Anda di halaman 1dari 10

Obat Antibakteri Myobacterium tuberculosis (TBC)

Regimen Pengobatan
Penggunaan Obat Anti TB yang dipakai dalam pengobatan TB adalah antibotik dan anti
infeksi sintetis untuk membunuh kuman Mycobacterium. Aktifitas obat TB didasarkan atas
tiga mekanisme, yaitu :
 Aktifitas membunuh bakteri
 Aktifitas sterilisasi
 Mencegah resistensi

Terapi Tuberkulosis

Prinsip pengobatan
Regimen pengobatan terdiri dari :
 Fase awal (intensif) selama 2 bulan
 Fase lanjutan selama 4-6 bulan.

Selama fase intensif yang biasanya terdiri dari 4 obat, diharapkan terjadi pengurangan jumlah
kuman disertai perbaikan klinis. Pasien yang berpotensi menularkan infeksi menjadi
noninfeksi dalam waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien dengan sputum BTA positif akan
menjadi negatif dalam waktu 2 bulan.

Selama fase lanjutan diperlukan lebih sedikit obat, tapi dalam waktu yang lebih panjang. Efek
sterilisasi obat pada fase ini bertujuan untuk membersihkan sisa-sisa kuman dan mencegah
kekambuhan.

Pada pasien dengan sputum BTA positif ada risiko terjadinya resistensi selektif. Penggunaan
4 obat selama fase intensif dan 2 obat selama fase lanjutan akan mengurangi risiko resistensi
selektif. Pada pasien dengan sputum BTA negatif atau TB ekstra paru tidak terdapat risiko
resistensi selektif karena jumlah bakteri di dalam lesi relatif sedikit. Pengobatan fase intensif
dengan 3 obat dan fase lanjutan dengan 2 obat biasanya sudah memadai.

Pada pasien yang pernah diobati ada risiko terjadinya resistensi. Paduan pengobatan ulang
terdiri dari 5 obat untuk fase intensif dan 3 obat untuk fase lanjutan. Selama fase intensif
sekurang-kurangnya 2 diantara obat yang diberikan haruslah yang masih efektif.
Obat-obat Anti Tuberkulosis (OAT) diantaranya yaitu :
1. Obat Primer (first line)
 Isoniazid (INH) (H)
 Etambutol (E)
 Rifampisin (R)
 Pirazinamid (Z)
 Streptomisin (S)
 Rifapentin dan Rifabutin
2. Obat Sekunder (second line)
 Para Amino Asam Salisilat (PAS)
 Sikloserin
 Etionamid
 Kanamidin, Kapreomisin
 Thionamida
 Ofloksasin
 Miksifloksasin
 Tiacetazon
 Siprofloksasin
 Levofloksasin
 Linezolid

Obat lini kedua hanya digunakan untuk kasus resisten obat, terutama TB mulidrug
resistant (MDR). Beberapa obat seperti kapreomisin, sikloserin, etionamid dan PAS belum
tersedia di pasaran Indonesia tetpi sudah digunakan pada pusat pengobatan TB-MDR.

Pengobatan TB standar dibagi menjadi:

 Kategori -1 (2HRZE/4H3R3)
Kategori 1 ini dapat diberikan pada pasien

 TB paru BTA positif


 TB paru BTA negatif foto toraks positif
 TB ekstra paru.
 Kategori- 2 (2HRZES/HRZE/5HRE)
Kategori-2 ini diberikan pada pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya yaitu
pada pasien kambuh, gagal maupun pasien dengan pengobatan setelah putus berobat
(default). Pada pasien dengan riwayat pengobatan TB lini pertama, pengobatan
sebaiknya berdasarkan hasil uji kepekaan secara individual. Selama menunggu hasil uji
kepekaan diberikan panduan pengobatan 2HRZES/HRZE/5HRE. HRZE merupakan
obat sisipan tahap intensif yang diberikan selama satu bulan.

 Pasien multi-drug resistant (MDR)


Regimen standar TB MDR di Indonesia adalah:

6Z-(E)-Kn-Lfx-Eto-Cs/ 18Z-(E)-Lfx-Eto-Cs

Z: Pirazinamid, E: etambutol, Kn: kanamisin, Lfx: Levofloksasin, Eto: Etionamid, Cs:


Sikloserin.
Penggunaan OAT pada Kondisi Khusus
1. Wanita Hamil atau Menyusui
Pengobatan standar dengan INH, rifampisin dan pirazinamid dapat diberikan pada
wanita hamil dan menyusui; dianjurkan pemberian piridoksin. Streptomisin tidak boleh
diberikan.

2. Anak-Anak
Anak-anak diberi INH, rifampisin dan pirazinamid untuk 2 bulan fase intensif
dilanjutkan dengan INH dan rifampisin selama 4 bulan. Jika pirazinamid tidak
diberikan selama fase intensif, maka pemberian INH dan rifampisin dilanjutkan selama
9 bulan. Untuk anak resiko tinggi infeksi resisten, etambutol harus termasuk dalam
pengobatan 2 bulan fase intensif. Akan tetapi diperlukan perhatian khusus pada anak
yang kurang dari 6 tahun, karena sulitnya menilai fungsi penglihatan.
Jenis dan dosis obat TB pada anak:
 Berat badan <10 kg: isoniazid 50 mg, rifampisin 75 mg, pirazinamid 150 mg
 Berat badan 10-20 kg: isoniazid 100 mg, rifampisin 150 mg, pirazinamid 300
mg
 Berat badan 20-33 kg: isoniazid 200 mg, rifampisin 300 mg, pirazinamid 600
mg.

3. Pasien Immunocompromised:
Pasien terserang kuman TB yang aktif kembali atau infeksi baru. Sering terjadi multi
resisten atau infeksi oleh mikobakterium lain seperti M. avium. Kultur dan uji kepekaan
sebaiknya selalu dilakukan. Infeksi M. tuberkulosis yang peka terhadap obat primer
diobati dengan regimen standar selama 6 bulan.
Pengawasan efek samping
Sebagian besar pasien menyelesaikan pengobatan TB tanpa efek samping yang bermakna,
namun sebagian kecil mengalami efek samping. Oleh karena itu pengawasan klinis terhadap
efek samping harus dilakukan. Pemeriksaan laboratorium tidak harus dilakukan secara rutin.
Petugas kesehatan dapat memantau efek samping dengan dua cara. Pertama dengan
menerangkan kepada pasien untuk mengenal tanda-tanda efek samping obat dan segera
melaporkannya kepada dokter. Kedua, dengan menanyakan secara khusus kepada pasien
tentang gejala yang dialaminya.

Efek samping obat tuberkulostatik dapat dibagi menjadi efek samping mayor dan minor. Jika
timbul efek samping minor, maka pengobatan dapat diteruskan dengan dosis biasa atau
kadang-kadang dosis perlu diturunkan. Dapat diberikan pengobatan simptomatik. Jika timbul
efek samping berat (mayor), maka pengobatan harus dihentikan. Pasien dengan efek samping
mayor harus ditangani pada pusat pelayanan khusus.

Tabel Efek samping obat tuberkulosis dan penanganannya

Efek samping Kemungkinan penyebab Penanganan

Minor Teruskan obat, periksa

Anoreksia, mual, Berikan obat pada malam hari


sakit perut Rifampisin sesudah makanan

Nyeri sendi Pirazinamid Aspirin

Rasa panas di kaki INH Piridoksin 100mg/hari

Urin kemerahan Rifampisin Terangkan kepada pasien

Mayor Hentikan obat penyebab

Gatal-gatal,
kemerahan di kulit Tiasetazon Hentikan obat
Hentikan streptomisin, ganti
Ketulian Streptomisin dengan etambutol

Pusing, vertigo. Hentikan streptomisin, ganti


nistagmus Streptomisin dengan etambutol

Ikterus (tanpa sebab


lain) Berbagai antiTB Hentikan antiTB

Muntah, bingung
(kecurigaan gagal Hentikan obat, segera periksa
hati) Berbagai antiTB fungsi hati dan waktu protrombin

Gangguan
penglihatan Etambutol Hentikan etambutol

Syok, purpura, gagal


ginjal akut Rifampisin Hentikan rifampisin

Obat-obat antituberkulosis (OAT)


1. Isoniazid (INH)
Merupakan obat yang cukup efektif dan murah. Seperti rifampisin, INH harus diberikan
dalam setiap regimen pengobatan, kecuali bila ada kontraindikasi. Isoniazid merupakan
obat penting dan spesifik untuk terapi infeksi Myobacterium tuberculosis. Untuk terapi
infeksi TBC obat ini seringkali dikombinasikan dengan rimfapisin.
Indikasi :
Obat ini diindikasikan untuk terapi semua bentuk tuberkulosis aktif, disebabkan kuman
yang peka dan untuk profilaksis orang berisiko tinggi mendapatkan infeksi. Dapat
digunakan tunggal atau bersama-sama dengan antituberkulosis lain.
Mekanisme :
Isoniazid merupakan prodrug yang mengalami aktivasi oleh enzim katalase peroksidase
pada sel yang sensitif. Isoniazid bereaksi menginhibisi enzim yang diperlukan untuk
sintesis asam mikolat yang merupakan komponen utama pada dinding sel Myobacterium.
Efek Samping :
 Ruam kulit, jaundice
 Anoreksia, nausea, vomiting, rasa mengantuk dan konstipasi, nyeri sendi, rasa
terbakar, kebas, kesemutan, serta neuropati perifer pada dosis tinggi yang biasanya
terjadi bila ada faktor-faktor yang meningkatkan risiko seperti diabetes melitus,
alkoholisme, gagal ginjal kronik dan malnutrisi dan HIV. Efek ini dapat dikurangi
dengan pemberian piridoksin 5-10 mg/hari.
 Gejala hepatotoksik yang sejalan dengan usia dan hemolisis pada penderita
defesiensi glukose-6-fosfat dehidrogenase. Efek hambatan INH pada MAO-A
menyebabkan terjadinya cheese reaction berupa hipertensi krisis.
 Efek samping lain seperti lupus eritematosus dan ginekomastia..

2. Rifampisin dan Rimfabutin


Merupakan komponen kunci dalam setiap regimen pengobatan. Sebagaimana halnya INH,
rifampisin juga sebaiknya selalu diikutkan kecuali bila ada kontraindikasi. Rifampisin
menginduksi enzim-enzim hati sehingga mempercepat metabolisme obat lain seperti
estrogen, kortikosteroid, fenitoin, sulfonilurea dan antikoagulan
Indikasi :
Untuk terapi pada infeksi Myobacterium tuberculosis dan Myobacterium leprae,
Brucellosis, Legionella dan infeksi Streptococcus. Rifampisin merupakan obat TBC yang
toksisitasnya paling kecil dan paling aman pada kehamilan.
Rifabutin digunakan untuk profilaksis terhadap Myobacterium avium yang seringkali
menginfektir penderita HIV.
Obat ini lebih cepat dan efektif untuk terapi penderita lepra dan bermanfaat untuk
memperlambat proses resistensi pada penggunaan dapson.
Sebagai obat profilaksis pada infeksi meningococcus dan staphylococcus.
Mekanisme:
Bersifat bakterisid dengan menginhibisi DNA-RNA polimerase dan menghambat
transkripsi pada bakteri.
Efek Samping :
 Efek samping pada Saluran cerna : rasa panas pada perut, sakit epigastrik, mual,
muntah, anoreksia, kembung, kejang perut, diare
 SSP: letih rasa kantuk, sakit kepala, ataksia, bingung, pening, tak mampu berfikir,
baal umum, nyeri pada anggota, otot kendor, gangguan penglihatan, ketulian
frekuensi rendah sementara ( jarang).
 Hipersensitifitas: demam, pruritis, urtikaria, erupsi kulit, sariawan mulut dan lidah,
eosinofilia, hemolisis, hemoglobinuria, hematuria, insufiensi ginjal, gagal ginjal
akut (reversibel).
 Hematologi: trombositopenia, leukopenia transien, anemia, termasuk anemia
hemolisis.
 Intoksikasi lain: Hemoptisis, proteinurea rantai rendah, gangguan menstruasi,
sindrom hematoreal.

3. Pirazinamid
Obat ini bersifat bakterisid dan hanya aktif terhadap kuman intrasel yang aktif membelah
dan Mycobacterium tuberculosis. Efek terapinya nyata pada dua atau tiga bulan pertama
saja. Obat ini sangat bermanfaat untuk TB meningitis karena penetrasinya ke dalam cairan
otak.
Indikasi Klinis:
Obat ini hanya efektif untuk terapi infeksi Myobacterium intrasel
Mekanisme :
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang berada dalam sel dengan suasana asam.
Efek Samping :
 Hepatotoksisitas dan Jaundice. Apabila terjadi peningkatan kadar bilirubin plasma
maka terapi harus dihentikan.
 Ruam kulit, nausea, vomiting
 Arthralgia
 Hiperurisemia
 Porfiria dan fotosensitif
 Anemia sideroblastik
4. Etambutol
Digunakan dalam regimen pengobatan bila diduga ada resistensi. Jika risiko resistensi
rendah, obat ini dapat ditinggalkan. Untuk pengobatan yang tidak diawasi, etambutol
diberikan dengan dosis 25 mg/kg bb/hari pada fase intensif dan 15 mg/kg bb bb/hari pada
fase lanjutan (atau 15 mg/kg bb/hari selama pengobatan). Pada pengobatan intermiten di
bawah pengawasan, etambutol diberikan dalam dosis 30 mg/kg bb 3 kali seminggu atau 45
mg/kg bb 2 kali seminggu.
Indikasi :
Etambutol digunakan sebagai terapi kombinasi tuberkulosis dengan obat lain, sesuai
regimen pengobatan jika diduga ada resistensi. Jika risiko resistensi rendah, obat ni dapat
ditinggalkan. Obat ini tidak dianjurkan untuk anak-anak usia kurang 6 tahun, neuritis
optik, gangguan visual.
Mekanisme :
Bersifat bakteriostatik, dengan menekan pertumbuhan kuman TB yang telah resisten
terhadap Isoniazid dan streptomisin. Mekanisme kerja, berdasarkan penghambatan sintesa
RNA pada kuman yang sedang membelah, juga menghindarkan terbentuknya mycolic acid
pada dinding sel.

Efek Samping :

 Gangguan penglihatan dengan penurunan visus, buta warna dan penyempitan


lapang pandang.
 Hiperurisemia dan Neurotis perifer
 Efek toksik ini lebih sering bila dosis berlebihan atau bila ada gangguan fungsi
ginjal.

5. Streptomisin
Saat ini semakin jarang digunakan, kecuali untuk kasus resistensi. Obat ini diberikan
secara intramuskuler dengan dosis 15 mg/kg bb, maksimal 1 gram perhari. Untuk berat
badan kurang dari 50 kg atau usia lebih dari 40 tahun, diberikan 500-750 mg/hari. Untuk
pengobatan intermiten yang diawasi, streptomisin diberikan 1 g tiga kali seminggu dan
diturunkan menjadi 750 mg tiga kali seminggu bila berat badan kurang dari 50 kg. Untuk
anak diberikan dosis 15-20 mg/kg bb/ hari atau 15-20 mg/kg bb tiga kali seminggu untuk
pengobatan yang diawasi. Kadar obat dalam plasma sebaiknya diukur terutama untuk
pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Indikasi :
Sebagai kombinasi pada pengobatan TB bersama isoniazid, Rifampisin, dan pirazinamid,
atau untuk penderita yang dikontra indikasi dengan 2 atau lebih obat kombinasi tersebut.
Mekanisme :
Bersifat bakterisid, dapat membunuh kuman yang sedang membelah. Mekanisme kerja
berdasarkan penghambatan sintesa protein kuman dengan jalan pengikatan pada RNA
ribosomal.
Efek Samping :
 Ruam kulit
 Pusing vertigo dan nisgtamus
 Syok
 Purpura
 Gagal ginjal akut

Referensi
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.2011. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2-30.
2. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit
dan Penyehatan Lingkungan. 2011. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.
Jakarta: Bakti Husada. 11-37.
3. Lucia E.W. 2016. Imunitas : Sarana Organ Beraktivitas. Surabaya : Sandira Surabaya.
170-173.
4. http://pionas.pom.go.id/ioni/bab-5-infeksi/52-tuberkulosis-dan-leprosi/521-
antituberkulosis. Diakses pada 24 September 2016 pukul. 13.35

Anda mungkin juga menyukai