pandangan sisi penawaran dengan ajaran klasik antara lain: (1) dalam menjelaskan inflasi
maupun deflasi keduanya sama-sama menekankan pembahasan dari sisi produksi, atau
sisi penawaran ; (2) dalam mengontrol inflasi mereka menggunakan pendekatan yang
sama, yaitu dengan mendorong kurva penawaran agregat ke kanan, dimana dengan cara
ini produksi (output) akan meningkat, dan pada saat yang sama harga-harga dapat ditekan
ke bawah ; dan (3) dalam memperbaiki perekonomian lebih suka mendorong sisi
penawaran ke kanan, bukan mengutak-atik sisi permintaan agregat seperti yang dilakukan
kubu Keynesian.
C. Program Penurunan Pajak Dan Anggaran Berimbang
Kebijaksanaan yang dilancarkan negara-negara penghasil minyak yang tergabung dalam
OPEC telah menggoncang perekonomian Amerika Serikat dua kali. Goncangan pertama
terjadi pada tahun 1973/1974. Pada goncangan pertama ini harga-harga minyak naik
sampai empat kali lipat dalam sekejap. Akibatnya perekonomian di negara-negara
Industri mengalami resesi yang sangat parah, terburuk sesudah depresi besar-besaran
tahun 30-an. Goncangan kedua terjadi tahun 1979/1980, juga oleh kenaikan harga-harga
minyak. Akibat dari goncangan di sisi penawaran tersebut harga-harga jadi naik, dan
inflasi melambung. Kedua goncangan tersebut membuat orang takut pada goncangan
yang terjadi pada sisi penawaran, yang didorong oleh kenaikan biaya-biaya. Jika kurva
penawaran bergeser ke kiri, output berkurang dan pada saat yang bersamaan harga-harga
melambung.
Dalam situasi seperti ini, kalau seandainya dilakukan kebijaksanaan ekspansif, baik
kebijaksanaan fiskal maupun moneter, maka harga-harga akan semakin tinggi dan inflasi
tentu akan semakin membubung, Oleh karena itu timbul pemikiran bahwa yang
sebaiknya diutak-atik adalah sisi penawaran (supply shocks). Dengan mendorong
penawaran agregat ke kanan maka output akan bertambah, dan bersamaan dengan itu
harga-harga akan semakin menurun. Ini jelas merupakan hal yang sangat menarik. Ibarat
pepatah, sambil menyelam minum air, sambil memaju pertumbuhan output nasional,
tingkat inflasi dapat ditekan.
Sekarang apa kebijaksanaan dan langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mendorong
kurva penawaran ke sebelah kanan dalam upaya mempromosikan peningkatan output
nasional sekaligus membuka kesempatan kerja serta menekan laju inflasi tersebut? Cara
yang dianjurkan untuk ditempuh cukup banyak, antara lain: (1) mendorong masayarakat
untuk lebih rajin menabung ; (2) menurunkan tingkat pajak; (3) mendorong masyarakat
untuk lebih berani mengambil resiko dalam berusaha ; (4) mendorong mobilisasi
angkatan kerja, dan (5) mendorong masyarakat untuk lebih banyak bekerja di sektor riil.
Langkah pertama yang mendorong masyarakat untuk lebih rajin menabung, kalau
diperhatikan sangat berbeda dengan pandangan kubu Keynesian. Kubu Keynesian
menganggap kegiatan menabung hanya baik untuk segolongan orang, tetapi jika hal ini
dilakukan oleh semua orang, akan memberikan dampak negatif terhadap perekonomian
nasional atau masyarakat secara keseluruhan (paradox of thrift). Kubu sisi penawaran
justru melihat aktivitas menabung dari sisi positifnya, di mana dengan semakin besarnya
tabungan masyarakat maka akan terkumpul dana untuk kegiatan investasi, dan
selanjutnya hal ini akan mendorong peningkatan dalam produksi dan sekaligus
peningkatan dalam pendapatan nasional serta pembukaan lapangan kerja baru.
Kedua, dengan menurunkan tingkat pajak, maka produksi akan meningkat sebab orang
akan terdorong untuk bekerja lebih rajin. Pendapat ini betul-betul "asli" dari pemikir-
pemikir aliran sisi penawaran. Bagaimanapun, pendapat ini sedikit kontroversil, dan
karenanya perlu akan dibahas lebih detil kemudian.
Ketiga, yaitu mendorong masyarakat untuk lebih berani mengambil resiko, juga perlu
dilakukan dengan menurunkan tingkat pajak dibarengi dengan langkah-langkah
deregulasi dibidang perekonomian. Dengan cara begini maka pengusaha-pengusaha akan
lebih terdorong untuk melakukan investasi dan menggali inovasi serta temuan-temuan
baru untuk meningkatkan produksi.
Keempat, yaitu mendorong mobilitas angkatan kerja, dilakukan dengan menghentikan
program-program bantuan sosial dari pemerintah, misalnya dengan mengurangi bantuan
pangan (foods tamps) atau bantuan daerah-daerah miskin dan sejenisnya. Dengan
dikuranginya program-program bantuan sosial ini orang akan terpaksa mencari di
lapangan atau daerah lain yang lebih menjanjikan masa depan yang lebih baik. Langkah
ini oleh sebagian orang dinilai terlalu "dingin" dan kurang berperikemanusiaan, tetapi
pakar-pakar aliran sisi penawaran yakin hasilnya dijamin lebih efektif dalam usaha
mengatasi kemiskinan. Dasar asumsinya ialah, jika golongan-golongan miskin tertentu
tetap dibantu, mereka akan menjadi manja, mentalnya menjadi lembek, tidak mandiri,
tidak mau berusaha mencari pekerjaan yang lebih baik dan di masa datang akan selalu
tergantung pada bantuan pemerintah. Langkah yang terlalu dingin seperti ini tentu akan
menimbulkan debat hangat di berbagai kalangan, baik di kalangan ekonomi maupun
politisi (apalagi politikus) jika dianjurkan di Indonesia, terutama dengan hangat-
hangatnya program Inpres Desa Miskin dalam upaya mengentaskan kemiskinan dari
bumi Indonesia saat ini.
Kelima, mendorong masyarakat untuk lebih banyak bekerja di sektor riil, yaitu
mengarahkan masyarakat untuk lebih banyak bekerja di sektor-sektor atau bidang usaha
yang betul-betul tampak hasilnya dalam peningkatan output nasional. Perluasan lapangan
pekerjaan di bidang-bidang sosial seperti hukum, sosial, antropologi, keguruan dan
bahkan ekonomi ,serta akuntansi tidak begitu dianjurkan, sebab hasil pekerjaan mereka
tidak begitu nampak dalam upaya meningkatkan produksi atau output nasional.
Pandangan yang disebut terakhir agaknya relevan untuk masyarakat Indonesia saat ini, di
mana sekolah-sekolah dan perguruan tinggi yang ada lebih banyak menghasilkan
manusia yang hanya ahli dalam "bercakap-cakap", tetapi tidak begitu nampak produksi
nyatanya. Jenis sarjana yang lebih dibutuhkan Indonesia di masa sekarang dan masa
depan adalah para insinyur, sarjana politeknik, bukan lulusan hukum, IKIP, ekonomi,
sosial, politik dan sejenisnya yang lulusannya sudah jauh melampaui jumlah yang
diperlukan atau diminta pasar kerja.
Dari berbagai langkah yang disebut di atas, langkah yang paling disukai dan sering
diidentikkan dengan ajaran sisi penawaran ialah langkah kedua, yaitu lewat program
pemotongan pajak. Pakar-pakar aliran sisi penawaran percaya bahwa pemotongan pajak
tidak akan menyebabkan berkurangnya produksi nasional, tetapi justru akan
meningkatkannya. Bahkan lebih jauh mereka menjamin bahwa pemotongan pajak ini
sendiri tidak akan mengurangi penerimaan pemerintah dalam total pajak yang
dikumpulkan.
Preposisi yang diajukan oleh ahli-ahli ekonomi sisi penawaran ini jelas agak bersifat
kontroversil. Pendapat umum waktu itu ialah, bahwa tingkat pajak yang lebih rendah
berarti penerimaan pemerintah yang lebih rendah pula. Tetapi menurut ahli sisi
penawaran tidak demikian. Pengurangan beban pajak dapat meningkatkan penerimaan
pemerintah karena adanya dampak insentif terhadap partisipasi kerja yang lebih tinggi.
Misalkan pada awalnya pemerintah menetapkan pajak sebesar 25 persen dari tambahan
pendapatan. Jika orang menerima upah 10 dolar AS per jam, maka yang jikantonginya
hanya 7,5 dolar, dan yang 2,5 dolar lari ke tangan pemungut pajak, yaitu pemerintah.
Sekarang misalkan beban pajak dipotong menjadi 15 persen dari tambahan pendpatan.
Berarti uang yang masuk kantong sekarang adalah 8,5 dolar per jam. Ini akan mendorong
orang lebih aktif dan
bekerja lebih lama. Kalau program ini bisa menaikkan rata-rata jam kerja sebanyak dua
jam, maka yang diterima pemerintah bukan 1,5 dolar melainkan 3 dolar. Angka ini jelas
lebih besar dari 2,5 dolar seperti yang diterima sebelum program pemotongan beban
pajak.
Pakar-pakar aliran sisi penawaran percaya bahwa program pemotongan pajak akan
menguntungkan semua pihak. Pekerja memperoleh pendapatan sesudah pajak (income
after tax) yang lebih tinggi, pemerintah juga memperoleh penerimaan total dari pajak
yang juga lebih besar. Jam kerja yang lebih lama berarti output nasional akan meningkat,
dan perekonomian akan berkembang.
Pandangan dari tokoh-tokoh sisi penawaran ini nampaknya sangat disukai dan didukung
oleh Presiden Reagan, ditunjukkan dengan diumumkannya program penurunan tingkat
pajak tahun 1981. Ada dua alasan utama mengapa kebijaksanaan penurunan pajak ini
disukai oleh Reagan. Pertama, sebagaimana yang dijanjikan oleh pakar-pakar ekonomi
aliran sisi penawaran, dengan mengurangi pajak maka partisipasi kerja akan meningkat,
sehingga mendorong laju pertumbuhan ekonomi dan memperluas kesempatan kerja
sekaligus mengurangi angka inflasi. Kedua, Reagan tidak suka kongres memegang dana
(yang diperoleh dari hasil pemungutan pajak) terlalu banyak, sebab program-program
yang dijalankan mereka kebanyakan dinilai tidak efektif. Jika masukan dari pajak tetap
tinggi, maka dana yang tersedia untuk program-program pemerintah juga tinggi, dan akan
lebih banyak dana yang digunakan untuk program-program yang tidak efektif.
Jika ditinjau ke belakang, sejak tahun 60-an peran pemerintah dalam perekonomian
cenderung menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini dapat dilihat dari
besarnya bagian pengeluaran pemerintah dalam GNP. Hal seperti ini tidak hanya terjadi
di Amerika Serikat, tetapi juga dijumpai di negara-negara lain sebagai akibat pengaruh
Keynesian. Di Amerika sejak tahun 1981 kebijaksanaan pengeluaran pemerintah yang
tumbuh terlalu cepat rnendapat serangan tajam dari berbagai pihak, terutama kelompok
sisi penawaran. Alasan utama ketidaksenangan tersebut adalah karena kenyataan bahwa
sebagian besar dari program-program yang berasal dari pemerintah tidak memberikan
manfaat yang memadai, dan di lain pihak beban pajak masyarakat terlalu tinggi.
Banyak hasil studi menunjukkan bahwa hasil-hasil yang dicapai dari berbagai program
pengeluaran pemerintah tidak memberikan hasil memadai, bahkan tidak sedikit yang
hasilnya mendapat predikat buruk sekali. Bahkan program-program yang mempunyai
tujuan mulia seperti sistem keamanan sosial (social security system) dan program kupon
pangan (food stamp program) tidak lepas dari berbagai kritik. Isu-isu tentang ketidak
efektifan program-program pemerintah yang lebih rinci dapat di lihat antara lain dalam
tulisan Peter Saunders dan Friedrich Klan dalam The Role of the Public Sector (1985).
Implikasi dari berbagai kritik tersebut ialah perlunya melakukan evaluasi terhadap
program-program pemerintah. Yang nyata-nyata tidak atau kurang efektif dikurangi atau
ditiadakan sama sekali, dan hanya program-program yang nyata-nyata bermanfaat boleh
dilanjutkan. Karena program-program pemerintah banyak yang tidak efektif, satu-satunya
cara yang logis untuk membatasi pengeluaran pemerintah ialah dengan mengurangi
pemasukannya. Kalau pemasukan tetap tinggi, maka pengeluaran tentu akan tetap tinggi
pula. Dan cara paling ampuh untuk mengurangi penerimaan pemerintah adalah dengan
mengurangi beban pajak. Secara sederhana, daripada susah-susah mengumpulkan
pendapatan dari pajak untuk membelanjai program-program pemerintah yang tidak
efektif hasilnya, lebih baik membiarkan dan tetap berada di tangan masyarakat. Biarkan
mereka mengatur sendiri sipa yang terbaik yang bisa dilakukan dengan dana yang ada di
tangannya. Dengan dasar kepercayaan bahwa tiap orang rasional dan tahu sipa yang
terbaik
untuk meningkatkan kesejahteraannya masing-masing, mereka pasti mampu
mengalokasikan dana untuk kegiatan-kegiatan produktif yang dapat meningkatkan
kesejahteraan mereka masing-masing. Dengan dikuranginya beban pajak, bagian dana
untuk kegiatan-kegiatan produktif di tangan masyarakat menjadi lebih besar sehingga
produksi akan bertambah dan begitu juga kesempatan kerja terbuka lebih luas sehingga
pendapatan dan kesejahteraan masyarakat luas akan meningkat.
Kesimpulannya, pemikir-pemikir aliran sisi penawaran percaya bahwa dampak positif
penggunaan dana sendiri oleh swasta terhadap peningkatan output nasional, perluasan
kesempatan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat lebih besar dibandingkan
dengan keadaan di mana pajak dikumpulkan terlebih dahulu untuk kemudian
dialokasikan oleh pemerintah untuk berbagai program pembangunan.
Demikianlah, maka pada masa pemerintahan Reagan dilakukan apa yang disebut tax
revolt, yaitu program pembatasan berbagai bentuk pajak, yang disertai jaminan konstitusi
amandemen bahwa pengeluaran pemerintah harus berimbang dengan penerimaan
(balance budget). Amandemen anggaran berimbang mempunyai target agar pengeluaran
pemerintah diturunkan hingga 20 persen dari GNP. Dengan pematokan seperti itu, berarti
pengeluaran pemerintah hanya mungkin jika GNP naik. Pendukung program yang
bersifat balance budget antara lain Alan Blinder dan Douglas Holtz Aeakin, serta Herbert
Stein. Dalam jurnal : Public Opinion and the Balance Budget (1984) Blinder dan Eakin
menyatakan bahwa seperti pengawasan upah-harga, program anggaran yang berimbang
juga lebih populer di kalangan masyarakat daripada kalangan pakar-pakar ekonomi.
Sebuah pengumpulan pendapat yang dilakukan sepuluh tahun sesudah depresi besar-
besaran memperlihatkan bahwa 61 persen penduduk lebih suka mengurangi pengeluaran
pemerintah untuk mengimbangi anggaran, dan hanya 17 persen yang menentang. Hingga
sekarang popularitas gagasan anggaran berimbang tidak pernah turun.
Sesungguhnya, berapa sebaiknya bagian pengeluaran pemerintah dari GNP? Pertanyaan
seperti ini sulit dijawab. Lagi pula, yang menentukan biasanya bukan para pakar
ekonomi, melainkan sekelompok politisi. Mereka biasanya ingin tampil "hebat" dengan
berbagai program untuk membantu sekelompok masyarakat tertentu. Padahal kalau
mereka bisa sedikit low profile, dan tidak membebani pajak terlalu tinggi untuk mendanai
program- program mereka yang lebih banyak tidak efektif, hasilnya dipercaya akan lebih
baik bagi masyarakat secara keseluruhan.
D. Diskusi
Pengaruh ajaran pakar-pakar ekonomi sisi penawaran cukup luas, terutama pada tahun-
tahun awal pemerintahan Reagan. Pandangan mereka juga mendapat dukungan luas dari
kalangan media, terutama sekali dari Wall Street Journal. Sebagai dampak dari
pandangan ahli-ahli ekonomi sisi penawaran, orang makin kritis terhadap program-
program pemerintah.
Jika dikaitan dengan keadaan di Indonesia, pandangan di atas mungkin ada benarnya.
Sebagaimana diungkapkan oleh "begawan" ekonomi Indonesia –Sumitro
Djojohadikusumo -pada Kongres ISEI ke-13 akhir tahun 1993 di Surabaya, ternyata tidak
kurang dari 30 persen dana pembangunan di Indonesia mengalami kebocoran, sedang
dana yang terpakai tidak jelas efektivitasnya dalam mencapai sasaran yang ditetapkan.
Tidak lama kemudian Menteri Keuangan mengumumkan kenaikan pendapatan yang
dapat dikenai pajak, yang berarti akan mengurangi penerimaan pajak. Apakah ini
disebabkan pemerintah Indonesia terpengaruh oleh pandangan aliran sisi penawaran dari
Amerika Serikat ini, terlalu pagi untuk menyimpulkannya.
Sekarang pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya melaksanakan program pengentasan
kemiskinan, antara lain lewat bantuan-bantuan langsung dan program Inpres Desa
Miskin. Para pemimpin kita percaya program ini akan memberikan hasil
positif bagi pengurangan kemiskinan dan perluasan pemerataan. Menurut ahli-ahli sisi
penawaran program-program seperti ini umumnya kurang atau tidak efektif dalam
mencapai tujuan yang ditetapkan. Mana di antara kedua pendapat ini yang benar, juga
sulit dijawab sekarang. Untuk itu sebaiknya program-program yang telah dijalankan
dievaluasi setelah beberapa tahun berjalan. Kalau program pengentasan kemiskinan ini
nyata-nyata membantu dalam usaha menghalau kemiskinan dari bumi Indonesia, boleh
diteruskan. Tetapi kalau tidak efektif, apalagi kalau hanya dimanfaatkan oleh orang-orang
tertentu untuk tujuan pribadi, tentu perlu dipikirkan alternatif lain yang lebih terjamin
hasilnya.
Sekarang bagaimana penilaian terhadap pemikiran-pemikiran ekonomi berikut
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang diajurkan oleh pakar-pakar ekonomi sisi penawaran ?
Sebagaimana yang disajikan sebelumnya. Aliran sisi penawaran tampil dengan
menjanjikan cara yang sangat mudah untuk menghadapi berbagai masalah ekonomi pada
tahun 80-an, yaitu dengan 10 mengurangi pajak. Dengan mengurangi beban pajak,
mereka percaya bahwa program tersebut akan meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi
sekaligus menekan inflasi, dan bahwa anggaran akan berimbang. Tetapi sayang bukti-
bukti kurang mendukung harapan-harapan mereka.
Dua tahun sesudah terlaksanannya program pemotongan pajak tingkat inflasi memang
turun. Tetapi banyak yang meragukan keberhasilan ini disebabkan program pemotongan
pajak. Sebaian lainnya percaya hal ini terjadi karena program kebijaksanaan uang ketat
yang dilaksanakan pada periode sebelumnya, bukan karena keberhasilan program
pemotongan pajak yang dijalankan pada awal pemerintahan Reagan. Bukti lebih nyata
yang menyebabkan kepopuleran aliran sisi penawaran cepat merosot ialah bahwa output
nasional secara nyata turun, bukan meningkat sebagaimana diramal semula. Begitu juga
penerimaan pemerintah secara total dari pajak tidak pernah naik sebagaimana digemar-
gemborkan selama ini oleh pakar-pakar sisi penawaran.
Pada tahun 1983 -1984 perekonomian Amerika Serikat kembali sembuh. Untuk
keberhasilan ini pakar-pakar aliran sisi penawaran mengklaim bahwa keberhasilan
tersebut adalah sebagai dampak dari kebijaksanaan yang dijalankan selama ini, sesuai
anjuran kubu sisi penawaran. Mereka bersikeras bahwa program pemotongan pajak yang
dilakukan awal tahun 1982 telah berhasil menjalankan misinya meningkatkan output dan
menekan inflasi lewat pemberian insentif yang lebih besar pada masyarakat untuk bekerja
lebih aktif. T etapi sebagian pakar lain percaya hal ini disebabkan oleh dampak
kebijaksanaan moneter yang ekspansif di masa sebelumnya.
Karena bukti-bukti menunjukkan bahwa kebijaksanaan yang dijalankan sesuai anjuran
kubu sisi penawaran ini kurang ampuh, maka tidak ayal teori- teori dan pandangan-
pandangan mereka menjadi sasaran kritik. Kritik tentang praktek kebijaksanaan
pemotongan pajak yang dilakukan semasa pemerintahan Reagan atas anjuran ahli-ahli
ekonomi sisi penawaran tersebut antara lain dapat dilihat dari tulisan Richard H. Fink:
Greed is Not Enough:
Reaganomics (1982).
Tetapi anehnya, yang mengajukan kritik tidak hanya pihak luar. Kritik yang paling
mengejutkan justru datang dari David Sotckman, seorang kepercayaan Reagan yang
mengarsiteki kebijaksanaan-kebijaksanaan ekonomi di bawah Reagan. Dalam bukunya
yang cukup menggemparkan (segera menduduki posisi best seller setelah beberapa hari
diterbitkan) : The Triumph of Politics (1986), Stockman mengungkapkan bahwa ia
sendiri sebagai direktur utama bidang manajemen dan anggaran dalam pemerintahan
Reagan tidak mempercayai peramalan-peramalan yang dibuatnya sendiri di bawah
pemerintahan Reagan.
Pakar-pakar aliran sisi penawaran sendiri nampaknya banyak yang kesal dengan
kebijaksanaan Reagan yang kurang konsisten. Pada awal pemerintahannya
a. Output.
Tolok ukur keberhasilan ekonomi adalah kemampuan suatu negara untuk
menghasilkan output berupa barang dan jasa dalam jumlah besar serta pertumbuhannya
cepat.
Salah satu tolok ukur output yang menyeluruh adalah Produk Nasional Bruto atau
Gross National Product (GNP). GNP merupakan nilai seluruh barang dan jasa yang
dihasilkan suatu negara dalam satu tahun tertentu.
GNP dapat dihitung menurut harga berlaku yang disebut sebagai GNP nominal dan
menurut harga konstan yang disebut sebagai GNP riel.
Output potensial tingkat GNP riel yang terjadi pada tingkat pengangguran alamiah
(tingkat pengangguran sebesar 6 %).
Perbedaan antara output potensial dengan output sesungguhnya disebut GNP gap.
b. Kesempatan Kerja.
Tujuan makroekonomi yang kedua adalah tingkat kesempatan kerja yang tinggi atau
tingkat pengangguran yang rendah.
c. Stabilitas Harga.
Tujuan pokok makroekonomi yang ketiga adalah menjaga stabilitas harga melalui
pasar bebas. Yang dimaksud dengan stabilitas harga adalah harga tidak naik/turun terlalu
tajam atau laju inflasi mendekati nol.
Cara yang umum digunakan untuk mengukur tingkat harga keseluruhan adalah
indeks harga konsumen (IHK) atau consumer price index (CPI).
2. Instrumen
Empat perangkat instrumen pokok kebijakan makroekonomi. Instrumen kebijakan
merupakan suatu variabel ekonomi yang digunakan untuk mengendalikan perekonomian
baik secara langsung maupun tidak langsung. Perubahan yang dilakukan pada instrumen
kebijakan akan berpengaruh pada satu atau lebih tujuan makroekonomi.
a. Kebijakan Fiskal
Ada dua instrumen yang termasuk dalam instrumen kebijakan fiskal, yaitu: belanja
negara (government expenditure) dan sistem perpajakan.
b. Kebijakan Moneter.
Merupakan instrumen kebijakan yang berkaitan dengan penetapan suku bunga. Kebijakan
ini terutama berpengaruh pada tingkat suku bunga dan kredit serta jumlah uang beredar
(money supply).
c. Kebijakan Pendapatan.
Instrumen kebijakan pendapatan berupa program-program pemerintah yang secara
langsung mempengaruhi tingkat upah dan harga. Instrumen ini diharapkan dapat
bermanfaat dalam upaya mengandalikan inflalsi tanpa beban resesi dan pengangguran.
Unsur-unsur yang mendorong permintaan agregat antara lain: tingkat harga, jumlah
pendapatan masyarakat, perkiraan situasi yang akan datang, sistem perpajakan, jumlah
pengeluaran pemerintah dan sebagainya.
b. Pada jangka pendek, kurva penawaran agregat relatif datar. Kenaikan harga sedikit
walaupun permintaan akan barang dan jasa bertambah. Hal ini disebabkan tidak
berubahnya faktor biaya tetap. Pada saat jumlah produksi melampui tingkat output
potensial, harga yang ditawarkan miningkat tajam.
c. Pada jangka Panjang, kurva penawaran agregat bergerak vertikal dari bawah ke atas.
Hal ini disebabkan semua biaya produksi akan menyesuaikan dengan perubahan tingkat
harga. Dalam keadaan seperti ini, produsen tidak lagi berkeinginan menambah jumlah
produksi barang dan jasa
4. Ekuilibrium.
Ttitik ekuilibrium merupakan perpotongan antara kurva penawaran agregat dan
permintaan agregat yang menggambarkan keseuaian harga dan jumlah barang dan jasa
yang akan dibeli konsumen dan yang akan dihasilkan produsen.
C.MODEL PENAWARAN UANG MELALUI KEBIJAKAN CADANGAN WAJIB
(RESERVE REQUIREMENT)
Rasio Cadangan Wajib (Reserve Requirement Ratio)
Rasio cadangan wajib adalah mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan
jumlah dana cadangan perbankan yang harus disimpan pada pemerintah. Untuk
menambah jumlah uang, pemerintah menurunkan rasio cadangan wajib. Untuk
menurunkan jumlah uang beredar, pemerintah menaikkan rasio.
Penetapan rasio cadangan wajin juga dapat mengubah jumlah yang beredar, jika rasio
cadangan wajib diperbesar, maka kemampuan bank memberikan kredit akan lebih kecil
disbanding sebelumnya.
Misalnya jika rasio cadangan wajib mulanya hanya 10% maka untuk setiap unit deposito
yang diterima, perbankan dapat mengalirkan pinjaman sebesar 90% dari deposito yang
diterima perbankan. Dengan demikian angka multiplier uang dari system perbamkan
adalah 10.
Bila rasio cadangan wajib deperbesar menjadi 20% maka untuk setiap unit dposito yang
diterima, system perbankan hanya dapat menyalurkan kredit sebesar 80% .
angka multiplikasi uang dari system perbankan menurun menjadi 5, dengan demikian
jumlah uang beredar di masyarakat akan berkurang. Sebaliknya yang terjadi bila
pemerintah menurunkan tasio cadangan wajib. Sebab penurunan rasio tersebut akan
memperbesar angka multiplikasi uang, yang berarti akan meningkatkan jumlah uang
beredar.
Untuk pertama kalinya sejak pakto 1988 Bank Indonesia menggunakan rasio cadangan
wajib guna mengerem pertumbuhan besar-besaran menoeter yang masih tinggi, yanti
dengan menetapkan rasio menjadi 3% pada februari 1996 (ketentuan sebelumnya
menurut pakto adalah 2%). Sejak April 1997 besarnya rasio cadangan wajib adalah 5%.
D.KEBIJAKAN TINGKAT DISKONTO
Mekanisme dalam kebijakan diskonto ini adalah melalui pengendalian tingkat suku
bunga diskonto yang dapat diatur oleh Bank Indonesia. Suku bunga akan dinaikkan jika
jumlah uang yang beredar dalam masyarakat berlebih.
Giro Wajib Minimum (GWM) pada dasarnya merupakan sejumlah dana dalam jumlah
minimum yang harus selalu tersedia pada saldo giro setiap bank di Bank Indonesia.
Keharusan menyediakan jumlah minimum ini disebut juga sebagai likuiditas wajib
minimum.
Kenaikan angka cadangan minimum ini akan memaksa bank mempertahankan lebih
banyak dananya untuk cadangan, sehingga persentase deposito yang dapat disalurkan
sebagai pinjaman berkurang. Itu artinya kenaikan giro wajib minimum menyebabkan
kenaikan rasio cadangan sehingga menurunkan penggandaan uang dan pada akhirnya
menurunkan jumlah uang beredar.
Sebagai contoh, jika bank sentral mendadak meningkatkan cadangan minimum, sebagian
bank akan langsung kekurangan dana sekalipun jumlah deposito yang mereka miliki tidak
berubah. Sebagai akibatnya, bank-bank ini akan terpaksa menutup pemberian pinjaman
sampai mereka memiliki dana cadangan sebanyak kewajiban yang ditetapkan dalam
ketentuan baru itu.
Di Indonesia, terdapat beberapa kali perubahan angka cadangan minimum. Pada tahun
1988, melalui Pakto 1998, GWM setiap bank pada Bank Indonesia adalah 2%. Jumlah ini
meningkat menjadi 3% pada tahun 1996. Terakhir pada tahun 1997, tingkat likuiditas
wajib minimum (statutory reserve requirement) ini sebesar 5 %.
SOAL LATIHAN ESSAY DAN JAWABAN
1.Cabang dari analisis ekonomi yang berkaitan dengan kemampuan produksi dari
sebuah dan dengan kebijakan yang berusaha untuk memperluas persediaan factor
produksi, dan untuk meningkatkan fleksibilitas pasar-pasar factor disebut…
Jawab : Ekonomi sisi penawaran
2. Aliran sisi penawaran dapat dibedakan atas dua kelompok, yaitu "kelompok
utama" dan "kelompok radikal" ini adalah pengertian ekonomi sisi penawaran
menurut tokoh…
Jawab : Harold McCure dan Thomas Willet (1983)
3. Jumlah output yang akan diproduksi dan dijual oleh kalangan bisnis pada harga
yang berlaku, pada kapasitas produksi tertentu dan dengan biaya-biaya tertentu
disebut…
Jawab : Penawaran Agregat
4. Mengatur jumlah uang yang beredar dengan memainkan jumlah dana cadangan
perbankan yang harus disimpan pada pemerintah disebut…
Jawab : Rasio Cadangan Wajib
5. Kebijakan yang dilakukan oleh Bank Sentral untuk menambah dan mengurangi
jumlah uang yang beredar dengan cara menaikkan atau menurunkan suku bunga
bank disebut…
Jawab : Kebijakan Diskonto
RANGKUMAN