lain)
g) Gejala endokrin
Insufisiensi hipofisis/kelenjar adrenal yang disebabkan infark hipofisis anterior.
Pada fase akut : syok, hipoglikemia. Fase kronik (beberapa bulan hingga tahun
setelah gigitan) : kelemahan, kehilangan rambut seksual sekunder, kehilangan
libido, amenorea, atrofi testis, hipotiroidism
G. PENATALAKSANAAN
1) Pertolongan pertama
Tujuan dari pertolongan pertama ini adalah untuk mengurangi penyerapan racun
(bisa ular), bantuan hidup dasar, dan mencegah komplikasi lebih lanjut. Hal-hal yang
harus dilakukan antara lain :
a. Tenangkan korban, karena panik akan membuat racun lebih cepat terserap
b. Imobilisasi ekstremitas yang terkena gigitan dengan bidai atau ikat dengan kain
(untuk memperlambat penyerapan racun)
16
c. Gunakan balut yang kuat, hal tersebut akan mengurangi penyerapan racun yang
bersifat neurotoksin, namun jangan gunakan pada gigitan yang menyebabkan
nekrosis
d. Jangan melakukan intervensi apapun pada luka, termasuk menginsisi, kompres
dengan es, ataupun pemberian obat apapun
e. Tidak direkomendasikan untuk mengikat arteri (pembuluh darah di proksimal lesi)
f. Selalu utamakan keselamatan diri. Jangan mencoba membunuh ular yang
menggigit. Bila sudah mati, bawa ular ke RS untuk identifikasi 3
17
- Cari tanda-tanda neurotoksisitas seperti ptosis, oftalmoplegi, paralisis
bulbar, hingga paralisis dari otot-otot pernapasan
- Khusus untuk ular laut terdapat tanda rigiditas pada otot
- Pemeriksaan urin untuk mioglobinuri
5) Lakukan pemeriksaan darah yang meliputi pemeriksaan darah rutin, tes fungsi
ginjal, PPT/PTTK, tes golongan darah dan cross match
6) Anamnesa ulang mengenai riwayat imunisasi, beri anti tetanus toksoid jika
merupakan indikasi
7) Rawat inap paling tidak selama 24 jam (kecuali jika ular yang menggigit adalah
jenis ular yang tidak berbisa)
3) Terapi Dengan Anti Venom
Satu satunya terapi spesifik terhadap bisa ular adalah dengan anti venom.
Pemberian seawal mungkin akan memberikan hasil yang lebih baik. Terapi ini
dapat diberikan jika tanda tanda penyebaran bisa secara sistemik ada. Untuk efek
lokal, anti venom biasanya tidak efektif jika diberikan lebih dari 1 jam.
Indikasi pemberian anti venom antara lain :
a) Abnormalitas hemostatik, misalnya perdarahan sistemik spontan dan
trombositopeni (<100000)
b) Neurotoksisitas
c) Gangguang kardiovaskuler (hipotensi atau syok)
d) Rhabdomiolisis generalisata (rasa nyeri pada otot)
e) Gagal ginjal akut
f) Efek lokal yang signifikan, seperti misalnya pembengkakan lokal lebih dari
setengah besar ekstremitas yang terkena, nekrosis atau hematom yang luas, atau
bengkak yang membesar dengan cepat
g) Temuan laboratorium seperti anemia, trombositopeni, leukositosis, peningkatan
enzim hepar, hiperkalemia, dan mioglobinuri
Pilihan Anti Venom:
a. Jika jenis ular diketahui, usahakan pemberian anti venom yang spesifik
(monovalen) karena akan lebih efektif dan efek samping yang lebih sedikit
b. Jika jenis ular tidak diketahui, manifestasi klinis mungkin dapat digunakan
untuk memperkirakan jenis ular :
- Pembengkakan lokal dengan tanda kelainan neurologis = ular kobra/elapidae
18
- Pembengkakan lokal yang ekstensif dengan perdarahan = ular tanah/
viperidae
c. Anti venom polivalen jika belum jelas
Dosis Dan Cara Pemberian
Jumlah pemberian biasanya berdasar empirik. Rekomendasi pemberian dari pabrik
yang ada biasanya berdasarkan uji pada binatang
a. Ulang pemberian anti venom hingga tanda tandanya hilang
b. Pemberian melalui rute intra vena. Larutkan anti venom pada cairan isotonic (5-10
ml/kgBB, pada anak yang lebih besar atau orang dewasa larutkan dalam 500 ml) dan infus
seluruhnya dalam 1 jam
c. Infus dapat dihentikan bila gejala menghilang walaupun dosis yang direkomendasikan
belum habis
d. Jangan lakukan uji sensitivitas
e. Jangan lakukan injeksi di tempat lesi
f. Persiapkan adrenalin, kortikosteroid, antihistamin, dan peralatan resusitasi jika terjadi
reaksi alergi
g. Dosis pertama sebanyak 2 vial @5 ml dalam NaCl atau Dextrose 5% dapat diberikan
sebagai infus dengan kecepatan 40-80 tetes per menit, lalu diulang setiap 6 jam. Apabila
diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak berkurang atau bertambah) antiserum dapat
diberikan setiap 24 jam sampai maksimal (80-100 ml). Antiserum yang tidak diencerkan
dapat diberikan langsusng sebagai suntikan intravena dengan sangat perlahan-lahan. Dosis
untuk anak-anak sama atau lebih besar daripada dosis untuk dewasa. Cara lain adalah
dengan menyuntikkan 2,5 ml secara infiltrasi di sekitar luka dan 2,5 ml diinjeksikan secara
intramuskuler atau intravena. Pada kasus berat dapat diberikan dosis yang lebih tinggi.
Penderita harus diamati selama 24 jam untuk reaksi anafilaktik
Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada
bagian luka. Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way (Depkes, 2001):
Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, jika
derajat meningkat maka diberikan SABU
Derajat II: 3-4 vial SABU
Derajat III: 5-15 vial SABU
Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU
Pedoman terapi SABU menurut Schwartz dan Way (Depkes, 2001):
19
Derajat Venerasi Luka gigit Nyeri Ukuran zona edema/ Gejala sistemik
eritemato kulit (cm)
20
Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari penggunaan obat
– obatan narkotik depresan
Pemberian antibiotika spektrum luas. Kaman terbanyak yang dijumpai adalah
P.aerugenosa, Proteus,sp, Clostridium sp, B.fragilis
4) Reaksi Anti Venom
Terdapat 3 tipe reaksi terhadap pemberian anti venom yang mungkin terjadi :
a. Reaksi anafilaktik tipe cepat
- Terjadi 10-180 menit setelah pemberian anti venom
- Gejala meliputi : gatal, urtikaria, nausea, muntah, dan palpitasi hingga reaksi
anafilaktik yang berat seperti hipotensi, bronkospasme dan udema laring
- Jika terjadi hal seperti itu, hentikan pemberian anti venom, berikan adrenalin IM
(0,01 ml/kgBB), antihistamin (misal klorfeniramin 0,2 mg/kg), dan cairan
resusitasi
- Jika reaksinya ringan, pemberian anti venom dapat dilanjutkan namun dengan
dosis dan kecepatan yang lebih rendah
b. Reaksi pirogenik
- Terjadi 1-2 jam setelah pemberian, dikarenakan endotoksin dalam anti venom
- Gejala meliputi demam, kaku, muntah, takikardia dan hipotensi
- Tatalaksana seperti pada kasus diatas
- Bila demam dapat diberikan parasetamol
c. Reaksi tipe lambat
- Terjadi kurang lebih seminggu kemudian
- Gejala serum like illness : demam, atralgia, limfadenopati
- Atasi dengan pemberian antihistamin (klorfeniramin 0,2 mg/kgBB/hari dibagi
dalam 5 dosis
- Jika berat, beri prednisolon oral (0,7-1 mg/kgBB/hari) selam 5-7 hari
5) Terapi Supportif
a. Bersihkan luka dengan antiseptik
b. Analgesik
c. Antibiotik bila luka terkontaminasi atau nekrosis
d. Pemberian Anti Tetanus
e. Awasi kejadian kompartemen syndrome—nyeri, bengkak, perabaan distal
dingin, dan paresis
f. Buang jaringan nekrosis
21
g. Atasi keadaan gagal ginjal akuT
6) Kesalahan Dalam Penatalaksanaan
a) Memberikan anti venom pada semua kasus gigitan ular
Tidak semua gigitan ular membutuhkan anti venom, kira-kira 30% dari
gigitan ular kobra, dan 50% karena ular tanah tidak memerlukan anti
venom. Selain mahal, anti venom dapat menyebabkan reaksi anafilaktik
yang serius pada pasien. Sebaiknya anti venom hanya diberikan pada pasien
dimana manfaatnya lebih besar dari pada resikonya
b) Menunda memberikan anti venom
Anti bisa ular harus diberikan sesegera mungkin, bahkan pada pusat
pelayanan kesehatan tingkat pertama sebelum dirujuk ke fasilitas kesehatan
yang lebih lengkap
c) Pemberian anti venom polivalen pada semua jenis gigitan ular
Anti bisa ular yang polivalen tidak dapat mencakup semua jenis ular. Selalu
perhatikan label dari pabrik saat hendak menggunakan
d) Pemberian terapi pendahuluan dengan kortikosteroid atau antihistamin
Terapi ini diberikan pada meraka yang mendapat terapi anti bisa ular,
karena gigitan ular tidak menyebabkan reaksi alergi.
7) Monitoring
Keadaan umum dan vital sign, tanda envenomasi (keracunan) bisa ular,
pemeriksaan penunjang. Untuk kasus gigitan kering (bisa tidak diinjeksikan)
dari ular viper, observasi di Instalasi gawat Darurat selama 8-10 jam, dilanjutkan
observasi di ruangan.
Pasien dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat membutuhkan
perawatan khusus di ICU untuk pemberian produk-produk darah, menyediakan
monitoring yang invasif, dan memastikan proteksi jalan nafas.
Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama 24 jam.
Evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan
sindroma kompartemen.
22
DIAGRAM PENANGANAN GIGITAN ULAR
PASIEN DG RIWAYAT
GIGITAN ULAR
PERTOLONGAN PERTAMA:
- TENANGKAN PASIEN
- IMMOBILISASI DAERAH GIGITAN
- TRANSPOR PASIEN KE RS
YA
TIDAK
YA
TIDAK
ULAR DIBAWA KE RS
TIDAK
TERDAPAT TANDA ULAR DAPAT
TIDAK ENVENOMASI TERIDENTIFIKASI
YA
(KERACUNAN)
RAWAT Insisi cross bila memenuhi
kriteria ULAR DITETAPKAN
OBSERVASI* DI RS YA TIDAK BERBISA
SELAMA 24 JAM TIDAK
YA RAWAT
TERDAPAT TANDA ENVENOMASI TENANGKAN KORBAN, BERI
TERDAPAT TANDA DIAGNOSTIK DARI ((KERACUNAN) SERUM ANTITETANUS,
ENVENOMASI (KERACUNAN) ULAR PULANGKAN KORBAN
YA TIDAK
YANG UMUM BERADA DI AREA YA
GEOGRAFIS YANG SAMA TANDA MEMENUHI RAWAT
KRITERIA PEMBERIAN OBSERVASI* DI RS
TIDAK ANTIBISA SELAMA 24 JAM
TANDA MEMENUHI YA
KRITERIA PEMBERIAN
ANTIBISA1
TERSEDIA ANTIBISA
MONOSPESIFIK / TIDAK
TIDAK YA POLISPESIFIK
RAWAT
YA RAWAT
OBSERVASI* DI RS BERIKAN ANTIBISA
SELAMA 24 JAM POLISPESIFIK UNTUK BERIKAN ANTIBISA TERAPI
SPESIES ULAR YANG MONOSPESIFIK / KONSERVATIF**
BERADA DI AREA POLISPESIFIK
GEOGRAFIS YANG
SAMA
LIHAT RESPON2
RAWAT RAWAT
TIDAK TANDA ENVENOMASI YA
OBSERVASI* DI RS ULANGI DOSIS INISIASI
SISTEMIK MENETAP RAWAT
ANTIBISA (MAX 80-100 ml)
Disadur dari WHO Guidelines for The Clinical TIDAK ADA PERBAIKAN : ADA PERBAIKAN :
Management of Snake Bite in The South East RUJUK SEGERA OBSERVASI* DI RS
Asia Region 2005
23
KETERANGAN SKEMA
CROSS INSISI
Setelah tergigit Bisa yang dapat terbuang
3 menit 90%
1 jam 1%
a. Tanda gigitan taring (fang Umum (general) : mual, muntah, nyeri perut,
marks) lemah, mengantuk, lemas.
b. Nyeri lokal
Kelainan hemostatik : perdarahan spontan
c. Perdarahan lokal
(klinis), koagulopati, atau trombositopenia.
d. Kemerahan
e. Limfangitis Gejala neurotoksik : ptosis, oftalmoplegia
f. Pembesaran kelenjar limfe eksternal, paralisis, dan lainnya.
g. Inflamasi (bengkak, merah,
Kelainan kardiovaskuler : hipotensi, syok,
panas)
arritmia (klinis), kelainan EKG.
h. Melepuh
i. Infeksi lokal, terbentuk abses Cidera ginjal akut (gagal ginjal) :
j. Nekrosis oligouria/anuria (klinis), peningkatan
kreatinin/urea urin (hasil laboratorium).
Hemoglobinuria/mioglobinuria : urin coklat
gelap (klinis), dipstik urin atau bukti lain akan
adanya hemolisis intravaskuler atatu
rabdomiolisis generalisata (nyeri otot,
hiperkalemia) (klinis, hasil laboratorium). Serta
adanya bukti laboratorium lainnya terhadap
tanda venerasi.
24
1KRITERIA PEMBERIAN SERUM ANTI BISA ULAR
DERAJAT PARRISH
2 5-20 cc
3-4 40-100 cc
Dosis pertama sebanyak 2 vial @5 ml sebagai larutan 2% dalam NaCl dapat diberikan
sebagai infus dengan kecepatan 40-80 tetes per menit, lalu diulang setiap 6 jam. Apabila
diperlukan (misalnya gejala-gejala tidak berkurang atau bertambah) antiserum dapat
diberikan setiap 24 jam sampai maksimal (80-100 ml). antiserum yang tidak diencerkan
dapat diberikan langsusng sebagai suntikan intravena dengan sangat perlahan-lahan. Dosis
untuk anak-anak sama atau lebih besar daripada dosis untuk dewasa.Cara lain adalah
denga menyuntikkan 2,5 ml secara infiltrasi di sekitar luka, 2,5 ml diinjeksikan secara
intramuskuler atau intravena. Pada kasus berat dapat diberikan dosis yang lebih tinggi.
Penderita harus diamati selama 24 jam untuk reaksi anafilaktik
25
CARA PENYUNTIKAN SERUM ANTIBISA ULAR
injeksi 0,2 ml serum encerkan
1: 10 (subkutan)
Amati 30 menit
Amati 30 menit
KETERANGAN :
Reaksi Hipersensitivitas (anafilaktik) dini : pucat, kepala pusing, perasaan panas, Amati respon terhadap
batuk-batuk, kenaikan suhu, mual atau muntah-muntah, pembengkakan lidah serum antibisa ular
atau bibir, denyut nadi cepat, tekanan darah menurun, gatal-gatal, rasa tidak
nyaman di perut, sesak nafas, kesadaran menurun atau kejang
26
c. Pada pasien yang tetap mengalami perdarahan cepat, dosis antibisa harus
diulang antara 1-2 jam.
Pada kasus perburukan gejala neurotoksik atau gejala kardiovaskuler, dosis awal
antibisa harus diulang setelah 1-2 jam dan perawatan pendukung harus dipertimbangkan
* OBSERVASI
Keadaan umum dan vital sign, tanda envenomasi (keracunan) bisa ular,
pemeriksaan penunjang,
Untuk kasus gigitan kering (bisa tidak diinjeksikan) dari ular viper, observasi di
Instalasi gawat Darurat selama 8-10 jam, dilanjutkan observasi di ruangan
Pasien dengan tanda envenomasi (keracunan) yang berat membutuhkan perawatan
khusus di ICU untuk pemberian produk-produk darah, menyediakan monitoring
yang invasif, dan memastikan proteksi jalan nafas.
Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama 24 jam.
Evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan sindroma
kompartemen.
- Ukur tekanan kompartemen setiap 30-120 menit.
27
- Fasciotomi diindikasikan untuk tekanan yang lebih dari 30-40 mmHg.
Tergantung dari derajat keparahan gigitan, pemeriksaan darah lebih lanjut mungkin
dibutuhkan, seperti waktu pembekuan darah, jumlah trombosit, dan level
fibrinogen
** PERAWATAN KONSERVATIF
1. Bed rest
2. Perawatan luka dengan iodine, hibitane
3. Akses intravena (cairan dan obat-obatan)
4. Pemberian obat-obatan sedatif (Diazepam, Promethazine)
5. Pemberian obat-obatan analgesik (ASA, Paracetamol, Ibuprofen, Indomethacin,
Petidine)
6. Pemerian Antibiotika profilaksis (PPF, Amoxicillin, Ampicillin, Gentamicin)
7. Pemberian toxoid Tetanus
8. Pemberian Steroid (Hidrocortison, Dexamethasone)
28
H. KOMPLIKASI GIGITAN ULAR
Sindrom kompartemen adalah komplikasi tersering dari gigitan ular pit viper.
Komplikasi luka lokal dapat meliputi infeksi dan hilangnya kulit. Komplikasi
kardiovaskuler, komplikasi hematologis, dan kolaps paru dapat terjadi. Jarang terjadi
kematian. Anak-anak mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadinya kematian atau
komplikasi serius karena ukuran tubuh mereka yang lebih kecil. Perpanjangan blokade
neuromuskuler timbul dari envenomasi ularkoral.
Komplikasi yang terkait dengan antivenin termasuk reaksi hipersensitivitas tipe
cepat (anafilaksis, tipe I) dan tipe lambat (serum sickness, tipe III). Anafilaksis terjadi
dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE), berkaitan dengan degranulasi sel mast yang dapat
berakibat laryngospasme, vasodilatasi, dan kebocoran kapiler. Kematian umumnya pada
korban tanpa intervensi farmakologis. Serum sickness dengan gejala demam, sakit kepala,
bersin, pembengkakan kelenjar lymph, dan penurunan daya tahan, muncul 1 – 2 minggu
setelah pemberian antivenin. Presipitasi dari kompleks antigen-immunoglobulin G (IgG)
pada kulit, sendi, dan ginjal bertanggung jawab atas timbulnya arthralgia, urtikaria, dan
glomerulonephritis (jarang). Biasanya lebih dari 8 vial antivenin harus diberikan pada
sindrom ini. Terapi suportif terdiri dari antihistamin dan steroid7.
29
sama dengan orang dewasa yang sehat. Ketersediaan perawatan medis darurat dan, yang
paling penting, antibisa ular, dapat mempengaruhi bagaimana keadaan korban.
Efek bisa yang serius dapat tertunda untuk beberapa jam. Seorang korban yang awalnya
terlihat baik kondisinya dapat menjadi sangat kesakitan. Seluruh korban yang tergigit oleh
ular berbisa harus segera mendapat perawatan medis tanpa harus ditunda-tunda6.
30
BAB III
PEMBAHASAN
Pada kasus ini seorang laki-laki berusia 57 tahun yang digigit ular malam hari, saat
sedang mengambil buah di kebun belakang rumah dan mengenakan sandal yang terbuka.
Lokasi gigitan adalah pada ibu jari kaki kiri pasien. Hal ini kemungkinan terjadi karena
korban tidak sengaja menginjak ular tersebut, sehingga ular tersebut berusaha
mempertahankan diri dengan menggigit ibu jari korban.
Pada kasus gigitan ular penting untuk mengetahui apakah ular tersebut berbisa atau
tidak berbisa. Gigitan ular berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa. Berdasarkan
teori yang telah dijelaskan sebelumnya, untuk membedakan apakah ular berbisa atau tidak
diketahui berdasarkan jenis ular, gambaran luka gigitan, serta gambaran klinis dari korban
gigitan ular. Pada kasus ini, diketahui bahwa korban tidak tahu jenis, corak, hanya
mengetahui warna ular yang menggigitnya, sehingga untuk menentukan ular tersebut
berbisa atau tidak didapatkan berdasarkan gambaran bekas gigitan serta gejala klinis yang
dialami pasien.
Segera setelah ular menggigit akan muncul gejala dan tanda pada daerah gigitan
berupa tanda gigitan taring (fang marks), nyeri lokal, perdarahan lokal, kemerahan,
limfangitis, pembesaran kelenjar limfe, inflamasi (bengkak, merah, panas), melepuh,
infeksi lokal, terbentuk abses,serta nekrosis. Pada korban, didapatkan tanda dan gejala
lokal berupa rasa nyeri pada daearah gigitan (ibu jari kaki kiri) yang dirasa terus-menerus.
Nyeri seperti ditusuk-tusuk dan menjalar hingga ke punggung kaki kiri pasien. Kaki pasien
juga terasa panas, baal (kesemutan) dan membengkak, bekas gigitan tidak berdarah. Tidak
didapatkan tanda dan gejala sistemik. Pada pemeriksaan fisik kepala, leher, thorax, dan
abdomen, tidak didapatkan kelainan. Pada ekstremitas, didapatkan luka gigitan pada ibu
jari kaki kiri pasien. Gambaran luka yaitu berbentuk dua buah titik pada ibu jari kaki kiri
dan disekitar luka pada punggung kaki kiri terjadi edema serta perubahan warna kulit
merah-keunguan disertai nyeri pada penekanan.
Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan ular berbisa adalah menghalangi/
memperlambat absorbsi bisa ular, menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam
sirkulasi darah, serta mengatasi efek lokal dan sistemik. Metode pertolongan pertama yang
dilakukan adalah menenangkan korban yang cemas; imobilisasi (membuat tidak bergerak)
bagian tubuh yang tergigit dengan cara mengikat atau menyangga dengan kayu agar tidak
terjadi kontraksi otot, karena pergerakan atau kontraksi otot dapat meningkatkan
31
penyerapan bisa ke dalam aliran darah dan getah bening; pertimbangkan pressure-
immobilisation pada gigitan Elapidae; hindari gangguan terhadap luka gigitan karena dapat
meningkatkan penyerapan bisa dan menimbulkan pendarahan lokal.
Selama perawatan di rumah sakit, pada pasien ini diberikan terapi berupa antinyeri
serta antibiotika. Pemberian antibiotika pada korban gigitan ular dapat diberikan, tapi
umumnya bermanfaat hanya pada kasus gigitan ular yang berat. Walaupun demikian,
pemberian antibiotik spektrum luas tetap direkomendasikan disamping itu untuk mencegah
infeksi sekunder dari luka setelah dilakukan insisi. Antibiotika yang dapat diberikan
seperti amoksisilin dan golongan cefalosporin ditambah dosis tunggal gentamisin dan
metronidazol.
32
DAFTAR PUSTAKA
33