Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pada dasarnya hukum Islam sudah mengatur tentang pernikahan sesuai

dengan ketentuan syari’at Islam. Secara garis besar hukum islam terbagi menjadi

dua yitu fiqih ibadah dan fiqih muamalat. Dalam fiqih ibadah meliputi aturan

tentang shalat, puasa, zakat, haji, nazar dan sebagainya yang bertujuan untuk

mengatur hubungan antara manusia dengan tuhannya. sedangkan fiqih muamalah

ini mengatur hubungan antara manusia dengan sesamanya seperti perikatan,

sanksi hukum dan aturan lain agar terwujud ketertiban dan keadilan baik secara

perorangan maupun kemasyarakatan.

Dalam ilmu fiqih membahas tentang pernikahan. yang dimaksud dengan

nikah menurut bahasa berasal dari bahasa arab yaitu nakaha yankihu nikahan

yang berarti kawin. Dalam istilah nikah adalah ikatan suami istri yang sah

menimbulkan akibat hukum dan hak serta kewajiban bagi suami istri. Dalam

hukum kekeluargaan harus disertai dengan agama yang kuat dan yang

disyariatkan Islam. Beberapa hukum tersebut dapat dipelajari dalam Al-qur’an

dan As-Sunnah.

Sebenarnya pertalian nikah adalah pertalian yang seteguh-teguhnya dalam

hidup dan kehidupan manusia, bukan saja antara suami istri dan keturunannya,

melainkan antara dua keluarga. Faedah terbesar pernikahan ialah untuk menjaga

dan memelihara perempuan yang bersifat lemah itu dari kebinasaan sebab seorang

1
perempuan apabila ia sudah menikah maka biaya hidupnya wajib ditanggung oleh

suaminya. Demikianlah maksud pernikahan sejati dalam Islam yang selanjutnya

akan dibahas dibab pembahasan.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari latar belakang diatas sebagai berikut :

1. Apa pengertian dari nikah?

2. Apa dasar hukum pernikahan?

3. Apa syarat dan rukun nikah?

4. Apa hikmah pernikahan?

5. Apa hukum poligami dalam Islam?

6. Hukum hukum homoseksual dan lesbian?

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pernikahan

Nikah menurut bahasa berasal dari kata nakaha yankihu nikahan yang

berarti kawin. Dalam istilah, nikah berarti ikatan suami istri yang sah yang

menimbulkan akibat hukum dan hak serta kewajiban bagi suami isteri.[1] Dalam

buku fiqih wanita yang dimaksud, nikah atau perkawinan adalah sunnatullah pada

hamba-hamba-Nya. Dengan perkawinan Allah menghendaki agar mereka

mengemudikan bahtera kehidupan.

Sunnatullah yang berupa perkawinan ini tidak hanya berlaku dikalangan

manusia saja, tapi juga didunia binatang. Allah Ta’ala berfirman:

َ‫َو ِم ْن ك ُِل ش َْيءٍ َخلَ ْقنَا َز ْو َجي ِْن لَ َعلَّ ُك ْم تَذَك َُّر ْون‬

“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu

mengingat akan kebersamaan Allah.”

Namun demikian, Allah SWT tidak menghendaki perkembangan dunia

berjalan sekehendaknya. Oleh sebab itu diatur-Nya lah naluri apapun yang ada

pada manusia dan dibuatkan untuknya prinsip-prinsip dan undang-undang,

sehingga kemanusiaan manusia tetap utuh, bahkan semakin baik, suci dan bersih.

Demikianlah, bahwa segala sesuatu yang ada pada jiwa manusia sebenarnya tak

pernah terlepas dari didikan Allah SWT.

Menurut pengertian, fukaha perkawinan ialah aqad yang mengandung

ketentuan hukum kebolehan hubungan kelamin dengan lafadz nikah atau ziwaj.

3
Pengertian ini dibuat hanya melihat dari satu segi saja ialah kebolehan hukum,

dalam hubungan antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang semula

dilarang, menjadi dibolehkan. Perkawinan mengandung aspek akibat hukum

melangsungkan perkawinan ialah saling mendapat hak dan kewajiban serta

bertujuan mengadakan hubungan pergaulan yang dilandasi tolong-menolong.

Karena perkawinan termasuk pelaksanaan agama, maka di dalamnya terkandung

adanya tujuan/maksud mengharapkan keridhaan Allah SWT. Perkawinan ialah

suatu aqad atau perikatan untuk menghasilkan hubungan kelamin antara laki-laki

dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagian hidup berkeluarga yang

meliputi rasa ketenteraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah

SWT.[2]

B. Dasar Hukum Pernikahan

Sebagaimana ibadah lainnya, pernikahan memiliki dasar hukum yang

menjadikannya disarankan untuk dilakukan oleh umat islam. Adapun dasar

hukum pernikahan berdasarkan Al Qur’an dan Hadits adalah sebagai berikut :

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah

menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan

isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan

perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan

(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan

(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan

mengawasi kamu. (Q.S. An-Nisaa’ : 1).

4
”Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-

orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan

hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan

memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-

Nya) lagi Maha mengetahui” .(Q.S. An-Nuur : 32)

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu

isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram

kepadanya, dan dijadikan- Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya

pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang

berfikir”. (Q.S. Ar-Ruum : 21).

”Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah memiliki

kemampuan untuk menikah, hendaklah dia menikah; karena menikah lebih

menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Adapun bagi siapa saja

yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa; karena berpuasa itu

merupakan peredam (syahwat)nya”.

C. Rukun dan Syarat Nikah

1. Rukun perkawinan

a. Dua orang yang saling melakukan aqad perkawinan, yaitu mempelai laki-

laki dan mempelai perempuan.

b. Adanya wali.

c. Adanya 2 orang saksi

5
d. Dilakukan dengan shighat (akad) tertentu. Sighat (akad) yaitu perkataan dari

pihak perempuan seperti kata wali. tidak sah nikah kecuali dengan lafadz nikah.

2. Syarat dua mempelai

Adapun syarat dua mempunyai ialah :

a. Syarat pengantin pria

Syari'at islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami

berdasarkan ijtihad para ulama, ialah:

1) Calon suami beragama Islam.

2) Terang bahwa calon suami itu betul laki-laki.

3) Orangnya diketahui dan tertentu.

4) Calon mempelai laki-laki itu jelas halal kawin dengan calon istri.

5) Calon mempelai laki-laki tahu/kenal pada calon istri serta tahu betul calon

istrinya halal baginya.

6) Calon suami ridha (tidak dipaksa) untuk melakukan perkawinan itu.

7) Tidak sedang melakukan ihram.

8) Tidak mempunyai istri yang haram dimadu dengan calon istri.

9) Tidak sedang mempunyai istri empat.

b. Syarat calon pengantin perempuan

Syari'at islam menentukan beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh calon suami

berdasarkan ijtihad para ulama, ialah:

1) Calon suami beragama islam.

6
2) Terang bahwa ia wanita, bukan Khuntsa.

3) Wanita itu tertentu orangnya.

4) Halal bagi calon suami.

5) Wanita tidak dalam ikatan perkawinan dan tidak masih dalam 'iddah.

6) Tidak dipaksa/ikhtiyar.

7) Tidak dalam keadaan ihram haji atau umrah.

c. Syarat-syarat wali

Perkawinan dilangsungkan oleh wali pihak mempelai perempuan atau

wakilnya dengan calon suami atau wakilnya.

Wali hendaklah seorang lelaki, muslim, baligh, berakal dan adil, artinya

tidak fasik. Karena itu perkawinan tanpa wali dianggap tidak sah. Hal ini

dilandaskan pada hadits Nabi SAW.:

)‫(رواه الخمسة إال أنسائى‬.‫ال نكاح إال بولى‬

"Tidak ada perkawinan tanpa wali." (HR. Al Khomsah kecuali An Nasai)

Imam Hanafi tidak mensyaratkan wali dalam perkawinan. Perempuan yang

telah baligh dan berakal, boleh mengawinkan dirinya sendiri, tanpa

wajib dihadiri oleh dua orang saksi, sedang Imam Malik berpendapat, wali adalah

syarat untuk mengawinkan perempuan bangsawan, bukan untuk mengawinkan

perempuan awam.[3]

Wali dan saksi bertanggung jawab atas sahnya akad nikah oleh karena

itu, tidak semua orang dapat diterima menjadi saksi atau wali, tetapi hendaklah

orang-orang yang memiliki beberapa sifat sebagai berikut :

1. Islam. Orang yang tidak beragama Islam tidak sah menjadi wali atau saksi.

7
2. Balig. (sudah berumur 15 tahun)

3. Berakal

4. Merdeka

5. Laki-laki

6. Adil

Yang dianggap sah menjadi wali mempelai perempuan ialah menurut

susunan yang akan diuraikan dibawah ini :

a. Bapaknya

b. Kakeknya (bapak dari bapak mempelai perempuan)

c. Saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya.

d. Saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya.

e. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang seibu sebapak dengannya.

f. Anak laki-laki dari saudara laki-laki yang sebapak saja dengannya.

g. Saudara bapak yang laki-laki (paman dari pihak bapak)

h. Anak laki-laki pamanya dari pihak bapaknya

i. Hakim[4]

d. Syarat-syarat saksi

Saksi yang menghadiri akad nikah haruslah dua orang, lelaki, muslim,

baligh, berakal, melihat dan mendengar serta mengerti (faham) akan maksud akad

nikah. Tetapi menurut Hanafi dan Hambali, boleh juga saksi itu lelaki dan dua

orang perempuan. Dan menurut Hanafi, boleh dua orang buta atau dua orang fasik

(tidak adil).

8
Selanjutnya orang tuli, orang tidur dan orang mabuk tidak boleh menjadi

saksi. Sebagian besar ulama berpendapat saksi merupakan syarat (rukun)

perkawinan. Karena itu perkawinan (akad nikah) tanpa dua orang saksi tidak sah.

Inilah pendapat Syafi'i, Hanafi dan Hambali.

Bersifat adil

Menurut Imam Hanafi untuk menjadi saksi dalam perkawinan tidak di

syaratkan harus orang yang adil, jadi perkawinan yang di saksikan oleh dua orang

fasik hukumnya sah.

Golongan Syafi’i berpendapat saksi itu harus orang yang adil, sebagaimana

tersebut dalam hadis :’’ Tidak sah nikah tanpa wali dan dua orang saksi yang

adil’’. Menurut mereka ini bila perkawinan di saksikan oleh dua orang yang

belum di kenal adil tidaknya, maka ada dua pendapat tetapi menurut

Syafi’i kawin dengan saksi-saksi yang belum di kenal adil tidaknya, hukumnya

sah.

Perempuan Menjadi Saksi

Golongan Syafi’i dan Hambali mensyaratkan saksi haruslah laki-laki.Akad

nikah dengan saksi seorang laki-laki dan dua perempuan, tidak sah, tetapi

golongan Hanafi tidak mengharuskan syarat ini.Mereka berpendapat bahwa

kesaksian dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua perempuan sudah sah.

Harus Orang Merdeka

Abu Hanifah dan Syafi’I mensyaratkan orang yang menjadi saksi harus

orang-orang yang merdeka, tetapi Ahmad juga mengharuskan syarat ini.Dia

9
berpendapat akad nikah yang di saksikan dua orang budak, hukumnya sah

sebagaimana sahnya kesaksian mereka dalam masalah-masalah lain, dan karena

dalam al Qur’an maupun hadist tidak ada keterangan yang menolak seorang

budak untuk menjadi saksi dan selama dia jujur serta amanah, kesaksiannya tidak

boleh di tolak.

Harus Orang Islam

Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang syarat-syarat menjadi saksi dalam

perkawinan bilamana pasangannya terdiri dari laki-laki dan perempuan

muslim,apakah saksinya harus beragama islam? juga mereka berbeda pendapat

jika yang laki-lakinya beragama islam, apakah yang menjadi saksi boleh orang

yang bukan islam? Menurut Ahmad, Syafi’I dan Muhammad bin Al-Hasan

perkawinannya tidak sah, jika saksi-saksinya bukan islam, karena yang kawin

adalah orang islam, sedang kesaksian bukan orang islam terhadap orang islam

tidak dapat di terima.

Tetapi Abu Hanifah dan Abi Yusuf berpendapat bila perkawinan itu antara

laki-laki muslim dan perempuan ahli Kitab maka kesaksian dua orang Ahli Kitab

boleh di terima. Dan pendapat ini di ikuti oleh undang-undang perkawinan Mesir.

D. Hikmah Nikah

Islam menganjurkan menikah itu merupakan kabar gembira, sebagaimana

dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah karena nikah berpengaruh besar (secara positif)

baik bagi pelakunya, masyarakat maupun seluruh umat manusia. jadi, banyak

10
sekali hikmah yang terkandung dalam nikah, baik ditinjau aspek sosial, psikologi,

maupun kesehatan. Adapun hikmah pernikahan sebagai berikut :

1. Menyalurkan naluri seks

Naluri seks merupakan naluri terkuat yang selamanya menuntut jalan keluar.

Orang yang tidak bisa mencarikan jalan keluar untuk memuaskannya, sering

mengalami goncangan dan kekacauan bahkan tidak jarang seseorang melakukan

kejahatan, karenanya menikah merupakan jalan keluar yang paling aman untuk

menyalurkan naluri seks.

2. Jalan mendapatkan keturunan yang sah

Nikah merupakan jalan terbaik untuk mendapatkan keturunan mulia (terhormat).

Melalui pernikahan, keturunan menjadi banyak, kehidupan menjadi lestari, dan

keturunan terpelihara sehingga kelangsungan hidup suatu negara atau bangsa

dapat terwujud.

3. Penyaluran naluri kebapakan dan keibuan

Mereka yang telah menikah dan memperoleh anak, naluri kebapakan dan naluri

keibuan akan tumbuh saling melengkapi dalam suasana hidup kekeluargaan dan

akan menimbulkan perasaan ramah, saling mencintai, dan saling menyayangi

antara satu dengan anggota keluarga lainnya.

4. Dorongan untuk bekerja keras

Orang telah menikah dan memperoleh anak akan terdorong menunaikan tanggung

jawab dan kewajibannya dengan baik sehingga dia akan bekerja keras untuk

melaksanakan kewajibannya.

11
5. Pengaturan hak dan kewajiban dalam rumah tangga

Melalui perkawinan akan timbul hak dan kewajiban suami isteri secara seimbang,

juga adanya pembagian tugas antara suami istri dalam hubungannya dengan

pengembangan generasi yang baik dimasa mendatang.[5]

6. Membuahkan tali kekeluargaan, memperteguh kelanggengan rasa cintaantar

keluarga dan memperkuat hubungan kemasyarakatan.

7. Pembagian tugas dan tanggung jawab suami istri dengan adil.[5]

E. Poligami

Poligami adalah perkawinan yang memiliki lebih dari satu orang isti.

Sdangkan dalam perundang-undangan yang terdapat pada Pasal 3 ayat 1 UU No.

1/74 yang isinya, pada dasarnya seorang suami dalam perkawinan hanya boleh

memiliki seorang istri dan seorang perempuan hanya boleh memiliki seorang

suami. Istilah poligami berasal dari bahasa Inggris “ poligamy “ dan disebut

dalam hukum Islam, yang berarti beristri lebih dari seorang wanita.

Firman Allah SWT pada Surah An-Nisa ayat 4 dan 3 yang berbunyi;

”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)

perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-

wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu

takut tidak akan dapat berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266],

atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada

tidak berbuat aniaya”

12
Dan juga pada Surah An-Nisa ayat 129

“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),

walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu

terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain

terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri

(dari kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha

Penyayang”

Hukum poligami

Hukum poligami menurut seperti yang terdapat pada Surah An-Nisa ayat

129 adalah boleh, apabila syarat-syarat yang dapat menjamin keadilan suami

kepada istri dapat terpenuhi, dan para ulama Madzhab menetapkan bahwa laki-

laki yang sanggup berlaku adil dalam kehidupan rumah tangga, dibolehkan

melakukan poligami sampai 4 istri, berdasarkan pada sebuah ayat yang berbunyi :

Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)

perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-

wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut

tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak

yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat

aniaya”.

13
Alasan poligami

Pada perundang-undangan perkawinan pasal 4 ayat 2 poligami boleh dilakuakn

jika memiliki alasan sebagai berikut:

1. Isrti tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri

2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan

Syarat-syarat poligami

Sayrat-ayarat yang harus dipenuhi jikalau ingin melakukan polligami seperti yang

terdapat dalam undang-undang perkawinan pasal 4 ayat 1 adalah;

1. Adanaya persetujuan dari isteri

2. Adanya kepastian suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup

isteri dan ank-anak mereka

3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isterinya

dan anak-anak mereka

Prosedur poligami

Seseorang yang hendak melakukan poligami hendaknya melakukan prosedur-

prosedur seperti yang terdapat dalah kompilasi yang diatur pada pasal 56 yang

berisikan;

1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin

dari pengadilan agama

14
2. Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat 1 dilakukan menurut

tata cara sebagai mana diatur dalam Bab VIII peraturan pemerintah No.

9 tahun 1975

3. Perkawinan yang dilakukan isteri kedua, ketia atau keempat tanpa izin

dari pengadilan agama tidak mempunyai kekuatan hukum.

Kebolehan hukum poligami sebagai alternatif terbatas hanya terbatas hanya

sampai empat orang isteri, hal ini diatur dalam pasal 55 kompilasi hukum islam

yang terdapat diindonesa yang berbunyi;

1. Beristri lebih dari satu pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai

empat istri.

2. Syarat utama beristri lebih dari satu orang, suami harus mampu berlaku

adil terhadap istri-istrinya serta anak-anaknya

3. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat 2 tidak mungkin dipenuhi,

suami dilarang beristri lebih dari satu.

F. Homoseksual dan Lesbian

Homoseksual adalah hubungan antara orang-orang yang sama jenis

kelaminnya, baik sesama pria maupun sesama wanita. Namun biasanya istilah

homoseksual itu dipakai utuk hubungan antara pria sedangkan hubungan antara

wanita disebut lesbian (female homo sex)

15
Perbuatan kaum homo, baik hubungan antara sesama pria (homo seksual)

maupun seks sesama wanita (lesbian) merupakan kejahatan (jarimah/jinayah)

yang dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 5 tahun menurut hukum

pidana di Indonesia. Menurut hukum fiqh jinayah (hukum pidana Islam),

homoseksual termasuk dosa besar, karena bertentangan dengan norma agama,

norma susila dan bertentangan dengan sunatullah dan fitrah manusia sebab Allah

SWT menjadikan manusia terdiri dari laki-laki dan perempuan adalah agar

berpasang-pasangan sebagai suami isteri untuk mendapatkan keturunan yang sah

dan memperoleh ketenangan dan kasih sayang, sebagaimana tersebut didalam Al-

Quran, Surah an-Nahl Ayat 72 yang artinya :

“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan

bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu

rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil

dan mengingkari nikmat Allah ?”

Dan juga firman Allah SWT dalam Al-Quran Surah Ar Rum ayat 21

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu

isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram

kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya

pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang

berfikir.”

16
Hukum Homoseksual dan Lesbian

Menurut Dr. M. Rashfi dalam kitabnya al-islam wa al-tahrib sebagaiman dikutip

Sayid Sabiq, bahwa Islam melarang keras homoseksual karena mempunyai

dampak yang negatif terhadap kehidupan pribadi dan masyarakat antara lain

adalah;

1. Tidak tertarik pada wanita tetapi justru malah tertarik kepada sesama

pria. Akibatnya bila pria homo itu kawin maka istrinya akan menjadi

korban karena suaminya bisa tidak mampu menjalankan tugsnya

sebagai suami, dan istri hidup tanpa ketenangan dan kasih sayang serta

ia tidak mendapatkan keturunan sekalipun ia subur.

2. Kelainan jiwanya yang akibatnya mencintai sesama kelamin, tidak

stabil jiwanya dan timbul tingkah laku yang aneh-aneh pada pria

pasangan si homo, misalnya gayanya menyerupai perempuan dan

sebagainya.

3. Gangguan syaraf otak, yang akibatnya bisa melemahkan daya pikir dan

semangat/kemauannya.

4. Penyakit AIDS yang menyebabkan penderitanya kekurangan /

kehilangan daya tahan tubuh (imunitas)

Selain yang disebutkan diatas Dampak negatif yang ditimbulkan diantaranya.

1. Benci terhadap wanita.

Kaum Luth berpaling dari wanita dan kadang bisa sampai tidak mampu

untuk menggauli mereka. Oleh karena itu, hilanglah tujuan pernikahan

17
untuk memperbanyak keturunan. Seandainya pun seorang homo itu

bisa menikah, maka istrinya akan menjadi korbannya, tidak

mendapatkan ketenangan, kasih sayang, dan balas kasih. Hidupnya

tersiksa, bersuami tetapi seolah tidak bersuami.

2. Efek terhadap syaraf.

Kebiasaan jelek ini mempengaruhi kejiwaan dan memberikan efek

yang sangat kuat pada syaraf. Sebagai akibatnya dia merasa seolah

dirinya diciptakan bukan sebagai laki-laki, yang pada akhirnya

perasaan itu membawanya kepada penyelewengan. Dia merasa

cenderung dengan orang yang sejenis dengannya. Efek terhadap otak

3. Menyebabkan pelakunya menjadi pemurung

4. Seorang homoseks selalu merasa tidak puas dengan pelampiasan hawa

nafsunya.

5. Hubungan homoseksual dengan kejelekan akhlaq.

Kita dapatkan mereka jelek perangai dan tabiatnya. Mereka hampir

tidak bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang mulia

dan yang hina.

6. Melemahkan organ tubuh yang kuat dan bisa menghancurkannya.

Karena organ-organ tubuhnya telah rusak, maka didapati mereka sering

tidak sadar setelah mengeluarkan air seni dan mengeluarkan kotoran

dari duburnya tanpa terasa.

18
7. Hubungan homoseksual dengan kesehatan umum. Mereka terancam

oleh berbagai macam penyakit. Hal ini disebabkan karena merasa lemah

mental dan depresi.

8. Pengaruh terhadap organ reproduksi. Homoseksual dapat melemahkan

sumber-sumber utama pengeluaran mani dan membunuh sperma

sehingga akan menyebabkan kemandulan

9. Dapat meyebabkan penyakit HIV/AIDS, Hepatitis, Thypus, disentri dan

penyakit infeksi berat lainnya.

10. Sipilis atau kencing nanah. Penyakit ini tidak muncul kecuali karena

penyimpangan hubungan seks (penyakit menular seksual).

Para ahli hukum fiqh sekalipun telah sepakat mengharamkan homoseksual

tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukumnya. Pendapat yang pertama dalah

pendapat Imam Syafi’i yakni pasangan homosekssual duhukum mati, ini

berdasarkan hadis nabi riwayar Khamsah (lima ahli hadis kecuali Nasa’i), dari

Ibnu Abbas;

”Barang siapa menjumpai orang yang berbuat homoseksual seperti praktek kaum

luth, maka bunuhlahsi pelaku dan yang diperlakukan(pasangannya)”

Sedangkan pendapat yang kedua antara lain Al-Auzai, abu yusuf, dll hukumnya

disamakan dengan hukum zina, yaitu hukuman dera dan pengasingan untuk yang

belum menikah dan dirajam untuk yang sudah menikah, ini berdasarkan pada

hadis Nabi yang berbunyi;

19
”apabila seorang pria melakukan hubungan seks dengan pria lain, maka kedua-

duanya adalah berbuat zina ”

Pendapat ke 2 ini memakai qiyas didalam menetapkan hukumnya.

Pendapat yang ketiga yang dikemukan Abu Hanifah, pelaku homoseksual

dihukum ta’zir sebuah hukuman yang bertujuan edukatif dan besar ringannya

hukuman diserahkan pada pengadilan, hukum ta’zir dijatuhkan terhadap kejahatan

atau pelanggaran yang tidak ditentukan macam dan kadar hukumannya oleh nas

Al-Quran dan Hadits Nabi.

Menurut Al-Syaukani pendapat yang pertama adalah yang terkuat karena

berdasarkan nash sahih, sedangkan pendapat kedua dianggap lemah, karena

memakai dalil qiyas padahal ada nasnya, dan sebab hadis yang dipakainya lemah,

demikian pula dengan pendapat yang ke tiga juga dipandang lemah karena

bertentangan dengan nash yang telah menetapkan hukuman mati bukan hukuman

ta’zir.5

Mengenai perbuatan lesbian, para ahli fiqh juga sepakat

mengharamkannya, hal ini berdasarkan hadis Nabi Riwayah Ahmad, Abu Dawud

Muslim dan Turmudzi;

”Janganlah pria melihat aurat pria lainnya dan janganlah wanita melihat aurat

wanita lainnya dan janganlah bersentuhan pria dengan pria lain dibawah sehelai

selimut/kain, dan janganlah pula wanita bersentuhan dengan wanita lain dibawah

sehelai selimut/kain”

20
Menurut Sayyid Sabiq, lesbian itu dihukum ta’zir, jadi hukumannya lebih

ringan dari homoseksual karena bahaya atau resikonya lebih ringan dibandingkan

dengan bahaya yang ditimbulkan homoseksual karena lesbian itu bersentuhan

langsung tanpa memasukan alat kelamin. Perbuatan lesbian bertentangan dengan

norma agama, susila serta fitrah manusia karena itu Islam melarangnya dan orang

yang melakukannya berdosa.5

21
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam Islam dianjurkan untuk menikah. sebelum melaksanakan pernikahan

harus memulai dengan pinangan. yang dimaksud meminang atau khitbah adalah

permintaan seorang laki-laki kepada seorang perempuan untuk menikahinya,baik

dilakukan oleh laki-laki secara langsung maupun oleh pihak yang dipercayainya

sesuai dengan aturan agama.yang dimaksud dengan nikah adalah akad yang

menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta tolong-

menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram.

Adapun Rukun nikah sebagai berikut:

1. Sighat (akad)

2. Wali (wali si perempuan)

3. Dua orang saksi

4. Calon pengantin

Adapun syarat wali dan dua orang saksi yaitu :

1. Islam

2. Baligh

3. Berakal

4. Merdeka

5. Laki-laki

6. Adil

22
Adapun hikmah nikah yaitu:

1. Menyalurkan naluri seks

2. Jalan mendapatkan keturunan yang sah

3. Penyaluran naluri kebapakan dan keibuan

4. Dorongan untuk bekerja keras

5. Pengaturan hak dan kewajiban dalam rumah tangga

Hukum poligami menurut seperti yang terdapat pada Surah An-Nisa ayat

129 adalah boleh, apabila syarat-syarat yang dapat menjamin keadilan suami

kepada istri dapat terpenuhi, dan para ulama Madzhab menetapkan bahwa laki-

laki yang sanggup berlaku adil dalam kehidupan rumah tangga, dibolehkan

melakukan poligami sampai 4 istri. Islam melarang keras homoseksual karena

mempunyai dampak yang negatif terhadap kehidupan pribadi dan masyarakat.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Darajdat, Zakiah. Ilmu Fiqih.Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf. 2001

2. Na’im, Abdul Haris. Fiqih Munakahat. Kudus:Stain Kudus. 2009

3. Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. Bandung:Sinar Baru Algesindo. 2014

4. Supiana, Karman Muhammad. Materi Pendidikan Agama Islam.Bandung:PT

Remaja Rosdakarya. 1999

5. Sabiq Sayyid, Fiqih Sunnah 6. Bandung: PT Alma ‘Arif. 1980

24

Anda mungkin juga menyukai