Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN PENDAHULUHAN ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN CEDERA OTAK

BERAT (COB)

A. Definisi
Cedera kepala yaitu adanya deformasi berupa penyimpanan bentuk atau
penimpanan garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan ( accelerasi-
decelerasi ) yang merupakan perubahan bentuk peningkatan pada percepatan faktor dan
penuruanan kecepatan, serta notasi pergerakan pada kepala dirasakan juga oleh sebagai
akibat perputaran pada tindakan pencegahan. Cedera kepala juga serangkaian kejadian
patofisiologik yang terjadi setelah trauma kepala, yang dapat melibatkan setiap
komponen yang ada, mulai dari kulit kepala, tulang, dan jaringan otak atau
kombinasinya. Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan
utama pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi akibat kecelakaan lalu
lintas (Price dan Wilson, 2012).

Secara normal otak memerlukan 30-40% oksigen dari kebutuhan oksigen tubuh.
Konsumsi oksigen otak yang besar ini disebabkan karena otak tidak mempunyai
cadangan oksigen, sehingga suplai oksigen yang masuk akan habis terpakai. Untuk
mempertahankan oksigenasi otak yang adekuat maka diperlukan keseimbangan antara
suplai oksigen dengan kebutuhan (demand) oksigen otak. Kesimbangan oksigen otak
dipengaruhi oleh cerebral blood flow yang besarnya berkisar 15-20% dari curah jantung
(Black & Hawks, 2009).
B. Epidemologi
Menurut World Health Organization (WHO) pada tahun 2012 kecelakaan lalu
lintas merupakan penyebab kematian urutan kesebelas diseluruh dunia, sekitar 1,2 juta
jiwa meninggal setiap tahunnya. Tingkat kematian akibat kecelakaan lalu lintas jalan
lebih tinggi pada kelompok usia muda, anak-anak dan orang muda di bawah usia 25
tahun mencapai lebih dari 30% dari mereka tewas dan terluka dalam kecelakaan lalu
lintas. Dari usia muda tersebut, laki-laki lebih mungkin terlibat dalam kecelakaan lalu
lintas daripada perempuan, laki-laki muda di bawah usia 25 tahun hampir 3 kali lebih
mungkin untuk terbunuh dalam kecelakaan mobil.
Di Amerika Serikat, insidensi terjadinya cedera otak traumatika sebesar 1,7 juta
penduduk/tahun, dari jumlah tersebut sebanyak 50.000 penduduk/tahun mengalami
kematian, dan sebanyak 5 juta penduduk/tahun mengalami disabilitas akibat cedera
kepala. Cedera kepala umumnya mengenai penderita usia muda (15-19 tahun) dan
dewasa tua usia lebih atau sama dengan 65 tahun, dimana angka kejadian pada laki-laki 2
kali lebih sering dibandingkan perempuan. Mekanisme cedera kepala di Amerika Serikat
adalah akibat terjatuh (35,2%), kecelakaan kendaraan bermotor (34,1%), perkelahian
(10%), dan penyebab lain yang tidak diketahui (21%) (Iwan A et al, 2015).
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013, jumlah dat
yang dianalisis seluruhnya 1.027.758 orang untuk semua umur. Adapun responden yang
pernah mengalami cedera 84.774 orang dan tidak cedera 942.984 orang. Prevalensi
cedera secara nasional adalah 8,2% dan prevalensi angka cedera kepala di Jawa Tengah
sebesar 8,3%. Prevalensi cedera tertinggi berdasarkan karakteristik responden yaitu pada
kelompok umur 15-24 tahun (11,7%), dan pada laki-laki (10,1%), (Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2013).
Di Indonesia, cedera kepala (head injury) diakibatkan para pengguna kendaraan
bermotor roda dua terutama bagi yang tidak memakai helm. Hal ini menjadi tantangan
yang sulit karena diantara mereka datang dari golongan ekonomi rendah sehingga secara
sosio ekonomi cukup sulit memperoleh pelayanan kesehatan. Cedera kepala diperkirakan
akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya pengguna kendaraan bermotor roda
dua dan diperkirakan 39% kenaikan per tahun (Lumban toruan, 2015).
C. Tanda dan Gejala Cedera Otak Berat
1. Gejala
Merasa lemas, lesu, lelah, hilang keseimbangan, perubahan tekanan darah , perubahan
frekuensi jantung, perubahan tingkah laku atau kepribadian, inkontenensia kandung
kemih atau khusus mengalami gangguan fungsi, mual, muntah dan mengalami
perubahan selera makan atau minum, kehilangan kesadaran, amnesia, vertigo,
syncope, tinnitus, kehilangan pendengaran dan lokasi berbeda, trauma baru karena
kecelakaan konfusi, sukar bicara, dan kelemahan pada salah satu sisi tubuh.
2. Tanda
Perubahan kesadaran, depresi, latergi, muntah, ataksia atau cara berjalan tidak tetap,
gangguan menelan, perubahan kesadaran sampek koma, cedera orthopedic,
kehilangan tonus otot, perubahan status mental, cemas, perubahan pupil, mudah
tersinggung, kehilangan penginderaan, delirium ( suatu kondisi dimana kesadaran
menjadi kabur dan disertai ilusi atau halusinasi), kejang, kehilangan sensasi sebagian
tubuh, agitasi, wajah menyeringai, bingung, respon menarik pada rangsang,
perubahan pola nafas, nyeri yang berat, nafas bunyi rochi, gelisah, fraktur atau
dislokasi, gangguan rentang gerak, gangguan penglihatan, gangguan dalam regulasi
suhu tubuh, gangguan kognitif, afasia motoris atau sensoris, bicara tanpa arti disartria
anomia.
D. Etiologi Cedera Otak Berat
Menurut Hudak dan Gallo (1996: 108), mendeskripsikan bahwa penyebab cidera otak
berat adalah karena adanya trauma rudapaksa yang dibedakan menjadi 2 faktor yaitu:
1. Trauma Primer
Trauma karena benturan atau tidak langsung ( akselarasi dan deselerasi)
2. Trauma Sekunder
Terjadi akibat dari trauma saraf (melalui, akson) yang meluas, hipertensi intracranial,
hipoksia, hiperkapnea, atau hipotensi siskemik.
E. Pendarahan Yang Sering Ditemukan
1. Hematoma epidural
Hematoma epidural adalah salah satu jenis perdarahan intrakranial yang
umumnya terjadi karena fraktur calvaria akibat cedera kepala sehingga menyebabkan
pecahnya pembuluh darah dan darah terakumulasi dalam ruang antara duramater dan
calvaria. EDH akan menempati ruang dalam intrakranial, sehingga perluasan yang
cepat pada lesi ini dapat menimbulkan penekanan pada otak yang dapat
mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran, kecacatan baik bersifat reversible
maupun irreversible dan bahkan kematian.
Pada umumnya EDH disebabkan oleh trauma kepala, meskipun pada beberapa
kasus disebabkan oleh keadaan lain seperti sickle cell disease. Kejadian EDH di
antara pasien trauma diperkirakan antara 2.7% hingga 4.1%. Bagaimanapun juga
kejadian koma di antara pasien trauma lebih tinggi, yaitu sekitar 9% sampai 15%.5
Hematoma epidural paling sering terjadi pada orang muda yang disebabkan
karena kecelakaan lalu lintas (KLL). Pada dewasa muda insiden tertinggi terjadi pada
kelompok umur 20-30 tahun, dan jarang terjadi pada umur di atas 60 tahun, hal ini
disebabkan pada usia tua secara anatomis terdapat perlekatan antara duramater dan
kranium.
Cedera otak sekunder dapat terjadi akibat proses intakranial (intracranial
secondary insult) karena perdarahan intrakranial seperti EDH. Juga karena edema
serebri, peningkatan tekanan intrakranial, penurunan tekanan perfusi serebral,
vasospasme, epilepsi, dan inflamasi. Cedera otak sekunder dapat juga terjadi akibat
proses sistemik (systemic secondary insult) seperti hipotensi, hipoksia, hiperkapnia,
hipokapnia, dan gannguan keseimbangan. Kedua proses tersebut jika tidak segera
ditangani dapat menyebabkan gangguan metabolisme otak, gangguan transport
substrat ke jaringan otak, dan penurunan aliran darah otak sehingga dapat
mengakibatkan iskemik otak. Berdasarkan teori biomolekular golden period tindakan
terapi definitif harus dilakukan kurang dari 6 jam setelah kejadian, hal ini
dikarenakan cedera otak sekunder dan iskemik otak dapat terjadi 6 jam setelah
kejadian.
2. Subdural Hematoma
Yaitu terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan otak , dapat terjadi akut
dan kronik, terjadi akibat pecahnya pembuluh darah vena atau jembatan vena yang
biasanya terdapat diantara durameter, pendarahan lambat dan sedikit, periode akut
terjadi dalam 48 jam atau 2 minggu dan kronik dapat terjadi dalam 2 minggu atau
beberapa bulan.
Tanda – tanda dan gejalahnya adalah : Nyeri kepala, bingung, mengantuk,
menarik diri, berfikir lambat, kejang dan udem pupil, pendarahan intracerebral berupa
pendarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler, vena.
3. Pendarahan Subarachnoid
Yaitu pendarahan didalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh darah
dan pemukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang berat. Tanda dan
gejalah: Nyeri kepala, penurunan kesadaran, hemiparese, dilatasi pupil ipsilateral dan
kaku kuduk.
F. Klasifikasi Cedera Kepala
Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan dengan menggunakan
Glasgow Coma Scale (GCS) yang diciptakan oleh Jannet dan Teasdale pada tahun 1974.
GcS yaitu suatu skala untuk menilai secara kuantitatif tingkat kesadaran seseorang dan
kelainan neurologis yang terjadi. Ada 3 aspek yang dinilai yaitu reaksi membuak mata
(eye opening), reaksi berbicara (verbal respons), dan reaksi lengan serta tungkai (motor
respons).
Cedera kepala diklasifikasikan menjadi 3 kelompok berdasarkan nilai GCS yaitu:
1. Cedera Kepala Ringan denga GCS > 13, tidak terdapat kelainan berdasarkan CT scan
otak, tidak memerlukan tindakan operasi, lama dirawat di rumah sakit < 48 jam
2. Cedera Kepala Sedang dengan GCS 9-13, ditemukan kelainan pada CT scan otak,
memerlukan tindakan operasi untuk lesi intracranial, dirawat di rumah sakit setidaknya
24 jam.
3. Cedera kepala Berat, bila dalam waktu 24 jam setelah trauma, score GCS < 9, dapat
mengalami kontusio cerebral, laserasi atau hematoma intracranial (George,200).
G. Manifestasi Klinis
Gangguan kesadaran, konfusi, abnormalitas pupil, deficit neurologic, perubahan tanda-
tanda vital, mual dan muntah, vertigo, gangguan pergerakan,mungkin ada gangguan
penglihatan dan pendengaran.
H. Komplikasi Cedera Kepala
1. Gejala sisa cedera kepala beara; beberapa pasien dengan cedera kepala berat dapat
mengalami ketidakmampuan baik secara fisik (disfasia, hemiparesis, palsi saraf
cranial) maupun mental (gangguan kognitif, perubahan kepribadian).
2. Kebocoran cairan serebrospinal; bila hubungan antara rongga subarachnoid dan
telinga tengah atau sinus paranasal akibat fraktur basis crania hanya kecil dan tertutup
jaringan otak maka hal ini tidak akan terjadi. Eksplorasi bedah diperlukan bila terjadi
kebocorancairan serebrospinal persisten.
3. Epilepsi pascatrauma;terutama terjadi pada pasien yang mengalami kejang awal (
pada minggu pertama setelah cedera), amnesia pascatrauma yang lama, frajtur depresi
cranium dan hematom intracranial.
4. Hematom subdural kronik
5. Sindrom pasca concusio; nyeri kepala, vertigo dan gangguan konsentrasi dapat
menetap bahkan setelah cedera kepala ringan. Vertigo dapat terjadi akibat cedera
vestibular (konkusi labirintin).
I. Pemeriksaan Penunjang
1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras); mengidentifikasi luasnya lesi, pendarahan,
determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
2. MRI digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
3. Cerebral Angiography; menunjukkan anomaly sirkulasi cerebral seperti, perubahan
jaringan otak sekunder menjadi edema, pendarahan dan trauma
4. Serial EEG; dapat dilihat perkembangan gelobang yang patologis
5. X-Ray; mendeteksi perubahan struktur tulang (faktur), perubahan struktur garis
(pendarahan/edema) fragmen tulang.
6. BAER; mengoreksi batas fungsicorteks dan otak kecil
7. PET;mendeteksi perubahan aktivitas metabolism otak
8. CSF, lumbal punksi dapat dilakukan jika diduga terjadi pendarah subarachnoid
9. ABGs; mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intracranial
10. Kadar elektrolit; untuk mengeroksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intranial
11. Screen Toxicologi; untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan
penurunan kesadaran.
J. Penatalaksanaa
Konservatif:
 Bedrest total
 Pemberian obat-obatan
 Observasi tanda-tanda vital
K. Patofisiologi
Daftar Pustaka
Santoso, I. E., Rahayu, M., & Balatif, f. (2016). Hubungan Respond Time Trepanasi
HematomaEpidural Pada Cedera KepalaBerat Denga Outcome , Volume 2. No 1.

Anggraini & Hafifah. 2014. Hubungan Antara Oksigenasi Dan Tingkat Kesadaran Pada Pasien
Cedera Kepala Non Trauma Di ICU RSU Ulin Banjarmasin. Semarang : Program
Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro
Arifin, M. Z. 2013. Cedera Kepala : Teori dan Penanganan. Jakarta : Sagung Seto.
Marlisa, dkk. 2013. Efek Suction Melalui Catheter Mouth terhadap Saturasi Oksigen Pasien
Cedera Kepala. Artikel Penelitian Volume 1 Nomor 3. Fakultas Keperawatan
Universitas Padjadjaran.

Anda mungkin juga menyukai